Anda di halaman 1dari 46

HIV dalam Kehamilan

Laporan kasus ini dibuat untuk melengkapi persyaratan


Kepaniteraan Klinik Senior di SMF Obstetri RSU Dr.Pirngadi Medan

Pembimbing:
Dr.Hj.SutyNasution,Sp.OG(K)

Mentor:
dr. Muhar Yunan Tanjung

Disusun Oleh:
Christiani Simbolon (110100162)
Kalvin Raveli (110100364)
Valentina (110100062)

BAGIAN OBSTETRIK DAN GINEKOLOGI


RSU DR. PIRNGADI MEDAN
FAKULTAS KEDOKTERAN USU
2016
2
1

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadiran Tuhan Yang Maha Esa yang
telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan laporan kasus yang berjudul HIV dalam Kehamilan.
Penulisan laporan kasus ini adalah salah satu syarat untuk menyelesaikan
Kepaniteraan Klinik Senior Program Pendidikan Profesi Dokter di Departemen
Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Dalam penyelesaian laporan kasus ini, penulis banyak mendapat
bimbingan dan arahan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis mengucapkan
terimakasih kepada dosen pembimbing dr. Hj. Suty Nasution, Sp.OG(K) dan
mentor dr. Muhar Yunan Tanjung, yang telah meluangkan waktunya dan
memberikan banyak masukan dalam penyusunan laporan kasus ini. Penulis juga
mengucapkan terimakasih kepada teman-teman yang turut membantu dalam
menyelesaikan laporan kasus ini.
Penulis menyadari bahwa isi dari laporan kasus ini masih memiliki banyak
kekurangan, baik isi materi, penggunaan bahasa, pengetikan, maupun penataan
tulisan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran membangun agar
kelak kesalahan tersebut dapat diperbaiki dalam tulisan selanjutnya. Harapan
penulis semoga tinjauan pustaka ini bermanfaat bagi banyak pihak.

Medan, 27 Oktober 2016

Penulis
2

DAFTAR ISI

Kata Pengantar..................................................................................................................
i
Daftar Isi.............................................................................................................................
ii
Bab 1 Pendahuluan ..........................................................................................................
Bab 2 Tinjauan Pustaka....................................................................................................
3
2.1. Definisi...........................................................................................................
3
2.2. Epidemiologi..................................................................................................
2.3. Etiopatogensis................................................................................................
2.3.1. HIV dan Siklus Replikasi.....................................................................
4
2.3.2. Penularan HIV......................................................................................
6
2.4. Manifestasi Klinis...........................................................................................
10
2.5. Diagnosis...................................................................................................... 14
2.5.1. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik.......................................................
14
2.5.2. Pemeriksaan Penunjang........................................................................
15
2.6. Tatalaksana dan Pencegahan..........................................................................
18
2.7. Komplikasi.....................................................................................................
23
2.8. Prognosis........................................................................................................
24
3

Daftar Pustaka...................................................................................................................
25
Bab 3 Laporan Kasus........................................................................................................
27
Bab 4 Analisa Kasus..........................................................................................................
39
Bab 5 Permasalahan..........................................................................................................
41
1

BAB 1
PENDAHULUAN

HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah retrovirus RNA yang


menginfeksi sel imun dari manusia, khususnya sel T-helper CD4.1 Dalam
perjalanan penyakitnya, HIV dapat berprogresi menjadi AIDS (Acquired
immunodeficeiency syndrome), yaitu sindroma dengan gejala penyakit infeksi
oportunistik atau kanker tertentu akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh oleh
infeksi Human Immunodeficiency Virus.1,2 HIV dalam kehamilan adalah gangguan
kekebalan tubuh yang disebabkan oleh virus HIV yang terjadi pada wanita hamil. 3
Tidak seperti infeksi virus lainnya selama kehamilan, infeksi HIV maternal tidak
berkaitan dengan abnormalitas kongenital, efek samping pada keguguran atau
akibat kehamilan. Transmisi HIV dari ibu ke anak adalah masalah utama, yang
juga dikenal sebagai perinatal HIV atau Mother- to-Child Transmission (MTCT).
Hal ini dapat terjadi di dalam rahim, selama persalinan, atau pasca persalinan
melalui menyusui.4,5
Estimasi penderita HIV/AIDS di dunia pada tahun 2012 mencapai sekitar
35,3 juta orang, dengan 2,3 juta kasus baru infeksi HIV, dan 1,6 juta kematian
yang berhubungan dengan HIV.6 Untuk data ibu hamil yang menderita HIV, CDC
(Centers for Disease Control and Prevention) menyatakan setiap tahun ada sekitar
8.500 orang perempuan penderita HIV yang melahirkan. Di Amerika Serikat,
dalam 174 anak yang menderita HIV pada tahun 2014, 73% diantaranya
mendapatkan HIV akibat transmisi dari ibu ke anak. 5 Sedangkan di Indonesia,
data Kementerian Kesehatan tahun 2011 menunjukkan dari 21.103 ibu hamil yang
menjalani tes HIV, 534 (2,5%) di antaranya positif terinfeksi HIV. Angka terebut
diprediksikan akan meningkat lagi seiring dengan waktu sehingga akan
menyebabkan peningkatan angka kematian akibat AIDS dan peningkatan angka
penularan HIV dari ibu hamil ke bayi yang dikandungnya. Diprediksikan bahwa
pada tahun 2016, akan terjadi peningkatan angka penularan HIV dari ibu hamil ke
bayinya dari 0,38% (tahun 2012) menjadi 0,49%.7
2

Untuk mengurangi angka transmisi HIV dari ibu ke anak, resiko penularan
harus dikenali dan dikendalikan. Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap
penularan HIV ibu ke anak, yaitu faktor ibu (jumlah virus, jumlah sel CD4, status
gizi, penyakit infeksi selama hamil, dan gangguan pada payudara dalam proses
menyusui), faktor bayi/anak (usia kehamilan, berat badan lahir, ASI, dan luka di
mulut bayi yang mendapatkan ASI), serta faktor obstetri (jenis persalinan, lama
persalinan, ketuban pecah, episiotomi, tindakan vakum dan forceps).7
Strategi pencegahan penularan HIV pada ibu hamil ke anaknya harus
dilakukan secara komprehensif, mencakup berbagai kegiatan, yaitu layanan ANC
termasuk penawaran dan tes HIV, diagnosis HIV, pemberian terapi antiretroviral,
persalinan yang aman, tatalaksana pemberian makanan bayi dan anak, menunda
dan mengatur kehamilan, pemberian profilaksis ARV dan kotrimoksazol pada
anak, serta pemeriksaan diagnostik HIV pada anak.8
Pada negara maju, kemajuan penelitian HIV, pencegahan, dan
penatalaksanaan, telah memungkinkan bagi penderita HIV untuk melahirkan dan
menurunkan resiko transmisi HIV ibu ke bayinya sampai 1% atau kurang.
Sedangkan pada negara yang masih berkembang, dengan minimnya akses
intervensi, angka penularan masih berkisar antara 20% - 50%. 5,7
3

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Defenisi
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah retrovirus RNA yang
menginfeksi sel imun dari manusia, khususnya sel T-helper CD4.1
AIDS (Acquired immunodeficeiency syndrome) adalah sindroma dengan
gejala penyakit infeksi oportunistik atau kanker tertentu akibat menurunnya
sistem kekebalan tubuh oleh infeksi Human Immunodeficiency Virus.1,2
HIV dalam kehamilan adalah gangguan kekebalan tubuh yang disebabkan
oleh virus HIV yang terjadi pada wanita hamil.3 Tidak seperti infeksi virus lainnya
selama kehamilan, infeksi HIV maternal tidak berkaitan dengan abnormalitas
kongenital, efek samping pada keguguran atau akibat kehamilan. Transmisi HIV
dari ibu ke anak adalah masalah utama, yang juga dikenal sebagai perinatal HIV
atau Mother- to-Child Transmission (MTCT). Hal ini dapat terjadi di dalam rahim,
selama persalinan, atau pasca persalinan melalui menyusui.1,4,5

