Anda di halaman 1dari 75

TRANSPORTASI IKAN NILA (Oreochromis niloticus) HIDUP

SISTEM KERING DENGAN MENGGUNAKAN PEMBIUSAN


SUHU RENDAH SECARA LANGSUNG

DAN PRATISARI
C34050814

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN


FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2010
RINGKASAN

DAN PRATISARI. C34050814. Transportasi Ikan Nila (Oreochromis


niloticus) Hidup Sistem Kering dengan Menggunakan Pembiusan Suhu
Rendah secara Langsung. Dibawah bimbingan: DADI R. SUKARSA dan
KOMARIAH TAMPUBOLON.

Penanganan ikan hidup saat ini mulai dikembangkan di masyarakat


Indonesia sejalan dengan meningkatnya permintaan konsumen terhadap ikan
hidup. Salah satu jenis ikan yang potensial untuk dipasarkan dalam keadaan hidup
adalah ikan nila. Cara untuk menekan biaya transportasi ikan hidup dapat
dilakukan dengan menggunakan metode pengangkutan sistem kering. Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh suhu pembiusan secara langsung
terhadap tingkat kelulusan hidup ikan nila (Oreochromis niloticus) dalam
transportasi tanpa media air (sistem kering).
Penelitian ini terdiri dari beberapa tahap, yaitu persiapan penelitian,
penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Persiapan penelitian meliputi:
1) persiapan akuarium, 2) persiapan ikan nila, 3) persiapan media air yang terdiri
dari air kolam asal ikan nila, air laboratorium yang belum diendapkan dan air
laboratorium yang telah diendapkan selama 2 hari yang diukur kualitas airnya,
4) persiapan media bahan pengisi berupa serbuk gergaji dan 5) persiapan kemasan
berupa styrofoam. Penelitian pendahuluan meliputi: 1) penentuan jumlah es untuk
pembiusan ditentukan dengan cara melakukan percobaan perbandingan volume
air pembius sebanyak 1 liter dengan jumlah es tertentu, 2) penentuan suhu
pembiusan ikan nila secara bertahap untuk mengetahui suhu pembiusan dan fase
imotil ikan nila. Penelitian utama terdiri dari pembiusan suhu rendah secara
langsung pada fase pingsan ringan (9-10 oC), pingsan berat (7-9 oC) dan roboh
(6-7 oC) selanjutnya dilakukan penyimpanan (transportasi) ikan nila yang terdiri
dari 4 taraf waktu yaitu 0, 3, 6 dan 9 jam. Pada setiap perlakuan waktu
penyimpanan terdiri dari 3 kali ulangan. Data yang diperoleh dianalisis secara
deskriptif.
Kualitas air kolam asal ikan nila hampir sama dengan kualitas air
laboratorium yang belum diendapkan serta air laboratorium yang telah diendapkan
selama 2 hari sehingga layak digunakan untuk adaptasi, pemuasaan, pembiusan
dan pembugaran. Hasil perbandingan volume air 1 liter dengan jumlah es
sebanyak 2 kg mampu menurunkan suhu media air lebih cepat hingga mencapai
suhu 3 oC selama 12 menit. Hasil pembiusan ikan nila secara langsung pada fase
pingsan ringan (9-10 oC) dengan waktu pembiusan selama 20 menit, memiliki
tingkat kelulusan hidup yang tertinggi setelah penyimpanan selama 3 jam yaitu
sebesar 67 %. Ikan nila yang dibius pada fase pingsan berat (7-9 oC) selama
15 menit memiliki tingkat kelulusan hidup sebesar 33 % selama penyimpanan
3 jam, sedangkan ikan nila yang dibius pada kondisi fase roboh (6-7 oC) selama
10 menit, memiliki tingkat kelulusan hidup sebesar 0 % selama penyimpanan
3 jam. Perubahan suhu media pengisi kemasan mengalami perubahan, yaitu
berada pada kisaran: 10-16 oC untuk ikan nila yang dikemas dalam kondisi
pingsan ringan, 9-14oC untuk ikan nila yang dikemas dalam kondisi pingsan berat
dan 7-13 oC untuk ikan nila yang dikemas dalam kondisi roboh.
TRANSPORTASI IKAN NILA (Oreochromis niloticus) HIDUP
SISTEM KERING DENGAN MENGGUNAKAN PEMBIUSAN
SUHU RENDAH SECARA LANGSUNG

DAN PRATISARI
C34050814

Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan
pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN


FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2010
Judul Skripsi : TRANSPORTASI IKAN NILA (Oreochromis niloticus)
HIDUP SISTEM KERING DENGAN
MENGGUNAKAN PEMBIUSAN SUHU RENDAH
SECARA LANGSUNG
Nama : Dan Pratisari
NRP : C34050814

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Ir. Dadi R. Sukarsa Ir. Komariah Tampubolon, MS


NIP. 19460831 197402 1 001 NIP. 19451110 197104 2 001

Mengetahui,
Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan

Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS., M.Phil


NIP. 19580511 198503 1 002

Tanggal lulus :
LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Transportasi Ikan Nila


(Oreochromis niloticus) Hidup Sistem Kering dengan Menggunakan Pembiusan
Suhu Rendah secara Langsung adalah karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Januari 2010

Dan Pratisari
NRP C34050814
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segenap
limpahan karunia dan hidayah-Nya. Shalawat serta salam semoga tetap tercurah
kepada Rasulullah SAW.
Penyusunan skripsi yang berjudul Transportasi Ikan Nila (Oreochromis
niloticus) Hidup Sistem Kering dengan Menggunakan Pembiusan Suhu
Rendah secara Langsung merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar
sarjana pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah
membantu baik moral maupun material dalam penyelesaian skripsi ini,
diantaranya kepada:
1. Bapak Ir. Dadi R. Sukarsa dan Ibu Ir. Komariah Tampubolon, MS selaku
komisi pembimbing atas segala saran, kritik, arahan dan motivasi.
2. Ibu Ir. Winarti Zahiruddin, MS dan Bapak Uju, S.Pi, M.Si selaku dosen
penguji atas segala saran dan arahan.
3. Ibu Ir. Anna C. Erungan, MS selaku dosen pembimbing akademik atas
segala bimbingan dan motivasi yang telah diberikan.
4. Ayahku Muhammad Zainul Arifin, Ibuku Lathifah Hanim, Kakakku
Gelar Pratama dan Mbabuk (nenekku tersayang) yang telah memberikan
kasih sayang dan semangat yang luar biasa.
5. Seluruh staf dan dosen pengajar Departemen Teknologi Hasil Perairan
atas bimbingannya selama ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk
itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran. Akhir kata, semoga skripsi ini
dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkannya.

Bogor, Januari 2010

Penulis
UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah


membantu baik moral maupun material dalam penyelesaian skripsi ini,
diantaranya kepada:
6. Yulia Kusuma Wardhani, Inka Santika, Irma Soraya, A. Galih Hardita
dan Safrina Dyah H. atas kasih sayang, perhatian serta persahabatan yang
indah dan tak terlupakan .
7. Bapak Dr. Ir. Joko Santoso, M.Si, Ibu Dra. Pipih Suptijah, MBA, Ibu
Ir. Nurjanah, MS, Bapak Ir. Djoko Poernomo dan Bapak Dr. Agoes M.
Jacoeb, Dipl-Biol atas doa, kasih sayang dan perhatiannya.
8. Prof. Komar Sumantadinata selaku dosen penanggung jawab kolam
percobaan babakan, Pak Wawan dan Pak Iwan.
9. Mokhammad Rifai yang telah memberikan semangat serta doa yang luar
biasa.
10. Kakak kelasku THP 40: Mbak Wida, Mbak Dian, Aris dan Rama.
11. Kakak kelasku THP 41: Mas Anim, Kak Andi, Gilang, Windy, Anang,
Kak Yayan, Mbak Ika dan Dede.
12. Teman-temanku THP 42: Ary, Uut, Pur, Seno, Pus, Dewi, Ado, Anggi,
Sugara, Ale, Fathu, Rodi, Rinto, Jamal, Rustam, Zen, Melda, Mirza,
Ipang, Pril, Sena, Evi, Rizka, Tia, Adrian, Ika, Anne, Niken, Ita, Ifa dan
Fuad.
13. Adik-adik kelasku THP 43: Deksu, Umi, Wati, Uu dan Joha.
14. Rekan-rekan kolam Babakan (BDP 41): Sahel, Dodi dan Firman.
15. Teman-teman IPB: Tejo (BDP 41), Adi dan Jijah (BDP 42), Faruq
(BDP 43), Erys (MSP 42), Mbak Ting dan Ali (THH 41), Sapek
(TEP 44), Mas Tio (ITK 40), Dedi dan Hafiz (STK 42 dan 43), Mega dan
Januar (KIMIA 42), Nanda (ITP 42) dan Torik (TIN 42).
16. Pak Yus dan Pak Wawan yang baik hati. Mangkos, Batak, Rian, Away
dan Ando yang telah bersedia membantu dalam penelitian saya.
17. Mas Abe (BDP), Mas Zaky, Bang Ipul, Pak Ade, Bang Mail, Pak Tatang
dan Umi.
18. Keluarga besar THP, staf dosen dan Tata Usaha (TU) serta teman-
temanku THP 40, 41, 42, 43, dan 44 yang telah memberikan dorongan
dan semangat serta persahabatan yang indah.
19. Keluarga besar Kostan Kawah Kelud, Pak Yok, Mas Aris dan keluarga,
Mas Alfa, Mbak Ulfa, Mbak Ila, Mbak Ika, Mbak Ting-ting, Mas Ali,
Fai, Etoo, Dedy, Ulie, Tyas, Sapek, Yoga, Ikka, Jo, Herry dan Keluarga
besar Bapak Sugandhi atas kasih sayang, nasehat dan dukungannya.
20. TIM KELULUSAN THP 42 terima kasih atas persahabatan yang sangat
indah selama ini.
21. Sahabatku Oliv, Hamdi, Nuryadin, Rizal, Danniar, Eka, Iva dan Dyah.
22. Serta pihak-pihak lain yang tidak bisa disebutkan satu persatu.
RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Gresik, pada tanggal 28 Januari 1987 dari


pasangan Bapak Drs. Muhammad Zainul Arifin dan Ibu
Lathifah Hanim sebagai anak ke dua dari dua bersaudara.
Pendidikan formal dimulai di TK Bhakti I Gresik dan lulus
pada tahun 1993. Pada tahun 1999, penulis lulus dari sekolah
dasar di SD Muhammadyah I Gresik. Pada tahun 2002, penulis
menyelesaikan pendidikan menengah pertama di SLTPN 2 Gresik. Pada tahun
2005, penulis menyelesaikan pendidikan menengah umum di SMUN 1 Manyar
Gresik. Pada tahun yang sama, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB)
melalui Jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) di Program Studi Teknologi
Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.
Selama studi di Institut Pertanian Bogor, penulis masuk kepengurusan
Himpunan Profesi HIMASILKAN periode 2006-2007 dan periode 2007-2008
divisi Pengembangan Sumber Daya Masyarakat (PSDM), Redaksi Majalah Peduli
Pangan dan Gizi (EMULSI) IPB divisi Promosi dan Distribusi periode 2006-2007,
dan Ketua kelulusan angkatan THP 42 . Penulis juga menjadi koordinator asisten
mata kuliah Penanganan Hasil Perairan periode 2007-2008 dan 2008-2009 serta
asisten mata kuliah Teknologi Pengolahan Hasil Perairan tahun 2008-2009.
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada
Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
Institut Pertanian Bogor, penulis melakukan penelitian dengan judul Transportasi
Ikan Nila (Oreochromis niloticus) Hidup Sistem Kering dengan
Menggunakan Pembiusan Suhu Rendah secara Langsung dengan dosen
pembimbing yaitu Ir. Dadi R. Sukarsa dan Ir. Komariah Tampubolon, MS.
DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR TABEL ............................................................................................ x
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ xi
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... xii
1. PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .................................................................................... 1
1.2 Tujuan .................................................................................................. 3
2. TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................. 4
2.1 Deskripsi Ikan Nila (Oreochromis niloticus)....................................... 4
2.2 Aspek Ekonomi Ikan Nila ................................................................... 5
2.3 Penanganan Ikan Hidup ....................................................................... 7
2.4 Transportasi Ikan Hidup ...................................................................... 8
2.5 Imotilisasi dengan Suhu Rendah ......................................................... 10
2.6 Pengemasan .......................................................................................... 15
3. METODOLOGI ........................................................................................... 18
3.1 Waktu dan Tempat ................................................................................ 18
3.2 Alat dan Bahan ...................................................................................... 18
3.3 Prosedur dan Tahap Penelitian .............................................................. 18
3.3.1 Persiapan penelitian .................................................................... 18
3.3.2 Metode penelitian ........................................................................ 20
3.4 Analisis Data ......................................................................................... 25

4. HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................... 26


4.1 Parameter Air sebagai Tempat Hidup Ikan Nila
(Oreochromis niloticus) ........................................................................ 26
4.2 Penelitian Pendahuluan .......................................................................... 28
4.2.1 Penentuan jumlah es untuk pembiusan ...................................... 28
4.2.2 Penetuan suhu pembiusan ikan nila ............................................ 30
4.3 Penelitian Utama .................................................................................... 32
4.3.1 Perubahan perilaku ikan nila selama proses
pembiusan secara langsung menggunakan suhu rendah ............. 32
4.3.2 Kelulusan hidup ikan nila (Oreochromis niloticus)
setelah penyimpanan ................................................................... 35
5. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................... 41
5.1 Kesimpulan ............................................................................................ 41
5.2 Saran ........................................................................................................ 41
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 42
LAMPIRAN ....................................................................................................... 46
DAFTAR TABEL

Nomor Teks Halaman

1. Perubahan perilaku udang windu akibat pembiusan penurunan suhu


bertahap .......................................................................................................... 11
2. Respon aktivitas fisiologi lobster air tawar pada berbagai suhu .................... 12
3. Tingkah laku ikan mas selama proses pemingsanan dengan suhu
rendah 8 oC secara langsung........................................................................... 13
4. Parameter kualitas air, alat dan cara peneraannya ......................................... 19
5. Klasifikasi respon tingkah laku ikan selama pembiusan................................ 21
6. Data hasil pengamatan kualitas air ................................................................. 26
7. Hubungan suhu dengan tingkah laku ikan nila yang dibius dengan
suhu rendah .................................................................................................... 32
8. Perubahan perilaku ikan nila selama proses pembiusan secara
langsung menggunakan suhu rendah 9-10 oC, 7-9 oC dan 6-7 oC ................. 33
9. Persentase tingkat kelulusan hidup rata-rata ikan nila setelah
penyimpanan .................................................................................................. 37
10. Perubahan suhu rata-rata media pengisi kemasan ........................................ 39
DAFTAR GAMBAR

Nomor Teks Halaman

1. Ikan nila (Oreochromis niloticus) .................................................................. 4


2. Penyusunan ikan nila (Oreochromis niloticus) dalam kemasan .................... 20
3. Diagram alir penyimpanan ikan nila dalam serbuk gergaji dingin ................ 24
4. Penentuan jumlah es pada media air pembius dan rata-rata
penurunan suhu .............................................................................................. 30
5. Grafik rata-rata waktu proses pembugaran ikan nila setelah
penyimpanan .................................................................................................. 36
6. Grafik persentase kelulusan hidup rata-rata ikan nila pada
berbagai tingkat pembiusan ............................................................................ 38
DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Ukuran ikan nila (Oreochromis niloticus) ..................................................... 47


