DAN PRATISARI
C34050814
DAN PRATISARI
C34050814
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan
pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Institut Pertanian Bogor
Menyetujui,
Pembimbing I Pembimbing II
Mengetahui,
Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan
Tanggal lulus :
LEMBAR PERNYATAAN
Dan Pratisari
NRP C34050814
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segenap
limpahan karunia dan hidayah-Nya. Shalawat serta salam semoga tetap tercurah
kepada Rasulullah SAW.
Penyusunan skripsi yang berjudul Transportasi Ikan Nila (Oreochromis
niloticus) Hidup Sistem Kering dengan Menggunakan Pembiusan Suhu
Rendah secara Langsung merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar
sarjana pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah
membantu baik moral maupun material dalam penyelesaian skripsi ini,
diantaranya kepada:
1. Bapak Ir. Dadi R. Sukarsa dan Ibu Ir. Komariah Tampubolon, MS selaku
komisi pembimbing atas segala saran, kritik, arahan dan motivasi.
2. Ibu Ir. Winarti Zahiruddin, MS dan Bapak Uju, S.Pi, M.Si selaku dosen
penguji atas segala saran dan arahan.
3. Ibu Ir. Anna C. Erungan, MS selaku dosen pembimbing akademik atas
segala bimbingan dan motivasi yang telah diberikan.
4. Ayahku Muhammad Zainul Arifin, Ibuku Lathifah Hanim, Kakakku
Gelar Pratama dan Mbabuk (nenekku tersayang) yang telah memberikan
kasih sayang dan semangat yang luar biasa.
5. Seluruh staf dan dosen pengajar Departemen Teknologi Hasil Perairan
atas bimbingannya selama ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk
itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran. Akhir kata, semoga skripsi ini
dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkannya.
Penulis
UCAPAN TERIMA KASIH
Halaman
DAFTAR TABEL ............................................................................................ x
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ xi
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... xii
1. PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .................................................................................... 1
1.2 Tujuan .................................................................................................. 3
2. TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................. 4
2.1 Deskripsi Ikan Nila (Oreochromis niloticus)....................................... 4
2.2 Aspek Ekonomi Ikan Nila ................................................................... 5
2.3 Penanganan Ikan Hidup ....................................................................... 7
2.4 Transportasi Ikan Hidup ...................................................................... 8
2.5 Imotilisasi dengan Suhu Rendah ......................................................... 10
2.6 Pengemasan .......................................................................................... 15
3. METODOLOGI ........................................................................................... 18
3.1 Waktu dan Tempat ................................................................................ 18
3.2 Alat dan Bahan ...................................................................................... 18
3.3 Prosedur dan Tahap Penelitian .............................................................. 18
3.3.1 Persiapan penelitian .................................................................... 18
3.3.2 Metode penelitian ........................................................................ 20
3.4 Analisis Data ......................................................................................... 25
Nomor Halaman
1.2 Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh suhu pembiusan
secara langsung terhadap tingkat kelulusan hidup ikan nila (Oreochromis
niloticus) dalam transportasi tanpa media air (sistem kering).
2. TINJAUAN PUSTAKA
Ikan nila memiliki bentuk tubuh yang agak panjang dengan warna tubuh
hitam agak keputihan, memiliki lima buah sirip, yaitu sirip punggung, sirip dada,
sirip perut, sirip anus dan sirip ekor. Pada sirip punggung, sirip dubur dan sirip
perut terdapat jari-jari lemah dan jari-jari keras yang tajam seperti duri. Sirip
punggung memiliki lima belas jari-jari keras dan sepuluh jari-jari lemah,
sedangkan sirip ekor mempunyai dua buah jari-jari keras dan sepuluh jari-jari
lemah. Sirip perut mempunyai satu jari-jari keras dan lima belas jari-jari lemah
(Suyanto 2003).
Ikan nila merupakan jenis ikan konsumsi air tawar dengan bentuk tubuh
memanjang dan pipih kesamping dan warna putih kehitaman. Ikan nila berasal
dari Sungai Nil dan danau-danau sekitarnya. Ikan ini telah tersebar ke negara-
negara di lima benua yang beriklim tropis dan subtropis. Ikan nila disukai oleh
berbagai bangsa karena dagingnya enak dan tebal seperti daging ikan kakap merah
(Syamsudin 2001).
Ikan nila dapat hidup pada kisaran suhu yang lebar yaitu 14-38 oC. Ikan nila
dapat hidup pada lingkungan yang mempunyai kisaran pH 5-11 (Arie 2000).
Kandungan oksigen air minimal 4 mg/l, kandungan karbondioksida maksimal
5 mg/l, kadar amoniak dalam air harus dalam batas yang tidak meracuni (lebih
rendah 0,1 mg/l) dan tingkat alkalinitas air berkisar 50-300 mg/l (BPPAT DKP
2001).
5 ekor ikan selama 5 jam memiliki tingkat kelulusan hidup 40 % (Jailani 2000).
Udang yang dipingsankan pada suhu 18 oC secara langsung selama 15 menit
memiliki tingkat kelulusan hidup sebesar 40 % setelah dikemas selama 22 jam
(Nitibaskara et al. 2006). Udang windu tambak yang dibius menggunakan suhu
rendah secara langsung pada suhu 17-19 oC dapat dipertahankan kelangsungan
hidupnya sebesar 93,75 % di dalam media serbuk gergaji dingin dalam uji
transportasi selama 16 jam (Setiabudi et al. 1995). Lobster hijau pasir (Panulirus
homarus) yang dibius menggunakan suhu rendah secara langsung pada suhu
14-15 oC selama 20 menit dapat bertahan hidup selama 20 jam dengan kelulusan
hidup 100 % (Suryaningrum at al. 1994).
Lama pembiusan yang terjadi pada proses pembiusan berbeda-beda . Hal ini
disebabkan fase panik yang terjadi saat proses pembiusan. Menurut Karnila dan
Edison (2001), fase panik tersebut dipengaruhi oleh suhu pembiusan. Ikan sangat
sensitif dengan adanya perubahan suhu air (Subasinghe 1997). Pada fase panik,
respirasi akan meningkat dengan tajam kemudian turun sampai mencapai respirasi
terendah yang menyebabkan ikan pingsan. Tingkat respirasi yang cukup rendah
menyebabkan lobster terganggu keseimbangannya sehingga lobster tidak dapat
menyangga tubuhnya sendiri dan jatuh dengan posisi tubuh miring
(Suryaningrum et al. 2008).
Pada kondisi shock, ikan banyak melakukan gerakan yang berlebihan pada
saat proses pembiusan. Kondisi shock tersebut menyebabkan ikan cepat
mengalami kematian karena ikan yang stres akan mengalami peningkatan asam
laktat dalam darah. Jika asam laktat terakumulasi dalam darah cukup tinggi akan
mempercepat terjadinya proses kematian (Afrianto dan Liviawaty 1989, diacu
dalam Utomo 2001). Faktor lingkungan dapat menjadi salah satu faktor penyebab
stress pada ikan (Lerner 2004).