2.2. Epidemiologi
Estimasi penderita HIV/AIDS di dunia pada tahun 2012 mencapai sekitar
35,3 juta orang, dengan 2,3 juta kasus baru infeksi HIV, dan 1,6 juta kematian
yang berhubungan dengan HIV.6 Untuk data ibu hamil yang menderita HIV, CDC
(Centers for Disease Control and Prevention) menyatakan setiap tahun ada sekitar
8.500 orang perempuan penderita HIV yang melahirkan. Di Amerika Serikat,
dalam 174 anak yang menderita HIV pada tahun 2014, 73% diantaranya
mendapatkan HIV akibat transmisi dari ibu ke anak. Pada akhir tahun 2013,
diperikirakan 9.131 orang dewasa dan remaja (dengan usia lebih dari 13 tahun)
menderita HIV yang didapatkan dari transmisi ibu ke anak.5
Di Indonesia, data Kementerian Kesehatan tahun 2011 menunjukkan dari
21.103 ibu hamil yang menjalani tes HIV, 534 (2,5%) di antaranya positif
terinfeksi HIV. Angka terebut diprediksikan akan meningkat lagi seiring dengan
4

waktu sehingga akan menyebabkan peningkatan angka kematian akibat AIDS dan
peningkatan angka penularan HIV dari ibu hamil ke bayi yang dikandungnya.
Diprediksikan bahwa pada tahun 2016, akan terjadi peningkatan angka penularan
HIV dari ibu hamil ke bayinya dari 0,38% (tahun 2012) menjadi 0,49%. Estimasi
peningkatan angka prevalensi HIV tersebut dapat dilihat pada Gambar 1.7,8

Gambar 1. Estimasi dan proyeksi jumlah ibu hamil yang membutuhkan layanan
PPIA (Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak) di Indonesia tahun 2012-
2016.7,8

2.3. Etiopatogenesis
2.3.1. HIV dan Siklus Replikasi
HIV terdiri dari HIV-1 dan HIV-2. Infeksi HIV pada umumnya disebabkan
oleh infeksi HIV-1.6 Secara skematik, siklus replikasi virus HIV dapat dilihat pada
Gambar 2.9
Gambar 2. Siklus Replikasi HIV.9
5

Infeksi dimulai ketika glikoprotein pada kapsul (Env) berikatan dengan


reseptor CD4 dan CCR5, yang menyebabkan fusi dari virus dengan membran sel,
sehingga partikel virus dapat memasuki sel. Sebagian dari core virus akan terbuka,
memfasilitasi tahap reverse transcription, yang akan membentuk pre-integration
complex (PIC). Setelah masuk ke nukleus sel, PIC-associated integrase akan
merangsang dimulainya pembentukan provirus yang terintegrasi, dibantu oleh
protein lens epithelium-derived growth factor (LEDGF) yang berasal dari host.
Transkripsi dari provirus, dimediasi oleh RNA polymerase II dan positive
transcription elongation factor b (P-TEFb) membentuk viral mRNAs menjadi
ukuran yang berbeda, semakin besar akan memerlukan energy-dependent export
untuk keluar dari nukleus melalui protein host CRM1. mRNAs akan berperan
sebagai cetakan untuk produksi protein, dan akhirnya RNA baru tersebut akan
membentuk partikel virus baru dengan komponen protein. Partikel virus tersebut
akan membentuk budding dan akhirnya keluar dari sel dimediasi oleh endosomal
sorting complex required for transport (ESCRT) dan ALIX dan kemudian diikuti
oleh pematangan yang dimediasi oleh protease untuk membentuk partikel virus
yang infeksius.9
6

CCR5 ditemukan pada permukaan sel yang CD4+ pada kondisi progesteron
tinggi, misalnya pada kehamilan. Hal tersebut kemungkinan berperan dalam
membantuk masuknya virus kedalam sel tubuh. Setelah infeksi inisial, level
viremia biasanya akan menurun pada titik tertentu. Namun seiring berlalunya
waktu, jumlah dari sel T akan menurun secara progresif, menyebabkan
immunosupresi. Walaupun kehamilan memiliki efek yang minimal pada jumlah
sel T CD4+ dan level RNA HIV, RNA HIV akan meningkat 6 bulan postpartum.
Penyebab manifestasi klinis utama pada penderita AIDS adalah karena
immunodefisiensi yang menyebabkan infeksi oportunistik dan kanker lainnya.
Determinan utama dari transmisi HIV-1 adalah jumlah virus HIV-1 dalam plasma.
Hubungan antara jumlah virus dan infeksi perinatal dapat dilihat pada Gambar 3.6

Gambar 3. Insidensi infeksi neonatal berdasarkan jumlah virus.6

2.3.2. Penularan HIV


Secara umum, HIV dapat ditularkan melalui 3 cara yakni:7
a. Melalui hubungan seksual.
Merupakan jalur utama penularan HIV/AIDS yang paling umum
ditemukan. virus dapat ditularkan dari seseorang yang sudah terkena HIV
kepada mitra seksualnya (pria ke wanita, wanita ke pria, pria ke pria)
melalui hubungan seksual tanpa pengaman (kondom).
b. Parenteral (produk darah)
7

Penularan dapat terjadi melalui transfusi darah atau produk darah, atau
penggunaan alat alat yang sudah dikotori darah seperti jarum suntik, jarum
tato, tindik, dan sebagainya.
c. Perinatal
Lebih dari 90% anak yang terinfeksi HIV didapat dari ibunya,
penularan melalui ibu kepada anaknya. Transmisi vertikal dapat terjadi
secara transplasental, antepartum, maupun postpartum. Mekanisme transmisi
intauterin diperkirakan melalui plasenta. Hal ini dimungkinkan karena
adanya limfosit yang terinfeksi masuk kedalam plasenta. Transmisi
intrapartum terjadi akibat adanya lesi pada kulit atau mukosa bayi atau
tertelannya darah ibu selama proses kelahiran. Beberapa faktor resiko infeksi
antepartum adalah ketuban pecah dini dan lahir pervaginam. Transmisi
postpartum dapat juga melalui ASI yakni pada usia bayi menyusui, pola
pemberian ASI, kesehatan payudara ibu, dan adanya lesi pada mulut bayi.
Seorang bayi yang baru lahir akan membawa antibodi ibunya, begitupun
kemungkinan positif dan negatifnya bayi tertular HIV adalah tergantung dari
seberapa parah tahapan perkembangan AIDS pada diri sang ibu.

Ada tiga faktor utama yang berpengaruh pada penularan HIV dari ibu ke
anak, yaitu faktor ibu, bayi/anak, dan tindakan obstetrik.7,10
1 Faktor Ibu
a Jumlah virus (viral load)
Jumlah virus HIV dalam darah ibu saat menjelang atau saat persalinan dan
jumlah virus dalam air susu ibu ketika ibu menyusui bayinya sangat
mempengaruhi penularan HIV dari ibu ke anak. Risiko penularan HIV
menjadi sangat kecil jika kadar HIV rendah (kurang dari 1.000 kopi/ml) dan
sebaliknya jika kadar HIV di atas 100.000 kopi/ml.
b Jumlah Sel CD4
Ibu dengan jumlah sel CD4 rendah lebih berisiko menularkan HIV ke
bayinya. Semakin rendah jumlah sel CD4 risiko penularan HIV semakin besar.
c Status gizi selama hamil
8

Berat badan rendah serta kekurangan asupan seperti asam folat, vitamin D,
kalsium, zat besi, mineral selama hamil berdampak bagi kesehatan ibu dan
janin akibatntya dapat meningkatkan risiko ibu untuk menderita penyakit
infeksi yang dapat meningkatkan jumlah virus dan risiko penularan HIV ke
bayi.
d Penyakit infeksi selama hamil
Penyakit infeksi seperti sifilis, infeksi menular seksual,infeksi saluran
reproduksi lainnya, malaria,dan tuberkulosis, berisiko meningkatkan jumlah
virus dan risiko penularan HIV ke bayi.
e Gangguan pada payudara
Gangguan pada payudara ibu dan penyakit lain, seperti mastitis, abses, dan
luka di puting payudara dapat meningkatkan risiko penularan HIV melalui ASI
sehingga tidak sarankan untuk memberikan ASI kepada bayinya dan bayi
dapat disarankan diberikan susu formula untuk asupan nutrisinya.