2. Pengukuran kualitas air .................................................................................. 48
2a. Prosedur cara peneraan dari masing-masing parameter
kualitas media air ......................................................................................... 48
2b. Gambar alat-alat analisis air ......................................................................... 50
3. Penentuan jumlah es untuk pembiusan .......................................................... 51
3a. Fluktuasi suhu air dengan perbandingan air dan es 2:1
(1 liter air : 0,5 kg es) ................................................................................... 51
3b. Fluktuasi suhu air dengan perbandingan air dan es 2:2
(1 liter air : 1 kg es) ...................................................................................... 52
3c. Fluktuasi suhu air dengan perbandingan air dan es 2:3
(1 liter air : 1,5 kg es) ................................................................................... 53
3d. Fluktuasi suhu air dengan perbandingan air dan es 2:4
(1 liter air : 2 kg es) ...................................................................................... 54
4. Gambar penentuan perbandingan jumlah air dengan
jumlah es untuk pembiusan ............................................................................ 55
5. Penentuan suhu pembiusan ikan nila secara bertahap ................................... 56
6. Perubahan perilaku ikan nila selama proses pembiusan
secara langsung menggunakan suhu rendah................................................... 57
7. Pembiusan ikan nila secara langsung ............................................................. 58
8. Data waktu proses pembugaran ikan nila setelah pembugaran ...................... 59
9. Data persentase kelulusan hidup ikan nila setelah penyimpanan................... 60
10. Data perubahan suhu media pengisi kemasan .............................................. 61
1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Salah satu bentuk transportasi ikan hidup yang paling populer dan sederhana
di Indonesia adalah cara pengangkutan ikan hidup dengan menggunakan media air
(sistem basah). Tujuan kegiatan yang bersifat tradisional ini pada mulanya untuk
mendukung kegiatan budi daya dalam pendistribusian benih ikan. Namun, dalam
perkembangannya telah meluas untuk tujuan distribusi ikan konsumsi, misalnya
ikan mas, gurame, lele, nila dan sebagainya.
Sistem transportasi lainnya yaitu transportasi tanpa media air (sistem
kering). Saat ini transportasi ikan hidup sistem kering semakin berkembang
terutama untuk crustacea, tetapi untuk ikan masih merupakan hal yang baru dan
belum berkembang di masyarakat. Teknik ini perlu dikembangkan terutama untuk
tujuan ekspor karena dapat mengurangi berat dan resiko kebocoran di pesawat.
Faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam transportasi ikan hidup tanpa media
air adalah jenis media pengemas, perlakuan ikan sebelum dikemas (imotilisasi
atau hibernasi), suhu media selama pengangkutan dan kemungkinan penggunaan
anti metabolit (zat anestesi).
Pada transportasi ikan hidup sistem kering perlu dilakukan proses
penanganan atau pemingsanan terlebih dahulu. Kondisi ikan yang tenang akan
mengurangi stress, mengurangi kecepatan metabolisme dan konsumsi oksigen.
Pada kondisi ini tingkat kematian selama transportasi rendah sehingga
memungkinkan jarak transportasi dapat lebih jauh dan kapasitas angkut dapat
meningkat. Metode pemingsanan ikan dapat dilakukan dengan cara menggunakan
zat anestesi atau dapat juga menggunakan penurunan suhu.
Zat anestesi yang biasa digunakan untuk proses pemingsanan ikan yaitu,
berupa bahan kimia seperti MS-222 (tricaine methane sulphonate), CO2 dan
quinaldine serta bahan alami seperti eksrak biji karet dan ekstrak cengkeh.
Penggunaan bahan kimia seperti MS-222 cukup popular digunakan, tetapi
harganya mahal. Perlu diperhatikan bahwa ikan yang akan dipingsankan nantinya
akan dikonsumsi, sehingga pemilihan metode pemingsanan harus memperhatikan
aspek kesehatan. Metode pemingsanan menggunakan penurunan suhu menjadi
salah satu pilihan yang aman karena tidak mengandung residu kimia di dalamnya.
Proses pemingsanan menggunakan suhu rendah memiliki dua metode yaitu
pemingsanan dengan penurunan suhu bertahap dan pemingsanan dengan
penurunan suhu langsung. Ada beberapa keuntungan dan kerugian metode
pemingsanan dengan penurunan suhu langsung dan bertahap. Pemingsanan
dengan penurunan suhu secara bertahap dapat menimbulkan stress pada ikan dan
memerlukan waktu yang panjang hingga ikan pingsan, sedangkan dengan
penurunan suhu secara langsung dapat mengurangi stress selama proses
pemingsanan dan mempercepat proses pemingsanan (Nitibaskara et al. 2006).
Teknologi transportasi ikan hidup sistem kering ini tidak dapat distandarkan untuk
semua jenis ikan, karena tingkat kelulusan hidup (survival rate) ikan selama
transportasi dipengaruhi oleh banyak faktor, sehingga setiap jenis ikan
memerlukan perlakuan yang spesifik.
Salah satu jenis ikan yang potensial untuk dipasarkan dalam keadaan hidup
adalah ikan nila. Cara yang biasa dilakukan dalam pengangkutan ikan nila hidup
adalah dengan sistem basah. Cara ini untuk keperluan jarak dekat dan kurang
efektif jika digunakan untuk jarak jauh, karena dibutuhkan tempat yang lebih
besar sehingga menjadi berat. Transportasi ikan hidup sistem kering dapat
menjadi pilihan untuk distribusi ikan nila hidup dengan waktu pengangkutan yang
relatif lebih lama.
Beberapa penelitian transportasi sistem kering untuk ikan nila hidup sudah
dilakukan yaitu, ikan nila dipingsankan menggunakan arus listrik 120 volt selama
3 menit memiliki tingkat kelulusan hidup 100 % untuk waktu kemas 1 jam dan
memiliki tingkat kelulusan hidup 10 % untuk waktu kemas 4 jam
(Achmadi 2005). Ikan nila yang dipingsankan menggunakan ekstrak Caulerpa
racemosa 48 % memiliki tingkat kelulusan hidup 100 % selama waktu kemas
2 jam (Pramono 2002), sedangkan pemingsanan menggunakan gas CO2 15 mmHg
memiliki tingkat kelulusan hidup 66,67 % selama waktu kemas 2 jam
(Hidayah 1998). Rendahnya tingkat kelulusan hidup ikan nila dalam waktu kemas
yang tidak lama menunjukkan bahwa masih perlu dicoba metode pembiusan
lainnya agar ikan tetap hidup dalam waktu yang relatif lebih lama. Pada penelitian
ini akan dilakukan pembiusan menggunakan suhu rendah secara langsung pada
sistem transportasi ikan nila (Oreochromis niloticus) hidup tanpa media air.

1.2 Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh suhu pembiusan
secara langsung terhadap tingkat kelulusan hidup ikan nila (Oreochromis
niloticus) dalam transportasi tanpa media air (sistem kering).
2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Deskripsi Ikan Nila (Oreochromis niloticus)


Ikan nila sangat dikenal oleh masyarakat penggemar ikan air tawar, baik di
negara berkembang maupun di negara maju. Di Asia Tenggara, ikan nila banyak
dibudidayakan, terutama Filipina, Malaysia, Thailand dan Indonesia. Di
Indonesia, ikan ini sudah tersebar hampir ke seluruh pelosok wilayah tanah air
(Amri dan Khairuman 2003).
Ikan nila termasuk famili Cichlidae yang mempunyai sifat menyimpan telur
dan larvanya di dalam mulut. Secara umum klasifikasi ikan nila menurut
Trewavas (1980), diacu dalam Suyanto (2003) adalah sebagai berikut :
Filum : Chordata
Sub filum : Vertebrata
Kelas : Osteichthyes
Sub kelas : Acanthoptherigii
Ordo : Percomorphi
Sub ordo : Percoidea
Famili : Cichlidae
Genus : Oreochromis
Spesies : Oreochromis niloticus

Gambar 1. Ikan nila (Oreochromis niloticus)


Sumber: Kuncoro (2009)

Ikan nila memiliki bentuk tubuh yang agak panjang dengan warna tubuh
hitam agak keputihan, memiliki lima buah sirip, yaitu sirip punggung, sirip dada,
sirip perut, sirip anus dan sirip ekor. Pada sirip punggung, sirip dubur dan sirip
perut terdapat jari-jari lemah dan jari-jari keras yang tajam seperti duri. Sirip
punggung memiliki lima belas jari-jari keras dan sepuluh jari-jari lemah,
sedangkan sirip ekor mempunyai dua buah jari-jari keras dan sepuluh jari-jari
lemah. Sirip perut mempunyai satu jari-jari keras dan lima belas jari-jari lemah
(Suyanto 2003).
Ikan nila merupakan jenis ikan konsumsi air tawar dengan bentuk tubuh
memanjang dan pipih kesamping dan warna putih kehitaman. Ikan nila berasal
dari Sungai Nil dan danau-danau sekitarnya. Ikan ini telah tersebar ke negara-
negara di lima benua yang beriklim tropis dan subtropis. Ikan nila disukai oleh
berbagai bangsa karena dagingnya enak dan tebal seperti daging ikan kakap merah
(Syamsudin 2001).
Ikan nila dapat hidup pada kisaran suhu yang lebar yaitu 14-38 oC. Ikan nila
dapat hidup pada lingkungan yang mempunyai kisaran pH 5-11 (Arie 2000).
Kandungan oksigen air minimal 4 mg/l, kandungan karbondioksida maksimal
5 mg/l, kadar amoniak dalam air harus dalam batas yang tidak meracuni (lebih
rendah 0,1 mg/l) dan tingkat alkalinitas air berkisar 50-300 mg/l (BPPAT DKP
2001).

2.2 Aspek Ekonomi Ikan Nila (Oreochromis niloticus)


Ikan nila merupakan salah satu komoditas ikan air tawar yang sangat
populer karena ikan ini berasal dari luar Indonesia yang hampir mirip dengan ikan
mujair. Usaha budi daya ikan nila dilakukan di kolam-kolam (tergenang atau
mengalir), sawah dan karamba jaring apung. Usaha pembudidayaan ikan nila kini
tidak hanya sebagai usaha sampingan, melainkan sudah pada tahap budi daya
secara intensif. Pengembangan budi daya ikan nila di Indonesia mengalami
kemajuan yang sangat pesat dengan adanya penemuan-penemuan genetika yang
baru seperti nila merah, nila gift dan nila TA (Pearson 2009).
Ikan nila merah dikenal juga sebagai nila nifi atau nirah. Semula ada yang
menduga nila merah adalah nila biasa yang mengalami penyimpangan genetika
warna tubuh sehingga menjadi albino, tetapi dugaan itu ternyata keliru. Nila
merah adalah varietas tersendiri. Dalam perkembangannya, nila merah disebut
juga dengan nila hibrida. Penamaan ini untuk membedakan dengan nila lokal
dalam hal pertumbuhan karena nila merah mempunyai laju pertumbuhan yang
cepat (Amri dan Khairuman 2003).
Nila gift merupakan hasil persilangan beberapa varietas ikan nila. Nila gift
memiliki ukuran tubuh yang lebih pendek dan lebar dibandingkan dengan nila
lokal. Tanda lainnya yang membedakan nila gift dengan nila lokal adalah warna
tubuh. Warna tubuh nila gift hitam agak putih. Bagian bawah tutup insangnya
berwarna putih. Nila TA tergolong baru sehingga belum banyak dikenal secara
luas oleh masyarakat. Bentuk tubuhnya sangat mirip dengan nila gift. Namun,
jumlah garis-garis vertikal di tubuh nila TA lebih sedikit dibandingkan nila gift
(Amri dan Khairuman 2003).
Hal lain yang menyebabkan ikan nila sangat diminati oleh petani ikan adalah
rendahnya biaya produksi, sehingga petani dengan modal kecil dapat
mengusahakan kegiatan budi daya ikan nila ini. Kebutuhan pasar ikan nila ukuran
konsumsi tidak hanya di pasar lokal, tetapi ikan ini mampu menembus pasar
ekspor Singapura, Jepang, Hong Kong, Arab Saudi, Amerika dan negara-negara
Eropa dalam bentuk fillet. Pada pasar lokal, minat konsumsi ikan masyarakat
Indonesia terhadap ikan nila menempati posisi kedua setelah ikan mas. Hal ini
disebabkan harga ikan nila cukup bersaing dengan harga ikan mas. Ikan untuk
konsumsi lokal pada umumnya memiliki ukuran 200250 gram/ekor atau ukuran
54 ekor/kg, sedangkan untuk pangsa pasar ekspor dibutuhkan ikan nila dengan
ukuran minimal 500 gram/ekor. Hal ini dikarenakan ekspor ikan nila dalam
bentuk fillet, sehingga untuk mendapatkan daging yang banyak dibutuhkan ukuran
ikan yang lebih besar pula (Pearson 2009).
Penanganan pasca panen ikan nila dapat dilakukan dengan cara penanganan
ikan hidup maupun ikan segar (Syamsudin 2001).
1) Penanganan ikan hidup
Adakalanya ikan konsumsi ini akan lebih mahal harganya bila dijual dalam
keadaan hidup. Hal yang perlu diperhatikan agar ikan tersebut sampai ke
konsumen dalam keadaan hidup, segar dan sehat antara lain:
a. Dalam pengangkutan menggunakan air yang bersuhu rendah sekitar 20 oC.
b. Waktu pengangkutan hendaknya pada pagi hari atau sore hari.
c. Jumlah kepadatan ikan dalam alat pengangkutan tidak terlalu padat.
2) Penanganan ikan segar
Ikan segar merupakan produk yang cepat turun kualitasnya. Hal yang perlu
diperhatikan untuk mempertahankan kesegaran antara lain:
a. Penangkapan harus dilakukan hati-hati agar ikan-ikan tidak luka.
b. Sebelum dikemas, ikan harus dicuci agar bersih dari lendir.
c. Wadah pengangkut harus bersih dan tertutup. Pengangkutan jarak dekat
(2 jam perjalanan), dapat menggunakan keranjang yang dilapisi dengan
daun pisang atau plastik. Pengangkutan jarak jauh menggunakan kotak dan
seng atau fiberglass. Kapasitas kotak maksimum 50 kg dengan tinggi
kotak maksimum 50 cm.
d. Ikan diletakkan di dalam wadah yang diberi es dengan suhu 6-7 oC.
Gunakan es berupa potongan kecil-kecil (es curai) dengan perbandingan
jumlah es dan ikan (1:1). Dasar kotak dilapisi es setebal 4-5 cm. Ikan
disusun di atas lapisan es setebal 5-10 cm, lalu disusul lapisan es lagi dan
seterusnya. Antara ikan dengan dinding kotak diberi es, demikian juga
antara ikan dengan penutup kotak.

2.3 Penanganan Ikan Hidup


Prinsip dari penanganan ikan hidup adalah mempertahankan kelangsungan
hidup ikan semaksimal mungkin sampai ikan tersebut diterima oleh konsumen.
Terdapat beberapa tahap penanganan untuk mencapai maksud tersebut yaitu
penanganan ikan sebelum diangkut, selama pengangkutan dan setelah
pengangkutan (Junianto 2003).
Menurut Arie (2000), terdapat beberapa kegiatan penanganan ikan hidup
setelah dilakukan pemanenan, yaitu: penyeleksian, penimbangan, pemberokan dan
pengangkutan.
a. Penyeleksian, dilakukan karena dalam satu periode pemanenan biasanya ukuran
ikan sangat beragam. Ikan perlu diseleksi dan dipisahkan menurut ukurannya.
Ikan yang berukuran kecil sebaiknya dipelihara kembali dalam kolam
pembesaran.
b. Penimbangan, ikan yang telah diseleksi ditimbang untuk mengetahui bobot ikan
dari satu periode pemeliharaan, maka dari bobot tersebut dapat diketahui
pendapatan dan keuntungan yang diperoleh.
c. Pemberokan, dapat diartikan sebagai kegiatan penyimpanan sementara sebelum
ikan dipasarkan dengan tujuan untuk membuang kotoran dalam tubuh ikan.
Pemberokan dapat dilakukan dalam bak, selama pemberokan ikan tidak diberi
pakan. Pemberokan dilakukan selama 24 jam untuk perjalanan yang lebih dari
12 jam (Mangunkusumo 2009). Pemberokan dilakukan 1-2 hari untuk ikan
ukuran konsumsi (Junianto 2003).
d. Pengangkutan, untuk ikan konsumsi dapat diangkut dengan berbagai cara,
tergantung tujuan pasar lokal, luar daerah ataupun ekspor. Angkutan lokal
biasanya menggunakan sistem basah, sedangkan untuk luar daerah yang jauh
dan ekspor dilakukan dengan sistem kering.