Parameter penting dalam pembiusan pada suhu rendah yang cukup
berpeluang dalam menunjang kelulusan hidup ikan adalah metode pembiusan,
waktu pembiusan dan suhu pembiusan yang digunakan
(Suryaningrum et al. 1994). Imotilisasi dengan suhu rendah memiliki keuntungan
diantaranya ekonomis karena es mudah didapat dan aman karena tidak terdapat
residu bahan kimia (Suryaningrum et al. 1997).
Ada beberapa keuntungan dan kerugian metode imotilisasi dengan
penurunan suhu langsung dan bertahap. Pemingsanan dengan penurunan suhu
secara bertahap dapat menimbulkan stress pada ikan dan memerlukan waktu yang
panjang hingga ikan pingsan, sedangkan dengan penurunan suhu secara langsung
dapat mengurangi stress selama proses pemingsanan dan mempercepat proses
pemingsanan (Nitibaskara et al. 2006).
Tingkat keberhasilan transportasi ikan hidup diukur dari besarnya nilai
tingkat kelulusan hidupnya (survival) atau nilai kematiannya (mortalitas). Pada
transportasi ikan hidup sistem kering, setelah ikan ditransportasikan kemudian
ikan disadarkan kembali (proses pembugaran) dengan aerasi secara terus menerus
untuk mengetahui tingkat kelulusan hidupnya. Penggunaan aerasi bertujuan untuk
membantu penambahan udara ke dalam air sehingga kadar oksigen terlarut dalam
air menjadi cukup (Boyd 1982). Piper et al. (1982), diacu dalam
Nitibaskara et al. (2006) menyatakan bahwa kandungan oksigen terlarut di atas
5 mg/l dapat menjamin ikan tidak akan mengalami stress. Proses pembugaran
bertujuan untuk memulihkan kembali kondisi ikan. Suhu media pembugaran
disesuaikan dengan habitat ikan (Achmadi 2005).
Pada proses pembugaran udang dan lobster yang hidup akan berenang,
mula-mula udang atau lobster akan limbung tetapi kondisinya akan normal
kembali setelah berada dalam air selama 30 menit (Suryaningrum et al. 2004).
Menurut Achmadi (2005), ikan yang tidak menunjukkan adanya tanda-tanda
pergerakan anggota tubuh setelah 10 menit waktu pembugaran dianggap tidak
lulus hidup.
2.6 Pengemasan
Menurut Hambali et al. (1990), diacu dalam Jailani (2000), pengemasan
merupakan suatu cara untuk melindungi atau mengawetkan produk pangan
maupun non pangan. Pengemasan tidak hanya bertujuan untuk mengawetkan
produk yang dikemas, tetapi juga merupakan penunjang bagi transportasi,
distribusi dan merupakan bagian penting dari usaha untuk mengatasi persaingan
dalam pemasaran.
Menurut Subasinghe (1997), kebanyakan eksportir mengemas udang atau
lobster dalam satu kotak pengemas sebanyak empat sampai lima lapis yang
masing-masing diselingi serbuk gergaji, setelah itu kotak pengemas disegel
dengan lakban. Suhu kemasan yang berukuran 50x50x50 cm3 agar dapat
dipertahankan sama dengan suhu pembiusan maka disarankan untuk
menggunakan es seberat 0,5-1 kg yang dibungkus dengan plastik. Es ini
diletakkan di bagian atas atau bawah kemasan. Cara lainnya adalah meletakkan es
ini di sudut kemasan. Es ini dimasukkan ke dalam plastik kemudian dibungkus
dengan kertas koran. Suhu kotak styrofoam yang berukuran 40x60x40 cm3 dapat
dipertahankan sama dengan suhu pembiusan dengan menambahkan es seberat
0,5 kg sedangkan yang berukuran 30x30x40 cm3 dan 40x30x30 cm3 dengan
menambahkan es seberat 0,3-1 kg dan 0,5 kg yang dibungkus dengan plastik. Es
ini diletakkan di bagian bawah kemasan (Setiabudi et al. 1995; Jailani 2000;
Suryaningrum et al. 2004; Handini 2008).
Pengangkutan ikan hidup sistem media bukan air menggunakan bahan
pengisi atau media. Macam bahan pengisi yang dapat digunakan antara lain sekam
padi, serutan kayu, serbuk gergaji dan rumput laut. Fungsi utama bahan pengisi
dalam pengangkutan hidup media bukan air adalah untuk mencegah udang atau
lobster hidup agar tidak bergeser dalam kemasan, menjaga lingkungan suhu
rendah agar udang tetap pingsan atau imotil dan memberi lingkungan udara yang
memadai untuk kelangsungan hidup udang atau lobster. Bahan media kemasan
yang digunakan harus memperhatikan kestabilan suhu media kemasan. Suhu
media kemasan harus dapat dipertahankan serendah mungkin mendekati titik
imotil. Hal ini disebabkan suhu media kemasan berperan dalam mempertahankan
tingkat terbiusnya udang atau lobster selama pengangkutan sehingga ikut
mempertahankan ketahanan hidup udang atau lobster dalam media bukan air
(Junianto 2003). Menurut Suryaningrum et al. (1994), suhu akhir media ideal
untuk transportasi sistem kering sebaiknya tidak lebih dari 20 oC.
Menurut Utomo (2001), pada saat ikan dipingsankan dan disimpan dalam
kemasan tanpa air, katup insangnya masih mengandung air sehingga oksigen
masih dapat diserap walaupun sangat sedikit. Pada proses pengemasan, kertas
koran dapat digunakan sebagai pembungkus ikan. Penggunaan kertas koran
sebagai pembungkus ikan dapat memberikan keuntungan yaitu kondisi ikan tetap
bersih setelah ikan dibongkar dan mencegah serbuk gergaji masuk ke dalam
insang (Nitibaskara at al. 2006).
Bahan pengisi yang paling efektif dan efisien dalam pengangkutan
organisme hidup adalah serbuk gergaji karena teksturnya baik dan seragam.
Serbuk gergaji yang akan digunakan diberi perlakuan terlebih dahulu untuk
menghilangkan kotoran atau terpenten (bau) yaitu dengan pencucian dan
perendaman (Junianto 2003).
Secara umum ketebalan serbuk gergaji yang digunakan berkisar antara
0,5 cm sampai 10 cm. Menurut Junianto (2003), pada dasar wadah diisi bahan
pengisi yang disebar merata membentuk lapisan tipis dengan tebal 0,5-1 cm.
Menurut Nitibaskara et al. (2006), lapisan dasar wadah ditaburkan serbuk gergaji
dengan tebal 10-15 cm. Menurut Suryaningrum et al. (2004), di atas koran
ditaburi serbuk gergaji dingin dengan ketebalan 5-10 cm, sehingga kontak
langsung antara ikan dan es dapat dihindari.
