Pendahuluan
Di seluruh dunia kejadian HIV menyebar luas. Pada akhir tahun 2004, program HIV/AIDS di US
memperkirakan 2,5 juta anak dibawah usia 15 tahun terkena HIV/AIDS. Ditambah lagi sekitar
500.000 anak pada kelompok yang sama meninggal karena penyakit tersebut setiap tahunnya. Di
US 90% infeksi HIV/AIDS yang dialami anak merupakan infeksi yang didapatkan saat lahir.
Efek dari penyakit ini pada anak-anak berbeda bila dibandingkan dengan orang dewasa,
dilaporkan dari hasil penelitian Juli/Agustus 2006 dalam General Dentisrty, Journal AGD
clinical.Tipe, keparahan dan progresi gejalanya pun berbeda, tergantung dari usia saat mereka
menderita sakit (Chika, 2007).
Anak-anak tidak menunjukkan gejala spesifik dari HIV, berbeda dengan orang dewasa,
dikatakan Kishore Shetty, DDS, pemimpin penelitian ini. Tubuh mereka akan lebih
menunjukkan adanya infeksi atau kelemahan daripada tanda HIV nya sendiri (Chika, 2007).
Selama kurun waktu 3,5 tahun terakhir, terdapat 11 pasien HIV anak di RS Dr Sardjito Jogja,
tiga di antaranya meninggal. Usia penderita HIV anak ini 1- 4 tahun. . Ibarat gunung es,
fenomena ini hanya bagian puncaknya saja. Masih banyak kasus yang belum terlaporkan dan
masuk ke rumah sakit. Selain juga terjadi di beberapa rumah sakit daerah dan swasta,
diperkirakan ada pasien-pasien lain yang belum terdeteksi.
Mengutip data WHO, pada tahun 2005 lalu, terdapat 540 ribu kasus baru anak-anak penderita
HIV di seluruh dunia. Sebagian besar kasus-kasus ini mendapatkan infeksi melalui transmisi
ibu-anak (MTCT: Mother to Child Transmition). Kondisi ini dapat terjadi pada saat
kehamilan, persalinan atau selama masa menyusui. Untuk pencegahannya, diperlukan
langkah-langkah strategis dan secara komprehensif. Antara lain dengan pencegahan secara
primer. Pencegahan kehamilan pada wanita yang tinggal dengan penderita HIV, pencegahan
penularan dari ibu HIV kepada bayinya, dan perawatan, pendampingan serta terapi kepada
ibu, anak dan keluarga penderita.
Sementara, untuk anak di bawah umur 15 tahun yang telah terinfeksi jumlahnya mencapai 55
orang. Dari data Departemen Kesehatan, 2, 7 persen anak di bawah usia 5 tahun di Indonesia
sudah terinfeksi HIV. Steorotipe buruk pada penyakit HIV/AIDS membuat sebagian
penderitanya memilih menutup diri dan merahasiakan penyakitnya. Data yang diketahui
masyarakat hanya 10 persen dari jumlah riil pengidap. Sebab, diduga ada 230 ribu
masyarakat Indonesia yang terinfeksi. Ancaman HIV/AIDS terus meningkat. Jika tak
ditanggulangi, jumlah orang meninggal karena penyakit ini bisa meledak. Di China,
misalnya, AIDS menjadi penyebab utama kematian (Kristianti, 2009).
Landasan Teori
1. Sistem Limfoid
Sistem limfoid terdiri dari berbagai sel, jaringan dan organ yang merupakan tempat
prekursor dan turunan limfosit berasal, berdiferensiasi, mengalami pematangan dan
tersangkut. Semua sel darah berasal dari prekursor bersama, yaitu sel bakal
pluripotensial. Sel bakal pluripotensial adalah sel-sel embrionik yang dapat
membentuk bermacam-macam sel hematopoetik dan dapat membelah diri. Sel-sel ini
ditemukan dalam sumsum tulang dan jaringan hematopoetik lain serta menghasilkan
semua komponen darah (misalnya, eritrosit, trombosit, granulosit, monosit dan
limfosit).
Organ limfoid sekunder mencakup limpa, kelenjar getah bening dan jaringan tidak
berkapsul. Contoh-contoh jaringan tidak berkapsul adalah tonsil, adenoid dan bercak-
bercak jaringan limfoid di lamina propria (jaringan ikat fibrosa yang terletak tepat di
bawah epitel permukaan selaput lendir) dan di sub mukosa saluran cerna.
