Anda di halaman 1dari 37

LAPORAN KASUS

ACUTE CORONARY SYNDROME : STEMI

Disusun oleh :
Majdina Nur Fridiany
1102012152

Pembimbing :
dr. Herawati Isnanijah , Sp.JP

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PASAR REBO JAKARTA
PERIODE 13 FEBRUARI 22 APRIL 2017

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS YARSI

JAKARTA

2017
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya ucapkan kepada Allah SWT karena atas berkat dan Rahmat-Nya,
saya dapat menyelesaikan tugas laporan kasus yang berjudul Acute Coronary Syndrome :
STEMI
Tugas laporan kasus ini disusun untuk memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik Ilmu
Penyakit Dalam di RSUD Pasar Rebo periode 13 Februari - 22 April 2017. Saya mengucapkan
terima kasih kepada pembimbing saya, dr. Herawati Isnanijah, Sp.JP yang telah membimbing
saya dalam menyusun tugas laporan kasus ini.
Dalam penyusunan laporan kasus ini saya menyadari bahwa masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu saya mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun,
guna untuk kesempurnaan penulisan tugas laporan kasus selanjutnya.

Jakarta, Maret 2017

Penulis

1
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. S
Umur : 44 tahun
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Agama : Islam
Alamat : Jl. Raya Poncol, Ciracas
No. RM : 2013-516059
Tanggal MRS : 17 Maret 2017 (pukul 12:00)
Tanggal pemeriksaan : 18 Maret 2017

II. ANAMNESIS
Dilakukan secara Autoanamnesis di CVCU (Tanggal 18/03/2017 pukul 09.45)
Keluhan Utama :
Nyeri dada sebelah kiri sejak 4 jam SMRS yang dirasakan semakin memberat.
Keluhan tambahan :
Keringat dingin dan sesak

III. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG


Pasien datang ke IGD RSUD Pasar Rebo dengan keluhan nyeri dada sebelah
kiri sejak 4 jam SMRS. Nyeri dada dirasakan seperti ditusuk dan tertekan, terasa
menembus ke punggung kiri belakang, dan timbul secara tiba-tiba sehingga
mengganggu aktivitas. Pasien mengatakan nyeri dada yang dialaminya terus
menerus, tidak berkurang jika istirahat dan disertai keringat dingin. Nyeri dada saat
menarik napas disangkal. Awalnya nyeri dada timbul saat pasien sedang
menggendong anaknya dirumah. Saat nyeri dada terjadi, pasien merasakan sesak,
batuk disangkal, tidur menggunakan satu bantal, berdebar-debar (-), mual (-), muntah
(-), demam (-). Batuk pilek disangkal. Napas berbunyi saat sesak (mengi) disangkal.
Nyeri perut atau ulu hati disangkal.
2 hari SMRS pasien merasakan keringat dingin yang disertai pusing. Pusing
yang dialami hanya satu sisi pada bagian kiri, terasa ringan, tidak berdenyut dan
dialami hilang timbul. Nafsu makan berkurang semenjak 2 hari terakhir. BAB (+)
normal, BAK normal (+). Hingga saat ini pasien menyusui anaknya yang berumur 3
bulan.

2
Pasien mengaku belum pernah merasakan seperti ini sebelumnya, selama ini
pasien tidak pernah menderita penyakit yang berat dan tidak pernah pergi berobat ke
dokter dengan keluhan seperti ini.

IV. RIWAYAT PENYAKIT DAHULU


Riwayat Hipertensi (+) sejak 3 bulan yang lalu. Mendapat pengobatan rutin berupa
Amlodipin.
Riwayat DM (+) sejak 2 tahun lalu. Obat yang rutin dikonsumsi : metformin
Riwayat Sakit Ginjal : Disangkal
Riwayat trauma daerah dada : Disangkal
Riwayat asma : Disangkal
Riwayat stroke : Disangkal

V. RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA


Riwayat keluarga dengan keluhan seperti ini : Disangkal
Riwayat asma : Disangkal
Riwayat DM : (+)
Riwayat TB : Disangkal
Riwayat Hipertensi : Disangkal
Riwayat Sakit Jantung : Disangkal

VI. RIWAYAT PEMAKAIAN OBAT


Pasien mengkonsumsi obat rutin untuk DM berupa Metformin dan hipertensi berupa
Amlodipin.

VII. RIWAYAT PRIBADI DAN SOSIAL


Aktivitas sehari-hari pasien adalah sebagai ibu rumah tangga. Riwayat merokok
disangkal, riwayat konsumsi alkohol disangkal, serta riwayat konsumsi obat-obatan
terlarang disangkal. Pasien mengatakan tidak rutin berolahraga.

VIII. STATUS GENERALIS

Keadaan umum : Tampak Sakit Sedang

3
Kesadaran umum : Composmentis
Tekanan darah : 88/60 mmHg
Nadi : 67 x/ menit
Suhu : 36,6oC
Pernafasan : 20x/menit
Status gizi : BB : 55 kg
TB : 153 cm
IMT : 23,5

IX. ASPEK KEJIWAAN


Tingkah laku : Tenang, kooperatif
Proses pikir : Cukup ide, koheren
Kecerdasan : Baik

X. PEMERIKSAAN FISIK
Kepala
1. Bentuk : normochepale
2. Posisi : simetris
3. Wajah : tidak sembab
Kulit
1. Warna : Sawo matang
2. Jaringan Parut : Tidak ada
3. Pigmentasi : dalam Batas Normal
4. Turgor : Baik
5. Ikterus : Tidak ada
6. Sianosis : Tidak ada
7. Pucat : Tidak ada
8. Rambut : dalam Batas Normal
Mata
1. Exophthalmus : Tidak ada
2. Enopthalmus : Tidak ada
3. Edema kelopak : Tidak ada
4. Konjungtiva anemis : -/-
5. Sklera ikterik : -/-
6. Pupil : isokor
7. Refleks cahaya : langsung (+/+)
tidak langsung (+/+)
Hidung
1. Bentuk : Normotia
2. Napas cuping hidung : Tidak ditemukan
3. Septum deviasi : Tidak ditemukan
4. Sekret : Tidak ditemukan

4
Telinga
1. Bentuk : Normotia
2. Pendengaran : Berkurang
3. Darah & sekret : Tidak ditemukan
Mulut
1. Trismus : Tidak ada
2. Faring : faring hiperemis (-)
3. Lidah : lidah tidak kotor berwarna putih, deviasi (-)
4. Uvula : Letak ditengah, tidak deviasi
5. Tonsil : T1-T1 tenang, hiperemis (-)
Leher
1. Trakea : Tidak deviasi
2. Kelenjar tiroid : Tidak ada pembesaran
3. Kelenjar limfe : Tidak ada pembesaran
4. JVP : 5 + 1 cmH2
Paru-paru
1. Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris dalam keadaan statis dan
dinamis kanan kiri. Retraksi (-)
2. Palpasi : Tidak teraba kelainan dan masa pada seluruh lapang paru.
Fremitus taktil dan vokal statis kanan kiri.
3. Perkusi : Terdengar sonor pada seluruh lapang paru.
4. Auskultasi : Suara dasar napas vesicular +/+, rhonki -/-, wheezing -/-
Jantung
1. Inspeksi : Iktus cordis tidak terlihat
2. Palpasi : Iktus cordis teraba pada ICS V linea lateral midclavicula sinistra
3. Perkusi :
a. Batas jantung kanan pada ICS IV linea sternalis dekstra
b. Batas jantung kiri pada ICS V linea lateral midclavicula sinistra
c. Batas pinggang jantung pada ICS II linea parasternalis sinistra
4. Auskultasi : Bunyi jantung I-II normal regular, gallop (-) murmur (-)
Abdomen
1. Inspeksi : datar
2. Auskultasi : Bising usus (+) normal
3. Perkusi : Timpani di seluruh kuadaran, shifting dullness (-)
4. Palpasi : Supel, nyeri tekan ulu hati (-), hepar tidak teraba membesar, lien tidak
teraba membesar, nyeri tekan (-), nyeri lepas (-), undulasi (-), kandung kemih
tidak teraba penuh.
Genitalia
Tidak dilakukan pemeriksaan
Ekstremitas
1. Akral hangat pada ekstremitas atas dan bawah kanan-kiri
2. Edema tidak ada pada ekstremitas bawah kanan-kiri
3. Capilary refill time < 2 detik
XI. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Lab (17/03/2017)

