Anda di halaman 1dari 10

Isa Ansari : Konstruksi dan Reproduksi Simbolik Tradisi Jawa dalam Pertunjukan Teater Remaja di Kota Solo

KONSTRUKSI DAN REPRODUKSI SIMBOLIK TRADISI JAWA


DALAM PERTUNJUKAN TEATER REMAJA DI KOTA SOLO

Isa Ansari

Program Studi Seni Teater


Fakultas Seni Pertunjukan ISI Surakarta

Abstract

This research aims to identify and describe how the adults theater groups express java tradition in
their art performances, specifically when local government is focusing on revitalizing the tradition.
To reach the main purpose, researcher uses cultural reproduction perspective which develops around
sociologist and anthropologist. In data analyzing, the researcher tries to combine the cultural repro-
duction and dramaturgy theories in theater. Therefore the analyzing process is done by dividing struc-
ture and texture. The research result shows that there are two important points done by the adults
theater groups. First is negotiating the performance form in the artistic and value. Second is trans-
forming the aesthetic of performance.

Keywords: construction, reproduction, Java tradition

Pendahuluan dan lain-lain. Berkembangnya kelompok teater


Secara umum setidaknya ada tiga gejala remaja ini tentunya membawa warna tersendiri
kebudayaan yang terjadi di Kota Solo. Pertama terhadap kehidupan teater di Kota Solo, terutama
adalah globalisasi yang dimainkan oleh kekuatan pasar. ketika Solo mencitrakan diri sebagai kota budaya dan
Gejala ini ditandai dengan berdirinya berbagai pusat- sebagai spirit bagi tradisi Jawa Solo The Spirit of
pusat perbelanjaan baik yang secara vulgar menyebut Java.
sebagai pusat perbelanjaan modern ataupun yang Interaksi antara tradisi yang terformulasikan
kamuflase menyebut sebagai pusat perbelanjaan dalam slogan Solo the Spirit of Java dengan
tradisional. Penanda lainnya adalah fashion, informasi ekspresi kesenian remaja di Kota Solo yang berbasis
dan teknologi yang pada dasarnya merupakan teater modern menjadi fokus penulisan ini. Penulis
ekspansi dari produk global. Gejala kedua adalah berasumsi bahwa proses interaksi tersebut mengarah
citra solo sebagai kota budaya, bahkan jauh lebih dalam pada reproduksi dan konstruksi tradisi Jawa dalam
dari hal tersebut yakni sebagai ruh atau spirit, Solo ekspresi seni teater remaja. Reproduksi dan konstruksi
the Spirit of Java, dari budaya Jawa. Oleh karenanya yang terjadi terhadap tradisi secara umum dapat
kita banyak menemukan berbagai aktifitas, ornamen, diartikan sebagai jawaban dari ketakutan sebagian
tulisan yang berbasis pada budaya (baca: tradisi) masyarakat terhadap eksistensi tradisi dalam ruang
Jawa. sosial baru saat ini. Karena dalam ruang sosial baru
Gejala yang ketiga adalah keberadaan yang serba cepat dan instan sebagai konsekwensi
kelompok-kelompok teater remaja yang saat ini dari laju perkembangan transportasi dan informasi
mengalami perkembagan yang cukup signifikan. Hal memunculkan beberapa implikasi terhadap
ini ditandai dengan banyaknya kelompok teater remaja masyarakat. Pertama adalah munculnya ide-ide
di sekolah-sekolah menengah atas di Kota Solo kreatif untuk mengembangkan kebudayaan yang
seperti SMAN 1, SMAN 2, SMAN 3, SMAN 4, dimilikinya sebagai bentuk ekspresi kebudayaan,
SMAN 5, SMAN 6 SMAN 7, SMAN 8, SMAN 9, terutama adalah terkait dengan tradisi. Kedua, terkait
SMA Santo Joesep, SMA Batik 1, SMA Kristen 1, dengan pemberian makna terhadap tindakan-tindakan

Volume 6 No. 1 Juni 2014 33


Jurnal Penelitian Seni Budaya

individu ataupun simbol yang menjadi identitas suatu simbol ataupun makna yang menjadi bagian integral
kebudayaan (Abdullah, 2006:42). dari suatu kebudayaan.
Berangkat dari realitas obyektif tersebut, Secara terminologis reproduksi kebudayaan
persoalan yang menjadi fokus penulisan ini adalah diartikan sebagai suatu proses aktif yang menegaskan
bagaimana bentuk atau perwujudan dari konstruksi keberadaan suatu kebudayaan dalam ruang sosial
dan reproduksi tradisi baik pada saat proses berteater yang berbeda, sehingga mengharuskannya untuk
ataupun pada saat pertunjukan dari kelompok teater melakukan adaptasi bagi kelompok yang memilki latar
remaja? Pertanyaan ini muncul terkait dengan belakang yang berbeda (Abdullah, 2006 : 41). Proses
anggapan umum yang sering kita dengar bahwa anak aktif di sini adalah keterlibatan secara intent dari
remaja saat ini sudah tidak mengenal tradisi. Karena budaya asal (tradisi) dalam ruang sosial yang berbeda
tubuh kalangan remaja menciptakan dualisme. Di satu tersebut, selain itu dalam proses tersebut, budaya
sisi tubuh mereka terbiasa dengan style dan tradisi melakukan proses negosiasi untuk tetap
modernisme, namun disisi lain mereka hidup dalam mempertahankan tradisi yang telah hidup sekian
ruang budaya yang cukup ketat baik dalam lingkup lama.
keluarga ataupun sosial budaya masyarakat Solo. Proses reproduksi yang akan dilihat dalam
Oleh karenanya satu kewajarn jika muncul berbagai penulisan ini adalah proses yang dilakukan oleh
macam keraguan terhadap kemampuan remaja dalam lembaga-lembaga non formal yakni kelompok teater
mengikuti dan menjaga tradisi Jawa. remaja. Kelompok teater remaja adalah kelompok-
Dalam tulisan ini reproduksi difahami sebagai kelompok teater yang berada di sekolah-sekolah
bentuk perubahan daam upaya eksistensi. Di dalam menengah atas yang ada di Kota Solo. Penulis tertarik
glossary of sociological terms- school of untuk melihat hal ini karena, ada kecenderungan
Sociology and Anthropology sebagaimana yang dikalangan remaja untuk menjauh dari tradisi yang
dikutib oleh Bilton (1996) mendefinisikannya sebagai mereka anggap out of date dan terlalu njelimet.
suatu proses transmisi norma-norma dan nilai-nilai Dalam penulisan ini reproduksi tersebut
budaya yang masih eksis dari generasi ke generasi. dilihat sebagai gejala kebudayaan, sehingga
Reproduksi kebudayaan merujuk pada mekanisme pendekatan yang sangat memungkinkan untuk
untuk keber langsungan dan eksistensi dari menjelaskan gejala kebudayaan tersebut adalah
pengalaman-pengalaman budaya terdahulu. Hal ini pendekatan antropologi budaya dengan menggunakan
berarti bahwa di satu sisi bentuk tradisi masih perspektif cultural reproduction (reproduksi
dipertahankan, namun disisi lain kebutuhan- kebudayaan). Dalam memahami gejala kebudayaan,
kebutuhan saat ini juga diakomodir. Raymond Williams perspektif cultural reproduction beranggapan
menegaskan hal tersebut di dalam bukunya yang bahwa kebudayaan yang hadir saat ini adalah
berjudul Culture, menurutnya reproduksi diperlukan kebudayaan yang dihasilkan dari proses negosiasi
sebagai upaya untuk mempertahankan keberadaan. yang melibatkan sejumlah kontestan dengan
Reproduksi menurutnya adalah a copy atau making kepentingannya masing-masing (Friedman, 1995).
a copy. Kata a copy (salinan/tiruan), seperti proses Adapun tradisi yang menjadi fokus penulisan
mekanik atau elektronik yang menghasilkan sesuatu ini adalah tradisi masyarakat Jawa dalam pengertian
sebagaimana wujud aslinya. Adapun making a copy yang umum, baik dari segi pitutur, bentuk pertunjukan
seperti yang terjadi dalam proses biologi yang ataupun makna-makna yang coba dihadirkan. Dalam
bertujuan untuk membuat suatu organisme baru, konteks kelompok teater remaja, reproduksi tradisi
dimana proses berlangsung lama dan terkadang terjadi ini akan dilihat dalam suasana, musik, spactacle, dialog
perubahan pada bentuk fisik dan intrinsiknya dan nilai yang dikonstruksi. Oleh karena itu terkadang
(Williams, 1981:185). Dari kedua pengertian mereka memberikan tafsir sendiri atas cerita dari
etimologis tersebut, reproduksi pada dasarnya adalah tokoh-tokoh dalam naskah. Begitu juga dengan
suatu upaya untuk mempertahankan suatu bentuk. masyarakat pendukung kebudayaan mereka
Dalam ranah budaya, yang terjadi adalah memberikan tafsir sendiri atas simbol-simbol tokoh
making a copy dimana perubahan yang terjadi dalam dalam naskah atau pertunjukan.
waktu yang lama dan mengikuti kebutuhan komunitas Penulisan ini dilakukan di kota Solo yang
yang lebih besar sebagaimana yang dikemukakan oleh beberapa tahun terakhir ini cukup marak dengan
Barucha diatas, sehingga terkadang hal tersebut tidak kemunculan kelompok-kelompok teater remaja.
disadari oleh pendukung kebudayaan tersebut. Kelompok-kelompok teater remaja ini berada di
Reproduksi di sini dapat terjadi pada bentuk fisik, sekolah-sekolah menengah atas baik yang negeri atau