2.4 Transportasi Ikan Hidup


Transportasi ikan hidup pada dasarnya adalah memaksa menempatkan ikan
dalam suatu lingkungan baru yang berlainan dengan lingkungan asalnya dan
disertai perubahan-perubahan sifat lingkungan yang sangat mendadak
(Hidayah 1998). Ada dua sistem transportasi yang digunakan untuk hasil
perikanan hidup di lapangan. Sistem transportasi tersebut terdiri dari transportasi
sistem basah dan transportasi sistem kering (Junianto 2003).
Menurut Jailani (2000), pada transportasi sistem basah, ikan diangkut di
dalam wadah tertutup atau terbuka yang berisi air laut atau air tawar tergantung
jenis dan asal ikan. Pada pengangkutan dengan wadah tertutup, ikan diangkut di
dalam wadah tertutup dan suplai oksigen diberikan secara terbatas yang telah
diperhitungkan sesuai dengan kebutuhan selama pengangkutan. Pada
pengangkutan dalam wadah terbuka, ikan diangkut dengan wadah terbuka dengan
suplai oksigen secara terus menerus dan aerasi selama perjalanan. Transportasi
basah biasanya digunakan untuk transportasi hasil perikanan hidup selama
penangkapan di tambak, kolam dan pelabuhan ke tempat pengumpul atau dari satu
pengumpul ke pengumpul lainnya.
Menurut Achmadi (2005), transportasi ikan hidup tanpa media air (sistem
kering) merupakan sistem pengangkutan ikan hidup dengan media pengangkutan
bukan air. Pada transportasi ikan hidup tanpa media air, ikan dibuat dalam kondisi
tenang atau aktivitas respirasi dan metabolismenya rendah. Transportasi sistem
kering ini biasanya menggunakan teknik pembiusan pada ikan atau ikan
dipingsankan (imotilisasi) terlebih dahulu sebelum dikemas dalam media tanpa air
(Suryaningrum et al. 2007).
Pada transportasi ikan hidup sistem kering perlu dilakukan proses
penenangan terlebih dahulu. Kondisi ikan yang tenang akan mengurangi stress,
mengurangi kecepatan metabolisme dan konsumsi oksigen. Pada kondisi ini
tingkat kematian selama transportasi akan rendah sehingga memungkinkan jarak
transportasi dapat lebih jauh dan kapasitas angkut dapat ditingkatkan lagi. Metode
penanganan ikan hidup dapat dilakukan dengan cara menurunkan suhu air atau
dapat juga menggunakan zat anestesi. Perlu diperhatikan bahwa ikan yang akan
dipingsankan ini nantinya akan dikonsumsi, sehingga pemilihan metode
imotilisasi harus memperhatikan aspek kesehatan (Nitibaskara et al. 2006).
Syarat utama dalam pengangkutan ikan hidup adalah kesehatan ikan. Ikan
harus dalam keadaan sehat, tidak berpenyakit dan dalam kondisi prima. Ikan yang
sehat dan bugar biasanya sangat gesit, aktif, responsif sesuai dengan karakter
masing-masing ikan (Nitibaskara et al. 2006). Menurut Achmadi (2005), ikan
dalam keadaan hidup normal memiliki ciri-ciri reaktif terhadap rangsangan luar,
keseimbangan dan kontraksi otot normal. Ikan yang kurang sehat atau lemah
mempunyai daya tahan hidup yang rendah dan peluang untuk mati selama
pemingsanan dan pengangkutan lebih besar (Sufianto 2008).
Menurut Achmadi (2005), ikan hidup yang akan dikirim dipersyaratkan
dalam keadaan sehat dan tidak cacat. Pemeriksaan kondisi kesehatan ikan selalu
dilakukan untuk mengurangi kemungkinan mortalitas yang tinggi, sedangkan
adanya cacat seperti cacat sirip, mata, kulit rusak dan sebagainya dapat
menurunkan harga.
Suryaningrum dan Bagus (1999) menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat
kebugaran udang semakin lama udang dapat ditransportasikan dengan kelulusan
hidup yang tinggi. Sedangkan menurut Praseno (1990), diacu dalam
Suryaningrum et al. (2008), kualitas ikan yang diangkut merupakan kriteria yang
sangat menentukan dalam keberhasilan proses transportasi ikan hidup. Menurut
Ayres dan Wood (1977), diacu dalam Suryaningrum et al. (2008), salah satu
syarat yang sangat menentukan keberhasilan transportasi lobster hidup adalah
kondisi kesehatan dan kebugaran lobster sebelum ditransportasikan.
2.5 Imotilisasi dengan Suhu Rendah
Imotilisasi berprinsip pada hibernasi, yaitu usaha menekan metabolisme
suatu organisme hingga kondisi minimum untuk mempertahankan hidupnya lebih
lama (Suryaningrum et al. 2004). Imotilisasi dapat dilakukan salah satunya
dengan menggunakan suhu rendah (Ikasari et al. 2008). Suhu air yang rendah
dapat menurunkan aktifitas dan tingkat konsumsi oksigen ikan (Coyle et al. 2004).
Pada imotilisasi ikan dengan suhu rendah, suhu diturunkan sedemikian rupa
sehingga diperoleh kondisi ikan dengan aktivitas ikan seminimal mungkin akan
tetapi masih dapat hidup dengan sehat setelah mengalami pembugaran kembali
(Wibowo 1993).
Imotilisasi dengan suhu rendah merupakan cara yang paling efektif,
ekonomis dan aman dalam mempersiapkan transportasi lobster air tawar
(Suryaningrum et al. 2007). Es batu sering digunakan sebagai bahan pembius
karena harganya yang relaif murah, mudah didapat dan aman karena tidak
mengandung bahan kimia yang dapat membahayakan manusia. Penurunan suhu
dapat dilakukan dengan merendam es batu dalam kantong plastik pada air bak
pemingsanan (Nitibaskara et al. 2006). Suhu dingin merupakan salah satu kunci
dalam transportasi ikan hidup, pada kondisi ini tingkat metabolisme dan respirasi
sangat rendah sehingga ikan atau crustacea dapat diangkut dengan waktu yang
lama dan tingkat kelulusan hidup yang tinggi (Berka 1986, diacu dalam
Suryaningrum et al. 2007).
Imotilisasi dimaksudkan agar ikan berada dalam aktivitas metabolisme dan
respirasi yang rendah sehingga ketahanan hidup di luar habitat hidupnya tinggi
(Berka 1986, diacu dalam Suryaningrum et al. 2007). Imotilisasi menggunakan
suhu rendah memiliki dua metode yaitu imotilisasi dengan penurunan suhu
bertahap dan imotilisasi dengan penurunan suhu langsung. Penurunan suhu
sampai batas tertentu akan menurunkan tingkat metabolisme dan akhirnya akan
menyebabkan ikan pingsan. Fase pingsan merupakan fase yang dianjurkan untuk
pengangkutan ikan, karena pada fase ini aktivitas ikan relatif akan berhenti
(Mc Farland 1959, diacu dalam Achmadi 2005).
Metode imotilisasi dengan penurunan suhu secara bertahap, yaitu ikan
dimasukkan ke dalam air yang beraerasi kemudian diimotilisasi dengan
menurunkan suhu air secara bertahap sampai suhu tertentu
(Nitibaskara et al. 2006). Pada suhu tertentu yang dikehendaki, ikan
dipertahankan di dalam air selama waktu tertentu sampai ikan imotil. Pada
penurunan suhu bertahap ini ikan secara bertahap direduksi aktivitas, respirasi dan
metabolismenya sampai mencapai titik imotil yang diperlukan
(Nitibaskara et al. 2006). Selain itu, pada kondisi imotil tersebut aktivitas ikan
sudah cukup rendah atau bahkan sudah pingsan sehingga mudah ditangani untuk
transportasi. Metode ini secara praktis agak merepotkan, terutama jika udang atau
lobster yang akan dikemas banyak (Suryaningrum et al. 2004).
Perubahan perilaku udang windu akibat pembiusan penurunan suhu secara
bertahap hingga mencapai suhu pembiusan terbaik 15 oC disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Perubahan perilaku udang windu akibat pembiusan penurunan suhu


bertahap
Waktu Suhu Kondisi dan aktivitas udang
(menit) (oC)
0 26,0 Udang normal, aktif dan berdiri kokoh
10 23,5 Udang masih berdiri, sebagian mulai lamban
19 20,0 Udang mulai tenang, tidak ada pergerakan
25 18,7 Udang melemah, respon mulai berkurang
29 17,5 Sebagian tenang dan lemah
37 16,3 Respon lemah, mulai limbung, sebagian miring
43 15,7 Udang mulai panik, kaki renang masih bergerak lemah
52 15,0 Udang merebah, semakin lemah, pingsan
Sumber: Gayatri (2000)

Hasil penelitian Wibowo et al. (2005), diacu dalam Suryaningrum


et al. (2007), memberikan informasi mengenai perubahan fisiologis lobster air
tawar pada berbagai suhu. Informasi tersebut digunakan untuk menentukan suhu
imotil dan suhu media selama transportasi. Menurut Suryaningrum dan Utomo
(1999), diacu dalam Andasuryani (2003), suhu media untuk transportasi sistem
kering berkisar atau sama dengan suhu imotilisasi. Adapun respon fisiologis
lobster air tawar terhadap penurunan suhu yang dilakukan secara bertahap
disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Respon aktivitas fisiologis lobster air tawar pada berbagai suhu
No Suhu (oC) Perubahan aktivitas
1 30,4-25,4 Lobster bergerak aktif, kaki jalan, kaki renang dan kaki capit
bergerak aktif, lobster cenderung bergerombol (normal)
2 25,4-19,4 Aktivitas lobster mulai berkurang, kaki jalan, kaki renang dan kaki
capit bergerak perlahan-lahan, ekor melipat ke dalam, lobster
cenderung diam (tenang)
3 19,4-15,4 Lobster gelisah, bergerak tidak beraturan dengan menyentak-
nyentakkan tubuhnya mundur ke belakang, setelah panik lobster
tenang kembali, respon terhadap rangsang lemah (panik)
4 15,4-12,9 Lobster mulai hilang keseimbangan, gerakan lobster lemah, respon
terhadap rangsangan lemah, ketika posisi tubuh dibalik tidak dapat
tegak kembali
5 12,9-10,4 Lobster hilang keseimbangan, posisi tubuh rebah atau terbalik, kaki
jalan dan kaki renang diam
6 10,4-9,8 Keseimbangan lobster tidak ada, posisi tubuh terbalik, kaki jalan,
kaki renang dan capit kaku tidak bergerak, ekor melipat kea rah
abdomen, respon terhadap rangsangan tidak ada (pingsan)
Sumber: Wibowo et al. (2005), diacu dalam Suryaningrum et al. (2007)

Menurut Setiabudi et al. (1995), perubahan-perubahan tingkah laku tersebut


disebabkan adanya perubahan suhu. Menurut Phillips et al. (1980), diacu dalam
Suryaningrum et al. (1997), laju konsumsi oksigen hewan air akan menurun
dengan menurunnya suhu media. Penurunan konsumsi oksigen pada lobster akan
mengakibatkan jumlah oksigen yang terikat dalam darah semakin rendah.
Keadaan ini akan mengakibatkan suplai oksigen ke jaringan syaraf juga berkurang
sehingga menyebabkan berkurangnya aktivitas fisiologis dan lobster menjadi
lebih tenang (Suryaningrum et al. 1997).
Metode imotilisasi dengan penurunan suhu secara langsung, yaitu dilakukan
dengan cara memasukkan ikan hidup dalam media air dingin pada suhu tertentu
selama waktu tertentu sampai ikan imotil. Waktu dan suhu imotilisasi dipengaruhi
oleh ukuran, umur dan jenis ikan. Melalui imotilisasi dengan penurunan suhu
secara langsung ini ikan akan mengalami shock dan langsung berada dalam
tingkat aktivitas, respirasi dan metabolisme yang rendah. Selain itu, pada kondisi
imotil tersebut aktivitas ikan sudah cukup rendah atau bahkan sudah pingsan
sehingga mudah ditangani untuk transportasi (Nitibaskara et al. 2006).
Tingkah laku ikan mas selama proses pemingsanan dengan suhu rendah
8 oC secara langsung disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Tingkah laku ikan mas selama proses pemingsanan dengan suhu rendah
8 oC secara langsung
Waktu Suhu Kondisi dan aktivitas lobster
(menit) (oC)
0 8 Aktivitas normal
5 8 Ikan kelihatan panik, bergerak tidak beraturan
10 8 Ikan shock ditandai dengan gerakan tak terkendali, kemudian ikan
mulai oleng
15 8 Ikan rebah disertai operkulum bergerak lambat. Ikan tidak
bergerak jika disentuh
20 8 Tidak ada aktivitas, operkulum bergerak lemah disertai terjadinya
kekejangan otot yang mulai kaku
Sumber: Jailani (2000)

Beberapa komoditas hasil perikanan yang dapat ditransportasikan dalam


keadaan hidup dan dikemas dalam media tanpa air (transportasi sistem kering)
menggunakan metode pembiusan suhu rendah adalah ikan, lobster dan udang.
Udang yang memiliki nilai jual yang tinggi di Jepang, yaitu Penaeus japonicas,
karena udang tersebut ditransportasikan hidup dengan pembiusan suhu rendah
dalam kemasan serbuk gergaji dingin (Shigueno 1975, diacu dalam Salin 2005).
Beberapa Penaeid lainnya diantaranya adalah Penaeus esculentus (Haswell),
P. monodon (Fabricus), P. semisulcatus (De Haan) dan Melicertus (Penaeus)
plebejus (Hess) telah dicoba di Australia sebagai spesies alternatif untuk
M. japonicus dalam pemasaran hidup ke Jepang (Goodrick, Paterson dan Grauf
1995, diacu dalam Salin 2005). Menurut Salin dan Vadhyar (2001) percobaan
penyimpanan hidup P. monodon tanpa media air dengan suhu pembiusan
14 1 oC dalam serbuk gergaji dingin telah sukses. Teknologi pengangkutan
hidup yang sama tersebut juga telah dicobakan pada udang air tawar. Udang air
tawar hidup biasanya masih menggunakan media pengangkutan air yang kurang
aman, beresiko tinggi dan kurang efisien. Transportasi dengan sistem kering dapat
menjadi pilihan tepat, apabila kondisi optimalnya diketahui dan merupakan cara
yang efisien dan aman meskipun beresiko tinggi.
Ikan mas dapat dipingsankan dengan suhu rendah secara bertahap selama
30 menit dan secara langsung selama 10 menit pada suhu 6-7 oC dengan tingkat
kelulusan hidup sebesar 40% setelah 7 jam penyimpanan. Ikan kakap dapat
dipingsankan dengan suhu rendah pada suhu 10-11 oC (Nitibaskara et al. 2006).
Ikan mas yang dipingsankan dengan suhu rendah secara langsung pada suhu
8 C dan dikemas dalam styrofoam berukuran 30x30x40 cm3 dengan kepadatan
o

