Anda di halaman 1dari 10

BAB 2

LANDASAN TEORI

2.1 Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)


Terkait dalam komitmen negara pada UUD 1945 yang mengacu pada
pasal 27 ayat (2) yang menyatakan bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas
pekerjaan dan perlindungan yang layak bagi kemanusiaan, maka dibentuklah
Undang-Udang Keselamatan Kerja yang bertujuan untuk pembentukan
UUKK, yaitu bahwa setiap tenaga kerja berhak mendapatkan perlindungan
keselamatannya dalam melakukan pekerjaan untuk kesejahteraan dan
meningkatkan produksi serta produktivitas nasional. Keselamatan dan
kesehatan kerja (K3) adalah program yang dibuat oleh perusahaan maupun
pekerja sebagai upaya pencegahan timbulnya kecelakaan dan penyakit akibat
kerja dengan cara mengenali hal-hal yang berpotensi menimbulkan
kecelakaan dan penyakit akibat kerja serta tindakan antisipatif apabila terjadi
panyakit dan kecelakaan akibat kerja, dengan tujuan untuk mengurangi biaya
perusahaan apabila timbul kecelakaan dan penyakit akibat kerja (T. &
Trisyulianti, 2007, hal. 1). Definisi K3 menurut OHSAS 18001:2007 dalam
terms and definitions yaitu kondisi-kondisi dan faktor-faktor yang
berdampak, atau dapat berdampak pada kesehatan dan keselamatan karyawan
atau pekerja lain (termasuk pekerja kontrak dan personel kontraktor, atau
orang lain di tempat kerja) (Miftah, 2012, hal. 5). Dimana definisi K3 yang
dirumuskan oleh ILO/WHO Joint Safety and Health Comittee, yaitu:
Occupational Health and Safety is the promotion and maintenance of the
highest degree of physical, mental and social well-being of all occupation;
the prevention among workers of departures from health caused by their
working conditions; the protection of workers in their employment from risk
resulting from factors adverse to health; the placing and maintenance of the
worker in an occupational environment adapted to his physiological and
psychological equipment and to summarize the adaptation of work to man
and each man to his job.

2.2 Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3)


Berdasarkan Undang-undang No.1 tahun 1970, pasal 3 (Simanjuntak,
2010, hal. 2) pihak manajemen berkewajiban menerapkan syarat-syarat
keselamatan kerja yang beberapa diantaranya adalah mencegah dan
mengurangi kecelakaan, memberi pertolongan pada kecelakaan, dan syarat
lain yang fungsinya adalah untuk melindungi tenaga kerja atau karyawan,
serta orang lain yang ada di tempat kerja. Ditambahkan pula dari
Permenaker 04/MEN/1987, pasal 2 (Simanjuntak, 2010, hal. 2) bahwa
kebijakan dan komitmen ini akan dilaksanakan oleh seluruh elemen dalam
sistem manajemen tersebut, termasuk diantaranya adalah P2K3 yang dibentuk
oleh perusahaan itu sendiri. Selain daripada itu pada tahun 1999 BSI dengan
badan-badan sertifikasi dunia telah meluncurkan pula sebuah standar sistem
manajemen keselamatan dan kesehatan kerja yang diberi nama Occupational
Health and Safety Management System (OHSAS 18001), sehingga struktur

