Anda di halaman 1dari 5

Fenomena Ujian Nasional Versus Pendidikan Karakter Bangsa

Ujian Nasional (UN) adalah suatu fenomena, semua membicarakannya, semua geger
dengannya. Untuk menyikapi hal tersebut tanggal 24 April yang lalu di STIKIP PGRI Ponorogo
diadakan diskusi terbatas dari beberapa elemen, mulai Akademisi, Pengawas, Kepala Sekolah,
Guru, Wartawan dan Pemerhati Pendidikan yang lain. Rangkumannya disajikan dalam laporan
utama kali ini sebagai berikut. Diskusi dimulai dengan paparan mencermati fenomena
pelaksanaan UN dari tahun ke tahun, termasuk tahun ini, terungkap di media masa baik cetak
maupun elektronik, terungkap betapa dalam fenomena penyelenggaraan UN masih sangat banyak
dijumpai praktek-praktek kotor kecurangan. Praktek busuk kecurangan UN ternyata tidak murni
dalam ranah peserta UN, namun justru ada dan mengkerak dalam mindset oknum-oknum
penyelenggara UN itu sendiri (bisa guru, kepala sekolah, pejabat dan lain sebagainya).

Sementara itu, dalam tiga tahun terakhir ini di sekolah-sekolah digelorakan sosialisasi
pendidikan karakter bangsa, yang salah satu karakter tertinggi adalah kejujuran. Ironisnya, urat
malu peserta didik untuk melakukan kecurangan bisa dikatakan sudah putus. Buktinya, peserta
UN tidak lagi malu jika ketahuan curang dan ditegur oleh pengawas ujian (kalau pengawasnya
mau menegur, dan jika masih ada) tapi malah tidak merasa salah, bahkan bisa jadi, menurut
peserta justru yang salah malah pengawasnya mengapa menegur segala. Tempo dulu, jika peserta
ujian terpergok pengawas ketika mencontek, maka anak peserta ujian perasaan malunya minta
ampun. Hilangnya rasa malu ini tentu merupakan indikasi kalau pendidikan karakter tidak ada
gunanya atau kurang berhasil. Fenomena ini, bisa diakibatkan karena ulah para orang di luar
murid. Artinya, murid yang mestinya malu berbuat curang menjadi tidak malu karena justru
dikondisikan untuk bercurang ria oleh para orang yang mestinya dapat dipatuhi petuahnya di
sekolah. Lalu, pertanyaannya dimana pendidikan karakter yang ditanamkan selama ini dan
masihkah UN diperlukan jika praksisnya justru menjadi arena penghancurleburan karakter anak
bangsa?

Sebenarnya, perdebatan mengenai perlu tidaknya Ujian Nasional (UN) sebenarnya sudah
tidak begitu relevan, mengingat walaupun Mahkamah Agung sudah menganulir, namun
Pemerintah tetap bersikeras menjalankannya. Untuk menjalankan UN tersebut pemerintah
berpijak pada beberapa aturan hukum yang ada yaitu UU nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional (Sisdiknas), Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan (SNP), serta beberapa Permendiknas sebagai bentuk penjabaran peraturan di
atasnya seperti Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2007
Tentang Standar Penilaian Pendidikan.

Dalam standar penilaian pendidikan disebutkan tentang adanya tiga macam penilaian
yaitu pertama penilaian oleh pendidik yang dilakukan oleh Guru yang mengajar bidang studi
yang bersangkutan atau guru kelas yang diampu kemudian dikenal dengan ulangan harian
termasuk yang ulangan yang dikoordinasikan oleh lembaga/Sekolah yang dikenal dengan ulangan
tengah semester, ulangan akhir semester dan ulangan kenaikan kelas. Kedua adalah Penilaian
yang dilakukan oleh satuan pendidikan yaitu Ujian Sekolah, dan ketiga adalah penilaian yang
dilakukan oleh Pemerintah terhadap hasil pembelajaran yang dilakukan oleh satuan pendidikan
1
kepada perserta didik yang dikenal dengan Ujian Nasional (UN). Sehingga UN merupakan harga
mati yang harus dilakukan oleh pemerintah sebagai wujud tanggung jawab pelaksana Undang-
undang di bidang pendidikan di republik ini. Dan, jika pemerintah tidak menyelenggarakan UN
justru bisa dianggap melanggar undang-undang.