Menurut Srikirishnadhas dan Kaleemur (1994), penggunaan serbuk gergaji
sebagai media kemasan dapat dikombinasikan dengan jerami atau sisa potongan
karung goni. Bahan-bahan tersebut sebelum digunakan didinginkan dalam freezer,
setelah bahan pengisi disiapkan maka perlu disiapkan es batu untuk membantu
menjaga suhu kemasan tetap rendah. Pada lapisan dasar kotak pengemas
disebarkan serbuk gergaji kira-kira 0,5 cm, kemudian di atasnya ditempatkan
lapisan jerami.
3. METODOLOGI
Serbuk gergaji
Ikan nila 5 ekor dibungkus kertas koran
Serbuk gergaji
Kertas koran
Es batu yang dibungkus plastik
b. Penelitian utama
1) Pembiusan ikan nila dengan suhu rendah secara langsung
Ikan nila yang akan dibius diseleksi terlebih dahulu kondisi fisik dan
kesehatannya, karena akan mempengaruhi keberhasilan penerapan teknik
pembiusan untuk ditransportasikan dalam keadaan hidup tanpa media air. Ikan
nila dibius dengan penurunan suhu secara langsung sesuai dengan suhu
pembiusan yang mencapai fase pingsan ringan, fase pingsan berat dan fase roboh
pada penelitian pendahuluan.
Teknik pembiusan dilakukan dengan memasukkan ikan secara langsung
dalam media air yang suhunya telah ditentukan pada suhu pembiusan ikan nila.
Akuarium ukuran 76x52x41 cm3 sebanyak 3 buah untuk masing-masing perlakuan
diisi air sebanyak 20 liter dengan aerasi dan diberi es sebanyak 40 kg untuk
mengatur suhu media air sesuai dengan suhu pembiusan ikan nila kemudian ikan
nila dimasukkan setelah suhu media air telah mencapai suhu pembiusan. Hal ini
bertujuan untuk mengetahui tingkat kelulusan hidup ikan jika dibius secara
langsung dengan suhu sesuai dengan fase pingsan ikan nila. Pada tahap ini
dilakukan pencatatan waktu, suhu dan pengamatan tingkah laku ikan nila selama
proses pembiusan tersebut berlangsung.
2) Penyimpanan ikan nila (Oreochromis niloticus)
Kotak styrofoam kosong terlebih dahulu diberi es batu dalam kantong plastik
sebanyak kurang lebih 0,5 kg yang kemudian ditutup kertas koran. Media serbuk
gergaji lembab dan dingin sesuai dengan suhu pembiusan ikan nila, ditaburkan
setebal 3 cm di atas kertas koran. Ikan yang telah imotil masing-masing dibungkus
kertas koran dan disusun miring di atas serbuk gergaji kemudian ditaburi kembali
dengan serbuk gergaji sampai tertutup semua. Tahap selanjutnya kotak ditutup
rapat dan dilakban untuk menghindari pengaruh suhu lingkungan luar terhadap isi
kemasan.
Pada saat proses penyimpanan tersebut dilakukan pengamatan dan
pengukuran beberapa parameter yang berpengaruh terhadap tingkat mortalitas
ikan nila, yaitu :
a. Interval lama penyimpanan
Lama penyimpanan ikan nila (Oreochromis niloticus) terdiri dari 4 taraf
waktu, yaitu 0 jam, 3 jam, 6 jam dan 9 jam. Pada setiap perlakuan waktu
penyimpanan terdiri dari 3 kali ulangan.
b. Pengukuran suhu media pengisi
Pengukuran suhu media serbuk gergaji dilakukan sebelum ikan dikemas
dalam kemasan styrofoam dan sesudah dilakukan penyimpanan ikan dalam
kemasan media serbuk gergaji dingin menggunakan termometer.
c. Kelulusan hidup ikan nila (Oreochromis niloticus)
Perhitungan tingkat kelulusan hidup ikan nila (Oreochromis niloticus)
dilakukan setelah disimpan dengan interval waktu lama penyimpanan, kemudian
dilakukan proses pembugaran dengan cara membongkar kemasan. Tahap
selanjutnya ikan dibersihkan dan dilakukan proses pembugaran. Pada proses
pembugaran ikan dimasukkan ke dalam akuarium yang berisi air tawar disertai
dengan aerasi secara terus-menerus. Suhu media pembugaran disesuaikan dengan
o
habitat ikan nila yaitu 27-28 C. Tingkat kelulusan hidup ikan dihitung
berdasarkan persentase ikan yang hidup setelah penyimpanan. Persamaan yang
digunakan untuk perhitungan tingkat kelulusan hidup ikan adalah :
M = Ut/Uo x 100 %
Keterangan :
M : Tingkat kelulusan hidup (%)
Ut : Jumlah ikan yang hidup pada akhir periode (ekor)
Uo : Jumlah ikan yang hidup pada awal periode (ekor)
Ikan nila hidup
Adaptasi 2 hari
Penyeleksian kesehatan
ikan nila
Pemuasaan 24 jam
Pengemasan
Penyimpanan
(0 jam, 3 jam, 6 jam dan 9 jam)
Pembongkaran
Pembugaran
Pengamatan
dan
perhitungan
Gambar 3. Diagram alir penyimpanan ikan nila dalam serbuk gergaji dingin
3.4 Analisis Data
Analisis data diperlukan untuk mendapatkan kesimpulan dari percobaan
yang dilakukan. Pada penelitian ini analisis data yang digunakan adalah analisis
secara deskriptif menggunakan tabel dan grafik.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Parameter Air sebagai Tempat Hidup Ikan Nila (Oreochromis niloticus)
Kualitas air merupakan salah satu faktor penting yang berpengaruh terhadap
kelangsungan hidup ikan nila. Kondisi lingkungan yang mendukung
perkembangan ikan nila yaitu pH air, temperatur, oksigen terlarut,
karbondioksida, amoniak dan alkalinitas (BPPAT DKP 2001).
Parameter kualitas air yang diamati meliputi pH air, suhu, DO, CO2, NH3
dan alkalinitas. Pengamatan kualitas air meliputi kualitas air kolam asal ikan,
kualitas air laboratorium yang belum diendapkan dan kualitas air laboratorium
yang telah diendapkan selama 2 hari. Hasil pengamatan kualitas air disajikan pada
Tabel 6.
Pada Tabel 6 tampak bahwa, air kolam asal ikan nila memiliki pH 7, suhu 29
o
C, DO 4 mg/l, CO2 4 mg/l, NH3 0,1 mg/l dan alkalinitas 137 mg/l. Kualitas air
laboratorium yang belum diendapkan memiliki pH 6, suhu 29 oC, DO 4 mg/l, CO2
5 mg/l, NH3 0,1 mg/l dan alkalinitas 155 mg/l, sedangkan kualitas air laboratorium
yang telah diendapkan selama 2 hari menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda
yaitu pH 7, suhu 29 oC, DO 4 mg/l, CO2 5 mg/l, NH3 0,1 mg/l dan alkalinitas
166 mg/l. Dari hasil pengukuran tersebut, dapat diketahui bahwa semua parameter
kualitas air yang diuji masih berada dalam taraf yang baik untuk kelangsungan
hidup ikan nila.