34 Volume 6 No. 1 Juni 2014


Isa Ansari : Konstruksi dan Reproduksi Simbolik Tradisi Jawa dalam Pertunjukan Teater Remaja di Kota Solo

swasta. Ber dasarkan survey yang dilakukan mengelola, dan mengkontrol budaya-budaya
setidaknya terdapat 15 kelompok teater remaja di kota pragmatis tersebut. Aspek-aspek fungsi dan
Solo. kegunaan dari materi berganti dengan style yang
merepresentasikan pada ruang dan waktu kekinian.
Konstruksi Simbolik Tradisi Sebagai contoh cara berbicara kalangan remaja yang
Berteater bagi kalangan remaja bukan hanya selalu diiringi dengan gerak tubuh yang didominasi
pengisi waktu senggang di sela-sela aktifitas di luar oleh gerak tangan, bahu dan kepala. Begitu juga
kegiatan sekolah, berteater bagi mereka terkait erat dengan bahasa yang digunakan merujuk pada kode-
dengan rasa, imagi dan eksistensi. Rasa karena hanya kode budaya kekinian. Gaya berpakaian kalangan
orang-orang yang mempunyai ketertarikan yang kuat remaja mereferensi gaya K-Pop yang berasal dari
mau terlibat dalam aktifitas berteater. Tidak semua Korea begitu juga dengan potongan rambut.
siswa mau terlibat dalam kegiatan ekskul (ekstra Kecederungan-kecederungan yang terjadi
kurikuler) tersebut. Imagi, karena menurut mereka tersebut memang tidak dapat secara penuh
membangun imagi-imagi tentang kehidupan, karakter menegaskan pergeseran orientasi nilai budaya dan
dan peristiwa yang berada di luar dirinya, bahkan referensi generis masyarakat Jawa. Namun yang
berada dalam konteks ruang dan waktu yang mereka tampak di sini adalah proses negosiasi budaya antara
alami. Adapun eksistensi adalah pembenaran mereka tradisi yang telah mapan dengan berbagai bentuk
untuk berekspresi baik dalam bentuk gerak tubuh, budaya global yang disebar dari berbagai belahan
fikiran, ataupun emosi. Selain itu dengan berteater dunia. Karena sebagaimana yang telah disampaikan
mereka merasa lebih memahami kehidupan yang pada bab terdahulu, disposisi mental dan ketubuhan
sedang dijalani. Karena menurut mereka teater secara mereka masih menceritakan dan menggambarkan
umum diartikan sebagai kehidupan, sehingga kekuatan tradisi yang telah menubuh dikalangan
berteater adalah menyelami berbagai fenomena yang remaja Jawa.
terjadi dalam kehidupan. Berangkat dari ketiga Fenomena ini juga tampak dalam ekspresi
pandangan tersebut, kalangan remaja mempunyai kesenian terutama dalam berteater kalangan remaja.
militansi yang kuat dalam berteater. Di satu sisi mereka mempelajari dan mendalami
Selanjutnya penulis menguraikan bentuk teater yang berorientasi barat, baik dari segi
konstruksi tradisi dan reproduksi tradisi oleh kelompok sejarahnya, aliran ataupun bentuk-bentuk teater yang
teater remaja. Untuk menjelaskan bentuk-bentuk dikembangkan. Namun di sisi lain ketubuhan mereka
konstruksi tradis tersebut penulis mendeskripsikan yang telah terenkulturasi dengan tradisi merindukan
dua hal yakni proses negosiasi budaya, dan dan dengan cepat menangkap bentuk dan spirit
transformasi estetis. pertunjukan tradisi yang berkembang di Kota Solo
dan sekitarnya. Seperti yang telah dipaparkan pada
1. Negosiasi Tradisi bab II, bahwa banyak dari pelaku teater remaja yang
Kehidupan remaja yang terintegrasi dengan merasa senang dan menikmati pertunjukan-
identitas-identitas global melalui gerak, fashion style, pertunjukan ketoprak dan wayang orang yang
dan bahasa merubah arah orientasi nilai budaya dan mereka saksikan di Gedung Pertunjukan
referensi kultural mereka. Sumber-sumber generis Balaikambang ataupun di Gedung Pertunjukan
yang dipegang teguh oleh masyarakat Jawa Sriwedari. Walaupun hal tersebut mereka lakukan
menggambarkan bahwa orientasi nilai budaya untuk kebutuhan pemeranan dalam suatu pertunjukan
masyarakat Jawa mengarah pada harmonisasi semua yang akan mereka lakukan.
unsur kehidupan dengan sang pencipta. Hal ini Proses pertemuan dan tawar menawar
merupakan ultimate orientation dari masyarakat antara teater yang berbasis barat dengan ketubuhan
Jawa yang kemudian dijabarkan dalam sistem nilai dan disposisi mental pelaku teater, dalam pandangan
budaya sebagaimana yang dijabarkan oleh Kluckholm penulis merupakan bentuk negosiasi budaya.
(Koentjaraningrat, 2009:153-157). Budaya gaul, baik dominasi budaya yang melingkupi suatu pertunjukan
dalam bentuk gerak, fashion, ujaran merubah arah ataupun proses berteater yang berlangsung
referensi budaya kalangan remaja. Orientasi nilai yang tergantung pada basis pertunjukan yang akan
terbentuk adalah pragmatisme yang berorientasi dilakukan. Dalam kasus festival sandiwara realis
pasar. Dalam konteks inilah kita melihat pasar pelajar, dominasi budaya global sangat kuat. Dominasi
memainkan peran-peran sentral dalam memproduksi, ini muncul baik dari segi tata panggung, naskah yang

