ADA sebuah Hadits Nabi yang barangkali banyak mengundang pemikiran tentang
relevansinya dengan masa kini. “Sebaik-baik tempat ialah masjid-masjid, dan sejelek-
jelek tempat ialah pasar”, demikian kata Nabi. Di sini dengan jelas dipertentangkan
antara masjid dan pasar. Padahal Nabi sendiri dalam sebuah Hadits yang lain memuji
jual-beli yang jujur dan baik (dan penghasilan dari hasil tangan sendiri) sebagai mata
pencaharian yang utama. Jika perdagangan dan industri merupakan pekerjaan yang
dimuliakan, dalam kedudukan apa “pasar” itu menjadi “tempat yang se jelek-
jeleknya”?
Rupanya Nabi berpikir secara dialektik 1. Masjid adalah simbol dari agama dan
pasar dari kepentingan ekonomi. Masing-masing dapat menjadi kekuatan sejarah yang
mengubah dunia. Transformative capacity (daya rubah) dari agama Islam sudah
menjadi jelas dalam buku-buku sejarah Islam, baik sebagai kekuatan sosial, politik,
maupun budaya. Kreativitas sejarah yang mula-mula muncul sebagai kekuatan
spiritual (iman) telah mampu memobilisasikan umat Islam dalam perjalanan sejarah
yang panjang dari zaman kekhalifahan, kerajaan-kerajaan, dan perlawanan terhadap
penetrasi imperialisme (masuknya penjajahan), sehingga sebuah peradaban baru
muncul dalam arena sejarah. Islam yang oleh Toynbee 2 dimasukkan dalam tradisi
Judeo Christian (budaya agama samawi) itu telah menembus lebih jauh dari jangkauan
dunia Barat, sampai di India, Tiongkok, dan Indonesia yang dalam sejarah dikenal
dengan Dunia Timur dan per -adaban Timur. Dalam keadaannya yang sekarang,
peradaban Islam menjelma ke dalam setidaknya lima zone budaya: Arab, Iran, Turki,
Melayu, dan Afrika Hitam. 3 Kepada lima zone itu masih dapat ditambahkan daerah-
daerah mualaf di Eropa, Amerika, dan Asia lainnya.
Namun pertanyaan yang mendasar terhadap Islam telah dilancarkan oleh penulis
Marxis (pendukung Marxisme 4) seperti Maxime Rodinson yang meragukan keunikan
Islam sebagai dunia yang tersendiri dalam sejarah. Islam juga akan terkena hukum
®
Makalah dalam Seminar KPFI IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 17-19 Oktober 2003.
Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat-edisi paripurna, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006, hal. 131.
Dimodifikasi sedikit oleh Abuya.
1
Model berpikir yang menyatukan dua titik ekstrim untuk menemukan titik tengah yang seimbang.
2
Pengamat Islam berkebangsaan Inggris.
3
Untuk pembicaraan singkat mengenai zone-zone budaya Islam lihat, Sayyed Hossein Nasr, “Islam in the
World: Cultural Diversity within Spiritual Unity”, dalam penerbitan UNESCO, Islam: The Perenniality of Values
(Paris: The Unesco Press and la Baconniere, 1977), pp. 15-33.
4
Isme yang menjadi cikal bakal komunisme.
Masjid atau Pasar: Akar Ketegangan Budaya di Masa Pembangunan
terdapat dalam etika Protestan dengan apa yang disebutnya inner worldly asceticism 10.
Dalam dunia yang didominasi oleh Budaya Islam tidak terdapat prasyarat semacam
itu. Hukum yang rasional dan formal (resmi), kota-kota yang otonom, kelas menengah
kota yang merdeka, dan stabilitas politik, tidak ditemukan Weber dalam dunia Islam.
