Anda di halaman 1dari 5

BAB II

PEMBAHASAN
2.2 Definisi ECT (Electro convulsive Therapy)
Electro Convulsive Therapy adalah Sistem Pengobatan (terapi) berupa pemberian
rangsangan listrik pada otak untuk pasien pada rumah sakit jiwa. Terapi rangsangan listrik
terbukti lebih manjur dibandingkan dengan penggunaan obat-obatan.
ECT adalah pengobatan gangguan kejiwaan yang menggunakan arus listrik singkat pada
otak dengan menggunakan mesin khusus dimana pasien di anastesi terlebih dahulu dan akan
menimbulkan efek convulsi karena relaksasi otot.
ECT adalah suatu terapi berupa aliran listrik ringan yang dialirkan ke dalam otak untuk
menghasilkan suatu serangan yang serupa dengan serangan epilepsi.
Electroconvulsive therapy (ECT), adalah suatu teknik terapi dengan menggunakan
gelombang listrik yang dapat membantu kesembuhan klien dengan depresi (Anonim. 2010)
Jadi, ECT merupakan pengobatan somatik untuk menginduksi kejang grand mal secara
buatan dg mengalirkan arus listrik ke dalam otak melalui elektroda yang dipasang pada satu
atau kedua pelipis.

2.3 Jenis-jenis ECT (Electro convulsive Therapy)


a) ECT konvensional
ECT konvensional ini menyebabkan timbulnya kejang pada pasien sehingga tampak tidak
manusiawi.Terapi konvensional ini di lakukan tanpa menggunakan obat-obatan anastesi
seperti pada ECT premedikasi.
b) ECT pre-medikasi
Terapi ini lebih manusiawi dari pada ECT konvensional,karena pada terapi ini di berikan
obat-obatan anastesi yang bisa menekan timbulnya kejang yang terjadi pada pasien.

