Anda di halaman 1dari 61

Asimetri dental dan wajah

Surwandi Walianto
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar

ABSTRACT
Orthodontic treatment has been associated with dental and facial esthetics. In orthodontic diagnosis and
treatment planning, it is important to recognize asymmetry. Undiagnosed asymmetry may cause treatment time to
be prolonged due to in change in treatment plan. The cause of facial asymmetry fall into three main categories:
trauma related, development defect, or pathology. Asymmetry can be classified into dental, skeletal, muscular,
functional, or combination. In diagnosing facial and dental asymmetry, clinical examination and radiographic
assessment are necessary to determine the extent of the soft tissue, skeletal and muscle involvement. Clinical
evaluation is most important in the diagnosis of asymmetry to assess optimal relationship between dental and
skeletal. It is necessary to supplemented diagnostic records by photographs, PA radiograps, study models, face-
bow transfers.

Key words: asymmetry, dental, facial.

Korespondensi: Surwandi Walianto, Bagian Ortodonsia. Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati
Denpasar, Jl. Kamboja 11A, Denpasar, Telp. (0361) 7424079, 7642701, Fax.(0361) 261278

PENDAHULUAN
Saat merawat pasien ortodontik, sering ditemukan adanya ketidaksimetrisan pada dental atau wajah dari
penderita yang merupakan keluhan dari pasien, maupun yang tidak disadari oleh pasien yang datang. Perawatan
ortodontik adalah perawatan yang berhubungan dengan estetika dental dan wajah, oleh karenanya pada saat
mendiagnosis dan membuat rencana perawatan harus diketahui adanya asimetri pada dental dan wajah sehingga
didapatkan hasil perawatan yang simetris dengan berimpitnya garis tengah dental rahang atas dan rahang bawah
serta garis tengah wajah. Hal ini penting karena pasien datang ke dokter gigi adalah untuk memperbaiki susunan
gigi atau penampilan wajahnya. Bila saat melakukan perawatan ortodontik kita tidak menyadari adanya asimetri,
akan membuat jangka waktu perawatan menjadi lebih lama karena harus melakukan perubahan pada rencana
perawatan.
Relasi oklusi asimetri dapat diakibatkan oleh asimetri pada lengkung gigi atau asimetri relasi skeletal
antara maksila dan mandibula. Bila dilakukan pengamatan yang teliti pada wajah, dapat ditemukan beberapa
tingkatan asimetri pada seluruh wajah. Asimetri terutama terlihat pada jaringan lunak, dan jaringan keras
mempunyai peran yang besar terjadinya asimetri. Banyak metode digunakan untuk mengidentifikasi dan menilai
besarnya asimetri, termasuk evaluasi proporsi vertikal dan horisontal wajah dengan menggunakan foto wajah,
analisis radiografik atau pemeriksaan klinis secara langsung.1

ASIMETRI
Kesimetrisan adalah adanya kesesuaian ukuran, bentuk dan susunan pada bidang, titik atau garis pada
sisi yang lain. Faktor-faktor yang mempengaruhi ketidaksimetrisan/asimetri dentofasial adalah kompleks yaitu
tidak terbatas pada gigi dan prosesus alveolaris saja, tetapi juga seluruh komponen wajah dan seluruh struktur di
sekitar gigi. Asimetri dentofasial kompleks dapat terjadi unilateral atau bilateral, jurusan anteroposterior,
superoinferior dan mediolateral. Asimetri wajah dapat terjadi pada individu dengan oklusi yang baik, sedangkan
asimetri dental dapat terjadi individu dengan wajah yang simetri, dan keduanya dapat pula terjadi pada individu
yang sama.2
Untuk menentukan wajah seseorang asimetri atau tidak seimbang, pertama-tama harus diketahui konsep
wajah yang simetri dan seimbang. Pada Gambar 1 terlihat gambaran wajah seorang wanita yang simetris dan
seimbang. Garis A adalah garis tengah wajah yang membagi wajah menjadi dua bagian sama besar, garis B
merupakan garis vertikal dari pupil ke sudut mulut, garis C membagi wajah secara horisontal menjadi tiga bagian
sama besar, dan garis D membagi jarak vertikal dasar hidung ke dagu paling bawah menjadi 1/3 bagian atas dan
2/3 bagian bawah. Wajah wanita ini juga memenuhi kriteria lebar wajah yang sempurna menurut orang Yunani
kuno yaitu lima kali lebar mata yang ditunjukkan oleh garis E.3

Gambarnya di scan.......

Gambar 1. Proporsi wajah yang simetris dan seimbang.3 A. Garis tengah wajah; B. Garis vertikal dari pupil ke sudut mulut; C. Garis
membagi wajah vertikal menjadi tiga bagian; D. Garis membagi jarak dasar hidung ke dasar dagu menjadi 1/3 atas dan 2/3
bawah; E. Garis membagi lebar wajah menjadi lima bagian

PREVALENSI
Penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat untuk mengetahui prevalensi asimetri pada remaja yang
dirawat ortodontik, memperlihatkan hasil bahwa asimetri yang terbanyak adalah deviasi garis tengah mandibula
terhadap wajah (62%), diikuti tidak berimpitnya garis tengah kedua rahang (46%), deviasi garis tengah rahang
atas terhadap garis tengah wajah (47% pada geligi campuran dan 33% pada geligi permanen), asimetri gigi molar
kiri dan kanan pada bidang anteroposterior (22%), asimetri oklusal rahang atas (20%) dan asimetri oklusal rahang
bawah (18%).4 Hal ini memperlihatkan bahwa asimetri merupakan hal yang sering ditemui pada kasus-kasus
ortodontik.
Sedangkan prevalensi pada remaja yang tidak dirawat ortodontik memperlihatkan hasil sebagai berikut :
asimetri molar (30%), garis tengah yang tidak berimpit ( 21%), wajah yang asimetris (12%) dan terlihat
hubungan yang bermakna secara statistisk antara asimetri molar dengan asimetri wajah, garis tengah yang
berimpit, dan ras.4

ETIOLOGI
Penyebab dari asimetri tersebut sangat beragam dan berbeda pada tiap individu. Pada beberapa pasien
disebabkan karena erupsi gigi yang tidak normal, gigi sulung yang tanggal terlalu dini, atau akibat pencabutan
gigi permanen. Pada pasien yang lain dapat disebabkan kelainan skeletal yang meliputi maksila atau mandibula.5
Meskipun penyebabnya sangat beragam, kelainan-kelainan tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori
yaitu defek perkembangan, trauma, patologi.6

ASIMETRI WAJAH
Asimetri wajah merupakan ketidakseimbangan yang terjadi pada bagian yang homolog pada wajah
dalam hal ukuran, bentuk dan posisi pada sisi kiri dan kanan. Karena wajah yang asimetri sering disertai
ketidaksimetrisan dental, maka keadaan ini merupakan hal yang perlu diperhatikan dalam merawat suatu
maloklusi. Dalam mendiagnosis harus diketahui bahwa asimetri wajah merupakan fenomena alami dan bukanlah
merupakan hal yang abnormal. Asimetri keseluruhan struktur wajah dapat dideteksi dengan cara membandingkan
bagian yang homolog pada sisi sebelah dari wajah yang sama, distorsi pola pertumbuhan karena luka atau
penyakit dapat menimbulkan asimetri yang parah, ketidaksimetrisan struktur wajah tidak mutlak dapat dirawat
dengan perawatan ortodontik.2
Pada penelitian yang dilakukan pada individu dengan wajah yang secara estetik tampak menyenangkan
ternyata mempunyai struktur wajah yang asimetri pada pemeriksaan dengan posteroanterior sefalogram.7
Asimetri dentofasial terbanyak terjadi pada mandibula karena didukung jaringan lunak bagian bawah lebih
banyak, sedangkan maksila lebih sedikit terjadi asimetri karena jaringan lunak sekitarnya lebih sedikit. Asimetri
pada maksila biasanya merupakan akibat dari pertumbuhan mandibula yang asimetri. Asimetri dapat
diklasifikasikan sebagai dental, skeletal, otot dan fungsional.8

ASIMETRI DENTAL
Asimetri dental dapat terjadi karena ketidakseimbangan antara jumlah gigi dengan lengkung gigi yang
tersedia, ketidakseimbangan antara jumlah gigi rahang atas dan bawah pada segmen yang sama,
ketidakseimbangan antara lengkung gigi rahang atas dan bawah secara keseluruhan atau sebagian.2 Deviasi garis
tengah merupakan hal yang umum dan sering ditemui oleh ortodontis. Hal ini terdapat pada seluruh tipe kasus
tapi yang paling sering adalah pada maloklusi klas II. Penyebab deviasi garis tengah dapat berupa: gigitan silang
posterior karena pergeseran mandibula, pergerakan gigi anterior atas atau bawah, pergeseran ke lateral mandibula
(tidak terdapat gigitan silang), asimetri lengkung gigi, atau kombinasi keempat faktor diatas.9

DIAGNOSIS
Langkah pertama dalam mendiagnosis adalah menentukan ketidaksimetrisan yang terjadi akibat kelainan
skeletal atau dental. Untuk mendiagnosis asimetri dental atau skeletal, dapat dilakukan dengan pemeriksaan klinis
dan radiografik yang menyeluruh pada skeletal, gigi, fungsional dan pola jaringan lunak wajah.5,10

A. Pemeriksaan Klinis
1).Pemeriksaan kesimetrisan wajah pada pasien dengan posisi natural head, mandibula dalam keadaan relasi
sentrik, dan jaringan lunak dalam keadaan istirahat.8 Pasien duduk di kursi dan pemeriksa berdiri tepat di
depannya. Langkah pertama adalah membuat garis tengah wajah, dapat dilakukan dengan bantuan dental
floss yang ditarik pada bidang sagital mulai dari atas kepala sampai bagian terbawah dari dagu. Garis yang
terbentuk membagi dua alis mata, mata, zygoma, lubang hidung, bibir, philtrum, sudut gonial.11;
2).Evaluasi garis tengah dental pada posisi mulut terbuka, relasi sentrik, kontak dini, oklusi sentrik.5;
3).Evaluasi pergeseran anteroposterior unilateral: kelainan yang terjadi karena perbedaan dalam ukuran,
bentuk, posisi dari kedua sisi wajah dalam jurusan anteroposterior horisontal. Gambar 2 memperlihatkan
pandangan frontal dan lateral pasien dengan kelainan asimetri karena pergeseran posterior unilateral.
Pandangan inferior memperlihatkan jarak sudut gonial kanan ke ujung dagu pasien lebih pendek
dibandingkan sisi kiri. Pada pemeriksaan maksila, tidak tampak adanya perbedaan panjang maksila kiri dan
kanan. Relasi oklusi gigi memperlihatkan relasi molar Klas I Angle pada sisi kanan, dan Klas II Angle pada
sisi kiri. Relasi ini tetap saat posisi istirahat. Pada pandangan oklusal, gigi molar kanan dan kiri tidak
memperlihatkan perbedaan antero- posterior, sedangkan pada mandibula, terlihat gigi molar permanen
pertama, gigi molar sulung pertama, kedua dan kaninus sulung lebih ke anterior dibandingkan sisi kiri.12

Gambar 2. Asimetri yang disebabkan oleh pergeseran


posterior unilateral mandibula sebelah kiri.12

4). Evaluasi pergeseran vertikal : asimetri yang diakibatkan perbedaan tinggi dalam ukuran, bentuk, posisi
bagianbagian dentofasial pada kedua sisi wajah. Gambar 3 memperlihatkan pasien dengan gigi dan bibir
dalam keadaan berkontak. Garis terputusputus menggambarkan ramus mandibula sebelah kanan lebih tinggi
dibandingkan sebelah kiri. Gambaran intra oral memperlihatkan pengaruh asimetri terhadap bidang oklusal.
Pada sisi kanan pasien, terlihat bagian maksila lebih besar dan ramus mandibula lebih panjang, bidang
oklusalnya lebih rendah. Pada sisi kiri, maksila lebih kecil, ramus mandibula lebih kecil, dan bidang oklusal
lebih tinggi.

Gambar 3. Asimetri karena pergeseran vertical.12

Pasien dengan pergeseran dalam jurusan vertikal (Gambar 4), terlihat mata kiri lebih tinggi
dibandingkan mata kanan. Tulang pipi dan telinga sebelah kiri juga tampak lebih tinggi dibandingkan yang
kanan. Maksila sebelah kiri lebih besar dibandingkan yang kanan, dan ramus sebelah kiri lebih panjang
dibandingkan sebelah kanan. Gambaran oklusi intra oral memperlihatkan perbedaan tinggi bidang oklusi pada
sisi kiri dan kanan.12

Gambar 4. Gambaran klinis asimetri karena pergeseran


vertikal.12

5). Evaluasi pergeseran dalam jurusan lateral: merupakan asimetri yang diakibatkan adanya perbedaan pada
jurusan lateral horisontal dalam ukuran, bentuk, posisi bagianbagian dentofasial pada sisi kiri dibandingkan
dengan yang kanan. Pasien dengan kelainan ini (Gambar 5), pada pandangan inferior terlihat ujung dagu
bergeser ke arah kanan terhadap bidang tengah sagital. Mata kiri tampak lebih tinggi. Muka bagian bawah
memperlihatkan sudut gonial kanan lebih ke lateral terhadap bidang tengah sagital dibandingkan sisi kiri.
Telinga sebelah kanan lebih posterior dibandingkan dengan sisi lawannya. Intra oral memperlihatkan gigitan
silang pada gigi molar permanen , molar sulung dan kaninus sulung. Pada sisi kiri terlihat perkembangan yang
normal. Garis tengah dental mandibula yang bergeser ke kanan saat oklusi dan relasi bukolingual yang
merupakan gigitan silang, tetap dalam posisi tersebut saat posisi istirahat.12
Gambar 5. Asimetri karena pergeseran horizontal.12

6). Evaluasi pergeseran rotasi: pergeseran rotasi adalah suatu asimetri yang disebabkan pergeseran seluruh bagian
maksila atau mandibula. Pada Gambar 6 terlihat seorang wanita dengan pergeseran rotasi pada mandibula dan
pergeseran anterior unilateral pada maksila kiri. Pergeseran rotasi pada mandibula dilihat pada pandangan
inferior mandibula. Ujung dagu dan sudut gonial menentukan adanya rotasi pada mandibula. Pada kelainan
tersebut, seluruh mandibula berputar ke arah kanan akibatnya sudut gonial kiri lebih ke anterior dari sebelah
kanan, dagu akan tampak lebih ke kanan terhadap bidang tengah sagital.12

Gambar 6. Pergeseran berputar keseluruhan mandibula ke


kanan, dan pergeseran ke anterior maksila kiri.12

B. Pemeriksaan radiografik
1). Panoramik radiografik: pemeriksaan ini berguna untuk melihat gigi dan struktur tulang, bentuk kondil dan
ramus mandibula kiri dan kanan dapat diperbandingkan.10;
2). Posterior-anterior sefalogram: teknik ini sangat berguna untuk mempelajari struktur bagian kiri dan kanan
wajah, dapat digunakan dengan oklusi sentrik maupun dengan mulut terbuka untuk melihat adanya deviasi
fungsional.10;
3). Submental vertex radiografik: melihat asimetri pada mandibula, zygoma, zygomatic arches.8

DISKUSI
Asimetri dental dan wajah secara struktural dapat diklasifikasikan sebagai kelainan dental, skeletal, otot,
dan fungsional. Asimetri dental dapat disebabkan oleh kehilangan gigi sulung secara dini, kehilangan gigi secara
kongenital, kebiasaan jelek seperti mengisap ibu jari, dan bentuk lengkung gigi yang tidak simetris. Asimetri
skeletal dapat pula disebabkan oleh kelainan pada maksila atau mandibula atau meliputi kedua rahang. Kelainan
hemifasial atrophy dan cerebral palsy dapat menyebabkan asimetri wajah dan dental karena pengaruh otot-otot
yang terlibat. Asimetri karena fungsional biasanya disebabkan oleh karena adanya gangguan yang menghalangi
terjadinya intercuspation yang benar pada relasi sentrik. Penyebabnya dapat berupa kontriksi rahang atas atau
posisi gigi yang salah. Hal-hal tersebut dapat menyebabkan kontak dini saat relasi sentrik yang mengakibatkan
terjadinya pergeseran mandibula.10
Kelainan-kelainan tersebut di atas dapat terjadi secara bersamaan, sehingga kita harus dapat
mendiagnosis dengan benar supaya dapat membuat rencana perawatan yang tepat. Diagnosis adanya asimetri
pada dental dan wajah dapat dilakukan dengan pemeriksaan klinis, pemeriksaan radiografik atau dapat pula
dengan menggunakan foto pasien. Teknik pemeriksaan tersebut mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-
masing. Radiografik Panoramik mempunyai kelemahan yaitu distorsi geometrik karena karakteristik dari
proyeksinya membuat pembesaran yang terjadi tidak merata. Posterior-anterior sefalogram mempunyai
keuntungan dibandingkan panoramik yaitu pembesarannya lebih merata karena jaraknya dari sumber sinar relatif
sama, lebih akurat membandingkan bagian kiri dan kanan wajah karena dapat dibuat garis tengah wajah dan gigi-
geligi. 10 Pemeriksaan menggunakan foto dan radiografik tidaklah sebaik pemeriksaan klinis karena mereka
mempresentasikan rekaman yang statis pada satu posisi saat gambar tersebut dibuat. Jika pasien salah dalam
posisi mandibula atau posisi kepala miring akan menyebabkan foto atau posterior-anterior sefalogram tidak
akurat.11
Analisis frontal sefalogram dalam pelaksanaannya sulit mendapatkan postur kepala yang tepat, dan
terjadinya superimpos juga menyebabkan kesulitan dalam identifikasi landmark. Akan tetapi posterior-anterior
sefalogram mempunyai kelebihan yaitu dapat mengukur bermacam-macam lebar dental dan skeletal serta
asimetri skeletal.13 Pemeriksaan secara klinis sangat penting dalam mendiagnosis asimetri karena bisa memeriksa
pasien dalam relasi sentrik, oklusi sentrik, dan dapat dilakukan penyesuaian pada saat itu juga bila posisi pasien
tidak benar. Pemeriksaan klinis memerlukan pemeriksaan tambahan seperti foto, model, facebow transfer, agar
lebih akurat.8,10
Asimetri wajah dan dental dapat disebabkan karena kelainan pada struktur dental, skeletal, otot, dan
fungsional, serta dapat terjadi secara bersama-sama pada individu yang sama. Oleh sebab itu dalam mendiagnosis
asimetri dental dan wajah memerlukan pemeriksaan yang teliti dan hati-hati. Pemeriksaan klinis memegang
peranan yang sangat penting dalam mendiagnosis asimetri dental dan wajah pada pasien ortodontik karena posisi
pasien dapat diatur dan disesuaikan pada posisi yang benar. Untuk mendapatkan hasil yang akurat diperlukan
juga pemeriksaan lain seperti posterior anterior sefalogram, panoramik dan submental vertex radiografik untuk
menganalis kelainan skeletalnya, sedangkan model dan facebow transfer untuk melihat oklusi di luar mulut pada
model.

DAFTAR PUSTAKA
1. Kronmiller JE. Development of asymmetries. Semin Orthod 1998; 4(3): 134.
2. Fischer B. Asymmetries of the dentofacial complex. Angle Orthod 1954; 24(4): 79-183.
3. Goldstein RE. Change your smile. 3ed. HongKong: Quintessence Publishing. 1997: 4-5.
4. Sheats RD, McCorray SP, Musmar Q, Wheeler TT, King GJ. Prevalence of orthodontic asymmetries. Semin
Orthod 1998; 4(3):144.
5. Burstone CJ. Diagnosis and treatment planning of patient with asymmetries. Semin Orthod 1998; 4(3): 153.
6. Burke PH. Serial observation of asymmetry in the growing face. Br J Orthod 1992; 19(4): 273.
7. Peck S, Peck L, Kataja, M. Skeletal asymmetry in esthetically pleasing faces. Angle Orthod 1991; 61(1): 47.
8. Legan HL. Surgical correction of patients with asymmetris. Semin Orthod 1998; 4(3): 190-3.
9. Lewis PD. The deviated midline. Am J Orthod 1976; 70(6): 601.
10. Bishara SE, Burkey PS, Kharouf JG. Dental and facial asymmetries: a review. Angle Orthod 1994; 64(2): 92-
5.
11. Margolis MJ. Esthetic consideration in orthodontic treatment of adult. Dent Clin North Am 1997; 41(1):31-4.
12. Cheney EA. Dentofacial asymmetries and their clinical significance. Am J Orthod 1961; 47(11): 814-25.
13. Grummon DC, van de Coppelo MAK. A Frontal asymmetry analysis. J Clin Orthod 1987; 21(7): 448.
Perawatan gigitan silang posterior dengan rapid maxillary expansion
Dwis Syahrul, Wiwekowati dan Ursula Lucia Tjandra
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar

ABSTRAK
Gigitan silang posterior biasanya terjadi akibat penyempitan maksila bilateral, yang dapat
disebabkan oleh faktor genetik ataupun kebiasaan buruk mengisap ibu jari. Salah satu cara mengoreksi
kelainan ini dapat dilakukan dengan ekspansi maksila untuk membuka sutura palatina mediana
menggunakan teknik Rapid Maxillary Expansion (RME). Alat RME berupa alat cekat yang didesain kaku
dan kuat, pada umumnya berupa sekrup, dengan band yang disemen pada gigi molar pertama dan gigi
premolar pertama atau molar pertama sulung. Alat ini dapat menghasilkan pelebaran pada sutura palatina
mediana dalam waktu yang cepat dan dengan kekuatan yang besar. Tahap perawatan RME meliputi tahap
aktivasi, stabilisasi dan retensi.

Kata kunci: gigitan silang posterior, rapid maxillary expansion.

