HUKUM ISLAM
Mutiarafah F0316072
2
Menurut pendapat Syafii, sumber hukum Islam ada empat yaitu (1) al-
Quran, (2) as-Sunnah atau al-Hadits, (3) Ijma, dan (4) al-Qiyas. Pendapat
ini disandarkan pada al-Quran surat an-Nisa (4) ayat 59 dan menautkan
pendapat Abu Hanifah yang mengutamakan akal fikiran atau ar-rayu, setelah
al-Quran, sebagai sumber hukum Islam dengan pendapat Malik bin Anas
yang mengutamakan as-Sunnah, setelah al-Quran, sebagai sumber hukum.
Perbedaan pendapat para pendiri mazhab ini disebabkan karena faktor
lingkungan, tersedianya narasumber hadis dan tempat mereka berijtihad: Abu
Hanifah di Kufah (Irak) sedang Malik bin Anas di Medinah (Saudi Arabia).
Di tanah air kita, kedua susunan sumber-sumber hukum Islam tersebut di
atas, tertulis dalam kepustakaan hukum Islam. Jika diteliti seksama,
sebenarnya kedua sistematik sumber hukum Islam tersebut sama. Sama-sama
berpendapat bahwa sumber utama dan terutama adalah al-Quran dan as-
Sunnah. Sumber tambahan, al-Ijma dan al-Qiyas sesungguhnya adalah jalan
atau metode yang dipergunakan oleh akal fikiran manusia, baik sendiri-
sendiri melakukan analogi (qiyas) maupun secara bersama-sama mencapai
suatu consensus (ijma) dalam usaha menemukan atau menentukan kaidah
hukum pada satu kasus tertentu.
3
perbuatan pidana yang telah ditentukan bentuk dan batas hukumnya
dalam Al-Quran dan sunnah Nabi Muhammad SAW.
Jarimah tazir adalah perbuatan pidana yang bentuk dan ancaman
hukumnya ditentukan oleh penguasa sebagai pelajaran bagi pelakunya;
(2) ah-ahkam as-sulthaniyah membicarakan soal-soal yang berhubungan
dengan kepala negara, pemerintahan, baik pemerintah pusat maupun
daerah, tentara, pajak, dan sebagainya; (3) siyar mengatur urusan perang
dan damai, tata hubungan dengan memeluk agama dan negara lain; (4)
mukhashamat mengatur soal peradilan, kehakiman, dan hukum acara
4
10. Pelaksanaannya dalam praktek digerakkan oleh iman dan akhlak umat
Islam.
5
5. Alasan Ilmiah, hukum Islam sebagai salah satu cabang ilmu telah lama
menjadi objek kajian ilmiah oleh para ilmuan Islam sediri maupun
ilmuan kalangan orientalis (ahli mengenai Islam tapi bukan muslim).
Pada 1952 di Paris Perancis diadakan the week of Islamic low yang
dihadiri oleh para ahli perbadingan hukum baik Islam maupun non Islam.
Seminar ini antara lain mengambil keputusan sebagai berikut:
a. Asas-asas hukum Islam mempunyai nilai yang tinggi dan tidak dapat
dipertikaikan lagi.
b. Dalam berbagai mazhab dalam hukum Islam terdapat keyayaan
pemikiran hukum serta teknik mengagumkan yang memberi
kemungkinan kepada hukum Islam untuk berkembang memenuhi
semua kebutuhan dan penyesuaian yang dituntut oleh kehidupan
modern.
c. Berbagai bidang dalam hukum Islam telah mengalami perkembangan
yang senantiasa memerlukan respon dan sosialisasi agar hukum Islam
senantiasa aktual dan menjadi pedoman dalam menciptakan
kehidupan yang damai tertib dan sejahtera.
G. Hukum-Hukum dalam Agama Islam
Di dalam syariat, setidaknya ada 5 hukum syara yang disepakati oleh
Jumhur Ulama yakni:
1. Wajib, kadang disebut Fardlu. Keduanya sinonim. Yakni sebuah tuntutan
yang pasti thalab jazm untuk mengerjakan perbuatan, apabila dikerjakan
mendapatkan pahala, sedangkan bila ditinggalkan maka berdosa
(mendapatkan siksa). Contohnya, shalat fardlu, bila mengerjakannya
maka mendapatkan pahala, bila ditinggalkan akan diadzab di neraka,
demikian juga dengan kewajiban-kewajiban yang lainnya.
Wajib terbagi menjadi dua yakni: pertama, wajib Ainiy :
kewajiban bagi setiap individu. Kedua, wajib Kifayah : kewajiban yang
apabila sudah ada yang mengerjakannya maka yang lainnya gugur (tidak
mendapatkan dosa), contohnya seperti shalat jenazah, tajhiz jenazah
(mengurus jenazah), menjawab salam dan sebagainya.
Istilah Wajib juga ada yang mensinonimkan dengan Lazim.