2 Faktor Bayi
a Usia kehamilan dan berat badan bayi saat lahir
Bayi lahir prematur dengan berat badan lahir rendah (BBLR) lebih rentan
tertular HIV karena sistem organ dan sistem kekebalan tubuhnya belum
berkembang dengan baik.
b Periode pemberian ASI
Semakin lama ibu menyusui, risiko penularan HIV ke bayi akan semakin
besar.
c Adanya luka dimulut bayi
Bayi dengan luka di mulutnya lebih berisiko tertular HIV ketika diberikan
ASI.
3 Faktor obstetrik
Pada saat persalinan, bayi terpapar darah dan lendir ibu di jalan lahir. Faktor
obstetrik yang dapat meningkatkan risiko penularan HIV dari ibu ke anak selama
persalinan adalah:
a Jenis persalinan
9

Risiko penularan persalinan per vagina lebih besar daripada persalinan


melalui bedah sesar (seksio sesaria).
b Lama persalinan
Semakin lama proses persalinan berlangsung, risiko penularan HIV dari
ibu ke anak semakin tinggi, karena semakin lama terjadinya kontak antara
bayi dengan darah dan lendir ibu.
c Ketuban pecah
Ketuban pecah lebih dari 4 Jam sebelum persalinan meningkatkan risiko
penularan hingga dua kali lipat dibandingkan jika ketuban pecah kurang dari 4
jam.
d Tindakan episiotomi, ekstraksi vakum dan forceps
Tindakan episiotomi, ekstraksi vakum dan froceps akan meningkatkan
risiko penularan HIV karena berpotensi melukai ibu.

Tabel 1 Faktor yang berperan dalam penularan HIV dari ibu ke bayi.7

Pada saat hamil, sirkulasi darah janin dan sirkulasi darah ibu dipisahkan
oleh beberapa lapis sel yang terdapat di plasenta. Plasenta melindungi janin dari
infeksi HIV. Tetapi, jika terjadi peradangan, infeksi ataupun kerusakan pada
plasenta, maka HIV bisa menembus plasenta, sehingga terjadi penularan HIV dari
ibu ke anak. Penularan HIV dari ibu ke anak pada umumnya terjadi pada saat
persalinan dan pada saat menyusui. Risiko penularan HIV pada ibu yang tidak
mendapatkan penanganan PPIA saat hamil diperkirakan sekitar 15-45%. Risiko
10

penularan 15-30% terjadi pada saat hamil dan bersalin, sedangkan peningkatan
risiko transmisi HIV sebesar 10-20% dapat terjadi pada masa nifas dan menyusui.7
Apabila ibu tidak menyusui bayinya, risiko penularan HIV menjadi 20-
30% dan akan berkurang jika ibu mendapatkan pengobatan anti retrovirus (ARV).
Pemberian ARV jangka pendek dan ASI eksklusif memiliki risiko penularan HIV
sebesar 15-25% dan risiko penularan sebesar 5-15% apabila ibu tidak menyusui.
Akan tetapi, dengan terapi antiretroviral jangka panjang, risiko penularan HIV
dari ibu ke anak dapat diturunkan lagi hingga 1-5%, dan ibu yang menyusui
secara eksklusif memiliki risiko yang sama untuk menularkan HIV ke anaknya
dibandingkan dengan ibu yang tidak menyusui. Dengan pelayanan PPIA yang
baik, maka tingkat penularan dapat diturunkan menjadi kurang dari 2%.7

Tabel 2 Waktu dan Risiko Penularan HIV dari Ibu ke Anak Waktu.7

2.4. Manifestasi klinis


Masa inkubasi sejak paparan hingga tampak klinis adalah berhari hingga
berminggu, dan rata-rata adalah 3 sampai 6 minggu. infeksi akut HIV mirip
dengan banyak sindrom virus lain dan biasanya berlangsung kurang dari 10 hari.
Gejala umum termasuk demam dan keringat malam, kelelahan, ruam, sakit
kepala, limfadenopati, faringitis,mialgia, arthralgia, mual, muntah, dan diare.
Setelah gejala mereda, awal mula dari viremia kronis terjadi. Perkembangan dari
viremia asimtomatik menjadi AIDS memakan waktu rata-rata sekitar 10 tahun.
jalur infeksi, patogenisitas dari strain virus yang menginfeksi, awal inokulum
11

virus, dan status imunologi dari inang, semua mempengaruhi kecepatan


perkembangan.3,6
Beberapa manifestasi klinis dan temuan laboratorium akan menggambarkan
perkembangan penyakit, seperti yang tertera pada Tabel 3. Generalized
limfadenopati, oral hairy leukoplakia, ulkus aphthous, dan trombositopenia
umumnya terjadi.Sejumlah infeksi oportunistik yang terkait dengan AIDS
meliputi esofagus atau kandidiasis paru; herpes simpleks persisten atau lesi zoster;
kondiloma akuminata; TB paru; cytomegaloviral pneumonia, retinitis, atau
penyakit gastrointestinal, moluskum kontangiosum, pneumosistis pneumonia
jiroveci; toksoplasmosis; dan lain-lain. Penyakit neurologi umum terjadi, dan
sekitar setengah dari pasien memiliki gejala sistem saraf pusat. Nilai CD4 <200 /
mm3 juga dianggap definitif untuk diagnosis AIDS.6

Tabel 3. Stadium Klinis HIV menurut WHO11


12
13

Ada masalah ginekologi yang unik untuk wanita dengan HIV, seperti
gangguan menstruasi, kebutuhan kontrasepsi, dan neoplasia genital. serta
beberapa jenis infeksi menular seksual dapat terjadi pada masa kehamilan.
14

kehamilan berulang tidak berpengaruh signifikan pada klinis atau status


imunologi dari infeksi virus.
2.5. Diagnosis
Diagnosis HIV ditegakkan dengan kombinasi antara anamnesis, identifikasi
resiko tinggi, gejala klinis dan pemeriksaan laboratorium.3,12

2.5.1. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik 3,13,14


Anamnesis harus dilakukan secara hati-hati untuk mengetahui
kemungkinan paparan terhadap human immunodeficiency virus (HIV). Faktor
risiko meliputi:
1 Hubungan seksual tanpa kondom, terutama hubungan seks melalui dubur (8
kali lebih berisiko penularan)
2 Pasangan seksual yang banyak
3 Riwayat atau sedang menderita penyakit menular seksual (PMS): Gonore dan
infeksi klamidia meningkatkan risiko penularan HIV 3 kali lipat, sifilis
menimbulkan risiko penularan 7-kali lipat, dan herpes genitalis meningkatkan
risiko penularan hingga 25 kali lipat selama wabah
4 Berbagi obat jalur intravena
5 Transfusi darah
6 Kontak mukosa dengan darah yang terinfeksi atau cedera akibat jarum suntik
7 Infeksi HIV maternal (untuk bayi yang baru lahir, bayi, dan anak-anak)

Pasien mungkin datang dengan tanda-tanda dan gejala dari setiap tahap infeksi
HIV. serokonversi akut bermanifestasi sebagai penyakit seperti flu, yang terdiri
dari demam, malaise, anoreksia, berat badan menurun, dan ruam umum. Fase
asimtomatik umumnya jinak. limfadenopati generalisata adalah umum dan
mungkin merupakan keluhan utama.
AIDS bermanifestasi sebagai infeksi yang berulang, berat, dan dapat
mengancam jiwa dan infeksi opportunistik. Tanda-tanda dan gejala adalah dari
penyakit yang diderita, yang berarti bahwa infeksi HIV harus dicurigai sebagai
penyakit yang mendasari ketika infeksi yang tidak lazim dijumpai pada individu
yang tampak sehat.
15

Infeksi HIV dapat menyebabkan sekuele, termasuk demensia/ensefalopati


terkait AIDS dan HIV wasting syndrome (diare kronis dan penurunan berat badan
tanpa penyebab yang jelas).
Pada kehamilan, harus dinilai status penyakit HIV pasien (misalnya, jumlah
CD4+ sel T, viral load), kebutuhan untuk memulai atau mengubah pengobatan
antiretroviral, dan cara-cara untuk mengurangi penularan perinatal. penelusuran
yang teliti terhadap riwayat medis dan bedah, sejarah ginekologi, kebiasaan
berisiko tinggi, dan riwayat obstetri sebelumnya harus dilakukan pada kunjungan
prenatal pertama.
Tidak ada pemeriksaan fisik yang khusus untuk infeksi HIV. Pemeriksaan fisik
yang dijumpai adalah penyakit atau infeksi yang sedang diderita. limfadenopati
generalisata umumnya dijumpai. Berat badan menurun. Bukti adanya faktor risiko
atau infeksi oportunistik (misalnya, lesi herpes pada pangkal paha, kandidiasis
oral luas) mungkin menandakan suatu infeksi HIV.

2.5.2. Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksan Penunjang pada penderita HIV dapat dilakukan secara:
1. Pemeriksaan Antigen P2412
Antigen p24 yang ditemukan pada serum, plasma, dan cairan serebrospinal.
Kadarnya meningkat pada awal infeksi dan beberapa saat sebelum penderita
memasuki stadium AIDS.
Pada penderita yang baru terinfeksi, antigen p24 dapat positif hingga 45 hari
setelah infeksi. Pemeriksaan antigen p24 juga dapat digunakan untuk menegakkan
diagnosis HIV pada bayi yang lahir dari ibu HIV positif.