5
6

yang dimiliki THE ILO/OSH 2001 pun memiliki kesamaan dengan OHSAS
18001 (Simanjuntak, 2010, hal. 6-7).
Sekiranya perlu pula memberikan edukasi dan pelatihan kepada
pekerja mengenai keselamatan dan kesehatan kerja untuk memiliki
behavioral safety. Behavioral safety lebih menekankan aspek perilaku
manusia terhadap terjadinya kecelakaan di tempat kerja, walaupun sulit untuk
di kontrol secara tepat karena 80-90% dari seluruh kecelakaan kerja yang
terjadi disebabkan oleh unsafe behavior (Luckyta & Partiwi, 2012, hal. 1).
Menurut Luckyta & Pratiwi (2012, hal. 1) unsafe behavior adalah tipe
perilaku yang mengarah pada kecelakaan seperti bekerja tanpa menghiraukan
keselamatan, melakukan pekerjaan tanpa ijin, menyingkirkan peralatan
keselamatan, operasi pekerjaan pada kecepatan yang berbahaya,
menggunakan peralatan tidak standar, bertindak kasar, kurang pengetahuan,
cacat tubuh atau keadaan emosi yang terganggu. Dengan menerapkan sistem
manajemen keselamatan dan kesehatan kerja maka manfaat yang didapatkan
oleh perusahaan maupun pekerja ialah sebagai berikut (Simanjuntak, 2010,
hal. 9-12):
1. Perlindungan karyawan
Tujuan penerapan SMK3 adalah memberi perlindungan kepada pekerja,
yaitu asset perusahaan yang harus dipelihara dan dijaga keselamatannya.
Dengan adanya jaminan K3 maka pekerja akan lebih optimal dalam
bekerja, memberikan kepuasan, dan loyal pada perusahaan dibandingkan
dengan pekerja yang terancam keselamatan dan kesehatan kerjanya.
2. Memperlihatkan kepatuhan pada peraturan dan undang-undang
Perusahaan yang melakukan pembangkangan terhadap peraturan dan
undang-undang seperti citra yang buruk, tuntutan hukum dari badan
pemerintah, seringnya menghadapi permasalahan dengan tenaga kerjanya
tentunya akan mengakibatkan kebangkrutan. Perusahaan yang telah
menunjukkan itikad baiknya dalam mematuhi peraturan perundangan,
membuat mereka dapat beroperasi secara normal dengan menerapkan
sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja.
3. Mengurangi biaya
Penerapkan SMK3 dapat mencegah terjadinya kecelakaan, kerusakan atau
sakit akibat kerja, sehingga tidak perlu mengeluarkan biaya yang
ditimbulkan akibat kejadian tesebut. Memang diperlukan biaya cukup
besar dalam jangka untuk menerapkan SMK3, seperti sertifikasi setiap
enam bulan yang memerlukan audit, tetapi penerapan SMK3 yang
dilaksanakan secara efektif dan penuh komitmen membuat nilai uang
yang dikeluarkan tersebut jauh lebih kecil dibandingkan dengan biaya
yang ditimbulkan akibat kecelakaan kerja.
4. Membuat sistem manajemen yang efektif
Keuntungan perusahaan yang sebesar-besarnya akan dicapai dengan
adanya sistem manajemen perusahaan yang efektif. Banyak variabel yang
ikut membantu pencapaian sebuah sistem manajemen yang efektif, yaitu
mutu, lingkungan, keuangan, teknologi informasi dan K3.
7

5. Meningkatkan kepercayaan dan kepuasan pelanggan


Karyawan yang terjamin keselamatan dan kesehatan kerjanya akan
bekerja lebih optimal dan tentu akan meningkatkan kualitas produk dan
jasa yang dihasilkan dibandingkan sebelum dilakukan penerapan sistem
manajemen keselamatan dan kesehatan kerta. Citra organisasi terhadap
kinerjanya akan semakin meningkat yang akan meningkatkan
kepercayaan pelanggan.

2.3 Efek Domino


Metode yang diciptakan oleh Heinrich, Petersen, dan Roos (1980)
untuk mengidentifikasi masalah dalam memberikan pemahaman mengenai
penyebab dari kecelakaan kerja dan urutan langkah-langkah dalam
kecelakaan itu sendiri disebut efek domino yang merupakan akibat dari
kurangnya implementasi sistem keselamatan kerja sehingga harus
ditambahkan elemen-elemen yang dapat mengidentifikasi dan mengukur
aktivitas kerja, menetapkan prosedur standar kerja, mengukur kinerja pekerja
dan kinerja yang tepat (Freivalds, 2009, p. 320). Teori domino memberikan
gambaran mengenai kesalahan yang disebabkan oleh satu faktor yang dapat
menyebabkan faktor lain ikut berperan dalam kecelakaan kerja yang dapat
menimbulkan korban jiwa (Goetsch, 2011, hal. 32-33).