5 ekor ikan selama 5 jam memiliki tingkat kelulusan hidup 40 % (Jailani 2000).
Udang yang dipingsankan pada suhu 18 oC secara langsung selama 15 menit
memiliki tingkat kelulusan hidup sebesar 40 % setelah dikemas selama 22 jam
(Nitibaskara et al. 2006). Udang windu tambak yang dibius menggunakan suhu
rendah secara langsung pada suhu 17-19 oC dapat dipertahankan kelangsungan
hidupnya sebesar 93,75 % di dalam media serbuk gergaji dingin dalam uji
transportasi selama 16 jam (Setiabudi et al. 1995). Lobster hijau pasir (Panulirus
homarus) yang dibius menggunakan suhu rendah secara langsung pada suhu
14-15 oC selama 20 menit dapat bertahan hidup selama 20 jam dengan kelulusan
hidup 100 % (Suryaningrum at al. 1994).
Lama pembiusan yang terjadi pada proses pembiusan berbeda-beda . Hal ini
disebabkan fase panik yang terjadi saat proses pembiusan. Menurut Karnila dan
Edison (2001), fase panik tersebut dipengaruhi oleh suhu pembiusan. Ikan sangat
sensitif dengan adanya perubahan suhu air (Subasinghe 1997). Pada fase panik,
respirasi akan meningkat dengan tajam kemudian turun sampai mencapai respirasi
terendah yang menyebabkan ikan pingsan. Tingkat respirasi yang cukup rendah
menyebabkan lobster terganggu keseimbangannya sehingga lobster tidak dapat
menyangga tubuhnya sendiri dan jatuh dengan posisi tubuh miring
(Suryaningrum et al. 2008).
Pada kondisi shock, ikan banyak melakukan gerakan yang berlebihan pada
saat proses pembiusan. Kondisi shock tersebut menyebabkan ikan cepat
mengalami kematian karena ikan yang stres akan mengalami peningkatan asam
laktat dalam darah. Jika asam laktat terakumulasi dalam darah cukup tinggi akan
mempercepat terjadinya proses kematian (Afrianto dan Liviawaty 1989, diacu
dalam Utomo 2001). Faktor lingkungan dapat menjadi salah satu faktor penyebab
stress pada ikan (Lerner 2004).
Parameter penting dalam pembiusan pada suhu rendah yang cukup
berpeluang dalam menunjang kelulusan hidup ikan adalah metode pembiusan,
waktu pembiusan dan suhu pembiusan yang digunakan
(Suryaningrum et al. 1994). Imotilisasi dengan suhu rendah memiliki keuntungan
diantaranya ekonomis karena es mudah didapat dan aman karena tidak terdapat
residu bahan kimia (Suryaningrum et al. 1997).
Ada beberapa keuntungan dan kerugian metode imotilisasi dengan
penurunan suhu langsung dan bertahap. Pemingsanan dengan penurunan suhu
secara bertahap dapat menimbulkan stress pada ikan dan memerlukan waktu yang
panjang hingga ikan pingsan, sedangkan dengan penurunan suhu secara langsung
dapat mengurangi stress selama proses pemingsanan dan mempercepat proses
pemingsanan (Nitibaskara et al. 2006).
Tingkat keberhasilan transportasi ikan hidup diukur dari besarnya nilai
tingkat kelulusan hidupnya (survival) atau nilai kematiannya (mortalitas). Pada
transportasi ikan hidup sistem kering, setelah ikan ditransportasikan kemudian
ikan disadarkan kembali (proses pembugaran) dengan aerasi secara terus menerus
untuk mengetahui tingkat kelulusan hidupnya. Penggunaan aerasi bertujuan untuk
membantu penambahan udara ke dalam air sehingga kadar oksigen terlarut dalam
air menjadi cukup (Boyd 1982). Piper et al. (1982), diacu dalam
Nitibaskara et al. (2006) menyatakan bahwa kandungan oksigen terlarut di atas
5 mg/l dapat menjamin ikan tidak akan mengalami stress. Proses pembugaran
bertujuan untuk memulihkan kembali kondisi ikan. Suhu media pembugaran
disesuaikan dengan habitat ikan (Achmadi 2005).
Pada proses pembugaran udang dan lobster yang hidup akan berenang,
mula-mula udang atau lobster akan limbung tetapi kondisinya akan normal
kembali setelah berada dalam air selama 30 menit (Suryaningrum et al. 2004).
Menurut Achmadi (2005), ikan yang tidak menunjukkan adanya tanda-tanda
pergerakan anggota tubuh setelah 10 menit waktu pembugaran dianggap tidak
lulus hidup.

2.6 Pengemasan
Menurut Hambali et al. (1990), diacu dalam Jailani (2000), pengemasan
merupakan suatu cara untuk melindungi atau mengawetkan produk pangan
maupun non pangan. Pengemasan tidak hanya bertujuan untuk mengawetkan
produk yang dikemas, tetapi juga merupakan penunjang bagi transportasi,
distribusi dan merupakan bagian penting dari usaha untuk mengatasi persaingan
dalam pemasaran.
Menurut Subasinghe (1997), kebanyakan eksportir mengemas udang atau
lobster dalam satu kotak pengemas sebanyak empat sampai lima lapis yang
masing-masing diselingi serbuk gergaji, setelah itu kotak pengemas disegel
dengan lakban. Suhu kemasan yang berukuran 50x50x50 cm3 agar dapat
dipertahankan sama dengan suhu pembiusan maka disarankan untuk
menggunakan es seberat 0,5-1 kg yang dibungkus dengan plastik. Es ini
diletakkan di bagian atas atau bawah kemasan. Cara lainnya adalah meletakkan es
ini di sudut kemasan. Es ini dimasukkan ke dalam plastik kemudian dibungkus
dengan kertas koran. Suhu kotak styrofoam yang berukuran 40x60x40 cm3 dapat
dipertahankan sama dengan suhu pembiusan dengan menambahkan es seberat
0,5 kg sedangkan yang berukuran 30x30x40 cm3 dan 40x30x30 cm3 dengan
menambahkan es seberat 0,3-1 kg dan 0,5 kg yang dibungkus dengan plastik. Es
ini diletakkan di bagian bawah kemasan (Setiabudi et al. 1995; Jailani 2000;
Suryaningrum et al. 2004; Handini 2008).
Pengangkutan ikan hidup sistem media bukan air menggunakan bahan
pengisi atau media. Macam bahan pengisi yang dapat digunakan antara lain sekam
padi, serutan kayu, serbuk gergaji dan rumput laut. Fungsi utama bahan pengisi
dalam pengangkutan hidup media bukan air adalah untuk mencegah udang atau
lobster hidup agar tidak bergeser dalam kemasan, menjaga lingkungan suhu
rendah agar udang tetap pingsan atau imotil dan memberi lingkungan udara yang
memadai untuk kelangsungan hidup udang atau lobster. Bahan media kemasan
yang digunakan harus memperhatikan kestabilan suhu media kemasan. Suhu
media kemasan harus dapat dipertahankan serendah mungkin mendekati titik
imotil. Hal ini disebabkan suhu media kemasan berperan dalam mempertahankan
tingkat terbiusnya udang atau lobster selama pengangkutan sehingga ikut
mempertahankan ketahanan hidup udang atau lobster dalam media bukan air
(Junianto 2003). Menurut Suryaningrum et al. (1994), suhu akhir media ideal
untuk transportasi sistem kering sebaiknya tidak lebih dari 20 oC.
Menurut Utomo (2001), pada saat ikan dipingsankan dan disimpan dalam
kemasan tanpa air, katup insangnya masih mengandung air sehingga oksigen
masih dapat diserap walaupun sangat sedikit. Pada proses pengemasan, kertas
koran dapat digunakan sebagai pembungkus ikan. Penggunaan kertas koran
sebagai pembungkus ikan dapat memberikan keuntungan yaitu kondisi ikan tetap
bersih setelah ikan dibongkar dan mencegah serbuk gergaji masuk ke dalam
insang (Nitibaskara at al. 2006).
Bahan pengisi yang paling efektif dan efisien dalam pengangkutan
organisme hidup adalah serbuk gergaji karena teksturnya baik dan seragam.
Serbuk gergaji yang akan digunakan diberi perlakuan terlebih dahulu untuk
menghilangkan kotoran atau terpenten (bau) yaitu dengan pencucian dan
perendaman (Junianto 2003).
Secara umum ketebalan serbuk gergaji yang digunakan berkisar antara
0,5 cm sampai 10 cm. Menurut Junianto (2003), pada dasar wadah diisi bahan
pengisi yang disebar merata membentuk lapisan tipis dengan tebal 0,5-1 cm.
Menurut Nitibaskara et al. (2006), lapisan dasar wadah ditaburkan serbuk gergaji
dengan tebal 10-15 cm. Menurut Suryaningrum et al. (2004), di atas koran
ditaburi serbuk gergaji dingin dengan ketebalan 5-10 cm, sehingga kontak
langsung antara ikan dan es dapat dihindari.
Menurut Srikirishnadhas dan Kaleemur (1994), penggunaan serbuk gergaji
sebagai media kemasan dapat dikombinasikan dengan jerami atau sisa potongan
karung goni. Bahan-bahan tersebut sebelum digunakan didinginkan dalam freezer,
setelah bahan pengisi disiapkan maka perlu disiapkan es batu untuk membantu
menjaga suhu kemasan tetap rendah. Pada lapisan dasar kotak pengemas
disebarkan serbuk gergaji kira-kira 0,5 cm, kemudian di atasnya ditempatkan
lapisan jerami.
3. METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat


Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2009 sampai Mei 2009.
Penelitian dilakukan di Kolam Percobaan Babakan dan Laboratorium
Lingkungan, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

3.2 Alat dan Bahan


Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah timbangan, penggaris,
aerator, akuarium untuk pembiusan berukuran 76x52x41 cm3, akuarium berukuran
21x15,5x15,5 cm3 untuk penentuan jumlah es untuk pembiusan dan ember plastik
serta peralatan pengukuran kualitas air, yaitu termometer, pH-meter, DO-meter,
spektrofotometer dan pengukur waktu.
Bahan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ikan nila
(Oreochromis niloticus) ukuran 5-6 ekor/kg atau 200 gram/ekor yang diperoleh
dari kolam ikan di desa Situdaun, Bogor. Ukuran ikan nila yang digunakan
disajikan pada Lampiran 1. Bahan pembantu yang digunakan adalah air tawar
untuk aklimatisasi, media pemingsanan dan sebagai bahan pembuatan es batu
(untuk pendingin dalam kemasan dan penurunan suhu media air saat
pemingsanan), kertas koran untuk pembungkus es dan ikan dalam kemasan,
kantong plastik ukuran 15x25 cm2 (berkapasitas 1000 gr) sebagai wadah untuk
membungkus es batu, serbuk gergaji digunakan sebagai bahan pengisi dalam
kemasan, kotak styrofoam ukuran 30x30x40 cm3 digunakan sebagai wadah
pengemas, karet gelang dan lakban.

3.3 Prosedur dan Tahap Penelitian


3.3.1 Persiapan penelitian
a. Pengukuran kualitas air
Kualitas air yang digunakan dalam percobaan ini perlu diketahui dengan
melakukan pengukuran suhu, kadar oksigen terlarut (DO), CO2, pH, amoniak dan
alkalinitas terhadap air kolam tempat ikan hidup, air laboratorium yang belum
diendapkan serta air laboratorium yang telah diendapkan selama 2 hari. Tujuan
pengukuran kualitas air yaitu untuk memastikan bahwa kualitas air tersebut dalam
kondisi yang layak untuk kelangsungan hidup ikan nila sehingga tidak
mempengaruhi pada saat ikan nila dipelihara dan diadaptasikan serta diberi
perlakuan dalam proses pembiusan maupun pembugaran. Alat dan cara
peneraannya dalam pengukuran kualitas air disajikan pada Tabel 4. Prosedur cara
peneraan dari masing-masing parameter kualitas media air tersebut dicantumkan
pada Lampiran 2.

Tabel 4. Parameter kualitas air, alat dan cara peneraannya


No Parameter Alat Cara peneraan
1 Suhu air Termometer Pembacaan skala
2 DO DO-meter Pembacaan skala
3 CO2 Alat gelas Titrasi
4 pH pH-meter Pembacaan skala
5 Amoniak Spektrofotometer Pembacaan skala
6 Alkalinitas Alat gelas Titrasi
Sumber: Handini (2008)

b. Media serbuk gergaji dingin


Bahan pengisi yang digunakan dalam penelitian ini adalah serbuk gergaji.
Serbuk gergaji sebelum digunakan dicuci dengan air tawar kemudian dijemur.
Proses pencucian dan penjemuran ini dilakukan sebanyak tiga kali. Serbuk gergaji
kering kemudian direndam dengan air tawar di dalam ember yang kemudian
ditambahkan sejumlah es batu dan diaduk sampai suhu serbuk gergaji sesuai
dengan suhu pembiusan ikan nila.
c. Ikan nila yang diuji
Ikan yang dipilih dalam kondisi yang sehat dan tidak cacat, gerakannya aktif
dan responsif terhadap rangsangan. Ikan yang baru dibeli dalam keadaan hidup
dari kolam dipindahkan pada akuarium yang diberi aerasi untuk dilakukan
adaptasi (2x24 jam) kemudian dipuasakan (24 jam). Pada saat ikan baru
dipindahkan pada akuarium, ikan tidak diberi pakan terlebih dahulu, karena ikan
berada dalam lingkungan yang baru sehingga perlu penyesuaian diri terhadap
lingkungannya tersebut.
d. Media kemasan
Media kemasan yang digunakan yaitu styrofoam. Persiapan media kemasan
dilakukan pada pelaksanaan percobaan. Kemasan dipersiapkan bersamaan dengan
berlangsungnya proses pembiusan dengan penurunan suhu rendah terhadap ikan
nila. Pada saat pembiusan ikan nila telah dilakukan, pengemas sudah disiapkan
sesuai dengan teknik pengemasan sistem kering. Serbuk gergaji yang sudah siap
digunakan dimasukkan ke dalam styrofoam yang pada bagian dasarnya diberi
butiran es batu sebanyak kurang lebih 500 gram yang dibungkus dalam kantong
plastik agar serbuk gergaji tetap dingin selama penyimpanan ikan
(Subasinghe 1997).
Penyusunan ikan nila di dalam kemasan secara berurutan dengan melapisi
bagian dasar dengan es batu sebanyak 500 gram yang dibungkus plastik yang di
atasnya dilapisi kertas koran dan serbuk gergaji dengan ketebalan 3 cm kemudian
ikan dibungkus dengan kertas koran diletakkan dengan posisi miring di atasnya
kemudian ditaburi kembali dengan serbuk gergaji sampai tertutup semua.
Penyusunan ikan dalam kemasan dapat dilihat pada Gambar 2.