2. Kultur HIV12
HIV dapat dikultur dari cairan plasma, serum, peripheral blood mononuclear
cells (PBMCs), cairan serebrospinal, saliva, semen, lender serviks, serta ASI.
Kultur HIV biasanya tumbuh dalam 21 hari.
16

3. HIV-RNA
Jumlah HIV-RNA atau sering disebut juga viral load adalah pemeriksaan
yang menggunakan teknologi PCR untuk mengetahui jumlah HIV dalam darah.
Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan yang penting untuk mengetahui
dinamika HIV dalam tubuh. 3,12
Pemeriksaan HIV-RNA sangat berguna untuk mendiagnosis saat pemeriksaan
serologis belum bisa memberikan hasil (misalnya window period/tubuh telah
terinfeksi tetapi pemeriksaan antibodi memberikan hasil negatif atau pemeriksaan
serologis memberikan hasil indeterminate. HIV-RNA dapat positif dalam 11 hari
setelah terinfeksi HIV sehingga menurunkan masa jendela pada skrining donor
darah. Masa jendela dapat berlangsung hingga 6 bulan, tetapi sebagian besar
berlangsung kurang dari 3 bulan.12
Viral load akan dinyatakan "tidak terdeteksi" jika berada di bawah 40 hingga
75 copies dalam sampel darah Jumlah yang tepat tergantung pada analis. Tidak
ada kadar viral load yang normal. Orang yang tidak terinfeksi HIV tidak memiliki
viral load sama sekali.15

4. Jumlah CD4
Jumlah CD4 adalah uji laboratorium yang mengukur jumlah limfosit CD4 T
(sel CD4) dalam darah. Pada orang dengan HIV merupakan indikator
laboratorium yang paling penting untuk menilai keadaan sistem kekebalan tubuh
dan progresi HIV. Jumlah CD4 pada orang dewasa yang tidak terinfeksi berkisar
antara 500 sel / mm3 hingga 1.600 sel / mm3. Jumlah CD4 yang sangat rendah
(kurang dari 200 sel / mm3) adalah salah satu cara untuk menentukan seseorang
dengan HIV telah berkembang ke tahap 3 infeksi (AIDS)16

5. Pemeriksaan Antibodi
Pemeriksaan serologi untuk mendeteksi antibodi terhadap HIV secara umum
diklasifikasikan sebagai pemeriksaan penapisan (skrining) dan pemeriksaan
konfirmasi. Metode yang paling banyak digunakan adalah Enzyme Linked
Immunosorbent Assay (ELISA). Selain ELISA, metode pemeriksaan serologi lain
adalah aglutinasi, imunofiltasi, imunokromatografi, dan dipstick. Hasil positif
17

pada metode ini ditandai dengan timbulnya bitnik atau garis yang berwarna atau
ditemukan pola aglutinasi. Pemeriksaan ini dapat dikerjakan kurang dari 20 menit,
sehingga seringkali disebut uji cepat dan sederhana (simple rapid test).3,12

Pemeriksaan konfirmasi yang paling sering digunakan adalah pemeriksaan


western blot, namun membutuhkan biaya mahal dan hasilnya sering meragukan.
Kombinasi metode ELISA dan rapid test dapat memberikan hasil yang setara
dengan metode western blot. WHO dan UNAIDS merekomendasikan penggunaan
kombinasi ELISA dan atau rapid test untuk pemeriksaan antibodi terhadap
HIV.3,12

Untuk ibu hamil dengan faktor risiko yang hasil tesnya indeterminate, tes
diagnostik HIV dapat diulang dengan bahan baru yang diambil minimal 14 hari
setelah yang pertama dan setidaknya tes ulang menjelang persalinan (32-36
minggu). 7,8

2.6. Tatalaksana dan Pencegahan


Strategi pencegahan penularan HIV pada ibu hamil yang telah terinfeksi
HIV adalah sebagai berikut:7,8
1. Layanan ANC terpadu termasuk penawaran dan tes HIV
Layanan ANC yang terpadu termasuk penawaran dan tes HIV Pelayanan tes
HIV merupakan upaya membuka akses bagi ibu hamil untuk mengetahui status
HIV, sehingga dapat melakukan upaya untuk mencegah penularan HIV ke
bayinya, memperoleh pengobatan ARV sedini mungkin, dukungan psikologis,
informasi dan pengetahuan tentang HIV dan AIDS. 7,8
CDC merekomendasikan tes HIV untuk semua perempuan sebagai bagian dari
ANC, kecuali perempuan tersebut menolak untuk dilakukan tes tersebut. Pada
beberapa negara yang prevalensi HIV lebih tinggi, CDC menganjurkan untuk
melakukan tes HIV kedua kalinya saat trimester ketiga kehamilan.5

2. Diagnosis Dini HIV


3. Pemberian terapi antiretroviral
18

Sampai sekarang belum ada obat yang dapat menyembuhkan HIV dan AIDS,
namun dengan terapi antiretroviral, jumlah virus di dalam tubuh dapat ditekan
sangat rendah, sehingga ODHA dapat tetap hidup layaknya orang sehat. 7,8
Terapi ARV bertujuan untuk:
a. Mengurangi laju penularan HIV di masyarakat,
b. Menurunkan angka kesakitan dan kematian yang berhubungan dengan
HIV,
c. Memperbaiki kualitas hidup ODHA,
d. Memulihkan dan memelihara fungsi kekebalan tubuh, dan
e. Menekan replikasi virus secara maksimal.
Pemberian ART (Antiretroviral Therapy) pada ibu hamil dengan HIV
selain dapat mengurangi risiko penularan HIV dari ibu ke anak, adalah untuk
mengoptimalkan kondisi kesehatan ibu dengan cara menurunkan kadar HIV
serendah mungkin. Pilihan terapi yang direkomendasikan untuk ibu hamil dengan
HIV adalah terapi menggunakan kombinasi tiga obat (2 NRTI / Nucleosida
Reverse Transcriptase Inhibitors + 1 NNRTI/ Non-Nucleoside Reverse
Transcriptase Inhibitor). Seminimal mungkin hindari triple nuke (3 NRTI).
Regimen yang direkomendasikan dapat dilihat pada Tabel 5. 7,8
Tabel 5. Saat yang tepat untuk memulai pengobatan ARV (Antiretroviral)
pada ibu hamil.8

Data yang tersedia menunjukkan bahwa pemberian ARV kepada ibu


selama hamil dan dilanjutkan selama menyusui adalah efektif untuk kesehatan ibu
dan juga mampu mengurangi risiko penularan HIV dan kematian bayi.
Pemberian ARV untuk ibu hamil dengan HIV mengikuti Pedoman
Tatalaksana Klinis dan Terapi Antiretroviral pada Orang Dewasa, Kementerian
19

Kesehatan (2011).Pemberian ARV disesuaikan dengan kondisi klinis ibu (lihat


Tabel 6)

Tabel 6. Rekomendasi ART (Antiretroviral Therapy) pada ibu hamil


dengan HIV dan ARV (Antiretroviral) profilaksis pada bayi. 8

Keterangan:
* Penggunaan Nevirapin (NVP) pada perempuan dengan CD4 >250
sel/mm3 atau yang tidak diketahui jumlah CD4-nya dapat menimbulkan
reaksi hipersensitif
** Efavirens tidak boleh diberikan pada ODHA hamil trimester 1 karena
teratogenik