Gambar 2.1 The Domino Theory of an Accident Sequence

Faktor-faktor yang mengakibatkan kecelakaan kerja dikelompokkan dalam


lima kategori oleh Heinrich dengan menggunakan teori domino sebagai
berikut (Goetsch, 2011, hal. 33):
1. Faktor keturunan dan lingkungan sosial
Salah satu ciri pembawaan negatif yang membuat seseorang berperilaku
tidak aman karena keturunan atau oleh lingkungan sosial sekitar.

2. Kesalahan dari individu


Merupakan ciri negatif yang disebabkan oleh kebiasaan atau pengetahuan
yang disalah artikan, dimana mengakibatkan seseorang berperilaku tidak
aman dan menyebabkan terjadinya bahaya.

3. Tindakan tidak aman atau bahaya kimia dan fisik


Tindakan tidak aman yang dilakukan individu dengan bahan kimia dan
benda fisik yang dapat menyebabkan kecelakaan secara langsung.

4. Kecelakaan
Kecelakaan dapat mengakibatkan cedera yang disebabkan oleh terjatuh
atau terkena pukulan dari objek yang bergerak.
8

5. Cedera
Disebabkan oleh kecelakaan termasuk cedera berupa robekan atau
bersifat patahan seperti patah tulang.
2.4 Plan, Do, Check, and Action (PDCA)
Plan, Do, Check, and Action (PDCA) merupakan suatu proses
perbaikan secara terus menerus dan berkelanjutan yang biasanya digunakan
untuk mengendalikan kualitas yang bukan hanya sebagai alat pemecah
masalah (Sokovic, 2010, hal. 477-478). PDCA dapat dijelaskan sebagai
berikut (Journalamme, 1995, hal. 3):
1. Plan (rencana)
Perencanaan yang melibatkan penentuan batasan, menentukan kebutuhan
data, bagaimana cara pengolahan data serta memikirkan analisis kedepan
dan pencarian alternatif.
2. Do (tindakan)
Pelaksanaan rencana dan memeriksa pelaksanaan.
3. Check (periksa)
Memantau dan menilai hasil perubahan atau pelaksanaan rencana.
4. Action (reaksi)
Menindaklanjuti hasil untuk membuat perbaikan dan pemilihan alternatif
terbaik untuk diimplementasikan.

Sumber: (Journalamme, 1995, p. 2)


Gambar 2.2 Siklus PDCA (Plan, Do, Check, Act)

2.5 Penerapan SMK3 Berdasarkan Permenaker 05/Men/1996


Peraturan menteri tenaga kerja no 05/MEN/1996 merupakan sebuah
pedoman yang dapat digunakan untuk menyusun sebuah sistem manajemen
keselamatan dan kesehatan kerja dalam sebuah perusahaan yang mengatakan
bahwa tempat kerja yang berisi 100 orang atau lebih memiliki potensi bahaya
yang yang ditimbulkan oleh karakteristik proses atau bahan produksi atau
9

dapat mengakibatkan kecelakaan kerja dan kerugian wajib menerapkan


SMK3 (Per 05/MEN/1996, pasal 3). Peraturan menteri (Simanjuntak, 2010,
hal. 12) menetapkan bahwa: tujuan dan sasaran sistem manajemen
keselamatan dan kesehatan kerja adalah menciptakan suatu sistem
keselamatan dan kesehatan kerja di tempat kerja dengan melibatkan unsur
manajemen, tenaga kerja, kondisi dan lingkungan kerja yang terintegrasi
dalam rangka mencegah dan mengurangi kecelakaan dan penyakit akibat
kerja serta terciptanya tempat kerja yang aman, efisien dan produktif.
Perusahaan wajib melaksanakan ketentuan sebagai berikut
(Simanjuntak, 2010, hal. 12-13):
a. Menetapkan K3 dan menjamin komitmen terhadap penerapan SMK3.
b. Merencanakan pemenuhan kebijakan, tujuan dan sasaran penerapan K3.
c. Menerapkan kebijakan K3 secara efektif dengan mengembangkan
kemampuan dan mekanisme pendukung yang diperlukan mencapai
kebijakan, tujuan dan sasaran K3.
d. Mengukur, memantau dan mengevaluasi kinerja K3 serta melakukan
perbaikan dan pencegahan.
e. Meninjau secara teratur dan meningkatkan pelaksanaan SMK3 secara
berkesinambungan dengan tujuan meningkatkan kinerja K3.