4. Imunitas Selular
Peran sel T dapat dibagi menjadi dua fungsi utama : fungsi regulator dan fungsi
efektor. Fungsi regulator terutama dilakukan oleh salah satu subset sel T, sel T
penolong (CD4). Sel-sel CD4 mengeluarkan molekul yang dikenal dengan nama
sitokin (protein berberat molekul rendah yang disekresikan oleh sel-sel sistem imun)
untuk melaksanakan fungsi regulatornya. Sitokin dari sel CD4 mengendalikan proses
imun seperti pembentukan imunoglobulin oleh sel B, pengaktivan sel T lain dan
pengaktifan makrofag. Fungsi efektor dilakukan oleh sel T sitotoksik (sel CD8). Sel-
sel CD8 ini mampu mematikan sel yang terinfeksi oleh virus, sel tumor dan jaringan
transplantasi dengan menyuntikkan zat kimia yang disebut perforin ke dalam sasaran
"asing". Baik sel CD4 dan CD8 menjalani pendidikan timus di kelenjar timus untuk
belajar mengenal fungsi.
Fungsi utama imunitas selular adalah :
4. Sel T juga memiliki peran penting dalam regulasi atau pengendalian sel.
5. Imunoglobulin
Imunoglobulin (antibodi) , yang membentuk sekitar 20% dari semua protein dalam plasma darah,
adalah produk utama sel plasma. Selain di plasma darah, imunoglobulin juga ditemukan di dalam
air mata, air liur, sekresi mukosa saluran napas, cerna dan kemih-kelamin, serta kolostrum.
Fungsi imunoglobulin adalah :
5. Menyebabkan anafilaksis.
Ada dua tipe umum imunitas, yaitu : alami (natural) dan didapat (akuisita). Imunitas
alami yang merupakan kekebalan non spesifik sudah ditemukan pada saat lahir.
Sedangkan imunitas di dapat atau imunitas spesifik terbentuk sesudah lahir. Imunitas
alami akan memberikan respon nonspesifik terhadap setiap penyerang asing tanpa
memperhatikan komposisi penyerang tersebut. Dasar pertahanan alami semata-mata
berupa kemampuan untuk membedakan antara sahabat dan musuh atau antara "diri
sendiri" dan "bukan diri sendiri". Mekanisme alami semacam ini mencakup sawar
(barier) fisik dan kimia, kerja sel-sel darah putih dan respon inflamasi.
Definisi Penyakit
Menurut Judarwanto (2008) infeksi HIV adalah penyakit yang diakibatkan oleh infeksi
virus HIV (Human Immunodeficiency Virus). AIDS adalah penyakit yang menunjukkan
adanya sindrom defisiensi imun selular sebagai akibat infeksi HIV. Suati kondisi klinis
yang disebabkan oleh infeksi virus HIV yang dapat menyebabkan acquired immune
deficiency syndrome (AIDA) (Barhers, 2008).
HIV adalah singkatan dari Human Immunodeficiency Virus yang dapat menyebabkan
AIDS dengan cara menyerang sel darah putih yang bernama sel CD4 sehingga dapat
merusak sistem kekebalan tubuh manusia yang pada akhirnya tidak dapat bertahan dari
gangguan penyakit walaupun yang sangat ringan sekalipun (Qodam, 2006).
Etiologi
HIV disebabkan oleh human immunodeficiency virus yang melekat dan memasuki
linfosit T herlper CD4+. Virus tersebut menginfeksi limfosit CD4+ dan sel-sel
imunologik lain dan orang itu mengalamu destruksi sel CD4+ secara bertahap (Betz dan
Sowden, 2002). Infeksi HIV disebabkan oleh masuknya virus yang bernama HIV
(Human Immunodeficiency Virus) ke dalam tubuh manusia (Pustekkom, 2005).
Patofisiologi
Meskipun HIV dapat ditemukan pada cairan tubuh pengidap HIV seperti air ludah
(saliva) dan air mata serta urin, namun ciuman, berenang di kolam renang atau kontak
sosial seperti pelukan dan berjabatan tangan, serta dengan barang yang dipergunakan
sehari-hari bukanlah merupakan cara untuk penularan. Oleh karena itu, seorang anak
yang terinfeksi HIV tetapi belum memberikan gejala AIDS tidak perlu dikucilkan dari
sekolah atau pergaulan.