Korespondensi: Dwis Syahrul, Bagian Ortodonsia Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati
Denpasar, Jl. Kamboja 11A Denpasar, Telp. (0361) 7424079, 7462701, Fax. (0361) 261278

PENDAHULUAN
Gigitan silang posterior merupakan salah satu jenis maloklusi yang sering ditemukan. Beberapa
penyebab terjadinya gigitan silang posterior antara lain adalah persistensi, kebiasaan mengisap ibu jari,
bernafas lewat mulut, defisiensi maksila akibat genetik, maupun tekanan postural pada daerah dentofasial. 1,2,3
Pada anak-anak, perawatan gigitan silang posterior harus dilakukan sedini mungkin sebelum masa
pertumbuhan selesai.1 Gigitan silang posterior pada fase gigi sulung atau gigi pergantian yang tidak dirawat
akan tetap melanjut pada fase gigi permanen4 dan mengakibatkan gangguan perkembangan artikulasi
temporomandibula dan asimetri wajah.5 Salah satu jenis gigitan silang posterior adalah tipe skeletal.6
Perawatan untuk memperbaiki gigitan silang skeletal adalah dengan ekspansi maksila secara ortopedik, yang
dapat dilakukan dengan teknik Rapid Maxillary Expansion (RME).2
Teknik RME pertama kali diperkenalkan oleh Angell pada tahun 1860.7,8 Teknik ini semakin
populer setelah dipublikasikan oleh Haas pada tahun 1961.9 Keuntungan yang diperoleh dari mengoreksi
gigitan silang posterior dengan ekspansi maksila adalah terjadinya pelebaran jalan nafas melalui hidung,
perkembangan TMJ yang sehat, dan pertumbuhan mandibula yang lebih baik.1

GIGITAN SILANG POSTERIOR


Gigitan silang posterior adalah hubungan bukolingual yang abnormal antara satu atau lebih gigi
rahang atas dengan satu atau lebih gigi rahang bawah, ketika kedua rahang berada dalam relasi sentrik.1,6
Variasi hubungan bukolingual gigi posterior yang dapat terjadi adalah gigitan silang bukal dan gigitan
silang lingual. Gigitan silang lingual lebih sering ditemukan daripada gigitan silang bukal.2,6 Gigitan silang
lingual adalah satu atau beberapa gigi atas berada di sebelah lingual dari gigi bawah, sedangkan gigitan
silang bukal adalah tonjol lingual gigi posterior atas seluruhnya berada di sebelah bukal tonjol bukal gigi
bawah (gambar 1).

Bukal Lingual

Gambar 1. Hubungan transversal gigi molar pertama.


A. Hubungan buko-lingual molar yang normal;
B. Gigitan silang bukal; C. Gigitan silang lingual;
D. Gigitan silang lingual total (Moyers 1973).

Gigitan silang posterior bisa melibatkan satu gigi atas dan satu gigi bawah ataupun melibatkan
seluruh gigi posterior pada satu sisi atau kedua sisi pada kedua rahang. Jumlah gigi yang terlibat
menunjukkan tingkat keparahan kelainan yang terjadi. Jumlah gigi yang sedikit biasanya dihubungkan
dengan tingkat keparahan yang lebih rendah dan sebaliknya.2

1
Dari pengamatan saat oklusi sentrik, gigitan silang posterior dapat dibedakan menjadi dua kategori
yaitu unilateral dan bilateral.2,6,10 Gigitan silang posterior unilateral biasanya disebabkan oleh lengkung
rahang atas yang sedikit lebih sempit daripada lengkung rahang bawah.10 Pada kondisi ini, seringkali terjadi
penyimpangan mandibula ke arah lateral pada saat menutup2,7,11,12, sehingga terjadi pergeseran garis median
mandibula ke sisi rahang yang mengalami gigitan silang.12 Adanya penyimpangan fungsional mandibula ke
arah lateral tersebut menunjukkan bahwa gigitan silang posterior yang terjadi sebenarnya adalah gigitan
silang posterior bilateral. Gigitan silang posterior unilateral yang tidak disertai penyimpangan fungsional
mandibula saat menutup dari relasi sentrik ke oklusi sentrik adalah gigitan silang posterior unilateral sejati.2
Gigitan silang posterior bilateral adalah suatu gigitan silang posterior yang terjadi simetris pada sisi
kiri dan kanan. Biasanya disebabkan oleh lengkung basal rahang atas lebih sempit daripada lengkung rahang
bawah. Lintasan penutupan mandibula dari istirahat ke keadaan oklusi tidak disertai penyimpangan ke arah
lateral sehingga juga tidak disertai adanya pergeseran garis median.10,11
Gigitan silang posterior dapat juga diklasifikasikan menjadi 3 tipe, yaitu tipe dental, muskuler,
dan skeletal.6,11 Pada tipe dental, terjadi tipping lokal pada satu atau beberapa gigi. Gigitan silang yang
terjadi tidak berhubungan dengan ukuran atau bentuk tulang basal dan biasanya disertai penyimpangan
fungsional mandibula untuk mencapai oklusi sentrik. Pada tipe muskuler/fungsional, terjadi posisi adaptif
muskuler dari mandibula akibat adanya hambatan oklusal. Tipe ini mempunyai gambaran klinis yang mirip
dengan tipe dental, tetapi gigi tidak tipping pada tulang alveolar. Penyesuaian muskuler lebih berperan
daripada malposisi gigi. Tipe skeletal disebabkan oleh perkembangan tulang maksila atau mandibula yang
asimetris, ataupun akibat disharmoni lebar lengkung maksila dan mandibula.
Etiologi gigitan silang posterior bermacam-macam sesuai dengan tipenya. Gigitan silang posterior
tipe dental seringkali disebabkan oleh kurangnya ruang pada lengkung gigi.11 Bisa juga disebabkan oleh
adanya persistensi gigi molar sulung, yang membelokkan arah erupsi premolar sehingga lebih ke bukal atau
ke lingual.6 Gigitan silang posterior tipe muskuler terjadi karena adanya penyimpangan fungsional
mandibula ke lateral pada saat oklusi sentrik,2 gigi berdesakan, dan erupsi gigi yang tidak teratur.10 Pada tipe
skeletal, terjadi karena pertumbuhan tulang maksila atau mandibula yang asimetris. Penyebabnya adalah
keturunan ataupun trauma yang mengganggu perkembangan normal pada sisi rahang yang terkena trauma.
Disharmoni lengkung maksila dan mandibula biasanya akibat adanya penyempitan maksila bilateral.
Penyempitan maksila bisa terjadi oleh karena faktor genetik, kebiasaan mengisap ibu jari dan bernafas
melalui mulut.6
Secara umum, etiologi, klasifikasi dan usia pasien merupakan faktor yang saling berkaitan dalam
menentukan perawatan maloklusi.13 Perawatan yang dilakukan pada gigitan silang posterior tipe dental
adalah mendapatkan ruang pada lengkung geligi. Caranya dengan ekspansi ataupun stripping interproksimal,
sehingga gigi dapat kembali ke posisi yang benar11. Cara tersebut dapat dikombinasikan dengan penggunaan
elastik ataupun dengan pegas yang ditanam pada plat akrilik.6
Gigitan silang posterior tipe muskuler pada fase gigi sulung ataupun pergantian, dapat dikoreksi
dengan cara grinding oklusal. Pada fase gigi permanen, grinding oklusal cukup efektif, namun untuk
mencapai hasil yang lebih baik perlu dilakukan perawatan dengan alat.11 Perawatan gigitan silang posterior
akibat penyempitan maksila bilateral diperlukan ekspansi maksila. Pada kasus yang ringan, dapat digunakan
alat Hawley yang ditambahi sekrup ekspansi ataupun dengan quad helix, terutama bagi pasien muda dalam
fase gigi sulung dan pergantian.2 Pada kasus yang lebih berat, perawatan dilakukan dengan teknik RME.11
Gigitan silang posterior yang disebabkan oleh pertumbuhan asimetris tulang merupakan kasus yang
paling sulit dirawat.2,6 Pada gigitan silang unilateral sejati, bila dilakukan ekspansi maksila untuk melebarkan
lengkung atas secara bilateral, maka sisi rahang yang normal akan berubah menjadi gigitan silang bukal.
Perawatan yang lebih tepat pada kasus tersebut adalah dengan menggunakan cross elastik unilateral ataupun
dilakukan ekspansi unilateral dengan tindakan bedah.2

RAPID MAXILLARY EXPANSION


Rapid Maxillary Expansion (RME) atau Rapid Palatal Expansion adalah suatu prosedur ortopedik
untuk melebarkan maksila dengan cara membuka sutura palatina mediana.2 RME menggunakan alat cekat
dan kaku dengan retensi yang kuat, menghasilkan kekuatan lateral yang besar.2,14 Kekuatan yang dihasilkan
adalah sebesar 3-10 pon, atau setara dengan 1,5-5 kg.11 Kekuatan yang terjadi bukan ditujukan pada gigi,
tetapi pada sutura yang menghubungkan dua lengkung tulang palatum sehingga akan menyebabkan
terbelahnya sutura palatina dan dua lengkung maksila akan terpisah dengan cepat.14
Menurut Bishara (2001), RME dapat dilakukan pada keadaan-keadaan berikut:2 gigitan silang
posterior akibat penyempitan maksila, gigi berdesakan, palatum tinggi dan sempit, bila diperlukan ekspansi
sebesar 4-12 mm, pasien masih dalam masa pertumbuhan (sampai usia 16 tahun), penderita bernafas melalui
mulut dengan palatum tinggi dan sempit.15 RME merupakan kontra indikasi pada keadaan sebagai berikut:15

2
tidak kooperatif, gigitan terbuka dan bidang mandibula yang tinggi, rahang atau maksila yang asimetris,
inklinasi gigi molar ke arah bukal, disertai kelainan skeletal dengan indikasi perawatan bedah.
Alat-alat RME telah banyak mengalami perkembangan dan modifikasi hingga saat ini (gambar 2).
Beberapa tipe alat RME yang umum digunakan, yaitu:14 tipe Haas, menggunakan gabungan sekrup ekspansi
dan plat akrilik pada palatum. Di bagian lingual terdapat kawat yang disolder pada band yang dipasang pada
premolar pertama dan molar pertama. Desain ini memberikan tekanan yang lebih merata pada jaringan
palatum dan gigi; tipe Hyrax, adalah sekrup yang terbuat seluruhnya dari logam dengan 4 lengan disolder
pada band yang dipasang pada premolar pertama dan molar pertama; disertai dengan kawat lingual yang
menghubungkan kedua band; Bonded expander, sekrup ekspansi yang retensinya tidak menggunakan band
tetapi menggunakan akrilik yang menutupi gigi posterior dengan cara direkatkan pada permukaan bukal dan
lingual gigi; Two-banded RME, RME dengan menggunakan 2 gigi sebagai retensi. Digunakan bila menemui
kesulitan menempatkan band pada premolar.

a b c d

Gambar 2. Berbagai tipe alat RME. a. Tipe Haas; b. Tipe Hyrax; c. Bonded
expander; d. Two-banded expander (Accutech Orthodontic Lab 2004).17

Menurut Silverstein (2004), perlu beberapa tahap kunjungan pasien agar mendapatkan alat yang
sesuai dengan mulut pasien, yaitu:16 pada kunjungan pertama, dilakukan pemasangan separator pada gigi
yang akan dipasangi band; pada kunjungan kedua, mencoba band dan dilakukan pencetakan kemudian
dibuat model. Dari model dapat dibuat alat RME; pada kunjungan berikutnya, dilakukan pemasangan alat
RME dan pemberian instruksi pada pasien.
Perawatan dengan RME meliputi beberapa tahap, yaitu: aktivasi, dilakukan oleh pasien sendiri atau
orang tuanya dengan memutar sekrup 2 kali sehari selama 2 minggu, atau sesuai dengan ekspansi yang
dibutuhkan. Ekspansi yang dihasilkan adalah sebesar 0,5 mm/hari. Stabilisasi, alat dibiarkan dalam mulut
dalam keadaan tidak aktif selama 3 bulan, untuk menstabilkan hasil ekspansi yang telah dicapai. Retensi,
menggunakan Hawley Retainer atau alat lain yang sesuai setelah alat RME dilepas, untuk mencegah
terjadinya relaps.
Biasanya prosedur perawatan dengan RME tidak menimbulkan rasa sakit. Namun tekanan yang
timbul akibat terbukanya sekrup akan menyebabkan rasa gatal pada langit-langit mulut dan atau rasa tertekan
pada gigi.17 Tekanan seringkali terasa pada daerah frontal dan tulang nasal, juga dapat terasa pada daerah
zygomatik dan sutura zygomatico-temporal.13 Dalam praktek, mungkin ada beberapa variasi dan perbedaan
pada tiap-tiap pasien, dipengaruhi jenis alat yang digunakan, banyaknya aktivasi, lamanya waktu perawatan
atau besarnya ekspansi yang diperlukan.16 Pada saat RME dipasang, sekrup harus terletak tegak lurus
terhadap garis median dan paralel dengan bidang oklusal. Tanda panah pada sekrup diletakkan menghadap ke
posterior. Tanda panah tersebut menunjukkan arah aktivasi sekrup, yaitu ke arah posterior (gambar 3).14

a b c

Gambar 3. Bagian dari alat RME dan Cara aktivasinya. a. Sekrup ekspansi;
b. Kunci; c. Aktivasi alat (Silverstein 2004).

Besar aktivasi adalah putaran, yaitu sampai lubang berikutnya terlihat. Dilakukan sebanyak 3 kali
bertahap setiap 5 menit. Aktivasi berikutnya dilakukan oleh pasien sendiri atau orang tuanya, 2 kali sehari, di
pagi hari dan di malam hari.12 Setiap putaran menghasilkan pelebaran sekitar 0,25 mm. Jadi pelebaran yang
dihasilkan adalah sekitar 0,5 mm setiap hari. Pelebaran dilakukan sedikit berlebih sebagai kompensasi
terjadinya relaps.
Dalam masa aktivasi, timbul diastema sentral sebagai tanda terbukanya sutura palatina mediana.
Pada foto rontgen terlihat adanya daerah radiolusen berbentuk V. Tanda tersebut menunjukkan adanya

3
pembukaan sutura pada daerah anterior lebih banyak daripada posterior. Selama masa aktivasi, pasien
melakukan kunjungan ke dokter seminggu sekali (gambar 4).2

a. b.
Gambar 4. Foto rontgen pada perawatan RME; a. terbukanya
sutura palatina pada saat perawatan; b. terbentuk
tulang baru pada sutura palatina, 6 bulan setelah
perawatan (Stuart dan Wiltshire 2003).20

Aktivasi dilakukan selama kira-kira 2 minggu atau sampai besar ekspansi yang diperlukan tercapai,
yaitu sampai tonjol lingual gigi posterior rahang atas berkontak dengan tonjol bukal gigi posterior rahang
bawah. Sebelum alat dilepas, dilakukan foto roentgen untuk meyakinkan bahwa tulang yang baru telah
terbentuk.2 Setelah aktivasi selesai, alat dibiarkan berada di dalam mulut dalam keadaan tidak aktif selama 3
bulan. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan waktu bagi terbentuknya tulang pada ruang sutura palatina
yang membelah, di samping itu juga untuk menghilangkan pengaruh sisa-sisa kekuatan pada jaringan.
Diastema sentral yang terjadi dalam masa aktivasi akan menutup dengan bergeraknya insisif sentral ke arah
garis median. Sebelum alat dilepas, dilakukan foto roentgen untuk meyakinkan bahwa tulang yang baru telah
terbentuk. Setelah alat dilepas, dilanjutkan dengan pemakaian Hawley Retainer untuk mempertahankan hasil
ekspansi yang telah dicapai, atau dengan alat lain yang sesuai.2
Pada beberapa hari pertama pemakaian, pasien mungkin merasa tidak nyaman dan mengalami
kesulitan menelan dan berbicara, hal ini biasanya akan membaik dalam waktu 3-5 hari setelah pasien terbiasa
dengan adanya alat RME dalam mulutnya.18 RME berpengaruh pada struktur dentofasial dan mengakibatkan
perubahan skeletal, dental, dan alveolar.2 Pada saat ekspansi, tulang palatal tidak sepenuhnya bergerak secara
translasi ke arah lateral, tetapi mengalami rotasi atau pembengkokan ke arah bukal. Gigi posterior mengalami
rotasi dan tipping ke arah bukal serta juga mengalami ekstrusi.2 Pembengkokan tulang palatal dan tipping
gigi posterior ke arah bukal menyebabkan pergerakan mandibula ke bawah dan ke belakang, terjadinya
gigitan terbuka, dan bertambahnya dimensi vertikal wajah.19 Pemeriksaan pada model, didapati adanya
pelebaran jarak interkaninus dan intermolar; sedangkan pada pemeriksaan sefalogram postero-anterior dapat
dilihat adanya pelebaran maksila dan pelebaran rongga hidung. Pada pemeriksaan sefalometrik lateral,
terlihat adanya pergerakan maksila ke depan, pergerakan mandibula ke belakang dan pertambahan dimensi
vertikal.20 Selama pemakaian alat RME, pasien perlu menjaga kebersihan rongga mulut maupun alatnya
dengan cara menyikat gigi secara benar, menggunakan dental floss dan berkumur-kumur untuk
menghilangkan sisa-sisa makanan. Pasien tidak dianjurkan mengonsumsi makanan yang keras dan lengket.18
RME merupakan suatu alat cekat, kaku dan kuat, pada umumnya berupa sekrup dengan retensi pada
gigi molar dan premolar. Teknik RME dapat digunakan untuk mengoreksi gigitan silang posterior tipe
skeletal dengan penyempitan maksila bilateral yang menghasilkan ekspansi skeletal dengan cara membuka
sutura palatina mediana.

DAFTAR PUSTAKA
1. Echols M. Orthodontic crossbites and palatal constriction [Homepage of braceface], 2004. [Online].
Available from: http://www.braceface.com/info2.htm# crossbite. Accessed July 14, 2004.
2. Bishara SE. Textbook of orthodontics, Philadelphia: WB. Saunders Company. 2001: 83, 109-11, 160-1,
179, 226, 431, 435-37, 299-300.
3. Graber T M. Orthodontics: principles and practice, 3ed. Philadelphia: WB. Saunders Company. 1972:
848.
4. Allen D, Rebellato J, Sheats R, Ceron A M. Skeletal and dental contributions to posterior crossbites. The
Angle Orthodontist 2002; 73(5): 515-24.
5. Salzmann JA. Practice of orthodontics, volume one. Philadelphia: JB Lippincot Company. 1966: 251-87,
403-9.
6. Moyers RE. Handbooks of orthodontics for the student and general practitioner, 3ed. Chicago: Year Book
Medical Publisher. 1973: 243-44, 313, 532-33, 538-40.
7. Graber TM, Swain BF. Current orthodontic concepts and techniques. Philadelphia: WB. Saunders
Company. 1975: 55-9, 371.

4
8. Iseri H, zsoy S. Semirapid maxillary expansion-a study of long-term transverse effects in older
adolescents and adults. The Angle Orthodontist 2003; 74(1): 71-8.
9. Pearson LE, Pearson BL. Rapid maxillary expansion with incisor intrusion: a study of vertical control.
Am J Orthod Dentofacial Orthop 1999. 115(5): 576-82.
10. Foster TD. Buku ajar ortodonsi, Lilian Yuwono (penterjemah). 3ed. Jakarta: EGC; 1993: 30, 38, 156-7.
11. Dale BG, Aschheim KW. Esthetic dentistry: A Clinical Approach to techniques and materials.
Philadelphia: Lea & Febiger. 1993: 352-53.
12. Johns Dental Laboratories. Standard instructions for using rapid palatal expander [Home page of Johns
Dental Laboratories], 2004 [Online]. Available from: http://www.johnsdental.com/articles
/ortho/fixed/rpeadj.htm Accessed July 14, 2004.
13. Salzmann JA. Practice of orthodontics, 2ed. Philadelphia: JB Lippincot Company. 1966: 585, 932.
14. McOrmond A. Bonded Hyrax [Homepage of McO Dental], 2002 [Online]. Available from:
http://www.mcodental.com/articles/ bd-hyrax.htm Accessed Jan 5, 2005.
15. German Door DO. Fast expansion to maxilar. Report of a case. Colomb Med 2001; 32: 136-9.
16. Silverstein R. General information about the rapid palatal expander [Homepage of Dr Silverstein]. 2004
[Online]. Available from: http://www.orthonj. com/ rpe.html Accessed Jan 4 2005.
17. Fine M. RME (RPE) [Homepage of Martin Fine Orthodontics]. 2003 [Online]. Available from:
http://www.fine.com.au/ rme.asp. Accessed jan 4, 2005.
18. Arias F. The Rapid palatal expander appliance [Homepage of Dr. Arias pediatris dentistry of the treasure
coast], 1998, [Online]. Available from: http://www. drarias.com/LIBRARY/RPE.htm Accessed jan 4,
2005.
19. Doruk C, Bicakci AA, Basciftci FA, Agar U, Babacan H. A comparison of the effects of rapid maxillary
expansion and fan-type rapid maxillary expansion on dentofacial structures. The Angle Orthodontist
2003; 74(2): 184-94.
20. Sari Z, Uysal T, Usumez S, Basciftci FA. Rapid maxillary expansion. Is it better in the mixed or in the
permanent dentition? The Angle Orthodontist 2003; 73(6): 654-61.