2.6 Identifikasi Bahaya


2.6.1 Hazard and Operability Study (HAZOPS)
HAZOPS merupakan metode analisis yang digunakan untuk mengidentifikasi
dan mengevaluasi proses yang berhubungan dengan bahaya pada lingkungan
(Ferdiansyah, 2011, hal. 46).

2.6.2 Failure Modes and Effects Analysis (FMEA)


FMEA adalah metode analisis yang mendalam akibat kegagalan peralatan dan
pengaruhnya pada sistem (Ferdiansyah, 2011, hal. 46).

2.6.3 Fault Tree Analysis (FTA)


FTA adalah metode analisa desain, prosedur dan kesalahan pada faktor
manusia (Ferdiansyah, 2011, hal. 46).

2.6.4 Job Safety Analysis (JSA)


Job Safety Analysis adalah cara untuk memeriksa metode kerja dan
menentukan bahaya yang sebelumnya telah diabaikan dalam merencanakan
pabrik atau gedung dan di dalam rancangan bangunan, masin-mesin, alat-alat
kerja, material, lingkungan tempat kerja, dan proses kerja yang langkah
pembuatanya adalah sebagai berikut (Ferdiandsyah, 2011, hal. 47-48):
1. Memilih pekerjaan yang akan dianalisa karena tidak dapat dipilih secara
acak, dimana pekerjaan dengan pengalaman kecelakaan terburuk
seharusnya dianalisis terlebih dahulu. Dalam memilih pekerjaan untuk
dianalisis dan dalam menyusun tata cara analisis, pengawasan utama yang
harus diikuti adalah:
a. Banyaknya kecelakaan yang terjadi dalam sebuah pekerjaan.
b. Kecelakaan yang menghasilkan luka berat.
c. Kecelakaan yang menghasilkan luka cacat.
10

d. Pekerjaan baru dengan perubahan di dalam peralatan kerja atau


proses.

2. Membagi pekerjaan ke dalam beberapa langkah atau kegiatan. Sebelum


penelitian terhadap bahaya dimulai, pekerjaan harus di bagi ke dalam
beberapa langkah yang menggambarkan apa yang telah selesai
dikerjakan. Untuk menghindari 2 kesalahan umum, yaitu:
a. Membagi pekerjaan menjadi terlalu rinci yang seharusnya tidak perlu
menghasilkan sejumlah banyak langkah.
b. Membuat rincian kerja yang terlalu umum, sehingga langkah dasar
tidak tertulis.

3. Melakukan identifikasi terhadap bahaya dan kecelakaan yang potensial.

4. Mengembangkan prosedur kerja yang aman untuk menghilangkan bahaya


dan mencegah kemungkinan terjadinya kecelakaan. Mengembangkan
suatu prosedur kerja yang aman untuk :
a. Mencegah timbulnya kecelakaan.
b. Mencari data baru untuk melakukan pekerjaan itu.
c. Merubah kondisi fisik yang menimbulkan risiko.
d. Mehilangkan bahaya yang masih ada dan mengganti prosedur.
e. Mengurangi frekuensi melaksanakan tugas.
JSA berisikan beberapa informasi yang berkaitan dengan suatu proses
pekerjaan, yaitu (Ferdiandsyah, 2011, hal. 49):
a. Job (Pekerjaan)
Jenis pekerjaan yang dilakukan dalam unit produksi untuk diidentifikasi
risikonya.
b. Task (Rincian Kegiatan)
Menjelaskan rincian kegiatan yang dilakukan untuk masing-masing
tahapan kegiatan yang dapat menggambarkan faktor-faktor terjadinya
dampak.
c. Hazard (Bahaya)
Cara untuk mengetahui jenis bahaya apa yang ditimbulkan dari kegiatan
pekerjaan.
d. Probability (Kemungkinan)
Kemungkinan pekerja untuk terkena cedera dari bahaya yang ditimbulkan
oleh kegiatan pekerjaan.
e. Consequency (Konsekuensi)
Dampak yang ditimbulkan dari setiap kegiatan kerja.