4. Persalinan yang aman


20

Pemilihan persalinan yang aman diputuskan oleh ibu setelah mendapatkan


konseling lengkap tentang pilihan persalinan, risiko penularan, dan berdasarkan
penilaian dari tenaga kesehatan. Pilihan persalinan meliputi persalinan per
vaginam dan per abdominam (bedah sesar atau seksio sesarea). 7,8
Dalam konseling perlu disampaikan mengenai manfaat terapi ARV sebagai
cara terbaik mencegah penularan HIV dari ibu ke anak. Dengan terapi ARV yang
sekurangnya dimulai pada minggu ke-14 kehamilan, persalinan per vaginam
merupakan persalinan yang aman. Apabila tersedia fasilitas pemeriksaan viral
load, dengan viral load < 1.000 kopi/L, persalinan per vaginam aman untuk
dilakukan. 7,8,17
Persalinan bedah sesar hanya boleh didasarkan atas indikasi obstetrik atau jika
pemberian ARV baru dimulai pada saat usia kehamilan 36 minggu atau lebih,
sehingga diperkirakan viral load > 1.000 kopi/L. 7,8,17
Persalinan bayi dengan ibu penderita HIV, harus dipersiapkan dengan baik dan
melibatkan suatu tim, yang terdiri dari: dokter obstetri, dokter anestesi, dokter
perinatologi, dokter penyakit dalam, serta bagian VCT.3
Pencegahan penularan infeksi bagi petugas di kamar bersalin:3
a. Gunakan gaun, sarung tangan, dan masker kedap air dalam menolong
persalinan
b. Gunakan sarung tangan saat menolong bayi
c. Cuci tangan setiap selesai menolong penderita AIDS
d. Gunakan pelindung mata
e. Peganglah plasenta dengan sarung tangan dan beri label sebabgai barang
infeksius
f. Hisap lendir bayi dengan menggunakan mesin penghisap
g. Bila curiga adanya kontaminasi, lakukan konseling dan periksa antibodi
terhadap HIV serta dapatkan AZT sebagi profilaksis
- Perawatan pasca persalinan perlu memperhatikan kemungkinan penularan
melalui penyakit wanita, lokhia, luka episiotomi ataupun luka SC
- Pengelolaan bayi sebaiknya oleh dokter anak yang khusus menangani kasus
ini
- Perawatan ibu dan bayi tidak dipisah
- Dilarang pemberian ASI
- Jangan lakukan sirkumsisi pada bayi
- Perawatan tali pusat harus dengan cermat
21

- Imunisasi dengan virus hidup sebaiknya ditunda sampai terbukti tidak


terinfeksi HIV

5. Tata laksana pemberian makanan bagi bayi dan anak


Pemilihan makanan bayi harus didahului dengan konseling tentang risiko
penularan HIV melalui ASI. Konseling diberikan sejak perawatan antenatal atau
sebelum persalinan. Pilihan apapun yang diambil oleh ibu harus didukung.7,8
Ibu dengan HIV yang sudah dalam terapi ARV memiliki kadar HIV sangat
rendah, sehingga aman untuk menyusui bayinya. Dalam Pedoman HIV dan Infant
Feeding (2010), World Health Organization (WHO) merekomendasikan
pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan untuk bayi lahir dari ibu yang HIV dan
sudah dalam terapi ARV untuk kelangsungan hidup anak (HIV-free and child
survival). Eksklusif artinya hanya diberikan ASI saja, tidak boleh dicampur
dengan susu lain (mixed feeding). Setelah bayi berusia 6 bulan pemberian ASI
dapat diteruskan hingga bayi berusia 12 bulan, disertai dengan pemberian
makanan padat.7,8
Bila ibu tidak dapat memberikan ASI eksklusif, maka ASI harus dihentikan
dan digantikan dengan susu formula untuk menghindari mixed feeding (Tabel 7).
Tabel 7. Perbandingan risiko penularan HIV dari ibu ke anak pada
pemberian ASI eksklusif, susu formula, dan mixed feeding.8

Beberapa studi menunjukkan pemberian susu formula memiliki risiko minimal


untuk penularan HIV dari ibu ke bayi, sehingga susu formula diyakini sebagai
cara pemberian makanan yang paling aman. Namun, penyediaan dan pemberian
susu formula memerlukan akses ketersediaan air bersih dan botol susu yang
bersih, yang di banyak negara berkembang dan beberapa daerah di Indonesia
persyaratan tersebut sulit dijalankan. Selain itu, keterbatasan kemampuan keluarga
di Indonesia untuk membeli susu formula dan adanya norma sosial tertentu di
masyarakat mengharuskan ibu menyusui bayinya. 7,8
22

Sangat tidak dianjurkan menyusui campur (mixed feeding, artinya diberikan


ASI dan PASI bergantian). Pemberian susu formula yang bagi dinding usus bayi
merupakan benda asing dapat menimbulkan perubahan mukosa dinding usus,
sehingga mempermudah masuknya HIV yang ada di dalam ASI ke peredaran
darah. 7,8

6. Menunda dan mengatur kehamilan


Semua jenis kontrasepsi yang dipilih oleh ibu dengan HIV harus selalu disertai
penggunaan kondom untuk mencegah IMS dan HIV. 7,8
Kontrasepsi pada ibu/perempuan HIV positif:
a. Ibu yang ingin menunda atau mengatur kehamilan, dapat menggunakan
kontrasepsi jangka panjang.
b. Ibu yang memutuskan tidak punya anak lagi, dapat memilih kontrasepsi
mantap.

7. Pemberian profilaksis ARV dan kotrimoksazol pada anak


Pemberian profilaksis ARV dimulai hari pertama setelah lahir selama 6
minggu. Obat ARV yang diberikan adalah zidovudine (AZT atau ZDV) 4
mg/kgBB diberikan 2 kali sehari peroral. Selanjutnya anak dapat diberikan
kotrimoksazol profilaksis mulai usia 6 minggu dengan dosis 4-6 mg/kgBB, satu
kali sehari peroral, setiap hari sampai usia 1 tahun atau sampai diagnosis HIV
ditegakkan. 7,8
Pemberian profilaksis untuk neonatus penting ketika ibu yang menderita
HIV mendapatkan terapi ARV antenatal, dan profilaksis neonatus ini lebih penting
lagi ketika ibu hamil tidak mendapatkan ARV antenatal sebelum melahirkan bayi.
Profilaksis yang diberikan pada neonatus dapat berperan sebagai profilaksis
sebelum terpapar infeksi (misalnya: bayi yang mendapatkan ASI) dan sebagai
profilaksis setelah terpapar infeksi (misalnya: paparan bayi terhadap darah
maternal saat persalinan).10,18 Penelitian di New York mendapatkan bahwa
transmisi HIV ke neonatus adalah 6,1% ketika zidovudin diberikan antepartum,
10% ketika intrapartum, 9,3% ketika post natal dalam waktu 48 jam kehidupan,
dan 18,4% ketika dimulai pada hari ketiga kehidupan. Namun angka tersebut
23

lebih rendah dari angka transmisi apabila tidak mendapatkan profilaksis


zidovudin, yaitu sebesar 26,6%.18

2.7. Komplikasi
Komplikasi obstetrik pada wanita hamil dengan HIV lebih besar daripada
wanita hamil tanpa HIV. HIV meningkatkan risiko infeksi intrauterin selama
kehamilan, persalinan atau nifas. Perempuan yang terinfeksi HIV memiliki lebih
dari tiga kali risiko sepsis nifas dibandingkan dengan perempuan yang tidak
terinfeksi. Hal ini sebagai akibat penekanan kekebalan terkait dengan HIV
sehingga meningkatkan kerentanan terhadap infeksi.19

Rasio kematian ibu pada perempuan terinfeksi HIV sekitar 10 kali lebih
tinggi dari pada wanita yang tidak terinfeksi. . Hal ini karena hanya sebagian kecil
dari ibu hamil yang menderita HIV menerima ART. Penyebab paling umum
kematian ibu di antaranya adalah infeksi terkait AIDS (66%),pneumonia (17%),
TB (10%), dan meningitis (4%).20

2.8. Prognosis
Prognosis keadaan penyakit ibu hamil dengan HIV tidak berbeda jauh degan
prognosis perempuan yang menderita HIV yang tidak hamil, namun, kehamilan
yang disertai dengan infeksi HIV lebih kompleks daripada pasien yang hamil
tanpa HIV. Perempuan yang menderita HIV memiliki tingkat morbiditas obstetri
dan postpartum yang lebih tinggi, misalnya peningkatan angka sectio caesaria,
ketuban pecah dini preterm, endometritis dan perawatan ICU. Komplikasi post
sectio caesaria telah menurun drastis di Amerika Serikat, dari 210,6/1.000 orang
(pada tahun 1995-1996) menjadi 116,6/1.000 (pada tahun 2010-2011), akan tetapi,
tingkat infeksi, trauma pembedahan, kematian dalam rumah sakit, dan lama
perawatan rumah sakit tetap lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan yang
tidak terinfeksi HIV.21
Penelitian metaanalisis dari 23 studi menyatakan bahwa perempuan yang
terinfeksi HIV memiliki resiko kematian yang berhubungan dengan kehamilan
24

delapan kali lebih tinggi dibandingkan dengan wanita yang tidak terinfeksi HIV.
Dalam studi tersebut, diprediksikan bahwa 12% kematian dalam masa kemahilan
dan 1 tahun postpartum berhubungan dengan HIV/AIDS pada daerah yang
memiliki prevalensi HIV ibu hamil sebanyak 2% dan angka kematian tersebut
meningkat menjadi 15% pada daerah yang memiliki prevalensi HIV ibu hamil
sebanyak 50%.22
Pada negara maju, kemajuan penelitian HIV, pencegahan, dan
penatalaksanaan, telah memungkinkan bagi penderita HIV untuk melahirkan
tanpa mentransmisikan virus HIV kepada bayinya. Infeksi HIV melalui transmisi
perinatal telah mengalami penurunan lebih dari 90% sejak tahun 1990, dan jumlah
penderita HIV yang melahirkan telah meningkat. Apabila penderita HIV tersebut
menjalani pengobatan HIV secara teratur sesuai ketentuan, maka resiko
menularkan HIV kepada anaknya menjadi 1% atau kurang. 5,7,21 Namun pada
negara berkembang, dengan minimnya akses intervensi, angka penularan masih
berkisar antara 20% - 50%. 5,7