5
Pengaruh konsentrasi asam fosfat dan waktu pengulasan terhadap kekuatan perlekatan
sealant pada gigi sulung
(Uji laboratoris kekuatan tarik)
Ni Putu Widani Astuti
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar

ABSTRACT
Pit and fissure sealant is one of the most effective efforts in preventing occlusal surface caries. Aim of
the in vitro research is conducted to obtain the effect of phosphoric acid concentration and time of application
towards tensile bond strength in primary teeth the sealant. Forty five primary molars were divided into 9 groups,
each group consisting of 5 molars. The surface of occlusal primary molars were applied variation of phosphoric
acid concentration 27%, 37% and 47%, prepared with time application set for 40 second, 60 second and 80
second. After eat process completed, helioseal (vivadent) was applied to the enamel surface and light cured for
20 seconds. Afterwards, it is soaked in aquadest solution and kept in the incubator for 24 hours at 37C before
treated on a tensile bond strength test. The result shows the lowest average bond tensile strength is obtained with
phosphoric acid 27% with 40 seconds application time ( 54.0640 kg/cm2), and the highest is obtained with
phosphoric acid 47% with 80 seconds application time ( 143.8840 kg/cm2 ). Statistic analysis with ANOVA
shows different significantly between variation of phosphoric acid concentration and application time toward
tensile bond strength test, LSD0,05 test result shows significant average tensile bond strength between groups (p<
0.05) except in the 27% 40 second, and the 27% 60 second, 27% 80 second and the 37% 40 second groups. Also,
the 47% 40 second group shows not different significantly (p< 0.05). The conclusion of the research on the effect
of phosphoric acid concentration an time of application toward sealant tensile bond strength on primary teeth
due different significantly ( p< 0.05 ).

Key words: Phosphoric acid, sealant, primary teeth

Korespondensi: Ni Putu Widani Astuti, Bagian Ilmu Kedokteran Gigi Anak, Fakultas Kedokteran Gigi
Universitas Mahasaraswati Denpasar, Jl. Kamboja 11A Denpasar, Telp. (0361) 7424079, 7642701, Fax. (0361)
261278

PENDAHULUAN
Karies gigi merupakan penyakit yang paling umum pada jaringan keras gigi manusia yang ditandai
dengan adanya kerusakan jaringan gigi, dimulai dari permukaan gigi yaitu pit, fisura, dan daerah interproksimal,
hingga meluas kearah pulpa.1 Permukaaan geligi posterior sulung dan permanen sering ditemukan adanya karies
karena morfologi pit dan fisura yang dinyatakan sebagai daerah yang ideal untuk terjadinya retensi sisa makanan
dan bakteri penyebab karies. Karies pit dan fisura pada anak umur 5 17 tahun di Amerika Serikat mencapai
84%.2,3
Fissure sealant merupakan salah satu tindakan pencegahan untuk menghilangkan faktor predisposisi
terjadinya karies pit dan fisura pada gigi sulung maupun gigi permanen. Menurut Crawford4, Fisure sealant dapat
mencegah karies hingga 100% setelah dievaluasi 1 tahun aplikasi. Salah satu faktor yang mempengaruhi
keberhasilan fissure sealant adalah proses pengetsaan permukaan email. Email dietsa dengan larutan asam,
menghasilkan energi permukaaan bebas yang tinggi dan menunjukan kelarutan email yang berbeda-beda
tergantung sifat asam yang digunakan, konsentrasi asam, waktu pengetsaan serta komposisi dan struktur gigi.5,6
Email gigi geligi sulung memiliki struktur email yang kurang padat dan lebih tipis dari pada gigi
permanen. Secara fisik maupun kimiawi permukaan terluar email berbeda dengan lapisan email di bawahnya,
email terluar lebih keras dan padat karena mengandung lebih banyak mineral dan bahan-bahan organik.7
Menurut Craig dan Power2, asam fosfat dengan konsentrasi 37% efektifitasnya dapat diandalkan sebagai
bahan etsa. Anusavice menyatakan bahwa konsentrasi asam fosfat 30% - 50%, khususnya 37% merupakan bahan
etsa yang banyak digunakan dan banyak dipasarkan. Permukaan email yang dietsa akan meningkatkan
kemampuan permukaan untuk perekatan dengan resin dan membentuk resin tag, yang merupakan mekanisme
perlekatan utama resin komposit pada email yang dietsa.8 Emut9, pada penelitiannya menggunakan bahan sealant
light curing dan asam fosfat dengan konsentrasi 16%; 37%; 58%; dan 85% serta lama pengulasan 60 detik,
mendapatkan kekuatan perlekatan tarik antara resin komposit dengan email meningkat (16% dan 37%) tetapi
terjadi penurunan dengan makin meningkatnya konsentrasi asam fosfat yaitu pada konsentrasi 58% dan 85%.
Efektivitas asam akan berkurang pada email gigi sulung dengan struktur prisma tidak ada atau pada gigi
permanen dengan kandungan fluor yang tinggi. Jenis komposit resin yang digunakan sebagai bahan fissure
sealant, yaitu yang berpolimerisasi dengan cahaya maupun secara kimiawi.11 Fissure sealant yang berpolimerisasi
dengan cahaya mempunyai beberapa keuntungan dibandingkan dengan yang berpolimerisasi secara kimia, yaitu:
mempunyai waktu kerja yang panjang, penggunaan lebih mudah, pengerasannya dapat dikendalikan, porositas
lebih sedikit serta lebih tahan terhadap abrasi.12 Penelitian eksperimental laboratoris ini bertujuan untuk
mengetahui variasi konsentrasi dan lama waktu pengetsaan asam fosfat terhadap kekuatan tarik perlekatan sealant
pada gigi sulung dalam fissure sealant secara in-vitro.
Pada pit dan fisura gigi sulung sering kali ditemukan adanya karies menurut Kennedy (1992) urutan
permukaan gigi sulung yang terkena karies sebagai berikut:

Gigi Maksila Mandibula


molar pertama oklusal-palatal oklusal lingual
molar kedua oklusal oklusal lingual
kaninus bukal bukal
Insisivus lateral mesial mesial
Insisivivus sentral mesial mesial

Kerusakan pada pit dan fisura merupakan lesi karies yang paling tinggi (93,4%). Prevalensi yang tinggi
dikarenakan anatominya yang ideal bagi retensi bakteri dan sisa makanan. Perubahan dalam prevalensi karies
dalam dekade abad 20 an telah memperluas pemahaman kegunaan fissure sealant. Survai Nasional di AS selama
abad 20 an terjadi adanya peningkatan presentase karies pada permukaan oklusal dari 49% pada tahun 1971
menjadi 58% ditahun 1986 hingga 1987.13
Anatomi dan struktur gigi sangat mempengaruhi resistensi gigi terhadap karies. Permukaan oklusal gigi
sulung relatif tinggi sehingga lekukan menunjukkan gambaran curam dan relatif dalam.14,15 Email gigi
merupakan jaringan yang mengalami mineralisasi paling besar pada tubuh manusia. Komposisi email adalah 96%
bahan organik dan 4% bahan organik.16 Fasa mineral memiliki struktur apatit terutama dalam bentuk
hidroksiapatit dengan rumus kimia Ca10(PO4)6(OH)2. Hidroksiapatit pada email berbentuk unit menyerupai
batang atau prisma email dengan diameter 4 -5 m. Prisma email bagian dalam mengikuti suatu bentuk
gelombang sedangkan bagian luar bentuk prisma lebih beraturan dan mencapai permukaan email dengan sudut
siku atau tegak lurus terhadap permukaan email. Didalam prisma terdapat kristal hidroksiapatit bentuk batang
heksagonal yang pipih.16,17 Tepi prisma nampak hampir berbentuk sepatu kuda (ladam) yang merupakan prism
interlock menurut pola lubang kunci.
Prisma email pada gigi permanen berbeda dengan prisma pada gigi sulung. Menurut Kennedy (1992),
prisma pada sepertiga gingiva gigi permanen berinklinasi horizontal atau kearah apeks sedangkan inklinasi
prisma email pada gigi sulung sepertiga gingival berinklinasi ke arah oklusal. Ketebalan email juga bervariasi,
Steven14,18 mengatakan bahwa ketebalan email gigi orang dewasa berkisar antara 2 2,5 mm. Email gigi sulung
hanya setengah tebal email gigi permanen dan memiliki struktur email yang kurang padat dan lebih tipis.
Pit dan Fisura pada permukaan oklusal menunjukkan gambaran khas dan relatif dalam ini menyebabkan
tingginya insidensi karies karena tak dapat dibersihkan secara mekanis oleh bulu sikat.14,15
Salah satu tindakan pencegahan karies pit dan fisura adalah fissure sealant, merupakan istilah yang
digunakan untuk menggambarkan kondisi material yang diletakkan kedalam pit dan fisura pada permukaan
oklusal gigi, membentuk lapisan proteksi secara fisik dan mekanis serta melindungi permukaan oklusal gigi dari
aksi bakteri gigi.15,19 Tindakan fissure sealant diindikasikan pada gigi posterior sulung dan permanen yang
mempunyai pit dan fisura yang dalam dan membentuk retensi, pasien yang memiliki karies tinggi pada gigi
sulung dengan diperkirakan gigi permanen akan karies, pada pemeriksaan klinis atau radiografi tidak terdapat
karies interproximal yang perlu direstorasi.2,20 Menurut Govani, indikasi fissure sealant dilakukan pada gigi yang
antagonisnya terdapat karies yang mempunyai bentuk morfologi hampir sama, gigi yang telah erupsi 3 tahun dan
gigi posterior terdapat karies oklusal pada gigi sebelahnya. Adanya karies permukaan oklusal merupakan kontra
indikasi dalam fissure sealant sebagai upaya pencegahan terhadap karies, bukti ini menunjukkan bahwa fissure
sealant merupakan kontra indikasi pada gigi yang mempunyai banyak lesi atau restorasi pada daerah proksimal,
permukaan oklusal datar sehingga daerah pit dan fisura tidak ada, pada pemeriksaan klinis dan radiografi terdapat
karies interproximal yang perlu dilakukan restorasi, pasien dengan oral hygiene buruk tidak pernah
memeriksakan kesehatan giginya secara teratur, serta rampan karies pada gigi sulung.2,21
Dengan berkembangnya ilmu bahan kedokteran gigi, bis-GMA (Bowens resin) dipergunakan sebagai
bahan dasar sealant dan terbentuk dari reaksi antara bis (4-hydroxyphenyl) dimetylmethane dan glycidyl
methacrylate.22 Komposisi kimiawi bis-GMA dalam sealant hampir sama dengan komposisi resin, dengan
perbedaan pada sealant bis-GMA lebih bersifat cair, lebih mudah mengalir kedalam pit dan fisura sehingga lebih
melekat pada permukaan gigi yang dietsa untuk menambah retensi. Penggolongan resin komposit berdasarkan
mekanisme polimerisasi ada dua macam yaitu polimerisasi kimiawi dan sinar-tampak.22,23
Buonocore (1995, cit Soetopo, 1980) memperkenalkan sealant dengan teknik etsa asam menggunakan
asam fosfat. Dengan menggunakan teknik etsa asam akan terbentuk mikropit pada email dan memudahkan bahan
mengalir serta masuk kedaerah fisura hingga dapat meningkatkan retensi bahan restorasi terhadap gigi. Etsa asam
fosfat pada permukaan email dapat menyebabkan demineralisasi prisma email membentuk mikropit pada
permukaan email. Email yang telah dietsa memiliki permukaan bebas energi yang tinggi sehingga memudahkan
adaptasi resin kedalam pori-pori email kemudian berpolimerisasi dan membentuk resin tag yang berfungsi
sebagai retensi mekanis.6,19,24
Retensi mekanis yang terjadi antara bahan dengan email yang dietsa dengan asam fosfat berperan dalam
mekanisme kekuatan perlekatan. Kekuatan perlekatan dipengaruhi oleh beberapa hal antara lain konsentrasi asam
fosfat, lamanya waktu pengetsaan dan kedalaman mikropit email yang terbentuk pada struktur email gigi.25
Efektivitas asam akan berkurang pada email gigi sulung dengan struktur prisma sedikit dan pada gigi permanen
dengan kandungan fluor yang tinggi.2,25 Reaksi gigi sulung terhadap etsa berbeda, setelah dietsa dengan asam
fosfat 50% selama 60 detik, mikropit yang terbentuk lebih kecil dan lebih halus sehingga efek retensi yang
dihasilkan berkurang, diduga bahwa lapisan email luar yang tidak berprisma menyebabkan berkurangnya
penetrasi resin kepermukaan email yang telah dietsa. Permukaan email gigi sulung, agar diperoleh etsa yang
sebanding dengan pola etsa gigi permanen, waktu yang diperlukan pengetsaan permukaan email gigi sulung 120
detik.26 Kekuatan tarik diukur dengan cara menarik spesimen sampai perlekatan antara sealant dan email terlepas
atau patah.

BAHAN DAN METODE


Penelitian ini menggunakan gigi molar pertama bawah sulung dengan ketentuan tidak ada kelainan
mikroskopis. Jumlah sampel yang digunakan pada penelitian ini sebanyak 45 gigi molar sulung, dikelompokan
menjadi 9 kelompok, masing-masing berjumlah 5 buah lalu dilakukan pengulasan etsa asam fosfat dengan
konsentrasi 27%, 37% dan 47% dengan waktu pengulasan 40 detik, 60 detik, dan 80 detik, kemudian aplikasi
heliosel (light cured sealant). Permukaan gigi dibersihkan dengan pumis tanpa flour dan air bebas minyak
menggunakan sikat dengan bulu keras (pointed bristle brush). Daerah preparasi berdiameter 3 mm yang berpusat
pada pit dan fisura didapatkan dengan cara menutup permukaan oklusal menggunakan adhesive tape berdiameter
3 mm, sebelumnya ditutup dulu dengan malam merah sehingga mendapatkan permukaan yang rata. Untuk
mendapatkan ketebalan 3 mm sebagai pegangan pada plunger saat dilakukan uji tarik maka diletakkan ring
dengan ketebalan 3 mm dan diameter 3 mm. Gigi ditanam dalam pipa kuningan (cincin bantu) dengan permukaan
email menghadap keatas dan posisi ditengah pipa cetakan kuning. Kekuatan tarik perlekatan diukur dengan cara
menarik spesimen sampai perlekatan antara resin dengan email terlepas atau patah, dengan menggunakan alat uji
tarik Torsees Universal Testing Machine.

HASIL PENELITIAN
Hasil penelitian pada gambar 1 menunjukkan nilai rerata kekuatan perlekatan sealant yang terkecil
diperoleh pada pengetsaan dengan asam fosfat konsentrasi 27% dengan waktu pengulasan 40 detik, sedangkan
nilai rerata kekuatan tarik perlekatan sealant terbesar diperoleh pada konsentrasi 47% dengan waktu pengulasan
80 detik. Nilai rerata pada konsentrasi asam fosfat 37% dengan pengulasan 60 detik yang merupakan perlakuan
standar atau yang dianjurkan para pakar untuk etsa email, pada penelitian ini mempunyai rerata kekuatan
perlekatan 99,0760 9,4434 kg/cm. Secara deskritif terdapat kecenderungan kenaikan rerata kekuatan tarik
perlekatan tiap kelompok variasi konsentrasi dan lama waktu pengulasan, hal ini berarti dengan kenaikan
konsentrasi asam fosfat dan lama waktu pengulasan sebagai etsa maka diikuti dengan kenaikan kekuatan tarik
perlekatan.
Waktu pengulasan asam fosfat 160
140
120
100 40 detik
80 60 detik
60 80 detik

40
20
0
27% 37% 47%
Konsentrasi asam fosfat

Gambar 1. Grafik rerata kekuatan tarik perlekatan sealant


dengan email gigi (kg/cm)

Hasil analisis Anava dua jalur menunjukkan adanya pengaruh bermakna akibat variasi konsentrasi asam
fosfat dan waktu pengulasan terhadap kekuatan tarik perlekatan, seperti yang terlihat pada tabel 1.

Tabel 1. Rangkuman Anava dua jalur tentang kekuatan tarik


antar konsentrasi asam fosfat dan waktu pengulasan
Sumber Variasi F Sig
Konsentrasi asam fosfat 138,025 ,000
Waktu pengulasan 135,122 ,000
Interaksi antara Konsentrasi dan 31,718 ,000
Waktu

Analisis menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna rerata kekuatan tarik perlekatan antar
kelompok perlakuan konsentrasi asam fosfat dan waktu pengulsan (p<0,005) kecuali antara kelompok 27% 40
detik, 27% 60 detik, 27% 80 detik dan 37% 40 detik serta 47% 40 detik menunjukkan perbedaan yang tidak
bermakna (p<0,005).
Dari gambar histologi preparat gosok kedalaman mikropit sesudah pengetsaan dengan asam fosfat dapat
diukur menggunakan mikroskop cahaya pembesaran 135x dan membandingkan foto kawat pembanding yang
mempunyai diameter 180 m. Hasil pengukuran panjang tag pada permukaan email yang dietsa dengan asam
fosfat konsentrasi 27% dan lama waktu pengulasan 40 detik didapatkan panjang tag 49,5 m, permukaan email
yang dietsa dengan konsentrasi asam fosfat 37% dengan waktu pengulasan 40 detik didapatkan panjang tag 53,6
m sedangkan permukaan email yang dietsa dengan asam fosfat konsentrasi 37% dengan waktu pengulasan 60
detik didapatkan panjang tag 72,7 m.
Gigi yang dietsa dengan larutan asam fosfat 27% dengan lama waktu pengulasan 40 detik didapatkan
perbedaan persentase sebesar 8,33%. Pada konsentrasi 27% dengan lama waktu pengulasan 40 detik dan
konsentrasi 37% dengan lama waktu pengulasan 80 detik didapatkan perbedaan persentase sebesar 46,8%.
Konsentrasi 37% dengan lama waktu pemulasan 40 detik dan konsentrasi 37% dengan lama waktu pengulasan 80
detik didapatkan perbedaan persentase sebesar 35,6%. Perbedaan persentase panjang tag 35,6% 46,8%
menyebabkan perbedaan kekuatan tarik perlekatan yang bermakna. Pada sampel yang dietsa menggunakan
konsentrasi 47% dengan waktu pengulasan 80 detik mempunyai kekuatan tarik perlekatan 5x lebih besar
dibandingkan dengan menggunakan asam fosfat 27% dengan lama waktu pengulasan 40 detik.

PEMBAHASAN
Dari hasil penelitian ini dapat dinyatakan bahwa etsa pada permukaan oklusal gigi sulung dengan
konsentrasi asam fosfat 37% dengan waktu pengulasan 60 detik dapat dipertimbangkan dalam penggunaan di
klinik karena mempunyai kekuatan tarik perlekatan dianjurkan, ini diharapkan efisien dan membantu untuk
mengurangi waktu perawatan. Hal ini akan sangat berguna untuk menangani pasien-pasien pediatrik, terutama
jika perlu dilakukan aplikasi sealant dalam satu kali kunjungan.
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa konsentrasi asam fosfat 27%, 37%, 47% untuk etsa
permukaan email gigi sulung menghasilkan kekuatan tarik perlekatan makin besar dan lama waktu pengulasan
asam fosfat 40 detik, 60 detik, 80 detik untuk etsa email gigi sulung menghasilkan kekuatan tarik perlekatan
makin besar. Saran pada penelitian ini, perawatan pencegahan dengan tindakan fissure sealant pada gigi sulung
menggunakan etsa asam 37% dengan waktu pengulasan selama 60 detik.
DAFTAR PUSTAKA
1. Sturdevant JR, Lundeen TF dan Sluder. Clinical significance of dental anatomy, hystology, and occlusion:
The art and science of operative dentistry, ed 3. St Louis: Mosby Year Book Inc. 1995.
2. Martheson RJ, Primosch R. Sealant and preventive resin restorations. Dalam: Fundamentals of pediatric
dentistry. ed. 3. St. Louise: Quintenssence Publishing Co. Inc. 1995: 119-35
3. Craig RG, Powers JM. Restorative dental material. 11th ed., St louis: Mosby Inc. 2002: 234-76
4. Crawford PJM. Sealant restorative (Preventive resin restoration ). Br. Dent, J 1988; 165(7): 250-53
5. Soetopo. Adhesi komposit resin dengan Teknik etsa asam untuk restorasi kerusakan gigi, Disertasi,
Penelitian Laboratoris, 1980; Surabaya: Airlangga University, Press.
6. Anusavice KJ. Phillips science of dental materials. 11 th Ed., 2003. Philadelpia: Saunders Co.
7. Kennedy DB. Paediatric operative dentistry. A Dental practitioner handbook. 1992; Canada: Vancouver,
British Columbia. 70-181
8. Marzouk MA, Simonton Al. Operative dentistry modern theory and pratice. 1st ed. 1985; St Louise: Ishiyaku
Euro America, Inc.
9. Emut-Lukito, Bambang-Priyono dan Sri-Pramestri. Kandungan bahan sealant light cured dan
autopolimerisasi asam fosfat pada lapisan email. Laporan Penelitian. 1991.
10. Charbeneau GT and Dennison JB. Clinical success and potential failure after single application of a pit and
fissure sealant: a four-years report, JADA 1979; 99(9): 559-64
11. Rock WP, Weatherill S, Anderson RJ. Retension of three fisure sealant resins. The effect of etching agent
and curing method. Result over 3 year, 1990.
12. Br. Pollack B. Composite resin fundamental and direct techniques restoration. Dalam: BG Dale KW,
Aschheim. Esthetic dentistry a clinical approach to techniques and material. Philadelphia: Lea and Febiger.
Dent., J., 1993; 168 (2) :323-5
13. Steven AM. The role of sealant in caries prevention program. Journal of The California Dental Association.
Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/enteez/countries/Indonesia/trends.html Accessed 2003.
14. Finn SA. Clinical pedodontics, 4th ed., 1973; Toronto: W.B. Sounders Co.
15. Mc.Donald RE and Avery DR. Oral development and histology. Second edition, 2003; New York: Thime
Medical Publishers, Inc.
16. Ivar AM dan Fejerrkov O. Embriologi dan histology rongga mulut. Fazwishini Siregar (penterjemah). Ed 1.
1991; Jakarta: Widya Medika.
17. Fawcet DW. A Textbook of Histology. 12th ed. 1994; New York: Chapman & Hall, 210-13
18. Itjingningsih WH. Anatomi Gigi. 1995. Jakarta: Penerbit EGC. 92-137
19. Gillet D, Nancy J, Dupuis V. Microleakage and penetration depth of three types of material in fissure sealant.
J.Clin Pediatr Dent 2002; 26(20): 175-78
20. Govani M. Morphologi effect of the type, concentration and etching time of acid solution on enamel and
dentin surface. Braz Dent J 2002; 9(1): 3-10
21. Craig RG. Restorative Dental Material, 10th ed. 1997; St Louis: The CV. Mosby Co. 41-57
22. Ferracane JL Material in Dentistry Principles and Application, 2 nd ed. .2001.
23. Pitt Ford TR. Restorasi Gigi (terj), edisi ke 2, 1992; Jakarta: Penerbit EGC. 92
24. Hicks MJ. The Acid-etch technique in caries prevention; pit and fissure sealants and preventive resin
restorative. Dalam: Pinkham JR Pediatric Dentistry, Infancy Through Adolesence, 1st ed. 1998; Philadelphia:
WB Sounders. 380-96
25. Kennedy DB. Konservasi Gigi Anak ( terj). ed 3. 1986. Jakarta: Penerbit EGC.
26. Kennedy DB. Paediatric operative dentistry. A dental practitioner handbook. Canada: British Columbia..
Penatalaksanaan kerusakan tulang pasca pencabutan dengan teknik bone grafting
Putu Sulistiawati Dewi
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar

Abstrak
Kerusakan tulang pasca pencabutan merupakan kondisi patologis hilangnya struktur tulang setelah
pencabutan akibat tekanan yang berlebihan,tidak terkontrol atau kedua-duanya. Untuk mengatasi masalah
itu, dapat dilakukan tindakan bone grafting pada tulang yang rusak tersebut. Bone grafting merupakan
teknik pembedahan untuk menempatkan serbuk tulang baru ke dalam rongga tulang yang rusak atau
menempatkan serbuk tulang baru pada soket bekas pencabutan. Bone graft dapat berasal dari tulang yang
sehat dari pasien itu sendiri (autograft) atau berasal dari proses pembekuan tulang orang lain atau donor
atau dari spesies yang sama tapi beda genetik (allograft). Penempatan bone graft setelah pencabutan
diharapkan dapat merangsang pertumbuhan tulang yang baru sekaligus mempercepat proses penyembuhan.