Suhu merupakan salah satu parameter fisika yang digunakan untuk
mengukur kualitas air. Hasil pengamatan kualitas air kolam asal ikan dan kualitas
air laboratorium yang belum diendapkan dan air laboratorium yang telah
diendapkan selama 2 hari memiliki kisaran suhu yang sama, yaitu 29 oC. Suhu
tersebut baik untuk pertumbuhan ikan nila seperti yang dinyatakan Boyd (1982),
bahwa kisaran suhu yang baik bagi ikan di daerah tropis adalah 25-32 oC.
Suhu sangat berpengaruh terhadap proses metabolisme dan kelarutan
senyawa-senyawa di dalam air. Peningkatan suhu perairan dapat mengakibatkan
penurunan kelarutan gas dalam air, misalnya O2, CO2 dan sebagainya
(Wulandari 2006, diacu dalam Irawan 2007). Peningkatan suhu juga dapat
menyebabkan peningkatan kecepatan metabolisme dan respirasi organisme
akuatik dan selanjutnya mengakibatkan peningkatan konsumsi oksigen.
Peningkatan suhu sebesar 10 oC menyebabkan peningkatan konsumsi oksigen
organisme akuatik sebesar 2-3 kali lipat (Effendi 2003). Hal ini berbanding
terbalik dengan adanya penurunan suhu yang dapat mengurangi aktifitas dan
proses metabolisme ikan. Kondisi tersebut dapat dimanfaatkan untuk tujuan
transportasi ikan hidup sistem kering sehingga ikan dapat bertahan lebih lama di
dalam lingkungan yang terbatas selama proses transportasi berlangsung.
Hasil pengamatan kualitas air kolam asal ikan nila, air laboratorium yang
belum diendapkan dan air laboratorium yang telah diendapakan selama 2 hari
memiliki pH antara 6-7 yang berarti sesuai untuk kondisi lingkungan ikan hidup.
Ikan mampu beradaptasi terhadap perubahan pH lingkungan dengan baik ketika
perubahan yang terjadi tidak drastis (Nitibaskara et al. 2006). Nilai pH yang ideal
untuk kehidupan ikan berkisar antara 6,5 sampai 8,5.
Salah satu faktor penting yang mempengaruhi kenyamanan dan keselamatan
ikan adalah oksigen. Oksigen sangat dibutuhkan oleh semua makhluk hidup,
termasuk ikan. Oksigen yang dibutuhkan oleh ikan adalah oksigen terlarut di
dalam air. Kandungan oksigen terlarut air kolam asal ikan, air laboratorium yang
belum diendapkan dan air laboratorium yang telah diendapkan selama 2 hari yaitu
4 mg/l. Hal ini menunjukkan bahwa kandungan oksigen terlarut cukup baik untuk
kondisi lingkungan hidup ikan nila. Tanpa oksigen terlarut dalam jumlah cukup
maka kehidupan ikan akan terganggu. Oksigen terlarut juga dipengaruhi oleh
suhu, semakin tinggi suhu maka kelarutan oksigen semakin berkurang.
Peningkatan suhu sebesar 1 oC akan meningkatkan konsumsi oksigen sekitar 10 %
(Brown 1987, diacu dalam Effendi 2003).
Kemampuan ikan untuk menggunakan oksigen tergantung pada toleransi
terhadap tekanan lingkungan, suhu air, pH, konsentrasi CO2 dan hasil
metabolisme seperti amoniak. Air kolam asal ikan, air laboratorium yang belum
diendapkan dan air laboratorium yang telah diendapkan selama 2 hari memiliki
kandungan CO2 berkisar 4-5 mg/l. Hal ini sesuai untuk kehidupan ikan nila,
karena menurut Effendi (2003) perairan yang diperuntukkan bagi kepentingan
perikanan sebaiknya mengandung karbondioksida bebas < 5 mg/l. Kadar
karbondioksida bebas sebesar 10 mg/l masih dapat ditolerir oleh organisme
akuatik, dengan tetap disertai kadar oksigen yang cukup. Kadar alkalinitas dan
amoniak yang diperoleh dari pengamatan kualitas air kolam asal ikan, air
laboratorium yang belum diendapkan dan air laboratorium yang telah diendapkan
selama 2 hari berkisar 137-166 mg/l dan 0,1 mg/l. Hal ini menunjukkan bahwa
kadar alkalinitas dan amoniak masih layak digunakan untuk kehidupan ikan nila
selama proses adaptasi dan pemuasaan ikan.
Hasil pengamatan kualitas air yang telah dilakukan baik untuk air kolam asal
ikan, air laboratorium yang belum diendapkan dan air laboratorium yang telah
diendapkan selama 2 hari menunjukkan bahwa hasil kualitas air yang diperoleh
masih memenuhi syarat kondisi lingkungan hidup bagi ikan nila. Hal ini
menunjukkan bahwa kualitas air tersebut tidak mempengaruhi kondisi kesehatan
dan proses pemeliharaan, pengadaptasian ikan nila serta pada saat diberi
perlakuan dalam proses pembiusan maupun pembugaran.
30
25
20
Suhu (oC)
15
10
7
7
5 6 4 6
4
3 3
0
1 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95
Waktu (menit)
1 L air : 0,5 kg es 1 L air : 1 kg es 1 L air : 1,5 kg es 1 L air : 2 kg es
Gambar 4. Penentuan jumlah es pada media air pembius dan rata-rata penurunan
suhu
Lama waktu
Suhu
pencapaian suhu Kondisi
(oC)
(menit)
Normal (gerak operkulum cepat, respon terhadap
26 0
rangsangan luar tinggi dan gerak renang aktif)
22 1 Normal
Panik (gerak tidak beraturan, respon terhadap rangsangan
13 4
luar sangat cepat)
Pingsan ringan (reaktivitas terhadap rangsangan luar
10 6
rendah, gerak operkulum lambat dan gerak renang aktif)
9 8 Pingsan ringan
Pingsan berat (reaktivitas terhadap rangsangan luar tidak
8 9 ada, kecuali dengan tekanan kuat, gerak renang lemah dan
pergerakan operkulum lambat)
7 11 Pingsan berat
Roboh (pergerakan operkulum dan sirip sangat lemah,
6 13 gerak renang tidak ada dan respon terhadap rangsang luar
tidak ada)
Pada penelitian selanjutnya, ikan nila yang telah dibius secara langsung akan
mengalami 3 macam kondisi yaitu pingsan ringan dengan kisaran suhu pembiusan
9-10 oC, pingsan berat dengan kisaran suhu pembiusan 7-9 oC dan fase roboh
dengan kisaran suhu pembiusan 6-7 oC. Kemudian ikan tersebut masing-masing
dikemas di dalam kotak styrofoam dengan 4 taraf waktu penyimpanan yaitu
0 jam, 3 jam, 6 jam dan 9 jam.