Ibu hamil yang terinfeksi HIV dapat menularkan virus tersebut ke bayi yang
dikandungnya. Cara transmisi ini dinamakan juga transmisi secara vertikal. Transmisi
dapat terjadi melalui plasenta (intrauterin) intrapartum, yaitu pada waktu bayi terpapar
dengan darah ibu atau sekret genitalia yang mengandung HIVselama proses kelahiran,
dan post partum melalui ASI. Transmisi dapat terjadi pada 20-50% kasus (Judarwanto,
2008).
Faktor prediktor penularan adalah stadium infeksi ibu, kadar Limfosit T CD4 dan jumlah
virus pada tubuh ibu, penyakit koinfeksi hepatitis B, CMV atau penyakit menular seksual
lain pada ibu, serta apakah ibu pengguna narkoba suntik sebelumnya dan tidak minum
obat ARV selama hamil. Proses intrapartum yang sulit juga akan meningkatkan transmisi,
yaitu lamanya ketuban pecah, persalinan per vaginam dan dilakukannya prosedur invasif
pada bayi. Selain itu prematuritas akan meningkatkan angka transmisi HIV pada bayi.
HIV dapat diisolasi dari ASI pada ibu yang mengandung HIV di dalam tubuhnya baik
dari cairan ASI maupun sel-sel yang berada dalam cairan ASI (limfosit, epitel duktus
laktiferus). Risiko untuk tertular HIV melalui ASI adalah 11-29%. Bayi yang lahir dari
ibu HIV (+) dan mendapat ASI tidak semuanya tertular HIV, dan hingga kini belum
didapatkan jawaban pasti; tetapi diduga IgA yang terlarut berperan dalam proses
pengurangan antigen. WHO menganjurkan untuk negara dengan angka kematian bayi
tinggi dan akses terhadap pengganti air susu ibu rendah, pemberian ASI eksklusif sebagai
pilihan cara nutrisi bagi bayi yang lahir dari ibu HIV (+). Transmisi melalui perawatan
ibu ke bayinya belum pernah dilaporkan (Judarwanto, 2008).
Infeksi primer terjadi bila virion HIV dalam darah, semen, atau cairan tubuh lainnya dari
seseorang masuk ke dalam sel orang lain melalui fusi yang diperantarai oleh reseptor
gp120 atau gp41. Tergantung dari tempat masuknya virus, sel T CD4+ dan monosit di
darah, atau sel T CD4+ dan makrofag di jaringan mukosa merupakan sel yang pertama
terkena. Sel dendrit di epitel tempat masuknya virus akan menangkap virus kemudian
bermigrasi ke kelenjar getah bening. Sel dendrit mengekspresikan protein yang berperan
dalam pengikatan envelope HIV, sehingga sel dendrit berperan besar dalam penyebaran
HIV ke jaringan limfoid. Di jaringan limfoid, sel dendrit dapat menularkan HIV ke sel T
CD4+ melalui kontak langsung antar sel (Judarwanto, 2008).
Beberapa hari setelah paparan pertama dengan HIV, replikasi virus dalam jumlah banyak
dapat dideteksi di kelenjar getah bening. Replikasi ini menyebabkan viremia disertai
dengan sindrom HIV akut (gejala dan tanda nonspesifik seperti infeksi virus lainnya).
Virus menyebar ke seluruh tubuh dan menginfeksi sel T subset CD4 atau T helper,
makrofag, dan sel dendrit di jaringan limfoid perifer. Setelah penyebaran infeksi HIV,
terjadi respons imun adaptif baik humoral maupun selular terhadap antigen virus.
Respons imun dapat mengontrol sebagian dari infeksi dan produksi virus, yang
menyebabkan berkurangnya viremia dalam 12 minggu setelah paparan pertama
(Judarwanto, 2008).
Setelah infeksi akut, terjadilah fase kedua dimana kelenjar getah bening dan limpa
menjadi tempat replikasi HIV dan destruksi sel. Pada tahap ini, sistem imun masih
kompeten mengatasi infeksi mikroba oportunistik dan belum muncul manifestasi klinis
infeksi HIV, sehingga fase ini disebut juga masa laten klinis (clinical latency period).