Perkaranya sekarang, fenomena penyelenggaraan UN yang masih diwarnai banyak


kecurangan yang bukan hanya berasal dari ranah murid sendiri, tetapi melibatkan orang-orang
yang semestinya berkewajiban menanamkan karakter kejujuran di tempat terhormat dalam
fenomena UN, bagaimana penyikapan kita bersama terhadap fenomena ini. Diskusi menarik ini,
pertama kali ditanggapi oleh Drs. H. Sirdjanul Ghufron, M. Ed. St. Menurut Ghufron, selain
sebagai penentu kelulusan atas standar yang disyaratkan, UN juga berfungsi sebagai pemetaan
pendidikan yang dijadikan dasar analisis untuk pengembangan pendidikan termasuk di dalamnya
pemberian bantuan dana.

Dalam konteks ini sekolah yang nilai UN-nya rendah, sangat dimungkinkan proses
pembelajaran yang ada di dalamnya maupun sarana penunjang proses pembelajaran tersebut
masing sangat kurang, sehingga perlu mendapat bantuan. Artinya, jika sekolah yang hasil UN-nya
jeblok, maka sekolah tersebut justru akan memperoleh bantuan dan demi pengembangan sekolah
termasuk para pendidiknya. Sontak saja, statemen yang terakhir Ghufron dibantah oleh Agus
Prasmono, Redaktur Pelaksana Dinamika Guru yang selama ini sering kelayapan di sekolah
pinggiran alias pedesaan. Selama ini, menurut Agus, fakta di lapangan banyak sekolah di
pinggiran yang notabene kondisi tenaga pendidik maupun sarana pendukungnya minim serta hasil
UN-nya rendah, ternyata sangat minim pula bantuan yang diperolehnya. Bahkan, di Ponorogo ada
beberapa SD Inpres yang dibangun tahun 70-an sampai sekarang belum pernah mendapat bantuan
apapun termasuk rehap ruang kelasnya. Ironis. Jadi, argumen yang diajukan oleh Sirdjanul
Ghufron bahwa sekolah yang nilai UN-nya jelek malah akan bantuan, menjadi terbantahkan.

Masih menurut Agus, alih-alih memperoleh bantuan dana, pertanyaannya hari gini siapa
orang yang ikhlas mau mengakui kekurangannya dengan jebloknya hasil UN? Agus sempat
bercerita, pernah bertemu seorang guru SMA di dalam sebuah bis yang mengatakan apa gunanya
jujur kalau siswanya banyak yang tidak lulus. Cerita Agus ini bikin ketawa kecut peserta diskusi.
Nah, jadi menurut Agus, yang sakit karakternya itu adalah masyarakat di luar murid, sedang murid
murni jadi korban belaka. Justru yang kasihan itu muridnya.

Fakta yang diungkap Agus, kembali menurut Sirdjanul Ghufron, dimungkinkan terjadi
karena tidak sinkronnya program pemerintah pusat dengan pelaksana di daerah, sehingga yang
sering mendapat bantuan adalah sekolah yang kondisinya sudah baik. Akibatnya yang baik makin
baik yang jelek tetap jelek bahkan makin jelek (mirip lagunya Rhoma Irama).