Volume 6 No. 1 Juni 2014 35


Jurnal Penelitian Seni Budaya

digunakan, kostum, dialog, ataupun musik yang remaja mengikuti trend dan alur berfikir yang
membentuk suasana. Hal ini dikarenakan aliran realis berkembang dikalangan mereka. Di sini penulis
yang merupakan konstruksi barat memapankan seturut dengan apa yang disampaikan oleh Irwan
konvensi-konvensi suatu pertunjukan teater yang Abdullah bahwa kaum muda tidak harus selalu kita
berkembang dalam ruang positivisme dan nilai sebagai kelompok yang selalu terpengaruh oleh
modernisme (Yudiaryani, 1999:156-165). budaya yang dianggap asing, tetapi kaum muda
Dalam konteks ini ataupun pertunjukan- adalah aktor yang aktif memanfaatkan situasi sesuai
pertunjukan lain yang berbasis pada teater modern, dengan ekspresi diri mereka (Abdullah, 2009:189).
tradisi yang hadir dalam pertunjukan tersebut difahami Oleh karenanya representasi yang mereka hadirkan
sebagai aktifitas keseharian yang berkembang dipanggung atas tradisi merupakan tindakan aktif yang
dimasyarakat. Oleh karenanya makna-makna generis memanfaatkan situasi sebagai bentuk ekspresi
yang melingkupi bentuk tradisi tersebut dilepas dari kesenian mereka. Kehadiran kebaya, jarik batik,
bentuk materialnya. Kemudian yang berkembang ceting, dan unsur-unsur lain dari spectakel, mood
adalah makna-makna yang dikaitkan dengan dan dialog pertunjukan teater remaja adalah suatu
pertunjukan tersebut. Seperti hadirnya kebaya dan perpaduan yang apik antara tradisi dengan modern.
jarik batik sebagai identifikasi terhadap wanita yang Negosiasi ini juga berlangsung dalam
sudah tua, melepaskan makna generis dari kebaya pertunjukan dan aktifitas teater yang berbasis tradisi
dan jarik batik yang mempunyai makna-makna seperti pada saat festival drama berbahasa Jawa.
kehidupan wanita Jawa. Dalam konteks ini tradisi sangat kuat mendominasi
Bagi wanita Jawa, bentuknya yang selama proses latihan dan pertunjukan terutama jika
sederhana bisa dikatakan sebagai wujud kesederhaan dilihat dari kuantias unsur-unsur tradisi yang
dari masyarakat Indonesia, di samping juga bermakna dihadirkan. Selain karena bahasa yang menggunakan
kepatuhan, kehalusan, dan tindak tanduk wanita yang bahasa Jawa, juga alur cerita yang mereka sajikan
harus serba lembut. Kebaya selalu identik banyak mengangkat fenomena yang hidup atau
dipasangkan dengan jarik atau kain yang membebat berkembang dalam kebudayaan masyarakat Jawa.
tubuh. Kain yang membebat tubuh tersebut secara Dalam konteks ini, hampir semua unsur
langsung akan membuat siapapun wanita yang pertunjukan memanfaatkan unsur-unsur tradisi dalam
mengenakannya kesulitan untuk bergerak dengan kebudayaan Jawa seperti, dialog, cerita, sebagian
cepat. Itulah sebabnya mengapa wanita Jawa selalu properti, dan musik. Negosiasi terjadi ketika semua
identik dengan pribadi yang lemah gemulai. unsur-unsur yang terkait dengan tradisi tersebut
Menggenakan kebaya akan membuat wanita yang diwujudkan dalam suatu konsep pementasan teater
mengenakannya berubah menjadi seorang wanita modern yang mendapat pengaruh barat secara kuat.
yang anggun dan mempunyai kepribadian. Potongan Namun yang menjadi catatan penting disini adalah
kebaya yang mengikuti bentuk tubuh mau tidak mau bahwa dominasi kuantitas unsur-unsur tradisi yang
akan membuat wanita tersebut harus bisa dihadirkan, tidak secara linear berkorelasi dengan
menyesuaikan dan menjaga diri. Setagen yang otoritas untuk mengkontrol pertunjukan. Karena pola
berfungsi sebagai ikat pinggang, bentuknya tak ubah fikir yang terbentuk dalam fikiran pemain, penonton,
seperti kain panjang yang berfungsi sebagai ikat sutradara dan juri yang menilai pertunjukan tersebut
pinggang. Namun justru dari bentuknya yang panjang adalah pola fikir teater modern. Pola fikir ini
itulah nilai-nilai filosofi luhur ditanamkan, merupakan menekankan pada aturan-aturan panggung, setting
symbol agar bersabar/jadilah manusia yang sabar, erat dan terutama adalah unsur rasa. Penekanan pada
kaitannya dengan peribahasa jawa dowo ususe rasa dapat dihadirkan melalui karakter-karakter tokoh
atau panjang ususnya yang berarti sabar. ataupun konteks pertunjukan secara keseluruhan.
Makna generis tersebut tidak secara utuh Batasan tersebut merupakan implikasi dari
difahami oleh kalangan remaja, baik sutradara ataupun kuasa kontrol discourse atas tradisi yang masih terlalu
pemain. Karena yang mereka lakukan adalah kuat. Tradisi yang telah membuka sekat-sekat pakem
menghadirkan representasi dari sesuatu. Kebaya dan dalam budaya Jawa diletakkan dalam batasan-
jarik batik sangat tegas merepresentasikan tradisi, batasan dramaturgi barat dengan klasifikasi tekstur
atau orang dari suatu masa ataupun strata sosial dan struktur yang juga penulis gunakan dalam
tertentu. Keterwakilan simbol-simbol tradisi dalam penulisan ini guna melihat bentuk kehadiran tradisi
pertunjukan ataupun aktifitas berteater kalangan dalam pertunjukan teater remaja. Batasan