DAFTAR PUSTAKA

1. Chou R, Cantor A, et.al. Screening for HIV in Pregnant Women: Systematic


Review to Update the 2005 U.S. Preventive Services Task Force
Recommendation. AHRQ Publication: United State. 2012: 1-2.
2. Prawirohardjo S. Infeksi Menular Seksual. Dalam : Ilmu Kebidanan. Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo: Jakarta. Edisi 4. 2011;71:932-3.
3. Tobing JL, Nasution SA. Kehamilan dengan AIDS. Dalam: Standar Pelayanan
Medik. SMF Kebidanan & Penyakit Kandungan RSUD Dr.Pirngadi: Medan.
Cetakan 3.2014:60-1.
4. Azwa I, Su Y. Human Immunodefi ciency Virus (HIV) in Pregnancy: A
Review of the Guidelines for Preventing Mother-to-Child Transmission in
Malaysia. In: Ann Acad Med Singapore. Pubmed: Kuala Lumpur.
2012;41(12):587.
25

5. CDC. Pregnant Women, Infants, and Children. CDC Gov. 2016. Available
from: http://www.cdc.gov/hiv/group/gender/pregnantwomen/
6. Cunningham F, Leveno K, et al. Sexually Transmitted Infection. In: Williams
Obstetric. McGraw Hill Education: USA. 24th ed. 2014;65: 1276-82.
7. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Pencegahan Penularan
HIV dari Ibu ke Anak. Kementerian Kesehatan RI: Jakarta. 2013: 5-34.
8. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Nasional Pencegahan
Penularah HIV dari Ibu ke Anak (PPIA). Kementerian Kesehatan RI: Jakarta.
2012:3-29.
9. Engelman A, Cherepanov P. The structural biology of HIV-1: mechanistic and
therapeutic insights. In: Nature Reviews Microbiology. Macmillan: USA.
2012;10(4):279-80.
10. Kourtis A, Bulterys M. Mother-to-Child Transmission of HIV: Pathogenesis,
Mechanisms and Pathways. In: Clinics in Perinatology. Elsevier Inc: USA.
2010;37(4):721-27.
11. World Health Organization. Interim WHO Clinical Staging of HIV/AIDS and
HIV/AIDS Case Definition for Surveillance. WHO: Geneva. 2005: 5-6.
12. Elwan E, Wisaksana R. Gejala dan Diagnosis HIV. Dalam: Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Internal Publishing: Jakarta. Edisi 6. 2014: 910-2.
13. Bennet N. HIV Disease Clinical Presentation: History, Physical Examination.
Medscape. 2016. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/211316-clinical
14. Marino T. HIV in Pregnancy: Overview, Epidemiology, Prophylaxis and
Pregnancy Outcome. Medscape. 2016. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/1385488-overview
15. AIDS. CD4+ Count. AIDS Gov. 2016. Available from:
https://www.aids.gov/hiv-aids-basics/just-diagnosed-with-hiv-aids/understand-
your-test-results/cd4-count/
16. AIDS. Viral Load. AIDS Gov. 2016. Available from:
https://www.aids.gov/hiv-aids-basics/just-diagnosed-with-hiv-
aids/understand-your-test-results/viral-load/index.html.
17. Briand N, Jasseron C, et al. Cesarean section for HIV-infected women in the
combination antiretroviral therapies era, 20002010. In: American Journal of
Obstetrics and Gynecology. Elsevier: Italy. 2013;209(4):335.e1.
26

18. Hurst S, Appelgren K, et al. Prevention of mother-to-child transmission of


HIV Type 1: the role of neonatal and infant prophylaxis. In: Expert Review of
Anti-infective Therapy. Pubmed: USA. 2015;13(2):169-172.
19. Calvert C, Ronsmans C. HIV and the Risk of Direct Obstetric Complications:
A Systematic Review and Meta-Analysis. PLoS ONE: South Africa. 2013:
8(10):1.
20. N.F. Moran, J. Moodley. The effect of HIV infection on maternal health and
mortality. In: International Journal of Gynecology and Obstetrics. Elsevier:
Ireland.2012: S26
21. Goodlee F. Prognosis of HIV Infection in Pregnancy. 2016. Available from:
http://bestpractice.bmj.com/best-practice/monograph/556/follow-
up/prognosis.html
22. Calvert C, Ronsmans C. The contribution of HIV to pregnancy-related
mortality. In: AIDS. Lippincott Williams & Wilkins: UK. 2013;27(10):1631-2
BAB III
LAPORAN KASUS

Anamnesa Pribadi:

Nama : Ny. E
Umur : 30 tahun
Suku : Batak Karo
Alamat : Blok 13 LK X Belawan Sicanang, Medan
Agama : Protestan
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Pendidikan : SMA
Status : Menikah
Tanggal masuk : 08 Oktober 2016
Jam masuk : 08.00 WIB

Anamnesa:
27

Ny.E, usia 30 tahun, G6P5A0, suku Batak Karo, agama Protestan, pendididkan
SMA, pekerjaan Ibu rumah tangga, i/d Tn. B, usia 32 tahun, suku Batak Toba,
agama Protestan, pendidikan SMA, meninggal, datang ke RSUD Pirngadi dengan:
Keluhan utama : Mules-mules mau melahirkan
Telaah : Hal ini dialami pasien sejak tanggal 8 Oktober 2016 jam
05.00 WIB, riwayat keluar lendir darah pada tanggal 8
Oktober 2016 jam 07.00 WIB. Riwayat keluar ai-air dari
kemaluan tidak ditemukan. BAB dan BAK dalam batas
normal. Pasien mengaku sebelumnya telah dilakukan
pemeriksaan HIV di Puskesmas saat hendak meminta rujukan
untuk melahirkan di rumah sakit sekitar 1 minggu yang lalu.
Beberapa hari kemudian, pasien dihubungi pihak puskesmas
dan dinyatakan menderita HIV. Pasien kemudian diminta
untuk kontrol ke rumah sakit, namun pasien belum punya
waktu untuk pergi ke rumah sakit. Kemudian pasien tiba-tiba
merasa mulas-mulas mau melahirkan pada tanggal 8 Oktober
2016 jam 5.00 WIB.
Riwayat penurunan berat badan, diare kronis, demam
berkepanjangan, tuberkulosis paru, dan kandidiasis mulut
persisten tidak dijumpai.
Faktor risiko HIV yang didapat pada pasien adalah pasien
memiliki tato sebanyak dua buah, di kaki kiri dan leher, yang
ditato sejak kira-kira 15 tahun yang lalu. Pasien juga
memiliki riwayat transfusi darah sekitar setengah tahun yang
lalu akibat kecelakaan di Rumah Sakit Bina Kasih.
Suami pasien telah meninggal dunia 3 bulan yang lalu akibat
kecelakaan. Pasien tidak mengetahui apakah suaminya
merupakan penderita HIV atau tidak. Menurut pengakuan
pasien, suaminya pernah batuk darah, namun dia tidak pernah
menemani suaminya berobat dan juga tidak tahu apakah
suaminya memakan obat 6 bulan atau tidak. Akibat dari
28

berbagai faktor resiko yang dimiliki pasien, tidak jelas dari


mana sumber penularan HIV yang dialami pasien. Anak
pasien yang sebelumnya juga telah diperiksa status HIV,
hasilnya nonreaktif.