Serbuk gergaji
Ikan nila 5 ekor dibungkus kertas koran
Serbuk gergaji
Kertas koran
Es batu yang dibungkus plastik

Gambar 2. Penyusunan ikan nila (Oreochromis niloticus) dalam kemasan

3.3.2 Metode Penelitian


a. Penelitian pendahuluan
1) Penentuan jumlah es untuk pembiusan
Sebanyak 4 buah akuarium yang berukuran 21x15,5x15,5 cm3 diisi dengan
1 liter air dan dilengkapi dengan aerasi. Aerasi bertujuan untuk mempercepat
penyebaran suhu pengesan di dalam akuarium (Salin 2005). Masing-masing
akuarium diberi es yang dibungkus dengan plastik sebanyak 0,5 kg, 1 kg, 1,5 kg
dan 2 kg. Hal ini bertujuan untuk mengetahui kecepatan penurunan suhu media air
dan kemampuan es menurunkan suhu media air yang akan digunakan untuk
pembiusan ikan nila pada perbandingan volume media air pembius dan jumlah es
tertentu tanpa ikan nila. Penurunan suhu media air yang mencapai kisaran suhu
terendah untuk pembiusan ikan nila akan digunakan pada penelitian tahap
selanjutnya.
2) Penentuan suhu pembiusan ikan nila
Akuarium yang digunakan pada penentuan suhu pembiusan ikan nila
memiliki ukuran 76x52x41 cm3. Perbandingan jumlah es sebanyak 2 kg dengan
volume air sebanyak 1 liter berdasarkan hasil penelitian pendahuluan, maka
diperlukan 40 kg es dengan 20 liter air dan ditambahkan 5 ekor ikan dilengkapi
dengan aerasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui suhu pembiusan dan fase
imotil ikan nila. Pada proses pembiusan, tingkah laku ikan diamati sampai ikan
mengalami pingsan. Pada penelitian tahap ini akan diketahui suhu pembiusan dan
fase imotil ikan nila yang akan digunakan pada penelitian utama. Klasifikasi
respon tingkah laku ikan secara umum selama pembiusan disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Klasifikasi respon tingkah laku ikan selama pembiusan


Fase Respon tingkah laku
Normal Reaktif terhadap rangsangan luar, keseimbangan dan
kontraksi otot normal
Pingsan ringan Reaktivitas terhadap rangsangan luar lambat, gerak
operkulum lambat dan gerak renang aktif
Pingsan berat Reaktivitas terhadap rangsangan luar tidak ada, kecuali
dengan tekanan kuat, pergerakan operkulum lambat
Roboh Gerak operkulum tidak ada atau sangat lemah, respon
terhadap rangsang luar tidak ada, gerak renang tidak ada
Sumber : Mc Farland (1959), diacu dalam Achmadi (2005)

b. Penelitian utama
1) Pembiusan ikan nila dengan suhu rendah secara langsung
Ikan nila yang akan dibius diseleksi terlebih dahulu kondisi fisik dan
kesehatannya, karena akan mempengaruhi keberhasilan penerapan teknik
pembiusan untuk ditransportasikan dalam keadaan hidup tanpa media air. Ikan
nila dibius dengan penurunan suhu secara langsung sesuai dengan suhu
pembiusan yang mencapai fase pingsan ringan, fase pingsan berat dan fase roboh
pada penelitian pendahuluan.
Teknik pembiusan dilakukan dengan memasukkan ikan secara langsung
dalam media air yang suhunya telah ditentukan pada suhu pembiusan ikan nila.
Akuarium ukuran 76x52x41 cm3 sebanyak 3 buah untuk masing-masing perlakuan
diisi air sebanyak 20 liter dengan aerasi dan diberi es sebanyak 40 kg untuk
mengatur suhu media air sesuai dengan suhu pembiusan ikan nila kemudian ikan
nila dimasukkan setelah suhu media air telah mencapai suhu pembiusan. Hal ini
bertujuan untuk mengetahui tingkat kelulusan hidup ikan jika dibius secara
langsung dengan suhu sesuai dengan fase pingsan ikan nila. Pada tahap ini
dilakukan pencatatan waktu, suhu dan pengamatan tingkah laku ikan nila selama
proses pembiusan tersebut berlangsung.
2) Penyimpanan ikan nila (Oreochromis niloticus)
Kotak styrofoam kosong terlebih dahulu diberi es batu dalam kantong plastik
sebanyak kurang lebih 0,5 kg yang kemudian ditutup kertas koran. Media serbuk
gergaji lembab dan dingin sesuai dengan suhu pembiusan ikan nila, ditaburkan
setebal 3 cm di atas kertas koran. Ikan yang telah imotil masing-masing dibungkus
kertas koran dan disusun miring di atas serbuk gergaji kemudian ditaburi kembali
dengan serbuk gergaji sampai tertutup semua. Tahap selanjutnya kotak ditutup
rapat dan dilakban untuk menghindari pengaruh suhu lingkungan luar terhadap isi
kemasan.
Pada saat proses penyimpanan tersebut dilakukan pengamatan dan
pengukuran beberapa parameter yang berpengaruh terhadap tingkat mortalitas
ikan nila, yaitu :
a. Interval lama penyimpanan
Lama penyimpanan ikan nila (Oreochromis niloticus) terdiri dari 4 taraf
waktu, yaitu 0 jam, 3 jam, 6 jam dan 9 jam. Pada setiap perlakuan waktu
penyimpanan terdiri dari 3 kali ulangan.
b. Pengukuran suhu media pengisi
Pengukuran suhu media serbuk gergaji dilakukan sebelum ikan dikemas
dalam kemasan styrofoam dan sesudah dilakukan penyimpanan ikan dalam
kemasan media serbuk gergaji dingin menggunakan termometer.
c. Kelulusan hidup ikan nila (Oreochromis niloticus)
Perhitungan tingkat kelulusan hidup ikan nila (Oreochromis niloticus)
dilakukan setelah disimpan dengan interval waktu lama penyimpanan, kemudian
dilakukan proses pembugaran dengan cara membongkar kemasan. Tahap
selanjutnya ikan dibersihkan dan dilakukan proses pembugaran. Pada proses
pembugaran ikan dimasukkan ke dalam akuarium yang berisi air tawar disertai
dengan aerasi secara terus-menerus. Suhu media pembugaran disesuaikan dengan
o
habitat ikan nila yaitu 27-28 C. Tingkat kelulusan hidup ikan dihitung
berdasarkan persentase ikan yang hidup setelah penyimpanan. Persamaan yang
digunakan untuk perhitungan tingkat kelulusan hidup ikan adalah :
M = Ut/Uo x 100 %
Keterangan :
M : Tingkat kelulusan hidup (%)
Ut : Jumlah ikan yang hidup pada akhir periode (ekor)
Uo : Jumlah ikan yang hidup pada awal periode (ekor)
Ikan nila hidup

Adaptasi 2 hari

Penyeleksian kesehatan
ikan nila

Pemuasaan 24 jam

Penentuan jumlah es untuk


pembiusan

Penentuan suhu pembiusan


ikan nila

Pembiusan secara langsung Pembiusan secara langsung Pembiusan secara langsung


(pingsan ringan 9-10 oC) (pingsan berat 7-9 oC) (roboh 6-7 oC)

Pengemasan

Penyimpanan
(0 jam, 3 jam, 6 jam dan 9 jam)

Pembongkaran

Pembugaran

Pengamatan
dan
perhitungan

Gambar 3. Diagram alir penyimpanan ikan nila dalam serbuk gergaji dingin
3.4 Analisis Data
Analisis data diperlukan untuk mendapatkan kesimpulan dari percobaan
yang dilakukan. Pada penelitian ini analisis data yang digunakan adalah analisis
secara deskriptif menggunakan tabel dan grafik.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Parameter Air sebagai Tempat Hidup Ikan Nila (Oreochromis niloticus)
Kualitas air merupakan salah satu faktor penting yang berpengaruh terhadap
kelangsungan hidup ikan nila. Kondisi lingkungan yang mendukung
perkembangan ikan nila yaitu pH air, temperatur, oksigen terlarut,
karbondioksida, amoniak dan alkalinitas (BPPAT DKP 2001).
Parameter kualitas air yang diamati meliputi pH air, suhu, DO, CO2, NH3
dan alkalinitas. Pengamatan kualitas air meliputi kualitas air kolam asal ikan,
kualitas air laboratorium yang belum diendapkan dan kualitas air laboratorium
yang telah diendapkan selama 2 hari. Hasil pengamatan kualitas air disajikan pada
Tabel 6.

Tabel 6. Data hasil pengamatan kualitas air


Sumber air
Parameter kualitas air
A B C Standar
pH 7 6 7 6-8
Suhu (oC) 29 29 29 14-38
DO (mg/l) 4 4 4 Min 4
CO2 (mg/l) 4 5 5 Maks 5

NH3 (mg/l) 0,1 0,1 0,1 < 0,1


Alkalinitas (mg/l) 137 155 166 50-300
Sumber standar: BPPAT DKP (2001)
*Keterangan: Air A = Air kolam asal ikan
Air B = Air laboratorium yang belum diendapkan
Air C = Air laboratorium yang telah diendapkan selama 2 hari

Pada Tabel 6 tampak bahwa, air kolam asal ikan nila memiliki pH 7, suhu 29
o
C, DO 4 mg/l, CO2 4 mg/l, NH3 0,1 mg/l dan alkalinitas 137 mg/l. Kualitas air
laboratorium yang belum diendapkan memiliki pH 6, suhu 29 oC, DO 4 mg/l, CO2
5 mg/l, NH3 0,1 mg/l dan alkalinitas 155 mg/l, sedangkan kualitas air laboratorium
yang telah diendapkan selama 2 hari menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda
yaitu pH 7, suhu 29 oC, DO 4 mg/l, CO2 5 mg/l, NH3 0,1 mg/l dan alkalinitas
166 mg/l. Dari hasil pengukuran tersebut, dapat diketahui bahwa semua parameter
kualitas air yang diuji masih berada dalam taraf yang baik untuk kelangsungan
hidup ikan nila.
Suhu merupakan salah satu parameter fisika yang digunakan untuk
mengukur kualitas air. Hasil pengamatan kualitas air kolam asal ikan dan kualitas
air laboratorium yang belum diendapkan dan air laboratorium yang telah
diendapkan selama 2 hari memiliki kisaran suhu yang sama, yaitu 29 oC. Suhu
tersebut baik untuk pertumbuhan ikan nila seperti yang dinyatakan Boyd (1982),
bahwa kisaran suhu yang baik bagi ikan di daerah tropis adalah 25-32 oC.
Suhu sangat berpengaruh terhadap proses metabolisme dan kelarutan
senyawa-senyawa di dalam air. Peningkatan suhu perairan dapat mengakibatkan
penurunan kelarutan gas dalam air, misalnya O2, CO2 dan sebagainya
(Wulandari 2006, diacu dalam Irawan 2007). Peningkatan suhu juga dapat
menyebabkan peningkatan kecepatan metabolisme dan respirasi organisme
akuatik dan selanjutnya mengakibatkan peningkatan konsumsi oksigen.
Peningkatan suhu sebesar 10 oC menyebabkan peningkatan konsumsi oksigen
organisme akuatik sebesar 2-3 kali lipat (Effendi 2003). Hal ini berbanding
terbalik dengan adanya penurunan suhu yang dapat mengurangi aktifitas dan
proses metabolisme ikan. Kondisi tersebut dapat dimanfaatkan untuk tujuan
transportasi ikan hidup sistem kering sehingga ikan dapat bertahan lebih lama di
dalam lingkungan yang terbatas selama proses transportasi berlangsung.
Hasil pengamatan kualitas air kolam asal ikan nila, air laboratorium yang
belum diendapkan dan air laboratorium yang telah diendapakan selama 2 hari
memiliki pH antara 6-7 yang berarti sesuai untuk kondisi lingkungan ikan hidup.
Ikan mampu beradaptasi terhadap perubahan pH lingkungan dengan baik ketika
perubahan yang terjadi tidak drastis (Nitibaskara et al. 2006). Nilai pH yang ideal
untuk kehidupan ikan berkisar antara 6,5 sampai 8,5.
Salah satu faktor penting yang mempengaruhi kenyamanan dan keselamatan
ikan adalah oksigen. Oksigen sangat dibutuhkan oleh semua makhluk hidup,
termasuk ikan. Oksigen yang dibutuhkan oleh ikan adalah oksigen terlarut di
dalam air. Kandungan oksigen terlarut air kolam asal ikan, air laboratorium yang
belum diendapkan dan air laboratorium yang telah diendapkan selama 2 hari yaitu
4 mg/l. Hal ini menunjukkan bahwa kandungan oksigen terlarut cukup baik untuk
kondisi lingkungan hidup ikan nila. Tanpa oksigen terlarut dalam jumlah cukup
maka kehidupan ikan akan terganggu. Oksigen terlarut juga dipengaruhi oleh
suhu, semakin tinggi suhu maka kelarutan oksigen semakin berkurang.
Peningkatan suhu sebesar 1 oC akan meningkatkan konsumsi oksigen sekitar 10 %
(Brown 1987, diacu dalam Effendi 2003).
Kemampuan ikan untuk menggunakan oksigen tergantung pada toleransi
terhadap tekanan lingkungan, suhu air, pH, konsentrasi CO2 dan hasil
metabolisme seperti amoniak. Air kolam asal ikan, air laboratorium yang belum
diendapkan dan air laboratorium yang telah diendapkan selama 2 hari memiliki
kandungan CO2 berkisar 4-5 mg/l. Hal ini sesuai untuk kehidupan ikan nila,
karena menurut Effendi (2003) perairan yang diperuntukkan bagi kepentingan
perikanan sebaiknya mengandung karbondioksida bebas < 5 mg/l. Kadar
karbondioksida bebas sebesar 10 mg/l masih dapat ditolerir oleh organisme
akuatik, dengan tetap disertai kadar oksigen yang cukup. Kadar alkalinitas dan
amoniak yang diperoleh dari pengamatan kualitas air kolam asal ikan, air
laboratorium yang belum diendapkan dan air laboratorium yang telah diendapkan
selama 2 hari berkisar 137-166 mg/l dan 0,1 mg/l. Hal ini menunjukkan bahwa
kadar alkalinitas dan amoniak masih layak digunakan untuk kehidupan ikan nila
selama proses adaptasi dan pemuasaan ikan.
Hasil pengamatan kualitas air yang telah dilakukan baik untuk air kolam asal
ikan, air laboratorium yang belum diendapkan dan air laboratorium yang telah
diendapkan selama 2 hari menunjukkan bahwa hasil kualitas air yang diperoleh
masih memenuhi syarat kondisi lingkungan hidup bagi ikan nila. Hal ini
menunjukkan bahwa kualitas air tersebut tidak mempengaruhi kondisi kesehatan
dan proses pemeliharaan, pengadaptasian ikan nila serta pada saat diberi
perlakuan dalam proses pembiusan maupun pembugaran.

4.2 Penelitian Pendahuluan


4.2.1 Penentuan jumlah es untuk pembiusan
Penelitian pendahuluan dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui
kecepatan waktu penurunan suhu dan kemampuan es menurunkan suhu media air
yang akan digunakan untuk pembiusan ikan nila, pada perbandingan volume
media air pembius dan jumlah es tertentu tanpa ikan nila serta untuk mengetahui
suhu pembiusan dan fase imotil ikan nila. Hasil penelitian pendahuluan tersebut
akan digunakan dalam penelitian utama.
Teknologi transportasi ikan hidup yang berkembang saat ini adalah
transportasi sistem kering. Transportasi sistem kering ini biasanya menggunakan
teknik pembiusan pada ikan atau ikan dipingsankan (imotilisasi) terlebih dahulu
sebelum dikemas dalam media tanpa air (Suryaningrum et al. 2007).
Teknik pembiusan atau imotilisasi yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu
dengan suhu rendah. Imotilisasi dengan suhu rendah merupakan cara yang paling
efektif, ekonomis dan aman (Suryaningrum et al. 2007). Es batu sering digunakan
sebagai bahan pembius karena harganya yang relaif murah, mudah didapat dan
aman karena tidak mengandung bahan kimia yang dapat membahayakan manusia.
Penurunan suhu dapat dilakukan dengan merendam es batu dalam kantong plastik
pada air bak pemingsanan (Nitibaskara et al. 2006). Suhu dingin merupakan salah
satu kunci dalam transportasi ikan hidup, pada kondisi ini tingkat metabolisme
dan respirasi sangat rendah sehingga ikan atau crustacea dapat diangkut dalam
waktu yang lama dengan tingkat kelulusan hidup yang tinggi (Berka 1986, diacu
dalam Suryaningrum et al. 2007).
Jumlah es yang digunakan dalam teknik pembiusan ikan akan berpengaruh
terhadap penurunan suhu. Penentuan jumlah es untuk pembiusan ditentukan
dengan cara melakukan percobaan perbandingan volume air pembius sebanyak
1 liter dengan jumlah es tertentu. Penyebaran suhu pengesan di dalam akuarium
dibantu dengan adanya aerasi. Hasil percobaan tersebut disajikan pada Gambar 4
dan Lampiran 3.
Pada Gambar 4 dapat dilihat bahwa perbandingan 1 liter air dengan 0,5 kg es
(2:1) dan 1 liter air dengan 1 kg es (2:2) hanya dapat mencapai suhu terendah 6
o
C pada menit ke-67 dan menit ke-39. Perbandingan 1 liter air dengan 1,5 kg es
(2:3) dan 1 liter air dengan 2 kg es (2:4) dapat mencapai suhu terendah yaitu 3 oC
pada menit ke-33 dan menit ke-12. Hal ini menunjukkan bahwa penurunan suhu
media air yang dapat digunakan untuk suhu pembiusan ikan nila adalah
perbandingan volume air dan jumlah es sebanyak 2:3 dan 2:4. Jumlah es sebanyak
1,5 kg dan 2 kg mampu menurunkan media air sebanyak 1 liter sampai suhu 3 oC
dibandingkan dengan rasio jumlah es sebanyak 0,5 kg dan 1 kg. Pada penelitian
selanjutnya perbandingan air dan es 2:4 akan digunakan untuk penentuan suhu
pembiusan ikan nila. Perbandingan tersebut juga digunakan untuk pembiusan ikan
nila dengan suhu rendah secara langsung. Hal ini bertujuan untuk
mengefisiensikan waktu selama percobaan.
Perbandingan air dan es 2:1 dan 2:2 tidak dapat menyebabkan suhu air
mendekati suhu pembiusan ikan nila. Perbandingan tersebut hanya mampu
mencapai suhu terendah 6 oC lalu suhunya meningkat lagi karena es sudah
mencair. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah es yang semakin banyak di dalam
suatu media air dengan volume tertentu akan dapat menurunkan suhu lebih cepat
dan mampu mencapai suhu yang paling rendah.