36 Volume 6 No. 1 Juni 2014


Isa Ansari : Konstruksi dan Reproduksi Simbolik Tradisi Jawa dalam Pertunjukan Teater Remaja di Kota Solo

konsepsional dramaturgi ini juga yang digunakan oleh atau wayang wong adalah untuk menunjukkan tradisi
dewan juri dan penonton dalam menilai pertunjukan tersebut. Walaupun secara keseluruhan pertunjukan
teater tersebut. Oleh karenanya kehadiran tradisi kanjeng ratu dikemas dalam pertunjukan drama
dalam bentuk dialog, properti, musik dan suasana modern.
belum memberikan rasa dari tradisi. Sebagaimana Paparan singkat tersebut sangat jelas
yang telah penulis sampaikan pada bab terdahulu, menggambarkan proses negosiasi tradisi baik yang
bahwa ketidakfahaman mereka terhadap bentuk ada di dalam pertunjukan ataupun tradisi dalam artian
panggung dalam pertunjukan teater modern dan kuasa sistem nilai dan sistem norma yang hidup
discourse mengenai teater modern memaksa unsur- dimasyarakat. Negosiasi tersebut terjadi pada kedua
unsur tradisi mengikuti pola-pola umum dalam teater. dimensi dari tradisi yakni dimensi formal (kebentukan)
Dari realitas tersebut yang dapat ditangkap atau dimensi artistik dan dimensi estetik dari tradisi.
adalah bahwa mereka (pelaku teater) merupakan Gerak tari, bentuk-bentuk material atau artefak
pelaku aktif dalam mendefinisikan ulang konsep tradisi budaya, dan segala sesuatu yang terwujud secara
dalam konteks sosial budaya yang terus berubah. empirik merupakan dimensi formal tradisi. Dalam
Ukuran-ukuran baku tradisi dinegosiasikan dalam proses negosiasi dimensi kebentukan ini tidak tampil
ruang pertunjukan dan rehearsal yang mereka secara utuh dan disesuiakan dengan kepentingan dari
lakukan, sehingga disini mereka membentuk jaring- yang mempunyai otoritas, dalam hal ini adalah
jaring makna mereka sendiri sebagaimana sutr adara dan pemerintah yang mempunyai
pemahaman yang disampaikan oleh Geertz (). Pada kepentingan dalam pelestarian tradisi. Negosiasi pada
proses awal pembentukan tradisi mereka tidak terlibat dimensi formal ini sudah pasti akan berakibat pada
karena perbedaan ruang dan waktu, sehingga perubahan dimensi estetis dari tradisi, dimana nilai
kebudayaan yang mereka terima diturunkan secara yang seharusnya terintegral dari suatu tradisi, dalam
generis. Oleh karenanya teater tradisi seperti proses negosiasi berganti dengan kepentingan atau
ketoprak dan wayang wong tidak secara utuh dapat bahkan dilepas dari bentuk formalnya. Karena
mereka fahami. Namun, dalam proses yang terjadi negosiasi tradisi berujung pada representasi tradisi
saat ini mereka mendefinisikan ulang aktifitas tradisi dalam pertunjukan teater remaja.
dengan cara menangkap spirit tradisi atau sesuatu
yang merepresentasikan tradisi dalam pertunjukan 2. Transformasi Estetis
teater. Sebagai contoh, dalam ketoprak terdapat Konstruksi tradisi dalam ruang teater
beberapa unsur baku yakni bahasa, busana, gamelan, tentunya mengakibatkan transformasi nilai dan estetis
tembang, dagelan, dan perangan. Dalam dari tradisi tersebut. Transformasi etis dan estetis ini
pertunjukan teater saat ini tidak semua hal tersebut secara umum dapat kita lihat sebagai bentuk
mereka lakukan, seperti yang disampaikan oleh transformasi makna dari simbol-simbol tradisi yang
beberapa pemain bahwa mereka belum pernah dihadirkan dipanggung. Dalam konsep tradisi kedua
menggarap naskah-naskah ketoprak ataupun transformasi tersebut berada pada dimensi estetis atau
wayang wong, hal ini juga dibenarkan oleh pelatih makna dari tradisi di samping dimensi formal atau
teater seperti Didik Panji dan Yogiswara manitis Aji. artistik sebagaimana yang telah panjang lebar
Mereka menangkap spirit dari teater tradisi diuraikan diatas.
tersebut seperti dagelan, dalam ketoprak dagelan ini Estetika memiliki akar kata yang sama
biasanya dilakukan dengan cara membuat plesetan- dengan anastesi dalam dunia medis, yaitu kata
plesetan kata seperti yang dilakukan oleh Marwoto aesthesis dalam bahasa Yunani yang berarti rasa,
(pemain ketoprak). Selain itu tarian juga menjadi persepsi manusia atas pengalaman. Persepsi atau
bagian dalam pertunjukan teater remaja seperti dalam rasa atas pengalaman adalah segala hal yang terkait
pertunjukan kanjeng ratu oleh SMAN 6 Surakarta. dengan ketubuhan manusia, yang berarti bahwa
Sebagai mana ketoprak dan wayang wong, tarian estetika terkait erat dengan kebudayaan yang
menjadi penanda masuk dan keluarnya pemain, hal terinternalisasi melalui proses interaksi sosial
ini juga dilakukan pada saat pertunjukan lakon (Simatupang, 2013:7). Dari pemahaman konsep
kanjeng ratu. Menurut Didik Panji, sang sutradara, estetika tersebut ada beberapa hal yang dapat kita
hal ini untuk menunjukkan bahwa lakon kanjeng ratu jadikan dasar untuk melihat bagaimana transformasi
bercerita tentang tradisi masyarakat Jawa, hadirnya estetis terjadi pada saat tradisi dikonstruksi dalam
tarian Jawa sebagaimana yang ada di dalam ketoprak ruang pertunjukan teater remaja.