Kata Kunci: kerusakan tulang, bone graft

Korespodensi: Putu Sulistiawati Dewi, Bagian Ilmu Bedah Mulut Fakultas Kedokteran Gigi Universitas
Mahasaraswati Denpasar, Jln Kamboja 11a Denpasar, Telp.(0361) 7424079, 7642701, 261278.

PENDAHULUAN
Tulang merupakan bentukan khusus jaringan ikat yang tersusun oleh kristal mikroskopik
kalsiumfosfat terutama hidroksiapatit di dalam matrik kolagen. Kerusakan tulang merupakan suatu kondisi
patologis hilangnya stuktur tulang yang disebabkan baik oleh faktor lokal maupun faktor sistemik. 1
Kerusakan tulang dapat disebabkan karena pencabutan gigi yang dilakukan dengan tekanan yang berlebihan
atau tidak terkontrol atau kedua-duanya. Pada tindakan pencabutan gigi, dokter gigi harus berusaha untuk
melakukan secara ideal dengan teknik yang benar agar bisa mengatasi kesulitan selama pencabutan dan
mencegah kemungkinan terjadi komplikasi pencabutan gigi.2
Kemajuan ilmu pengetahuan yang pesat di bidang kedokteran gigi telah memacu perkembangan
transplantasi jaringan. Transplantasi bertujuan untuk melakukan rekonstruksi bagian tubuh yang mengalami
kerusakan oleh karena penyakit maupun trauma. Dalam melakukan rekonstruksi dibutuhkan jaringan
pengganti (graft) yang dapat berasal dari diri sendiri, species yang sama, maupun species yang berbeda.1
Pencabutan gigi yang melibatkan pengambilan tulang tanpa penanganan lebih lanjut akan menimbulkan
kerusakan pada tulang. Salah satu tindakan yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan itu, adalah
dengan penempatan bone graft pada tulang tersebut. 3 Hampir 90 persen pencabutan gigi mengakibatkan
kerusakan tulang rahang dalam jangka panjang jika tidak mendapat penanganan lebih lanjut, sehingga rahang
tidak berfungsi baik dan kadang diperlukan penggantian tulang rahang.4
Dalam pelaksanaannya, pemilihan pasien pada kasus kerusakan tulang merupakan hal yang sangat
penting untuk mendapatkan hasil yang diharapkan.5,6 Perawatan kerusakan tulang dapat dilakukan dengan
memberikan bahan yang dapat merekonstruksi kerusakan tulang dengan cara merangsang pembentukan
tulang baru.1

PENCABUTAN GIGI
Trauma pada gigi atau tulang dapat menyebabkan berubahnya posisi gigi dari tempatnya, fraktur
mahkota maupun akar gigi. Semua keadaan ini merupakan salah satu penyebab gigi harus dicabut. Trauma
yang lebih berat dapat menyebabkan fraktur tulang rahang dan bila terdapat gigi yang terletak pada garis
fraktur, harus dicabut.
Pencabutan gigi yang ideal adalah mengeluarkan gigi atau akar gigi secara utuh, dengan trauma
jaringan pendukung gigi yang minimal dan tidak menimbulkan rasa sakit. Kondisi ini membuat luka bekas
pencabutan dapat sembuh dengan sempurna dan tidak menyebabkan masalah prostetik pasca operasi dimasa
mendatang. Stabilisasi gigi di dalam lengkung gigi tergantung pada keutuhan prosesus alveolaris, ligamen
periodontal, serta perlekatan gingiva. Ekspansi alveolus terjadi akibat penggoyangan gigi, dan biasanya
diikuti dengan sedikit fraktur pada jaringan tulang pendukung. Keberhasilan pencabutan dengan elevator dan
tang tergantung bagaimana kita melonggarkan alveolus, memutus ligamen periodontal, dan memisahkan
perlekatan gingiva, oleh karena itu diperlukan tekanan yang terkontrol, pada penggunaan alat tersebut.7

1
KERUSAKAN TULANG
Cacat tulang merupakan suatu kondisi patologik hilangnya struktur tulang yang dapat disebabkan
oleh peningkatan reabsorpsi secara normal, penurunan formasi tulang pada saat terjadi reabsorpsi secara
normal dan peningkatan reabsorpsi dikombinasikan dengan penurunan formasi tulang.8 Kerusakan tulang
dapat disebabkan oleh faktor lokal dan faktor sistemik. Faktor lokal penyebab kerusakan tulang adalah
terjadinya inflamasi dan traumatik oklusi yang menyebabkan penurunan tinggi tulang alveolar bagian lateral
hingga permukaan akar.8 Menurut Sudarto, penyebab utama kerusakan tulang adalah pencabutan gigi,
trauma dan penyakit rahang seperti kista atau tumor rahang. Kerusakan tersebut sebagian besar (90%)
disebabkan karena tindakan pencabutan gigi, terutama yang tidak mendapat penanganan lebih lanjut.3
Reaksi pemulihan setelah pencabutan gigi akan berlangsung lama dan tidak akan dapat pulih seperti
semula. Gusi cenderung mengempis karena semakin jarang digunakan atau beraktivitas. Hal ini akan
berpengaruh pada kondisi tulang gigi, dan selanjutnya akan mengganggu dan menyulitkan pergerakan
rahang. Kehilangan gigi dapat diatasi dengan memakai gigi tiruan, namun kerusakan tulang dan pengempisan
gusi tidak dapat diatasi sehingga terkadang pasien mengeluhkan gigi tiruannya tanggal. Bone grafting
dilakukan untuk merekonstruksi kerusakan-kerusakan tulang yang terjadi.

PERAWATAN CACAT TULANG


Prognosis keberhasilan perawatan suatu cacat tulang dipengaruhi oleh faktor-faktor yaitu:
banyaknya dinding tulang yang tersisa, luasnya daerah cacat tulang, banyaknya permukaan akar yang terlibat,
luasnya destruksi tulang, kemampuan untuk melakukan detoksifikasi dan debridemen pada daerah cacat.
Semakin banyak jumlah dinding tulang dan semakin sempit daerah cacat semakin baik pula prognosisnya. 9
Menurut Manson dan Eley, kegagalan suatu perawatan kerusakan tulang dapat disebabkan oleh faktor
pemilihan kerusakan yang keliru, kegagalan untuk menutup flap dengan sempurna di atas kerusakan tulang
serta adanya infeksi dan disintegrasi dari bekuan darah.10
Menurut Yukna, perawatan kerusakan tulang dapat dilakukan dengan 3 (tiga) cara yaitu : 1)
Flap/kuretage/ debridement : beberapa laporan menunjuk- kan bahwa pembedahan seperti ini dapat
menghasilkan peninggian tulang pada daerah kerusakan dan perawatan ini sangat baik pada kerusakan tulang
pada 3 dinding yang sempit, 2) Regenerasi jaringan terpadu: sebagian besar kerusakan infraboni, kelainan
furkasi derajat II dan dehiscense menunjukkan hasil yang baik terhadap terapi ini. Pemilihan pasien dan jenis
kerusakan yang akan dirawat berperan penting bila biaya yang harus dikeluarkan merupakan suatu
pertimbangan, 3)Ekstraksi selektif dan pergerakan gigi minor: bertujuan untuk memberikan prognosis
pada gigi sebelahnya, sehingga daerah soket bekas pencabutan akan terisi dan dapat memberikan dukungan
yang lebih baik.5,6

BONE GRAFT
Bone graft adalah tulang yang sudah mati, tetapi masih dapat dimanfaatkan untuk rehabilitas
kerusakan tulang setelah melalui proses tertentu.3 Bone grafting merupakan pembedahan untuk menempatkan
tulang baru ke dalam rongga tulang yang rusak atau di antara lubang dan tulang mati. Tulang yang baru dapat
berasal dari tulang yang sehat dari pasien itu sendiri (autograft), atau berasal dari proses pembekuan tulang
orang lain atau donor atau species yang sama tetapi beda genetik (allograft) .Graft dapat berupa bubuk,
bentuk pipih, batangan, dan kubus. Bahan bone graft merupakan suatu biomaterial yang memiliki sifat
biokompatibilitas sehingga dapat diterima oleh tubuh dan tidak mempunyai pengaruh toksik atau
menimbulkan jejas terhadap fungsi biologis.3 Bone graft dapat dipergunakan untuk memperbaiki tulang yang
rusak (fraktur) yang disertai kehilangan tulang, memperbaki tulang yang rusak yang sudah tidak dapat
disembuhkan dan tidak dapat digerakkan lagi atau dapat digerakkan tapi tidak normal, dan sebagai
penyambung untuk mencegah pergeseran tulang.4
Beberapa aplikasi bone grafting di dalam mulut adalah: menumbuhkan tulang yang hilang akibat
penyakit gusi, membentuk tulang rahang yang tidak memadai (defisiensi) untuk melakukan dental implant
(hal ini dilakukan jika gigi asli yang hilang pada daerah tersebut terjadi pengurangan massa tulang),
menempatkan graft pada daerah sinus untuk pemasangan implant (kehilangan gigi dalam jangka waktu yang
panjang akan menyebabkan kehilangan dasar dari tulang rahang atas, sehingga perlu dilakukan grafting
untuk penempatan implant) dan memperbaiki kerusakan tulang rahang akibat infeksi gigi atau gigi impaksi.

Jenis-Jenis Bone Graft


Persyaratan dasar bahan graft adalah harus dapat diterima secara imunologis dan harus mempunyai
potensi osteogenik serta harus mempunyai sifat osteokonduksi dan osteoinduksi.5,6,8 Bone graft dapat
dikelompokkan menjadi empat tipe umum yaitu autograft apabila tulang diambil dari individu yang sama,

2
allograft apabila tulang diambil dari individu yang beda dengan spesies yang sama, xenograft, apabila tulang
diambil dari spesies yang berbeda serta graft bahan sintetis.10

Autograft
Bahan autograft terdiri dari tulang kortikel, konselus, atau kombinasi keduanya dan bisa didapatkan
dari ekstra oral ataupun intra oral. Pengalaman klinis menunjukkan bahwa tulang konselus memiliki
kemungkinan keberhasilan yang lebih besar. Hal ini disebabkan tulang konselus memiliki komposisi yang
kurang padat. Walaupun demikian tulang ini lebih sulit diambil dan biasanya tersedia dalam jumlah yang
terbatas. Oleh karena itu sebagian besar kasus kerusakan tulang diisi dengan kombinasi tulang kortikol dan
konselus dengan prosentase tulang kortikol yang lebih besar.5,6 Tulang yang berasal dari intra oral dapat
diambil dari koagulum tulang, tuberositas maksila, soket bekas pencabutan atau linggir tak bergigi.10
Penggunaan sumsum tulang dari daerah ekstra oral memiliki beberapa kerugian seperti prosedur
pengambilannya yang memakan waktu lama, biaya mahal serta sering berefek traumatik terhadap pasien.
Bahan dari luar mulut dapat diambil dari tulang Ilium.5,6

Allograft
Bahan Allograft merupakan bahan yang diambil dari individu yang berbeda sehingga dapat
menimbulkan respon jaringan yang merugikan dan respon penolakan hospes, kecuali diproses secara khusus.
Berbagai usaha yang dilakukan untuk menekan reaksi antigenik adalah dengan proses radiasi, pembekuan
atau kimia.8

Xenograft
Bahan Xenograft biasanya diambil dari lembu atau babi untuk digunakan pada manusia. Graft
hidroksiapatit yang berasal dari lembu dibuat melaui proses kimia (Bio-oss) atau pemanasan tinggi
(osteograft/N) untuk menghilangkan bahan organik. Proses ini menghasilkan suatu hidroksiapatit alami
tulang manusia. Bentuk lain dari xenograft adalah emdogain, suatu kelompok protein matrik email yang
diambil dari babi. Bahan ini nampaknya dapat mendorong pembentukan cementum yang kemudian diikuti
oleh deposisi tulang.5,6

Teknik Bone Grafting


Bone graft ditempatkan dengan pasak, papan berlapis besi atau skrup kemudian dijahit tertutup.
Splin atau cast biasanya dipergunakan untuk mencegah kerusakan. Untuk perawatan kerusakan tulang
dilakukan dengan teknik full thickness flap yaitu pembersihan jaringan granulasi, kemudian lakukan
detoksifikasi permukaan akar untuk memudahkan masuknya pembuluh darah dan sel yang baru, lalu
tempatkan bahan bone graft ke bagian tulang yang rusak, padatkan dengan tekanan ringan hingga sedikit
lebih ke koronal dan pasang dressing, kemudian berikan instruksi pada pasien baik secara lisan maupun
tertulis untuk memperkecil kemungkinan komplikasi.5,6

PENATALAKSANAAN BONE GRAFTING


Tahapan bone grafting pada kerusakan tulang pasca pencabutan adalah sebagai berikut: 1) Setelah
gigi dicabut, soket ditekan dengan tampon untuk mengontrol perdarahan sehingga daerah bekas pencabutan
terlihat jelas. 2) Dilakukan asepsis dan debridemen (pengambilan jaringan granulomatous). Sebelum
penempatan bahan bone graft ke dalam soket, semua jaringan granulomatous harus dibersihkan dengan alat
kuret atau alat bedah lain yang mempunyai fungsi seperti kuret. Apabila jaringan nekrotik tidak diangkat,
maka kemungkinan infeksi dapat terjadi dan pembentukan tulang baru tidak akan terjadi meskipun diisi
dengan bahan bone graft. 3) Evaluasi dinding tulang yang masih ada setelah pencabutan dan ukuran
kerusakannya. Langkah pertama yang dilakukan adalah mengevaluasi sisa dinding tulang pada soket. Faktor
yang menentukan banyaknya sisa dinding tulang antara lain adalah parahnya infeksi pada gigi, variasi
anatomi dan teknik pencabutan. Apabila dinding tulang fasial rusak, barrier membran digunakan untuk
mengisi bahan bone graft. Kegunaan barrier dapat menjaga perkembangan jaringan fibrus. Membran yang
dipakai dapat resorbable atau non resorbable. Membran resobable mempunyai banyak keuntungan untuk
grafting pada tempat pencabutan. Jika garis incisi terbuka selama penyembuhan, membran non resorbable
akan terinfeksi dan mengurangi jumlah regenerasi tulang. 4) Menjamin suplai darah yang adekuat ke daerah
sel osteoprogenitor dan sebagai faktor pertumbuhan tulang. Tanpa adanya suplai darah yang adekuat, proses
grafting tidak akan berhasil. Jaringan lunak akan mensuplai darah ke daerah graft, sel osteoprogenitor hanya
memperoleh suplai darah dari tulang yang berdekatan. Jika dinding tulang mengalami perdarahan setelah
pencabutan, suplay vaskuler ke graft akan terjamin. 5)Memilih bahan graft yang akan ditempatkan pada
tulang yang rusak. Walaupun sulit didapat tulang autogenus dapat memberikan hasil yang baik karena

3
terdapat elemen-elemen sel-sel yang hidup dan masih aktif sehingga memungkinkan pertumbuhan tulang.
Bahan graft dari tulang sintetis atau bahan graft lainnya (PepGen P-15) merupakan bahan graft yang baik
dan banyak digunakan sebagai bahan pengganti. 6)Penempatan bahan graft sintetis ke dalam soket bekas
pencabutan, kemudian dilakukan penjahitan pada jaringan gusi yang bertujuan untuk penyembuhan di sekitar
jaringan lunak. Setelah beberapa waktu diharapkan bahan graft akan mulai meresorbsi dan merangsang
pertumbuhan tulang yang baru.12,13

Gambar 1. Penempatan bahan graft sintetis ke soket gigi

PEMBAHASAN
Komplikasi pencabutan gigi bervariasi dan dapat terjadi meskipun sudah dilakukan tindakan sebaik
mungkin. Salah satu komplikasi yang dapat terjadi adalah kerusakan tulang alveolar. Untuk mengetahui
adanya kerusakan tulang adalah dengan melihat ada tidaknya fragmen tulang alveolar yang menempel pada
akar gigi tersebut. Hal ini dapat terjadi bila tulang alveolar terjepit secara tidak sengaja di antara ujung tang
pencabut gigi atau adanya kelainan, misalnya ada infeksi pada tulang. Pencabutan gigi kaninus terkadang
disertai komplikasi fraktur tulang labial khususnya bila tulang alveolar diperlemah dengan pencabutan gigi
incicivus kedua atau dari gigi premolar pertama sebelum pencabutan gigi kaninus. Bila ketiga gigi ini hendak
dicabut pada satu kali kunjungan, insiden fraktur tulang alveolar dapat bertambah.2
Gigi yang mengalami infeksi biasanya dikelilingi oleh tulang yang telah rusak atau hancur. Setelah
gigi dicabut, akan terjadi resorbsi tulang sehingga selanjutnya menyebabkan terganggunya estetik, prostetik
dan struktur tulang. Untuk mengkoreksi kerusakan tulang tersebut dapat dilakukan penambahan bahan
dengan teknik Bone grafting yaitu prosedur pembedahan untuk menempatkan bahan tulang pengganti ke
dalam tulang yang rusak sehingga dapat menggantikan/menyambung tulang yang hilang atau menempatkan
bahan graft ke dalam soket gigi setelah pencabutan. Penggunaan Bone graft bertujuan untuk mengembalikan
kehilangan atau kerusakan tulang yang disebabkan oleh penyakit periodontal, trauma atau sakit akibat
pemakaian gigi tiruan lepasan. Bone graft juga digunakan untuk menambah tulang untuk penempatan
implant, untuk meningkatkan estetik daerah-daerah pada gusi yang hilang di daerah senyum dan
mempercepat proses penyembuhan . Ketika satu gigi dicabut, tulang di sekitar akan kolaps sehingga bone
graft merupakan indikasi.11
Kerusakan tulang pasca pencabutan dapat menimbulkan dampak negatif dari segi estetik, prostetik
dan struktur tulang. Kerusakan tersebut dapat dikoreksi dengan teknik bone grafting, yang berfungsi
mengembalikan kerusakan tulang atau merangsang pembentukan tulang baru.

DAFTAR PUSTAKA
1. Munadziroh, Rubianto M, Meizarini A. Penggunaan bone gaft pada perawatan kerusakan tulang
periodontal. Indonesian Journal of Dentistry 2003; 10 (edisi khusus): 520-25.
2. Howe GL. Pencabutan gigi-geligi (The Extraction of teeth), Johan Arief Budiman (penterjemah). 2ed
Jakarta: EGC. 1999.
3. Sudarto W. Cabut gigi tanpa penanganan lanjut. Kompas. 2006
4. Ashman A, Pinto JL. Placement of implant into ridges grafted with bioplant HTR syntetic bone:
histological long-term case history report. Journal of oral implantology 2000; 26(4): 276-90
5. Yukna RA. Pelaksanaan cacat tulang: Graft pengganti tulang. In: Fedi PF, Vernino AR, Gray JL. Silabus
Periodonti 2000. 4ed Jakarta: EGC: 125-33.
6. Yukna RA, Evans GH, Aichelmann-Reidy MB. Clinical comparison of bioactive glass bone replacement
graft material and expanded poly tetrafluoroethylene barrier membrane in treating human mandibular
molar class II furcations. J Periodonto 2001; 72(2): 125-33
7. Pedersen GW. Buku ajar praktis : Bedah Mulut, Purwanto dan Basoeseno (penterjemah). Jakarta: EGC.
1996.