Pada fase ini jumlah virus rendah dan sebagian besar sel T perifer tidak mengandung
HIV. Kendati demikian, penghancuran sel T CD4+ dalam jaringan limfoid terus
berlangsung dan jumlah sel T CD4+ yang bersirkulasi semakin berkurang (Judarwanto,
2008).
Lebih dari 90% sel T yang berjumlah 1012 terdapat dalam jaringan limfoid, dan HIV
diperkirakan menghancurkan 1-2 x 109 sel T CD4+ per hari. Pada awal penyakit, tubuh
dapat menggantikan sel T CD4+ yang hancur dengan yang baru. Namun setelah beberapa
tahun, siklus infeksi virus, kematian sel T, dan infeksi baru berjalan terus sehingga
akhirnya menyebabkan penurunan jumlah sel T CD4+ di jaringan limfoid dan sirkulasi.
Pada fase kronik progresif, pasien rentan terhadap infeksi lain, dan respons imun terhadap
infeksi tersebut akan menstimulasi produksi HIV dan destruksi jaringan limfoid.
Transkripsi gen HIV dapat ditingkatkan oleh stimulus yang mengaktivasi sel T, seperti
antigen dan sitokin. Sitokin (misalnya TNF) yang diproduksi sistem imun alamiah
sebagai respons terhadap infeksi mikroba, sangat efektif untuk memacu produksi HIV.
Jadi, pada saat sistem imun berusaha menghancurkan mikroba lain, terjadi pula
kerusakan terhadap sistem imun oleh HIV (Judarwanto, 2008).
Penyakit HIV berjalan terus ke fase akhir dan letal yang disebut AIDS dimana terjadi
destruksi seluruh jaringan limfoid perifer, jumlah sel T CD4+ dalam darah kurang dari
200 sel/mm3, dan viremia HIV meningkat drastis. Pasien AIDS menderita infeksi
oportunistik, neoplasma, kaheksia (HIV wasting syndrome), gagal ginjal (nefropati HIV),
dan degenerasi susunan saraf pusat (ensefalopati HIV) (Judarwanto, 2008).
Pathways
Manifestasi Klinik
Manifestasi klinis infeksi HIV pada anak bervariasi dari asimtomatis sampai penyakit
berat yang dinamakan AIDS. AIDS pada anak terutama terjadi pada umur muda karena
sebagian besar (>80%) AIDS pada anak akibat transmisi vertikal dari ibu ke anak. Lima
puluh persen kasus AIDS anak berumur < l tahun dan 82% berumur <3 tahun. Meskipun
demikian ada juga bayi yang terinfeksi HIV secara vertikal belum memperlihatkan gejala
AIDS pada umur 10 tahun.Gejala klinis yang terlihat adalah akibat adanya infeksi oleh
mikroorganisme yang ada di lingkungan anak. Oleh karena itu, manifestasinya pun
berupa manifestasi nonspesifik berupa gagal tumbuh, berat badan menurun, anemia,
panas berulang, limfadenopati, dan hepatosplenomegali (Judarwanto, 2008).
Gejala yang menjurus kemungkinan adanya infeksi HIV adalah adanya infeksi
oportunistik, yaitu infeksi dengan kuman, parasit, jamur, atau protozoa yang lazimnya
tidak memberikan penyakit pada anak normal. Karena adanya penurunan fungsi imun,
terutama imunitas selular, maka anak akan menjadi sakit bila terpajan pada organisme
tersebut, yang biasanya lebih lama, lebih berat serta sering berulang. Penyakit tersebut
antara lain kandidiasis mulut yang dapat menyebar ke esofagus, radang paru karena
Pneumocystis carinii, radang paru karena mikobakterium atipik, atau toksoplasmosis
otak. Bila anak terserang Mycobacterium tuberculosis, penyakitnya akan berjalan berat
dengan kelainan luas pada paru dan otak. Anak sering juga menderita diare berulang
(Judarwanto, 2008).
Manifestasi klinis lainnya yang sering ditemukan pada anak adalah pneumonia
interstisialis limfositik, yaitu kelainan yang mungkin langsung disebabkan oleh HIV pada
jaringan paru. Manifestasi klinisnya berupa hipoksia, sesak napas, jari tabuh, dan
limfadenopati. Secara radiologis terlihat adanya infiltrat retikulonodular difus bilateral,
terkadang dengan adenopati di hilus dan mediastinum (Judarwanto, 2008).
