Anda di halaman 1dari 13

MASJID ATAU PASAR:

Akar Ketegangan Budaya di Masa


Pembangunan®

ADA sebuah Hadits Nabi yang barangkali banyak mengundang pemikiran tentang
relevansinya dengan masa kini. “Sebaik-baik tempat ialah masjid-masjid, dan sejelek-
jelek tempat ialah pasar”, demikian kata Nabi. Di sini dengan jelas dipertentangkan
antara masjid dan pasar. Padahal Nabi sendiri dalam sebuah Hadits yang lain memuji
jual-beli yang jujur dan baik (dan penghasilan dari hasil tangan sendiri) sebagai mata
pencaharian yang utama. Jika perdagangan dan industri merupakan pekerjaan yang
dimuliakan, dalam kedudukan apa “pasar” itu menjadi “tempat yang se jelek-
jeleknya”?
Rupanya Nabi berpikir secara dialektik 1. Masjid adalah simbol dari agama dan
pasar dari kepentingan ekonomi. Masing-masing dapat menjadi kekuatan sejarah yang
mengubah dunia. Transformative capacity (daya rubah) dari agama Islam sudah
menjadi jelas dalam buku-buku sejarah Islam, baik sebagai kekuatan sosial, politik,
maupun budaya. Kreativitas sejarah yang mula-mula muncul sebagai kekuatan
spiritual (iman) telah mampu memobilisasikan umat Islam dalam perjalanan sejarah
yang panjang dari zaman kekhalifahan, kerajaan-kerajaan, dan perlawanan terhadap
penetrasi imperialisme (masuknya penjajahan), sehingga sebuah peradaban baru
muncul dalam arena sejarah. Islam yang oleh Toynbee 2 dimasukkan dalam tradisi
Judeo Christian (budaya agama samawi) itu telah menembus lebih jauh dari jangkauan
dunia Barat, sampai di India, Tiongkok, dan Indonesia yang dalam sejarah dikenal
dengan Dunia Timur dan per -adaban Timur. Dalam keadaannya yang sekarang,
peradaban Islam menjelma ke dalam setidaknya lima zone budaya: Arab, Iran, Turki,
Melayu, dan Afrika Hitam. 3 Kepada lima zone itu masih dapat ditambahkan daerah-
daerah mualaf di Eropa, Amerika, dan Asia lainnya.
Namun pertanyaan yang mendasar terhadap Islam telah dilancarkan oleh penulis
Marxis (pendukung Marxisme 4) seperti Maxime Rodinson yang meragukan keunikan
Islam sebagai dunia yang tersendiri dalam sejarah. Islam juga akan terkena hukum
®
Makalah dalam Seminar KPFI IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 17-19 Oktober 2003.
Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat-edisi paripurna, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006, hal. 131.
Dimodifikasi sedikit oleh Abuya.
1
Model berpikir yang menyatukan dua titik ekstrim untuk menemukan titik tengah yang seimbang.
2
Pengamat Islam berkebangsaan Inggris.
3
Untuk pembicaraan singkat mengenai zone-zone budaya Islam lihat, Sayyed Hossein Nasr, “Islam in the
World: Cultural Diversity within Spiritual Unity”, dalam penerbitan UNESCO, Islam: The Perenniality of Values
(Paris: The Unesco Press and la Baconniere, 1977), pp. 15-33.
4
Isme yang menjadi cikal bakal komunisme.
Masjid atau Pasar: Akar Ketegangan Budaya di Masa Pembangunan

umum yang melihat seluruh manusia, yaitu adanya pertentangan-pertentangan –antara


kelas sosial, antara bangsa. Di Siria, Rodinson memberi contoh, petani petani miskin
dari Horns dan Hamah yang juga merupakan muslim yang baik, maju ke muka untuk
membela dengan kekuatan sebuah rezim yang dikuasai partai yang sekuler dan
didirikan oleh seorang Kristen Arab. Mereka melindungi rezim itu dari serangan-
serangan kaum pedagang dan tukang-tukang di kota yang didukung oleh para ulama.
Khotbah-khotbah para ulama hanya mempunyai pengaruh yang tidak berarti terhadap
mereka yang miskin dibandingkan dengan perbuatan-perbuatan nyata dari Partai
Baath yang memerintah. 5 Dengan kata lain, rupa-rupanya Islam tidak banyak
mempunyai sumbangan terhadap proses kehidupan ekonomi masa kini. Kekuatan
mengubah dari Islam, tidak menjamah sektor kehidupan ini. Apakah ini berarti bahwa
bahkan umat Islam telah lebih banyak dikuasai oleh pasar daripada oleh masjid?
Situasi pasar (keadaan ekonomi) seseorang lebih menentukan daripada panggilan
agamanya. Pasar berada di atas masjid?
Apakah hal ini terjadi karena Islam tidak mempunyai hubungan dengan sebuah
mode of production (cara berekonomi) tertentu? Kalau benar bahwa Islam memang
mempunyai pilihan (cara berekonomi) tertentu, bagaimana pilihan itu akan menjadi
suatu aktualitas (kenyataan) sejarah? Ada banyak contoh menandakan bahwa para
pemikir Islam masa kini cenderung untuk mencari penafsiran yang otentik dari ajaran-
ajaran Islam yang kurang lebih berada di perbatasan antara sosialisme 6 dan
kapitalisme7. Sementara Islam mengecam keras pembentukan kelas-kelas ekonomi
yang antagonistis (mustadh’afin Versus Mustakbirin) dan penumpukan kekayaan oleh
sekelompok masyarakat, Islam juga mendukung tanpa ragu-ragu konsep kekayaan
pribadi (memperbolehkan hak milik pribadi). 8 Islam melawan baik Marxisme maupun
kapitalisme. Kiranya belum ada sebuah studi yang mendalam mengenai hubungan
antara Islam dan perkembangan ekonomi, kecuali sedikit dari Max Weber yang agak
berbau ethnocentrism (ta’ashub) dan Maxime Rodinson yang mempunyai analisa
Marxis.
Menarik untuk dibicarakan adalah pandangan Max Weber tentang Islam. Dalam
studinya yang lain, yang menjadikan tesisnya (pendapatnya) sangat terkenal dan
mendapat banyak tanggapan, The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism 9,
Weber menyebutkan bahwa untuk mencapai rasionalisme ekonomi kapitalis ada
prasyarat institusional (kelembagaan) yang harus dipenuhi. Syarat bagi kapitalisme itu
5
Maxime Rodinson, Islam and Capitalism (New York: Penguin Books, 1980), p. 227.
6
Pemikiran tentang pengaturan ekonomi masyarakat dalam Negara yang mengakibatkan kelesuan ekonomi,
karena masyarakat menjadi tidak kreatif. Ketidak-kreatif-an itu akibat dari tidak boleh adanya hak kepemilikan
pribadi, semua alat produksi dikuasai oleh Negara. Negara memberikan gaji pada semua warga negara, warga
negara tahunya beres.
7
Pemikiran tentang pengaturan ekonomi masyarakat dalam Negara yang mengakibatkan penumpukan
kekayaan pada pihak-pihak tertentu saja. Faham ini yang sekarang menjadi dasar pemikiran pengaturan ekonomi
Republik Indonesia Serikat. Pemikiran tentang ekonomi berdasar pada asumsi bahwa harga suatu barang
dagangan akan ditentukan dengan sendirinya oleh perbandingan jumlah permintaan dan penawaran, semakin
banyak permintaan tanpa penambahan jumlah penawaran barang maka harga akan naik, begitu sebaliknya.
Pendapat ini lemah, karena di pasar ternyata ada pedagang yang suka menimbun barang, bila barang ditimbun
pastinya akan terjadi pengurangan penawaran yang artinya kenaikan harga. Oleh karena itu pemerintah
seharusnya campur tangan dalam masalah penentuan harga barang dagangan, dengan memastikan harga pada
tingkat yang wajar serta menindak para pelaku penimbunan barang.
8
Pokok-pokok pikiran mengenai Islam dan sosialisme dapat dilihat dalam John H. Donohue dan John L.
Esposito, Islam in Transition: Muslim Perspective (New York: Oxford University Press, 1982), pp. 98-139.
9
Judul buku Tulisan Max Weber.