Weber melihat bahwa “etika prajurit” dan dominasi patrimonial (pengaruh budaya
waris mewarisi) dari para sultan dan khalifah menghambat munculnya kapitalisme yang
rasional. Dominasi patrimonial membuat hubungan ekonomi, politik, dan hukum tidak
stabil dan penuh kesewenangan, atau irrasional 11, dalam pengertian Weber. 12
Meskipun analisis dan tesis Weber sudah banyak mendapat kritik, 13 namun gema
Weber banyak muncul dalam studi mengenai Islam di Indonesia. Pada umumnya, para
pengamat mencoba menghubungkan gerakan reformasi Islam, seperti dalam Masyumi
dan Muhammadiyah, dengan gerakan Protestantism di Eropa, karena reformasi lahir
dari para pedagang, kelas menengah kota. Etika para pendukung reformasi Islam rupa-
rupanya mendukung perkembangan kapitalisme di lingkungan orang Indonesia.
Menurut Clifford Geertz, para pengusaha dan Reformasi Muslim mempunyai semangat
entrepreneurship (wirausaha) seperti kaum Puritan (pemurni agama) pada permulaan
kapitalisme.14 Sekalipun pendapat Geertz dibuktikan tidak selalu benar adanya, seperti
studi Lance Castle mengenai para pengusaha sigaret di Kudus, 15 tetapi setidaknya
membuat para ilmuwan pada umumnya dan pemikir Muslim tergugah untuk
merenungkan kembali permasalahan teologi (aqidah) ekonomi dalam Islam.
Terlepas dari persoalan apakah sebuah pemikiran intelektual mempunyai pengaruh
terhadap masyarakat, usaha-usaha semacam ini periu digiatkan supaya Islam
menyentuh semua permasalahan manusia modern. Barangkali saja sebuah pemikiran
ekonomi tidak akan segera mempengaruhi kehidupan ekonomi secara struktural
(seperti dibukanya Bank Islam) atau perilaku ekonorni secara substantif bagi
perorangan dan umat. Namun setidaknya, gerakan semacam ini akan menunjukkan
kembali relevansi (kesesuaian) Islam dalam dunia modern -jika kita dapat menyebut
perjuangan umat Islam sebagai perjuangan untuk relevansi. Dunia yang selalu berubah
sesungguhnya memberi tantangan baru setiap hari. Sejak Revolusi lndustri 16 perubahan
terjadi dengan cara lebih cepat dari abad-abad sebelumnya, menuju kutub yang belum
tentu tempatnya. Dengan kesetiaan yang kreatif -meminjam Gabriel Marcel- kepada
nilai-nilai Islam, dapatkah sebuah budaya baru yang menemukan tempat dalam konteks
(ruang waktu) pembangunan, perkembangan, dan perubahan masa kini dikembangkan
di lingkungan umat Islam?
Bagaimana kita sekaligus menggabungkan pembentukan baru secara kreatif dan
sekaligus melibatkan diri dalam Yang Mutlak (Alloh)? Untuk ini Paul Tillich
10
Kezuhudan berusaha dalam perekonomian.
11
Tidak logis, tidak berdasar pemikiran yang jernih.
12
Lihat Bryan S. Turner, Weber and Islam: A Critical Study (London: Routledge & Kegan Paul, 1974), p. 15.
13
Banyaknya kritik tetah dilontarkan terhadap tulisan Weber, di antaranya ialah Kurt Samuelson, Religion and
Economic Action: A Critique of Max Weber (New York: Harper Toorchbooks, 1964).
14
Lihat Clifford Geeriz, Peddlers and Economic Change in Two Indonesian Chicago Press, 1971), p. 49.
15
Lance Castle, Tingkah Laku Agama, Politik dan Ekonomi di Jawa: Industri Rokok Kudus (Jakarta: Penerbit
Sinar Harapan, 1982).
16
Perubahan besar-besaran dalam cara berekonomi di Inggris, terjadi pada sekitar awal 1800an. Produksi
pakaian, sepatu, perkakas yang tadinya diproduksi oleh para pengrajin, jadi dibuat di pabrik-pabrik dengan
menggunakan mesin.
17
Ekonomi berkeTuhanan.
18
Ukhrowi.
19
James Luther Adams, Paul Tillich's Philosophy of Culture, Science & Religion (New York: Schocken Books,
1970), pp. 54-55.
20
James L. Peacock dan A. Thomas Kirsch, The Human Direction: An Evolutionary Approach to Social and
Cultural Anthropology (New York: Appleton-Century-Crofts, 1970), p. 26.