Manifestasi klinis yang lebih tragis adalah yang dinamakan ensefalopati kronik yang
mengakibatkan hambatan perkembangan atau kemunduran ketrampilan motorik dan daya
intelektual, sehingga terjadi retardasi mental dan motorik. Ensefalopati dapat merupakan
manifestasi primer infeksi HIV. Otak menjadi atrofi dengan pelebaran ventrikel dan
kadangkala terdapat kalsifikasi. Antigen HIV dapat ditemukan pada jaringan susunan
saraf pusat atau cairan serebrospinal (Judarwanto, 2008).
Seperti dengan orang dewasa, ada beberapa tanda dan gejala yang seharusnya
menimbulkan kecurigaan bahwa anak terinfeksi HIV. Ini termasuk: berat bada menurun,
atau gagal tumbuh; diare lebih dari 14 hari; demam lebih dari satu bulan; infeksi saluran
pernapasan bagian bawah yang parah atau menetap; batuk kronis; dan infeksi
oportunistik sama yang dialami oleh orang dewasa. Tes HIV umum akan menunjukkan
hasil positif selama beberapa bulan jika ibunya terinfeksi HIV, walaupun anak mungkin
tidak terinfeksi. Jadi, jika hasil tes anak adalah positif, ini bukti bahwa ibunya HIV, dan
karena itu, penting ibu diberi konseling sebelum anaknya dites (Anonim, 2008).
Menurut Hidayat (2008) secara umum perjalanan infeksi HIV dan AIDS dalam empat
stadium antara lain :
1. Stadium HIV
Dimulai dengan maksuknya HIV yang dikuti terjadinya perubahan serologis ketoika
antibody terhadap virus tersebut dari negative menjadi positif. Waktu masuknya HIV
ke dalam tubuh hingga dapat diteksi HIV positif adalah 1-3 bulan atau bias sampai 6
bulan (window period)
4. Stadium AIDS
Merupakan tahap akhir infeksi HIV. Keadaan ini disertai dengan bermacam-macam
penyakit infeksi sekunder dengan gejala mayor:
5. Infeksi pada mulut dan tenggorokan disebabkan oleh jamur Candida albicans
6. Pembengkakan kelenjar linfe betah bening yang menetap di seluruh tubuh
Menurut Hidayat (2008) diagnosis HIV dapat tegakkan dengan menguji HIV. Tes ini
meliputi tes Elisa, latex agglutination dan western blot. Penilaian Elisa dan latex
agglutination dilakukan untuk mengidentifikasi adanya infeksi HIV atau tidak, bila
dikatakan positif HIV harus dipastikan dengan tes western blot. Tes lain adalah dengan
cara menguji antigen HIV, yaitu tes antigen P 24 (polymerase chain reaction) atau PCR.
Bila pemeriksaan pada kulit, maka dideteksi dengan tes antibodi (biasanya digunakan
pada bayi lahir dengan ibu HIV.
1. Perawatan
Menurut Hidayat (2008) perawatan pada anak yang terinfeksi HIV antara lain:
1. Suportif dengan cara mengusahakan agar gizi cukup, hidup sehat dan
mencegah kemungkinan terjadi infeksi
5. Konseling pada keluarga tentang cara penularan HIV, perjalanan penyakit, dan
prosedur yang dilakukan oleh tenaga medis
6. Dalam menangani pasien HIV dan AIDS tenaga kesehatan harus selalu
memperhatikan perlindungan universal (universal precaution)
2. Pengobatan
Hingga kini belum ada penyembuhan untuk infeksi HIV dan AIDS. Penatalaksanaan
AIDS dimulai dengan evaluasi staging untuk menentukan perkembangan penyakit
dan pengobatan yang sesuai. Anak dikategorikan dengan menmggunakan tiga
parameter : status kekebalan, status infeksi dan status klinik dalam kategori imun : 1)
tanpa tanda supresi, 2) tanda supresi sedang dan 3) tanda supresi berat. Seorang anak
dikatakan dengan tanda dan gejala ringan tetapi tanpa bukti adanya supresi imun
dikategorikan sebagai A2. Status imun didasarkan pada jumlah CD$ atau persentase
CD4 yang tergantung usia anak (Betz dan Sowden, 2002).