4
8. Carranza FA, McClain P, Schallorn R. Regenerative osseous surgery. In: Newman, Takei, Carranza,
Carranzas clinical periodontology. 9ed Philadelphia: WB Saunders Co. 2002.
9. Fedi PF, Vernino AR, Gray JL. Silabus periodonti 2005 (The Periodontic syllabus), Amaliya
(penterjemah). 4ed Jakarta: EGC.
10. Manson JD dan Eley BM. Buku ajar periodonti, Anastasia S (penterjemah). Jakarta: Hipokrates. 1993.
11. Winter R, Nemeth JR. Dental health directory: bone and tissue grafting 1999-2007.Available from:
URL:http://www.dental-health.com. Accessed May 12, 2006.
12. Tischler M, Misch CE. Extraction site bone grafting in general dentistry: review of application and
principle. Available from : URL:http://www.ncbi.nlm.nih.gov/sites/entrez?cmd Den Today; 23(5): 108-
Accessed May 30, 2004.
13. Artistic Dental Associates. Bone resorbtion occurs after tooth extraction. Available from:
URL:http://artisticteeth.com/Pt_edu/bone_grafting. Accessed sept 12, 2006.

5
Efektifitas irigasi povidon iodin 1% pascaskeling dalam penurunan perdarahan gingiva
Hervina, Dwis Syahriel, I.G.N. Bagus Tista
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar

ABSTRACT
Marginal periodontitis is a damage of periodontal tissue caused by bacteria or microorganisms in
dental plaque. In marginal periodontitis, a chronic gingival inflammation may be found characterized by
gingival bleeding on probing. To reduce gingival bleeding, therapy is focused to removing the plaque bacteria
by scaling and irrigation procedures. The irrigation can be more advantageous when using antiseptic agents
such as Povidone iodine. The present study designed a clinical trial with purpose to know the effectiveness of
post scaling irrigation using 1% Povidone iodine in reducing gingival bleeding. This study was conducted by
split mouth method, which each in the right and left quadrant is randomly taken as an experimental group and
the control group. The sample consist of 30 interdental papillas which are devided into an experimental group
consisting of 15 interdental papillas irrigated with 1% Povidone iodine and a control group consisting of 15
interdental papillas irrigated with sterile aquadest. The initial measurement of gingival bleeding were conducted
in all sample available using Papillary Bleeding Index (PBI), followed by scaling and irrigation procedures. Re-
measurement was conducted in the first week. The result showed a reduction of gingival bleeding, either in
treatment group and control group. In the first week, the reduction averaged by 1,8667 for the treatment group,
greater than the control group averaged by 1,5333. It showed that there is no significant difference found
between the both groups in gingival bleeding reduction by using Mann Whitney test (p>0,05). It is conclude that
post scaling irrigation of 1% Povidone iodine is noneffective to reduce gingival bleeding.

Key words: Irrigation of 1% Povidone iodine, gingival bleeding

Korespondensi: Hervina, Bagian Periodonsia Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar,
Jln. Kamboja 11A, Denpasar, Telp. (0361) 7424079, 7462701, Fax. (0361) 261278

PENDAHULUAN
Penelitian tentang prevalensi penyakit periodontal telah sering dilakukan pada berbagai komunitas di
seluruh dunia. Dalam laporan WHO tahun 1978, disebutkan bahwa penyakit periodontal merupakan salah satu
penyakit yang paling luas penyebarannya pada manusia. Prevalensi penyakit periodontal pada usia 15 tahun
hampir mencapai 46%, pada kelompok usia 19 25 tahun berkisar 10 29% dan pada usia 45 tahun hampir
100% populasi pernah mengalami kerusakan periodontal.1 Etiologi primer penyakit periodontal adalah iritasi
bakteri plak. Bakteri tersebut berkolonisasi, menyerang pertahanan inang dan merangsang inflamasi serta
kerusakan jaringan. Adapun etiologi sekunder bisa berupa faktor lokal dan sistemik. Faktor lokal pada
lingkungan gingiva dapat sebagai predisposisi akumulasi plak karena menghalangi pembersihan plak, misalkan
tumpatan overhanging. Demikian pula penyakit sistemik berperan memodifikasi respon gingiva terhadap iritasi
lokal.1
Periodontitis merupakan penyakit periodontal yang umum dijumpai dan terjadi akibat perluasan proses
keradangan yang dimulai dari gingiva (Gingivitis) ke jaringan periodontal (Periodontitis). Gambaran klinis
periodontitis marginalis berupa keradangan kronis gingiva, pembentukan poket, dan kerusakan tulang alveolar,
serta kegoyangan gigi dan migrasi patologis pada kasus periodontitis fase lanjut.2
Perdarahan gingiva merupakan salah satu tanda adanya keradangan gingiva. Gingiva yang mudah
berdarah hanya dengan sentuhan ringan probe merupakan tanda obyektif peradangan. Keadaan ini umumnya
disebabkan oleh faktor lokal, yaitu bakteri pada plak dan disebut sebagai perdarahan kronis.3 Periodontitis
maupun gingivitis disebabkan oleh bakteri patogen pada plak. Perawatan terhadap penyakit tersebut ditujukan
untuk mengeliminasi atau menekan pertumbuhan mikroorganisme plak. Demikian pula perawatan gingiva
berdarah ditujukan untuk membersihkan bakteri plak. Salah satu cara pembuangan bakteri plak adalah
melakukan skeling dan irigasi dengan air atau obat antiseptik. Hasil penelitian menyebutkan bahwa skeling dapat
mengurangi jumlah mikroorganisme, mengurangi keradangan gingiva, kedalaman poket dan menambah
perlekatan gingiva.4 Irigasi selain dapat membuang partikel makanan juga dapat membuang produk bakteri,
karena dapat menjangkau sulkus maupun poket, terlebih bila digunakan antiseptik. Irigasi dengan antiseptik
dikatakan dapat mereduksi gingiva berdarah hingga 42%.3
Povidon iodin merupakan bahan antiseptik lokal yang mampu menghambat/membunuh
mikroorganisme, membatasi dan mencegah infeksi agar tidak parah.4 Salah satu sediaan povidon iodin 1%
berbentuk obat kumur. Secara umum penggunaan obat kumur povidon iodin 1% secara rutin efektif
menghilangkan bau mulut tak sedap5, mengobati infeksi rongga mulut, tenggorokan, serta mengobati keradangan
gingiva dan jaringan periodontal.6
Berdasarkan uraian di atas maka perlu dilakukan uji klinis efek irigasi povidon iodin 1% sebagai terapi
penunjang skeling pada periodontitis marginalis untuk mendapatkan bahan irigasi yang murah, mudah diperoleh,
mudah digunakan, efektif, serta berguna untuk mencegah perdarahan gingiva pascaskeling.

PERIODONTITIS MARGINALIS
Periodontitis merupakan keradangan jaringan penyangga gigi yang disebabkan oleh mikroorganisme
tertentu atau kelompok mikroorganisme tertentu yang mengakibatkan kerusakan ligamen periodontal, tulang
alveolar serta pembentukan poket dan resesi gingiva.7 Periodontitis terjadi sebagai akibat perluasan proses
peradangan yang dimulai dari gingiva (gingivitis) meluas ke jaringan periodontal (periodontitis). Periodontitis
marginalis lebih tepat lagi dikatakan sebagai periodontitis kronis destruktif.2 Etiologi periodontitis marginalis
dibedakan menjadi faktor lokal dan sistemik.2 Etiologi lokal adalah penyebab yang ditemukan di sekitar gigi dan
jaringan periodonsium, baik pada gigi yang bersangkutan maupun gigi antagonisnya, serta dikelompokkan dalam
faktor iritasi lokal. Walaupun etiologi penyakit periodontitis marginalis adalah multifaktorial, akan tetapi plak
dianggap sebagai iritan penyebab utama. Faktor predisposisi seperti kalkulus, malposisi, impaksi makanan,
kelainan bentuk anatomi dan restorasi yang tidak baik juga berperan penting dalam proses peradangan karena
mempermudah plak berakumulasi. Efek tekanan oklusal pada jaringan periodonsium dipengaruhi oleh besar,
arah, lama, dan frekuensi tekanan. Apabila tekanan oklusal yang diterima gigi bertambah besar, maka jaringan
periodonsium akan merespon dengan penebalan ligamen periodontal, pertambahan jumlah serat-serat ligamen
periodontal serta peningkatan kepadatan tulang. Apabila tekanan oklusal yang diterima melebihi kapasitas
jaringan untuk menahannya maka jaringan tersebut akan mengalami kerusakan.8
Faktor sistemik dapat mempengaruhi kesehatan tubuh secara keseluruhan termasuk jaringan
periodonsium. Contohnya pada penderita Diabetes mellitus.8 Anak-anak dengan penyakit Diabetes mellitus
umumnya menderita gingivitis lebih parah dibandingkan dengan anak-anak sehat dengan skor plak yang sama.1
Pada orang dewasa dengan Diabetes mellitus yang berlangsung lama akan mengalami kerusakan periodontal
yang lebih besar dibandingkan mereka yang tidak menderita Diabetes mellitus.8
Kolonisasi bakteri pada servik gingiva dan permukaan gigi merupakan penyebab utama penyakit
tersebut. Invasi bakteri pada jaringan periodonsium berinfiltrasi secara pasif yaitu jika terdapat trauma pada
gingiva seperti trauma sikat gigi, mengunyah benda keras.9 Bakteri menyebabkan destruksi jaringan secara tidak
langsung dengan mengaktifkan berbagai sistem pertahanan inang. Bakteri dalam servik gingiva dan pada
permukaan gigi melakukan mekanisme menghindari dan memanipulasi pertahanan inang. Ekosistem bakteri
menjadi kompleks, sedangkan inang mengeluarkan berbagai molekul seperti antibodi, sitokin, dan mediator-
mediator lain untuk mengatasi bakteri. Keadaan kronis ini akan melemah dengan adanya pengaruh seperti
merokok, genetika dan lain-lain. Diperkirakan keberadaan bakteri patogen tertentu dan respon inang tersebut
menyebabkan perubahan status gingivitis kronis menjadi periodontitis destruktif. Bakteri penyebab periodontitis
antara lain Porphyromonas gingivalis, Bacteroides forsythus, Fusobacterium nukleatum, Prevotella intermedia,
Actinobacillus actinomycetemcomitans, Peptostreptococcus micros, Campylobacter rectus, Eikonella corrodens,
dan T denticola.10,11,12
Periodontitis marginalis umumnya ditandai dengan keradangan kronis gingiva, pembentukan poket, dan
kehilangan tulang. Pada kasus-kasus lanjut dapat juga dijumpai kegoyangan gigi dan migrasi patologis.
Keradangan dan derajad kerusakan yang terjadi sangat bervariasi, baik antar individu maupun pada daerah yang
berbeda pada individu yang sama.2

PERDARAHAN GINGIVA
Perdarahan gingiva merupakan indikator diagnostik obyektif adanya keradangan pada jaringan
periodonsium. Perdarahan gingiva saat probing atau dengan stimulasi alat lainnya dapat dilihat dari perubahan
warna gingiva atau tanda-tanda klinis peradangan lainnya.13 Perdarahan gingiva saat probing merupakan
parameter yang dengan cepat dan mudah dapat dinilai secara obyektif karena hanya didasarkan pada ada atau
tidaknya perdarahan.3,14 Di samping sebagai indikator adanya penyakit periodontal, perdarahan gingiva
digunakan untuk mengevaluasi penyembuhan pascaperawatan dan menentukan perlu atau tidaknya perawatan
lanjutan. Perubahan keadaan dari adanya perdarahan praperawatan menjadi keadaan tanpa perdarahan pada
papila interdental pascaskeling menunjukkan adanya perbaikan/penyembuhan keradangan.14 Stimulasi
perdarahan gingiva sebaiknya dilakukan dengan menggunakan prob periodontal yang halus dan berujung
tumpul, misalnya prob WHO, yaitu dengan menyelipkan ujung prob pada sulkus gingiva (kira-kira sedalam 1 2
mm) membentuk sudut 600 terhadap sumbu panjang gigi dan dengan tekanan ringan (< 0,25 Newton) agar tidak
mencederai jaringan gingiva yang sehat. Prob WHO menghasilkan tekanan sekitar 25 gram. Besarnya tekanan
yang demikian adalah setara dengan besarnya tekanan untuk menyelipkan probe WHO di bawah kuku tanpa

2
menimbulkan rasa nyeri.14 Perdarahan gingiva bervariasi tergantung beratnya perdarahan, durasi serta mudahnya
perdarahan, dan penyebab lokal atau sistemik.15 Perdarahan kronis dan rekuren umumnya disebabkan faktor
lokal bakteri plak. Pada peradangan gingiva, kapiler-kapiler mengalami dilatasi dan membengkak, epitel sulkus
menipis bahkan terjadi ulserasi. Karena kapiler berada di dekat permukaan yang tipis dan mengalami degenerasi
tanpa adanya proteksi, maka stimulus yang ringan sudah dapat menyebabkan kapiler robek sehingga terjadi
perdarahan.15 Perdarahan akut gingiva dapat terjadi karena jejas (luka) atau terjadi secara spontan pada penyakit
gingiva akut, contohnya ANUG. Perdarahan akut juga dapat terjadi tanpa adanya penyakit gingiva, misalnya
gingiva robek karena sikat gigi yang keras, atau saat mengunyah makanan keras. Gingiva yang terbakar oleh
makanan panas atau bahan kimiawi meningkatkan kemudahan gingiva berdarah.15 Perdarahan gingiva juga
terjadi akibat faktor sistemik.
Beberapa kelainan sistemik dapat menyebabkan perdarahan spontan gingiva serta sulit dikontrol, seperti
pubertas, siklus menstruasi, kehamilan, penggunaan obat kontrasepsi. Contoh kelainan sistemik lainnya adalah
kegagalan mekanisme hemostatik, gangguan vaskular (akibat defisiensi vitamin C, alergi (schonlein henoch
purpura), gangguan platelet (trombositopenik purpura), hipoprotrombinemia (defisiensi vitamin K), gangguan
koagulasi (hemofilia, leukemia, penyakit chrismast), defisiensi faktor platelet tromboplastik akibat uremia,
mieloma multipel, dan postrubela purpura, serta diabetes mellitus, memperberat perdarahan karena perubahan
respon inflamatori gingiva terhadap plak.15 Perawatan perdarahan gingiva adalah dengan pembuangan plak
bakteri, serta mencegah pembentukannya atau kontrol plak. Cara terbaik untuk mengontrol plak adalah dengan
prosedur mekanik seperti menyikat gigi dengan pasta gigi, flossing, berkumur dengan obat, irigasi gingiva, serta
tindakan profilaksis profesional. Tindakan profilaksis untuk plak dan kalkulus seperti skeling dan root planing
supra/sub gingiva dianjurkan 2-4 kali setahun.3 Perdarahan gingiva mempunyai kemungkinan penyembuhan
yang cepat, karena keradangan gingiva yang menyebabkan terjadinya perdarahan bersifat reversibel dan dapat
sembuh dengan dengan pembuangan plak sehari-hari secara efektif. Dalam 1 minggu keradangan gingiva serta
perdarahan gingiva akan menyembuh. Kesembuhannya sangat tergantung pada motivasi penderitanya untuk
melakukan hygiene mulut secara ketat karena penyebab utamanya adalah bakteri pada plak.3

SKELING
Skeling merupakan suatu proses pengangkatan plak dan kalkulus pada permukaan gigi baik
supragingival maupun subgingival. Tujuan utama skeling adalah untuk memulihkan kesehatan gingiva dengan
menghilangkan semua elemen seperti plak dan kalkulus yang dapat menyebabkan terjadinya peradangan
gingiva.16 Skeling dapat membersihkan semua deposit pada gigi, kalkulus supragingiva dan sub gingiva, plak,
serta noda. Skeling harus dilakukan secara menyeluruh, apabila deposit gigi tidak dibersihkan seluruhnya maka
keradangan akan menetap.1 Setelah dilakukan skeling akan terlihat penurunan organisme spirochetes, motile
rods, dan putative pathogen seperti Actinobacillus actinomycetemcomitans, Porphyromonas gingivalis, dan
Prevotella intermedia.16

IRIGASI POVIDON IODIN 1%


Irigasi yang dilakukan pascaskeling selain berhasil membuang partikel makanan, juga dapat membuang
produk bakteri. Irigasi ini bermanfaat karena dapat dilakukan ke dalam sulkus maupun poket. Akibatnya
ditemukan jumlah spesies Actinomyces maupun Bacteroides dapat berkurang.3 Irigasi gingiva merupakan salah
satu cara pembuangan plak bakteri. Air yang digunakan untuk irigasi selain berhasil membuang partikel
makanan, juga dapat membuang produk bakteri. Irigasi ini bermanfaat karena dapat dilakukan ke dalam sulkus
maupun poket. Dalam pengobatan penyakit periodontal, irigasi gingiva berperan untuk menghilangkan
mikroorganisme yang terdapat pada jaringan periodontal. Irigasi gingiva dengan menggunakan bahan-bahan
antiseptik menunjukkan penyembuhan keradangan gingiva yang lebih berarti dibandingkan dengan
menggunakan air.17
Povidon iodin adalah disinfektan, antiseptik dan bahan antiseptik golongan halogen yang merupakan
persenyawaan dari polivinil pirolidon dan yodium. Persenyawaan ini merupakan zat antibakteri lokal yang
efektif, membunuh tidak hanya bentuk vegetatif tetapi juga bentuk spora.18 Povidon iodin merupakan bahan
antiseptik yang digunakan secara setempat untuk menghambat pertumbuhan atau membunuh mikroorganisme,
sehingga dapat membatasi dan mencegah bertambah parahnya infeksi yang terjadi. Povidon iodin efektif
melawan bakteri periodontal patogen seperti A. actinomycetemcomitans, P. gingivalis, P. intermedia, F.
nukleatum, E. corrodens dan S. intermedius.4
Povidon iodin tersedia dalam beberapa bentuk, yaitu obat kumur, larutan, salep, aerosol, surgical scrub,
shampoo, dan pembersih kulit. Povidon iodin 1% terkandung pada sediaan obat kumur. Penggunaan obat kumur
yang mengandung povidon iodin 1% secara rutin efektif menghilangkan bau mulut tak sedap.5 Obat kumur
dengan povidon iodin 1% digunakan untuk mengobati infeksi rongga mulut dan tenggorokan serta mengobati
keradangan pada jaringan periodontal seperti gingivitis.6

3
BAHAN DAN METODE
Uji klinis dilakukan di RSGM FKG Unmas Denpasar untuk menguji efek irigasi povidon iodin 1%
pascaskeling terhadap perdarahan gingiva pada periodontitis marginalis. Sampel sejumlah 30 buah papila
interdental yang dibagi menjadi 2, yaitu 15 sebagai perlakuan dan 15 sebagai kontrol. Subyek adalah pria atau
wanita berumur 20 50 tahun dengan diagnosis periodontitis marginalis, terdapat keradangan gingiva disertai
perdarahan saat probing, tidak menderita penyakit sistemik, tidak sedang menggunakan obat antibiotika atau
obat antiseptik lokal (obat kumur), bila wanita tidak sedang menggunakan obat kontrasepsi oral, tidak hamil
serta tidak menyusui. Penelitian dilakukan secara split mouth, masing-masing pada gigi-gigi kwadran kiri atau
kanan dipilih secara acak sebagai sisi perlakuan dan sisi kontrol. Sebelum dilakukan skeling, semua sample
diukur perdarahan gingiva dengan Papillary Bleeding Index (PBI) (Muhlemann, 1977). Kemudian dilakukan
skeling pada semua regio dan setelahnya dilakukan irigasi 2 ml povidon iodin 1% setiap gigi pada sisi percobaan
dan 2ml akuades steril setiap gigi pada sisi kontrol. Pasien diinstruksikan untuk tidak kumur-kumur sampai 2
jam. Pengukuran indeks perdarahan (PBI) dilakukan kembali pada minggu pertama.

HASIL PENELITIAN
Hasil uji normalitas dengan Kolmogorov-Smirnov (KS) didapatkan data yang tidak terdistribusi normal
(p<0,05), maka dilakukan Uji Mann-Whitney. Dari tabel 2 didapatkan nilai p>0,05, maka antara kelompok
perlakuan irigasi povidon iodin 1% dengan kelompok kontrol pada minggu pertama, dalam penurunan
perdarahan gingiva tidak terdapat perbedaan yang bermakna. Hal tersebut menunjukkan bahwa irigasi povidon
iodin 1% pascaskeling tidak efektif terhadap penurunan perdarahan gingiva.