5
Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan

6
Hematologi
Hemoglobin 13,8 g/dL 11,7-15,5
Hematokrit 42 % 32-47
Eritrosit 4,9 juta/L 3,8-5,2
Leukosit 17,90 103/L 3,6-11
Trombosit 359 ribu/L 150-440
Hematologi Hitung Jenis
Basophil 0 % 0-1
Eosinophil 1 % 1-3
Neutrophil Batang L0 % 3-5
Neutrofil Segmen H 79 % 50-70
Limfosit L 17 % 25-40
Monosit 3 % 2-8
Kimia Klinik
SGOT (AST) 16 U/L 0-35
SGPT (ALT) 26 U/L 0-35
Troponin I 0,01 Negatif
Ureum Darah L 18 mg/dL 20-40
Kreatinin Darah 0,50 mg/dL 0,35-0,93
eGFR 142,5 mL/min/1,73m
2
Glukosa Darah Sewaktu 450 mg/dL <200
Gas darah + Elektrolit
Natrium 141 mmol/L 135-147
Kalium 4.6 mmol/L 3,5-5,0
Klorida 100 mmol/L 98-108

Pemeriksaan Lab 18/03/2017


Kimia Klinik
Troponin I Kuantitatif >10.00 mg/mL 0,00-0,02

Elektrokardiografi (17/03/2017)

7
Interpretasi EKG (24/05/2016)
Kecepatan dan kalibrasi : 25 mm/s dan 10 mm/mV
Irama : Sinus
Heart rate : 92 x/menit
Axis : Normoaxis
Gelombang P: durasi 0,08 s, amplitudo 0,1 mVolt
Interval P-R: 0,16 mm
Gelombang QRS: dalam batas normal
Segmen ST: Elevasi segmen ST di lead II, III dan aVF.
Gelombang T: dalam batas normal
Kesimpulan: sinus rhythm, infark miokard Inferior

XII. RESUME
Anamnesis : Nyeri dada sebelah kiri (seperti ditusuk dan ditekan) terasa menembus

ke punggung kiri belakang sejak 4 jam SMRS. Nyeri dada timbul secara tiba-tiba

8
sehingga aktivitas terhenti, dialami terus menerus, tidak berkurang jika istirahat dan

disertai keringat dingin. Saat nyeri dada terjadi, pasien merasakan sesak, tidur

menggunakan satu bantal. 2 hari SMRS pasien merasakan keringat dingin yang

disertai pusing tidak berdenyut dan dialami hilang timbul.


Faktor Resiko PJK : Diabetes Melitus, Hipertensi
Pemeriksaan Penunjang : Hasil EKG menunjukkan sinus rhythm, dan inferior infark.

Dari hasil lab darah didapatkan Troponin I Kuantitatif meningkat > 10.00 mg/mL.

XIII. PERMASALAHAN

Gejala dan Tanda Diagnosis


1. Nyeri dada kiri seperti tertusuk dan tertekan, Acute Coronary Syndrome
menembus ke punggung kiri. STEMI inferior
2. Nyeri dirasa saat aktivitas, terus menerus.
3. Intensitas nyeri semakin meningkat.
4. Nyeri dada disertai keluar keringat dingin.
5. Gambaran EKG : elevasi segmen ST pada
Lead II,III dan aVF.
6. Peningkatan Troponin I.

XIV. DIAGNOSIS KERJA


Acute Inferior STEMI Onset 4 jam
DM tipe II
XV. DIAGNOSIS BANDING
Miokarditis
Perikarditis
Cardiac trauma
XVI. RENCANA PEMERIKSAAN
Rontgen Thorax
EKG ulang setelah mendapat terapi trombolitik
Pemeriksaan Echocardiography
Pemeriksaan angiografi coroner

XVII. PENATALAKSANAAN

9
Terapi saat di IGD Terapi saat di CVCU
1. Aspilet 4tab 1. IVFD Nacl 0,9% 500ml/ 8jam
2. Brilinta 2x90 mg 2. Brilinta 2x90 mg
3. Nitrocaf 2x2,5 mg 3. Nitrocaf 2x2,5 mg
4. Aptor 1x100 mg 4. Aptor 1x100 mg
5. Alprazolam 2x0,5 mg 5. Alprazolam 2x0,5 mg
6. Lovenox 2x0,6 mL/s 6. Simvastatin 1x20 mg
7. Drip Insulin 2 iv/jam 7. Concor 1x1,25 mg
8. Sliding Scale /6jam (Apidia start 5 iv) 8. Lovenox 2x0,6 mL/s

XVIII. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad functionam : dubia ad malam
Ad sanationam : dubia ad malam

10
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi ACS


Sindrom Koroner Akut (SKA) atau Acute Coronary Syndrome (ACS) adalah salah
satu manifestasi klinis penyakit jantung koroner (PJK) yang utama dan paling sering
menimbulkan kematian. 1
SKA atau ACS memiliki beberapa bagian diantaranya Infark miokard akut dengan
ST elevasi (STEMI), infark miokard akut tanpa ST elevasi (NSTEMI), dan angina pektoris
tak stabil unstable angina pectoris (UAP). 2

2.2. Epidemiologi ACS


Angka mortalitas dalam rawatan di rumah sakit pada IMA-STE dibanding IMA non
STE adalah 7% dibandingkan 4%, tetapi pada jangka panjang (4 tahun), angka kematian
pasien IMA non STE ternyata 2 kali lebih tinggi dibanding pasien IMA-STE.1
Menurut hasil RISKESDAS 2013, prevalensi penyakit jantung koroner di Indonesia
berdasarkan wawancara terdiagnosis dokter sebesar 0,5% dan bersadarkan terdiagnosis
dokter atau gejala sebesar 1,5 %. Prevalensi jantung koroner berdasarkan terdiagnosis
dokter teringgi Sulawesi Tengah (0,8%), diiukuti dengan Sulawesi Utara, Jakarta, Aceh
masing-masing 0,7%. Sementara prevalensi Penyakit Jantung koroner bersadarkan
terdiagnosis dokter atau gejala tertinggi di Nusa Tenggara Timur (0,8%), diiukuti Sulawesi
Tengah (0,7%), sementara Sulawesi Selatan dan Papua sebesar 0,5%. 3

2.3. Klasifikasi ACS


Berdasarkan EKG, sindrom koroner akut dapat dibagi menjadi dua kelompok : 1
1. Pasien dengan gejala nyeri dada akut dan persisten (>20 menit) ST elevasi.
Kondisi ini disebut SKA dengan ST elevasi dan menunjukkan adanya penyumbatan
total pada arteri koroner. Sebagian besar pasien akan mengalami gejala STEMI dan
tatalaksana utama pada pasien ini adalah reperfusi dengan primary angioplasty atau
terapi fibrinolitik.
2. Pasien dengan gejala nyeri dada akut tanpa ST elevasi.

11
Dapat ditemukan ST elevasi transien, ST depresi persisten atau transien, T inversi,
gelombang T flat atau pseudonormalisasi gelombang T, atau EKG normal.
Angina tak stabil (unstable angina) adalah iskemia miokard dengan kerusakan
(nekrosis) kardiomiosit minimal. Pada UAP, tidak ditemukan peningkatan enzim
jantung. Sedangkan pada NSTEMI ditemukan peningkatan enzim jantung.

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan elektrokardiogram (EKG), dan


pemeriksaan marka jantung, Sindrom Koroner Akut dibagi menjadi : 4
1. Infark miokard dengan elevasi segmen ST (STEMI: ST segment elevation myocardial
infarction)
2. Infark miokard dengan non elevasi segmen ST (NSTEMI: non ST segment elevation
myocardial infarction)
3. Angina Pektoris tidak stabil (UAP: unstable angina pectoris)

Infark miokard dengan elevasi segmen ST akut (STEMI) merupakan indikator


kejadian oklusi total pembuluh darah arteri koroner. Keadaan ini memerlukan tindakan
revaskularisasi untuk mengembalikan aliran darah dan reperfusi miokard secepatnya;
secara medikamentosa menggunakan agen fibrinolitik atau secara mekanis, intervensi
koroner perkutan primer. Diagnosis STEMI ditegakkan jika terdapat keluhan angina
pektoris akut disertai elevasi segmen ST yang persisten di dua sadapan yang bersebelahan.
Inisiasi tatalaksana revaskularisasi tidak memerlukan menunggu hasil peningkatan marka
jantung. 2
Diagnosis NSTEMI dan angina pektoris tidak stabil ditegakkan jika terdapat
keluhan angina pektoris akut tanpa elevasi segmen ST yang persisten di dua sadapan yang
bersebelahan. Rekaman EKG saat presentasi dapat berupa depresi segmen ST, inversi
gelombang T, gelombang T yang datar, gelombang T pseudo-normalization, atau bahkan
tanpa perubahan. Sedangkan Angina Pektoris tidak stabil dan NSTEMI dibedakan
berdasarkan kejadian infark miokard yang ditandai dengan peningkatan marka jantung.
Marka jantung yang lazim digunakan adalah Troponin I/T atau CK-MB. Bila hasil
pemeriksaan biokimia marka jantung terjadi peningkatan bermakna, maka diagnosis