Pengkajian
Menurut Wong (2004) hal-hal yang perlu dikaji pada anak dengan HIV antara lain :
3. Dapatkan riwayat yang berhubungan denganfaktor risiko terhadap AIDS pada anak-
anak:
2. Limfadenopati
3. Hepatosplenomegali
7. Diare kronis
8. Gambaran neurologis:
1. Pelambatan perkembangan
3. Kemungkinan mikrosefali
Diagnosa Keperawatan
Menurut Wong (2004) diagnosa keperawatan yang dapat dirumuskan pada anak dengan
HIV antara lain:
10. Perubahan proses keluarga berhubungan dengan mempunyai anak dengan penyakit
yang mengancam hidup
Intervensi Keperawatan
Menurut Wong (2004) intervensi keperawatan yang dapat dilakukan untuk mengatasi
diagnosa keperawatan pada anak yang menderita HIV antara lain :
1. Tujuan
2. Intervensi
1. Auskultasi area paru, catat area penurunan/tidak ada aliran udara dan
bunyi napas adventisius,
1. Tujuan
1. Intervensi
3. Pantau suhu tubuh anak setiap 1-2 jam, bila terjadi peningkatan secara
tiba-tiba
Tujuan : keseimbangan cairan tubuh adekuat dengan kriteria hasil : tidak ada ada tanda-tanda
dehidrasi (tanda-tanda vital stabil, kualitas denyut nadi baik, turgor kulit normal, membran
mukosa lembab dan pengeluaran urine yang sesuai).
Intervensi :
1. Ukur dan catat pemasukan dan pengeluaran. Tinjau ulang catatan intra operasi.
3. Letakkan pasien pada posisi yang sesuai, tergantung pada kekuatan pernapasan.
Rasional : elevasi kepala dan posisi miring akan mencegah terjadinya aspirasi dari
muntah, posisi yang benar akan mendorong ventilasi pada lobus paru bagian
bawah dan menurunkan tekanan pada diafragma.
5. Kolaborasi, berikan cairan parenteral, produksi darah dan atau plasma ekspander
sesuai petunjuk. Tingkatkan kecepatan IV jika diperluakan.
2. Intervensi :
2. Risiko kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan dermatitis seboroik dan
herpers zoster sekunder proses inflamasi system integument
1. Tujuan : Anak menunjukkan integritas kulit yang utuh dengan kriteria hasil :
infeksi virus herpes tidak meluas, anak tidak menggaruk kulit yang terinfeksi
dan orang tua mendemonstrasikan cara perawatan kulit untuk mencegah
kerusakan kulit.
2. Intervensi :
1. Tujuan
Anak mengalami risiko infeksi yang minimal dan anak tidak menyebarkan
penyakit pada orang lain dengan kriteria hasil:
2. Intervensi
7. Jelaskan pada keluarga dan anak yang lebih besar tentang pentingnya
menghubungi profesional kesehatan bila terpajan penyakit masa kecil
(misalnya. Cacar air, gondongan)
Rasional : Hal ini merupakan masalah yang sering terjadi dan dapat
mempengaruhi penggunaan kewaspadaan yang tepat
13. Usahakan untuk mencegah bayi dan semua anak kecil agar tidak
menempatkan tangan dan objek pada area terkontaminasi
14. Tempatkan pembatasan perilaku dan kontak untuk anak yang sakit
yang menggigit atau tidak mempunyai kontrol terhadap sekresi tubuh
mereka
Rasional : Membatasi perilaku dan kontak dengan anak dapat
menghindari kemungkinan tergigit dan mengalami cedera
1. Tujuan
2. Intervensi
1. Tujuan
2. Intervensi
1. Tujuan
Pasien tidak menunjukkan atau tidak ada bukti nyeri atau peka rangsang
dengan kriteria hasil bukti-bukti atau peka rangsang yang ditunjukkan anak
minimal atau tidak ada
2. Intervensi
1. Kaji nyeri
1. Tujuan
Pasien dan keluarga mendapat dukungan yang adekuat dan keluarga dapat
terlibat dengan kelompok-kelompok khusus
2. Intervensi
Anak-anak yang dirawat karena HIV/AIDS di RSCM semakin bertambah banyak, Rata-
rata dalam seharinya ada sekitar lima hingga delapan anak yang dirawat di RSCM.