2.7 Fishbone Diagram


Fishbone diagram dapat disebut juga dengan cause and effect
diagram merupakan alat untuk mengetahui akar permasalahan dengan
menunjukkan variasi penyebab (Ibrahim, 2000, hal. 83). Cara penyusunan
fishbone menurut Ibrahim (2000, 83) ialah dengan menggambarkan efek dan
penyebab terbesar pada ujung kanan dan efek digambarkan pada sisi kiri,
pada sisi atas dan bawah garis horizontal, dimana efek tersebut masih
memiliki sub-efek dan seterusnya sampai yang terkecil. Contoh gambar
fishbone terdapat pada gambar 2.3 di bawah ini (Imai, 1996, hal. 64):
11

Orang Mesin
Penanganan traksi Tongkat mengenai tutup
dinaikkan Viskositas
Posos alat untuk
Penimbangan tara membaca ukuran Penimbangan tara
Nonvarias
diturunkan Menyulitkan, karena Kotor Metode penanganan
Tentukan jumlah yang
makan banyak waktu akan diekstraksi Viskositas yang tepat
Pemasangan Penimbangan tara untuk mesin
tidak tepat Tidak sesuai

keluaran damar
Lain-lain

Variasi dalam
Bervariasi Volume terekstrasi
Residu damar pada proses kedua
Tinggi Rasio penambahan
Penyumbatan
Viskositas Ada perbedaan

Lot Rendah Proses pertama Mulut pipa


Damar menyinggung drum
Volume bahan A
Volume yang dimasukkan

Rasio penambahan
Material Metode
Proses ketiga

Sumber: (Imai, 1996, hal. 64)


Gambar 2.3 Fishbone Diagram
2.8 Cahaya
Pengukuran tingkat pencahayaan diperlukan untuk memperkirakaan
ketajaman penglihatan yang dihasilkan pada suatu pekerjaan. Satuan
internasional yang digunakan untuk mengukur tingkat penerangan adalah lux,
yakni rasio flux yang berpendar (lumens) pada suatu luas permukaan (m2)
(Nurmianto, 1996, hal. 224). Nilai kebutuhan pencahayaan pada suatu tempat
dibedakan berdasarkan tingkat kesulitan kegiatan yang dilakukan. Berikut ini
adalah rekomendasi pencahaan berdasarkan beban pekerjaannya (Nurmianto,
1996, hal. 225):
Tabel 2.1 Rekomendasi Pencahayaan
Rekomendasi
Pengelompokan Tugas dari yang
Pencahayaan Contoh Pekerjaan
Kelihatan
(Lux)
Membuat perhiasan dan
Tugas yang membutuhkan ketelitian 2400 lebih jam tangan (Menginspeksi
benda yang sangat kecil
dalam waktu lama)
Menggunakan mesin,
peralatan dan cetakan
Rasio normal Sangat sulit 1600 untuk produksi, serta
berdasarkan menginspeksi benda yang
pekerjaan dan kecil
kesulitannya Pekerjaan garmen, untuk
Sulit 1200 menginspeksi dan
membandingkan warna
Pewarnaan dengan spray,
Sulit 800 finishing dan pengecekan
Rasio normal warna produk
berdasarkan
pekerjaan dan Menggambar, pekerjaan
kesulitannya Cukup sulit 600 kantor, membaca, dan
memanufaktur komponen
kendaraan
12

Tabel 2.1 Rekomendasi Pencahayaan (Lanjutan)