12
menjadi Infark Miokard Akut Segmen ST Non Elevasi (Non ST-Elevation Myocardial
Infarction, NSTEMI). 2
Pada Angina Pektoris tidak stabil marka jantung tidak meningkat secara bermakna.
Pada sindroma koroner akut, nilai ambang untuk peningkatan CK-MB yang abnormal
adalah beberapa unit melebihi nilai normal atas (upper limits of normal, ULN). Jika
pemeriksaan EKG awal tidak menunjukkan kelainan (normal) atau menunjukkan kelainan
yang nondiagnostik sementara angina masih berlangsung, maka pemeriksaan diulang 10-
20 menit kemudian. Jika ulangan EKG tetap menunjukkan gambaran nondiagnostik
sementara keluhan angina sangat sugestif SKA, maka pasien dipantau selama 12-24 jam.
EKG diulang tiap 6 jam dan setiap terjadi angina berulang. 2

2.3. Faktor Risiko ACS


Merokok merupakan faktor risiko mayor untuk terjadinya serangan jantung dan
stroke. Sekitar 24 % kematian akibat serangan jantung pada laki-laki dan 11 % pada
perempuan disebabkan karena kebiasaan merokok. Seseorang yang merokok memiliki
kemungkinan terjadinya pelebaran guratan lemak dan menambah lesi di a. abdominalis.
Mekanismenya belum jelas tetapi merokok akan meningkatkan inflamasi, memicu
pembentukan trombus, dan oksidasi kolesterol-LDL (k-LDL). Jadi rokok akan
meningkatkan stress oksidatif dan mengawali terjadinya disfungsi kardiovaskular. 2,3
Peningkatan kadar gula darah (hiperglikemia) pada saat serangan nyeri dada
merupakan faktor risiko independen yang kuat dan prognostik yang jelek untuk pasien
dengan SKA bahkan pada pasien non diabetik. Angka kematian dalam 30 hari lebih tinggi
pada pasien diabetes dibandingkan tanpa diabetes pada IMA non STE/APTS (2.1% vs
1.1%, P < 0,01) dan IMA STE (8.5% vs 5.4%, P <.001). Penelitian DIGAMI menunjukkan
hasil bahwa pengontrolan metabolik insulin secara intensif dengan mengunakan insulin
dan infus glukosa pada pasien dengan diabetes mellitus atau glukosa darah >11.0 mmol/l
ternyata memberikan keuntungan dalam menekan angka kematian setahun menjadi lebih
rendah (18.6% dibandingkan 26.1%). Hiperglikemi berhubungan dengan luasnya guratan
lemak baik di a. koronaria atau di aorta abdominalis. 2,3

13
Hipertensi merupakan faktor risiko terjadinya SKA, dimana seseorang yang
hipertensi cenderung memiliki tunika media yang tebal dan pembuluh darah arteri yang
kaku, sehingga memberi kesan ada percepatan terjadinya aterosklerosis. 2,3
Riwayat Keluarga, seseorang yang memiliki orang tua, kakek atau nenek dengan
riwayat serangan jantung/stroke dini, pada usia pertengahan memiliki kemungkinan
menderita penyakit kardiovaskular (PKV) 2 kali lebih sering. 2
Secara umum, individu yang termasuk risiko tinggi terkena PKV adalah yang
mempunyai riwayat hiperkolesterolemia, karena kolesterol plasma terutama lipoprotein
yang bersifat aterogenik atau Low Density Lipo-protein (LDL) berperan sangat khusus
pada terbentuknya aterosklerosis, dengan cara menaikkan aterogenitas LDL atau
menaikkan kerentanan dinding arteri. 2

2.4. Diagnosis ACS


2.4.1. Anamnesis
Keluhan pasien dengan iskemia miokard dapat berupa nyeri dada yang tipikal
(angina tipikal) atau atipikal (angina ekuivalen). Keluhan angina tipikal berupa rasa
tertekan/berat daerah retrosternal, menjalar ke lengan kiri, leher, rahang, area interskapular,
bahu, atau epigastrium. Keluhan ini dapat berlangsung intermiten/beberapa menit atau
persisten (>20 menit). Keluhan angina tipikal sering disertai keluhan penyerta seperti
diaphoresis, mual/muntah, nyeri abdominal, sesak napas, dan sinkop. 6
Presentasi angina atipikal yang sering dijumpai antara lain nyeri di daerah
penjalaran angina tipikal, rasa gangguan pencernaan (indigestion), sesak napas yang tidak
dapat diterangkan, atau rasa lemah mendadak yang sulit diuraikan. Keluhan atipikal ini
lebih sering dijumpai pada pasien usia muda (25-40 tahun) atau usia lanjut (>75 tahun),
wanita, penderita diabetes, gagal ginjal menahun, atau demensia. Walaupun keluhan angina
atipikal dapat muncul saat istirahat, keluhan ini patut dicurigai sebagai angina ekuivalen
jika berhubungan dengan aktivitas, terutama pada pasien dengan riwayat penyakit jantung
koroner (PJK). Hilangnya keluhan angina setelah terapi nitrat sublingual tidak prediktif
terhadap diagnosis SKA. 6
Diagnosis SKA menjadi lebih kuat jika keluhan tersebut ditemukan pada pasien
dengan karakteristik sebagai berikut : 6

14
1. Pria
2. Diketahui mempunyai penyakit aterosklerosis non koroner (penyakit arteri perifer /
karotis)
3. Diketahui mempunyai PJK atas dasar pernah mengalami infark miokard, bedah pintas
koroner, atau IKP
4. Mempunyai faktor risiko: umur, hipertensi, merokok, dislipidemia, diabetes mellitus,
riwayat PJK dini dalam keluarga, yang diklasifikasi atas risiko tinggi, risiko sedang,
risiko rendah menurut NCEP (National Cholesterol Education Program)
Nyeri dengan gambaran di bawah ini bukan karakteristik iskemia miokard (nyeri dada
non kardiak) : 6
1. Nyeri pleuritik (nyeri tajam yang berhubungan dengan respirasi atau batuk)
2. Nyeri abdomen tengah atau bawah
3. Nyeri dada yang dapat ditunjuk dengan satu jari, terutama di daerah apeks ventrikel
kiri atau pertemuan kostokondral.
4. Nyeri dada yang diakibatkan oleh gerakan tubuh atau palpasi
5. Nyeri dada dengan durasi beberapa detik
6. Nyeri dada yang menjalar ke ekstremitas bawah

2.4.2. Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengidentifikasi faktor pencetus iskemia,
komplikasi iskemia, penyakit penyerta dan menyingkirkan diagnosis banding. Regurgitasi
katup mitral akut, suara jantung tiga (S3), ronkhi basah halus dan hipotensi hendaknya
selalu diperiksa untuk mengidentifikasi komplikasi iskemia. Ditemukannya tanda-tanda
regurgitasi katup mitral akut, hipotensi, diaphoresis, ronkhi basah halus atau edema paru
meningkatkan kecurigaan terhadap SKA. Pericardial friction rub karena perikarditis,
kekuatan nadi tidak seimbang dan regurgitasi katup aorta akibat diseksi aorta,
pneumotoraks, nyeri pleuritik disertai suara napas yang tidak seimbang perlu
dipertimbangkan dalam memikirkan diagnosis banding SKA. 6