Volume 6 No. 1 Juni 2014 37


Jurnal Penelitian Seni Budaya

Pertama adalah terkait dengan pengalaman dalam bentuk asalnya merupakan mimikri dari
ketubuhan remaja, sebagaimana telah diuraikan pada kehidupan petani, sehingga cerita, dan properti yang
bab terdahulu, bahwa ketubuhan remaja dibentuk digunakan dekat dengan kehidupan petani yang
dalam lingkungan tradisi yang kuat baik dalam lingkup sederhana (Sumardjo, 1997:60-62). Nilai-nilai estetis
nuclear family ataupun extended family. Namun dalam konteks generik tersebut dapat dijadikan
pengalaman ketubuhan tersebut tentunya tidak hanya pedoman interaksi bagi individu-individu dalam
terbatas pada kurun waktu tertentu. Proses sosialisasi masyarkat. Oleh karenanya nilai estetis suatu
dan interaksi yang mereka lakukan tentunya membuka kesenian tradisi mencakup didalamnya nilai-nilai
lembaran-lembaran baru pengalaman ketubuhan transendental kepada Yang Kuasa.
mereka. Dengan kata lain bahwa kondisi dan Adapun rasa yang bersifat differensial
peristiwa yang ter jadi saat ini juga turut merupakan hasil dari proses negosiasi atas berbagai
mengkonstruksi pengalaman ketubuhan mereka. Tak pengalaman yang telah menubuh (embodied) dalam
terkecuali juga dalam dunia seni pertunjukan. diri pemain teater. Sebagaimana yang telah dijelaskan
Dalam proses berteater, ketubuhan mereka diatas, negosiasi tersebut dapat terjadi pada bentuk
diawali dengan bentuk-bentuk teater modern. Mereka formal tradisi ataupun juga pada nilai, atau makna
terbiasa dengan aksi pertunjukan di proscenium, (Lono Simatupang menyebutnya dengan nilai estetis)
bloking, naskah-naskah terjemahan ataupun naskah- yang merupakan bagian integral dari tradisi. Rasa
naskah yang berbahasa Indonesia dengan peristiwa- differensial inilah yang dilihat sebagai bentuk
peristiwa sosial dan bukan peristiwa budaya. Dalam transformasi estetis, dimana kekuatan-kekuatan etis
proses latihan tubuh mereka terlebih dahulu dibentuk tradisi bergeser kearah estetisasi tradisi yang
dengan proses-proses berteater secara umum yang mengarah pada bentuk-bentuk hiburan. Secara umum,
terpola baik dalam olah vokal, olah tubuh, pemeranan hal ini merupakan konsekuensi logis dari konstruksi
dan penyutradaraan. Adapun unsur-unsur tradisi tradisi dalam kelompok teater remaja, khususnya di
hanyalah merupakan sampiran dalam proses latihan. Kota Solo.
Di sini kita melihat adanya pertemuan antara Transformasi estetis tersebut melemahkan
memori ketubuhan (muscle memory) tradisi yang nilai-nilai etis dari tradisi. Nilai-nilai etis atau etika
terbentuk sejak dini dengan ketubuhan teater yang bagi masyarakat Jawa merupakan kebijaksanaan
berbasis pada teater modern. Kedua latar belakang hidup (Magnis-Suseno, 1996: 214-222) yang
budaya yang berbeda tersebut tentu saja saling mengharmonikan antara unsur-unsur mikro kosmos
bernegosiasi dalam proses berteater. Pertemuan dan makrokosmos. Oleh karenanya dunia kehidupan
berbagai macam bentuk kebudayaan dalam tubuh penuh dengan aturan-aturan normatif yang termuat
manusia menjadikan tubuh kalangan remaja semacam dalam konsep slamet(an). Dengan kata lain orang
melting pot (cawan peleburan), yang melebur Jawa memahami kehidupan sebagai proses etis yang
pengalaman-pengalaman bertr adisi dengan harus dijalani. Namun seiring dengan menguatnya
pengalaman-pengalaman kekinian. Peleburan ini nilai simbolik dari aspek material, padangan ideal
menghasilkan budaya gaul yang objek materialnya orang Jawa tersebut bergeser kearah estetisasi
terkadang berbasis pada tradisi. kehidupan. Dalam pergeseran ini, unsur-unsur
Kedua adalah tanggapan atas pengalaman hiburan, gaya (style), keindahan dan aktualisasi atau
ketubuhan yang diwujudkan dalam bentuk rasa atau rasa dari pengalaman hidup menjadi tujuan dan
persepsi. Rasa bagi masyarakat Jawa mempunyai capain kehidupan.
makna multivokal, sebagai mana yang diungkapkan Melemahnya nilai-nilai etis ini yang dapat kita
oleh Geertz (1992:59-62). Terkait dengan seni tangkap ketika Solo sebagai kota budaya
pertunjukan, rasa atau persepsi remaja telah menggaungkan moto Solo the spirit of Java.
mengalami transformasi dari sesuatu yang generik Artinya mota tersebut cenderung mengarah pada
kepada rasa yang bersifat differensial. Rasa yang estetisasi tradisi dibandingkan dengan nilai-nilai etis
bersifat generik dibangun dari pengalaman dari tradisi. Oleh karenanya visualisasi dari konsep
berinteraksi dengan sumber-sumber pembentuk tersebut lebih mangarah pada bentuk pertunjukan
tradisi. Oleh karenanya tanggapan dari pengalaman panggung dan non panggung sebagaimana yang telah
diekspresikan dalam bentuk-bentuk kesenian yang penulis deskripsikan pada bab II.
sifatnya copying atau mimikri (menyerupai) dari Dalam konteks pertunjukan teater remaja
peristiwa yang terjadi. Sebagai contoh adalah ketoprak kehadiran tradisi dalam pertunjukan ataupun proses

38 Volume 6 No. 1 Juni 2014


Isa Ansari : Konstruksi dan Reproduksi Simbolik Tradisi Jawa dalam Pertunjukan Teater Remaja di Kota Solo