21
Daniel Lemer, The Passing of Traditional Society: Modernizing the Middle East (New York: The Free Press,
1965).
ekonomi pasar, demikian juga ekonomi pasar hanya dapat berfungsi dalam sebuah
masyarakat pasar.22
Pasar telah dibebaskan dari sifatnya yang partikularistik (terpisah) oleh politik
ekonomi merkantilisme23 kerajaan-kerajaan nasional, tetapi tidak dari ikatan kekuatan
politik negara-negara itu. Hanya pada abad ke-l9-lah pasar mulai bebas dari kekuatan
politik, dan menjadi otonom (bebas). Dengan Revolusi Industri mulailah tercipta pasar
yang mengatur diri sendiri, dan yang mendominasi bukan saja kehidupan ekonomi tetapi
pada akhirnya juga kehidupan masyarakat. Unsur-unsur ekonomi mempunyai peranan
baru dan mempunyai konsekuensi (akibat) yang luas. Masuknya ekonomi pasar (ekonomi
yang ditentukan oleh permintaan dan penawaran pasar tanpa campurtangan pemerintah
dalam penentuan harga) menyebabkan terjadinya dikotomi (pemisahan) dalam
masyarakat. Pemisahan terjadi antara wilayah ekonomi dan wilayah politik, sekalipun
tidak dalam semua masyarakat dan setiap waktu. Akibat terpenting dari ekonomi pasar
ialah berkuasanya mekanisme pasar atau hukum pasar atas substansi-substansi (unsure-
unsur) masyarakat, termasuk manusianya. Sejarah menunjukkan bagaimana pada abad
ke-19 di Eropa terjadi dua gejala sekaligus, yaitu berubahnya organisasi masyarakat
sebagai akibat mekanisme pasar di satu pihak, dan perlawanan terhadap kekuatan pasar,
di lain pihak. Sejarah sosial di Inggris, misalnya, menunjukkan bagaimana pertumbuhan
lembaga-lembaga ekonomi diimbangi dengan pertumbuhan pembatasan hukum atas
merajalelanya kekuatan pasar.
Dengan demikian suatu pasar yang mengatur sendiri sebenarnya tidak pemah
menjadi kenyataan sepenuhnya. Cita-cita liberalisme ekonomi24 yang menjadi kaidah
sistem pasar selalu mendapatkan hambatan dari berbagai pihak. Cita-cita yang didasari
atas keyakinan kebebasan penuh sistem pasar, tanpa campur-tangan birokrasi itu, seolah-
olah memberi harapan besar bahwa pasar yang mengatur diri sendiri akan mampu
membangun tata dunia baru25, menjadi semacam utopia (impian yang takkan menjadi
kenyataan) pada akhimya. Utopia yang lahir dari kredo leissez faire26 tidak pemah
memenuhi janjinya. Liberalisme ekonomi yang mempercayai pasar yang mengatur diri
sendiri bahkan memilih jalan kolektif dengan adanya peraturan dan pembatasan-
pembatasan, justru supaya pasar bisa mengatur diri sendiri. Sekalipun demikian, kaum
liberal melihat dirinya dihambat oleh kaum proteksionis 27 yang merusak sistem pasar
sebagai mesin yang otomatis.
Gejala yang penting dalam pertumbuhan ekonomi dan masyarakat pasar ialah
terbentuknya kelas-kelas sosial yang saling bertentangan kepentingan. Marx dengan jelas
telah membagi masyarakat menjadi dua golongan berdasarkan pemilikan mereka atas
alat-alat produksi. Kesadaran kelas menggantikan kesadaran status. Perubahan sosial
terjadi ketika masing-masing anggota masyarakat memasuki pasar dengan hubungan
22
Karl Polanyi, The Great Transformation: The Political and Economic Origin of Our Time (Boston: Beacon
Press, 1957).
23
Politik ekonomi yang bertumpu pada pelindungan kemampuan berproduksi suatu Negara dengan cara
membebani pajak yang sangat tinggi terhadap barang-barang dari luar negeri. Pembebanan pajak yang tinggi
terhadap barang dari luar negeri membuat barang buatan dalam negeri laku di negeri sendiri.
24
Faham yang mendukung pelarangan camputangan pemerintah dalam masalah ekonomi.