Makalah/Training Islam Intensif/ empiris-homepage.blogspot.com -114-


Masjid atau Pasar: Akar Ketegangan Budaya di Masa Pembangunan

terdapat dalam etika Protestan dengan apa yang disebutnya inner worldly asceticism 10.
Dalam dunia yang didominasi oleh Budaya Islam tidak terdapat prasyarat semacam
itu. Hukum yang rasional dan formal (resmi), kota-kota yang otonom, kelas menengah
kota yang merdeka, dan stabilitas politik, tidak ditemukan Weber dalam dunia Islam.
Weber melihat bahwa “etika prajurit” dan dominasi patrimonial (pengaruh budaya
waris mewarisi) dari para sultan dan khalifah menghambat munculnya kapitalisme yang
rasional. Dominasi patrimonial membuat hubungan ekonomi, politik, dan hukum tidak
stabil dan penuh kesewenangan, atau irrasional 11, dalam pengertian Weber. 12
Meskipun analisis dan tesis Weber sudah banyak mendapat kritik, 13 namun gema
Weber banyak muncul dalam studi mengenai Islam di Indonesia. Pada umumnya, para
pengamat mencoba menghubungkan gerakan reformasi Islam, seperti dalam Masyumi
dan Muhammadiyah, dengan gerakan Protestantism di Eropa, karena reformasi lahir
dari para pedagang, kelas menengah kota. Etika para pendukung reformasi Islam rupa-
rupanya mendukung perkembangan kapitalisme di lingkungan orang Indonesia.
Menurut Clifford Geertz, para pengusaha dan Reformasi Muslim mempunyai semangat
entrepreneurship (wirausaha) seperti kaum Puritan (pemurni agama) pada permulaan
kapitalisme.14 Sekalipun pendapat Geertz dibuktikan tidak selalu benar adanya, seperti
studi Lance Castle mengenai para pengusaha sigaret di Kudus, 15 tetapi setidaknya
membuat para ilmuwan pada umumnya dan pemikir Muslim tergugah untuk
merenungkan kembali permasalahan teologi (aqidah) ekonomi dalam Islam.
Terlepas dari persoalan apakah sebuah pemikiran intelektual mempunyai pengaruh
terhadap masyarakat, usaha-usaha semacam ini periu digiatkan supaya Islam
menyentuh semua permasalahan manusia modern. Barangkali saja sebuah pemikiran
ekonomi tidak akan segera mempengaruhi kehidupan ekonomi secara struktural
(seperti dibukanya Bank Islam) atau perilaku ekonorni secara substantif bagi
perorangan dan umat. Namun setidaknya, gerakan semacam ini akan menunjukkan
kembali relevansi (kesesuaian) Islam dalam dunia modern -jika kita dapat menyebut
perjuangan umat Islam sebagai perjuangan untuk relevansi. Dunia yang selalu berubah
sesungguhnya memberi tantangan baru setiap hari. Sejak Revolusi lndustri 16 perubahan
terjadi dengan cara lebih cepat dari abad-abad sebelumnya, menuju kutub yang belum
tentu tempatnya. Dengan kesetiaan yang kreatif -meminjam Gabriel Marcel- kepada
nilai-nilai Islam, dapatkah sebuah budaya baru yang menemukan tempat dalam konteks
(ruang waktu) pembangunan, perkembangan, dan perubahan masa kini dikembangkan
di lingkungan umat Islam?
Bagaimana kita sekaligus menggabungkan pembentukan baru secara kreatif dan
sekaligus melibatkan diri dalam Yang Mutlak (Alloh)? Untuk ini Paul Tillich

10
Kezuhudan berusaha dalam perekonomian.
11
Tidak logis, tidak berdasar pemikiran yang jernih.
12
Lihat Bryan S. Turner, Weber and Islam: A Critical Study (London: Routledge & Kegan Paul, 1974), p. 15.
13
Banyaknya kritik tetah dilontarkan terhadap tulisan Weber, di antaranya ialah Kurt Samuelson, Religion and
Economic Action: A Critique of Max Weber (New York: Harper Toorchbooks, 1964).
14
Lihat Clifford Geeriz, Peddlers and Economic Change in Two Indonesian Chicago Press, 1971), p. 49.
15
Lance Castle, Tingkah Laku Agama, Politik dan Ekonomi di Jawa: Industri Rokok Kudus (Jakarta: Penerbit
Sinar Harapan, 1982).
16
Perubahan besar-besaran dalam cara berekonomi di Inggris, terjadi pada sekitar awal 1800an. Produksi
pakaian, sepatu, perkakas yang tadinya diproduksi oleh para pengrajin, jadi dibuat di pabrik-pabrik dengan
menggunakan mesin.