30

25

20
Suhu (oC)

15

10
7
7
5 6 4 6
4
3 3
0
1 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95
Waktu (menit)
1 L air : 0,5 kg es 1 L air : 1 kg es 1 L air : 1,5 kg es 1 L air : 2 kg es

Gambar 4. Penentuan jumlah es pada media air pembius dan rata-rata penurunan
suhu

4.2.2 Penentuan suhu pembiusan ikan nila


Pada percobaan sebelumnya diperoleh hasil terbaik penentuan jumlah es
untuk pembiusan ikan nila yaitu perbandingan air dan es 2:4 yang memiliki
kemampuan untuk menurunkan suhu media pembius sampai suhu 3 oC sehingga
dapat digunakan untuk mengetahui respon ikan nila terhadap berbagai tingkat
suhu pembiusan.
Penelitian selanjutnya yaitu penentuan suhu pembiusan ikan nila. Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui suhu pembiusan serta mengetahui fase imotil ikan
nila. Pada proses pembiusan, tingkah laku ikan diamati hingga ikan pingsan. Hasil
penelitian tahap ini diketahui suhu pembiusan untuk ikan nila yang akan
digunakan pada penelitian utama.
Berdasarkan hasil penelitian pendahuluan, maka diperlukan 40 kg es dengan
20 liter air agar suhu air mencapai 3 oC sehingga dapat digunakan untuk membius
5 ekor ikan. Penambahan 5 ekor ikan bertujuan untuk mempermudah pengamatan.
Hasil penentuan suhu pembiusan ikan nila disajikan pada Tabel 7 dan Lampiran 5.
Tabel 7 menunjukkan bahwa ikan nila mengalami beberapa fase imotil yaitu
fase pingsan ringan, pingsan berat dan roboh. Ikan nila mengalami fase pingsan
ringan pada kisaran suhu 9-10 oC, fase pingsan berat pada kisaran suhu 7-9 oC dan
roboh pada kisaran suhu 6-7 oC.
Fase pingsan ringan ikan nila ditandai dengan kondisi reaktivitas terhadap
rangsangan luar rendah, gerak operkulum lambat dan gerak renang aktif. Fase
pingsan berat ikan nila ditandai dengan kondisi reaktivitas terhadap rangsangan
luar tidak ada, kecuali dengan tekanan kuat, gerak renang lemah dan pergerakan
operkulum lambat, sedangkan pada fase roboh ikan nila ditandai dengan kondisi
pergerakan operkulum dan sirip sangat lemah, gerak renang tidak ada dan respon
terhadap rangsangan dari luar tidak ada.
Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa ikan nila merupakan ikan
yang memiliki kemampuan adaptasi yang cukup tinggi terhadap perubahan
lingkungan. Menurut Setiabudi et al. (1995), perubahan-perubahan tingkah laku
tersebut disebabkan adanya perubahan suhu. Terganggunya keseimbangan ikan
nila tersebut diduga disebabkan karena kurangnya oksigen dalam darah. Menurut
Phillips et al. (1980), diacu dalam Suryaningrum et al. (1997) laju konsumsi
oksigen hewan air akan menurun dengan menurunnya suhu media. Penurunan
konsumsi oksigen pada lobster akan mengakibatkan jumlah oksigen yang terikat
dalam darah semakin rendah. Keadaan ini akan mengakibatkan suplai oksigen ke
jaringan syaraf juga berkurang sehingga menyebabkan bekurangnya aktivitas
fisiologis dan lobster menjadi lebih tenang (Suryaningrum et al. 1997).
Kekurangan oksigen lebih lanjut akan menyebabkan terganggunya sistem
keseimbangan tubuh sehingga ikan menjadi pingsan dan roboh.
Tabel 7. Hubungan suhu dengan tingkah laku ikan nila yang dibius dengan suhu
rendah

Lama waktu
Suhu
pencapaian suhu Kondisi
(oC)
(menit)
Normal (gerak operkulum cepat, respon terhadap
26 0
rangsangan luar tinggi dan gerak renang aktif)
22 1 Normal
Panik (gerak tidak beraturan, respon terhadap rangsangan
13 4
luar sangat cepat)
Pingsan ringan (reaktivitas terhadap rangsangan luar
10 6
rendah, gerak operkulum lambat dan gerak renang aktif)
9 8 Pingsan ringan
Pingsan berat (reaktivitas terhadap rangsangan luar tidak
8 9 ada, kecuali dengan tekanan kuat, gerak renang lemah dan
pergerakan operkulum lambat)
7 11 Pingsan berat
Roboh (pergerakan operkulum dan sirip sangat lemah,
6 13 gerak renang tidak ada dan respon terhadap rangsang luar
tidak ada)

Pada penelitian selanjutnya, ikan nila yang telah dibius secara langsung akan
mengalami 3 macam kondisi yaitu pingsan ringan dengan kisaran suhu pembiusan
9-10 oC, pingsan berat dengan kisaran suhu pembiusan 7-9 oC dan fase roboh
dengan kisaran suhu pembiusan 6-7 oC. Kemudian ikan tersebut masing-masing
dikemas di dalam kotak styrofoam dengan 4 taraf waktu penyimpanan yaitu
0 jam, 3 jam, 6 jam dan 9 jam.

4.3 Penelitian Utama


Penelitian utama yang dilakukan meliputi pengamatan perubahan perilaku
ikan nila selama proses pembiusan secara langsung dengan suhu rendah dan
kelulusan hidup ikan nila setelah penyimpanan. Suhu pembiusan yang digunakan
pada penelitian utama ini merupakan hasil dari penelitian pendahuluan, yaitu
9-10 oC, 7-9 oC dan 6-7 oC.
4.3.1 Perubahan perilaku ikan nila selama proses pembiusan secara langsung
menggunakan suhu rendah
Ikan nila yang digunakan pada penelitian ini dipilih yang kondisinya sehat
dan tidak cacat. Ikan hidup yang akan ditransportasi dipersyaratkan dalam kondisi
yang sehat dan tidak cacat. Ikan yang kurang sehat atau lemah mempunyai daya
tahan hidup yang rendah dan peluang untuk mati selama pemingsanan dan
pengangkutan lebih besar (Sufianto 2008). Pemeriksaan kondisi kesehatan ikan
selalu dilakukan untuk mengurangi tingkat mortalitas yang tinggi.
Pada proses pembiusan ini dilakukan juga pengamatan terhadap perilaku
ikan nila selama memasuki fase-fase imotil. Hasil pengamatan perubahan perilaku
ikan nila selama proses pembiusan secara langsung menggunakan suhu rendah
9-10 oC, 7-9 oC dan 6-7 oC disajikan pada Tabel 8 dan Lampiran 6.
Tabel 8 menunjukkan bahwa ikan nila yang dibius secara langsung dengan
suhu antara 9-10 oC dapat menyebabkan ikan mengalami fase pingsan ringan pada
menit ke-20. Perilaku ikan nila selama proses pembiusan secara langsung
menggunakan suhu 9-10 oC pada menit ke-0 menunjukkan kondisi dan aktivitas

Tabel 8. Perubahan perilaku ikan nila selama proses pembiusan secara langsung
menggunakan suhu rendah 9-10 oC, 7-9 oC dan 6-7 oC
Waktu Kondisi
(menit) A B C
0 Normal Panik Panik
5 Panik Pingsan ringan Pingsan berat
Respon terhadap Ikan berada di dasar
10 Roboh
rangsangan luar cepat akuarium
Operkulum dan sirip
15 Pingsan berat
mulai melemah
20 Pingsan ringan
Keterangan : A = Pingsan ringan (9-10 oC)
B = Pingsan berat (7-9 oC)
C = Roboh (6-7 oC)

yang masih normal. Pada menit ke-5 kondisi ikan mulai panik dan gerak mulai
tidak beraturan. Menit ke-10 kondisi ikan ditandai dengan gerak renang aktif dan
respon terhadap rangsangan luar cepat. Pada menit ke-15 operkulum dan sirip
ikan mulai melemah, sedangkan pada menit ke-20 ikan sudah mengalami fase
pingsan ringan yang ditandai dengan gerak operkulum lambat, respon terhadap
rangsangan luar rendah, gerak renang masih aktif. Hal ini menunjukkan ikan nila
merupakan ikan yang memiliki daya tahan tubuh yang tinggi terhadap perubahan
lingkungan yang baru.
Pembiusan ikan nila secara langsung menggunakan suhu rendah 7-9 oC
menyebabkan ikan nila mengalami fase pingsan berat pada menit ke-15. Pada
menit ke-0 kondisi ikan nila mulai panik dan bergerak tidak beraturan.
Selanjutnya pada menit ke-5 gerak operkulum lambat, respon terhadap
rangsangan luar rendah dan gerak renang aktif (pingsan ringan). Pada menit ke-10
ikan berada di dasar akuarium, sedangkan pada menit ke-15 ikan memasuki fase
pingsan berat yang ditandai dengan gerak operkulum lambat, respon terhadap
rangsangan luar tidak ada kecuali dengan tekanan kuat dan gerak renang lemah.
Hal ini menunjukkan bahwa suhu 7-9 oC merupakan suhu ekstrim bagi ikan nila
karena pada saat ikan nila dibius menunjukkan respon ikan mulai panik dan
bergerak tidak beraturan pada menit ke-0 dan ikan sudah mengalami fase pingsan
ringan pada menit ke-5.
Ikan nila yang dibius secara langsung dengan suhu rendah 6-7 oC dapat
menyebabkan ikan mengalami fase roboh pada menit ke-10. Ikan nila pada menit
ke-0 kondisinya panik dan bergerak tidak beraturan. Pada menit ke-5 ikan
mengalami fase pingsan berat yang ditandai dengan gerak operkulum lambat,
respon terhadap rangsangan luar tidak ada kecuali dengan tekanan kuat dan gerak
renang lemah. Pada menit ke-10 ikan nila roboh yang ditandai dengan gerak
operkulum sangat lemah, respon terhadap rangsangan luar tidak ada dan gerak
renang tidak ada.
Ikan yang dibius pada suhu pembiusan 9-10 oC mengalami fase panik pada
menit ke-5 sedangkan ikan yang dibius pada suhu pembiusan 7-9 oC dan 6-7 oC
mengalami fase panik pada menit ke-0. Fase panik yang terjadi pada masing-
masing perlakuan pembiusan dipengaruhi oleh suhu pembiusan yang digunakan
(Lampiran 7). Hal ini sesuai dengan pernyataan Karnila dan Edison (2001), bahwa
fase panik tersebut dipengaruhi oleh suhu pembiusan.
Lama pembiusan yang terjadi pada masing-masing fase pembiusan berkisar
10-20 menit. Hal ini disebabkan fase panik yang terjadi saat proses pembiusan
berbeda-beda. Pada fase panik, respirasi akan meningkat dengan tajam kemudian
turun sampai mencapai respirasi terendah yang menyebabkan ikan pingsan.
Menurut Suryaningrum et al. (2008), tingkat respirasi yang cukup rendah
menyebabkan lobster terganggu keseimbangannya sehingga lobster tidak dapat
menyangga tubuhnya sendiri dan jatuh dengan posisi tubuh miring.
Ikan nila yang mengalami proses pembiusan secara langsung menggunakan
suhu rendah sesuai dengan fase imotilnya diharapkan memiliki ketahanan hidup
yang tinggi selama berada di luar lingkungan hidupnya. Ikan nila yang mengalami
fase pingsan ringan, pingsan berat dan roboh memiliki tingkat respirasi dan
metabolisme yang rendah.
4.3.2 Kelulusan hidup ikan nila (Oreochromis niloticus) setelah penyimpanan
Proses penyimpanan ikan nila dalam kemasan styrofoam dilakukan setelah
ikan mengalami pembiusan pada berbagai fase imotil (fase pingsan ringan,
pingsan berat dan roboh). Pemingsanan ikan dilakukan dengan metode pembiusan
menggunakan suhu rendah secara langsung, yaitu dilakukan dengan memasukkan
ikan dalam media air yang suhunya diatur pada suhu pembiusan ikan nila (fase
pingsan ringan, pingsan berat dan roboh). Fase pingsan merupakan fase yang
dianjurkan untuk pengangkutan ikan, karena pada fase ini aktivitas ikan relatif
akan berhenti (Mc Farland 1959, diacu dalam Achmadi 2005).
Ikan yang telah dibius dikemas di dalam kotak styrofoam. Pada bagian
bawah kotak styrofoam diletakkan bongkahan-bongkahan es kecil yang dibungkus
plastik seberat 0,5 kg kemudian dilapisi dengan kertas koran. Hal ini bertujuan
untuk mempertahankan suhu kemasan sama seperti suhu pembiusan ikan nila.
Media pengisi kemasan yang sudah didinginkan sesuai dengan suhu
pembiusan diletakkan di atas kertas koran. Ikan yang telah pingsan dibungkus
dengan kertas koran untuk menghindari menempelnya serbuk gergaji dan
mempermudah proses pembugaran, kemudian dilapisi kembali dengan serbuk
gergaji dan kemasan ditutup dengan penutup kemasan lalu direkatkan.
Kemasan dibongkar setelah ikan disimpan selama 0 jam, 3 jam, 6 jam dan
9 jam kemudian ikan disadarkan (proses pembugaran) di dalam akuarium yang
diaerasi secara terus menerus untuk mengetahui tingkat kelulusan hidupnya.
Proses pembugaran bertujuan untuk memulihkan kembali kondisi ikan. Ikan yang
dibugarkan secara umum memiliki aktivitas yang sama, yaitu diawali dengan
adanya gerakan operkulum yang sangat lambat kemudian sedikit demi sedikit
normal. Kondisi ini dilanjutkan dengan gerakan anggota tubuh yang lain seperti
gerakan sirip, kemudian ikan berangsur-angsur dapat berenang normal meskipun
masih dalam kondisi lemah. Hasil pengamatan pada saat proses pembugaran
disajikan pada Gambar 5 dan Lampiran 8.
Proses pembugaran ikan membutuhkan waktu 14-30 menit. Durasi waktu
selama 30 menit tersebut bertujuan untuk menekankan bahwa ikan benar-benar
tidak dapat hidup kembali setelah proses penyimpanan. Menurut Achmadi (2005)
menyatakan bahwa selama proses pembugaran maka ikan yang tidak
menunjukkan adanya tanda-tanda pergerakan anggota tubuh setelah 10 menit
dianggap tidak lulus hidup. Pada proses pembugaran udang dan lobster yang
hidup akan berenang, mula-mula udang atau lobster akan limbung tetapi
kondisinya akan normal kembali setelah berada dalam air selama 30 menit
(Suryaningrum et al. 2004).