latihan juga mengarah pada estetisasi nilai-nilai Pertama adalah bahwa bahasa mengalami
tradisi. Ada beberapa argumen yang memperkuat proses stylization yang mendudukan gaya dalam
statement tersebut. Pertama, bahwa tradisi yang hadir berbahasa jauh lebih utama dibandingkan dengan
dipanggung telah menjadi tontonan dengan penekanan aturan-aturan normatif dalam berbahasa. Gaya
pada nilai-nilai simbolik material tradisi, baik yang berbahasa kalangan muda adalah gaya berbahasa
diwujudkan dalam bentuk gerak, ujaran, ataupun yang berirama dengan iringan gerak tubuh sesuai
benda yang menjadi penanda dari tradisi. Untuk dengan irama bahasa yang keluar dari mulut. Gaya
menjadi tontonan, wujud material ini dihadirkan dalam berbahasa seperti ini juga tercermin pada saat mereka
kondisi extraordinary, tidak biasa, seperti pada dialog menggunakan bahasa Jawa. Perilaku keseharian
(penekanan pada logat-logat tertentu dari rumpun inilah yang kemudian dihadirkan di panggung
bahasa Jawa), gerak tari yang dilakukan berulang- pertunjukan teater. Dialog-dialog yang menggunakan
ulang dalam adegan yang berbeda. bahasa Jawa seharusnya diikuti dengan aturan-aturan
Kedua, adalah bahwa yang ingin dihadirkan normatif dari bahasa mengalami proses penyesuaian
dalam pertunjukan adalah nilai-nilai estetis, sehingga dengan mode (stylization) dari budaya kaum muda
makna-makna etis yang syarat dengan aturan-aturan yang berkembang saat ini. Oleh karenanya dalam
baku terasa cukup sulit untuk di adopsi dalam pertunjukan beberapa pemain menggunakan bahasa
pertunjukan1 . Karena dalam pertunjukan teater Indonesia dengan gaya bahasa Jawa dengan cara
modern tradisi dihadirkan kemudian yang mengikuti memberikan tekanan yang lebih pada huruf atau suku
pola-pola dalam pertunjukan teater modern. kata tertentu. Tujuannya adalah untuk membangun
Kegunaan tradisi yang menjadi pola bagi tingkah laku suasana humor dalam pertunjukan tersebut. Maka
pendukung kebudayaannya semakin memudar karena disini kita melihat bahwa bahasa daerah (Jawa)
penekanan nya adalah pada nilai-nilai estetis. menjadi pemanis (menjadi asesoris) dalam dialog baik
Ketiga adalah konsepsi pelaku teater yang dengan menggunakan bahasa Jawa ataupun dalam
memaknai tradisi sebagai bentuk-bentuk dari bahasa nasional.
pertunjukan. Konsep mereka terhadap tradisi tersebut Kedua adalah kecenderungan stylization
dapat dilihat baik pada bentuk denotatif ataupun dari bahasa yang mengakibatkan bahasa Jawa hanya
konotatif. Secara denotatif, tradisi sebagai sebagai asesoris komunikasi menghilangkan nilai-nilai
pertunjukan karena pengalaman ketubuhan dan etis dan estetis bahasa sebagai pemberi nama dari
disposisi mental mereka merekam tradisi dalam suatu fenomen sosial. Dalam pertunjukan teater,
bentuk pertunjukan. Adapun secara konotatif, karena mungkin terlalu berlebihan ketika kita menuntut hal
memudarnya nilai-nilai etis dari tradisi. Oleh tersebut, namun yang perlu dicermati disini adalah
karenanya tradisi tidak lagi menjadi anutan atau yang bahwa aspek-aspek kultural dari bahasa harus tetap
mempolakan tata nilai dan tingkah laku pendukungnya, menjadi hal utama dimanapun dan kapanpun bahasa
terutama adalah kalangan remaja yang menjadi fokus tersebut diucapkan. Oleh karena itu aturan-aturan
dalam penulisan ini. normatif seharusnya dapat dipertahankan pada saat
Bentuk-bentuk transformasi estetis, pertama bahasa daerah dihadirkan dalam suatu pertunjukan.
adalah dari segi bahasa yang dapat kita lihat dari dialog Kedua adalah dari sisi spectacle yakni
yang digunakan. Secara umum penulis melihat unsur-unsur material atau properti yang dihadirkan
bahwa dalam penggunaan bahasa (Bahasa Jawa) dipanggung termasuk disini adalah tata panggung
telah mengalami transformasi estetis yakni bahasa pertunjukan. Klasifikasi bentuk pertunjukan dengan
yang mempunyai function dan performance menjadi pembagian pertunjukan yang menggunakan panggung
hanya sekedar sebagai pendukung (asesoris) dari dan pertunjukan yang tidak menggunakan panggung
suatu tujuan kelompok (Abdullah, 2009: 96-98). Hal sebagaimana yang telah dipaparkan pada bab II
ini tentu saja harus dlihat dari pengaruh-pengaruh menegaskan terjadinya tranformasi estetis dari tradisi.
bahasa asing dan bahasa nasional yang semakin kuat. Penjelasan mengenai hal tersebut dapat kita
Dalam pertunjukan teater remaja, seturut dengan apa lihat dalam konteks konstruksi ruang yang dilakukan
yang disampaikan oleh Irwan Abdullah bahwa ada oleh masyarakat Solo secara umum dan pelaku teater
dua kecenderungan yang tampak ketika bahasa remaja secara khusus. Secara umum masyarakat
menjadi cara kita untuk melihat bagaimana suatu Jawa membagi dua konsep ruang yakni makrokosmos
tradisi diwujudkan dalam pertunjukan. (jagad gedhe) yakni alam semesta termasuk disini
adalah dunia batin orang Jawa dan mikro kosmos