Makalah/Training Islam Intensif/ empiris-homepage.blogspot.com -115-


Masjid atau Pasar: Akar Ketegangan Budaya di Masa Pembangunan

mengemukakan konsepnya tentang theonomy17. Theonomy adalah sikap yang


menekankan bahwa “bentuk-bentuk yang otonom dipadukan dengan nilai
transendental18 yang mendukung dan menguak melalui mereka.” Supaya sikap ini bukan
semata-mata sebuah abstraksi (ada di dunia khayal), tetapi jelas mempunyai relevansi
eksistensial (membumi), Tillich menyarankan untuk memadukan yang serba universal
(umum) dengan tuntutan-tuntutan situasi yang khusus. Tillich memberi istilah,
perpaduan antara Logos dan Kairos. 19 Karena sebuah sistem budaya, tempat yang serba
universal bertemu dengan yang serba khusus, selalu memerlukan sebuah lingkaran
makna yang mempersatukan simbol-simbolnya (Weber, Sinnzusamenhang) kita dapat
menunjuk kembali dua simbol kutub budaya sebagaimana dikemukakan oleh Nabi.
Masjid adalah lingkaran makna yang akan mempersatukan konfigurasi budaya umat
Islam, mempersatukan aspek-aspek budaya menjadi satuan yang koheren (lekat satu sama
lain). Budaya sebagai sebuah “sistem ide dan nilai yang dikaitkan bersama secara logis,” 20
haruslah mempunyai mekanisme integrasi (cara penyatuan) yang membuat baik
keseluruhan maupun aspek-aspeknya menjadi satuan yang integral (padu). Jika masjid
ditunjuk sebagai sebuah tema yang mempersatukan, maksudnya tentu saja Nabi ingin
dengan jelas mengatakan dengan lambang yang konkrit, eksistensial, dan sekaligus
struktural, tidak hanya esensi dan abstraksi. Demikian juga lambang pasar terasa lebih
empiris (ada terlihat), dan menunjuk pada kekuatan sejarah yang nyata, yang
menggerakkan dunia modern.
Oleh karena kedudukan masjid sebagai pusat budaya dan kehidupan umat Islam
sudah banyak dibahas dalam literatur keislaman, maka tekanan pembahasan di sini ialah
permasalahan pasar. Dan karena pasar sebagai gejala modern bermula dari sejarah Eropa,
maka pembahasan mengenai kekuatan pasar akan lebih banyak menggunakan contoh-
contoh dari dunia Barat. Jika kita, seperti juga Daniel Lemer dalam The Passing of
Traditional Society, berasumsi bahwa modernisasi adalah gejala global yang bukan
saja terjadi di dunia Barat, tetapi juga di dunia Timur, 21 maka kekuatan pasar yang telah
membawa Eropa ke dunia modern juga membawa hal yang sama di dunia Timur. Iagi
pula kedatangan bangsa-bangsa Barat di dunia Timur telah membawa petubahan-
perubahan besar dalam sejarah, sehingga dunia menjadi sebuah satuan sejarah dengan
titik pusatnya berada di dunia Barat dan lingkaran pinggir di dunia Timur. Setidaknya
demikianlah yang terjadi pada masa kini.

Kecenderungan Pertumbuhan Ekonomi Modern


Tumbuhnya pasar-pasar yang terpisah menjadi sebuah ekonomi pasar, dan pasar
yang diatur menjadi pasar yang mengatur diri sendiri merupakan gejala penting dari
sejarah ekonomi modern. Masyarakat ekonomi sekarang tidak bisa dibayangkan tanpa

17
Ekonomi berkeTuhanan.
18
Ukhrowi.
19
James Luther Adams, Paul Tillich's Philosophy of Culture, Science & Religion (New York: Schocken Books,
1970), pp. 54-55.
20
James L. Peacock dan A. Thomas Kirsch, The Human Direction: An Evolutionary Approach to Social and
Cultural Anthropology (New York: Appleton-Century-Crofts, 1970), p. 26.
21
Daniel Lemer, The Passing of Traditional Society: Modernizing the Middle East (New York: The Free Press,
1965).

Makalah/Training Islam Intensif/ empiris-homepage.blogspot.com -116-


Masjid atau Pasar: Akar Ketegangan Budaya di Masa Pembangunan

ekonomi pasar, demikian juga ekonomi pasar hanya dapat berfungsi dalam sebuah
masyarakat pasar.22
Pasar telah dibebaskan dari sifatnya yang partikularistik (terpisah) oleh politik
ekonomi merkantilisme23 kerajaan-kerajaan nasional, tetapi tidak dari ikatan kekuatan
politik negara-negara itu. Hanya pada abad ke-l9-lah pasar mulai bebas dari kekuatan
politik, dan menjadi otonom (bebas). Dengan Revolusi Industri mulailah tercipta pasar
yang mengatur diri sendiri, dan yang mendominasi bukan saja kehidupan ekonomi tetapi
pada akhirnya juga kehidupan masyarakat. Unsur-unsur ekonomi mempunyai peranan
baru dan mempunyai konsekuensi (akibat) yang luas. Masuknya ekonomi pasar (ekonomi
yang ditentukan oleh permintaan dan penawaran pasar tanpa campurtangan pemerintah
dalam penentuan harga) menyebabkan terjadinya dikotomi (pemisahan) dalam
masyarakat. Pemisahan terjadi antara wilayah ekonomi dan wilayah politik, sekalipun
tidak dalam semua masyarakat dan setiap waktu. Akibat terpenting dari ekonomi pasar
ialah berkuasanya mekanisme pasar atau hukum pasar atas substansi-substansi (unsure-
unsur) masyarakat, termasuk manusianya. Sejarah menunjukkan bagaimana pada abad
ke-19 di Eropa terjadi dua gejala sekaligus, yaitu berubahnya organisasi masyarakat
sebagai akibat mekanisme pasar di satu pihak, dan perlawanan terhadap kekuatan pasar,
di lain pihak. Sejarah sosial di Inggris, misalnya, menunjukkan bagaimana pertumbuhan
lembaga-lembaga ekonomi diimbangi dengan pertumbuhan pembatasan hukum atas
merajalelanya kekuatan pasar.
Dengan demikian suatu pasar yang mengatur sendiri sebenarnya tidak pemah
menjadi kenyataan sepenuhnya. Cita-cita liberalisme ekonomi24 yang menjadi kaidah
sistem pasar selalu mendapatkan hambatan dari berbagai pihak. Cita-cita yang didasari
atas keyakinan kebebasan penuh sistem pasar, tanpa campur-tangan birokrasi itu, seolah-
olah memberi harapan besar bahwa pasar yang mengatur diri sendiri akan mampu
membangun tata dunia baru25, menjadi semacam utopia (impian yang takkan menjadi
kenyataan) pada akhimya. Utopia yang lahir dari kredo leissez faire26 tidak pemah
memenuhi janjinya. Liberalisme ekonomi yang mempercayai pasar yang mengatur diri
sendiri bahkan memilih jalan kolektif dengan adanya peraturan dan pembatasan-
pembatasan, justru supaya pasar bisa mengatur diri sendiri. Sekalipun demikian, kaum
liberal melihat dirinya dihambat oleh kaum proteksionis 27 yang merusak sistem pasar
sebagai mesin yang otomatis.
Gejala yang penting dalam pertumbuhan ekonomi dan masyarakat pasar ialah
terbentuknya kelas-kelas sosial yang saling bertentangan kepentingan. Marx dengan jelas
telah membagi masyarakat menjadi dua golongan berdasarkan pemilikan mereka atas
alat-alat produksi. Kesadaran kelas menggantikan kesadaran status. Perubahan sosial
terjadi ketika masing-masing anggota masyarakat memasuki pasar dengan hubungan
22
Karl Polanyi, The Great Transformation: The Political and Economic Origin of Our Time (Boston: Beacon
Press, 1957).
23
Politik ekonomi yang bertumpu pada pelindungan kemampuan berproduksi suatu Negara dengan cara
membebani pajak yang sangat tinggi terhadap barang-barang dari luar negeri. Pembebanan pajak yang tinggi
terhadap barang dari luar negeri membuat barang buatan dalam negeri laku di negeri sendiri.
24
Faham yang mendukung pelarangan camputangan pemerintah dalam masalah ekonomi.
25
Tata dunia di mana harga-harga ditentukan dengan adil karena permintaan dan penawaran pelaku
ekonomi.
26
Kebebasan individu.
27
Istilah untuk orang-orang yang menyepakati pemerintah untuk ikut campur dalam masalah penentuan
harga-harga barang.