25
Tata dunia di mana harga-harga ditentukan dengan adil karena permintaan dan penawaran pelaku
ekonomi.
26
Kebebasan individu.
27
Istilah untuk orang-orang yang menyepakati pemerintah untuk ikut campur dalam masalah penentuan
harga-harga barang.
Dampak Transformasi
Jika di atas kita telah melihat akibat langsung dari kekuatan pasar maupun anti-
pasar pada kelangsungan nilai-nilai, perlu pula kita amati gejala-gejala yang timbul
sebagai akibat dari transformasi (perubahan) sosial, ekonomi dan budaya dari
kekuatan pasar. Kita akan menunjuk beberapa saja: industrialisasi, urbanisasi
(perpindahan masyarakat desa ke kota), masyarakat organisasional. Masing-masing
gejala itu tidak selalu mempunyai hubungan langsung dengan pembentukan
masyarakat pasar, tetapi setidaknya merupakan akibat logis dan masyarakat pasar.
Semuanya adalah sebab dari proses dehumanisasi (pembinatangan manusia) masa
kini.
Industrialisasi bisa terjadi baik lewat kekuatan pasar kapitalistis maupun lewat
kekuatan aparat Negara komunis. Berger mengatakan bahwa “lokal” sekularisasi yang
asli ialah pada bidang ekonomi, terutama ekonomi yang dibentuk oleh proses
kapitalistis dan industri. Dari tempat yang asli ini, sekularisasi dapat menembus
sektor-sektor lain. sektor yang paling sekuler ialah yang terdekat dengan proses
industrialisasi. Masyarakat industri modern telah melahirkan sektor pusat sekularisasi,
“wilayah yang telah dibebaskan” dari agama. 29 Selanjutnya Lenski berpendapat bahwa
kalau dalam masyarakat agraris (pertanian), kekuatan yang memberituk nasib manusia
biasanya dipikirkan dengan ciri-ciri personal, dan agama yang dominan bercorak theistic
(berkeTuhanan), maka dalam masyarakat industrial agama-agama baru (berkeTuanan)
yang memahami kekuatan-kekuatan itu sebagai impersonal telah berkembang. Agama
baru yang berkembang itu dapat bersifat persuasif seperti dalam Humanisme (agama
28
Peter L. Berger, The Sacred Canopy: Elements of Sociological Theory of Religion (Garden City, NY:
Doubleday & Company, Inc, 1969), p. 138.
29
Ibid., p. 129.
yang tuhannya adalah manusia itu sendiri), atau bercorak koersif, seperti pada
komunisme. Aliansi (persatuan) antara agama dan negara jarang sekali terjadi dalam
masyarakat industri.30 Oleh karena industrialisasi adalah penerapan secara rasional ilmu
pengetahuan dalam produksi, maka proses rasionalisasi kemudian juga menurunkan
status agama sebagai petunjuk yang benar tentang realitas. Dengan adanya realitas baru
buatan manusia yang artifisial (alam serba buatan manusia: TV, Dunia Fantasi, Internet,
Lingkungan Pabrik), rujukan agama yang selalu menunjuk kepada realitas pertama dan
kedua, yaitu Tuhan dan alam semesta, tidak lagi mempunyai daya panggil yang kuat.
Dengan tumbuhnya kota. Kota-kota telah mengubah lingkungan komunal (tempat
guyub) desa menjadi lingkungan individualistis (lingkungan pa-aing-aing). Di sini
kelangsungan hidup perseorangan merupakan tanda tanya terbesar, sehingga pekerjaan
menjadi motif (pendorong) utama orang untuk tinggal. Orang tidak lagi menyatakan,
“Saya hidup di kota”, tetapi “Saya tinggal di kota.” Di kota, lingkungan tidak dipandang
sebagai tempat untuk bermasyarakat, tetapi semata-mata sebagai tempat bekerja. Manusia
kota telah kehilangan keinginan untuk hidup bermasyarakat (the desire for community),
keinginan untuk bertanggungjawab (the desire for engagement), dan keinginan untuk saling
bergantung (the desire for dependence) –demikian Phillip Slater dalam The Pursuit of
Loneliness.31 Individualisme (sikap pa-aing-aing) di kota-kota besar telah juga
menghilangkan kohesi (kemesraan) sosial, sekalipun solidaritas baru dalam asosiasi-
asosiasi (perhimpunan-perhimpunan) dapat menggantikan kohesi itu. Namun organisasi
sosial kota tidak lagi memungkinkan strukturisasi keagamaan (masuknya nilai-nilai
agama) yang longgar seperti di pedesaan. Orang hanya bisa diikat dengan adanya
lembaga-lembaga, yang bagi agama dapat menyebabkan overorganized (terlalu ketat) di
satu sektor dan dapat underorganized (terlalu longgar) di lain sektor bagi agarna itu sendiri.