Diskusi mulai menghangat, ketika disinggung sering terjadinya kecurangan dalam


pelaksanaan UN, Ghufron mengatakan bahwa itu adalah olah oknum yang ada di bawah seperi
oknum kepala sekolah dan guru yang ingin nilai dan kelulusan anak didiknya baik. Sebenarnya,
menurut sepengetahuan Ghufron, semua elemen pejabat mulai dari presiden, menteri pendidikan,
gubernur sampai dengan kepala dinas pendidikan menyerukan tentang perlunya kejujuran dalam
pelaksanaan UN ini. Namun seruan itu sering dikalahkan dengan ambisi pribadi oknum guru dan
2
kepala sekolah yang ingin mencari nama baik sekolahnya karene sering baik tidaknya sekolah
dilihat dari ukuran angka-angka yang terpamang dari hasil UN ini. Pengawas yang penah menjadi
kepala sekolah di Mesir ini tidak sependapat kalau ketidakjujuran yang sering terjadi di UN
dijadikan alasan untuk meniadakan UN. Karena menurutnya, masih banyak nilai pengembangan
karakter yang mengiringi UN itu sendiri seperti anak menjadi lebih rajin belajar, disiplin, kerja
keras, ulet, punya daya saing dan lain-lain. Akan betapa rendahnya semangat belajar anak bangsa
kalau tidak ada UN lagi. Menurutnya, di hampir semua negara di dunia juga melaksanakan UN
ini. Bahkan di Mesir untuk kenaikan pada kelas terakhir sebuah lembaga Pendidikan juga
memakai UN yang koreksinya dilakukan antar propinsi sehingga tidak mungkin lagi terjadi
manupulasi nilai.

Fenomena UN dan pendidikan karakter ini juga ditanggapi oleh Rusdi, pendidik dari
Madrasah Ibtidaiyah di Krebet ini selama ini, menyatakan sering menjumpai ketidakjujuran
massal baik oleh guru maupun peserta didik dalam pelaksanaan UN. Seingga sekarang sering
dijumpai suatu kondisi yang kontradiktif, di lain pihak sering digelar acara doa bersama
(istighotsah) dan beberapa kegiatan yang tujuannya mendekatkan diri pada Sang Pencipta demi
keberhasilan ujiannya namun di lain pihak ketidakjujuran juga terus digalakkan, sehingga dia
berseloroh hal ini bisa membingungkan malaikat pencatat amal manusia.

Di sisi lain Drs. Sugiyanto, M.Pd. berpendapat bahwa ketidakjujuran dalam UN ini salah
satunya berawal dari mendewakannya UN. Pada waktu pelaksanaan UN semua pihak seolah
terlibat dan menjadi pengawas pelaksanaan. Mulai pejabat pemerintah (bupati, gubernur), DPR,
LSM, Polri, perguruan tinggi, tokoh masyarakat, semua berbicara masalah UN ini. Dengan semua
pihak merasa berkepentingan dengan UN ini, maka anak didik akan semakin merasa bahwa UN
adalah sesuatu yang menakutkan dan menjadi momok dalam pendidikan yang dilaluinya. Bahkan
lepas UN anak merasa bebas melebihi kebebasan napi koruptor dalam merayakan kebebasannya
tersebut. Mestinya semua pihak tadi jangan hanya mengawasi dan mengangkat harkat UN namun
yang lebih penting adalah bagaimana proses pembelajaran dilaksanakan di sekolah. Dengan
demikian menurutnya, untuk memecahkan permasalah kecurangan dan ketidakjujuran UN ini
butuh pemecahan komprehensip dari pusat hingga guru di lapisan terendah. Sedangkan murid
hanya korban atau buah dari pembinaan guru dan lembaga yang bersangkutan.