2.4 Mekanisme Kerja ECT (Electro convulsive Therapy)


Didalam buku psikiatri dijelaskan bahwa terapi elektrokonvulsi dilakukan dengan cara
mengalirkan listrik sinusoid ketubuh sehingga penderita menerima aliran listrik yang
terputus-putus. Alat yang digunakan dalam terapi ini dinamakan konvulsator didalamnya
terdapat pengatur waktu voltase yang merupakan pengatur waktu otomatis memutuskan
aliran listrik yang keluar sesudah waktu yang ditetapkan.
Prinsip kerja dari terapi elektrokonvulsi ialah aliran listrik dimasukkan kedalam kepala orang
yang mengalami gangguan jiwa, setelah itu orang yang menjalaninya menjadi tidak sadar
seketika dan konvulsi yang terjadi mirip epilepsy, diikuti fase klonik, kemudian rasa relaksasi
otot dengan pernapasan dalam dan keras. Orang menjadi tidak sadar kurang lebih 5 menit dan
biasanya setelah bangun dan sadar,kemudian timbul rasa kantuk,kemudian orang tersebut
tertidur.( Residen Bagian Psikiatri UCLA. 1997).
Salah satu teori yang berkaitan dengan hal ini adalah teori neurofisiologi.Teori ini
mempelajari aliran darah serebral, suplai glukosa dan oksigen, serta permeabilitas sawar otak
akan meningkat. Setelah kejang, aliran darah dan metabolisme glukosa menurun. Hal ini
paling jelas dilihat pada lobus frontalis. Beberapa penelitian mengatakan bahwa derajat
penurunan metabolisme serebral berhubungan dengan respon terapeutik.
Teori lain adalah teori neurokimiawi yang memusatkan perhatian pada perubahan
neurotrasmiter dan second messenger .Hampir semua pada sistem neurotrasmiter dipengaruhi
oleh ECT. Akhir-akhir ini mulai berkembang neuroplastisitas yang berhubungan dengan
stimulasi kejang listrik.Pada percobaan hewan,di jumpai plastisitas sinaps,
dihipotalamus,yakni pertumbuhan serabut saraf, peningkatan konektifitas jaras saraf, dan
terjadinya neurogenesis
2.5 Tujuan Terapi ECT (Electro convulsive Therapy)
Mengembalikan fungsi mental klien.
Meningkatkan ADL klien secara periodik.
2.6 Indikasi penggunaan ECT (Electro convulsive Therapy)
1. Gangguan afek yang berat : pasien dengan depresi berat atau gangguan bipolar, atau
depresi menunjukkan respons yang baik pada pemberian ECT (80-90% membaik versus 70%
atau lebih dengan antidepresan). Pasien dengan gejala vegetatif yang jelas (seperti insomnia,
konstipasi; riwayat bunuh diri, obsesi rasa bersalah, anoreksia, penurunan berat badan, dan
retardasi psikomotor) cukup bersespon.
2. Skizofrenia: skizofrenia katatonik tipe stupor atau tipe excited memberikan respons yang
baik dengan ECT. Tetapi pada keadaan schizofrenia kronik hal ini tidak terlalu berguna.
2.7 Kontraindikasi penggunaan ECT (Electro convulsive Therapy)
1. Tumor intrakranial karena dapat meningkatkan tekanan intrakranial.
2. Kehamilan karena dapat mengakibatkan keguguran.
3. Osteoporosis karena dapat berakibat terjadinya fraktur tulang.
4. Infark mikardiom karena dapat terjadi henti jantung.
5. Asthma bronchiale karena dapat memperberat keadaan penyakit yang diderita.
6. Hipertensi berat
7. Hiperpireksia
8. Diatesa Haemoragic karena adanya kelainan perdarahan sehingga menyebabkan
perdarahan yang hebat.
9. Epilepsi
10. Ansietas berat.
2.8 Komplikasi penggunaan ECT (Electro convulsive Therapy)
1. Amnesia (retrograd dan anterograd) bervariasi dimulai setelah 3-4 terapi berakhir 2-3 bulan
(tetapi kadang-.kadang lebih lama dan lebih berat dengan metode bilateral, jumlah terapi
yang semakin banyak, kekuatan listrik yang meningkat dan adanya organik sebelumnya.
2. Sakit kepala, mual, nyeri otot.
3. Kebingungan.
4. Reserpin dan ECT diberikan secara bersamaan akan berakibat fatal
5. Fraktur jarang terjadi dengan relaksasi otot yang baik.
6. Risiko anestesi pada ECT, atropin mernperburuk glaukom sudut sempit, kerja
Suksinilkolin diperlama pada .keadaan defisiensi hati dan bisa menyebabkan hipotonia.
2.9 Keuntungan menggunakan ECT (Electro convulsive Therapy)
Efektifitas ECT dalam mengobati pasien dengan gangguan jiwa karena adanya
peningkatan sensitivitas reseptor terhadap neurotransmitter. ECT meningkatkan pergantian
dopamin, serotonin dan meningkatkan pelepasan norepineprin dari neuron-neuron ke
reseptor. ECT juga akan menstimulasi pelepasan serotonin.
Pada depresi terjadi gangguan neurotrasmitter otak yaitu penurunan dopamin, serotonin
dan norepineprin. Dengan ECT penurunan tersebut dapat ditingkatkan, sehingga pasien
depresi dapat disembuhkan dengan pemberian ECT. ECT adalah terapi dengan melewatkan
arus listrik ke otak. Metode terapi semacam ini sering digunakan pada kasus depresif berat
atau mempunyai risiko bunuh diri yang besar dan respon terapi dengan obat antidepresan
kurang baik. Pada penderita dengan risiko bunuh diri, ECT menjadi sangat penting karena
ECT akan menurunkan risiko bunuh diri dan dengan ECT lama rawat di rumah sakit menjadi
lebih pendek.
2.10 Kerugian menggunakan ECT (Electro convulsive Therapy)
Tidak ada kejelasan mengapa ECT bisa menghasilkan sikap yang negatif. Salah satu faktor
mungkin karena sikap fanatik kita, yaitu sikap jijik untuk melakukan tindakan biologis
tertentu. Kejang kejang, seperti muntah adalah bukan sesuatu suka kita tonton. Mungkin ada
faktor evaluasi. Kejang-kejang dan muntah, dapat mengindikasikan sebagai penyakit yang
mungkin dapat menular. Masyarakat secara genetis diprogramkan untuk takut dan
menghindari situasi seperti itu. Kita menghindari berdiskusi topik kejang-kejang karena
beberapa orang yang menderita epilepsy kurang setuju dengan terapi ECT.
ECT sebagai alat terapi orang yang mengalami gangguan jiwa karena banyak efek samping
yang ditimbulkan seperti yang Patah tulang vertebra, Kehilangan memori dan kekacaun
mental sememtara, Dislokalisasi sendi rahang, Amnesia, Nyeri kepala, bahkan samapi
kematian. Risiko yang ditimbulkan juga cukup berbahaya seperti kerusakan otak, kematian
dan kehilangan memori permanen. Dari segi etik juga tidak etis memperlakukan manusia
seperti hewan percobaan walaupun dibilang cukup efektif untuk terapi gangguan kejiwaan
tapi sangat kurang etis, apalagi untuk budaya kita.(http://www.ect.org/effects/testimony.html).
2.11 Frekuensi Tindakan ECT (Electro convulsive Therapy)
Frekuensi pemberian ECT tergantung pada keadaan penderita yang dapat di perlakukan
dengan cara sebagai berikut :
Pemberian ECT secara blok 2-4 hari berturut-turut 1-2 kali sehari.
Dua sampai tiga kali seminggu.
Pasien dengan gangguan depresi berat di berikan antara 5-10 kali.
Untuk pasien yang mengalami gangguan dipolar,mania,dengan gangguan skizofrenia
,pasien baru mendapat respon yang maksimum setelah 20-25 kali tindakan ECT.
2.12 Pemasangan Unilateral dan Belateral ECT (Electro convulsive Therapy)
Ada dua jenis penempatan elektroda yang digunakan untuk pengiriman ECT . Perbedaan
antara kedua teknik ini meliputi area otak dirangsang , waktu respon dan potensi efek
samping .
Unilateral kanan : satu elektroda ditempatkan pada mahkota kepala dan yang lainnya di
pelipis kanan . Mereka yang menerima perawatan unilateral yang tepat dapat merespon agak
lebih lambat daripada mereka yang menerima perawatan bilateral . Perbedaan ini biasanya
tidak lebih dari 1 sampai 2 perawatan . Pengobatan unilateral kanan biasanya terkait dengan
efek samping yang lebih sedikit memori . Pasien yang tidak merespon pengobatan unilateral
kanan mungkin memerlukan beralih ke penempatan bilateral .
Bilateral : Pengobatan ECT bilateral melibatkan menempatkan elektroda pada kedua
candi . Perawatan ini mungkin berhubungan dengan lebih banyak efek samping memori akut
daripada pengobatan unilateral kanan . Bilateral ECT diindikasikan untuk penyakit mental
yang berat termasuk depresi dengan psikosis , episode manik dari gangguan bipolar , psikosis
yang berhubungan dengan skizofrenia dan katatonia .