Riwayat penyakit terdahulu : HIV


Riwayat pemakaian obat : tidak jelas

RIWAYAT HAID
- HPHT : ?/12/2015
- TTP : ?/9/2016
- ANC : 4 x Puskesmas

RIWAYAT PERSALINAN
1 Laki-laki, 3600 gram, aterm, PSP, bidan, klinik, 14 tahun, sehat
2 Laki-laki, 3100 gram, aterm, PSP, bidan, klinik, 10 tahun, sehat
3 Perempuan, 2600 gram, aterm, PSP, bidan, klinik, 2 jam (tahun 2012), exit
4 KJDK (tahun 2013)
5 Perempuan, 3900 gram, post date (2 minggu), SC atas indikasi post date,
Sp. OG, RS, 2 tahun, sehat
6 Hamil ini

PEMERIKSAAN FISIK
STATUS PRESENS
Sens : Compos mentis Anemis :-
TD : 110/70 mmHg Ikterik :-
HR : 80x/menit Sianosis :-
RR : 20x/menit Dyspnoe :-
Temp : 36,50C Oedema :-

STATUS GENERALISATA
Kepala : Dalam batas normal
29

Mata : Konjungtiva anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-), Refleks cahaya


(+/+), isokor, ka=ki
Leher : Dalam batas normal
Thorax :
Inspeksi : Simetris fusiformis
Palpasi : Stem fremitus kanan=kiri
Perkusi : Sonor di kedua lapangan paru
Auskultasi
Jantung : S1 (N) S2 (N) S3 (-) S4 (-) Reguler, Murmur : (-)
Paru : Suara Pernafasan : Vesikuler
Suara Tambahan : Tidak ada, Wheezing (-/-)

Ekstremitas : Akral hangat, CRT< 2 detik, Clubbing finger (-)


Edem pretibial (-/-)

STATUS LOKALISATA
Abdomen : Membesar asimetris
TFU : 3 jari bpx
Teregang : kiri
Terbawah : kepala
His : 2 x 20/10
DJJ : (+) 140 x/menit, reguler (dengan menggunakan Dapton)

STATUS GINEKOLOGIS
VT : Cervix anterior pembukaan 2 cm, eff 60%, selaput ketuban (+), H I
ST : lendir darah (+), air ketuban (-)

Pemeriksaan USG TAS


Janin tunggal, presentasi kepala, anak hidup (AH)
FM (+), FHR (+) 140x/i
BPD: 95,2 mm
AC : 340,6 mm
30

FL : 72,4 mm
Air ketuban cukup
Placenta corpus anterior
EFW : 3400-3600 gr
Kesan : IUP (38-39) minggu + Letak kepala + AH
31

LABORATORIUM
8 Oktober 2016
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
WBC 10.130 4.000-11.000/L
RBC 4.26 x 106 4,00-5,40 x 106/L
HGB 10,6 12-16 gr/dL
HCT 32,6 36-48 %
PLT 295.000 150.000-400.000/L
Prothrombin time Pasien: 14,3 11-18 detik
Kontrol: 13,4
INR : 1,18
APTT Pasien : 25,8 27-42 detik
Kontrol: 34,7
Ureum 11,00 10-50 mg/dL
Creatinin 0,62 0,6-1,2 gr/dL
Uric Acid 3,8 3,5-7,0mg/dL
Glukosa Adrandom 110,00 <140mg/dL
HbsAg Kualitatif Negatif Negatif
HIV Kualitatif Positif Negatif

DIAGNOSIS
HIV + Prev SC 1x + GMG + KDR (39-40) minggu + PK + AH + Inpartu

TERAPI
IVFD RL 20 gtt/menit
Inj. Ceftriaxone 1gr/12 jam

RENCANA
Sectio Caesaria dengan persiapan khusus untuk kasus HIV
Persiapkan Tim HIV RS untuk SC : Bagian Obgyn, Bagian Penyakit
Dalam, Bagian Perinatologi, dan Bagian Anestesi.
Laporan Sectio Caesaria ( 8 Oktober 2016 pukul 12.30-13.30 wib )
Laporan Sectio Caesaria a/i HIV. Lahir bayi Perempuan, BB 3060 gram, PB 48
cm, Apgar Score 9/10, anus (+)
Pihak KBE menyediakan alat-alat SC khusus untuk pasien HIV
Seluruh tim untuk SC pasien HIV memasuki ruangan KBE
32

Seluruh petugas KBE mempersiapkan diri dengan memakai APD, yaitu


memakai gaun, sarung tangan, masker kedap air, dan pelindung mata
(googles)
Ibu dibaringkan di meja operasi dengan infus dan kateter terpasang baik.
Pasien didudukkan di atas meja operasi, lalu dilakukan tindakan aseptik
dengan povidon iodine dan alkohol 70% pada bagian lumbal secara
sirkuler.
Di lakukan anestesi spinal memakai bipivacain, kemudian pasien
dibaringkan, lalu diberikan rangsangan nyeri untuk mengetahui apakah
anestesi berhasil.
Dilakukan aseptik dengan cairan antiseptik diseluruh abdomen dengan
larutan betadin dan alkohol 70% dan ditutup dengan doek steril, kecuali
lapangan operasi.
Dilakukan insisi pfanenstiel dari kutis sampai subkutis.
Dengan menyisipkan pinset anatomis di bawahnya fascia dibuka digunting
ke kiri dan ke kanan.
Otot dikuakkan secara tumpul, peritonium diklem kemudian digunting ke
atas dan ke bawah, kemudian di pasang blast haak.
Tampak uterus gravidarum sesuai usia kehamilan dan identifikasi SBR.
Lalu, plika vesikouterina digunting secara konkaf ke kiri dan ke kanan dan
disisihkan ke bawah ke arah kandung kemih secukupnya. Selanjutnya
dinding uterus diinsisi secara konkaf sampai subendometrium,
endometrium ditembus tumpul dan diperlebar sesuai arah insisi secara
tumpul.
Dengan meluksir kepala, lahir bayi Perempuan, BB 3060 gram, PB 48 cm,
Apgar Score 9/10, anus (+). Pengelolaan bayi diserahkan kepada dokter
anak bagian perinatologi yang khusus menangani bayi dengan ibu HIV.
Tali pusat diklem pada 2 tempat dan digunting diantaranya.
Dengan manajemen aktif kala III (oxytocin drip, massase Fundus uteri,
dan PTT) Plasenta dilahirkan. Kesan: Lengkap. Plasenta kemudian dilabel
sebagai barang infeksius.
33

Kedua sudut kiri dan kanan tepi luka insisi dijepit dengan oval klem.
Kavum uteri dibersihkan dan sisa-sisa selaput dengan kasa steril terbuka.
Kesan: Bersih.
Dilakukan penjahitan pada uterus dengan benang chromic catgut no. 2/0.
Dinding uterus dijahit jelujur terkunci overhecting.
Evaluasi: Tidak ada perdarahan.
Evaluasi tuba ovarium kanan dan kiri, kesan dalam batas normal.
Diputuskan untuk dilakukan sterilisasi pomeroy. Evaluasi perdarahan
kesan terkontrol. Cavum abdomen dibersihkan.
Reperitonealisasi dengan plain catgut no. 2/0.
Klem peritoneum dipasang, lalu kavum abdomen dibersihkan dari bekuan
darah dan cairan ketuban. Kesan: Bersih.
Lalu peritoneum dijahit dengan plain catgut no. 2/0.
Kemudian dilakukan jahitan aproximasi otot dinding abdomen dengan
plain catgut no.2 simple suture.
Kedua ujung fascia dijepit dengan kocher, lalu dijahit secara continous
dengan vicryl no.2,0
Subcutis dijahit secara simple suture dengan plain catgut no 2.
Dilakukan jahitan subcuticular dengan vicryl 3/0, luka operasi ditutup
dengan kasa steril + bethadine.
Liang vagina dibersihkan dari sisa darah dengan kapas sublimat hingga
bersih.
Jumlah perdarahan : 150cc
Keadaan umum ibu post operasi : Baik.
Seluruh barang habis pakai dibuang kedalam tong sampah infeksius
Seluruh alat dilakukan sterilisasi dan tidak dipergunakan kecuali untuk
pasien HIV

Terapi Post Operasi:


Tirah baring
Kateter terpasang
34

IVFD RL + oksitosin 10-10-5-5 IU 20 gtt/i


Inj. Ceftriaxon 1 gr/12 jam
Inj. Ketolorac 30 mg/8 jam
Inj. Ranitidin 50 mg/12 jam
Inj. Transamin 500mg/8 jam selama 24 jam

Instruksi Post Operasi :


Awasi vital sign, Kontraksi uterus dan tanda-tanda perdarahan
Cek darah lengkap 2 jam post SC