Mengapa demikian? Hal ini ternyata ada beberapa lembaga pendidikan yang berbasis
keagamaan sangat bagus dalam menyikapi dan melaksanakan UN ini. Edi Supriyanto M.Pd,
misalkan, menyebutkan Madrasah Tsanawiyah swasta di wilayah kecamatan Babadan yang pernah
ia awasi hampir tidak ada anak yang bertanya apalagi nyonyek ketika UN digelar. Hal ini karena
penanaman yang sangat bagus bahwa kejujuran adalah lebih utama dari sekedar angka-angka yang
terpampang dalam DANUN. Dan hasil UN-nya juga sangat bagus alias lulus semua. Sedangkan
menurut Drs. Purnomo Sidik Kustiono, M. Hum, ketidakjujuran salah satunya berasal dari krisis
kepercayaan yang melanda masyarakat kita ini.

Sedang menurut Sahudi, guru dari Nongkodono Kauman bahwa ketidakjujuran ini sudah
menjadi penyakit masyarakat dan pemerintah. Banyaknya kuropsi adalah cermin ketidakjujuran di
pemerintahan dan masyarakat pada umumnya. Sekolah juga bagian dari masyarakat. Ketika
birokrasi melakukan kecurangan, bisakah lembaga di bawahnya tidak melakukannya? Dengan
3
kata lain ketidakjujuran di sekolah tentunya berawal dari Kepala Sekolahnya sendiri katanya
dengan penuh semangat. Untuk itu, menurutnya, boleh ada UN namun jangan dijadikan syarat
kelulusan.

Kelulusan lebih baik orientasi pada proses pendidikan yang ada di dalamnya, karakter
yang terbangun dan keberhasilan dalam membangun manusia seutuhnya bukan sekedar dengan
angka-angka namun lebih menekankan proses yang ada di dalamnya. Hal ini juga dibenarkan oleh
Sunar S.pd guru dari kawasan Ngrandu Kauman mengatakan bahwa ada oknum guru Taman
Kanak-kanak yang kebetulan ketemu mantan anak didiknya yang sudah kelas 6 di SD tertentu,
yang menyuruh mantan anak didiknya tersebut untuk saling bantu ketika ujian berlangsung.
Informasi ini justru diperoleh Sunar dari laporan kepolosan anak-anak itu. Hal ini berarti
keparahan moral berada pada pendidik dan Kepala Pendidiknya (KS). Keparahan ini, tambah
Sahudi, menjadi fenomena massif dengan menunjukkan bukti bahwa betapa hampir di semua
sekolah ada modus dimana seorang siswa yang pandai diperankan oleh guru sebagai antena
penyebar sinyal jawaban UN kepada teman-teman di kelasnya. Peserta diskusi pun gerrr
mendapat cerita dari Sunar dan Sahudi tersebut.

Seperti dikatakan Gufron diatas bahwa banyak pengiring yang menyertai UN seperti
semangat belajar yang tinggi, ulet dan lain-lain adalah suatu hal yang tidak boleh dilihat sebelah
mata. Ketika kejujuran dipermasalahkan sebenarnya benteng terakhirnya adalah kepala sekolah
sebagai penanggungjawab pelaksanaan pembelajaran di sekolah tersebut. Karena mulai kepala
dinas sampai dengan menteri memerintahkan kejujuran. Diskusi makin menarik dan hangat ketika
giliran Drs. Sutejo M.Hum akademisi dari STIKIP Ponorogo ini, berpendapat bahwa system UN
ini sangat mempengaruhi pembangunan karakter siswa. Sebagai gambaran ketika UN menjadi
satu-satunya penentu kelulusan dulu, banyak sekolah yang menggunakan segala daya dan upaya
untuk melancarkan kelulusan siswanya. Namun ketika prosesntase UN diturunkan menjadi
hanya 60% semangat ini juga mengendor. Tokoh yang sering memberi motivasi pada sekolah
sekolah ini, mengatakan bahwa motivasi siswa sangat berbeda ketika menghadapi sistem UN yang
berbeda ini.