Volume 6 No. 1 Juni 2014 39


Jurnal Penelitian Seni Budaya

(jagad cilik) ke-diri-an manusia. Dalam konteks budaya yang datang dari luar, dalam pemahaman
pertunjukan ruang yang dimaksud oleh orang Jawa umum kita sebut dengan budaya gaul. Budaya gaul
adalah tempat yang secara fisik dapat terindra oleh dapat dilihat sebagai kecenderungan devian yang
manusia. Penulis berpandangan bahwa konsep yang dapat dilihat sebagai bentuk pembangkangan
tepat untuk menjelaskan transformasi estetis dalam terhadap nilai-nilai umum dan aturan-aturan normatif
konstruksi ruang ini adalah kata nggon, manggon, yang berlaku dalam suatu masyarakat. Menurut
panggonan yang berarti tempat. Hal ini sesuai Irwan Abdullah, hal ini terjadi karena anggapan kita
dengan kalimat yang digunakan oleh responden ketika yang mengharuskan kalangan muda untuk terlibat
penulisa bertanya, tempat pelaksanaan suatu kegiatan. dalam budaya dominan yang berlaku (Abdullah,
Mereka selalu menjawab dengan panggonane neng 2009:182-183).
... (tempatnya di....). Kehadiran budaya muda yang dianggap
Kata nggon dalam bahasa Jawa merujuk menyimpang tersebut, seharusnya dapat dilihat
pada ruang, hunian atau tempat berlangsungnya sebagai subkultur yang mengendalikan nilai dan
aktifitas baik yang abstrak ataupun yang kongkrit. menegosiasikan praktek-praktek sosial (Griffin,
Tempat dan aktifitas dalam konsep nggon atau 1993). Kecerdasan kaum muda untuk
manggon (kata kerja) adalah dua sisi mata uang. menegosiasikan nilai-nilai normatif dalam ruang sosial
Suatu aktifitas yang manggon di suatu tempat, maka yang terus berubah sebenarnya merupakan upaya
aktifitas tersebut akan mengakomodir unsur-unsur reproduktif terhadap budaya primordial yang telah
material ataupun non material dari tempat tersebut. terinternalisasikan sejak kecil. Dalam konteks inilah
Sebagai contoh, ketika pertunjukan wayang penulis melihat bahwa bagi kaum muda, terutama
dilaksanakan di jalanan seperti pada kegiatan carnaval para pelajar pada dasarnya tidak secara sungguh-
wayang di Kota Solo, akan berbeda dengan sungguh melepaskan nilai dan bentuk tradisi yang telah
pertunjukan wayang yang dilaksanakan diatas embodied pada diri mereka. Keingintahuan, nostalgia,
panggung. Begitu juga dengan pertunjukan teater. dan ketertarikan untuk terlibat dalam aktifitas tradisi
Pertunjukan yang dilakukan di Teater Arena TBS cenderung untuk menguat. Secara umum hal ini
akan sangat berbeda dengan pertunjukan teater yang dikarenakan budaya global menawarkan
dilakukan di Teater kecil ataupun di Teater Besar pengkutuban-pengkutuban budaya, sehingga ada
ISI Surakarta. Perbedaan ini dapat dilihat dari tata kesamaan dari style, fashion dan imaginasi yang
panggung, rasa yang hadir, dan totalitas pertunjukan dihadirkan. Sebagai contoh adalah budaya K-Pop
secara umum. yang digandrungi remaja saat ini, secara formal, bentuk
Transformasi estetis ini akan terasa sangat budaya yang ada di Indonesia tidak jauh berbeda
kuat ketika kita lihat dalam konteks hadirnya tradisi dengan negara asal pembentuk K-Pop, baik dari
dalam proses berteater para remaja. Tradisi dalam potongan rambut, warna dan bentuk pakaian, serta
konteks budaya Jawa berada dalam ruang batin yang gesture. Sementara tradisi menawarkan imaginasi,
mempunyai sisi-sisi sakral transendental bagi fashion dan gaya yang berbeda dan terus berkembang
pendukung kebudayaannya. Namun, ketika hal sesuai dengan konteks zamannya. Ketoprak misalnya
tersebut direpresentasikan dalam ruang pertunjukan, hingga saat ini telah mengalami berbagai
unsur-unsur hiburan akan terasa lebih dominan. perkembangan, baik dari segi lakon, spectacle,
ataupun suasana yang dibentuk.
Reproduksi Identitas Hadirnya tradisi dalam proses berteater
Hadirnya tradisi dalam kelompok-kelompok kalangan pelajar merupakan proses aktif kalangan
teater remaja di Kota Solo juga dapat dilihat sebagai muda dalam menegaskan keberadaannya dalam
bentuk reproduksi identitas kalangan remaja. kehidupan sosial. Karena kecenderunga kalangan
Pandangan ini tentu saja terkait erat dengan realitas muda untuk masuk dalam budaya gaul telah menjadi
global yang juga menjadi bagian dari kehidupan budaya mainstream. Oleh karenanya mereka
kalangan remaja di Kota Solo. Identifikasi kalangan mengambil posisi devian dari budaya mainstream
remaja sebagai anggota masyarakat yang tidak tersebut, karena dalam anggapan umum bermain
mengenal tradisi, atau ora njawani, terasa begitu dalam wilayah tradisi oleh kalangan muda bukan
kuat dilekatkan pada diri kalangan remaja. Karena merupakan hal yang biasa.
kecenderungan-kecenderungan budaya yang Di sisi lain menghadirkan tradisi dalam proses
dilakukan oleh kalangan remaja lebih mengarah pada berteater kalangan remaja juga dapat difahami

40 Volume 6 No. 1 Juni 2014


Isa Ansari : Konstruksi dan Reproduksi Simbolik Tradisi Jawa dalam Pertunjukan Teater Remaja di Kota Solo

sebagai proses adaptasi kalangan muda yang Ketiga adalah upaya menegaskan identitas
memiliki budaya yang berbeda (sebagai subkultur) ke-Jawaan mereka dalam ruang budaya global, tanpa
terhadap budaya dominan yang ada di kota Solo yakni disadari kalangan remaja tersebut cenderung
budaya Jawa. Adaptasi yang mereka lakukan adalah berkontestasi dalam pertunjukan teater yang mereka
dengan cara menegosiasikan budaya dominan (tradisi perankan. Hal ini terkait dengan gaya hidup kalangan
Jawa) dengan budaya gaul yang dianggap modern. remaja yang cenderung gaul, hadirnya tradisi dalam
Oleh karenanya unsur-unsur tradisi dapat dengan proses mereka berteater mengembalikan memori-
mudah dipadukan atau dibarengkan dengan unsur- memori yang mengendap dalam ruang bawah sadar
unsur modern dalam pertunjukan ataupun pada saat mereka. Oleh karena itu, bahasa yang mereka
mereka melakukan latihan. Adaptasi tersebut gunakan adalah bahasa Jawa, namun gerak tubuh
mendorong mereka untuk melakukan rekonstruksi mereka merepresentasikan budaya anak gaul.
identitas yang berada pada dua kaki. Di satu kaki Suasana yang dibangun melalui musik bernadakan
mereka adalah produk budaya modern dan di kaki gending-gending Jawa, namun peralatan yang
yang lain mereka juga merupakan produk tradisi(onal). mereka gunakan adalah alat-alat elektronik modern
Dalam konteks inilah penulis melihat kalangan muda karena ketidakmampuan mereka menggunakan
sedang melakukan proses reproduksi identitas yang gamelan berlaras slendro atau pelog. Hal ini juga
merujuk pada nilai-nilai budaya asalnya, budaya menjadi alasan penulis untuk menyatakan bahwa
Jawa. pentradisian tersebut bukan pada pertunjukannya
Dalam proses reproduksi identitas tersebut namun pada diri para pemain tersebut yakni kalangan
setidaknya ada tiga hal yang sedang terjadi dikalangan remaja yang sedang mentradisikan diri mereka sendiri
pelajar. Pertama adalah pembentukan ulang sejarah (Gananath Obeyesekere menyebutnya dengan self
kehidupan mereka. Mereka sadar bahwa mereka traditionalization). Pertunjukan hanya sebagai
terlahir dan hidup dalam lingkup tradisi Jawa, namun media untuk menunjukkan eksistensi mereka dalam
hilangnya peran pusat kebudayaan dalam membentuk bertradisi.
kebudayaan kalangan muda dan digantikan dengan Dari paparan tersebut penulis sependapat
peran pasar yang dominan melupakan basis material dengan statement yang disampaikan oleh Jocelyn S.
tradisi yang telah menubuh dalam diri mereka. Linnekin (1983:241) yang melihat tradisi sebagai
Aktifitas teater yang memerankan kembali unsur- model dari kehidupan masa lalu yang secara sadar
unsur tradisi baik dalam proses latihan (rehearsal) digunakan oleh masyarakat untuk mengkonstruksi
ataupun dalam pertunjukan mengembalikan disposisi identitas mereka. Menghadirkan tradisi dalam proses
mental dan muscle memory (memori ketubuhan) yang latihan ataupun pertunjukan teater kaum remaja
telah terenkulturasi dan tersosialisasi diantara mereka. merupakan upaya sadar yang mereka lakukan untuk
Oleh karenanya mereka menyusun atau menata memperkuat identitas mereka sebagai orang Jawa.
kembali sejarah kehidupan mereka yang pada Dengan kata lain bahwa mereka sedang
dasarnya dibentuk dalam lingkungan tradisi yang kuat. mereproduksi identitas sebagai orang Jawa dengan
Kedua adalah redefinisi makna tradisi yang menjadikan teater sebagai medianya.
mereka perankan. Sebagaimana yang telah
dipaparkan pada subbab diatas, bahwa akomodasi Simpulan
tradisi dalam proses berteater kalangan remaja diikuti Paparan di atas menunjukkan bahwa proses
dengan pemahaman makna yang tidak memadai rekonstruksi terjadi dengan dua cara yakni dengan
terhadap tradisi. Oleh karenanya mereka cara menegosiasikan bentuk dan makna tradisi.
membangun makna baru yang disesuaikan dengan Negosiasi ini berlangsung dalam ruang artistik atau
konteks aktifitas yang mereka lakukan. Hal ini dimulai dimensi formal tradisi dan dalam ruang estetis yang
dari definisi tradisi, pertunjukan dan unsur-unsur mencakup nilai, norma dan keindahan. Dalam istilah
terkait lainnya. Redefinisi makna tersebut yang lain bahwa pergerakan negosiasi tersebut
dikarenakan perubahan konteks sosial yang mereka berada dalam ruang simbolik dan ruang makna.
hadapi. Kebudayaan dalam pemahaman umum Ruang simbolik atau artistik tradsi dapat dilihat dari
mereka tidak lagi memberikan peran-peran evaluatif tekstur pertunjukan yang dihadirkan dalam suatu
terhadap berbagai aktiiftas yang mereka lakukan. pertunjukan yakni pada dialog, mood (suasana), dan
Kebudayaan, termasuk didalamnya tradisi lebih dilihat spectacle. Adapun dalam ruang makna atau dimensi
sebagai kumpulan simbol yang tidak mempunyai estetis tradisi, terjadi negosiasi terhadap nilai, norma,
kekuatan untuk mengarahkan. ide dan keyakinan terhadap tradisi.