2.13 Prosedur pemasangan ECT (Electro convulsive Therapy)


ECT dilakukan dengan mengirimkan sinyal listrik ke otak yang menyebabkan kejang
sementara. Mesti terlihat menakutkan, tak perlu khawatir karena sebelum menjalaninya
pasien terlebih dahulu diberikan anestesi umum untuk menghilangkan rasa sakit pada tubuh.
Rangkaian terapi ECT biasanya dilakukan 6-12 kali selama beberapa minggu.ECT dilakukan
dengan mengalirkan listrik melalui dua elektroda yang dilekatkan pada daerah temporal
kepala. Sebelum menjalani pengobatan, pasien diberikan anestesi umum dan menerima
relaksasi otot guna mencegah cedera. ( Media Hidup Sehat, 2010)
Persiapan perawat :
1. Perawat sebelum melakukan tindakan ECT, harus mempersiapkan alat dan mengantisipasi
kecemasan klien dengan menjelaskan tindakan yang akan dilakukan.
Persiapan alat :
1. Konvulsator set (diatur inensitas dan timer)
2. Tounge spatel atau karet mentah di bungkus kain.
3. Kain kasa.
4. Cairan NaCL secukupnya.
5. Spuit disposibel.
6. Obat S A injeksi 1 ampul.
7. Tensimeter .
8. Stetoskop .
9. Slim suiger.
10. Set konvulsator.