Tabel 1. Rerata dan simpang baku penurunan perdarahan


gingiva pada kelompok perlakuan dan kontrol
pada minggu pertama
N Rerata SD
Perlakuan 15 1,8667 0,99043
Kontrol 15 1,5333 0,83381
Jumlah 30 - -

Tabel 2. Hasil Uji Mann-Whitney selisih data antar


perlakuan dengan kontrol (01 minggu)

N Rerata Z p
Rangking
Perlakuan 15 16,27
Kontrol 15 14,73 -0,521 0,653
Jumlah 30 -

DISKUSI
Banyak laporan mengenai penggunaan bahan antiseptik untuk mengontrol penyakit periodontal. Bahan
antiseptik dapat mengurangi atau mengeliminasi bakteri yang tidak dapat dihilangkan dengan tindakan skeling
saja. Pemberian obat antiseptik dapat dilakukan secara lokal maupun sistemik. Pemberian obat antiseptik lokal
secara langsung pada daerah setempat dapat mengurangi resistensi bakteri serta dapat meminimalkan efek
samping obat.4 Pemberian obat antiseptik lokal diantaranya adalah pemberian povidon iodin dengan hasil yang
berbeda-beda.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedua kelompok yaitu kelompok perlakuan (irigasi povidon iodin
1%) dan kontrol (irigasi akuades steril) menunjukkan penurunan perdarahan, dengan hasil penurunan perdarahan
tidak berbeda bermakna (p=0,653). Hal tersebut bertentangan dengan hasil penelitian Ervina dkk (2003) yang
menyebutkan bahwa aplikasi povidon iodin 10% menunjukkan penurunan perdarahan yang bermakna
dibandingkan akuabides.4 Kedua kelompok pada penelitian ini terjadi penurunan perdarahan gingiva. Hal
tersebut karena kedua kelompok dilakukan skeling. Skeling merupakan terapi standar penyakit periodontal,
bilamana dilakukan dengan baik dan akan menghasilkan penyembuhan. Skeling dapat membersihkan semua
deposit gigi, kalkulus supragingiva dan subgingiva, plak serta noda.1 Secara klinis skeling memberikan makna
penting dalam hal menurunkan keradangan gingiva karena elemen-elemen penyebab keradangan dihilangkan
dari permukaan gigi.16 Penurunan perdarahan gingiva pada kedua kelompok selain disebabkan karena skeling,
juga disebabkan oleh irigasi yang dilakukan pascaskeling. Irigasi gingiva selain berhasil membuang partikel
makanan juga dapat membuang produk bakteri.3

4
Dari hasil penelitian ini ditemukan bahwa, tidak ada perbedaan bermakna penurunan perdarahan
gingiva. Hasil ini bertentangan dengan penelitian Ervina dkk (2003)4, yang disebabkan oleh perbedaan
konsentrasi yang digunakan. Pada penelitian ini, konsentrasi povidon iodin yang digunakan adalah 1%, yaitu
yang terdapat dalam obat kumur.
Penggunaan obat kumur yang mengandung povidon iodin 1% secara rutin mampu mengobati infeksi
rongga mulut dan tenggorokan, serta mengobati keradangan pada jaringan periodontal seperti gingivitis.5
Menurut Mustaqimah, irigasi gingiva lebih bermanfaat dari pada berkumur karena dapat dilakukan ke dalam
sulkus maupun poket.3 Tidak efektifnya irigasi povidon iodin 1% pascaskeling terhadap penurunan perdarahan
gingiva pada penelitian ini kemungkinan disebabkan aplikasi povidon iodin 1% hanya dilakukan satu kali.
Berbeda dengan hasil penelitian Ervina dkk, dimana aplikasi povidon iodin 10% dilakukan pascaskeling
kemudian dilakukan lagi pada hari ketujuh, dan pengukuran indeks perdarahan dilakukan pada hari keempat
belas.4 Penelitian lainnya menyebutkan bahwa berkumur dengan obat kumur povidon iodin 5% dua kali sehari
selama dua minggu menunjukkan penurunan keradangan gingiva yang bermakna.19 Hal tersebut menunjukkan
bahwa pemakaian povidon iodin berulang lebih efektif mengurangi keradangan dan perdarahan gingiva.
Dari hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan bahwa irigasi povidon iodin 1% pascaskeling tidak efektif
terhadap penurunan perdarahan gingiva. Disarankan untuk dilakukan penelitian lebih lanjut tentang efektifitas
irigasi povidon iodin 1% dengan irigasi berulang atau dengan konsentrasi yang lebih besar daripada 1%.

DAFTAR PUSTAKA
1. Manson JD. dan Eley BM. Buku ajar periodontia, Anastasia S (penterjemah), Jakarta : Hipokrates, 1993.
2. Carranza FA. Classification of periodontal diseases. In: Carranza. Glickmans clinical periodontology, 7ed.
Philadelphia: W.B Saunders Co, 1990,
3. Mustaqimah DN. Gingiva yang mudah berdarah dan pengelolaannya. Indonesian Dental Journal 2003; 10
(1): 50-6.
4. Ervina I, Prayitno SW dan Supit EL. Efektifitas skeling-penghalusan akar dengan dan tanpa aplikasi
subgingival Povidone-Iodine 10% pada poket 5-7 mm. Indonesian Dental Journal 2003; 10 (edisi khusus):
558-63.
5. Frederick P. Betadine topical preparations [Homepage of: The comprehensive Resource For Physicians,
Drug, and Illness Information], [Online]. Available from: http://www.rxmed.com/b.main/b2.pharmaceutical
/b2.1.monographs/CPS-%20Monographs/CPS-%20%28General%20Monographs-%20B29/BETADINE
TOPICAL.html. Accesed September 18, 2004.
6. Anonim. Betadine gargle and mouthwash, [Online]. 2004, Agustus 7-last update, Available from:
http://www. netdoctor.co.uk/medicine/100002965. html. Accesed September 18, 2004.
7. Novak MJ. Classification of Disease and conditions affecting the periodontium, In: Newman, Takei,
Carranza. Carranzas clinical periodontology, 9ed. Philadelphia: W.B. Saunders Co. 2002.
8. Syahriel D dan Santoso B. Imobilisasi gigi goyang akibat periodontitis marginalis. J Kedokteran Gigi
Mahasaraswati 2003; 1(2): 42-6.
9. Newman MG, Sanz M, Nisengard R. Host bacteria interaction in periodontal diseases. In: Carranza,
Glickmans Clinical Periodontology. 7ed, Philadelphia: W.B Saunders Co. 1990.
10. Haake SK, Nisengard RJ, Newman MG, Miyasaki KT. Microbial interactions with the host in periodontal
disease, In: Newman, Takei, Carranza, Carranzas Clinical Periodontology, 9ed. Philadelphia: W.B.
Saunders Co. 2002.
11. Nurul D. Infeksi dalam bidang periodonsia. Indonesian Dental Journal 2002; 9 (1): 14-6.
12. Chapple ILC dan Gilbert AD. Understanding periodontal diseases assessment and diagnostic prosedures in
practice. London: Quintessence Publishing Co. Ltd. 2002.
13. Sanz M dan Newman MG. Advance diagnostic tehniques. In: Newman, Takei, Carranza, Carranzas
clinical periodontology, 9ed. Philadelphia: W.B Saunders Co. 2002.
14. Deliemunthe SH. Perdarahan gingiva untuk mendeteksi penyakit periodontal secara dini dan memotivasi
pasien. Dentika Dental Journal 2001; 6 (2) 278-83.
15. Carranza FA dan Rapley JW. Clinical feature of gingivitis. In: Newman, Takei, Carranza, Carranzas
clinical periodontology, 9ed. Philadelphia: W.B Saunders Co. 2002.
16. Pattison GL dan Pattison AM. Scaling and root planing. In: Newman, Takei, Carranza, Carranzas clinical
periodontology, 9ed. Philadelphia: W.B. Saunders Co. 2002.
17. Flemmig FT. Supragingival and Subgingival Irrigation. In: Newman, Takei, Carranza, Carranzas Clinical
periodontology, 9ed. Philadelphia: W.B. Saunders Co. 2002.
18. Katzung BG. Basic and clinical pharmacology, Agoes-Azwar (penterjemah). Jakarta: EGC Penerbit Buku
Kedokteran. 1995.
19. Greenstein G. Povidone-iodines effects and role in management of periodontal disease: A review, J of
Periodontol, 1999; 70 (11): 1397-1405.

5
Perawatan kelainan jaringan periodontal akibat traumatik oklusi
Ni Kadek Ari Astuti
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar

ABSTRAK

Occlusal trauma has been defined as injury to periodontium resulting from occlusal forces which exceed
the reparative capacity of the attachment apparatus ,ie. the tissue injury occurs because the periodontium is
unable to cope with the increased stresses it experiences. Occlusal trauma has been classified as either primary
trauma which results from excessive occlusal force applied to a tooth or to teeth with normal and healthy
supporting tissues and secondary occlusal trauma refers to the changes which occur when normal or abnormal
occlusal forces are applied to the attachment apparatus of a tooth or teeth with inadequate or reduced
supporting tissues. An occlusion that produces force sthat cause injury in the periodontal tissue, masticatory
system and Temporo Mandibular Joint (TMJ) called traumatic occlusion. A simple correction of the occlusion,
by occlusal adjustment should be the first step in treatment planning. Beside that, removing plaque and
premature tooth contact improves the prognosis periodontally involved tissues.

Key words: Periodontal diseases, traumatic occusion, periodontal treatment.

Korespondensi: Ni Kadek Ari Astuti, Bagian Biologi Oral. Fakultas Kedokteran Gigi Universitas
Mahasaraswati Denpasar, Jalan Kamboja 11A, Denpasar, Telp. (0361) 7424079, 7462701, Fax. (0361) 261278.

PENDAHULUAN
Oklusi merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kesehatan jaringan periodontal. Tekanan
oklusi yang besar ataupun kecil dapat merangsang adaptasi jaringan periodontal, sedangkan tekanan yang
melebihi kekuatan fisiologis jaringan periodontal akan menyebabkan kerusakan. Trauma oklusi ialah kerusakan
sebagian alat pengunyahan pada masticatory system sebagai hasil dari hubungan kontak oklusi yang tidak normal
dan atau fungsi sistem pengunyahan yang tidak normal.1,2,3 Trauma oklusi mempunyai manifestasi di jaringan
periodontal, jaringan keras gigi, jaringan pulpa, temporomandibular joint, jaringan lunak serta sistem saraf.
Dalam hubungannya dengan jaringan periodontal, yang dimaksud dengan trauma oklusi adalah terjadinya
kerusakan pada jaringan periodontal yang disebabkan karena tekanan oklusi (traumatik oklusi).1,2,3,4
Dalam tulisan ini akan dibahas mengenai perawatan kelainan pada jaringan periodontal akibat traumatik
oklusi, yaitu tekanan oklusi yang diterima oleh periodonsium dimana tekanan tersebut telah melampaui
kemampuan adaptasi jaringan periodontal sehingga menimbulkan cedera atau kelainan pada jaringan periodontal.

PENYAKIT PERIODONTAL
Penyakit periodontal merupakan penyakit yang ditandai oleh adanya inflamasi gingiva, pembentukan
saku periodontal dan kehilangan perlekatan.3,4,5,6 Secara klinis, penyakit periodontal ditandai dengan adanya
perubahan gingiva, baik berupa perubahan warna, konsistensi maupun bentuk. Gingivitis adalah suatu
keradangan pada gingiva yang mengawali penyakit periodontal. Keradangan ini bisa bertahan di dalam gingiva
sampai beberapa tahun, juga dapat menyebar ke jaringan yang lebih dalam, menjadi periodontitis menahun yang
destruktif.3,4,5 Destruksi tulang alveolar juga dapat disebabkan oleh adanya trauma oklusi pada keadaan ada atau
tanpa inflamasi.3 Perkembangan patogenesis penyakit periodontal telah mempengaruhi kriteria indikasi perawatan
periodontal maupun tujuan perawatan itu sendiri. Bila dahulu penyakit periodontal dianggap merupakan suatu
penyakit yang secara lambat tapi terjadi terus menerus, perkembangan sekarang ini penyakit periodontal
dianggap merupakan suatu siklus dengan masa aktif (eksaserbasi) dan masa inaktif (tenang).7
Diagnosis suatu penyakit periodontal dapat ditegakkan melalui beberapa pemeriksaan antara lain; health
survey, general dental survey, occlusal survey, deposit survey dan periodontal survey. Health survey adalah
pemeriksaan yang dilakukan untuk mengetahui keadaan umum pasien terutama yang ada hubungannya dengan

1
kelainan periodontal ataupun penyakit yang berpengaruh terhadap perawatan pembedahan nantinya. General
Dental Survey merupakan pemeriksaan gigi geligi menyeluruh untuk mendapatkan status kesehatan gigi secara
umum meliputi jaringan lunak, lengkung rahang, karies dan status pulpa, restorasi, derajat kegoyangan gigi dan
kebiasaan buruk pasien. Occlusal survey perlu dilakukan, karena seperti diketahui oklusi dapat mempengaruhi
perkembangan dan kelainan periodontal. Deposit survey adalah pemeriksaan terhadap jumlah dan lokasi plak
beserta kalkulus yang melekat pada permukaan gigi geligi. Periodontal survey merupakan bagian yang penting
dalam pemeriksaan. Pemeriksaan jaringan periodontium yang seksama memerlukan periodontal probe karena
tanpa alat ini kita tidak dapat membuat diagnosis suatu kelainan periodontal dengan tepat.8

TRAUMATIK OKLUSI
Trauma oklusi adalah cedera yang terjadi pada jaringan periodonsium akibat tekanan oklusal yang
diterima periodonsium telah melampaui kemampuan adaptasinya. Trauma oklusi ialah kerusakan sebagian alat
pengunyah (masticatory system) sebagai hasil dari hubungan kontak oklusi yang tidak normal dan atau fungsi
sistem pengunyahan yang tidak normal.9 Oklusi yang tekanannya telah menimbulkan cedera tersebut dinamakan
traumatik oklusi.3 Istilah traumatic occlusion dikenalkan oleh Stilman pada tahun 1917, dan pada tahun 1922
ditetapkan definisinya oleh Stilman dan Mc.Cole sebagai tekanan oklusi yang abnormal, yang menyebabkan
trauma pada periodontium. Traumatik oklusi merupakan istilah yang banyak dipakai, untuk menunjukkan suatu
oklusi yang menghasilkan trauma, dan kerusakan yang timbul dinamakan trauma karena oklusi.1,2 Trauma
oklusi diklasifikasikan primer dan sekunder. Primer, apabila dampak tekanan oklusal yang abnormal terjadi pada
periodonsium yang sehat; sedangkan sekunder, dampak tekanan oklusal yang mungkin abnormal atau tidak,
tetapi merupakan tekanan yang berlebih untuk periodontium yang telah lemah.1,2,10
Pada waktu lampau, trauma karena oklusi hanya dilihat dalam hubungannya dengan periodontium. Akan
tetapi akhir-akhir ini ada kecenderungan untuk memasukkan semua kerusakan dari setiap bagian sistem
stomatognatik yang berasal dari tekanan oklusi abnormal dan fungsi abnormal, kedalam trauma karena oklusi
atau trauma oklusi. Jadi trauma oklusi dapat bermanifestasi di periodontium, jaringan keras gigi, pulpa, sendi
rahang, jaringan lunak mulut, dan sistem neuromuskuler. Ini berarti bahwa apabila terdapat kerusakan pada
periodontium, jaringan keras gigi, pulpa, sendi rahang dan sebagainya, perlu dilihat kaitannya dengan oklusi yang
normal.10 Adanya posisi gigi yang tidak baik, dan oklusi gigi rahang atas terhadap rahang bawah yang tidak baik
juga pada gigi berjejal, menyebabkan penyebaran tekanan oklusi yang tidak merata. Demikian juga tekanan pada
sisi kunyah yang tidak seimbang, memberikan beban tekanan yang sangat besar pada sisi lain. Keadaan-keadaan
ini memberikan kecenderungan terjadinya kerusakan pada periodontium. Periodonsium yang tidak sehat akan
menurunkan daya adaptasinya sehingga dengan tekanan oklusi yang tidak seimbang akibat gigi-gigi yang
berjejal, yang ringan pun sudah dapat menimbulkan trauma oklusi.10
Pengaruh tekanan oklusi terhadap jaringan periodontal dapat terjadi melalui 3 tingkatan yaitu
kerusakan, perbaikan dan adaptasi jaringan periodontal.9 Efek tekanan oklusal pada jaringan periodontium
dipengaruhi oleh besar, arah, lama dan frekuensi tekanan.5,9 Tekanan yang kecil akan menstimulir jaringan
periodontal untuk terjadi kerusakan dari tulang alveolar, dengan akibat terjadi pelebaran dari ruang ligamen
periodontal. Tekanan yang besar akan menghasilkan terjadinya perubahan dalam jaringan periodontal, dimulai
dengan kompresi dari fiber-fiber yang menyebabkan degenerasi hialin.9

PERAN TRAUMATIK OKLUSI TERHADAP KELAINAN PERIODONTAL


Tekanan oklusi tidak dapat dipisahkan dari kondisi jaringan periodontal, apakah jaringan periodontal
sehat atau tidak. Terhadap jaringan periodontal yang sehat, tekanan oklusi akan menyebabkan terjadinya
rangsangan secara mekanis sehingga jaringan akan menjadi sehat. Tekanan oklusi yang menyebabkan kerusakan
jaringan periodontal akan mempengaruhi jaringan periodontal yang meradang sehingga kerusakan akan
bertambah besar. Trauma oklusi adalah kerusakan jaringan periodontal yang disebabkan oleh tekanan yang tidak
normal, sedang peradangan adalah kerusakan jaringan periodontal yang disebabkan oleh adanya mikroorganisme.
Kedua kerusakan ini merupakan keadaan yang terpisah, namun dapat terjadi bersama-sama pada satu atau
sekelompok gigi. Trauma oklusi (traumatic from occlusion) dapat terjadi dengan atau tanpa peradangan.
Beberapa ahli menyebutkan bahwa trauma oklusi bukan penyebab awal gingivitis, namun trauma oklusi
merupakan keadaan yang dapat menambah kegoyangan gigi, dan adanya tekanan oklusi yang terus menerus
dapat menyebabkan kerusakan tulang. Meskipun traumatik oklusi tidak menyebabkan periodontitis, namun
traumatik oklusi dapat melemahkan atau menurunkan kesehatan jaringan periodontium. Traumatik oklusi dapat
juga menimbulkan suatu lesi (traumatic lesion).1,2,11

2
Bruxisme merupakan salah satu contoh trauma yang terus menerus dan dapat berpengaruh terhadap
terjadinya periodontitis.9 Gigi-gigi yang malformasi atau oklusi yang mengganggu merupakan faktor pendorong
lokal terjadinya penyakit periodontal.8 Tekanan oklusal yang menyebabkan hipermobiliti gigi tersebut juga dapat
mengganggu proses kesembuhan setelah perawatan periodontitis.3

PERAWATAN
Pada prinsipnya, perawatan kelainan periodontal baik permukaan, sedang, atau sudah lanjut yang
penyebabnya merupakan gabungan antara plak dan trauma adalah menghilangkan plak dan kemudian
menghilangkan trauma, kecuali apabila trauma itu tidak mempengaruhi perawatan kelainan periodontal. Kontrol
dari trauma bertujuan untuk menstabilkan oklusi agar sedikit sekali pengaruhnya terhadap perawatan kelainan
periodontal. Perawatan kebersihan mulut sangat penting pada perawatan ini. Terapi oklusi merupakan bagian
terapi kelainan periodontal. Seorang periodontis atau dokter gigi yang mengabaikan perawatan terapi oklusi dapat
dikatakan salah walaupun berhasil dalam menghilangkan peradangan gingiva. Terapi oklusi dapat mengurangi
terbentuknya poket dan dapat mengurangi kegoyangan gigi. Terapi oklusi tidak dapat memperbaiki gingivitis
atau periodontitis akibat aktivitas bakteri, namun dapat membantu pasien dalam melakukan kontrol plak dan
perawatan kelainan periodontal.1,2,7
Terapi oklusi meliputi: perawatan ortodonsi, pemakaian splin sementara, bite planes, occlusal
adjustment, restorasi gigi, pemakaian splin permanen.1,2,7,9 Metode perawatan untuk menghilangkan traumatik
oklusi tersebut adalah penyesuaian oklusi (occlusal adjustment) melalui pengasahan gigi secara selektif.2,3
Occlusal Adjusment dengan cara pengasahan dilakukan untuk memperbaiki hubungan oklusi gigi yang tidak
normal.9,11 Occlusal Adjustment dengan cara pengasahan diusahakan seminimal mungkin, karena pengasahan
akan menyebabkan perubahan yang menetap. Occlusal Adjusment bisa dilakukan sebelum atau setelah perawatan
periodontal dan dilakukan untuk dilakukan untuk sebab-sebab yang jelas dan indikasi yang tepat. Occlusal
adjustment dalam hubungan dengan perawatan periodontal, dapat dibagi 3 (tiga) tahap yaitu: preliminari
grinding, adalah partial adjustment dengan cara spot grinding pada tahap-tahap awal dari perawatan dengan
tujuan untuk menghilangkan hambatan oklusi; definitive grinding/complete adjustment, tahap ini dilakukan
setelah perawatan periodontal; check grinding, biasanya dilakukan paling akhir yaitu satu bulan setelah semua
perawatan periodontal selesai, karena setelah kesembuhan sering terjadi trauma kembali akibat adanya
pergerakan gigi.12
Tekanan oklusi tidak dapat dipisahkan dari kondisi jaringan periodontal, baik jaringan periodontal yang
sehat atau tidak. Tekanan oklusi menyebabkan kerusakan jaringan periodontal dan memperparah kondisi jaringan
periodontal yang meradang. Perawatan yang dapat dilakukan untuk mengurangi kelainan periodontal akibat
traumatik oklusi adalah kombinasi skeling atau pembersihan plak/kalkulus dan menghilangkan trauma dengan
occlusal adjustment secara selektif.

DAFTAR PUSTAKA
1. Caputo A, dan Wylie R, Force generation and reaction within the periodontium,
http://www.dent.ucla.edu/pic/members/force/references.html, diakses Agustus 2007.
2. Davies SJ, Gray RJM, Linden GJ, dan James JA, Occlusal considerations in periodontics, BDJ, 2001;
191(11): 597-604.
3. Ervina. Perawatan periodontitis yang disertai trauma karena oklusi (Laporan Kasus). Dentika Dental Journal
2004; 2(9): 110-3.
4. Utami D, Widyastuti R. Keberhasilan scaling dan root planing pada perawatan periodontal. J ITEKGI 2005;
2(1): 5
5. Syahriel D, Santoso B. Immobilisasi gigi goyang akibat periodontitis marginalis. J Kedokteran Gigi
Mahasaraswati 2003; 2(1): 2-3
6. Thahir H. Perawatan periodontal pada pasien dengan keluhan estetik (Laporan Kasus). Dentika Dental
Journal 2004; 1(9): 21-4.
7. Widyastuti R, Rachma Y. Perdarahan gusi pada probing sebagai parameter dalam mendeteksi kelainan
penyakit periodontal. J ITEKGI 2003; 1(3): 1.
8. Kumala A. Diagnosis, prognosis dan rencana perawatan penyakit periodontal. J ITEKGI 2005; 2(1): 1-2.
9. Prijantojo. Trauma jaringan periodontal karena oklusi dan perawatannya. Naskah Lengkap Kursus Penyegar
dan Penambah Ilmu Kedokteran Gigi. Jakarta: FKG UI 1988: 90-7.