Meskipun demikian, agama dapat memberikan kembali perasaan komunitas, keterlibatan,
dan ketergantungan yang membuat orang merasa mempunyai dan dipunyai kembali.
Lagi, dalam hubungannya dengan pertumbuhan, organisasi-organisasi sosial
cenderung menjadi birokrasi dengan penerapan kebijakan yang memerlukan ketepatan,
kecepatan, pengetahuan, kelestarian, subordinasi yang keras, dan kepastian dengan
sebanyak mungkin mengurangi harga material dan personal –pendek kata suatu model
administrasi birokratis (penuh aturan). Sistem bigorganization akan menyingkirkan jauh-
jauh urusan-urusan cinta, dendam, dan segalanya yang bersifat personal, irasional, dan
elemen-elemen emosional yang lain. Situasi birokratis membentuk kepribadian anggota-
anggotanya supaya mereka dapat menyesuaikan diri dengan permintaan-permintaan
masyarakat organisasional. Ada setidaknya tiga macam tipe kepribadian: yang
mengalami mobilitas (perpindahan) ke atas (upwardmobile), yaitu yang sanggup
mengangkat dirinya ke jenjang atas dan berhasil; yang kecewa (indifferents), yaitu
mayoritas yang melihat pekerjaannya hanya sebagai alat mencari kepuasan di luar kerja;
dan yang kebingungan, yaitu minoritas (sebagian kecil) yang tidak dapat melepaskan
tuntutan mereka akan status dan kekuasaan, tetapi juga tidak mempunyai peranan yang
memungkinkan mereka mendapatkan status dan kekuasaan itu.32
30
Gerhard Lenski, Power and Privilege: A Theory of Social Stratification (New York: McGraw-Hill Book
Company, 1966), p. 306.
31
Philip Slater, The Pursuit of Loneliness: American Culture at the Breaking Point (Boston: Beacon Press,
1971).
32
Robert Presthus, The Organizational Society: An Analysis and a Theory (New York: Vintage Book, 1962), pp.
15-16.
Ciri yang paling utama masyarakat pasar tentu saja ialah kapitalisme. Karena
rupanya kecenderungan keras pembangunan di tanah air akan mengambil banyak
model kapitalisme –seperti nampak dalam konsepsi tentang take-off (istilah era lepas
landas) dari W.W. Rostow, misalnya – maka perlu kita melihat bagaimana
kemungkinan-kemungkinan ketegangan budaya akan terjadi, atau sedang terjadi tetapi
kita luput mengamati. Saya akan menyampaikan pemikiran dan kritik-kritik dari Erich
Fromm yang melihat dari segi psikologi.
Fromm yang meragukan bahwa manusia modern adalah manusia yang sejahtera
jiwanya, menunjukkan beberapa ciri masyarakat abad ke-20 yang ditandai oleh
kapitalisme, masyarakat yang akuisitif (acquisitive society), yang selalu minta lebih
banyak lagi (tak pernah puas dengan apa yang ada). Karakter sosial yang sesuai
dengan kapitalisme sekarang ini ialah orang yang dapat bekerja sama baik dengan
kelompok yang besar, yang selalu ingin mengkonsumsikan lebih banyak, dan yang
seleranya distandardisir (di-reken) sehingga dapat dengan mudah dipengaruhi dan
diduga. Kapitalisme perlu orang yang bebas, yang tidak dipengaruhi oleh sesuatu
otoritas, akidah, atau kesadaran –tetapi yang dapat diperintah untuk mengerjakan apa
yang diharapkan supaya sesuai dengan mesin sosial tanpa mengganggu stabilitas.