2.4.3. Pemeriksaan Elektrokardiogram

15
Semua pasien dengan keluhan nyeri dada atau keluhan lain yang mengarah kepada
iskemia harus menjalani pemeriksaan EKG 12 sadapan sesegera mungkin sesampainya di
ruang gawat darurat. Sebagai tambahan, sadapan V3R dan V4R, serta V7-V9 sebaiknya
direkam pada semua pasien dengan perubahan EKG yang mengarah kepada iskemia
dinding inferior. Sementara itu, sadapan V7-V9 juga harus direkam pada semua pasien
angina yang mempunyai EKG awal nondiagnostik. Sedapat mungkin, rekaman EKG
dibuat dalam 10 menit sejak kedatangan pasien di ruang gawat darurat. Pemeriksaan EKG
sebaiknya diulang setiap keluhan angina timbul kembali. 6
Gambaran EKG yang dijumpai pada pasien dengan keluhan angina cukup
bervariasi, yaitu: normal, nondiagnostik, LBBB (Left Bundle Branch Block) baru/
persangkaan baru, elevasi segmen ST yang persisten (20 menit) maupun tidak persisten,
atau depresi segmen ST dengan atau tanpa inversi gelombang T. 6
Penilaian ST elevasi dilakukan pada J point dan ditemukan pada 2 sadapan yang
bersebelahan. Nilai ambang elevasi segmen ST untuk diagnosis STEMI untuk pria dan
perempuan pada sebagian besar sadapan adalah 0,1 mV. Pada sadapan V1-V3 nilai ambang
untuk diagnostik beragam, bergantung pada usia dan jenis kelamin. Nilai ambang elevasi
segmen ST di sadapan V1-V3 pada pria usia 40 tahun adalah 0,2 mV, pada pria usia <40
tahun adalah 0,25 mV. Sedangkan pada perempuan nilai ambang elevasi segmen ST di
lead V1-3, tanpa memandang usia, adalah 0,15 mV. Bagi pria dan wanita, nilai ambang
elevasi segmen ST di sadapan V3R dan V4R adalah 0,05 mV, kecuali pria usia <30 tahun
nilai ambang 0,1 mV dianggap lebih tepat. Nilai ambang di sadapan V7-V9 adalah 0,5
mV. Depresi segmen ST yang resiprokal, sadapan yang berhadapan dengan permukaan
tubuh segmen ST elevasi, dapat dijumpai pada pasien STEMI kecuali jika STEMI terjadi
di mid-anterior (elevasi di V3-V6). Pasien SKA dengan elevasi segmen ST dikelompokkan
bersama dengan LBBB (komplet) baru/persangkaan baru mengingat pasien tersebut adalah
kandidat terapi reperfusi. Oleh karena itu pasien dengan EKG yang diagnostik untuk
STEMI dapat segera mendapat terapi reperfusi sebelum hasil pemeriksaan marka jantung
tersedia6,7.

Tabel 1. lokasi infark berdasarkan sadapan EKG


Sadapan dengan Deviasi Segmen ST Lokasi Iskemia atau Infark
V1-V4 Anterior

16
V5-V6,I, aVL Lateral
II,III,aVF Inferior
V7-V9 Posterior
V3R-V4R Ventrikel kanan

Persangkaan adanya infark miokard menjadi kuat jika gambaran EKG pasien
dengan LBBB baru/persangkaan baru juga disertai dengan elevasi segmen ST 1 mm
pada sadapan dengan kompleks QRS positif dan depresi segmen ST 1 mm di V1-V3.
Perubahan segmen ST seperti ini disebut sebagai perubahan konkor dan yang mempunyai
spesifisitas tinggi dan sensitivitas rendah untuk diagnosis iskemik akut. Perubahan
segmen ST yang diskordan pada sadapan dengan kompleks QRS negatif mempunyai
sensitivitas dan spesifisitas sangat rendah. Adanya keluhan angina akut dan pemeriksaan
EKG tidak ditemukan elevasi segmen ST yang persisten, diagnosisnya adalah infark
miokard dengan nonelevasi segmen ST (NSTEMI) atau Angina Pektoris tidak stabil
(APTS/ UAP). Depresi segmen ST yang diagnostik untuk iskemia adalah sebesar 0,05
mV di sadapan V1-V3 dan 0,1 mV di sadapan lainnya. Bersamaan dengan depresi
segmen ST, dapat dijumpai juga elevasi segmen ST yang tidak persisten (<20menit), dan
dapat terdeteksi di >2 sadapan berdekatan. Inversi gelombang T yang simetris 0,2 mV
mempunyai spesifitas tinggi untuk untuk iskemia akut. Semua perubahan EKG yang
tidak sesuai dengan kriteria EKG yang diagnostik dikategorikan sebagai perubahan EKG
yang nondiagnostik. 6

2.4.4. Pemeriksaan Marka Jantung


Kreatinin kinase-MB (CK-MB) atau troponin I/T merupakan marka nekrosis
miosit jantung dan menjadi marka untuk diagnosis infark miokard. Troponin I/T sebagai
marka nekrosis jantung mempunyai sensitivitas dan spesifisitas lebih tinggi dari CK-MB.
Peningkatan marka jantung hanya menunjukkan adanya nekrosis miosit, namun tidak
dapat dipakai untuk menentukan penyebab nekrosis miosit tersebut (penyebab
koroner/nonkoroner). Troponin I/T juga dapat meningkat oleh sebab kelainan kardiak
nonkoroner seperti takiaritmia, trauma kardiak, gagal jantung, hipertrofi ventrikel kiri,
miokarditis/perikarditis. Keadaan nonkardiak yang dapat meningkatkan kadar troponin
I/T adalah sepsis, luka bakar, gagal napas, penyakit neurologik akut, emboli paru,

17
hipertensi pulmoner, kemoterapi, dan insufisiensi ginjal. Pada dasarnya troponin T dan
troponin I memberikan informasi yang seimbang terhadap terjadinya nekrosis miosit,
kecuali pada keadaan disfungsi ginjal. Pada keadaan ini, troponin I mempunyai
spesifisitas yang lebih tinggi dari troponin T. 6
Dalam keadaan nekrosis miokard, pemeriksaan CK-MB atau troponin I/T
menunjukkan kadar yang normal dalam 4-6 jam setelah awitan SKA, pemeriksaan
hendaknya diulang 8-12 jam setelah awitan angina. Jika awitan SKA tidak dapat
ditentukan dengan jelas, maka pemeriksaan hendaknya diulang 6-12 jam setelah
pemeriksaan pertama. Kadar CK-MB yang meningkat dapat dijumpai pada seseorang
dengan kerusakan otot skeletal (menyebabkan spesifisitas lebih rendah) dengan waktu
paruh yang singkat (48 jam). Mengingat waktu paruh yang singkat, CK-MB lebih terpilih
untuk mendiagnosis ekstensi infark (infark berulang) maupun infark periprosedural. 6

2.4.5. Pemeriksaan Laboratorium


Data laboratorium, di samping marka jantung, yang harus dikumpulkan di ruang
gawat darurat adalah tes darah rutin, gula darah sewaktu, status elektrolit, koagulasi
darah, tes fungsi ginjal, dan panel lipid. Pemeriksaan laboratorium tidak boleh menunda
terapi SKA. 6

2.4.6. Pemeriksaan Foto Polos Dada


Mengingat bahwa pasien tidak diperkenankan meninggalkan ruang gawat darurat
untuk tujuan pemeriksaan, maka foto polos dada harus dilakukan di ruang gawat darurat
dengan alat portabel. Tujuan pemeriksaan adalah untuk membuat diagnosis banding,
identifikasi komplikasi dan penyakit penyerta. 6

2.4.7. Tindakan Umum dan Langkah Awal


Berdasarkan langkah diagnostik tersebut di atas, dokter perlu segera menetapkan
diagnosis kerja yang akan menjadi dasar strategi penanganan selanjutnya. Yang dimaksud
dengan terapi awal adalah terapi yang diberikan pada pasien dengan diagnosis kerja
Kemungkinan SKA atau SKA atas dasar keluhan angina di ruang gawat darurat, sebelum
ada hasil pemeriksaan EKG dan/atau marka jantung. Terapi awal yang dimaksud adalah

18
Morfin, Oksigen, Nitrat, Aspirin (disingkat MONA), yang tidak harus diberikan semua
atau bersamaan. 6
1. Tirah baring
2. Suplemen oksigen harus diberikan segera bagi mereka dengan saturasi O2 arteri
<95% atau yang mengalami distres respirasi
3. Suplemen oksigen dapat diberikan pada semua pasien SKA dalam 6 jampertama,
tanpa mempertimbangkan saturasi O2 arteri
4. Aspirin 160-320 mg diberikan segera pada semua pasien yang tidak diketahui
intoleransinya terhadap aspirin. Aspirin tidak bersalut lebih terpilih mengingat
absorpsi sublingual (di bawah lidah) yang lebih cepat.
5. Penghambat reseptor ADP (adenosine diphosphate)
a. Dosis awal ticagrelor yang dianjurkan adalah 180 mg dilanjutkan dengan dosis
pemeliharaan 2 x 90 mg/hari kecuali pada pasien STEMI yang direncanakan
untuk reperfusi menggunakan agen fibrinolitik Atau
b. Dosis awal clopidogrel adalah 300 mg dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 75
mg/hari (pada pasien yang direncanakan untuk terapi reperfusi menggunakan
agen fibrinolitik, penghambat reseptor ADP yang dianjurkan adalah clopidogrel)
6. Nitrogliserin (NTG) spray/tablet sublingual bagi pasien dengan nyeri dada yang
masih berlangsung saat tiba di ruang gawat darurat. jika nyeri dada tidak hilang
dengan satu kali pemberian, dapat diulang setiap lima menit sampai maksimal tiga
kali. Nitrogliserin intravena diberikan pada pasien yang tidak responsif dengan terapi
tiga dosis NTG sublingual. dalam keadaan tidak tersedia NTG, isosorbid dinitrat
(ISDN) dapat dipakai sebagai pengganti
7. Morfin sulfat 1-5 mg intravena, dapat diulang setiap 10-30 menit, bagi pasien yang
tidak responsif dengan terapi tiga dosis NTG sublingual.