30 30 30
Waktu proses pembugaran (menit)

30
25 22
20 15 14
15
10
5
0
0 jam 3 jam 6 jam 9 jam
Waktu penyimpanan

Pingsan ringan Pingsan berat Roboh

Gambar 5. Grafik rata-rata waktu proses pembugaran ikan nila setelah


penyimpanan

Hasil pengamatan kelulusan hidup ikan nila setelah penyimpanan selama


0 jam, 3 jam, 6 jam dan 9 jam diperoleh hasil bahwa selama penyimpanan 0 jam
ikan nila hidup semua (5 ekor) yang dikemas dalam kondisi pingsan ringan,
pingsan berat dan roboh. Ikan-ikan tersebut setelah proses pembugaran selama
15 menit masih dapat bertahan hidup 100 % selama 2 jam. Persentase rata-rata
tingkat kelulusan hidup ikan nila setelah penyimpanan 0 jam, 3 jam, 6 jam dan
9 jam disajikan pada Tabel 9 dan Lampiran 9.
Tabel 9. Persentase tingkat kelulusan hidup rata-rata ikan nila setelah
penyimpanan
Jumlah ikan nila yang hidup (%)
Fase pembiusan
0 jam 3 jam 6 jam 9 jam
Pingsan ringan 100 67 40 0
Pingsan berat 100 33 0 0
Roboh 100 0 0 0

Ikan nila yang dibius pada suhu rendah mencapai fase pingsan ringan,
pingsan berat dan fase roboh dalam kemasan kotak styrofoam hanya dapat
bertahan hidup selama 6 jam dengan tingkat kelulusan hidup 40 % yaitu ikan nila
yang dikemas pada saat pingsan ringan (9-10 oC) (Gambar 6). Hal ini diduga
karena ikan tersebut selama proses pembiusan masih dapat menyesuaikan diri
dengan suhu pembiusan. Kondisi ini ditandai adanya aktivitas ikan yang masih
normal pada saat menit ke-0 dan pada menit ke-5 ikan sudah mulai panik.
Penyimpanan selama 3 jam pada saat ikan pingsan ringan memiliki
persentase tingkat kelulusan hidup 67 % sedangkan penyimpanan selama 6 jam
akan mengakibatkan ikan yang hidup hanya 40 % dan setelah proses pembugaran
selama 22 menit dan 30 menit masih dapat bertahan hidup selama 2 jam. Waktu
penyimpanan sangat mempengaruhi tingkat kelulusan hidup ikan. Ikan yang
dikemas selama 6 jam jumlah kelulusan hidupnya lebih kecil dibandingkan
dengan ikan yang dikemas selama 3 jam.
Rendahnya persentase tingkat kelulusan hidup pada perlakuan lama
penyimpanan selama 6 jam diduga karena ikan lebih cepat sadar kembali ketika
masih berada di dalam kemasan. Menurut Utomo (2001), pada saat ikan
dipingsankan dan disimpan dalam kemasan tanpa air, katup insangnya masih
mengandung air sehingga oksigen masih dapat diserap walaupun sangat sedikit.
Tetapi hasil dari penelitian ini menunjukkan kematian beberapa ikan yang
dikemas pada kondisi pingsan ringan. Hal ini diduga karena cadangan oksigen
yang terdapat pada katup insang dan media pengisi kemasan tidak mencukupi
kebutuhan oksigen ikan.
100

Persentase kelulusan hidup rata-


100

80 67

rata ikan nila (%)


60
40
33
40

20
0 0 0 0 0 0
0
0 jam 3 jam 6 jam 9 jam
Waktu penyimpanan
Pingsan ringan Pingsan berat Roboh

Gambar 6. Grafik persentase rata-rata kelulusan hidup ikan nila pada berbagai
tingkat pembiusan

Ikan yang dikemas pada saat pingsan berat hanya mampu bertahan hidup
selama 3 jam dengan tingkat kelulusan hidup 33 % setelah proses pembugaran
selama 14 menit dan masih dapat bertahan hidup selama 2 jam. Ikan yang
dikemas pada saat kondisi roboh tidak ada yang mampu bertahan hidup selama
proses penyimpanan 3 jam, 6 jam dan 9 jam. Berdasarkan hasil penelitian ini
maka durasi penyimpanan tidak diperpanjang sampai 12 jam, karena pada
penyimpanan selama 9 jam ikan yang dikemas dalam kondisi pingsan ringan,
pingsan berat dan roboh memiliki tingkat kelulusan hidup 0 % (Tabel 9).
Hal ini disebabkan karena ikan mengalami shock pada saat proses
pembiusan. Ikan pada kondisi pingsan berat dibius pada suhu 7-9 oC dan ikan
pada kondisi roboh dibius pada suhu 6-7 oC dimana ikan langsung mengalami
perubahan suhu lingkungan yang sangat berbeda dengan suhu lingkungan hidup
ikan nila (14-38 oC), hal ini karena ikan sangat sensitif dengan adanya perubahan
suhu air (Subasinghe 1997).
Pada kondisi shock ikan banyak melakukan gerakan yang berlebihan pada
saat proses pembiusan. Kondisi shock tersebut menyebabkan ikan cepat
mengalami kematian karena pada ikan yang stres akan terjadi peningkatan asam
laktat dalam darah. Jika asam laktat terakumulasi dalam darah cukup tinggi akan
mempercepat terjadinya proses kematian (Afrianto dan Liviawaty 1989, diacu
dalam Utomo 2001).
Suhu merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat keberhasilan
dalam transportasi ikan hidup. Media pengisi kemasan mengalami perubahan suhu
sejak dari awal hingga akhir proses penyimpanan. Hasil pengamatan perubahan
suhu media pengisi kemasan disajikan pada Tabel 10 dan Lampiran 10.

Tabel 10. Perubahan suhu rata-rata media pengisi kemasan


Waktu Pingsan ringan Pingsan berat Roboh
penyimpanan (oC) (oC) (oC)
(jam) Awal Akhir Awal Akhir Awal Akhir
0 10 10 9 9 7 7
3 10 14 9 14 7 12
6 10 15 9 14 7 12
9 10 16 9 14 7 13

Pada hasil pengamatan perubahan suhu media pengisi kemasan dapat dilihat
bahwa suhu dalam kemasan mengalami perubahan, yaitu berada pada kisaran 10-
16 oC untuk ikan nila yang dikemas dalam kondisi pingsan ringan, suhu 9-14
o
C untuk ikan nila yang dikemas dalam kondisi pingsan berat dan 7-13 oC untuk
ikan nila yang dikemas dalam kondisi roboh. Peningkatan suhu media pengisi
kemasan diduga akibat mencairnya es selama proses penyimpanan.
Penentuan suhu media pengisi disesuaikan dengan suhu imotilisasi ikan nila.
Menurut Suryaningrum dan Utomo (1999), diacu dalam Andasuryani (2003), suhu
media untuk transportasi sistem kering berkisar atau sama dengan suhu
imotilisasi. Suhu merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap kelulusan
hidup ikan yang akan ditransportasi dengan sistem kering, sehingga selama
transportasi suhu harus dipertahankan sebaik mungkin. Menurut Suryaningrum
et al. (1994) suhu akhir media ideal untuk transportasi sistem kering sebaiknya
tidak lebih dari 20 oC.
Pada penelitian ini diperoleh hasil bahwa suhu media dan penyimpanan ikut
menentukan ketahanan hidup ikan di dalam media serbuk gergaji dingin. Adanya
perubahan suhu yang cukup besar mulai dari awal transportasi sampai akhir
transportasi juga mempengaruhi tingkat kelulusan hidup ikan tersebut. Tingginya
suhu ini akan menyebabkan ikan sadar dan aktivitas tinggi. Makin tinggi aktivitas
ikan, baik aktivitas fisik maupun metabolisme, berarti menuntut ketersediaan
oksigen yang siap dikonsumsi. Di dalam media kering ketersediaan oksigen
terbatas maka ikan akan mengalami kekurangan oksigen dan berakibat kematian
(Karnila dan Edison 2001).
Perubahan suhu yang kecil menyebabkan ikan tetap tenang, tidak banyak
bergerak, aktivitas metabolisme dan respirasinya berkurang sehingga diharapkan
daya tahan hidup ikan cukup tinggi. Rendahnya metabolisme ikan maka
kebutuhan energi untuk aktivitas ikan juga akan rendah. Hal ini menunjukkan
bahwa perombakan ATP menjadi ADP dan AMP untuk menghasilkan energi juga
sangat rendah, sehingga oksigen yang digunakan untuk merombak ATP untuk
menghasilkan energi juga sangat rendah. Hal ini menyebabkan kadar oksigen
dalam darah ikan tidak turun secara drastis, sehingga ikan mampu hidup lebih
lama (Karnila dan Edison 2001).
Pada transportasi sistem kering, tingkat kelulusan hidup ikan selain
dipengaruhi oleh suhu, juga dipengaruhi oleh tingkat kesehatan ikan yang akan
ditransportasikan. Suryaningrum dan Bagus (1999) menyatakan bahwa semakin
tinggi tingkat kebugaran udang semakin lama udang dapat ditransportasikan
dengan kelulusan hidup yang tinggi. Menurut Praseno (1990), diacu dalam
Suryaningrum et al. (2008), kualitas ikan yang diangkut merupakan kriteria yang
sangat menentukan dalam keberhasilan proses transportasi ikan hidup.
Menurut Ayres dan Wood (1977), diacu dalam Suryaningrum et al. (2008),
salah satu syarat yang sangat menentukan keberhasilan transportasi lobster hidup
adalah kondisi kesehatan dan kebugaran lobster sebelum ditransportasikan. Pada
penelitian ini, ikan diambil dari kolam ikan kemudian ditransportasikan dan
diberok di laboratorium sehingga tingkat kesehatan ikan tidak sebaik jika
langsung dikemas di kolam ikan.
5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Tingkat kelulusan hidup ikan nila yang dibius pada suhu 9-10 oC lebih tinggi
dibandingkan dengan ikan nila yang dibius pada suhu 7-9 oC dan 6-7 oC. Ikan nila
yang dibius dengan suhu 9-10 oC secara langsung selama 20 menit dan dikemas
dalam media serbuk gergaji dingin dapat dipertahankan kelangsungan hidupnya
selama 3 jam sebesar 67 % dan selama 6 jam sebesar 40 %.

5.2 Saran
Pada penelitian selanjutnya perlu dilakukan cara untuk mempertahankan
suhu media pengisi kemasan agar tetap rendah (sesuai dengan suhu pembiusan)
dan mengamati perubahan suhu media pengisi kemasan setiap interval waktu.
Perlu dilakukan penelitian selanjutnya mengenai aplikasi transportasi ikan hidup
yang sebenarnya agar diperoleh hasil yang optimal bagi tingkat kelulusan ikan
yang dikemas.
DAFTAR PUSTAKA

Achmadi D. 2005. Pembiusan ikan nila (Oreochromis niloticus) dengan tegangan


listrik untuk transportasi sistem kering [skripsi]. Bogor: Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Amri K, Khairuman. 2003. Budi daya Ikan Nila Secara Intensif. Jakarta:
Agromedia Pustaka.

Andasuryani. 2003. Pengendalian suhu dan pengukuran oksigen pada peti kemas
transportasi sistem kering udang dan ikan dengan kendali fuzzy [tesis].
Bogor: Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.

Arie U. 2000. Pembenihan dan Pembesaran Nila Gift. Jakarta: Penebar


Swadaya.

[BPPAT DKP ] Balai Penelitian Perikanan Air Tawar Departemen Kelautan dan
Perikanan. 2001. Nila Gift (Tilapias)
http://suharjawanasuria.tripd.com/index.htm. [01 Januari 2009].

Boyd CE. 1982. Water Quality Management for Pond Fish Culture. USA:
Department of Fisheries and Allied Aquaqultures, Agricultural
Experiment Station Auburn University, Alabama.

Coyle SD, Durborow RM, Tidwell JH. 2004. Anesthetics in Aquaculture.


Southern Regional Aquaculture Center. Publication No 3900.

Effendi H. 2003. Telaah Kualitas Bagi Pengolahan Sumber Daya dan


Lingkungan Perairan. Yogyakarta: Kanisius.

Gayatri D.2000. Studi pola penurunan suhu pada bak pemingsanan udang windu
(Penaeus monodon Fab.) tipe batch [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi
Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Handini W. 2008. Teknik pembiusan menggunakan suhu rendah pada sistem


transportasi udang galah (Macrobrachium rosenbergii) tanpa media air
[skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian
Bogor.

Hidayah AM. 1998. Studi Penggunaan Gas CO2 sebagai Bahan Pembius untuk
Transportasi Ikan Nila Merah ( Oreochromis sp. ).
http://help.lycos.com/newticket.php. [01 Januari 2009].

Ikasari D, Syamsidi, Suryaningrum TD. 2008. Kajian fisiologis lobster air tawar
(Cherax quadricarinatus) pada suhu dingin sebagai dasar untuk
penanganan dan transportasi hidup sisitem kering. Jurnal Pascapanen
dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan 3:45-53.
Irawan DY. 2007. Pertumbuhan dan kelangsungan hidup lobster air tawar
Cherax quadricarinatus pada sistem resirkulasi dengan kepadatan
berbeda [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut
Pertanian Bogor.

Jailani. 2000. Mempelajari pengaruh penggunaan pelepah pisang sebagai bahan


pengisi terhadap tingkat kelulusan hidup ikan mas (Cyprinus carpio)
[skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian
Bogor.

Junianto. 2003. Teknik Penanganan Ikan. Jakarta: Penebar Swadaya.

Karnila R, Edison. 2001. Pengaruh suhu dan waku pembiusan bertahap terhadap
ketahanan hidup ikan jambal siam (Pangasius sutchi F) dalam
ransportasi sistem kering. Jurnal Natur Indonesia III (2): 151-167
(2001).

Kuncoro EB. 2009. Nila, Mujair dan Kerabat Dekatnya. http://indonesian-


angling.blogspot.com/2009/07/berita-sains-nila-mujair-dankerabat.html.
[19 Jnuari 2010].

Lerner A. 2004. Guidelines for the Use of Fishes in Research. Publications


Manager American Fisheries Society.

Mangunkusumo AS. 2009. Transportasi Ikan Hidup.


http://naksara.net/Aquaculture/Application/transportasi-ikan-hidup.html.
[01 Januari 2009]

Nitibaskara R, Wibowo S, Uju. 2006. Penanganan dan Transportasi Ikan Hidup


untuk Konsumsi. Bogor: Departemen Teknologi Hasil Perairan. Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.

Pearson C. 2009. Bubidaya Ikan Nila Merah.


http://nilamerah.wordpress.com/2009/05/14/budidaya-ikan-nila-merah/.
[01 Januari 2009].

Pramono. 2002. Penggunaan ekstrak Caulerpa racemosa sebagai bahan pembius


pada pra transportasi ikan nila (Oreochromis niloticus) hidup [skripsi].
Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Rand MC, Greenberg AE, Taras MJ. 1975. Standard methods for the examination
of water and wastewater. 14th Ed. Washington, DC: APHA, 1015
Eighteenth Street NW.

Salin KR, Vadhyar-Jayasree K. 2001. Effect of different chilling rates for cold
anesthetization of Penaeus monodon (Fabricus) on the survival, duration
and sensory quality under live storage in chilled sawdust. Aquaculture
Research, Volume 32, Issue 2, P: 145.
Salin KR. 2005. Live transportation of Macrobrachium rosenbergii (De Man) in
chilled sawdust. Aquaculture Research, Volume 36, Issue 3, P: 300.

Setiabudi E, Sudrajat Y, Erlina MD, Wibowo S. 1995. Studi penggunaan metoda


pembiusan langsung dengan suhu rendah dalam transportasi sistem kering
udang windu tambak (Penaeus monodon) Jurnal Penelitian Pasca Panen
Perikanan 84: 8-21.

Srikirishnadhas B, Kaleemur RMd. 1994. Packing of live lobster the Indian


experience. Infofish International (81): 6-21. India.

Subasinghe S. 1997. Live fish-handling and transportation. Infofish International


Edisi 2/97. India.

Sufianto B. 2008. Uji transportasi ikan mas koki (Carassius auratus Linnaeus)
hidup sistem kering dengan perlakuan suhu dan penurunan konsentrasi
oksigen [tesis]. Bogor: Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.

Suryaningrum TD, Setiabudi E, Muljanah I, Anggawati AM. 1994. Kajian


penggunaan metode pembiusan secara langsung pada suhu rendah dalam
transportasi lobster hijau pasir (Panulirus homarus) dalam media kering.
Jurnal Penelitian Pasca Panen Perikanan 79: 56-72.

Suryaningrum TD, Setiabudi E, Erlina MD. 1997. Pengaruh penurunan suhu


bertahap terhadap aktivitas dan sintasan lobster hitam (Panulirus
penicullatus) selama transportasi sistem kering. Jurnal Penelitian
Perikanan Indonesia 2: 63-70.