Makalah/Training Islam Intensif/ empiris-homepage.blogspot.com -117-


Masjid atau Pasar: Akar Ketegangan Budaya di Masa Pembangunan

kontraktual (berdasarkan kontrak kerja). Ikatan-ikatan tradisional seperti keluarga,


tetangga, profesi, dan kepercayaan digantikan oleh ikatan rasional (ikatan berdasar
logika) berdasarkan kedudukan kontraktual masing-masing dengan lembaga-lembaga
ekonomi. Situasi pasar seseorang, menjadi cara untuk mengidentifikasikan diri. Situasi
pasar itu menentukan kelas sosial seseorang, sehingga masyarakat terbagi ke dalam kelas-
kelas sosial yang paling bertentangan kepentingannya. Dalam kehidupan sosial,
ketegangan kelas dapat memuncak menjadi konflik kelas. Pembenaran terhadap konflik
kelas sebagai satu-satunya jalan untuk memecahkan masalah-masalah sosial ekonomi
mendapat perumusan yang tajam dalam Marxisme. Sekaligus Marxisme merupakan
kritik yang paling keras terhadap ekonomi pasar, atau ekonomi kapitalis. Dalam sejarah
Marxisme, kesadaran kelas merupakan keharusan sejarah, demikian juga perjuangan
kelas. Kelas-kelas sosial menjadi kelas yang memperjuangkan eksistensi dirinya dengan
memusnahkan kelas yang memusuhi. Kelas sosial yang semula timbul karena pembagian
kerja masyarakat -kelas an sich- menjadi kelas fur sich yang melihat watak eksploitatif
(watak mencari untung untuk diri sendiri) dalam pembagian kelas sosial.
Dari sejarah Indonesia kita tahu bahwa baik masyarakat pasar maupun gerakan anti-
pasar telah masuk ke Indonesia. Pembentukan masyarakat pasar di sini dimulai pada abad
ke-19 dengan masuknya modal Barat. Sekalipun masyarakat memang terbagi dalam dua
macam sistem ekonomi, sebuah dualisme ekonomi sebagaimana ditemukan oleh J.H.
Boeke yaitu sektor ekonomi pra-kapitalis dan sektor kapitalis, tetapi pengaruh dari
kapitalisme terasa sampai ke seluruh sendi masyarakat. Laju pertumbuhan sektor
Kapitalis itu rneningkat dengan tercapainya kemerdekaan tanah air, dan semakin
meningkat lagi dengan adanya pembangunan ekonomi. Ditinggalkannya “ekonomi
terpimpin, dan meningkatnya peranan sektor swasta nasional maupun asing dalam
pembangunan telah membuka pintu lebar-lebar bagi perkembangan ekonomi pasar
kapitalisme. Indonesia menjadi daerah periferi (anak bawang) dari masyarakat pasar
dunia yang berpusat di dunia Barat. Indonesia juga menjadi masyarakat ekonomi atau
masyarakat pasar.
Pasar adalah kekuatan revolusioner dan proses pemasaran masyarakat mempunyai
akibat yang jauh bagi perkembangan sejarah. Pasar menuntut perilaku rasional (mesti
jelas untung ruginya) dalam menentukan pilihan-pilihan. Dari rasionalisasi yang dimulai
oleh pasar ini terjadilah rasionalisasi dalam nilai-nilai (nilai baik buruk pun dinilai oleh
untung rugi). Keraguan terjadi atas perilaku yang berdasar nilai (wertrationalitat)
menjadi pemujaan kepada perilaku yang berdasar perhitungan ekonomis
(zweckrationalital) - meminjam istilah Weber. Dalam kehidupan beragama, hal ini
dapat nampak dalam cara orang menentukan sikap keagamaan. Meskipun orang
barangkali tidak akan mudah berpindah agama atau mengalami deconversi
(berpindah) atau reconversi (berpindah lagi), tetapi mode of religiosity (cara
beragama) dapat terpengaruh. Cara beragama disesuaikan dengan situasi pasar juga.
Di sinilah munculnya ide-ide sekularisasi yang memisahkan agama dari struktur sosial
atau spatialisasi (pemisahan ruangan) yang menempatkan agama “di tempatnya”
sendiri. Agama dapat merupakan komoditi konsumen (barang dagangan) dan
lembaga-lembaga dakwah sebagai agen-agen pemasaran. Dalam keadaan ini,
demikian Berger mengatakan, agama yang semula disebarkan dengan cara otoritatif
(berdasarkan otoritas keilmuan) sekarang terpaksa harus dipasarkan. Situasi pasar
sebagai hasil logika ekonomi pasar juga mendefinisikan pilihan orang dalam