Tabel 8. Perubahan perilaku ikan nila selama proses pembiusan secara langsung
menggunakan suhu rendah 9-10 oC, 7-9 oC dan 6-7 oC
Waktu Kondisi
(menit) A B C
0 Normal Panik Panik
5 Panik Pingsan ringan Pingsan berat
Respon terhadap Ikan berada di dasar
10 Roboh
rangsangan luar cepat akuarium
Operkulum dan sirip
15 Pingsan berat
mulai melemah
20 Pingsan ringan
Keterangan : A = Pingsan ringan (9-10 oC)
B = Pingsan berat (7-9 oC)
C = Roboh (6-7 oC)
yang masih normal. Pada menit ke-5 kondisi ikan mulai panik dan gerak mulai
tidak beraturan. Menit ke-10 kondisi ikan ditandai dengan gerak renang aktif dan
respon terhadap rangsangan luar cepat. Pada menit ke-15 operkulum dan sirip
ikan mulai melemah, sedangkan pada menit ke-20 ikan sudah mengalami fase
pingsan ringan yang ditandai dengan gerak operkulum lambat, respon terhadap
rangsangan luar rendah, gerak renang masih aktif. Hal ini menunjukkan ikan nila
merupakan ikan yang memiliki daya tahan tubuh yang tinggi terhadap perubahan
lingkungan yang baru.
Pembiusan ikan nila secara langsung menggunakan suhu rendah 7-9 oC
menyebabkan ikan nila mengalami fase pingsan berat pada menit ke-15. Pada
menit ke-0 kondisi ikan nila mulai panik dan bergerak tidak beraturan.
Selanjutnya pada menit ke-5 gerak operkulum lambat, respon terhadap
rangsangan luar rendah dan gerak renang aktif (pingsan ringan). Pada menit ke-10
ikan berada di dasar akuarium, sedangkan pada menit ke-15 ikan memasuki fase
pingsan berat yang ditandai dengan gerak operkulum lambat, respon terhadap
rangsangan luar tidak ada kecuali dengan tekanan kuat dan gerak renang lemah.
Hal ini menunjukkan bahwa suhu 7-9 oC merupakan suhu ekstrim bagi ikan nila
karena pada saat ikan nila dibius menunjukkan respon ikan mulai panik dan
bergerak tidak beraturan pada menit ke-0 dan ikan sudah mengalami fase pingsan
ringan pada menit ke-5.
Ikan nila yang dibius secara langsung dengan suhu rendah 6-7 oC dapat
menyebabkan ikan mengalami fase roboh pada menit ke-10. Ikan nila pada menit
ke-0 kondisinya panik dan bergerak tidak beraturan. Pada menit ke-5 ikan
mengalami fase pingsan berat yang ditandai dengan gerak operkulum lambat,
respon terhadap rangsangan luar tidak ada kecuali dengan tekanan kuat dan gerak
renang lemah. Pada menit ke-10 ikan nila roboh yang ditandai dengan gerak
operkulum sangat lemah, respon terhadap rangsangan luar tidak ada dan gerak
renang tidak ada.
Ikan yang dibius pada suhu pembiusan 9-10 oC mengalami fase panik pada
menit ke-5 sedangkan ikan yang dibius pada suhu pembiusan 7-9 oC dan 6-7 oC
mengalami fase panik pada menit ke-0. Fase panik yang terjadi pada masing-
masing perlakuan pembiusan dipengaruhi oleh suhu pembiusan yang digunakan
(Lampiran 7). Hal ini sesuai dengan pernyataan Karnila dan Edison (2001), bahwa
fase panik tersebut dipengaruhi oleh suhu pembiusan.
Lama pembiusan yang terjadi pada masing-masing fase pembiusan berkisar
10-20 menit. Hal ini disebabkan fase panik yang terjadi saat proses pembiusan
berbeda-beda. Pada fase panik, respirasi akan meningkat dengan tajam kemudian
turun sampai mencapai respirasi terendah yang menyebabkan ikan pingsan.
Menurut Suryaningrum et al. (2008), tingkat respirasi yang cukup rendah
menyebabkan lobster terganggu keseimbangannya sehingga lobster tidak dapat
menyangga tubuhnya sendiri dan jatuh dengan posisi tubuh miring.
Ikan nila yang mengalami proses pembiusan secara langsung menggunakan
suhu rendah sesuai dengan fase imotilnya diharapkan memiliki ketahanan hidup
yang tinggi selama berada di luar lingkungan hidupnya. Ikan nila yang mengalami
fase pingsan ringan, pingsan berat dan roboh memiliki tingkat respirasi dan
metabolisme yang rendah.
4.3.2 Kelulusan hidup ikan nila (Oreochromis niloticus) setelah penyimpanan
Proses penyimpanan ikan nila dalam kemasan styrofoam dilakukan setelah
ikan mengalami pembiusan pada berbagai fase imotil (fase pingsan ringan,
pingsan berat dan roboh). Pemingsanan ikan dilakukan dengan metode pembiusan
menggunakan suhu rendah secara langsung, yaitu dilakukan dengan memasukkan
ikan dalam media air yang suhunya diatur pada suhu pembiusan ikan nila (fase
pingsan ringan, pingsan berat dan roboh). Fase pingsan merupakan fase yang
dianjurkan untuk pengangkutan ikan, karena pada fase ini aktivitas ikan relatif
akan berhenti (Mc Farland 1959, diacu dalam Achmadi 2005).
Ikan yang telah dibius dikemas di dalam kotak styrofoam. Pada bagian
bawah kotak styrofoam diletakkan bongkahan-bongkahan es kecil yang dibungkus
plastik seberat 0,5 kg kemudian dilapisi dengan kertas koran. Hal ini bertujuan
untuk mempertahankan suhu kemasan sama seperti suhu pembiusan ikan nila.
Media pengisi kemasan yang sudah didinginkan sesuai dengan suhu
pembiusan diletakkan di atas kertas koran. Ikan yang telah pingsan dibungkus
dengan kertas koran untuk menghindari menempelnya serbuk gergaji dan
mempermudah proses pembugaran, kemudian dilapisi kembali dengan serbuk
gergaji dan kemasan ditutup dengan penutup kemasan lalu direkatkan.
Kemasan dibongkar setelah ikan disimpan selama 0 jam, 3 jam, 6 jam dan
9 jam kemudian ikan disadarkan (proses pembugaran) di dalam akuarium yang
diaerasi secara terus menerus untuk mengetahui tingkat kelulusan hidupnya.
Proses pembugaran bertujuan untuk memulihkan kembali kondisi ikan. Ikan yang
dibugarkan secara umum memiliki aktivitas yang sama, yaitu diawali dengan
adanya gerakan operkulum yang sangat lambat kemudian sedikit demi sedikit
normal. Kondisi ini dilanjutkan dengan gerakan anggota tubuh yang lain seperti
gerakan sirip, kemudian ikan berangsur-angsur dapat berenang normal meskipun
masih dalam kondisi lemah. Hasil pengamatan pada saat proses pembugaran
disajikan pada Gambar 5 dan Lampiran 8.