19
Gambar 1. Algoritma Evaluasi dan Tatalaksana SKA

20
INFARK MIOKARD AKUT DENGAN ELEVASI ST

DEFINISI

Infark miokard akut (IMA) dengan elevasi ST merupakan bagian dari spectrum sindrom
koroner akut (SKA) yang terdiri dari angina pektoris tak stabil, IMA tanpa elevasi ST dan IMA
dengan elevasi ST. 5

PATOFISIOLOGI

STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak setelah
oklusi thrombus pada plak aterosklerosis yang sudah ada sebelumnya. Stenosis arteri derajat
tinggi yang berkembang secara lambat biasanya tidak memicu STEMI karena berkembangnya
banyak kolateral sepanjang waktu. STEMI terjadi jika thrombus arteri koroner terjadi secara
cepat pada lokasi injuri vascular, dimana injuri ini dicetuskan oleh factor seperti merokok,
hipertensi dan akumulasi lipid. 5

Pada sebagian kasus, infark terjadi jika plak aterosklerosis mengalami fisur, rupture atau
ulserasi, dan jika kondisi local atau sistemik memicu trombogenesis, sehingga terjadi thrombus
mural pada sekitar rupture yang mengakibatkan oklusi arteri koroner. Penelitian histologis
menujukkan plak koroner cenderung mengalami ruptur jika mempunyai fibrous cap yang tipis
dan inti kaya lipid (lipid rich core). Pada STEMI gambaran patologis klasik terdiri dari fibrin
rich red thrombus, yang dipercaya menjadi alasan kepada STEMI memberikan respon terhadap
terapi trombolitik. 5

Selanjutnya pada lokasi ruptur plak, berbagai agonis (kolagen, ADP, epinefrin, serotonin)
memicu aktivas trombosit, yang selanjutnya akan memproduksi dan melepaskan troboksan A2
(vasokontriktor local yang poten). Selain itu aktivasi trombosit memicu perubahan koformasi
reseptor glikoprotein IIb/IIIa. Telah mengalami konversi fungsinya, reseptor mempunyai afinitas
tinggi terhadap sekuen asam amino pada protein adhesi yang larut (integrin) seperti pada factor
von Willebrand (vWF) dan fibrinogen, dimana keduanya adalah molekul multivalent, yang dapat
mengikat dua platelet yang berbeda secara simultan, menghasilkan ikatan silang platelet dan
agregasi. 5

21
Kaskade koagulasi diaktivasi oleh pajanan tissue factor pada sel endotel yang rusak.
Factor VII dan X diaktivasi, mengakibatkan konversi prothrombin menjadi thrombin yang
kemudian mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin. Arteri koroner yang terlibat mengalami
oklusi oleh thrombus yang terdiri agregat trombosit dan fibrin. 5

Pada kondisi yang jarang, STEMI dapat juga disebabkan oleh oklusi arteri koroner, yang
disebabkan oleh emboli arteri koroner, abnormalitas kongenital, spasme koroner dan berbagai
penyakit sistemik. 5

DIAGNOSIS

Diagnosis IMA dengan ST elevasi ditegakkan berdasarkan anamnesis nyeri ada yang
khas dan gambaran EKG adanya elevasi ST 2mm, miniman pada dua sadapan precordial yang
berdampingan atau 1mm pada 2 sadapan ekstremitas. Pemeriksaan enzim jantung, terutama
troponin T yang meningkat, memperkuat diagnosis, namun keputusan memberikan terapi
revaskularisasi tak perlu menunggu hasil pemeriksaan enzim, mengingat dalam tatalaksana IMA,
prinsip utama pelaksanaan adalah time is muscle. 6

ANAMNESIS

Pasien yang datang dengan keluhan nyeri dada perlu dilakukan anamnesis secara cermat,
apakah nyeri dadanya berasal dari jantung, atau dari luar jantung. Jika dicurigai nyeri dada yang
berasal dari jantung perlu dibedakan apakah nyerinya berasal dari koroner atau bukan. Perlu
dianamnesis pula apakah ada riwayat infark miokard sebelumyaserta factor-faktor resiko antara
lain hipertensi, diabetes melitus, dyslipidemia, merokok, stress serta riwayat sakit jantung
koroner pada keluarga. 6

Pada hampir setengah kasus, terdpat factor pencetus sebelum terjadi STEMI, seperti aktivias
fisik berat, stress emosi atau penyakit medis atau bedah. Walaupun STEMI dapat bias terjadi
sepanjang hari atau malam, variasi sirkadian dilaporkan pada pagi hari dalam beberapa jam
setelah bangun tidur. 6

Bila dijumpai pasien dengan nyeri dada akut perlu dipastikan secara cepat dan tepat apakah
pasien mengalami Infark Miokard Akut (IMA) atau tidak. Nyeri dada tipikal (angina) meupakan
gejala cardinal pasien IMA. Sifat nyeri dada angina sebagai berikut : 6

22
Lokasi : substernal, retrosternal, dan precordial
Sifat nyeri : rasa sakit, seperti ditekan, rasa terbakar, tertindih benda berat, seperti
ditusuk, rasa diperas, dan dipelintir.
Penjalaran ke : biasanya ke lengan kiri, dapat juga ke leher, rahang bawah, gigi,
punggung/interskapul, perut dan dapat juga kelengan kanan.
Nyeri membaik atau menghilang setelah istirahat, atau obat nitrat
Factor pencetus : latihan fisik, stress emosi, udara dingin atau sesudah makan.
Gejala yang menyertai : mual, muntah, keringat dingin, sulit berbaps, cemas dan lemas.

Nyeri dengan gambaran di bawah ini bukan karakteristik iskemia miokard (nyeri dada
nonkardiak) 6

Nyeri pleuritic (nyeri tajam yang berhubungan dengan respirasi atau batuk)
Nyeri abdomen tengah atau bawah
Nyeri dada yang dapat ditunjuk dengan satu jari, terutama di daerah apeks ventrikel kiri
atau pertemuan kostokondral.
Nyeri dada yang dikibatkan oleh gerakan tubuh atau repirasi
Nyeri dada dengan durasi beberapa detik
Nyeri dada yang mejalar ke ekstremitas bawah

PEMERIKSAAN FISIK

Sebagian besar pasien cemas dan tidak bisa istirahat (gelisah). Seringkali ekstremitas
pucat disertai keringat dingin. Kombinasi nyeri dada substernal >30 menit dan banyak keringat
dicurigai kuat adanya STEMI. Sekitar seperempat pasien infark anterior mempunyai manifestasi
hiperaktivitas saraf simpatis (takikardi dan/atau hipotensi) da hamper setengah pasien infark
inferior menunjukkan hiperaktivitas parasimpatis (bradikardia dan/atau hipotensi). 6

Tanda fisik lain pada disfungsi ventricular adalah S4 dan S3 gallop, penurunan intensitas
bunyi jantung pertama dan split paradoksikal bunyi jantung kedua. Dapat ditemukan murmur
midsistolik atau late sistolik apical yang bersifat sementara Karena disfungsi apparatus katup
mitral dan pericardial friction rub. Oeningkatan suhu sampai 38oC dapat dijumpai dalam minggu
pertama pasca STEMI. 6