Selanjutnya Fromm menunjukkan bahwa ciri manusia modern ialah orang yang
mengalami keterasingan (alienation). Penyebab keterasingan ini melekat pada sifat
ekonomis kapitalis, yaitu dalam proses kuantifikasi (peng-angka-an) dan abstraksi
(dikhayalkan). Berbeda dengan para pedagang dan tukang di masa pra-kapitalis, para
pengusaha modern selalu menghadapi jumlah yang besar, langganan, buruh, modal,
keuntungan, balance, semuanya berupa angka-angka kuantitatif (dalam laporan-
laporan akuntansi misalnya). Demikian juga sebagai akibat dari kuantifikasi, para
pengusaha sebenamya menghadapi segalanya yang serba abstrak (tidak nyata), tidak
lagi konkrit. Transformasi dari yang konkrit ke yang abstrak terjadi karena untuk
menghadapi langganan, buruh, pemegang saham, dan keuangan; tidak menghadapi
orang, tetapi menghadapi sejumlah kalkulasi (akuntansi). Segala sesuatu harus
diramalkan, dihitung, kecendrungan-kecenderungan diantisipasikan, dan akhirnya
keputusan diambil. Dengan kebiasaan berabstraksi ini, manusia modern telah terbiasa
meninggalkan rujukan-rujukan yang konkrit dalam proses kehidupan. Dimensi-
dimensi manusiawi mulai musnah, dan semakin jauh manusia meninggalkan hidup
yang konkrit.
Dengan latar belakang ini timbullah keterasingan itu. Keterasingan didefinisikan
oleh Fromm sebagai “bentuk pengalaman ketika orang mengalami dirinya sendiri
sebagai orang asing. Orang telah menjadi asing dengan dirinya sendiri. Ia tidak
menganggap dirinya sebagai pusat dari dunia, sebagai pelaku dari perbuatan-
perbuatannya sendiri. Perbuatan dan akibat-akibatnya telah menjadi tuannya, yang
ditaati, dan yang barangkali disembah. Keterasingan ini menyangkut hubungan orang
dengan kerjanya, dengan benda-benda yang dikonsumsikan, dengan negara, dengan
sesama manusia, dan dengan dirinya sendiri”. 33 Dengan kata lain, sesuai dengan
semboyan masa kini, manusia modern yang demikian tidak dapat menjadi manusia
yang utuh.
33
Erich Fromm, The Sane Society (New York: Fawcett Publication, Inc., 1966), pp. 76-136.
34
Roland Robertson, Meaning and Change Exploration in the Cultural Sociology of Modern Societies (New
York: New York University Press, 1987), p. 130.
35
Pola akhlaq.
36
Proses merasionalkan (membuat menjadi masuk akal).
Mekah pada zaman Nabi adalah sebuah market town (kota pasar) bagi suku-suku
Arab. Perdagangan di kota itu hanya dapat dijamin jika keamanan terjamin, dan untuk
menjamin keamanan dan perdamaian dalam perdagangan diciptakanlah daerah-daerah
damai yang dijaga oleh berhala-berhala yang dipertuhankan. Islam muncul sebagai
antitesa (perlawanan) dari kota dagang itu. Kota yang dipersatukan oleh kekuatan
pasar itu mendapat tantangan dari kekuatan baru yang dipersatukan oleh kekuatan
masjid. Tidak ragu lagi, saya yakin bahwa Nabi melihat penyebab dari
kemusyrikan pada waktu itu ialah kekuatan pasar . Ketika pada akhimya kekuatan
masjid berhadapan dengan kekuatan pasar, maka titik strategisnya ialah penghancuran
berhala yang menjadi perwujudan konseptual bagi kepentingan pasar dan menjadi alat
legitimasi (pengesahan) kepentingan ekonomi. Dalam hal berpikir dialektik kiranya
Nabi belasan abad lebih dahulu dari Hegel, yang melihat ide sebagai kekuatan sejarah.
Juga Nabi belasan abad lebih dahulu dari Marx, yang melihat bahwa kepentingan
ekonomi adalah penggerak sejarah.