Sedangkan mereka yang menjalani rawat jalan rata-rata tiga hingga lima orang sekali
praktik, atau sekitar sembilan hingga 15 orang seminggu. Trend HIV pada anak-anak naik
terus. Di RSCM saja, tutur Nia, hingga tahun 2006 total anak-anak yang positif HIV
tercatat lebih dari 100 orang. Tahun 1996 hingga 2003 baru tiga anak yang terdeteksi
positif HIV. Namun, sejak 2003 jumlahnya meningkat menjadi 17 orang (2003), lalu naik
lagi menjadi 44 orang (2004), dan 74 orang (2005). Tapi jumlah yang lebih banyak ada di
luar. Tak terdeteksi,(Betsy, 2009).
Pembahasan
Anak-anak yang dirawat karena HIV/AIDS di RSCM sangat banyak sekali, Seharinya
ada sekitar lima hingga delapan anak yang dirawat di RSCM. Sedangkan mereka yang
menjalani rawat jalan rata-rata tiga hingga lima orang sekali praktik, atau sekitar
sembilan hingga 15 orang seminggu. Trend HIV saat ini mengalami terus menerus,
hingga tahun 2006 total anak-anak yang positif HIV tercatat lebih dari 100 orang. Tahun
1996 hingga 2003 baru tiga anak yang terdeteksi positif HIV. Namun, sejak 2003
jumlahnya meningkat menjadi 17 orang (2003), lalu naik lagi menjadi 44 orang (2004),
dan 74 orang (2005).
Secara global HIV di kalangan anak-anak juga menjadi gejala yang mengkhawatirkan.
Data UNAIDS (Badan PBB yang menangani masalah AIDS) tahun 2005 menyebutkan,
tiap hari 1.800 anak di seluruh dunia terinfeksi HIV. Kebanyakan dari mereka yang
terinfeksi adalah kelahiran baru. Di Asia diperkirakan kini ada 75 ribu hingga 390 ribu
anak yang hidup dengan HIV. Gejala HIV/AIDS pada anak-anak biasanya terlihat dengan
gizi buruk, diare, dan kelainan kulit. Pada orang dewasa gejala HIV/AIDS sering terlihat
dengan TBC, tapi pada anak-anak jarang. 'Umumnya gejalanya dimulai gizi dengan
buruk, tapi bisa disebabkan oleh apa saja.
Sejak seseorang terinfeksi HIV, ada masa jendela (window period) hingga tiga bulan. Di
bawah waktu tiga bulan itu infeksi HIV tak terdeteksi walaupun melalui tes darah.
Setelah masa jendela, virus HIV di dalam tubuh masuk pada periode laten, sebelum
masuk fase AIDS. Periode laten itu bagi orang dewasa bisa berlangsung 10-15 tahun.
Pada anak-anak, periode laten ini bisa sangat pendek. Untuk masuk fase AIDS bisa
sangat cepat, tidak perlu menunggu waktu 10-15 tahun. Jika kondisi anak bisa diketahui
sejak awal, maka penanganan akan lebih mudah. Namun, sering terjadi anak dibawa ke
rumah sakit ketika sudah pada tahap AIDS. Karena itu penanganannya jadi lebih sulit.
Jika status anak bisa terdeteksi sejak awal, maka perlakuan yang bisa diberikan adalah
pemberian obat Anti Retro Viral (ARV) untuk menahan laju virus HIV di tubuhnya.
Dengan mengonsumsi ARV secara rutin maka kemungkinan anak bisa bertahan lebih
lama. Bahkan, ada yang kini sudah berumur 10 tahun.
Dalam kehidupan sehari-hari, risiko penularan HIV kecil. HIV tidak menular melalui
kontak sosial. Karena itu, menurutnya, pergaulan anak-anak yang mengidap HIV tak
perlu dibatasi. Jika anak HIV positif terjatuh dan berdarah, agar dihindarkan dari kontak
langsung dengan orang lain. Luka yang berdarah itu cukup dibasuh dengan air mengalir,
lalu luka ditutup dengan perban atau plester. HIV pada anak umumnya ditularkan oleh
ibu yang mengidap HIV/AIDS. Penularan virus HIV bisa terjadi pada saat bayi dalam
kandungan, saat melahirkan, dan saat menyusui. Namun, seorang bayi tidak otomatis
mengidap virus HIV kendati ibunya positif.