ELEKTROKARDIOGRAM

23
Pemeriksaan EKG 12 sadapan harus dilakukan pada semua pasien dengan nyeri dada atau
keluhan yang dicurigai STEMI. Pemeriksaan ini harus dilakukan segera dalam 10 menit sejak
kedatangan di IGD. Pemeriksaan EKG di IGD merupakan landasan dalam menentukan
keputusan terapi Karena bukti kuat meunjukkan gambaran elevasi segmen ST dapat
mengidentifikasi pasien yang bermanfaat untuk dilakukan terapi reperfusi. Jika pemeriksaan
EKG awal tidak didiagnostik untuk STEMI tetapi pasien tetap dimptomatik dan terdapat
kecurigaan kuat STEMI, EKG serial dengan interval 5-10 menit atau pemantauan EKG 12
sadapan secara kontinyu harus dilakukan untuk mendetekasi potensi perkembangan elevasi
segmen ST. pada pasien STEMI inferior, EKG sisi kanan harus diambil untuk mendeteksi
kemungknan infark pada ventrikel kanan. 6

Sebagian besar pasien dengan presentasi awal elevasi segmen ST megalami evolusi
menjadi gelombang Q pada EKG yang akhirnya didagnosis infark miokard gelombang Q.
sebagian kecil menetap menjadi infark miokard gelombang non Q. jika obstruksi trombu tidak
total, obstruksi bersifat sementara atau ditemukan banyak kolateral, biasanya tidak ditemukan
elevasi segmen ST. pasien tersebut biasanya mengalami angina pektoris tidak stabil atau non
STEMI. Pada sebagian besar pasien tanpa elevasi ST berkembang tanpa menunjukkan
gelombang Q disebut infark non Q. 6

PETANDA (BIOMARKER) KERUSAKAN JANTUNG

Pemeriksaa yang diajurkan adalah Creatinin Kinase (CK)MB dan Cardiac specific
Troponin (cTn)T atau cTnI yang dilakukan secara serial. cTn harus digunakan sebagai petanda
optimal untuk pasien STEMI yang disertai kerusakan otot skeletal, Karena pada keadaan ini juga
akan diikuti peningkatan CKMB. Pada pasien dengan elevasi ST dan gejala IMA, terapi reperfusi
diberikan segera mungki dan tidak tergantung pemeriksaan biomarker. 5

Peningkatan nilai enzim di atas 2 kali nilai batas normal menunjukkan ada nekrosis jantung
(infark miokard).

CKMB : meningkat setelah tiga jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam
10-24 jam dan kembali normal dalam 2-4 hari. Operasi jantung, miokarditis, dan
kardioversi elektrik dapat menigkatkan CKMB. 5

24
cTn : enzim ini meningkat setelah 2 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak
dalam 10-24 jam dan cTn T dapat masih terdeteksi setelah 5-14 hari, sedangkan cTn I
setelah 5-10 hari. 5

Pemeriksaan enzim jantung yang lain5

Mioglobin : dapat dideteksi 1 jam setelah infark dan mencapai puncak dalam 4-8 jam

Creatinin kinase : meningkat setelah 3-8 jam bila ada infark miokard dan mencapai
puncak dalam 10-36 jam dan kembali normal dalam 3-4 hari

Lactic dehydrogenase (LDH): meningkat setelah 24-48 jam bila ada infark miokard,
mencapai puncak 3-6 hari dan kembali normal dalam 8-14 hari.

Reaksi non spesifik terhadap injuri miokard adalah leukositosis polimorfouklear yang dapat
terjadi dalam beberapa jam setelah onset nyeri dan menetap selama 3-7 hri. Leukosit dapat
mencapai 12.000-15.000/ul.

TATALAKSANA

A. PERAWATAN GAWAT DARURAT

Penatalaksanaan STEMI dimulai sejak kontak medis pertama, baik untuk diagnosis dan
pengobatan. Yang dimaksud dengan kontak medis pertama adalah saat pasien pertama diperiksa
oleh paramedis, dokter atau pekerja kesehatan lain sebelum tiba di rumah sakit, atau saat pasien
tiba di unit gawat darurat, sehingga seringkali terjadi dalam situasi rawat jalan. 6

Diagnosis kerja infark miokard harus telah dibuat berdasarkan riwayat nyeri dada yang
berlangsung selama 20 menit atau lebih yang tidak membaik dengan pemberian nitrogliserin.
Adanya riwayat PJK dan penjalaran nyeri ke leher, rahang bawah atau lengan kanan memperkuat
dugaan ini. Pengawasan EKG perlu dilakukan pada setiap pasien dengan dugaan STEMI.
Diagnosis STEMI perlu dibuat sesegera mungkin melalui perekaman dan interpretasi EKG 12
sadapan, selambat-lambatnya 10 menit dari saat pasien tiba untuk mendukung penatalaksanaan
yang berhasil. Gambaran EKG yang atipikal pada pasien dengan tanda dan gejala iskemia
miokard yang sedang berlangsung menunjukkan perlunya tindakan segera. 6

25
Sebisa mungkin, penanganan pasien STEMI sebelum di rumah sakit dibuat berdasarkan
jaringan layanan regional yang dirancang untuk memberikan terapi reperfusi secepatnya secara
efektif, dan bila fasilitas memadai sebanyak mungkin pasien dilakukan IKP. Pusat-pusat
kesehatan yang mampu memberikan pelayanan IKP primer harus dapat memberikan pelayanan
setiap saat (24 jam selama 7 hari) serta dapat memulai IKP primer sesegera mungkin di bawah
90 menit sejak panggilan inisial. 6

Semua rumah sakit dan Sistem Emergensi Medis yang terlibat dalam penanganan pasien
STEMI harus mencatat dan mengawasi segala penundaan yang terjadi dan berusaha untuk
mencapai dan mempertahankan target kualitas berikut ini : 6

1. Waktu dari kontak medis pertama hingga perekaman EKG pertama 10 menit
2. Waktu dari kontak medis pertama hingga pemberian terapi reperfusi:
Untuk fibrinolysis 30 menit
Untuk IKP primer 90 menit (60 menit apabila pasien datang dengan awitan kurang
dari 120 menit atau langsung dibawa ke rumah sakit yang mampu melakukan IKP)

DELAY (KETERLAMBATAN)

Pencegahan delay amat penting dalam penanganan STEMI karena waktu paling berharga
dalam infark miokard akut adalah di fase sangat awal, di mana pasien mengalami nyeri yang
hebat dan kemungkinan mengalami henti jantung. Defibrilator harus tersedia apabila ada pasien
dengan kecurigaan infark miokard akut dan digunakan sesegera mungkin begitu diperlukan.
Selain itu, pemberian terapi pada tahap awal, terutama terapi reperfusi, amat bermanfaat. Jadi,
delay harus diminimalisir sebisa mungkin untuk meningkatkan luaran linis. Selain itu delay
pemberian pengobatan merupakan salah satu indeks kualitas perawatan STEMI yang paling
mudah diukur. Setiap delay yang terjadi di sebuah rumah sakit saat menangani pasien STEMI
perlu dicatat dan diawasi secara teratur untuk memastikan kualitas perawatan tetap terjaga. 6

DELAY PASIEN

Adalah keterlambatan yang terjadi antara awitan gejala hingga tercapainya kontak medis
pertama. Untuk meminimalisir delay pasien, masyarakat perlu diberikan pemahaman mengenai
cara mengenal gejala-gejala umum infark miokard akut dan ditanamkan untuk segera memanggil
pertolongan darurat. Pasien dengan riwayat PJK dan keluarganya perlu mendapatkan edukasi

26
untuk mengenal gejala IMA dan langkah-langkah praktis yang perlu diambil apabila SKA terjadi.
6

DELAY ANTARA KONTAK MEDIS PERTAMA DENGAN DIAGNOSIS

Penilaian kualitas pelayanan yang cukup penting dalam penanganan STEMI adalah
waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan hasil EKG pertama. Di rumah sakit dan sistem medis
darurat yang menangani pasien STEMI, tujuan ini sebaiknya dicapai dalam 10 menit atau
kurang. 6

DELAY ANTARA KONTAK MEDIS PERTAMA DENGAN TERAPI REPERFUSI

Dikenal juga sebagai delay sistem, komponen ini lebih mudah diperbaiki melalui
pengaturan organisasi dibandingkan dengan delay pasien. Delay ini merupakan indikator kualitas
perawatan dan prediktor luaran. Bila terapi reperfusi yang diberikan adalah IKP primer,
diusahakan delay (kontak medis pertama hingga masuknya wire ke arteri yang menjadi
penyebab) 90 menit (60 menit bila kasus risiko tinggi dengan infark anterior besar dan pasien
datang dalam 2 jam). Bila terapi reperfusi yang diberikan adalah fibrinolisis, diusahakan
mengurangi delay (waktu kontak pertama dengan tindakan) menjadi 30 menit. 6

Di rumah sakit yang mampu melakukan IKP, target yang diinginkan adalah door-to-
balloon delay 60 menit antara datangnya pasien ke rumah sakit dengan IKP primer. Delay yang
terjadi menggambarkan performa dan kualitas organisasi rumah sakit tersebut.