3
10. Sadoso SD, Yashadana DD. Gigi berjejal sebagai penyebab trauma oklusi. Naskah Lengkap Kursus
Penyegar dan Penambah Ilmu Kedokteran Gigi. Jakarta: FKG UI. 1988: 86-7.
11. Syahriel D, Nurdeviyanti N dan Aryani P. Bruxism sebagai penyebab terjadinya kelainan periodontal. J
KGM 2004; 2(2): 67-8.
12. Amelia K dan Ratih W. Peranan oklusal adjusment pada perawatan periodontal. J ITEKGI 2005; 2(1): 34-5.

4
Kebocoran tepi pada tumpatan amalgam yang disebabkan
Gamma-dua sebagai salah satu faktor penyebab terjadinya
Sumantri, Nyoman Nurdeviyanti, Putu Ery Novita
Fakulta s Kedokteran Gigi Universitas Maha sara swati Denpa sar

ABSTRACT
Amalgam is one of filling material which used in consevation until now because it has a lot of
benefit. Corossion caused by gamma-2 fase (Sn 7 -8 Hg) in conventional amalgam makes the
mikroleakage happen easily. The mikroleakage is a space between the side of restoration and cavity
wall that causes secondary caries and failed filling. So, the operator must know about the
caracteristic of amalgam that will be used to get a good and ideal amalgam filling.

Key words: Amalgam, gamma-2 fase, microleakage.

Korespondensi: Sumantri, Bagian Konservasi. Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati


Denpasar, Jl. Kamboja 11A Denpasar, Telp. (0361) 7424079, 7642701, Fax. (0361) 261278

PENDAHULUAN
Dalam bidang kedokteran gigi, amalgam merupakan salah satu bahan restorasi gigi yang
masih digunakan secara luas terutama di bidang ilmu konservasi khususnya pada gigi posterior sejak
tahun 1826 sampai sekarang, walaupun saat ini telah banyak ditemukan bahan restorasi yang lain
seperti komposit resin dan semen glass ionomer. 1 Bahan amalgam memiliki banyak keuntungan
antara lain: tahan terhadap daya kunyah, tidak larut dalam cairan mulut, adaptasi dengan gigi baik,
manipulasi mudah, harga relatif murah dan memiliki sifat bakteriostatik, sehingga dapat menghambat
terjadinya pertumbuhan bakteri. Amalgam merupakan campuran aloi berbentuk bubuk dan merkuri
berbentuk cair. 2,3 Sebagai bahan tumpatan, salah satu kekurangan amalgam adalah terjadinya
kebocoran pada tepi tumpatan. Kebocoran tepi menunjukkan adanya celah antara tepi restorasi
amalgam dan dinding kavitas. Melalui celah yang ada, memudahkan asam hasil fermentasi sukrosa
dan bakteri masuk dalam dinding kavitas, sehingga terjadinya karies sekunder. 3
Amalgam perak merupakan bahan restoratif yang paling penting dalam sejarah. Pelopornya
adalah dokter gigi Prancis bernama Onesiphore Taveau dan ahli kimia Inggris Charles Bell yang
membuat amalgam dari campuran perak dan Hg. Penelitian yang dilakukan oleh Professor G.V.
Black dari Amerika, telah memberikan andil yang sangat penting baik dalam pengemban gan
komposisi maupun penggunaan klinis amalgam perak yang tepat. 4 Menurut American Dental
Association Spesification, logam campur amalgam mempunyai kandungan utama dari perak dan
timah.
Walaupun amalgam tipe tertentu mempunyai beberapa keunggulan, tetapi persentase
kegagalan yang tinggi dapat diakibatkan oleh disain preparasi yang tidak tepat, kesalahan manipulasi
dan terjadinya kontaminasi saat dilakukan penumpatan. Setiap tahapan pekerjaan mulai dari
pemilihan alat sampai pemolesan tumpatan mempunyai efek terhadap sifat amalgam yang
menentukan keberhasilan atau kegagalan restorasi. Faktor yang mempengaruhi kualitas tumpatan
antara lain faktor dari pabrik seperti komposisi bahan dan faktor operator seperti metode triturasi dan
waktu, teknik kondensasi, karakteristik anatomi dan prosedur penyelesaian tumpatan. 5

AMALGAM
Menurut American Dental Association (ADA), bahan tumpatan amalgam tersedia dalam
bentuk kapsul yang terdiri dari campuran aloi dengan Hg. Komposisi aloi adalah sebagai berikut:
perak (65%), timah (29%), copper (6%) dan seng (2%); sedangkan pemakaian mercuri (Hg)
tergantung pada aloi tertentu yang digunakan dengan rentangan (45-52)%. 6 Amalgam gamma-dua
termasuk golongan low copper. Campuran amalgam aloi dengan merkuri bertujuan untuk membasahi

1
permukaan partikel sehingga terjadi reaksi antara cairan aloi merkuri menyatu menjadi fase gamma
(Ag 3 Sn) dari partikel aloi dan mulai bereaksi dengan perak. Timah dari partikel tersebut yang
menghasilkan campuran berupa campuran perak-merkuri dan campuran timah-merkuri tergantung
pada komposisi aloi tersebut. Campuran perak-merkuri berupa Ag 2 Hg 3 yang dikenal dengan gamma-
satu dan campuran Sn 7-8 Hg yang dikenal sebagai gamma-dua. 7
Dental amalgam yang terbuat dari campuran aloi AgSn, biasanya mengandung Ag dan Sn
dalam perbandingan 3:1 dan tersedia dalam bentuk bubuk halus. Bubuk dicampurkan dengan Hg
dalam perbandingan yang sama dan menghasilkan reaksi sebagai berikut:

Ag 3 Sn + Hg Ag 2 Hg 3 + Sn 7-8 Hg
1 2

Amalgam yang telah mengeras akan terdiri atas partikel AgSn yang tidak bereaksi (ga mma),
sedangkan bagian yang terikat di dalam matriks adalah fase gamma-satu (Ag 2 Hg 3 ) dan fase gamma-
dua (Sn 7-8 Hg) yang baru terbentuk. Fase Sn (gamma-dua) merupakan bagian yang lemah, mudah
terurai dengan adanya saliva dan dapat meningkatkan korosi. Adapun cara untuk mengurangi
terbentuknya gamma-dua adalah dengan menghasilkan amalgam yang mengandung sesedikit
mungkin gamma-dua dapat dicapai dengan mencampurkan sedikit Hg. 6
Amalgam non gamma-dua merupakan golongan high copper ditandai dengan berkurangnya
fase gamma-dua (Sn 7-8 Hg). Tin cenderung bereaksi dengan copper dibandingkan dengan merkuri,
sehingga mencegah terbentuknya produksi reaksi timah -merkuri. Mekanismenya dapat dilihat
sebagai berikut: 8

6 Cu + 5 Sn Cu 6 Sn 5

Copper dalam kandungan aloi ini berupa Cu 6 Sn 5 . Pada proses amalgamasi, jumlah copper
yang memadai menyebabkan fase gamma-dua (Sn 7-8 Hg) tidak terbentuk. Fase gamma-dua adalah fase
yang lemah dan lebih mudah mengalami korosi pada amalgam dan menyebabkan kekuatan tumpatan
lebih singkat, sehingga amalgam high copper cenderung memiliki sifat fisik dan mekanik yang lebih
baik. 7 High Copper aloi saat ini merupakan bahan pilihan karena mampu mengurangi bahkan
meniadakan terjadinya fase gamma-dua (Sn 7-8 Hg) sehingga mempunyai kemampuan untuk
mengurangi terjadinya korosi dan integritas marginal yang lebih baik dibandingkan dengan low
copper alloy. 9

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEBOCORAN TEPI TUMPATAN


Salah satu faktor yang perlu diperhatikan berhubungan dengan restorasi gigi adalah adanya
kebocoran mikro yang dapat terjadi diantara dinding kavitas dan restorasi. Penetrasi cairan dan
debris di sekitar tepi tumpatan dapat menyebabkan karies sekunder. 5 Banyak faktor yang
mempengaruhi kebocoran tepi pada tumpatan amalgam, salah satunya adanya fase gamma -dua (Sn 7-
8 Hg) yang terkandung dalam amalgam. Fase gamma-dua (Sn 7-8 Hg) dapat mengakibatkan terjadinya
kerusakan tepi dan korosi sehingga menyebabkan terjadinya kebocoran tepi. Kerusakan tepi dari
restorasi amalgam disebabkan oleh adanya creep, yaitu merupakan perubahan dimensi yang terjadi
pada amalgam yang telah mengeras karena faktor tekanan yang konstan. Creep yang berlebihan pada
tekanan mastikasi yang normal menyebabkan distorsi bagian tonjol gigi, sehingga menyebabkan
fraktur pada tepi restorasi. Adanya fase gamma-dua (Sn 7-8 Hg) yang rentan korosi dari mikrostruktur
amalgam tembaga tinggi, dapat dianggap sebagai faktor yang mendasari ketahanan aloi ini yang
lebih baik terhadap kerusakan tepi. Amalgam yang tidak mengandung fase gamma -dua (Sn 7-8 Hg)
umumnya memiliki creep yang lebih rendah dari pada amalgam dengan kandungan tembaga tinggi. 5
Selain itu kebocoran tepi tumpatan amalgam adalah korosi yang dipengaruhi oleh jumlah
fase gamma-dua (Sn 7-8 Hg) yang ada. Amalgam cenderung mudah korosi dalam mulut karena
strukturnya yang heterogen, permukaannya yang kasar dan adanya lapisan oksida yang belum
sempurna. Sn dari fase gamma-2 (Sn 7-8 Hg) merupakan elemen yang paling mudah berubah menjadi

2
larutan dan membentuk lapisan oksida yang stabil di permukaan. Dalam jangka panjang, korosi ini
akan mengakibatkan berpindahnya ion Sn ke dalam email dan dentin sehingga menjadi lebih
kebiruan dibandingkan dengan email atau dentin yang normal. Pecahnya tepi tumpatan sehingga
terjadi fraktur bagian tepi tumpatan, disebabkan oleh proses korosi. 2

PERAN GAMMA-DUA PADA KEBOCORAN TEPI TUMPATAN


Amalgamasi terjadi bila merkuri kontak dengan permukaan partikel aloi silver -tin. Jika
bubuk ditriturasi, perak dan timah di bagian luar partikel akan larut menjadi merkuri. Pada saat
bersamaan, merkuri mengadakan penyerapan pada partikel aloi. Kedua campuran logam ini
selanjutnya akan mengalami pengendapan pada merkuri. Dalam hal ini terdapat campuran perak -
merkuri dan timah-merkuri. Setelah triturasi, bubuk aloi bersama dengan cairan merkuri memberikan
suatu campuran yang plastis. Kristal gamma-satu (Ag 2 Hg 3 ) dan gamma-dua (Sn 7-8 Hg) mengalami
perubahan seiring dengan sisa merkuri melarutkan partikel-partikel aloi. 9 Sifat fisik amalgam yang
sudah mengeras tergantung pada persentase relatif dari masing-masing fase. Makin banyak fase
gamma yang tertinggal dalam struktur akhir, makin kuat amalgamnya. Komponen yang paling lemah
adalah fase gamma-dua (Sn 7-8 Hg). Fase ini juga merupakan fase yang paling kurang stabil dalam
lingkungan yang korosif dan dapat mengalami erosi, terutama antara tepi restorasi dan dinding
kavitas. 10
Oksidasi terjadi terutama pada fase ini, yang selanjutnya akan berlanjut dengan korosi dan
kerusakan tepi tumpatan. 11 Fase gamma-dua (Sn 7-8 Hg) merupakan fase yang paling rentan terhadap
korosi. Korosi merupakan suatu kondisi permukaan tumpatan yang mengalami reaksi kimia atau
elektrokimia dan sangat mempengaruhi estetik karena terjadi perubahan warna dan kegagalan
restorasi akibat adanya sulfida perak yang berwarna hitam. Korosi dapat terjadi karena permukaan
tumpatan amalgam yang tidak terpoles dengan baik akibat posisi tumpatan terlalu dalam, misalnya
pada daerah pit, sehingga sulit dicapai oleh bahan dan alat pemoles. Proses korosi juga dapat terjadi
di bawah permukaan tumpatan amalgam, sehingga dapat melemahkan tumpatan dan dapat
menyebabkan fraktur. 9

PEMBAHASAN
Dental amalgam adalah suatu bubuk aloi dengan Hg yang jika telah mengeras membentuk
massa yang solid dengan kekuatan yang tinggi. Pada umumnya, bubuk aloi terdiri atas perak (70%),
timah (12%-30%), tembaga (5%-30%), dan seng (0%-2%), bergantung pada macam aloinya.
Amalgam perak yang telah mengeras terdiri atas 43%-50% Hg yang bergabung baik dengan perak
maupun timah. Fase-fase yang mengandung Hg disebut gamma-satu (perak-Hg/Ag 2 Hg 3 ) dan gamma-
dua (timah-Hg/Sn 7-8 Hg). Pada aloi yang belum bereaksi, perak dan timah berada sebagai fase gamma
(Ag 3 Sn). Hasil reaksi pengerasan amalgam terdiri dari tiga fase (fase gamma, fase gamma -satu dan
fase gamma-dua). Fase tersebut berperan dalam mengatur sifat amalgam dan sifat klinis dari
restorasi. Komponen yang paling kuat adalah fase gamma (Ag 3 Sn) dan yang paling lemah adalah fase
gamma-dua (Sn 7-8 Hg). Kekuatan dan ketahanan terhadap korosi dan restorasi tergantung pada
persentase relatif tiap komponen. 5
Terjadinya kebocoran tepi pada tumpatan amalgam dapat disebabkan oleh berbagai faktor
salah satunya adalah fase gamma-dua (Sn 7-8 Hg) yang terkandung dalam amalgam. Proses kebocoran
tepi pada tumpatan amalgam berawal dari terjadi korosi, yang disebabkan oleh terbentuknya fase
gamma-dua (Sn 7-8 Hg) pada proses pengerasan amalgam yang dianggap dapat melemahkan tumpatan
amalgam. Korosi yang terjadi akan mengakibatkan pecahnya tepi tumpatan sehingga terdapat celah
antara tepi restorasi amalgam dan dinding kavitas. 2 Fase gamma-dua (Sn 7-8 Hg) jelas lebih rentan
terhadap korosi daripada fase gamma (Ag 3 Sn) dan fase gamma-satu (Ag2 Hg 3 ). Hal tersebut
menunjukkan bahwa faktor yang menimbulkan kegagalan tumpatan adalah fase gamma -dua (Sn 7-
5
8 Hg).
Dental amalgam dengan formulasi yang lebih baru, yaitu amalgam non gamma-dua tidak
mengandung komponen gamma-dua (Sn 7-8 Hg), tetapi membentuk fase tembaga-timah (Cu 6 Sn 5 ). Fase
gamma-satu (Ag 2 Hg 3 ) dan fase tembaga-timah (Cu 6 Sn 5 ) kurang sensitif terhadap korosi dibandingkan

3
dengan fase gamma-dua (Sn 7-8 Hg). 4 Selain itu Hg dari amalgam non gamma-dua dianggap kurang
dibandingkan Hg yang dikeluarkan oleh amalgam gamma-dua (Sn 7-8 Hg).
Amalgam yang mengandung fase gamma-dua (Sn 7-8 Hg) merupakan amalgam yang lemah,
mudah menimbulkan korosi dan mengakibatkan kerusakan tepi, sehingga terjadi kebocoran tepi pada
tumpatan. Sedangkan amalgam non gamma-dua memiliki sifat yang lebih baik yaitu tahan terhadap
korosi sehingga kekuatan tepinya menjadi lebih baik. Bahan tumpatan amalgam yang sebaiknya
digunakan adalah golongan non gamma-dua, karena terdapat kandungan copper yang tinggi sehingga
fase gamma-dua (Sn 7-8 Hg) tidak terbentuk dan kekuatan tumpatan menjadi lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA
1. Eccles JD dan Green RM. Konservasi gigi, Lilian-Yuwono (penterjemah), Jakarta: Medika.
1994: 85-6.
2. Ford TRP. Restorasi gigi, Sumawinata (penterjemah) Jakarta: EGC Penerbit Buku Kedokteran.
1993: 62-6.
3. Budi AT. Amalgam yang mengandung fluorida mencegah karies sekunder. Dental Journal 2001;
34(2): 88-90.
4. Horsted-Bindlev P. Pendahuluan, dalam tambalan amalgam, Jakarta: EGC Penerbit Buku
Kedokteran. 1998: 42-5.
5. Baum L, Philip SR dan Lund HR. Buku ajar ilmu konservasi gigi, Penerjemah: Tarigan, Jakarta:
EGC Penerbit Buku Kedokteran. 1997: 331-424
6. Tista. Beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan tumpatan amalgam klas II, J
Kedokteran Gigi Mahasaraswati 2004; 2(1): 35-7.
7. Craig RG. Restorative Dental Materials, 10 ed , Masby; 1998: 212-4.
8. OBrien WJ. Dental materials and their selection, 3 ed , Quintessence Publishing Co. 2002: 176-9.
9. Phillips RW. Science of dental materials, 9 ed . W.B. Sounders Company. 1991: 307-23.
10. Anusavice KJ. Phillips : Buku ajar ilmu bahan kedokteran gigi. Budiman dan Purwoko
(penterjemah). Jakarta: EGC Penerbit Buku Kedokteran. 2003: 301-22.
11. Kennedy DB. Konservasi gigi anak, Sumawinata dan Sumartono (penterjemah). Jakarta: EGC
Penerbit Buku Kedokteran. 1992: 83-99.

4
Perawatan karies gigi dengan teknik ART menggunakan bahan semen ionomer kaca
tipe II

IGN Bagus Tista, Sumantri, Dewi Haryani,


Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar

ABSTRACT
Atraumatic Restorative Treatment (ART) technique is a new concept caries treatment in dentistry.
Caries treatment with ART technique has became one of the important part of basic mouth treatment that have
been considered by WHO. ART is a procedure of removal caries tissue using hand instrument and then
conservative with adhesive restorative material. ART technique can be done for all cavity that involves enamel,
dentine and cavity that can be reached with hand instrument. Conservative material that used for ART technique
is Glass Ionomer cement type II with high viscosity. ART tecnique with Glass Ionomer cement type II can be used
for faces caries and prevents caries to be more seriously, and has a lot of profit, for example :doesnt need
expensive equipment, lower cost, has a friendly patient nature, and a higher treatment succes rate.

Key words: Glass Ionomer cement, ART technique, caries

Korespondensi: IGN Bagus Tista, Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar, JL.Kamboja
11A Denpasar, Telp. (0361) 7424079, 7642701, Fax. (0361) 261278

PENDAHULUAN
Dewasa ini telah banyak dikembangkan bahan tumpatan untuk memperbaiki gigi yang telah rusak. Salah
satu bahan tumpatan yang hingga saat ini banyak digunakan adalah semen ionomer kaca. Bahan tumpatan ini
digunakan untuk merestorasi gigi sulung dan gigi permanen karena mempunyai sifat biokompabilitas, anti
kariogenik, tidak mengiritasi pulpa, aplikasinya mudah serta mengandung fluor yang dapat mencegah karies
sekunder. Semen ionomer kaca digunakan sebagai bahan restorasi tetap dalam bidang ilmu konservasi gigi sejak
tahun 1972, serta disempurnakan dari tahun ke tahun sehingga menjadi bahan restorasi yang memenuhi
persyaratan baik estetik, kekuatan serta keawetan. Dalam perkembangannya, beberapa tahun terakhir ini
diciptakan semen ionomer kaca dengan viskositas tinggi.1
Teknik Atraumatic Restorative Treatment (ART) merupakan suatu metode baru untuk merawat karies
gigi yaitu teknik pembuangan struktur karies gigi hanya dengan bahan adhesif semen ionomer kaca.2 Teknik ART
ini dikembangkan guna menanggulangi kerusakan gigi yang tidak parah dengan biaya rendah. Baru-baru ini
dilakukan penelitian secara terpisah yang menunjukan bahwa teknik ART yang dilakukan pada negara
berkembang di bawah kondisi yang buruk mengalami suatu kesuksesan. Teknik ini memiliki beberapa
keuntungan antara lain: perawatan tidak memerlukan listrik dan tidak menimbulkan rasa takut pada pasien karena
teknik ini tidak menggunakan bur yang menimbulkan suara keras dan sedikit rasa sakit, perlengkapannya mudah
dibawa sehingga dapat menjangkau masyarakat di daerah pedalaman serta dapat mencegah karies menjadi lebih
parah.3 Teknik ART dapat digunakan untuk menumpat kavitas pada gigi sulung maupun gigi permanen terutama
pada gigi posterior. Tumpatan dengan teknik ART pada gigi sulung dapat membantu menjaga pola erupsi gigi
permanen dan menghindari gangguan-gangguan terhadap posisi gigi permanen.4 Bahan semen ionomer kaca yang
dikembangkan untuk merestorasi gigi posterior pada teknik ART ini adalah bahan semen ionomer kaca dengan
viskositas tinggi serta memiliki daya serap air yang rendah.

SEMEN IONOMER KACA


Semen ionomer kaca merupakan salah satu bahan tumpatan plastis pertama yang berikatan secara kimia
dengan email dan dentin di bidang kedokteran gigi sehingga dapat mengurangi kebocoran tepi. Semen ionomer
kaca mempunyai kemampuan melepaskan fluor, bersifat biokompatibel dan menghasilkan estestik yang
memadai. Bahan ini pertama kali diperkenalkan dengan nama alumino silica poliakrilat (ASPA). Penggunaan di
klinik dikembangkan oleh McLean dan Wilson sebagai bahan tumpatan, sementasi dan basis.
Berdasarkan penggunaannya ada tiga jenis semen ionomer kaca. Tipe pertama digunakan untuk luting
semen yang mempunyai ciri-ciri: lapisan tipis dan setting yang cepat; tipe kedua digunakan untuk bahan
tumpatan; tipe ketiga digunakan untuk lining semen dan fissure sealant yang mempunyai ciri-ciri viskositas
yang rendah dan setting yang cepat.5 Semen ionomer kaca yang digunakan sebagai restorasi ada dua macam
yaitu untuk daerah yang menerima tekanan kunyah yang ringan dan mementingkan estetis; serta untuk daerah
yang menerima tekanan kunyah yang besar tetapi estetiknya kurang baik.