Volume 6 No. 1 Juni 2014 41


Jurnal Penelitian Seni Budaya

Cara kedua adalah dengan melakukan Arena yang memberikan peluang kepada siapapun
transformasi estetis. Nilai estetis tradisi yang awalnya untuk masuk kedalamnya sebagai kontestan.
mempunyai keterkaitan makna yang multi vokal,
menjadi hanya sekedar hiburan dengan meletakkan Kepustakaan
tradisi pada aspek keindahan. Oleh karenanya nilai,
norma, dan keyakinan yang semula menjadi satu Abdullah. Irwan. 2006. Konstruksi dan Reproduksi
kesatuan dalam wujud tradisi tergerus oleh aturan- Kebudayaan. Yogyakarta. Pustaka
aturan normatif pertunjukan teater. Rasa yang Pelajar.
merupakan unsur utama nilai estetis telah Alexander Clark, Marshal. 2008. Wayang Mbeling
bernegosiasi dengan berbagai kepentingan, sehingga Sastra Indonesia Menjelang Akhir
nilai-nilai differensial mengambil alih kekuatan generik Orde baru. Jakarta. LSPP
tradisi. Bentuk transformasi estetis ini terjadi karena Freedmen, Jonathan. 1995. The Emergence of the
adanya transformasi ruang (nggon) pergerakan Culture Concept, dalam Cultural Identity
tradisi yakni dari ruang sakral kearah ruang profan, and Global Process. London. Sage Pub-
dari ruang sosial budaya ke ruang pertunjukan. lishing. H. 72.
Adapun reproduksi dalam proses berteater Glossary of Sociological Terms. 1997. School of
kalangan remaja, terkait dengan identitas kultural Sciology and Anthropology, University of
mereka sebagai orang Jawa. Anggota-anggota Canterbury, New Zealand.
kelompok teater remaja tersebut hidup dalam habitat Geertz, Clifford. 1992. Agama dan Kebudayaan,
kultural budaya Jawa. Namun di sisi lain mereka juga Yogyakarta. Kanisius.
merupakan bagian dari subkultur kaum muda yang Kayam, Umar. 2001. Kelir Tanpa Batas. Yogyakarta.
mempunyai wujud kebudayaan yang berbeda dengan Gama Media dan Pusat Studi Kebudayaan
budaya dominan yang ada di kota Solo. Oleh UGM.
karenanya eksistensi kedirian mereka yang ambivalen Linnekin. Jocelyn S. 1983. Defining Tradition: Varia-
tersebut mencoba untuk mereka wujudkan dalam tions on the Hawaiian Identity dalam
proses berteater. Menghadirkan bentuk-bentuk American Ethnologiest Journal, Vol. 10,
simbolik tradisi dalam proses latihan ataupun No.2, pp. 241-252.
pertunjukan adalah penegasan mereka terhadap Soemardjo. Jakob. 1997. Perkembangan Teater dan
budaya dominan yang menjadi habitat budaya mereka Drama Indonesia. Bandung. STSI Press.
yakni budaya Jawa. Disinilah mereka memproduksi Magnis-Suseno, Franz. 1996. Etika Jawa Sebuah
bentuk-bentuk simbolik dan makna dari tradisi dengan Analisa Falsafi Tentang Kebijaksanaan
cara mendefinisikan ulang dalam konteks subkultur Hidup Jawa, Jakarta, Gramedia.
budaya yang mereka fahami. Simatupang. Lono. 2013. Pergelaran: sebuah
Dari proses konstruksi dan reproduksi tradisi mozaik penelitian seni-budaya,
oleh teater remaja tersebut, tradisi tidak lagi menjadi Yogyakarta. Jalasutra.
pola untuk mengatur tingkah laku pendukung Yudiariani. 1999. Panggung Teater Dunia :
kebudayaannya, namun tradisi telah menjadi hiburan Perkembangan dan Perubahan Konvensi,
bagi penonton. Tentu saja penonton tidak dibatasi oleh Yogyakarta, Yayasan Adikarya dan The
suku bangsa, golongan, dan agama. Siapapun yang Ford Foundation.
mempunyai ketertarikan terhadap pertunjukan teater Williams. Raymond. 1981. Culture. Glasgow: Fontana
dapat hadir dan menyaksikan pertunjukan tersebut. Paperbacks.
Tradisi juga telah membawa kepentingan-kepentingan
aktor atau otoritas untuk disebarluaskan. Dalam Endnotes
1
konteks inilah teater merupakan arena bagi individu Fenomena ini tentu harus kita bedakan dengan
atau lembaga yang mempunayi otoritas untuk pertunjukan wayang yang mempunyai aturan-aturan baku
(pakem) dalam pertunjukan. Hal ini karena memang pertunjukan
mengkonstruksi atau mereproduksi tradisi guna wayang sejak awal mula sudah diposisikan sebagai media untuk
menyampaikan kepentingan-kepentingan mereka. menuntun pendukung kebudayaannya.

42 Volume 6 No. 1 Juni 2014

Anda mungkin juga menyukai