Dari sudut pandang pasien, delay antara awitan gejala dengan pemberian terapi reperfusi
(baik dimulainya fibrinolisis atau masuknya wire ke arteri penyebab) merupakan yang paling
penting, karena jeda waktu tersebut menggambarkan waktu iskemik total, sehingga perlu
dikurangi menjadi sesedikit mungkin. 6

27
Gambar 2. Komponen Delay dalam STEMI dan Interval Ideal Untuk Intervensi6

B. TERAPI REPERFUSI

Terapi reperfusi segera, baik dengan IKP atau farmakologis, diindikasikan untuk semua
pasien dengan gejala yang timbul dalam 12 jam dengan elevasi segmen ST yang menetap atau
Left Bundle Branch Block (LBBB) yang (terduga) baru6.

Terapi reperfusi (sebisa mungkin berupa IKP primer) diindikasikan apabila terdapat bukti
klinis maupun EKG adanya iskemia yang sedang berlangsung, bahkan bila gejala telah ada lebih
dari 12 jam yang lalu atau jika nyeri dan perubahan EKG tampak tersendat. 6

Dalam menentukan terapi reperfusi, tahap pertama adalah menentukan ada tidaknya
rumah sakit sekitar yang memiliki fasilitas IKP. Bila tidak ada, langsung pilih terapi fibrinolitik.
Bila ada, pastikan waktu tempuh dari tempat kejadian (baik rumah sakit atau klinik) ke rumah
sakit tersebut apakah kurang atau lebih dari (2 jam). Jika membutuhkan waktu lebih dari 2 jam,
reperfusi pilihan adalah fibrinolitik. Setelah fibrinolitik selesai diberikan, jika memungkinkan
pasien dapat dikirim ke pusat dengan fasilitas IKP. 6

28
Intervensi koroner perkutan primer

IKP primer adalah terapi reperfusi yang lebih disarankan dibandingkan dengan
fibrinolisis apabila dilakukan oleh tim yang berpengalaman dalam 120 menit dari waktu kontak
medis pertama. IKP primer diindikasikan untuk pasien dengan gagal jantung akut yang berat atau
syok kardiogenik, kecuali bila diperkirakan bahwa pemberian IKP akan tertunda lama dan bila
pasien datang dengan awitan gejala yang telah lama. 6

Stenting lebih disarankan dibandingkan angioplasti balon untuk IKP primer.Tidak


disarankan untuk melakukan IKP secara rutin pada arteri yang telah tersumbat total lebih dari 24
jam setelah awitan gejala pada pasien stabil tanpa gejala iskemia, baik yang telah maupun belum
diberikan fibrinolisis. 6

Bila pasien tidak memiliki indikasi kontra terhadap terapi antiplatelet dual (dual
antiplatelet therapy-DAPT) dan kemungkinan dapat patuh terhadap pengobatan, drug-eluting
stents (DES) lebih disarankan daripada bare metal stents (BMS). 6

Farmakoterapi periprosedural

Pasien yang akan menjalani IKP primer sebaiknya mendapatkan terapi antiplatelet ganda
(DAPT) berupa aspirin dan penghambat reseptor ADP sesegera mungkin sebelum angiografi,
disertai dengan antikoagulan intravena. Aspirin dapat dikonsumsi secara oral. Pilihan
penghambat reseptor ADP yang dapat digunakan antara lain6:

1. Ticagrelor (dosis loading 180 mg, diikuti dosis pemeliharaan 90 mg dua kali sehari) .
2. Atau clopidogrel (disarankan dengan dosis lebih tinggi yaitu dosis loading 600 mg diikuti
150 mg per hari), bila ticagrelor tidak tersedia atau diindikasikontrakan.

Antikoagulan intravena harus digunakan dalam IKP primer. Pilihannya antara lain4:

1. Heparin yang tidak terfraksi (dengan atau tanpa penghambat reseptor GP Iib/IIIa rutin)
harus digunakan pada pasien yang tidak mendapatkan bivarlirudin atau enoksaparin
2. Enoksaparin (dengan atau tanpa penghambat reseptor GP Iib/IIIa) dapat lebih dipilih
dibandingkan heparin yang tidak terfraksi
3. Fondaparinuks tidak disarankan untuk IKP primer
4. Tidak disarankan menggunakan fibrinolisis pada pasien yang direncanakan untuk IKP
primer.

29
Terapi fibrinolitik

Fibrinolisis merupakan strategi reperfusi yang penting, terutama pada tempat-tempat


yang tidak dapat melakukan IKP pada pasien STEMI dalam waktu yang disarankan. Terapi
fibrinolitik direkomendasikan diberikan dalam 12 jam sejak awitan gejala pada pasien-pasien
tanpa indikasi kontra apabila IKP primer tidak bisa dilakukan oleh tim yang berpengalaman
dalam 120 menit sejak kontak medis pertama. Pada pasien-pasien yang datang segera (<2 jam
sejak awitan gejala) dengan infark yang besar dan risiko perdarahan rendah, fibrinolisis perlu
dipertimbangkan bila waktu antara kontak medis pertama dengan inflasi balon lebih dari 90
menit. Fibrinolisis harus dimulai pada ruang gawat darurat. 6

Agen yang spesifik terhadap fibrin (tenekteplase, alteplase, reteplase) lebih disarankan
dibandingkan agen-agen yang tidak spesifik terhadap fibrin (streptokinase). Aspirin oral atau
intravena harus diberikan. Clopidogrel diindikasikan diberikan sebagai tambahan untuk aspirin. 6

Antikoagulan direkomendasikan pada pasien-pasien STEMI yang diobati dengan


fibrinolitik hingga revaskularisasi (bila dilakukan) atau selama dirawat di rumah sakit hingga 5
hari. Antikoagulan yang digunakan dapat berupa: 6

1. Enoksaparin secara subkutan (lebih disarankan dibandingkan heparin tidak terfraksi).


2. Heparin tidak terfraksi diberikan secara bolus intravena sesuai berat badan dan infus
selama 3 hari.
3. Pada pasien-pasien yang diberikan streptokinase, Fondaparinuks intravena secara bolus
dilanjutkan dengan dosis subkutan 24 jam kemudian.

Pemindahan pasien ke pusat pelayanan medis yang mampu melakukan IKP setelah
fibrinolisis diindikasikan pada semua pasien . IKP rescue diindikasikan segera setelah
fibrinolisis gagal, yaitu resolusi segmen ST kurang dari 50% setelah 60 menit disertai tidak
hilangnya nyeri dada . IKP emergency diindikasikan untuk kasus dengan iskemia rekuren atau
bukti adanya reoklusi setelah fibrinolisis yang berhasil . Hal ini ditunjukkan oleh gambaran
elevasi segmen ST kembali. 6

Angiografi emergensi dengan tujuan untuk melakukan revaskularisasi diindikasikan


untuk gagal jantung/pasien syok setelah dilakukannya fibrinolisis inisial. Jika memungkinkan,
angiografi dengan tujuan untuk melakukan revaskularisasi (pada arteri yang mengalami infark)

30
diindikasikan setelah fibrinolisis yang berhasil. Waktu optimal angiografi untuk pasien stabil
setelah lisis yang berhasil adalah 3-24 jam. 6

Gambar 3. Langkah-langkah Reperfusi6

Langkah-langkah pemberian fibrinolisis pada pasien STEMI

Langkah 1: Nilai waktu dan risiko

Waktu sejak awitan gejala (kurang dari 12 jam atau lebih dari 12 jam dengan tanda dan
gejala iskemik)
Risiko fibrinolisis dan indikasi kontra fibrinolysis
Waktu yang dibutuhkan untuk pemindahan ke pusat kesehatan yang mampu melakukan
IKP (<120 menit)

Langkah 2: Tentukan pilihan yang lebih baik antara fibrinolisis atau strategi invasif untuk kasus
tersebut

Bila pasien <3 jam sejak serangan dan IKP dapat dilakukan tanpa penundaan, tidak ada
preferensi untuk satu strategi tertentu.