Paparan Sutedjo di atas, diperkuat oleh Drs. Muryadi, kandidat magister pendidikan ini,
ketika ditemui Dinamika Guru di luar forum diskusi ini, yang menyampaikan biang kerok
kehancuran karakter bangsa ini setidaknya ada 2 hal. Pertama, system kelulusan UN sebelum dua
lalu yang menggunakan passing grade. Menurutnya, siapa yang tidak gila mendapati siswa
terpandainya, bahkan sempat jadi juara olimpiade, tidak lulus gara-gara ada satu saja nilai UN di
bawah passing grade. Karenanya, pola passing grade inilah yang menjungkir balikkan logika
orang waras. Apalagi, siswa yang tidak lulus dan sekolahnya menanggung beban psikologis dan
stigmatisasi dari masyarakat. Dampak lanjutannya dapat ditebak, mau tidak mau, kepala sekolah
yang mengomandani institusinya melakukan pengkondisian kecurangan sistematis di tahun-
tahun berikutnya. Mentalitas dan karakter para punggawa pendidikan luluh lantak dihantam
tsunami UN yang memakai system passing grade tadi. Sehingga, sekarang (persisnya sejak dua
tahun lalu) meskipun system UN sudah diubah menjadi lebih proporsional, dimana peran sekolah
diakui dalam penentuan kelulusan siswa, namun mentalitas dan karakter punggawa pendidikan
tadi tidak gampang dipulihkan. Inilah harga yang harus dibayar oleh penentu kebijakan UN dalam
hal ini BSNP dan Mendiknas.
4
Kedua, system penentuan kastanisasi sekolah menjadi 3 lapis yaitu sekolah standar,
sekolah standar nasional (SSN), dan sekolah bertaraf internasional (SBI), dimana dua yang
terakhir ini ada yang melalui tahap rintisan. Untuk bisa naik kasta dari sekolah standar ke SSN
misalnya, meskipun syaratnya banyak namun salah satu syarat yang tidak bisa dilompati adalah
nilai rata-rata UN harus minimal sekian. Dalam konteks ini, maka kemudian banyak oknum
kepala sekolah yang tergoda, bahkan tergila-gila, untuk mengejar prestise. Mudah diduga, jika
prestise ini sudah bersemayam di benak kepala sekolah maka berbagai cara untuk menaikkan rata-
rata hasil UN akan ditempuhnya juga. Kenapa demikian? Muryadi menduga, sulit (meskipun
bukan tidak bisa) sekolah akan memperoleh status bergengsi SSN ataupun SBI meskipun baru
bersifat rintisan jika peraihan rata-rata UN dilakukan dengan normal-normal saja.

Bagaimanapun juga, kembali menurut kang Tedjo, demikian panggilan akrabnya dalam
komunitas sastra, motivasi untuk percaya diri dalam melaksanakan UN ini ternyata sangat
penting. Sebagai contoh, beberapa sekolah pinggiran yang diberi motivasi dengan baik, faktanya
anak didiknya bisa bekerja dengan baik pula dalam mengerjakan soal, tidak semata-mata
mengandalkan kerjasama dengan teman lainnya.

Selanjutnya, menurut Peni Nurhidayati, kepala SD di kecamatan Pulung ini, untuk


membangun nilai positif yang mengiringi UN ini perlu melibatkan seluruh komponen (stake
holder) pendidikan, bukan hanya kepala sekolah dan guru, walaupun keduanya merupakan faktor
kunci. Masyarakat kita cenderung sudah pesimis terhadap kebijakan yang positif. Cenderung
menilai minir terhadap apa yang mestinya positif memandangnya. Hal ini sebenarnya penyakait
masyarakat kita sudah parah, terutama rendahnya nilai kejujuran di masyarakat. Hal itu diamini
oleh peserta diskusi yang hadir, termasuk Karsono guru di kawasan Kauman, dan Erlik Nurmahni
guru SMKN 1 Ponorogo, yang dari awal serius mengikuti diskusi panas tapi menarik ini, namun
belum sempat kebagian waktu untuk berkomentar.

Anda mungkin juga menyukai