Proses pembugaran ikan membutuhkan waktu 14-30 menit. Durasi waktu
selama 30 menit tersebut bertujuan untuk menekankan bahwa ikan benar-benar
tidak dapat hidup kembali setelah proses penyimpanan. Menurut Achmadi (2005)
menyatakan bahwa selama proses pembugaran maka ikan yang tidak
menunjukkan adanya tanda-tanda pergerakan anggota tubuh setelah 10 menit
dianggap tidak lulus hidup. Pada proses pembugaran udang dan lobster yang
hidup akan berenang, mula-mula udang atau lobster akan limbung tetapi
kondisinya akan normal kembali setelah berada dalam air selama 30 menit
(Suryaningrum et al. 2004).
30 30 30
Waktu proses pembugaran (menit)
30
25 22
20 15 14
15
10
5
0
0 jam 3 jam 6 jam 9 jam
Waktu penyimpanan
Ikan nila yang dibius pada suhu rendah mencapai fase pingsan ringan,
pingsan berat dan fase roboh dalam kemasan kotak styrofoam hanya dapat
bertahan hidup selama 6 jam dengan tingkat kelulusan hidup 40 % yaitu ikan nila
yang dikemas pada saat pingsan ringan (9-10 oC) (Gambar 6). Hal ini diduga
karena ikan tersebut selama proses pembiusan masih dapat menyesuaikan diri
dengan suhu pembiusan. Kondisi ini ditandai adanya aktivitas ikan yang masih
normal pada saat menit ke-0 dan pada menit ke-5 ikan sudah mulai panik.
Penyimpanan selama 3 jam pada saat ikan pingsan ringan memiliki
persentase tingkat kelulusan hidup 67 % sedangkan penyimpanan selama 6 jam
akan mengakibatkan ikan yang hidup hanya 40 % dan setelah proses pembugaran
selama 22 menit dan 30 menit masih dapat bertahan hidup selama 2 jam. Waktu
penyimpanan sangat mempengaruhi tingkat kelulusan hidup ikan. Ikan yang
dikemas selama 6 jam jumlah kelulusan hidupnya lebih kecil dibandingkan
dengan ikan yang dikemas selama 3 jam.
Rendahnya persentase tingkat kelulusan hidup pada perlakuan lama
penyimpanan selama 6 jam diduga karena ikan lebih cepat sadar kembali ketika
masih berada di dalam kemasan. Menurut Utomo (2001), pada saat ikan
dipingsankan dan disimpan dalam kemasan tanpa air, katup insangnya masih
mengandung air sehingga oksigen masih dapat diserap walaupun sangat sedikit.
Tetapi hasil dari penelitian ini menunjukkan kematian beberapa ikan yang
dikemas pada kondisi pingsan ringan. Hal ini diduga karena cadangan oksigen
yang terdapat pada katup insang dan media pengisi kemasan tidak mencukupi
kebutuhan oksigen ikan.
100
80 67
20
0 0 0 0 0 0
0
0 jam 3 jam 6 jam 9 jam
Waktu penyimpanan
Pingsan ringan Pingsan berat Roboh
Gambar 6. Grafik persentase rata-rata kelulusan hidup ikan nila pada berbagai
tingkat pembiusan
Ikan yang dikemas pada saat pingsan berat hanya mampu bertahan hidup
selama 3 jam dengan tingkat kelulusan hidup 33 % setelah proses pembugaran
selama 14 menit dan masih dapat bertahan hidup selama 2 jam. Ikan yang
dikemas pada saat kondisi roboh tidak ada yang mampu bertahan hidup selama
proses penyimpanan 3 jam, 6 jam dan 9 jam. Berdasarkan hasil penelitian ini
maka durasi penyimpanan tidak diperpanjang sampai 12 jam, karena pada
penyimpanan selama 9 jam ikan yang dikemas dalam kondisi pingsan ringan,
pingsan berat dan roboh memiliki tingkat kelulusan hidup 0 % (Tabel 9).
Hal ini disebabkan karena ikan mengalami shock pada saat proses
pembiusan. Ikan pada kondisi pingsan berat dibius pada suhu 7-9 oC dan ikan
pada kondisi roboh dibius pada suhu 6-7 oC dimana ikan langsung mengalami
perubahan suhu lingkungan yang sangat berbeda dengan suhu lingkungan hidup
ikan nila (14-38 oC), hal ini karena ikan sangat sensitif dengan adanya perubahan
suhu air (Subasinghe 1997).
Pada kondisi shock ikan banyak melakukan gerakan yang berlebihan pada
saat proses pembiusan. Kondisi shock tersebut menyebabkan ikan cepat
mengalami kematian karena pada ikan yang stres akan terjadi peningkatan asam
laktat dalam darah. Jika asam laktat terakumulasi dalam darah cukup tinggi akan
mempercepat terjadinya proses kematian (Afrianto dan Liviawaty 1989, diacu
dalam Utomo 2001).
Suhu merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat keberhasilan
dalam transportasi ikan hidup. Media pengisi kemasan mengalami perubahan suhu
sejak dari awal hingga akhir proses penyimpanan. Hasil pengamatan perubahan
suhu media pengisi kemasan disajikan pada Tabel 10 dan Lampiran 10.
Pada hasil pengamatan perubahan suhu media pengisi kemasan dapat dilihat
bahwa suhu dalam kemasan mengalami perubahan, yaitu berada pada kisaran 10-
16 oC untuk ikan nila yang dikemas dalam kondisi pingsan ringan, suhu 9-14
o
C untuk ikan nila yang dikemas dalam kondisi pingsan berat dan 7-13 oC untuk
ikan nila yang dikemas dalam kondisi roboh. Peningkatan suhu media pengisi
kemasan diduga akibat mencairnya es selama proses penyimpanan.
Penentuan suhu media pengisi disesuaikan dengan suhu imotilisasi ikan nila.
Menurut Suryaningrum dan Utomo (1999), diacu dalam Andasuryani (2003), suhu
media untuk transportasi sistem kering berkisar atau sama dengan suhu
imotilisasi. Suhu merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap kelulusan
hidup ikan yang akan ditransportasi dengan sistem kering, sehingga selama
transportasi suhu harus dipertahankan sebaik mungkin. Menurut Suryaningrum
et al. (1994) suhu akhir media ideal untuk transportasi sistem kering sebaiknya
tidak lebih dari 20 oC.
Pada penelitian ini diperoleh hasil bahwa suhu media dan penyimpanan ikut
menentukan ketahanan hidup ikan di dalam media serbuk gergaji dingin. Adanya
perubahan suhu yang cukup besar mulai dari awal transportasi sampai akhir
transportasi juga mempengaruhi tingkat kelulusan hidup ikan tersebut. Tingginya
suhu ini akan menyebabkan ikan sadar dan aktivitas tinggi. Makin tinggi aktivitas
ikan, baik aktivitas fisik maupun metabolisme, berarti menuntut ketersediaan
oksigen yang siap dikonsumsi. Di dalam media kering ketersediaan oksigen
terbatas maka ikan akan mengalami kekurangan oksigen dan berakibat kematian
(Karnila dan Edison 2001).