Makalah/Training Islam Intensif/ empiris-homepage.blogspot.com -118-


Masjid atau Pasar: Akar Ketegangan Budaya di Masa Pembangunan

beragama.28 Pahala-pahala politis, psikologis, sosial, atau ekonomis lebih menentukan


larisnya agama daripada kebenaran yang terkandung di dalamnya.
Kemudian mari kita lihat ujung yang lain, yaitu gerakan “anti-pasar”. Akar
ketidakpuasan mereka terhadap agama terletak dalam sangkaan bahwa agama adalah
pelindung bagi kelas yang berkuasa dan bagi kekayaan pribadi. Gerakan anti-pasar
yang berupa gerakan anti-agama bermula dari sejarah sosial-budaya Eropa yang
melihat hubungan yang dekat antara agama dan kekuasaan sejak Zaman Pertengahan.
Hampir semua lembaga sosial pra-kapitalis mempunyai sanksi-sanksi agama.
Konservatisme para petani di pedesaan yang kebanyakan adalah penganut agama yang
taat, baik di Barat maupun di Timur, merupakan hambatan yang sangat mempengaruhi
gerakan anti-pasar ini. Kita melihat bagaimana sebuah gerakan yang mendasarkan diri
pada perjuangan kelas tidak mendapat sambutan yang jelas ketika memerlukan benar
mobilisasi kekuatan politik-militer di tengah-tengah masyarakat petani tradisional
“pra-kapitalis”. Hanya di daerah-daerah yang penetrasi (merasuknya) kapitalisme
sudah mendalam, seperti daerah tempat perkebunan dan pertanian komersial, gerakan
kelas nampak mendapat sambutan. Hanya jika gerakan anti-pasar itu tidak menunjuk-
kan wajah anti-agama, seperti kebanyakan di negeri-negeri Arab, gerakan itu akan
mendapatkan sambutan. Di sini nampak, bahwa cepat atau lambat akan terjadi
perbenturan antara gerakan anti-pasar dengan nilai-nilai agama.

Dampak Transformasi
Jika di atas kita telah melihat akibat langsung dari kekuatan pasar maupun anti-
pasar pada kelangsungan nilai-nilai, perlu pula kita amati gejala-gejala yang timbul
sebagai akibat dari transformasi (perubahan) sosial, ekonomi dan budaya dari
kekuatan pasar. Kita akan menunjuk beberapa saja: industrialisasi, urbanisasi
(perpindahan masyarakat desa ke kota), masyarakat organisasional. Masing-masing
gejala itu tidak selalu mempunyai hubungan langsung dengan pembentukan
masyarakat pasar, tetapi setidaknya merupakan akibat logis dan masyarakat pasar.
Semuanya adalah sebab dari proses dehumanisasi (pembinatangan manusia) masa
kini.
Industrialisasi bisa terjadi baik lewat kekuatan pasar kapitalistis maupun lewat
kekuatan aparat Negara komunis. Berger mengatakan bahwa “lokal” sekularisasi yang
asli ialah pada bidang ekonomi, terutama ekonomi yang dibentuk oleh proses
kapitalistis dan industri. Dari tempat yang asli ini, sekularisasi dapat menembus
sektor-sektor lain. sektor yang paling sekuler ialah yang terdekat dengan proses
industrialisasi. Masyarakat industri modern telah melahirkan sektor pusat sekularisasi,
“wilayah yang telah dibebaskan” dari agama. 29 Selanjutnya Lenski berpendapat bahwa
kalau dalam masyarakat agraris (pertanian), kekuatan yang memberituk nasib manusia
biasanya dipikirkan dengan ciri-ciri personal, dan agama yang dominan bercorak theistic
(berkeTuhanan), maka dalam masyarakat industrial agama-agama baru (berkeTuanan)
yang memahami kekuatan-kekuatan itu sebagai impersonal telah berkembang. Agama
baru yang berkembang itu dapat bersifat persuasif seperti dalam Humanisme (agama
28
Peter L. Berger, The Sacred Canopy: Elements of Sociological Theory of Religion (Garden City, NY:
Doubleday & Company, Inc, 1969), p. 138.
29
Ibid., p. 129.

Makalah/Training Islam Intensif/ empiris-homepage.blogspot.com -119-


Masjid atau Pasar: Akar Ketegangan Budaya di Masa Pembangunan

yang tuhannya adalah manusia itu sendiri), atau bercorak koersif, seperti pada
komunisme. Aliansi (persatuan) antara agama dan negara jarang sekali terjadi dalam
masyarakat industri.30 Oleh karena industrialisasi adalah penerapan secara rasional ilmu
pengetahuan dalam produksi, maka proses rasionalisasi kemudian juga menurunkan
status agama sebagai petunjuk yang benar tentang realitas. Dengan adanya realitas baru
buatan manusia yang artifisial (alam serba buatan manusia: TV, Dunia Fantasi, Internet,
Lingkungan Pabrik), rujukan agama yang selalu menunjuk kepada realitas pertama dan
kedua, yaitu Tuhan dan alam semesta, tidak lagi mempunyai daya panggil yang kuat.
Dengan tumbuhnya kota. Kota-kota telah mengubah lingkungan komunal (tempat
guyub) desa menjadi lingkungan individualistis (lingkungan pa-aing-aing). Di sini
kelangsungan hidup perseorangan merupakan tanda tanya terbesar, sehingga pekerjaan
menjadi motif (pendorong) utama orang untuk tinggal. Orang tidak lagi menyatakan,
“Saya hidup di kota”, tetapi “Saya tinggal di kota.” Di kota, lingkungan tidak dipandang
sebagai tempat untuk bermasyarakat, tetapi semata-mata sebagai tempat bekerja. Manusia
kota telah kehilangan keinginan untuk hidup bermasyarakat (the desire for community),
keinginan untuk bertanggungjawab (the desire for engagement), dan keinginan untuk saling
bergantung (the desire for dependence) –demikian Phillip Slater dalam The Pursuit of
Loneliness.31 Individualisme (sikap pa-aing-aing) di kota-kota besar telah juga
menghilangkan kohesi (kemesraan) sosial, sekalipun solidaritas baru dalam asosiasi-
asosiasi (perhimpunan-perhimpunan) dapat menggantikan kohesi itu. Namun organisasi
sosial kota tidak lagi memungkinkan strukturisasi keagamaan (masuknya nilai-nilai
agama) yang longgar seperti di pedesaan. Orang hanya bisa diikat dengan adanya
lembaga-lembaga, yang bagi agama dapat menyebabkan overorganized (terlalu ketat) di
satu sektor dan dapat underorganized (terlalu longgar) di lain sektor bagi agarna itu sendiri.
Meskipun demikian, agama dapat memberikan kembali perasaan komunitas, keterlibatan,
dan ketergantungan yang membuat orang merasa mempunyai dan dipunyai kembali.
Lagi, dalam hubungannya dengan pertumbuhan, organisasi-organisasi sosial
cenderung menjadi birokrasi dengan penerapan kebijakan yang memerlukan ketepatan,
kecepatan, pengetahuan, kelestarian, subordinasi yang keras, dan kepastian dengan
sebanyak mungkin mengurangi harga material dan personal –pendek kata suatu model
administrasi birokratis (penuh aturan). Sistem bigorganization akan menyingkirkan jauh-
jauh urusan-urusan cinta, dendam, dan segalanya yang bersifat personal, irasional, dan
elemen-elemen emosional yang lain. Situasi birokratis membentuk kepribadian anggota-
anggotanya supaya mereka dapat menyesuaikan diri dengan permintaan-permintaan
masyarakat organisasional. Ada setidaknya tiga macam tipe kepribadian: yang
mengalami mobilitas (perpindahan) ke atas (upwardmobile), yaitu yang sanggup
mengangkat dirinya ke jenjang atas dan berhasil; yang kecewa (indifferents), yaitu
mayoritas yang melihat pekerjaannya hanya sebagai alat mencari kepuasan di luar kerja;
dan yang kebingungan, yaitu minoritas (sebagian kecil) yang tidak dapat melepaskan
tuntutan mereka akan status dan kekuasaan, tetapi juga tidak mempunyai peranan yang
memungkinkan mereka mendapatkan status dan kekuasaan itu.32
30
Gerhard Lenski, Power and Privilege: A Theory of Social Stratification (New York: McGraw-Hill Book
Company, 1966), p. 306.
31
Philip Slater, The Pursuit of Loneliness: American Culture at the Breaking Point (Boston: Beacon Press,
1971).
32
Robert Presthus, The Organizational Society: An Analysis and a Theory (New York: Vintage Book, 1962), pp.
15-16.