Suryaningrum TD, Bagus SSBU. 1999. Pengaruh suhu media serbuk gergaji
dingin terhadap sintasan udang windu (Penaeus monodon) dalam
kemasan kering. Di dalam: Penelitian dan Diseminasi Ekologi Budi
Daya Laut dan Pantai. Prosiding Seminar Nasional; Jakarta,
2 Desember 1999. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. hlm 325-334.

Suryaningrum TD, Utomo BSB, Wibowo S. 2004. Teknologi Penanganan dan


Transportasi Krustasea Hidup. Jakarta: Pusat Riset Pengolahan Produk
dan Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan.

Suryaningrum TD, Syamsidi, Ikasari D. 2007. Teknologi penanganan dan


transportasi lobster air tawar. Squalen. Vol 2 No. 2.

Suryaningrum TD, Ikasari D, Syamsidi. 2008. Pengaruh kepadatan dan durasi


dalam kondisi transportasi sistem kering terhadap kelulusan hidup lobster
air tawar (Cherax quadricarinatus). Jurnal Pascapanen dan Bioteknologi
Kelautan dan Perikanan 2: 171-181.

Suyanto AR. 2003. Nila. Jakara: Penebar Swadaya.


Syamsudin U. 2001. Bubidaya Ikan Nila (Oreochromis niloticus).
http://pustakaserpong.blogspot.com/. [01 Januari 2009].

Utomo SP. 2001. Penerapan teknik pemingsanan menggunakan bahan anestetik


alga laut Caulerpa sp. dalam pengemasan ikan kerapu (Epinephelus
suillus) hidup tanpa media air [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Wibowo S. 1993. Penerapan Teknologi Penanganan dan Transportasi Ikan


Hidup di Indonesia. Jakarta: Sub Balai Penelitian Perikanan Laut,
Departemen Kelautan dan Perikanan.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Ukuran ikan nila (Oreochromis niloticus)

Panjang total (cm) Panjang baku (cm) Bobot (gram)


No
UL UL UL Rata- UL UL UL Rata- UL UL UL Rata-
1 2 3 rata 1 2 3 rata 1 2 3 rata
1 23 23 21 22 19 19 17 18 270 270 180 240
2 25 22 21 23 21 21 19 20 265 260 200 242
3 25 22 24 24 21 21 18 20 230 210 200 213
4 27 24 23 25 23 21 19 21 200 200 230 210
5 25 20 22 22 21 20 18 20 250 260 160 223
6 26 24 21 24 22 17 20 20 245 130 250 208
7 25 26 22 24 21 17 19 19 230 175 230 212
8 25 19 22 22 21 22 19 21 225 200 220 215
9 24 24 20 23 20 15 16 17 210 130 130 157
10 23 23 22 23 19 20 19 19 190 235 220 215

Keterangan:

UL 1: Ulangan 1

UL 2: Ulangan 2

UL 3: Ulangan 3
Lampiran 2. Pengukuran kualitas air
Lampiran 2a. Prosedur cara peneraan dari masing-masing parameter kualitas
media air
1) Pengukuran pH dan suhu (Bates 1973, diacu dalam Rand et al. 1975)
Pengukuran pH dan suhu dilakukan dalam satu alat yaitu menggunakan
pH-meter. Pengukuran pH dan suhu air ini dilakukan pada sampel air kolam, air
laboratorium yang belum diendapkan dan air laboratorium yang telah diendapkan
selama 2 hari.
2) Pengukuran oksigen terlarut (DO) (Winkler 1888, diacu dalam Rand
et al. 1975)
Pengukuran DO dilakukan menggunakan DO-meter. Adapun cara kerja
pengukuran DO dengan DO-meter adalah sebagai berikut: DO-meter dikalibrasi
terlebih dahulu dengan air dari hasil analisis metode Winkler, kemudian
DO-meter nilainya dibuat nol. Contoh air sebanyak 100 ml diambil dan
dimasukkan ke dalam gelas piala 125 ml serta diberi magnetik stirer, kemudian
gelas piala tersebut diletakkan di atas stirer. Stik atau batang DO-meter
dicelupkan ke dalam air contoh tersebut, dinyalakan stirer dan DO-meter secara
bersamaan, dicatat nilai DO yang terbaca pada alat tersebut.
3) Pengukuran CO2 (Dye 1958, diacu dalam Rand et al. 1975)
Pengukuran CO2 adalah sebagai berikut: air sampel sebanyak 25 ml
dipipet, kemudian dimasukkan ke dalam erlenmeyer. Indikator pp ditambahkan
sebanyak 2-3 tetes ke dalam masing-masing sampel tersebut, setelah itu dititrasi
dengan Na2CO3 0,0454 N 50 ml hingga terjadi perubahan warna menjadi pink.
Volume titran yang digunakan dicatat.
Perhitungan :
Ppm CO2 = A x N x 44/2 x 1000
ml air sampel
Keterangan :
A = ml Na2CO3
N = Normalitas Na2CO3
4) Pengukuran total amoniak nitrogen (Weatherburn 1967, diacu dalam Rand
et al. 1975)
Pengukuran amoniak dilakukan pada sampel air kolam, air laboratorium
yang belum diendapkan, dan air laboratorium yang telah diendapkan selama
2 hari menggunakan spektrofotometer. Adapun pengukuran amoniak sebagai
berikut: sampel air sebanyak 25 ml dipipet dan dimasukkan ke dalam beker gelas
100 ml. larutan standar NH4Cl disiapkan sebanyak 25 ml dari larutan standar
amoniak. Blanko dibuat, yaitu dari 25 ml aquades. MnSO4 sebanyak 1 tetes,
chlorox 0,5 ml dan reagen fenat 0,6 ml ditambahkan ke dalam larutan standar
sampai warna biru kehijauan, serta ke dalam sampel air dan blanko, kemudian
ketiga larutan tersebut dibiarkan sampai 15 menit. Dengan larutan blanko pada
panjang gelombang 630 nm, spektrofotometer diset pada absorbansi 0,000,
kemudian dilakukan pengukuran sampel dan larutan standar.
Perhitungan :
TAN (mg/l) = Cst x As
Ast
Keterangan :
Cst = Konsentrasi larutan standar (0,3 ppm)
AS = Nilai absorban sampel
Ast = Nilai absorban standar
5) Pengukuran alkalinitas (Rand et al. 1975)
Pengukuran alkalinitas dilakukan pada sampel air kolam, air laboratorium
yang belum diendapkan, dan air laboratorium yang telah diendapkan selama
2 hari. Adapun cara pengukurannya adalah sebagai berikut: air sampel sebanyak
25 ml dipipet dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer. Indikator BCG-MR
ditambahkan sebanyak 2 tetes ke dalam sampel air hingga berubah warna menjadi
biru. Sampel air tersebut lalu dititrasi dengan HCl 0,02 N 50 ml hingga terjadi
perubahan warna dari biru menjadi bening dan volume titran yang digunakan.
Perhitungan:
Alkalinitas (ppm CaCO3) = A x N x 100/2 x 1000
ml sampel
Keterangan :
A = ml HCl
N = Normalitas HCl
Lampiran 2b. Gambar alat-alat analisis air

Alat titrasi

DO-meter

Spektrofotometer
Lampiran 3. Penentuan jumlah es untuk pembiusan
3a. Fluktuasi suhu air dengan perbandingan air dan es 2:1 (1 liter air : 0,5 kg es)
Suhu Menit ke-
(oC) Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3 Rata-rata
24 2 2 2 2
23 2 2 2 2
22 5 5 5 5
21 6 6 6 6
20 7 7 7 7
19 10 10 10 10
18 11 11 11 11
17 16 16 16 16
16 18 18 18 18
15 19 19 19 19
14 21 21 21 21
13 23 23 23 23
12 25 25 25 25
11 27 26 27 27
10 27 27 27 27
9 31 31 31 31
8 37 37 37 37
7 45 45 45 45
6 67 70 65 67
7 98 100 90 96
8 120 126 121 122
9 140 142 139 141
10 161 162 160 161
11 176 178 176 177
12 199 197 199 199
13 223 220 222 222
14 245 240 250 245
15 253 257 254 255
16 267 269 267 268
17 281 284 283 283
18 313 301 304 306
19 323 321 320 322
20 347 345 341 345
3b. Fluktuasi suhu air dengan perbandingan air dan es 2:2 (1 liter air : 1 kg es)
Suhu Menit ke-
(oC) Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3 Rata-rata
24 1 1 1 1
23 2 2 2 2
22 3 3 3 3
21 5 5 5 5
20 6 6 6 6
19 6 6 6 6
18 8 8 8 8
17 10 10 10 10
16 12 11 12 12
15 13 13 13 13
14 17 16 17 17
13 18 18 18 18
12 18 18 18 18
11 20 20 20 20
10 21 21 21 21
9 23 23 23 23
8 27 26 26 26
7 35 35 34 34
6 40 39 39 39
7 70 69 59 66
8 99 96 91 95
9 117 115 110 114
10 125 127 120 124
11 140 139 139 139
12 165 160 157 161
13 188 188 193 190
14 213 211 210 211
15 227 226 230 228
16 244 245 251 247
17 261 263 265 263
18 288 286 287 287
19 307 308 300 305
20 330 330 325 328
3c. Fluktuasi suhu air dengan perbandingan air dan es 2:3 (1 liter air : 1,5 kg es)
Suhu Menit ke-
(oC) Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3 Rata-rata
24 1 1 1 1
23 1 1 1 1
22 2 2 2 2
21 2 2 2 2
20 4 3 3 3
19 5 4 4 4
18 5 5 5 5
17 6 6 6 6
16 8 8 7 8
15 9 9 8 9
14 13 13 12 12
13 16 16 16 16
12 17 18 17 17
11 18 18 18 18
10 18 18 18 18
9 19 19 19 19
8 20 21 21 21
7 23 22 22 22
6 24 24 23 24
5 25 25 24 25
4 27 26 26 26
3 32 32 34 33
4 59 56 54 56
5 100 90 88 93
6 126 123 131 127
7 140 147 143 143
8 171 179 169 173
9 182 191 185 186
10 210 216 220 215
11 230 236 240 235
12 261 256 253 256
13 289 298 291 293
14 341 352 351 348
15 419 400 398 406
16 435 431 419 428
17 447 440 437 441
18 474 478 470 474
19 498 489 487 491
20 520 519 520 520
3d. Fluktuasi suhu air dengan perbandingan air dan es 2:4 (1 liter air : 2 kg es)

Suhu Menit ke-


(oC) Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3 Rata-rata
23 1 1 1 1
22 1 1 1 1
21 1 1 1 1
20 2 1 1 1
19 2 2 1 2
18 2 2 2 2
17 3 3 3 3
16 3 3 3 3
15 3 3 3 3
14 4 4 4 4
13 4 4 4 4
12 5 4 4 4
11 5 5 5 5
10 5 5 5 5
9 5 5 5 5
8 6 6 6 6
7 6 6 6 6
6 6 6 6 6
5 6 6 6 6
4 8 8 8 8
3 12 13 12 12
4 44 42 41 43
5 95 80 71 82
6 123 138 143 135
7 134 151 159 148
8 178 170 170 173
9 190 201 208 200
10 221 229 233 228
11 245 241 250 245
12 289 287 296 291
13 328 320 318 322
14 353 349 340 347
15 377 371 362 370
16 392 391 400 394
17 419 416 418 418
18 428 429 426 427
19 462 459 470 464
20 489 496 503 496
Lampiran 4. Gambar penentuan perbandingan jumlah air dengan jumlah es untuk
pembiusan

Air:Es = 2:1 (b/b) Air:Es = 2:2 (b/b)

Air:Es = 2:3 (b/b) Air:Es =2:4 (b/b)


Lampiran 5. Penentuan suhu pembiusan ikan nila secara bertahap
Lampiran 6. Perubahan perilaku ikan nila selama proses pembiusan secara

langsung menggunakan suhu rendah

A. Perubahan perilaku ikan nila selama proses pembiusan secara langsung


menggunakan suhu rendah 9-10 oC
Waktu
Kondisi
(menit)
Aktivitas ikan normal (gerak operkulum cepat, respon terhadap rangsangan
0
luar tinggi dan gerak renang aktif)
5 Ikan mulai panik, gerak tidak beraturan
10 Gerak renang aktif, respon terhadap rangsangan luar cepat
15 Operkulum dan sirip mulai melemah
Gerak operkulum lambat, respon terhadap rangsangan luar rendah, gerak
20
renang masih aktif (pingsan ringan)

B. Perubahan perilaku ikan nila selama proses pembiusan secara langsung


menggunakan suhu rendah 7-9 oC
Waktu
Kondisi
(menit)
0 Ikan mulai panik, gerak tidak beraturan
Gerak operkulum lambat, respon terhadap rangsangan luar rendah, gerak
5
renang aktif (pingsan ringan)
10 Ikan berada di dasar akuarium
Gerak operkulum lambat, respon terhadap rangsangan luar tidak ada kecuali
15
dengan tekanan kuat, gerak renang lemah (pingsan berat)

C. Perubahan perilaku ikan nila selama proses pembiusan secara langsung


menggunakan suhu rendah 6-7 oC
Waktu
Kondisi
(menit)
0 Ikan panik, gerak tidak beraturan
Gerak operkulum lambat, respon terhadap rangsangan luar tidak ada kecuali
5
dengan tekanan kuat, gerak renang lemah (pingsan berat)
Gerak operkulum sangat lemah, respon terhadap rangsangan luar tidak ada,
10
gerak renang tidak ada (roboh)
Lampiran 7. Pembiusan ikan nila secara langsung

Suhu 9-10 oC

Suhu 7-9 oC

Suhu 6-7 oC
Lampiran 8. Data waktu proses pembugaran ikan nila setelah penyimpanan

Waktu pembugaran (menit)


Fase pembiusan Ulangan
0 jam 3 jam 6 jam 9 jam 12 jam
1 15 20 30 30 30
2 15 25 30 30 30
Pingsan ringan
3 15 20 30 30 30
Rata-rata 15 22 30 30 30
1 15 15 30 30 30
2 15 15 30 30 30
Pingsan berat
3 15 11 30 30 30
Rata-rata 15 14 30 30 30
1 15 30 30 30 30
2 15 30 30 30 30
Roboh
3 15 30 30 30 30
Rata-rata 15 30 30 30 30
Lampiran 9. Data persentase kelulusan hidup ikan nila setelah penyimpanan

Jumlah ikan yang hidup (%)


Fase pembiusan Ulangan
0 jam 3 jam 6 jam 9 jam 12 jam
1 100 80 60 0 0
2 100 60 40 0 0
Pingsan ringan
3 100 60 20 0 0
Rata-rata 100 67 40 0 0
1 100 20 0 0 0
2 100 40 0 0 0
Pingsan berat
3 100 40 0 0 0
Rata-rata 100 33 0 0 0
1 100 0 0 0 0
2 100 0 0 0 0
Roboh
3 100 0 0 0 0
Rata-rata 100 0 0 0 0
Lampiran 10. Data perubahan suhu media pengisi kemasan
Waktu Pingsan ringan Pingsan berat Roboh
penyimpanan Ulangan (oC) (oC) (oC)
(jam) Awal Akhir Awal Akhir Awal Akhir
1 10 10 9 9 7 7
2 10 10 9 9 7 7
0 jam 3 10 10 9 9 7 7
Rata-
rata 10 10 9 9 7 7
1 10 14 9 14 7 12
2 10 14 9 14 7 12
3 jam 3 10 14 9 14 7 12
Rata-
rata 10 14 9 14 7 12
1 10 15 9 14 7 12
2 10 14 9 14 7 12
6 jam 3 10 15 9 14 7 12
Rata-
rata 10 15 9 14 7 12
1 10 16 9 15 7 13
2 10 16 9 14 7 13
9 jam 3 10 16 9 14 7 13
Rata-
rata 10 16 9 14 7 13
1 10 16 9 15 7 14
2 10 16 9 15 7 14
12 jam 3 10 16 9 15 7 14
Rata-
rata 10 16 9 15 7 14

Anda mungkin juga menyukai