Pemantauan Kala IV

Jam ( wib ) 12.30 12.45 13.00 13.15 13.30 14.00 14.30

Nadi per menit 74 80 78 78 80 80 84

Tekanan darah (mmHg) 120/80 120/80 120/80 120/70 130/80 130/80 130/70

Pernafasan permenit 20 20 22 20 18 18 20
Kontraksi uterus Lemah Kuat Kuat Kuat Kuat Kuat Kuat
Perdarahan (dalam cc) 5 cc 5 cc 10 cc 15 cc 20 cc 25 cc 25 cc

IVFD RL + oksitosin 10- 10 -5-5 IU 20 gtt/i


Inj. Ceftriaxon 1 gr/12 jam
Terapi Inj. Ketolorac 30 mg/8 jam
Inj. Ranitidin 50 mg/12jam
Inj. Transamin 500mg/8 jam

Hasil laboratorium 2 jam post operasi:


Hb : 10,2 gr%
Leukosit : 10.850 / mm3
Ht : 32,4%
Trombosit : 302.000/mm3
35
36

FOLLOW UP

Tanggal 9 Oktober 2016 Pukul 07.00 WIB


S : nyeri pada luka operasi (+)
O: Sens : compos mentis
TD : 110/70 mmHg
HR : 84 x/i
RR : 20 x/i
T : 36,5 C
Status Lokalisata
Abdomen : soepel, peristaltik (+) normal
TFU : 1 jari bawah pusat, kontraksi kuat
P/V : (-), lochia rubra (+)
L/O : Tertutup Verban, kesan kering
BAK : (+)
BAB : (-), flatus (+)

A : Post Sectio Caesaria a/i HIV+ Prev SC 1x + Post Sterilisasi Pomeroy + Nifas
Hari 1

P: - IVFD RL 20 gtt/i
- Inj. Ceftriaxon 1 gr/12 jam
- Inj. Ketolorac 30 mg/8 jam
- Inj. Ranitidin 50 mg/12jam

Rencana : Awasi vital sign, Kontraksi uterus dan tanda-tanda perdarahan


Aff kateter sore
Dari Departemen Penyakit Dalam: pemeriksaan viral load dan CD4+
pada pasien
Dari Departemen Perinatologi: pemberian profilaksis pada bayi
Konsul VCT (Voluntary Counseling and Testing)
37

Tanggal 10 Oktober 2016 pukul 07.00 WIB


S : nyeri luka operasi berkurang
O: Sens : compos mentis
TD : 120/70 mmHg
HR : 84 x/i
RR : 20 x/i
T : 37,2 C
Status Lokalisata
Abdomen : soepel, peristaltik (+)
TFU : 2 jari bawah pusat, kontraksi kuat
P/V : (-), lochia rubra(+)
L/O : Tertutup Verban, kesan kering
BAK : (+)
BAB : (-), flatus (+)

A : Post Sectio Caesaria a/i HIV+ Prev SC 1x + Post Sterilisasi Pomeroy + Nifas
Hari 2

P: Cefadroxil tab 2 x 500 mg


Asam mefenamat tab 3 x 500 mg
B complex tab 2x1

Jawaban VCT :
Telah dilakukan konseling pada pasien dan pengkajian terhadap berbagai faktor
resiko, dari anamnesis tidak didapatkan tanda dan gejala HIV, dugaan sementara
HIV asimptomatik, maka pemberian ARV ditunda. Rencana dilakukan
pemeriksaan viral load dan CD4+.

Rencana : Aff infus, terapi oral


Menungu hasil viral load dan CD4+

Tanggal 11 Oktober 2016 Pukul 07.00 WIB


38

S : nyeri luka operasi (-)


O: Sens: compos mentis
TD : 120/80 mmHg
HR : 80 x/i
RR : 20 x/i
T : 36,8 C
Status Lokalisata
Abdomen : soepel, peristaltik (+)
TFU : 2 jari bawah pusat, kontraksi kuat
P/V : (-), lochia rubra(+)
L/O : Tertutup Verban, kesan kering
BAK : (+)
BAB : (+), flatus (+)

A : Post Sectio Caesaria a/i HIV+ Prev SC 1x + Post Sterilisasi Pomeroy + Nifas
Hari 3

P: Cefadroxil tab 2 x 500 mg


Asam mefenamat tab 3 x 500 mg
B complex tab 2x1

Rencana : Ganti verban


Edukasi perawatan bayi (perawatan tali pusat, tidak boleh dilakukan
imunisasi virus hidup hingga status HIV bayi jelas, tidak diberi ASI)
PBJ kontrol PIH tanggal 14 Oktober 2016
PBJ kontrol poli penyakit dalam wanita
PBJ kontrol VCT dengan membawa hasil viral load dan CD4+
PBJ kontrol poli anak (untuk bayi)

BAB IV
ANALISA KASUS
39

Pada kasus ini, seorang pasien perempuan usia 30 tahun, G6P5A0, aterm
datang dengan keluhan mulas-mulas mau melahirkan. Pasien mengaku
sebelumnya telah dilakukan pemeriksaan HIV di Puskesmas saat hendak meminta
rujukan untuk melahirkan di rumah sakit sekitar 1 minggu yang lalu. Beberapa
hari kemudian, pasien dihubungi pihak puskesmas dan dinyatakan menderita HIV.
Pasien kemudian diminta untuk kontrol ke rumah sakit, namun pasien belum
punya waktu untuk pergi ke rumah sakit. Kemudian pasien tiba-tiba merasa
mulas-mulas mau melahirkan pada tanggal 8 Oktober 2016 jam 5.00 WIB. Hal ini
membuktikan bahwa layanan ANC di puskesmas masih kurang dalam hal
penawaran pemeriksaan status HIV pada ibu hamil pada awal kehamilan, dan
kurangnya pengetahuan pasien akan pentingnya deteksi dini dan tatalaksana HIV
dalam kehamilan.
Pasien ini didiagnosis dengan HIV + Prev SC 1x + GMG + KDR (39-40)
minggu + PK + AH + Inpartu. Sebelum kehamilan ini, pasien telah menjalani
sectio caesaria sebanyak satu kali karena post date 2 minggu. Pasien kemudian
dilakukan tindakan sectio cesaeria cito, tanpa diberikan ARV antenatal terlebih
dahulu karena pasien datang dengan kondisi inpartu. Sectio Cesaeria lebih dipilih
pada kasus ini karena pasien didiagnosis menderita HIV namun belum dilakukan
pemeriksaan viral load, sehingga diasumsikan bahwa viral load > 1.000 kopi/L.
Pasien juga telah dilakukan sterilisasi pomeroy dengan pertimbangan untuk
menghindari resiko transmisi HIV secara vertikal, dari sisi pasien juga
menyetujuinya karna ia juga telah memiliki empat orang anak.
Dari anamnesis, diketahui bahwa suami pasien telah meninggal dunia 3
bulan yang lalu akibat kecelakaan. Pasien tidak mengetahui apakah suaminya
merupakan penderita HIV atau tidak. Menurut pengakuan pasien, suaminya
pernah batuk darah, namun dia tidak pernah menemani suaminya berobat dan juga
tidak tahu apakah suaminya memakan obat 6 bulan atau tidak. Faktor resiko lain
yang dimiliki pasien adalah pasien memiliki tato sebanyak dua buah, di kaki kiri
dan leher, yang ditato sejak kira-kira 15 tahun yang lalu. Pasien juga memiliki
riwayat transfusi darah sekitar setengah tahun yang lalu akibat kecelakaan di
40

Rumah Sakit Bina Kasih. Akibat dari berbagai faktor resiko yang dimiliki pasien,
tidak jelas dari mana sumber penularan HIV yang dialamai pasien. Anak pasien
yang sebelumnya juga telah diperiksa status HIV, hasilnya nonreaktif. Bayi dari
pasien tersebut belum diperiksa uji virologis karena bayi yang diketahui terpajan
HIV sejak lahir baru dianjurkan untuk diperiksa dengan uji virologis pada umur 4
6 minggu atau waktu tercepat yang mampu dilaksanakan sesudahnya. Bayi dari
ibu ini direncanakan untuk diberikan profilaksis.
41

BAB V
PERMASALAHAN

1 Kurangnya pengetahuan masyarakat terhadap pentingnya deteksi dini status


HIV dalam kehamilan.
2 Layanan ANC di puskesmas yang belum adekuat dalam mendeteksi dini ibu
hamil dengan HIV.
3 Pasien tidak mendapatkan terapi ARV antenatal.
4 Sebagai dokter umum di level puskesmas sejauh mana penanganan yang dapat
diberikan apabila dijumpai kasus HIV dalam kehamilan dikemudian hari?

Anda mungkin juga menyukai