Persiapa klien:
1. Anjurkan klien dan keluarga untuk tenang dan beritahu prosedur tindakan yang akan
dilakukan.
2. Lakukan pemeriksaan fisik dan laboratorium untuk mengidentifikasi adanya kelainan yang
merupakan kontraindikasi ECT.
3. Siapkan surat persetujuan.
4. Klien berpuasa 4-6 jam sebelum ECT.
5. Lepas gigi palsu, lensa kontak, perhiasan atau penjepit rambut yang mungkin di pakai
klien.
6. Klien diminta untuk menggosongkan kandung kemih dan defekasi.
7. Klien jika ada tanda ansietas, berikan 5 mg diazepam IM 1-2 jam sebelum ECT.
8. Jika klien menggunakan obat antidepresan, antipsikotik, sedatif-hipnotik, dan
antikonvulsan harus di hentikan sehari sebelumnya. Litium biasanya di hentikan beberapa
hari sebelumnya karena berisiko organik.
9. Premidikasi dengan injeksi SA (sulfa atropin) 0,6-1,2 mg setengah jam sebelum ECT.
Pemberian antikolinergik ini mengembalikan aritmia vagal dan menurunkan sekresi
gastrointestinal.
Pelaksanaan :
1. Setelah alat sudah di siapkan, pindahkan klien ke tempat dengan permukaan rata dan cukup
keras.posisikan hiperektensi punggung tanpa batal. Pakaian di kendorkan, seluruh badan di
tutup dengan selimut, kecuali bagian kepala.
2. Berikan natrium metoheksital (40-100 mg IV). Anestetik barbiturat ini di pakai untuk
menghasilkan koma ringan.
3. Berikan pelemas otot suksinikolin atau anictine (30-80 mg IV) untuk menghindari
kemungkinan kejang umum.
4. Kepala bagian temporal (pelipis) dibersihkan dengan alkohol untuk tempat elektrode
menempel.
5. Kedua pelipis tempat elektrode menempel dilapisi dengan kasa yang dibasahi cairan
NaCL.
6. Klien diminta untuk membuka mulut dan memasang spatel/karet yang dibungkus kain
dimasukkan dan klien diminta untuk menggigit.
7. Rahang bawah (dagu), ditahan supaya tidak membuka lebar saat kejang dengan dilapisi
kain.
8. Persendian (bahu, siku, pinggang, lutut) di tahan selama kejang dengan mengikuti gerak
kejang.
9. Pasang elektroda di pelipis kain kasa basah kemudian tekan tombol sampai timer berhenti
dan di lepas.
10. Menahan gerakan kejang sampai selesai kejang dengan mengikuti gerakan kejang
(menahan tidak boleh dengan kuat).
11. Bila berhenti nafas berikan bantuan nafas dengan rangsangan menekan diafragma.
12. Bila banyak lendir, dibersihkan dengan slim siger.
13. Kepala di miringkan.
14. Observasi sampai klien sadar.
15. Dokumentasikan hasil di kartu ECT dan catatan keperawatan.
Setelah ECT :
1. Observasi dan awasi tanda vital sampai kondisi klien stabil.
2. Jaga keamanan.
3. Bila klien sudah sadar bantu mengembalikan orientasi klien sesuai kebutuhan, biasanya
timbul kebingungan pasca kejang 15-30 menit.

Anda mungkin juga menyukai