31
Keadaan di mana fibrinolisis lebih baik:

Pasien datang kurang dari 3 jam setelah awitan gejala dan terdapat halangan untuk
strategi invasif
Strategi invasif tidak dapat dilakukan
Cath-lab sedang/tidak dapat dipakai
Kesulitan mendapatkan akses vaskular
Tidak dapat mencapai laboratorium/pusat kesehatan yang mampu melakukan
IKP dalam waktu <120 menit
Halangan untuk strategi invasif
Transportasi bermasalah
Waktu antara Door-to-balloon dan Door-to-needle lebih dari 60 menit
Waktu antar kontak medis dengan balonisasi atau door-to-balloon lebih dari 90
menit Keadaan di mana strategi invasif lebih baik:
Tersedianya cath-lab dengan dukungan pembedahan
Waktu antar kontak medis dengan balonisasi atau door-to-balloon kurang dari 90
menit
Waktu antara Door-to-balloon dan Door-to-needle kurang dari 1 jam
Risiko tinggi STEMI
Syok kardiogenik
Kelas Killip 3
Indikasi kontra untuk fibrinolisis, termasuk peningkatan risiko perdarahan dan
perdarahan intracranial
Pasien datang lebih dari 3 jam setelah awitan gejala
Diagnosis STEMI masih ragu-ragu

Tabel 2. Indikasi Kontra Terapi Fibrinolitik6

Indikasi Kontra Absolut Indikasi Kontra Relatif


Stroke hemoragik atau stroke yang Transient Ischaemic Attack (TIA) dalam 6
penyebabnya belum diketahui, dengan awitan bulan terakhir
kapanpun
Stroke iskemik dengan awitan 6 bulan Pemakaian antikoagulan oral
terakhir
Kerusakan system saraf sentral dan Kehamilan atau 1 minggu post partum
neoplasma
Trauma operasi/trauma kepala yang berat Tempat tusukan yang tidak dapat dikompresi

32
dalam 3 minggu terakhir
Perdarahan saluran cerna dalam 1 bulan Resusitasi traumatic
terakhir
Penyakit perdarahan Hipertensi refrakter (tekanan darah sistolik >
180 mmHg)
Diseksi aorta Penyakit hati lanjut
Infeksi miokarditis
Ulkus peptikum yang aktif

Table 3. Regimen Trombolitik untuk Infark Miokard Akut6

Dosis Awal Koterapi Indikasi Kontra


Antitrombin Spesifik
Streptokinase (Sk) 1,5 juta unit dalam Heparin i.v selama Sebelum sk atau
100 mL. Dextrose 5 24-48 jam. anistreplase
% atau larutan salin
0,9% dalam waktu
30-60 menit
Ateplase (tPa) Bolus 15 mg Heparin i.v selama
intravena 0,75 mg/kg 24-48 jam.
selama 30 menit,
kemudian 0,5 mg/kg
selama 60 menit.
Dosis total tidak lebih
dari 100 mg.

Koterapi antikogulan6

1. Pasien yang mendapat terapi reperfusi fibrinolisis, sebaiknya diberikan terapi


antikoagulan selama minimum 48 jam dan lebih baik selama rawat inap, hingga
maksimum 8 hari (dianjurkan regimen non Unfractoned Heparin (UFH) bila lama terapi
lebih dari 48 jam karena risiko heparin-induced thrombocytopenia dengan terapi UFH
berkepanjangan
2. Pasien STEMI yang tidak mendapat terapi reperfusi, dapat diberikan terapi antikoagulan
(regimen non-UFH) selama rawat inap, hingga maksimum 8 hari pemberian

33
3. Strategi lain yang digunakan adalah meliputi Low Molecular Weight Heparin (LMWH)
atau fondaparinuks dengan regimen dosis sama dengan pasien yang mendapat terapi
fibrinolisis.
4. Pasien yang menjalani IKP Primer setelah mendapatkan antikoagulan berikut ini
merupakan rekomendasi dosis:
Bila telah diberikan UFH, berikan bolus UFH tambahan sesuai kebutuhan untuk
mendukung prosedur, dengan pertimbangan GP IIb/IIIA telah diberikan
Bila telah diberikan enoksaparin, dosis subkutan terakhir diberikan dalam 8 jam,
tak perlu dosis tambahan, bila dosis subkutan terakhir antara 8-12 jam, maka
ditambahkan enoxapain intravena 0,3 mg/kg
Bila telah diberikan fondaparinuks, diberikan antikoagulan tambahan dengan
aktivitas anti IIa dengan pertimbangan telah diberikan GP IIb/ IIIa
5. Karena adanya risiko trombosis kateter, fondaparinuks tidak dianjurkan digunakan
sebagai antikoagulan tunggal pendukung IKP, sebaiknya ditambahkan antikoagulan lain
dengan aktivitas anti IIa

C. TERAPI JANGKA PANJANG

Mengingat sifat PJK sebagai penyakit kronis dan risiko tinggi bagi pasien yang telah
pulih dari STEMI untuk mengalami kejadian kardiovaskular selanjutnya dan kematian prematur,
perlu dilakukan berbagai intervensi untuk meningkatkan prognosis pasien. Dalam penanganan
jangka panjang ini peran dokter umum lebih besar, namun ada baiknya intervensi ini ditanamkan
dari saat pasien dirawat di rumah sakit, misalnya dengan mengajarkan perubahan gaya hidup
sebelum pasien dipulangkan6.

Terapi jangka panjang yang disarankan setelah pasien pulih dari STEMI adalah6:

1. Kendalikan faktor risiko seperti hipertensi, diabetes, dan terutama merokok, dengan ketat
2. Terapi antiplatelet dengan aspirin dosis rendah (75-100 mg) diindikasikan tanpa henti
3. DAPT (aspirin dengan penghambat reseptor ADP) diindikasikan hingga 12 bulan setelah
STEMI

34
4. Pengobatan oral dengan penyekat beta diindikasikan untuk pasien-pasien dengan gagal
ginjal atau disfungsi ventrikel kiri
5. Profil lipid puasa harus didapatkan pada setiap pasien STEMI sesegera mungkin sejak
datang
6. Statin dosis tinggi perlu diberikan atau dilanjutkan segera setelah pasien masuk rumah
sakit bila tidak ada indikasi kontra atau riwayat intoleransi, tanpa memandang nilai
kolesterol inisial
7. ACE-I diindikasikan sejak 24 jam untuk pasien-pasien STEMI dengan gagal ginjal,
disfungsi sistolik ventrikel kiri, diabetes, atau infark aterior (Kelas I-A). Sebagai
alternatif dari ACE-I, ARB dapat digunakan.
8. Antagonis aldosteron diindikasikan bila fraksi ejeksi 40% atau terdapat gagal ginjal atau
diabetes, bila tidak ada gagal ginjal atau hiperkalemia.
D. KOMPLIKASI STEMI6
Gangguan hemodinamik
a. Gagal jantung
b. Hipotensi
c. Kongesti paru
d. Keadaan output rendah
e. Syok kardiogenik
f. Aritmia dan gangguan konduksi dalam fase akut
g. Aritmia supraventrikuler
h. Aritmia ventrikuler
i. Sinus bradikardia dan blok jantung
Komplikasi kardiak
a. Regurgitasi katup mitral
b. Ruptur jantung
c. Ruptur septum ventrikel
d. Infark ventrikel kanan
e. Pericarditis
f. Aneurisma ventrikel kiri
g. Thrombus ventrikel kiri

35
DAFTAR PUSTAKA

1. Europian Society of Cardiology. 2015. 2015 ESC guidelines for the management of
Acute Coronary Syndromes in patients presenting without persistent ST segment
elevation. European Heart Journal Advance Access published August 29, 2015.
2. Alwi, I. 2014. Infark Miokard Akut dengan Elevasi ST. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jilid II, Edisi 6: 1741-56. Jakarta: Interna Publishing.
3. Trihono. Riset Kesehatan Dasar Riskesdas 2013. BPPK Kemenkes RI. 2013.
4. American Heart Association. 2013 ACCF/AHA Guideline for the Management of ST-
Elevation Myocardial Infarction. Journal of The American Heart Association. 2012:1-57
5. Alwi, I. 2009. Infark Miokard Akut dengan Elevasi ST. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jilid II, Edisi V: 1741-54. Jakarta: Interna Publishing.
6. PERKI. Pedoman Tatalaksana Sindrom Koroner Akut. Pedoman Perhimpunan Dokter
Spesialis Kardiovaskular Indonesia. PERKI 2015
7. Roffi, M. 2015. 2015 ESC Guidelines for the Management of Acute Coronary Syndromes
in Patients Presenting Without Persistent ST-Segment Elevation. Europian Heart Journal.
2015:1-59.

36

Anda mungkin juga menyukai