Makalah/Training Islam Intensif/ empiris-homepage.blogspot.com -120-


Masjid atau Pasar: Akar Ketegangan Budaya di Masa Pembangunan

Ciri yang paling utama masyarakat pasar tentu saja ialah kapitalisme. Karena
rupanya kecenderungan keras pembangunan di tanah air akan mengambil banyak
model kapitalisme –seperti nampak dalam konsepsi tentang take-off (istilah era lepas
landas) dari W.W. Rostow, misalnya – maka perlu kita melihat bagaimana
kemungkinan-kemungkinan ketegangan budaya akan terjadi, atau sedang terjadi tetapi
kita luput mengamati. Saya akan menyampaikan pemikiran dan kritik-kritik dari Erich
Fromm yang melihat dari segi psikologi.
Fromm yang meragukan bahwa manusia modern adalah manusia yang sejahtera
jiwanya, menunjukkan beberapa ciri masyarakat abad ke-20 yang ditandai oleh
kapitalisme, masyarakat yang akuisitif (acquisitive society), yang selalu minta lebih
banyak lagi (tak pernah puas dengan apa yang ada). Karakter sosial yang sesuai
dengan kapitalisme sekarang ini ialah orang yang dapat bekerja sama baik dengan
kelompok yang besar, yang selalu ingin mengkonsumsikan lebih banyak, dan yang
seleranya distandardisir (di-reken) sehingga dapat dengan mudah dipengaruhi dan
diduga. Kapitalisme perlu orang yang bebas, yang tidak dipengaruhi oleh sesuatu
otoritas, akidah, atau kesadaran –tetapi yang dapat diperintah untuk mengerjakan apa
yang diharapkan supaya sesuai dengan mesin sosial tanpa mengganggu stabilitas.
Selanjutnya Fromm menunjukkan bahwa ciri manusia modern ialah orang yang
mengalami keterasingan (alienation). Penyebab keterasingan ini melekat pada sifat
ekonomis kapitalis, yaitu dalam proses kuantifikasi (peng-angka-an) dan abstraksi
(dikhayalkan). Berbeda dengan para pedagang dan tukang di masa pra-kapitalis, para
pengusaha modern selalu menghadapi jumlah yang besar, langganan, buruh, modal,
keuntungan, balance, semuanya berupa angka-angka kuantitatif (dalam laporan-
laporan akuntansi misalnya). Demikian juga sebagai akibat dari kuantifikasi, para
pengusaha sebenamya menghadapi segalanya yang serba abstrak (tidak nyata), tidak
lagi konkrit. Transformasi dari yang konkrit ke yang abstrak terjadi karena untuk
menghadapi langganan, buruh, pemegang saham, dan keuangan; tidak menghadapi
orang, tetapi menghadapi sejumlah kalkulasi (akuntansi). Segala sesuatu harus
diramalkan, dihitung, kecendrungan-kecenderungan diantisipasikan, dan akhirnya
keputusan diambil. Dengan kebiasaan berabstraksi ini, manusia modern telah terbiasa
meninggalkan rujukan-rujukan yang konkrit dalam proses kehidupan. Dimensi-
dimensi manusiawi mulai musnah, dan semakin jauh manusia meninggalkan hidup
yang konkrit.
Dengan latar belakang ini timbullah keterasingan itu. Keterasingan didefinisikan
oleh Fromm sebagai “bentuk pengalaman ketika orang mengalami dirinya sendiri
sebagai orang asing. Orang telah menjadi asing dengan dirinya sendiri. Ia tidak
menganggap dirinya sebagai pusat dari dunia, sebagai pelaku dari perbuatan-
perbuatannya sendiri. Perbuatan dan akibat-akibatnya telah menjadi tuannya, yang
ditaati, dan yang barangkali disembah. Keterasingan ini menyangkut hubungan orang
dengan kerjanya, dengan benda-benda yang dikonsumsikan, dengan negara, dengan
sesama manusia, dan dengan dirinya sendiri”. 33 Dengan kata lain, sesuai dengan
semboyan masa kini, manusia modern yang demikian tidak dapat menjadi manusia
yang utuh.