Dengan berpikir dialektik kita akan menjadi dinamis, bukankah “amar ma'ruf
nahi munkar” adalah suatu ajaran filsafat perbuatan yang dialetik dan revolusioner.
Demikianlah Islam dapat meletakkan diri sebagai sebuah antitesa bagi kapitalisme dan
dunia modern. Kita dapat mendudukkan Etika Islam sebagai sebuah counterrevolution
(kontrarevolusi) terhadap dunia modern, sebagaimana Nabi dahulu meng alami Islam
sebagai counter-revolution bagi dunia Arab. Dengan membaca Ibn Khaldun kita tahu
tentang kaitan kota dagang di tengah padang pasir pada waktu itu. Kita pun dapat
mengidentifikasikan komponen sosial budaya masyarakat kapitalisme masa kini.
Suku-suku Arab sekarang ini telah menjelma menjadi big corporation (perusahaan
besar) dan multinational corporation (perusahaan multinasional), kepala-kepala suku
adalah bankir-bankir dan pengusaha besar, dan berhala-berhala adalah teori
ekonomi kapitalis. Tentu saja untuk menghadapkan masjid sebagai antitesa bagi
pasar memerlukan keberanian intelektual. Cara berpikir umat Islam sekarang ini
nampaknya masih diliputi alam pikiran agraris dan pra-kapitalistik, demikian juga
etika Islam masih diliputi suasana agraris-pra-kapitalistik. Tentu saja pembaharuan
pemikiran juga akan mendapatkan reaksi dari umat Islam sendiri, yang karena
cultural lag-nya (kelelahan budaya) dapat bersikap konservatif.
Sekarang kita berbicara tentang perangkat budaya yang lebih lunak, yaitu bidang
makna. Tonybee yang mengagumi budaya India mengatakan bahwa sumbangan India
yang terbesar pada zaman atom sekarang ini ialah agamanya. 37 Tonybee seolah
menganggap bahwa agama samawi tidak lagi memberi harapan dalam dunia masa
kini. Tetapi Robertson, dalam tradisi Weber, masih menaruh harapan dengan ascetic-
mysticism di dunia Barat, karena dengan kombinasi antara asketisisme (kezuhudan)
dan mistisisme (kesatuan pandangan duniawi-ukhrowi) akan ada konsistensi
situasional antara tuntutan pelaku untuk berbuat sesuai dengan permintaan masyarakat
di satu pihak, dan berbuat sesuai dengan kebutuhan pribadi di lain pihak. Ascetic-
mysticism adalah sikap aktif dan positif. Juga dikatakannya bahwa pada saat derasnya
institusionalisasi kehidupan secara massal sekarang ini, mistisisme menjadi produk
37
Arnold Tonybee, “Preface”, dalam John Colgy, Religion in a Secular Age: The Search for Final Meaning
(1968), p. xx.
yang patut dikonsumsikan. 38 Agama yang demikian akan memberikan kembali makna
di tengah-tengah masyarakat industrial, urban, dan terorganisir.
Sebagai pemikir dari tradisi pemikiran Barat, Robertson hanya sampai kepada
makna eksistensial (makna keberadaan nilai) dari agama, dan tidak meng-
hubungkannya dengan dimensi structural (kekuatan riel pengubah keadaan). Perbuatan
keagamaan akan memberi makna kembali kepada kekhawatiran eksistensial
(keberadaan) manusia seperti perasaan-tidak-bermakna dan kesendirian. 39 Nampaknya
untuk menjawab tantangan semacam ini, usaha dari dunia Islam banyak ditujukan
kepada pengenalan kembali tradisi sufisme dalam Islam, seperti penerbitan buku
Seyyed Hossein Nasr, The Plight of Modern Man, yang sudah diterjemahkan ke
Bahasa Indonesia. 40 Untuk masyarakat Indonesia sendiri rupa-rupanya kecenderungan
menerima kembali sufisme sudah mulai nampak di lingkungan golongan elite
masyarakat kita –baik secara individual ataupun kelompok.