Sebagian ulama ada yang membedakan antara Fardlu dan Wajib hanya
pada beberapa permasalahan di Bab Haji. Ada juga yang membedakan
antara Fardlu dan Wajib, seperti Hanafiyah. Menurut mereka, Fardlu
6
adalah sesuatu yang telah ditetapkan dengan dalil syari (maqthu bih)
dan tidak ada keraguan didalamnya, seperti shalat 5 waktu, zakat, puasa,
haji, iman kepada Allah.
Hukum Fardlu adalah lazim (wajib) baik secara keyakinan maupun
perbuatan sehingga apabila mengingkari (secara keyakinan) pada salah
satu kefardluan itu maka kafir, namun bila meninggalkan saja (tidak
mengerjakannya, seperti shalat 5 waktu dan semacamnya) maka fasiq.
Sedangkan Wajib adalah kewajiban yang ghairul fardl (selain fardlu),
sesuatu yang ditetapkan dengan dalil namun masih ada kemungkinan
ketidakpastian (hasil ijtihad), hukumnya lazim secara perbuatan saja,
tidak secara keyakinan. Apabila mengingkarinya, tidak sampai kafir
namun terjatuh dalam syubhat.
Sedangkan bila meninggalkannya maka berdosa dengan dosa yang
kadarnya lebih sedikit daripada meninggalkan perbuatan yang sifatnya
Fardlu, sebab kalau meninggalkan yang bersifat Fardlu maka disiksa di
neraka, sedangkan meninggalkan yang sifatnya Wajib, tidak disiksa di
neraka, namun ia terhalang dari syafaat Nabi Muhammad SAW. Jumhur
ulama tidak membedakan antara Fardlu dan Wajib, bahkan ada yang
menyatakan bahwa pembedaan seperti itu tidak tepat dan tidak berarti
apa-apa.
2. Sunnah, disebut juga Mandub, Mustahabb, Tathawwu, Al-Nafl, Hasan,
dan Muragghab fih. Semuanya bersinonim. Yakni sebuah anjuran
mengerjakan yang sifatnya tidak jazm (pasti), apabila dikerjakan
mendapat pahala, namun apabila ditinggalkan tidak berdosa.
Sunnah juga terbagi menjadi 2, yaitu : Pertama, sunnah Ain :
sesuatu yang disunnahkan pada setiap orang (individu) yang mukallaf,
seperti shalat-shalat sunnah ratibah dan lainnya. Kedua, sunnah Kifayah :
sesuatu yang disunnahkan, apabila ada sebagian yang telah
mengerjakannya, maka yang lain gugur, seperti seseorang memulai salam
ketika bersama jamaah, dan lain sebagainya. Sehingga bila sudah ada
yang mengerjakannya, maka hilang (gugur) tuntutan terhadap yang
lainnya, namun pahalanya bagi yang mengerjakan saja.
Sebagian ulama seperti Malikiyah membedakan antara istilah
sunnah dan mandub. Sunnah menurut mereka adalah sebuah tuntutan
7
syara, bentuk perintahnya sangat ditekankan, namun tidak ada dalil yang
mewajibkannya, apabila dikerjakan mendapat pahala, namun apabila
ditinggalkan tidak disiksa, seperti shalat witir dan shalat hari raya.
Sedangkan mandub adalah sebuah tuntutan syara yang tidak jazm (tidak
pasti), bentuk perintahnya tidak terlalu ditekankan, apabila dikerjakan
mendapat pahala, namun bila tidak dikerjakan tidak disiksa, contohnya di
dalam Malikiyah adalah shalat sunnah 4 rakaat sebelum dzuhur.
Selain itu, sunnah dari sisi tuntutannya, terbagi menjadi 2 yakni :
sunnah Muakkad (sunnah yang sangat ditekankan) dan sunnah ghairu
Muakkad (anjuran tidak terlalu ditekankan).
Sedangkan menurut Hanafiyah, ada perbedaan terkait sunnah
Muakkad. Menurut mereka, sunnah Muakkad, bentuknya kewajiban yang
sempurna, jika meninggalkannya maka tetap berdosa, namun dosanya
lebih sedikit daripada meninggalkan Fardlu (dibawah tingkatan Fardlu).
Sedangkan sunnah ghairu Muakkad, menurut mereka adalah sejajar
dengan Mandub dan Mustahab.
3. Mubah, bila dikerjakan atau ditinggalkan tidak apa-apa, tidak
mendapatkan pahala atau pun disiksa (sebuah pilihan antara mengerjakan
atau tidak). Misalnya, memilih menu makanan dan sebagainya.
4. Makruh, yakni sebuah tuntutan yang tidak pasti (tidak jazm) untuk
meninggalkan perbuatan tertentu (larangan mengerjakan yang sifatnya
tidak pasti), apabila dikerjakan tidak apa-apa, namun bila ditinggalkan
akan mendapatkan pahala dan dipuji. Menurut sebagian ulama, istilah
Makruh ini ada yang menyatakan dengan Khilaful Aula (menyelisihi yang
lebih utama).