33
Erich Fromm, The Sane Society (New York: Fawcett Publication, Inc., 1966), pp. 76-136.

Makalah/Training Islam Intensif/ empiris-homepage.blogspot.com -121-


Masjid atau Pasar: Akar Ketegangan Budaya di Masa Pembangunan

Fungsi Agama dalam Masyarakat Modern


Setelah secara singkat membicarakan mengenai “kejahatan” kekuatan pasar,
perlu kiranya kita melihat prospek apa yang bisa diberikan oleh agama kepada
malapetaka manusia modern dan masyarakat pasar itu. Setelah kita mengetahui
“nestapa manusia modern” (Sayyed Hossein Nasr), apa sebenamya “damba manusia
modern” (the anguish of modern man, Max Weber) itu?
Para pemikir Barat banyak melihat dunia modern sebagai tanah gersang yang
kehilangan makna. Perubahan sosial-ekonomi telah menyebabkan dislokasi
(perpindahan) psikologis pada dataran perorangan, dan dislokasi sosial dan ekonomi
pada dataran masyarakat. Manusia modern perlu penyesuaian emosional secara
pribadi, perlu perubahan etika, perubahan keterampilan, dan perubahan kelembagaan.
Ketika kapitalisme modern muncul dalam sejarah, kehadirannya disertai dengan
penyesuaian nilai-nilai pada umat Kristen di Dunia Barat. Max Weber menyebutkan
bahwa Etika Protestan adalah penyebab dari Semangat Kapitalisme. Para pemikir
lainnya sampai kepada kesimpulan bahwa hubungan antara Protestantisme dengan
kapitalisme bukanlah hubungan kausal, tetapi kalau bukan koinsiden barangkali
sebuah korelasi. Yang penting di sini ialah, bahwa untuk setiap perkembangan
sejarah, harus ada etika baru. Pembaharuan etik itu sangat penting supaya tetap ada
relevansi antara nilai-nilai dengan kenyataan aktual. Dalam menghubungkan agama
dengan dunia modern, Roland Robertson menyebutkan adanya ascetic mysticism
(mistik zuhud) yang dapat memberikan baik partisipasi aktif yang immanen (duniawi)
di dunia maupun refleksi transenden (ukhrowi) terhadap dunia ini. 34
Dalam dunia Islam di Indonesia, lahimya gerakan pembaharuan dapat dilihat
sebagai usaha untuk mencari etik 35 baru itu. Para pengamat sering menyebutkan
adanya semacam rasionalisasi 36 budaya Islam individual, sehingga umat Islam yang
hidup dalam tingkat ekonomi agraris dan pra-kapitalis dapat mengejar keter-
tinggalannya. Dari sejarah kita melihat bahwa memang ada pembaharuan konseptual
(secara konsep) berupa penafsiran kembali ajaran-ajaran agama, pembaharuan
behavioral (kelakuan) berupa perilaku sosial-ekonomi baru, dan pembaharuan
institusional berupa tumbuhnya lembaga-lembaga baru. Baik dalam tingkat individual,
lembaga-lembaga, maupun umat Islam pada umumnya nampak pembaharuan etika itu
sangat segar terasa pada dasawarsa kedua abad ini. Munculnya asosiasi-asosiasi baru
adalah pertanda perubahan etika itu. Namun permasalahannya bagi umat Islam
sekarang ialah perkembangan ekonomi pasar telah demikian jauh dari perkembangan
pada permulaan abad ke-20, dan lebih cepat lagi dengan adanya pembangunan
nasional. Kiranya pada bidang ini perlu ada sekali lagi pembaharuan etika untuk
mengatasi masalah-masalah baru. Etika baru itu haruslah bukan saja reaksi terhadap
aktualitas (kenyataan kekinian), tetapi Juga mampu menumbuhkan realitas-realitas
baru.
Barangkali dengan merenungkan sejarah Nabi akan jelas apa yang dimaksud.
Strategi Islam dapat dianggap strategi dialektik yang timbul dari pengalaman sejarah.

34
Roland Robertson, Meaning and Change Exploration in the Cultural Sociology of Modern Societies (New
York: New York University Press, 1987), p. 130.
35
Pola akhlaq.
36
Proses merasionalkan (membuat menjadi masuk akal).

Makalah/Training Islam Intensif/ empiris-homepage.blogspot.com -122-


Masjid atau Pasar: Akar Ketegangan Budaya di Masa Pembangunan

Mekah pada zaman Nabi adalah sebuah market town (kota pasar) bagi suku-suku
Arab. Perdagangan di kota itu hanya dapat dijamin jika keamanan terjamin, dan untuk
menjamin keamanan dan perdamaian dalam perdagangan diciptakanlah daerah-daerah
damai yang dijaga oleh berhala-berhala yang dipertuhankan. Islam muncul sebagai
antitesa (perlawanan) dari kota dagang itu. Kota yang dipersatukan oleh kekuatan
pasar itu mendapat tantangan dari kekuatan baru yang dipersatukan oleh kekuatan
masjid. Tidak ragu lagi, saya yakin bahwa Nabi melihat penyebab dari
kemusyrikan pada waktu itu ialah kekuatan pasar . Ketika pada akhimya kekuatan
masjid berhadapan dengan kekuatan pasar, maka titik strategisnya ialah penghancuran
berhala yang menjadi perwujudan konseptual bagi kepentingan pasar dan menjadi alat
legitimasi (pengesahan) kepentingan ekonomi. Dalam hal berpikir dialektik kiranya
Nabi belasan abad lebih dahulu dari Hegel, yang melihat ide sebagai kekuatan sejarah.
Juga Nabi belasan abad lebih dahulu dari Marx, yang melihat bahwa kepentingan
ekonomi adalah penggerak sejarah.
Dengan berpikir dialektik kita akan menjadi dinamis, bukankah “amar ma'ruf
nahi munkar” adalah suatu ajaran filsafat perbuatan yang dialetik dan revolusioner.
Demikianlah Islam dapat meletakkan diri sebagai sebuah antitesa bagi kapitalisme dan
dunia modern. Kita dapat mendudukkan Etika Islam sebagai sebuah counterrevolution
(kontrarevolusi) terhadap dunia modern, sebagaimana Nabi dahulu meng alami Islam
sebagai counter-revolution bagi dunia Arab. Dengan membaca Ibn Khaldun kita tahu
tentang kaitan kota dagang di tengah padang pasir pada waktu itu. Kita pun dapat
mengidentifikasikan komponen sosial budaya masyarakat kapitalisme masa kini.
Suku-suku Arab sekarang ini telah menjelma menjadi big corporation (perusahaan
besar) dan multinational corporation (perusahaan multinasional), kepala-kepala suku
adalah bankir-bankir dan pengusaha besar, dan berhala-berhala adalah teori
ekonomi kapitalis. Tentu saja untuk menghadapkan masjid sebagai antitesa bagi
pasar memerlukan keberanian intelektual. Cara berpikir umat Islam sekarang ini
nampaknya masih diliputi alam pikiran agraris dan pra-kapitalistik, demikian juga
etika Islam masih diliputi suasana agraris-pra-kapitalistik. Tentu saja pembaharuan
pemikiran juga akan mendapatkan reaksi dari umat Islam sendiri, yang karena
cultural lag-nya (kelelahan budaya) dapat bersikap konservatif.
Sekarang kita berbicara tentang perangkat budaya yang lebih lunak, yaitu bidang
makna. Tonybee yang mengagumi budaya India mengatakan bahwa sumbangan India
yang terbesar pada zaman atom sekarang ini ialah agamanya. 37 Tonybee seolah
menganggap bahwa agama samawi tidak lagi memberi harapan dalam dunia masa
kini. Tetapi Robertson, dalam tradisi Weber, masih menaruh harapan dengan ascetic-
mysticism di dunia Barat, karena dengan kombinasi antara asketisisme (kezuhudan)
dan mistisisme (kesatuan pandangan duniawi-ukhrowi) akan ada konsistensi
situasional antara tuntutan pelaku untuk berbuat sesuai dengan permintaan masyarakat
di satu pihak, dan berbuat sesuai dengan kebutuhan pribadi di lain pihak. Ascetic-
mysticism adalah sikap aktif dan positif. Juga dikatakannya bahwa pada saat derasnya
institusionalisasi kehidupan secara massal sekarang ini, mistisisme menjadi produk