Rekomendasi
Pengelompokan Tugas dari yang
Pencahayaan Contoh Pekerjaan
Kelihatan
(Lux)
Kegiatan rutin di kantor
400
dan merakit
Ruang kelas,
Biasa saja
memanufaktur kayu
Rasio normal 300
dengan mesin, dan
berdasarkan
pekerjaan dapur
pekerjaan dan
Pekerjaan kasar, inspeksi
kesulitannya
200 stok, ruangan umum, dan
Sederhana packing
Ruang ganti, loker, dan
100
storage
Koridor yang ramai, tempat
Kegiatan yang dilakukan sebentar 50
istirahat, dan parkir mobil
Koridor dengan lanpu
Tempat lalu lalang 20
jalanan
Sumber: (Nurmianto, 1996, hal. 225)

2.9 Bising
Manusia memiliki toleransi dalam menanggulangi kebisingan, terbatas pada
durasi dan tingkat kebisingan tersebut yang dijelaskan pada tabel 2.2 dibawah
ini (Freivalds, 2009, p. 245):
Tabel 2.2 Batas Toleransi Kebisingan
Durasi (jam) Level Suara (dB)
8 90
6 92
4 95
3 97
2 100
1,5 102
1 105
0,5 110
0,25 atau kurang 115
Sumber: (Freivalds, 2009, p. 245)

2.10 Kenyamanan Suhu dan Faktor Iklim pada Ruang Kerja


Menurut Grandjean (1986) indoor climate adalah kondisi fisik
sekeliling yang meliputi temperatur udara, temperatur pemukaan sekeliling,
kelembaban udara, dan aliran perpindahan udara (Nurmianto, 1996, hal. 271).
Kelembaban udara pada kisaran 40-60% akan menghambat pertumbuhan
virus (Anesi, 2013, hal. 1) NIOSH merekomendasikan temperatur ruangan
dengan asumsi pria dewasa, berpakaian normal, dan sehat dipetakan pada
tabel 2.3 sebagai berikut (Nurmianto, 1996, hal. 283):
13

Tabel 2.3 Temperatur Ruangan Kerja yang Direkomendasikan NIOSH


Kegiatan Temperatur (C)
Pekerjaan ringan (kurang dari 200 Kcal/jam) 30
Pekerjaan sedang (200-199 Kcal/jam) 28
Pekerjaan berat (300-299 Kcal/jam) 26
Pekerjaan sangat berat (lebih dari 400 Kcal/jam) 25
Sumber: (Nurmianto, 1996, hal. 283)

2.11 Iceberg Theory


HW Heinrich melakukan studi komprehensif dari biaya kecelakaan
dengan membedakan perbedaan antara biaya kecelakaan tertutup oleh
asuransi (yaitu kompensasi dibayarkan kepada terluka atau tanggungan dari
almarhum) dan semua biaya lain yang terkait dengan nilai faktor dari 1,2 -10
dalam bentuk gunung es seperti pada gambar di bawah ini (Safety Partening
Programe, 2005, hal. 8).

Gambar 2.3 Accident Cost Iceberg

2.12 Interest Factor


Interest factor digunakan untuk melihat secara eksplisit besarnya uang
yang harus dikeluarkan atau dapat diterima sebagai dasar pertimbangan
dalam menentukan tempat untuk berinvestasi (Turner, Mize, Case, &
Nazemetz, 1993, hal. 337). Formulasi faktor pengkali ditunjukkan pada
gambar 2.5 sebagai berikut:
14

Hal yang Annual


diberikan interest rate

Hal yang Jumlah annual


dicari F P i, n interest
Sumber: (Turner, Mize, Case, & Nazemetz, 1993, hal. 338)
Gambar 2.5 Faktor Pengkali

Untuk mendapatakan besaran nilai uang yang akan diterima/dikeluarkan pada


saat ini dari biaya tahuan di depan, maka jumlah annual interest berdasarkan
jumlah tahun yang akan dilakukan pembayaran.

Anda mungkin juga menyukai