5. Haram, yakni tututan yang pasti untuk meninggalkan sesuatu, apabila
dikerjakan oleh seorang mukallaf maka mendapatkan dosa, namun bila
ditinggalkan mendapatkan pahala. Contohnya seperti minum khamr,
berzina dan lain sebagainya. Istilah haram juga kadang menggunakan
istilah Mahdzur (terlarang), Maksiat dan al-danb (berdosa).
Menurut Hanafiyah, istilah Haram adalah antonim dari Fardlu
(mereka membedakan antara Fardlu dan Wajib). Ada juga istilah makruh
Tahrim dan makruh Tanzih. Makruh Tahrim adalah sebuah istilah yang
lebih dekat dengan Haram, serta merupakan kebalikan dari Wajib dan
8
Sunnah Muakkad. Sedangkan istilah makruh Tanzih, tidak disiksa bila
mengerjakannya dan mendapatkan pahala bila meninggalkannya. Istilah
makruh Tanzih menurut Hanafiyah adalah kebalikan dari sunnah ghairu
Muakkad.
Ulama juga ada yang kadang menyatakan dengan istilah Halal, itu
adalah kebalikan dari Haram, namun masih ambigu, yaitu bisa hukum
wajib, hukum mandub dan makruh. Bila meninggalkan perbuatan yang
hukum wajib, maka berdosa. Adapun yang lainnya (mandub dan makruh)
bila ditinggalkan ataupun dikerjakan tidaklah berdosa.
9
secara otomatis ia mengakui hukum Islam, dan wajib untuk melaksanakannya
dalam kehidupan sehari-hari.
Penelitian mengenai hukum Islam di Indonesia belum banyak
menyikapkan bentuk-bentuk penerapan hukum Islam melalui kerajaan-
kerajaan yang pernah berdiri di Nusantara sebelum kedatangan penjajahan
Belanda, tetapi gelar-gelar yang diberikan kepada beberapa raja Islam,
misalnya adipati, ing alogo, saayadin, dan padotongomo, dapat dipastikan
bahwa peranan hukum Islam cukup besar dalam kerajaan-kerajaan tersebut.
Oleh karena itu agama adalah suatu yang menentukan dalam sejarah
masyarakat indonesia dan kerena itu Ketuhanan Yang Maha Esa dicantumkan
oleh para pendi RI sebagai sila pertama falsafah negara, dan ini menunjukkan
disamping adat-istiadat, juga dipengaruhi oleh pandangan hidup dan agama
bangsa Indonesia yang memainkan peranan dalam membentuk pemahaman
dan pencitraan hukum bangsa Indonesia sepanjang sejarah.
Selanjutnya hukum di Indonesia dapat dilihat dari beberapa hal, pertama
adalah hukum yang berasal dari adat-istiadat dan norma-norma masyarakat
yang diterima secara turun temurun yang berlangsung sejak dahulu kala.
Kedua adalah hukum yang berasal dari ajaran agama. Sejak dahulu kala
sudah dicatat dalam sejarah sejumlah orang yang meklaim menerima pesan
ilahi atau hikmah. Ketiga adalah hukum sebagai keleruhan antara kehidupan
bersama yang berasal dari legislator resmi yang disertai dengan saksi tertentu.
Ketiga jenis aturan tersebut terdapat dalam budaya Hukum Negara
Republik Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945.
Ketika membicarakan budaya Hukum Indonesia maka ketiganya itu tidak bisa
diabaikan.
Pasal 29 Ayat (1) UUD 1945 menurut seorang praktisi hukum pada
dasarnya mengandung tiga muatan makna.
1. Negara tidak boleh membuat peraturan perundang-undangan atau
melakukan kebijakan-kebijakan yang bertentangan dengan dasar
keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa
2. Negara berkewajiban membuat peraturan-peraturan perundang-undangan
atau melakukan kebijakan-kebijakan bagi pelaksanaan wujud rasa
keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
3. Negara berkewajiban membuat peraturan perundang-undangan yang
melarang siapapun melakukan pelecehan terhadap ajaran agama.
10
Seperti halnya hukum barat, hukum Islam juga berciri perubahan untuk
mengantisipasi perkembangan zaman. Perbedaan dengan Hukum barat adalah
bahwa Hukum Islam sebagai hukum ilahi bersifat abadi dan menjiwai semua
hukum baru yang diundangkan dan sebagai legislasi manusia itu
disempurnakan dan berubah sesuai semangat ruang dan waktu.
Legislasi hukum Islam sepanjang sejarah mulai dari pertumbuhannya
sampai sekarang telah melalui berbagai tahap, dan pada tahap ini telah
memasuki tahap kompilasi dan perundangan dalam negara hukum modern
untuk menjadi bagian Hukum Nasional. Perkembangan terakhir ini juga
berlaku di Indonesia, baik dalam bentuk produk undang-undang maupun
pemikiran hukum yang dikembangkan oleh berbagai lembaga dan individu.
11
DAFTAR PUSTAKA
12