Epidemi HIV/AIDS kini sudah masuk ke dalam keluarga. Pengidap HIV/AIDS bukan
lagi hanya mereka yang berperilaku risiko tinggi seperti pekerja seks komersial (PSK),
pengguna narkoba suntik bergantian, gay, ataupun pria konsumen PSK. Ibu-ibu rumah
tangga dan anak-anak pun sudah banyak yang terjangkit HIV. Jika epidemi HIV/AIDS
sudah masuk ke dalam keluarga, maka penanganannya jauh lebih sulit dari yang dihadapi
saat ini. Anak-anak pengidap HIV, seperti juga anak-anak lainnya, berhak mendapatkan
perhatian termasuk hak-hak mereka untuk mendapatkan penanganan yang serius. Namun,
menurutnya, pemerintah belum terlalu serius memerhatikan masalah ini.
Menurut Betz dan Sowden (2002) intervensi keperawatan yang dapat dilakukan oleh
seorang perawat terhadap anak dan ibu yang sudah menderita infeksi HIV antara lain :
1. Lindungi bayi, anak atau remaja dari kontak infeksius, meskipun kontak biasa dari orang
ke orang tidak menularkan HIV
2. Cegah penularan infeksi HIV dengan membersihkan bekas darah atau cairan tubuh lain
dengan larutan khusus, pakai sarung tangan lateks bila akan terpajan darah atau cairan
tubuh, pakai masker dengan pelindung mata jika ada kemungkinan terdapat aerosolisasi
atau terkena percikan darah atau cairan tubuh, cuci tangan setelah terpajan darah atau
cairan tubuh dan sesudah lepasa sarung tangan, sampah-sampah yang terrkontaminasi
darah dimasukkan ke dalam kantong plastik limbah khusus.
3. Lindungi anak dari kontak infeksius bila tingkat kekebalan anak rendah dengan cara
lakukan skrining infeksi, tempatkan anak bersama anak yang non infeksi dan batasi
pengunjung dengan penyakit infeksi
4. Kaji pencapaian perkembangan anak sesuai usia dan pantau pertumbuhan (tinggi badan,
berat badan, lingkar kepala
7. Ajarkan pada anak dan keluarga tentang penjadualan pemeriksaan tindak lanjut : nama
dan nomor telepon dokter serta anggota tim kesehatan lain yang sesuai, tanggal dan
waktu serta tujuan kunjungan pemeriksaan tindak lanjut
Intervensi keperawatan yang dapat dilakukan pada ibu dan anak yang belum terinfeksi HIV
antara lain :
2. Gunakan jarum suntik steril, dan tidak menggunakan jarum suntik secara bersama secara
bergantian atau tercemar darah mengandung HIV.
4. Untuk Ibu HIV positif kepada bayinya saat hamil, proses melahirkan spontan/normal
sebaiknya tidak menyusui bayi dengan ASInya
5. HIV tidak menular melalui : bersentuhan, bersalaman dan berpelukan (kontak sosial),
berciuman (melalui air liur), keringat, batuk dan bersin, berbagi makanan atau
menggunakan peralatan makan bersama, gigitan nyamuk atau serangga lain, berenang
bersama, dan memakai toilet bersama sehingga tidak perlu takut dan khawatir tertular
HIV.
Daftar Pustaka
Betz, C.L, Sowden, L.A. (2002). Buku Saku Keperawatan Pediatri (terjemahan).
Edisi 3. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Brashers, V.L. (2008). Aplikasi Klinis Patofisiologi Pemeriksaan & Manajemen
(terjemahan). Edisi 2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC
Betz, C.L dan Sowden, L.A. (2002). Buku saku Keperawatan Pediatri (terjemahan).
Edisi 3. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC
Chika. (2007). Luka di mulut tanda adanya gejala HIV pada anak
www.indoforum.org/showthread.php?t=12873 47. Diakses tanggal 17 Maret 2009
Doengoes, M.E, Moorhouse, M.F, dan Geissler, A.C. (2000). Rencana Asuhan
Keperawatan Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan
Pasien (terjemahan). Edisi 3. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC .
Hidayat, A.A. (2008). Pengantar Ilmu Kesehatan Anak Untuk Pendidikan Kebidanan.
Cetakan I. Jakarta : Penerbit Salemba Medika
Nursalam dan Kurniawati, N.D. (2007). Asuhan Keperawatam Pada Pasien Terifeksi
HIV/AIDS. Cetakan I. Jakarta : Penerbit salemba Medika