Di sini perlu dicatat pikiran sosiologis Peter L. Berger tentang hubungan antara
agama dan keterasingan. Agama yang dalam masyarakat berfungsi sebagai pembentuk
dunia (world-construction) dan pelestari dunia (world-maintenance) juga dapat
menyebabkan orang menjadi terasing, karena untuk membentuk dan melestari kan,
agama mempunyai daya mengasingkan dan meniadakan pengasingan itu. Hal ini
terjadi karena dalam semua manifestasinya, agama merupakan proyeksi (perwujudan)
makna kemanusiaan ke dalam keluasan semesta yang kosong –sebuah proyeksi yang
akan kembali sebagai realitas asing yang memburu para penciptanya. 41 Dengan menolak
atheisme mitologis Berger, kita dapat memahami mengapa agama dapat muncul sebagai
sesuatu yang asing. Demikian juga wujud-wujud religio-kultural (agama budaya) dapat
menjadi sesuatu yang asing. Namun suatu sistem budaya memang mempunyai sifat
mengasingkan, suatu bentuk keterasingan. Bagi Robertson, budaya perlu otonom
(mandiri), lepas dari kehidupan sosial dan pengalaman eksistensial pribadi, supaya ada
perbedan antara yang ideal dan yang aktual. Otonomisasi budaya merupakan langkah
pertama menuju ke pemahaman bahwa segala yang serba transenden harus dicapai oleh
manusia.42 Dengan catatan ini, saya bermaksud untuk memberi dorongan dan penekanan
bahwa keterpautan eksistensial (keberadaan) agama dalam kehidupan modern tidak selalu
berarti modernisasi barangkali timbul dari pemikiran agama –suatu kesan dialektis di
atas.
Kembali kepada tema dialektika majid-pasar, kiranya gambaran mengenai dunia
modern yang akan dituju melalui pembangunan sudah mulai jelas titik-titiknya.
Sekalipun kebanyakan pembicaraan ini lebih bersifat teoritis daripada empiris (praktek
lapangan), lebih abstrak daripada konkrit, saya percaya maksud uraian ini cukup jelas.
Masjid mempunyai kemampuan untuk mentransformasikan kembali manusia;
pembangunan kita sekarang ini harus lebih berorientasi kepada masjid daripada kepada
pasar. Untuk menutup uraian ini saya cuplikkan sebuah ilustrasi tentang skeptisisme
(keraguan) para ulama terhadap mekanisme pasar:
38
Robertson, Meaning and Change, pp. 133-134.
39
Ibid., p. 236.
40
Seyyed Hossein Nasr, Islam dan Nestapa Manusia Modern (Bandung: Penerbit Pustaka, 1983).
41
Berger, The Sacred Canopy, p. 100.
42
Robertson, Meaning and Change, p. 138.
Suatu pagi Mullah Nasreddin sedang berjalan-jalan di pasar ketika ia melihat orang-
orang berkerumun dengan gairah mengelilingi seorang pedagang yang sedang
menawarkan seekor burung. “Sepuluh Dinar”, “Dua puluh”, “Lima puluh”. Orang-orang
itu bersahutan. Dengan keheranan sang Mullah ikut merubung. Akhimya ia tahu bahwa
hari itu sebangsa unggas mempunyai pasaran yang baik. Buru-buru dia pulang dan
kembali dengan seekor kalkun yang gemuk untuk dijual. Orang-orang memang
mengerumuninya, tetapi tawaran tidak ada yang lebih dari lima dinar. Walhasil ia
berontak: “Unggas sebesar ini hanya lima dinar, uh”. Seorang yang berkerumun
menyahut cepat, “lya, karena itulah harganya”. Mullah memprotes, “Tetapi kalian baru
saja membeli seekor unggas dengan lima puluh dinar”. Mullah pun terdiam. Tetapi
sebentar kemudian ia mengangkat bicara, sambil menunjuk pada unggasnya yang tenang
dengan bulu-bulu yang halus dan mata mebelalak, “Betul. Unggas saya memang bukan
sebangsa tukang ngomong. Dia pemikir”. Dan dia pun menyelonong pergi.43
43
Disadur dari Massud Farzan, Another Way of Laughter: A Collection of Sufi Hummor (New York: E.P.
Dutton and Co., Inc., 1973).