37
Arnold Tonybee, “Preface”, dalam John Colgy, Religion in a Secular Age: The Search for Final Meaning
(1968), p. xx.

Makalah/Training Islam Intensif/ empiris-homepage.blogspot.com -123-


Masjid atau Pasar: Akar Ketegangan Budaya di Masa Pembangunan

yang patut dikonsumsikan. 38 Agama yang demikian akan memberikan kembali makna
di tengah-tengah masyarakat industrial, urban, dan terorganisir.
Sebagai pemikir dari tradisi pemikiran Barat, Robertson hanya sampai kepada
makna eksistensial (makna keberadaan nilai) dari agama, dan tidak meng-
hubungkannya dengan dimensi structural (kekuatan riel pengubah keadaan). Perbuatan
keagamaan akan memberi makna kembali kepada kekhawatiran eksistensial
(keberadaan) manusia seperti perasaan-tidak-bermakna dan kesendirian. 39 Nampaknya
untuk menjawab tantangan semacam ini, usaha dari dunia Islam banyak ditujukan
kepada pengenalan kembali tradisi sufisme dalam Islam, seperti penerbitan buku
Seyyed Hossein Nasr, The Plight of Modern Man, yang sudah diterjemahkan ke
Bahasa Indonesia. 40 Untuk masyarakat Indonesia sendiri rupa-rupanya kecenderungan
menerima kembali sufisme sudah mulai nampak di lingkungan golongan elite
masyarakat kita –baik secara individual ataupun kelompok.
Di sini perlu dicatat pikiran sosiologis Peter L. Berger tentang hubungan antara
agama dan keterasingan. Agama yang dalam masyarakat berfungsi sebagai pembentuk
dunia (world-construction) dan pelestari dunia (world-maintenance) juga dapat
menyebabkan orang menjadi terasing, karena untuk membentuk dan melestari kan,
agama mempunyai daya mengasingkan dan meniadakan pengasingan itu. Hal ini
terjadi karena dalam semua manifestasinya, agama merupakan proyeksi (perwujudan)
makna kemanusiaan ke dalam keluasan semesta yang kosong –sebuah proyeksi yang
akan kembali sebagai realitas asing yang memburu para penciptanya. 41 Dengan menolak
atheisme mitologis Berger, kita dapat memahami mengapa agama dapat muncul sebagai
sesuatu yang asing. Demikian juga wujud-wujud religio-kultural (agama budaya) dapat
menjadi sesuatu yang asing. Namun suatu sistem budaya memang mempunyai sifat
mengasingkan, suatu bentuk keterasingan. Bagi Robertson, budaya perlu otonom
(mandiri), lepas dari kehidupan sosial dan pengalaman eksistensial pribadi, supaya ada
perbedan antara yang ideal dan yang aktual. Otonomisasi budaya merupakan langkah
pertama menuju ke pemahaman bahwa segala yang serba transenden harus dicapai oleh
manusia.42 Dengan catatan ini, saya bermaksud untuk memberi dorongan dan penekanan
bahwa keterpautan eksistensial (keberadaan) agama dalam kehidupan modern tidak selalu
berarti modernisasi barangkali timbul dari pemikiran agama –suatu kesan dialektis di
atas.
Kembali kepada tema dialektika majid-pasar, kiranya gambaran mengenai dunia
modern yang akan dituju melalui pembangunan sudah mulai jelas titik-titiknya.
Sekalipun kebanyakan pembicaraan ini lebih bersifat teoritis daripada empiris (praktek
lapangan), lebih abstrak daripada konkrit, saya percaya maksud uraian ini cukup jelas.
Masjid mempunyai kemampuan untuk mentransformasikan kembali manusia;
pembangunan kita sekarang ini harus lebih berorientasi kepada masjid daripada kepada
pasar. Untuk menutup uraian ini saya cuplikkan sebuah ilustrasi tentang skeptisisme
(keraguan) para ulama terhadap mekanisme pasar:

38
Robertson, Meaning and Change, pp. 133-134.
39
Ibid., p. 236.
40
Seyyed Hossein Nasr, Islam dan Nestapa Manusia Modern (Bandung: Penerbit Pustaka, 1983).
41
Berger, The Sacred Canopy, p. 100.
42
Robertson, Meaning and Change, p. 138.

Makalah/Training Islam Intensif/ empiris-homepage.blogspot.com -124-


Masjid atau Pasar: Akar Ketegangan Budaya di Masa Pembangunan

Suatu pagi Mullah Nasreddin sedang berjalan-jalan di pasar ketika ia melihat orang-
orang berkerumun dengan gairah mengelilingi seorang pedagang yang sedang
menawarkan seekor burung. “Sepuluh Dinar”, “Dua puluh”, “Lima puluh”. Orang-orang
itu bersahutan. Dengan keheranan sang Mullah ikut merubung. Akhimya ia tahu bahwa
hari itu sebangsa unggas mempunyai pasaran yang baik. Buru-buru dia pulang dan
kembali dengan seekor kalkun yang gemuk untuk dijual. Orang-orang memang
mengerumuninya, tetapi tawaran tidak ada yang lebih dari lima dinar. Walhasil ia
berontak: “Unggas sebesar ini hanya lima dinar, uh”. Seorang yang berkerumun
menyahut cepat, “lya, karena itulah harganya”. Mullah memprotes, “Tetapi kalian baru
saja membeli seekor unggas dengan lima puluh dinar”. Mullah pun terdiam. Tetapi
sebentar kemudian ia mengangkat bicara, sambil menunjuk pada unggasnya yang tenang
dengan bulu-bulu yang halus dan mata mebelalak, “Betul. Unggas saya memang bukan
sebangsa tukang ngomong. Dia pemikir”. Dan dia pun menyelonong pergi.43

43
Disadur dari Massud Farzan, Another Way of Laughter: A Collection of Sufi Hummor (New York: E.P.
Dutton and Co., Inc., 1973).

Makalah/Training Islam Intensif/ empiris-homepage.blogspot.com -125-

Anda mungkin juga menyukai