Perubahan suhu yang kecil menyebabkan ikan tetap tenang, tidak banyak
bergerak, aktivitas metabolisme dan respirasinya berkurang sehingga diharapkan
daya tahan hidup ikan cukup tinggi. Rendahnya metabolisme ikan maka
kebutuhan energi untuk aktivitas ikan juga akan rendah. Hal ini menunjukkan
bahwa perombakan ATP menjadi ADP dan AMP untuk menghasilkan energi juga
sangat rendah, sehingga oksigen yang digunakan untuk merombak ATP untuk
menghasilkan energi juga sangat rendah. Hal ini menyebabkan kadar oksigen
dalam darah ikan tidak turun secara drastis, sehingga ikan mampu hidup lebih
lama (Karnila dan Edison 2001).
Pada transportasi sistem kering, tingkat kelulusan hidup ikan selain
dipengaruhi oleh suhu, juga dipengaruhi oleh tingkat kesehatan ikan yang akan
ditransportasikan. Suryaningrum dan Bagus (1999) menyatakan bahwa semakin
tinggi tingkat kebugaran udang semakin lama udang dapat ditransportasikan
dengan kelulusan hidup yang tinggi. Menurut Praseno (1990), diacu dalam
Suryaningrum et al. (2008), kualitas ikan yang diangkut merupakan kriteria yang
sangat menentukan dalam keberhasilan proses transportasi ikan hidup.
Menurut Ayres dan Wood (1977), diacu dalam Suryaningrum et al. (2008),
salah satu syarat yang sangat menentukan keberhasilan transportasi lobster hidup
adalah kondisi kesehatan dan kebugaran lobster sebelum ditransportasikan. Pada
penelitian ini, ikan diambil dari kolam ikan kemudian ditransportasikan dan
diberok di laboratorium sehingga tingkat kesehatan ikan tidak sebaik jika
langsung dikemas di kolam ikan.
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Tingkat kelulusan hidup ikan nila yang dibius pada suhu 9-10 oC lebih tinggi
dibandingkan dengan ikan nila yang dibius pada suhu 7-9 oC dan 6-7 oC. Ikan nila
yang dibius dengan suhu 9-10 oC secara langsung selama 20 menit dan dikemas
dalam media serbuk gergaji dingin dapat dipertahankan kelangsungan hidupnya
selama 3 jam sebesar 67 % dan selama 6 jam sebesar 40 %.
5.2 Saran
Pada penelitian selanjutnya perlu dilakukan cara untuk mempertahankan
suhu media pengisi kemasan agar tetap rendah (sesuai dengan suhu pembiusan)
dan mengamati perubahan suhu media pengisi kemasan setiap interval waktu.
Perlu dilakukan penelitian selanjutnya mengenai aplikasi transportasi ikan hidup
yang sebenarnya agar diperoleh hasil yang optimal bagi tingkat kelulusan ikan
yang dikemas.
DAFTAR PUSTAKA
Amri K, Khairuman. 2003. Budi daya Ikan Nila Secara Intensif. Jakarta:
Agromedia Pustaka.
Andasuryani. 2003. Pengendalian suhu dan pengukuran oksigen pada peti kemas
transportasi sistem kering udang dan ikan dengan kendali fuzzy [tesis].
Bogor: Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.
[BPPAT DKP ] Balai Penelitian Perikanan Air Tawar Departemen Kelautan dan
Perikanan. 2001. Nila Gift (Tilapias)
http://suharjawanasuria.tripd.com/index.htm. [01 Januari 2009].
Boyd CE. 1982. Water Quality Management for Pond Fish Culture. USA:
Department of Fisheries and Allied Aquaqultures, Agricultural
Experiment Station Auburn University, Alabama.
Gayatri D.2000. Studi pola penurunan suhu pada bak pemingsanan udang windu
(Penaeus monodon Fab.) tipe batch [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi
Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Hidayah AM. 1998. Studi Penggunaan Gas CO2 sebagai Bahan Pembius untuk
Transportasi Ikan Nila Merah ( Oreochromis sp. ).
http://help.lycos.com/newticket.php. [01 Januari 2009].
Ikasari D, Syamsidi, Suryaningrum TD. 2008. Kajian fisiologis lobster air tawar
(Cherax quadricarinatus) pada suhu dingin sebagai dasar untuk
penanganan dan transportasi hidup sisitem kering. Jurnal Pascapanen
dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan 3:45-53.
Irawan DY. 2007. Pertumbuhan dan kelangsungan hidup lobster air tawar
Cherax quadricarinatus pada sistem resirkulasi dengan kepadatan
berbeda [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut
Pertanian Bogor.
Karnila R, Edison. 2001. Pengaruh suhu dan waku pembiusan bertahap terhadap
ketahanan hidup ikan jambal siam (Pangasius sutchi F) dalam
ransportasi sistem kering. Jurnal Natur Indonesia III (2): 151-167
(2001).
Rand MC, Greenberg AE, Taras MJ. 1975. Standard methods for the examination
of water and wastewater. 14th Ed. Washington, DC: APHA, 1015
Eighteenth Street NW.
Salin KR, Vadhyar-Jayasree K. 2001. Effect of different chilling rates for cold
anesthetization of Penaeus monodon (Fabricus) on the survival, duration
and sensory quality under live storage in chilled sawdust. Aquaculture
Research, Volume 32, Issue 2, P: 145.
Salin KR. 2005. Live transportation of Macrobrachium rosenbergii (De Man) in
chilled sawdust. Aquaculture Research, Volume 36, Issue 3, P: 300.
Sufianto B. 2008. Uji transportasi ikan mas koki (Carassius auratus Linnaeus)
hidup sistem kering dengan perlakuan suhu dan penurunan konsentrasi
oksigen [tesis]. Bogor: Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.
Suryaningrum TD, Bagus SSBU. 1999. Pengaruh suhu media serbuk gergaji
dingin terhadap sintasan udang windu (Penaeus monodon) dalam
kemasan kering. Di dalam: Penelitian dan Diseminasi Ekologi Budi
Daya Laut dan Pantai. Prosiding Seminar Nasional; Jakarta,
2 Desember 1999. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. hlm 325-334.
Keterangan:
UL 1: Ulangan 1
UL 2: Ulangan 2
UL 3: Ulangan 3
Lampiran 2. Pengukuran kualitas air
Lampiran 2a. Prosedur cara peneraan dari masing-masing parameter kualitas
media air
1) Pengukuran pH dan suhu (Bates 1973, diacu dalam Rand et al. 1975)
Pengukuran pH dan suhu dilakukan dalam satu alat yaitu menggunakan
pH-meter. Pengukuran pH dan suhu air ini dilakukan pada sampel air kolam, air
laboratorium yang belum diendapkan dan air laboratorium yang telah diendapkan
selama 2 hari.
2) Pengukuran oksigen terlarut (DO) (Winkler 1888, diacu dalam Rand
et al. 1975)
Pengukuran DO dilakukan menggunakan DO-meter. Adapun cara kerja
pengukuran DO dengan DO-meter adalah sebagai berikut: DO-meter dikalibrasi
terlebih dahulu dengan air dari hasil analisis metode Winkler, kemudian
DO-meter nilainya dibuat nol. Contoh air sebanyak 100 ml diambil dan
dimasukkan ke dalam gelas piala 125 ml serta diberi magnetik stirer, kemudian
gelas piala tersebut diletakkan di atas stirer. Stik atau batang DO-meter
dicelupkan ke dalam air contoh tersebut, dinyalakan stirer dan DO-meter secara
bersamaan, dicatat nilai DO yang terbaca pada alat tersebut.
3) Pengukuran CO2 (Dye 1958, diacu dalam Rand et al. 1975)
Pengukuran CO2 adalah sebagai berikut: air sampel sebanyak 25 ml
dipipet, kemudian dimasukkan ke dalam erlenmeyer. Indikator pp ditambahkan
sebanyak 2-3 tetes ke dalam masing-masing sampel tersebut, setelah itu dititrasi
dengan Na2CO3 0,0454 N 50 ml hingga terjadi perubahan warna menjadi pink.
Volume titran yang digunakan dicatat.
Perhitungan :
Ppm CO2 = A x N x 44/2 x 1000
ml air sampel
Keterangan :
A = ml Na2CO3
N = Normalitas Na2CO3
4) Pengukuran total amoniak nitrogen (Weatherburn 1967, diacu dalam Rand
et al. 1975)
Pengukuran amoniak dilakukan pada sampel air kolam, air laboratorium
yang belum diendapkan, dan air laboratorium yang telah diendapkan selama
2 hari menggunakan spektrofotometer. Adapun pengukuran amoniak sebagai
berikut: sampel air sebanyak 25 ml dipipet dan dimasukkan ke dalam beker gelas
100 ml. larutan standar NH4Cl disiapkan sebanyak 25 ml dari larutan standar
amoniak. Blanko dibuat, yaitu dari 25 ml aquades. MnSO4 sebanyak 1 tetes,
chlorox 0,5 ml dan reagen fenat 0,6 ml ditambahkan ke dalam larutan standar
sampai warna biru kehijauan, serta ke dalam sampel air dan blanko, kemudian
ketiga larutan tersebut dibiarkan sampai 15 menit. Dengan larutan blanko pada
panjang gelombang 630 nm, spektrofotometer diset pada absorbansi 0,000,
kemudian dilakukan pengukuran sampel dan larutan standar.
Perhitungan :
TAN (mg/l) = Cst x As
Ast
Keterangan :
Cst = Konsentrasi larutan standar (0,3 ppm)
AS = Nilai absorban sampel
Ast = Nilai absorban standar
5) Pengukuran alkalinitas (Rand et al. 1975)
Pengukuran alkalinitas dilakukan pada sampel air kolam, air laboratorium
yang belum diendapkan, dan air laboratorium yang telah diendapkan selama
2 hari. Adapun cara pengukurannya adalah sebagai berikut: air sampel sebanyak
25 ml dipipet dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer. Indikator BCG-MR
ditambahkan sebanyak 2 tetes ke dalam sampel air hingga berubah warna menjadi
biru. Sampel air tersebut lalu dititrasi dengan HCl 0,02 N 50 ml hingga terjadi
perubahan warna dari biru menjadi bening dan volume titran yang digunakan.
Perhitungan:
Alkalinitas (ppm CaCO3) = A x N x 100/2 x 1000
ml sampel
Keterangan :
A = ml HCl
N = Normalitas HCl
Lampiran 2b. Gambar alat-alat analisis air
Alat titrasi
DO-meter
Spektrofotometer
Lampiran 3. Penentuan jumlah es untuk pembiusan
3a. Fluktuasi suhu air dengan perbandingan air dan es 2:1 (1 liter air : 0,5 kg es)
Suhu Menit ke-
(oC) Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3 Rata-rata
24 2 2 2 2
23 2 2 2 2
22 5 5 5 5
21 6 6 6 6
20 7 7 7 7
19 10 10 10 10
18 11 11 11 11
17 16 16 16 16
16 18 18 18 18
15 19 19 19 19
14 21 21 21 21
13 23 23 23 23
12 25 25 25 25
11 27 26 27 27
10 27 27 27 27
9 31 31 31 31
8 37 37 37 37
7 45 45 45 45
6 67 70 65 67
7 98 100 90 96
8 120 126 121 122
9 140 142 139 141
10 161 162 160 161
11 176 178 176 177
12 199 197 199 199
13 223 220 222 222
14 245 240 250 245
15 253 257 254 255
16 267 269 267 268
17 281 284 283 283
18 313 301 304 306
19 323 321 320 322
20 347 345 341 345
3b. Fluktuasi suhu air dengan perbandingan air dan es 2:2 (1 liter air : 1 kg es)
Suhu Menit ke-
(oC) Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3 Rata-rata
24 1 1 1 1
23 2 2 2 2
22 3 3 3 3
21 5 5 5 5
20 6 6 6 6
19 6 6 6 6
18 8 8 8 8
17 10 10 10 10
16 12 11 12 12
15 13 13 13 13
14 17 16 17 17
13 18 18 18 18
12 18 18 18 18
11 20 20 20 20
10 21 21 21 21
9 23 23 23 23
8 27 26 26 26
7 35 35 34 34
6 40 39 39 39
7 70 69 59 66
8 99 96 91 95
9 117 115 110 114
10 125 127 120 124
11 140 139 139 139
12 165 160 157 161
13 188 188 193 190
14 213 211 210 211
15 227 226 230 228
16 244 245 251 247
17 261 263 265 263
18 288 286 287 287
19 307 308 300 305
20 330 330 325 328
3c. Fluktuasi suhu air dengan perbandingan air dan es 2:3 (1 liter air : 1,5 kg es)
Suhu Menit ke-
(oC) Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3 Rata-rata
24 1 1 1 1
23 1 1 1 1
22 2 2 2 2
21 2 2 2 2
20 4 3 3 3
19 5 4 4 4
18 5 5 5 5
17 6 6 6 6
16 8 8 7 8
15 9 9 8 9
14 13 13 12 12
13 16 16 16 16
12 17 18 17 17
11 18 18 18 18
10 18 18 18 18
9 19 19 19 19
8 20 21 21 21
7 23 22 22 22
6 24 24 23 24
5 25 25 24 25
4 27 26 26 26
3 32 32 34 33
4 59 56 54 56
5 100 90 88 93
6 126 123 131 127
7 140 147 143 143
8 171 179 169 173
9 182 191 185 186
10 210 216 220 215
11 230 236 240 235
12 261 256 253 256
13 289 298 291 293
14 341 352 351 348
15 419 400 398 406
16 435 431 419 428
17 447 440 437 441
18 474 478 470 474
19 498 489 487 491
20 520 519 520 520
3d. Fluktuasi suhu air dengan perbandingan air dan es 2:4 (1 liter air : 2 kg es)
Suhu 9-10 oC
Suhu 7-9 oC
Suhu 6-7 oC
Lampiran 8. Data waktu proses pembugaran ikan nila setelah penyimpanan