Komposisi
Semen ionomer kaca tersedia dalam bentuk bubuk dan cairan atau dalam bentuk bubuk yang dapat
dicampur dengan air. Beberapa produk ada yang berbentuk kapsul. Cairan yang digunakan dalam bentuk larutan
47,5% asam poliakrilat atau asam itakonik kopolimer (berat molekul 10.000) dengan perbandingan 2 : 1 dalam
air. Bubuk semen ionomer kaca adalah kaca kalsium fluoroaluminosilikat.
Menurut Wilson dan MC Lean (1988), semen ionomer kaca mempunyai komposisi yaitu: Bubuk, terdiri
atas silikon oksida, aluminium oksida, kalsium fluoride, natrium fluoride, dan aluminium fosfat digabung
sehingga membentuk kaca, dipanaskan sampai temperatur 1100-15000 celcius. Untuk menimbulkan sifat
radiopak, maka ditambahkan dengan lanthanum, strontium, barium atau oksida seng. Kemudian campuran
tersebut digerus menjadi bubuk; Cairan, terdiri atas 50% asam poliakrilat atau kopolimer asam itokonat, asam
maleat, atau asam trikarbosilat. Asam-asam ini dapat mengurangi kekentalan serta mengurangi kecendrungan
untuk menjadi gel. Di dalam cairan ini juga terdapat asam tartarik yang dapat memperbaiki karakteristik
manipulasi dan meningkatkan waktu kerja tetapi memperpendek waktu pengerasan.
Komposisi bahan semen ionomer kaca yang khusus untuk teknik ART tidak jauh berbeda dengan semen
ionomer kaca konvensional. Bahan semen ionomer kaca untuk teknik ART juga disediakan dalam dua bentuk
yaitu bubuk dan cairan. Bubuk yang digunakan untuk teknik ART adalah silikonoksida yang mengandung kaca,
aluminiumoksida, dan kalsium fluoride. Likuid yang digunakan untuk teknik ART adalah asam poliakrilik, asam
tartarat dan air.7

Sifat-sifat Mekanis
Sifat semen ionomer kaca merupakan gabungan antara semen silikat dan semen polikarboksilat,
misalnya mekanisme adhesi, translusensi dan sifat anti karies. Sifat bahan ini dapat berbeda akibat perubahan
komposisi bubuk kaca atau perubahan formulasi polyacid. Sifat-sifat mekanis semen ionomer kaca, antara lain:8
mempunyai kemampuan untuk berikatan dengan dentin dan email secara kimia sehingga didalam menggunakan
bahan ini tanpa harus melakukan preparasi kavitas, sifat fisik yang menonjol dari semen ionomer kaca sebagai
bahan restorasi adalah kekuatan terhadap fraktur, salah satu sifat semen ionomer kaca yang sangat penting adalah
memiliki sifat anti kariostatik karena mengandung fluor, sedikit mengiritasi terhadap pulpa, sebagai bahan
restorasi, kelemahan sifat semen ionomer kaca adalah kurang translusen dibandingkan resin komposit.

Manipulasi Bahan
Bubuk dan cairan dipisahkan di atas paper atau mixing pad, dan bubuk dibagi dalam dua porsi yang
sama. Untuk bahan restorasi, perbandingan rasio bubuk dan cairan sebesar 3,1 : 1,0. Porsi yang pertama
disatukan dengan cairan yang menggunakan spatula sebelum porsi yang kedua ditambahkan. Waktu yang
diperlukan untuk menyelesaikan pencampuran adalah 30 detik. Produk yang dalam bentuk kapsul, proses
pencampuran diselesaikan dalam waktu 10 detik pada alat pencampuran mekanis dan diaplikasikan langsung
pada permukaan gigi. Semen harus segera digunakan karena waktu kerja setelah proses pencampuran sekitar 2
menit pada suhu ruangan/suhu kamar (23 derajat celcius).
Bubuk dan cairan tidak boleh dikeluarkan ke permukaan alas aduk sampai prosedur pengadukan siap
untuk dilakukan. Kontak yang terlalu lama dengan atmosfir ruangan akan mengubah rasio yan tepat dalam cairan.
Hasil pencampuran bubuk dan cairan diharapkan mempunyai permukaan yang mengkilap. Apabila terbentuk
permukaan yang kusam dan ikatan adhesi ke gigi tidak ada sebab pada proses pengadukan dilakukan terlalu lama
dan bahan ini tidak dapat digunakan.9

Bahan Kondisioner
Pada kavitas yang akan diaplikasikan dengan bahan semen ionomer kaca tipe restorasi sebelumnya
diulasi dengan kondisioner dentin terlebih dahulu untuk menghilangkan smear layer sehingga perlekatannya pada
struktur gigi (email dan dentin ) lebih baik. Smear layer adalah lapisan yang terbentuk dari serpihan bahan
pengikis atau mata bur.
Istilah kondisioner permukaan pertama kali diperkenalkan oleh Mc Lean dan Wilson. Istilah ini
diperkenalkan untuk membedakan asam organik yang kuat seperti asam fosfat. Bahan kondisioner yang sering
digunakan pada teknik ART adalah asam poliakrilat 10% yang akan menghasilkan permukaan yang terbaik untuk
pertukaran ion. Smear layer pada gigi permanen dapat dihilangkan dengan asam poliakrilat 10% dalam waktu 10
sampai 15 detik; sedangkan bila lebih dari 20 detik akan terjadi demineralisasi dentin dan email, serta
menyebabkan tubulus dentin terbuka. Di samping itu, apabila menggunakan asam fosfat sebagai bahan
kondisioner maka menyebabkan terbukanya tubulus dentin, sehingga permukaan dentin menjadi kehilangan
mineral. Keadaan seperti ini akan mengurangi kualitas pertukaran ion pada semen ionomer kaca dan dentin.
Kondisioner yang paling efektif adalah kondisioner yang dapat membentuk ikatan hidrogen dengan permukaan
gigi, sehingga menambah pembasahan dengan semen ionomer kaca, dan juga menjamin terambilnya smear
layer.1

TEKNIK ART
Teknik ART merupakan salah satu perawatan dengan sedikit menggunakan peralatan kedokteran gigi
seperti peralatan yang dioperasikan dengan listrik. Teknik ini melibatkan pengambilan jaringan gigi yang terkena
karies dengan menggunakan peralatan genggam, yang dilanjutkan dengan menumpat kavitas yang sudah
dibersihkan dengan bahan restorasi adhesive. Perawatan dengan teknik ini hanya menyebabkan sedikit rasa sakit
dan tidak memerlukan anestesi lokal. Teknik ini dikembangkan karena jutaan manusia di negara berkembang,
kelompok-kelompok pengungsi serta orang-orang yang hidup didalam kemiskinan tidak mampu mendapatkan
perawatan gigi. Alasan utama tidak dilakukannya perawatan karena perawatan penumpatan membutuhkan peran
seorang dokter gigi dan peralatan yang mahal, serta tidak adanya listrik di daerah tertentu. Penumpatan dengan
menggunakan teknik ART tidak memerlukan listrik serta peralatan yang mahal, tetapi hanya membutuhkan alat-
alat genggam untuk membersihkan lubang gigi dan bahan restorasi adhesive, yaitu semen ionomer kaca.2
Frencken merupakan pelopor pertama penggunaan teknik ART di Tanzania pada pertengahan tahun
1980-an dan diperkenalkan di Afrika Selatan pada awal tahun 1990-an. Teknik ART ini sudah diakui oleh WHO
serta dimasukkan sebagai salah satu bagian penting dari perawatan mulut dasar. Teknik ini digunakan untuk
menghadapi masalah besar dalam menangani karies yang tidak dirawat di Negara berkembang. Pada tahun 1993,
dilakukan penelitian lapangan di Zimbabwe oleh Frencken bahwa kurang lebih 83% tumpatan satu permukaan
pada gigi permanen setelah 3 tahun masih tetap dalam kondisi yang baik. Pendapat ini juga diperkuat dengan
penelitian di Pakistan pada tahun 1995 menunjukan bahwa rasa sakit jarang ditemukan pada gigi yang ditumpat
setelah menggunakan teknik ini. Oleh karena itu metode ART juga dapat disebut patient friendly.3
Zonkizizwe dan Orange Farm di propinsi Gauteng merupakan dua tempat yang masih terbelakang
dimana pernah dilakukan perawatan dengan teknik ART. Perawatan diberikan pada 1336 pasien, dimana 496
pasien menerima perawatan ART dan 1008 pasien giginya dilakukan pencabutan. Seluruh anak-anak dan orang
dewasa merespon positif perawatan ini, terutama anak-anak sangat senang menerima perawatan restorasi ini
karena tidak sakit dan tidak memerlukan anastesi lokal.4 Teknik ART ini memang dianjurkan untuk digunakan
sebagai suatu cara menghentikan proses karies pada anak-anak sebab prosentase anak usia 12 tahun mengalami
kerusakan gigi ternyata 76,5% dibiarkan tidak terawat, 19% telah dicabut dan yang dirawat baru mencapai 4,5%.

Prosedur Kerja
Pada umumnya, perawatan terhadap gigi berlubang didasarkan pada pembuangan semua jaringan karies
serta membuang bakteri dari penyebab karies. Dalam mengembalikan jaringan yang sehat, jaringan yang karies
harus dibuang. Kemudian kavitas dibentuk dan dibuatkan undercut untuk membentuk retensi pada bahan
tumpatan. Sedangkan pada teknik ART, yang dibuang hanya jaringan lunak yang sudah rusak kemudian ditumpat
dengan bahan tumpatan semen ionomer kaca.
Tahapan-tahapan yang dilakukan pada teknik ART, yaitu:6
a. Diagnosis Karies
Salah satu keberhasilan dalam penanggulangan karies ditentukan oleh penegakan diagnosis yang tepat
dan akurat. Hal ini akan sangat membantu dalam menyusun rencana perawatan yang sesuai, sehingga
kesalahan perawatan atau tindakan yang sebetulnya tidak perlu dapat dihindari. Dalam menegakkan diagnosis,
harus didasarkan pada anamnesis, pemeriksaan klinis, dan radiologis.
b. Persiapan Kavitas
Pada daerah kerja, cotton roll diletakkan di sepanjang gigi yang akan dirawat agar tetap dalam keadaan
kering. Plak dihilangkan dari permukaan gigi dengan cotton pellet basah, kemudian dikeringkan dengan cotton
pellet kering agar besarnya karies dapat terlihat lebih baik. Jaringan karies diambil dengan menggunakan
ekskavator dengan gerakan memutar. Kavitas yang kurang lebar dilebarkan dengan menggunakan hachet/hoe.
Tepi-tepi kavitas dirapikan dengan pahat email.
c. Pembersihan Kavitas
Kavitas dibersihkan dengan cotton pellet basah dan di keringkan dengan cotton pellet kering. Cotton roll
diletakkan agar gigi tetap kering pada daerah yang akan dirawat. Kavitas yang telah bersih dan kering diulasi
dengan dentin conditioner untuk meningkatkan ikatan antara bahan tumpatan dengan jaringan gigi.
d. Penumpatan Kavitas
Setelah kavitas diberi kondisioner, dicuci, dan dikeringkan; campuran bahan tumpatan dimasukkan ke
dalam kavitas dengan menggunakan alat applier/karver yang ujungnya tumpul, kemudian ditekan dengan ibu
jari (teknik press finger) yang sudah memakai sarung tangan yang sebelumnya diolesi dengan vaselin, untuk
menekan bahan tumpatan ke permukaan kavitas gigi yang akan ditumpat. Teknik press finger ini mempunyai
dua fungsi, yaitu: untuk menyelesaikan prosedur penumpatan dalam menutup permukaan gigi serta mencegah
adanya akumulasi sisa makanan untuk bakteri dan untuk menutup daerah pitt dan fissure sehingga dapat
mencegah terjadinya karies kembali. Untuk kavitas kelas II dan III, bahan tumpatan dapat ditekan dengan
matriks. Kelebihan tumpatan dibuang dengan menggunakan carver dan diolesi lagi dengan varnish. Pasien
tidak diperbolehkan makan kurang lebih 1 jam.

PENUTUP
Semen ionomer kaca selain untuk teknik ART atau fissure sealant dapat digunakan di klinik dan pada
umumnya sebagai bahan tumpatan gigi sulung, bahan tumpatan kelas V, bahan tumpatan pengganti amalgam,
bahan tumpatan pengganti komposit dan basis untuk tumpatan amalgam atau komposit.8
Bahan tumpatan ART adalah semen ionomer kaca yang terdiri dari gelas aluminosilikat yang
berinteraksi dengan asam polialkenoat dalam pelarut air. Semen ionomer kaca merupakan bahan pilihan utama
dari sekian banyak bahan restorasi adhesive yang ada. Teknik ini menggunakan bahan semen ionomer kaca sebab
bahan ini melekat pada jaringan email dan dentin serta tidak banyak diperlukan pengambilan jaringan sehat,
mengeluarkan fluor secara terus menerus setelah mengeras sehingga dapat mencegah karies lebih lanjut dan tidak
mengganggu pulpa atau gusi.7 Semen ionomer kaca yang digunakan adalah semen ionomer kaca yang memiliki
viskositas tinggi, memiliki daya serap air dengan perbandingan rasio bubuk dan cairan yang lebih tinggi daripada
semen ionomer kaca konvensional yaitu sebesar 3,6 : 1,0.
Teknik ART merupakan hasil perkembangan penelitian dan pengetahuan dibidang patologi karies gigi,
perkembangan bahan tumpatan gigi, perkembangan ilmu kedokteran selama bertahun-tahun dan juga berdasarkan
perkembangan masalah kesehatan yang terjadi di masyarakat.9

DAFTAR PUSTAKA
1. Adyatmaka A. Perkembangan teknik ART sebagai cara mempertahankan gigi untuk anak sekolah dasar.
Majalah Dental Horison 1999; 1(7): 16.
2. Andajani LT. Mengapa gigi sulung harus dirawat. Jurnal PDGI 2000; 1: 52-5.
3. Anuvice KJ. Phillips: Buku ajar ilmu bahan kedokteran gigi, Johan AB dan Susi P (penterjemah) 10ed.
Jakarta: EGC Penerbit buku Kedokteran. 2003: 449-55.
4. Brisolla OP. Diametral tensile strength and water sorpition of glasslonomer cement used in atraumatic
restorative treatment. Journal Of Applied Oral Science 2003; 11(2).
5. Craig RG and Ward L. Restoratve dental materials, 10ed. Philadelphia: Mosby co. 1997.
6. Darnus, Suwelo IS, Hendralin S. Gambaran penetrasi semen ionomer kaca kedalam dentin gigi sulung
dengan dan tanpa dentisioner. JDUI 2003. 10(ed.khusus): 423-9.
7. Frencken JO, Phantumvanit P, Pilot T, Songpaisan Y dan Amerongen EV. pedoman perawatan restoratif
atraumatik : pendekatan penggulangan karies gigi, Suryo S (penterjemah). Yogyakarta: Gajah Mada
Universitas Press. 1999.,
8. Frencken JO, Hof vant MA, Amerongen van WE, Holmgren CJ. Effectiveness of single-surface ART
restorations in the permanent dentition: a meta-analysis. J Dent Res 2004; 83(2): 120-3.
9. Grossman E. The ART of restoring teeth. MRC News 2002; 33(1): Available from:
http://www.mrc.ac.za/mrcnews/feb2002/teethart.htm.
Kondisi pH saliva penderita gingivitis anak usia gigi bercampur
Yanuaris Widagdo, Nuraini Sulistiawati, Dewi Laksmi
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar

ABSTRACT
The aim of this study was to know the salivary pH condition of mixed`dentition patient with
gingivitis. In this cross sectional study, 30 children were randomly selected with simple random sampling
technique to examine their salivary pH condition. The result showed that the mild gingivitis subjects with
acid pH were 2 children, with normal pH were 6 children, with basa pH were 10 children. The moderate
gingivitis subjects with acid pH were 2 children, with normal pH only 1, and with basa pH were 5 children.
The severe gingivitis subjects with acid pH only 1, with basa pH were 3 children, and neither with normal
pH.

Key words: salivry pH, gingivitis, mixed dentition

Korespondensi: Yanuaris Widagdo, Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar, Jl.
Kamboja 11A Denpasar, Telp. (0361) 7424079, 7642701, Fax. (0361) 261278

PENDAHULUAN
Masalah utama kesehatan gigi di Indonesia adalah keadaan kebersihan mulut yang umumnya kurang
memenuhi syarat kesehatan sehingga menyebabkan tingginya prevalensi penyakit periodontal. Profil
kesehatan gigi dan mulut di Indonesia, menggambarkan bahwa dari 12 jenis penyakit gigi dan mulut yang
diderita masyarakat yang berobat di rumah sakit Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, penyakit
periodontal menduduki urutan kedua (24,82%). Di Puskesmas, dari empat jenis penyakit gigi dan mulut yang
diderita masyarakat, kelainan periodontal menduduki urutan pertama (36,05 %). Ini merupakan suatu
gambaran bahwa status kesehatan jaringan periodontal masih memerlukan perhatian.1
Penyakit periodontal banyak diderita oleh semua golongan umur. Keadaan penyakit yang berat
ataupun ringan mengganggu penampilan klinis, kenyamanan, hingga psikis penderitanya. Keadaan ini terdiri
dari sekumpulan penyakit dengan tanda-tanda, penyebab, perjalanan penyakit, serta respons terhadap terapi
yang hampir sama. secara tradisional, penyakit ini terdiri dari dua katagori yaitu penyakit-penyakit gingiva
dan penyakit-penyakit periodontal.2 Kelainan periodontal merupakan suatu keradangan kronis, biasanya
berupa gingivitis dan periodontitis, tergantung pada perluasan kerusakan jaringannya. Pada gingivitis,
peradangan hanya mengenai jaringan gusi tanpa menyerang tulang alveolar dan ligamen periodontal.1
Saliva memainkan peranan penting dalam pemeliharaan kesehatan mulut. Banyak hal yang dapat
dihubungkan dengan menurunnya flow saliva dengan kesehatan mulut.3 Dalam keadaan normal, gigi geligi
selalu dibasahi oleh saliva, yang mempunyai derajat keasaman (pH) yang dapat berubah setiap saat. Hal ini
dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain irama siang dan malam, diet, perangsangan dan kecepatan
sekresi. pH saliva dalam keadaan normal, antara 5,7 70 dengan rata-rata 6,74.4 Selain sebagai pelumas
makanan pada proses penelanan, saliva juga mengandung sejumlah bahan yang mempunyai fungsi biologis,
seperti pada sistem kekebalan terhadap bakteri yang masuk melalui mulut. Bakteri dapat memasuki rongga
mulut melalui makanan yang dikonsumsi, diolah di mulut, berdiam beberapa saat dalam rongga mulut, yang
selanjutnya merusak gigi dan jaringan sekitar tempat melekatnya makanan dan berpotensi merusaknya.
Terhadap kondisi-kondisi tersebut tubuh mempunyai suatu sistem untuk mengantisipasi, selain dengan
adanya sistem kekebalan, juga melalui sistem antimikrobial, terutama dari protein yang terkandung di dalam
saliva. Oleh karena itu, faktor yang berperan terhadap timbulnya penyakit gigi dan mulut seperti host
(pejamu), substrat makanan, mikroorganisme serta lamanya faktor-faktor tersebut saling berkontak satu sama
lainnya, sangat memegang peranan penting untuk terjadinya kelainan di dalam rongga mulut baik pada orang
dewasa maupun anak-anak.5Salah satu penyakit gigi dan mulut yang sering terjadi pada anak-anak adalah
gingivitis atau keradangan pada gusi yang dapat terjadi pada semua kelompok umur termasuk pada anak-
anak berumur di bawah 5 tahun serta makin tingginya tingkat keparahan dan prevalensi sesuai dengan
bertambahnya umur anak tersebut.6 Gingivitis sering dihubungkan dengan erupsinya gigi susu dan gigi
permanen, atau sering disebut dengan fase gigi bercampur dan juga sering dihubungkan dengan tanggalnya
gigi susu, tetapi dapat sembuh kembali dengan sendirinya secara spontan. Kebanyakan gingivitis pada anak-
anak dihubungkan dengan adanya plak, meterial alba, dan kalkulus.7
GINGIVITIS
Gingivitis merupakan suatu keradangan pada gusi yang merupakan tahap awal dari perjalanan
penyakit gusi dan jaringan penyangga/jaringan periodonsium yang ditandai dengan jaringan gingiva
berwarna lebih merah, mudah berdarah, bau mulut kurang sedap (halitosis), dan adanya kotoran pada
perbatasan gigi dan gingival. Penyebab gingivitis adalah adanya sisa makanan yang tidak sempurna
pembersihannya, dan dikombinasikan dengan saliva dan bakteri akan membentuk kotoran putih yang melekat
pada gigi yang dinamakan plak.8,9
Perubahan pertamakali terlihat di sekitar pembuluh darah gingiva yang kecil, di sebelah apikal dari
epitelium junction. Pembuluh ini mulai bocor dan kolagen verivaskuler mulai menghilang, digantikan dengan
beberapa sel inflamasi, sel plasma dan limfosit (terutama limfosit T) cairan jaringan dan protein serum.
Terlihat peningkatan migrasi leukosit melalui epitelium junction dan eksudat dari cairan jaringan dari leher
gingiva. Selain meningkatnya aliran eksudat cairan, tidak terlihat adanya tandatanda klinis dari perubahan
jaringan pada tahap ini.9 Bila deposit plak masih ada, perubahan inflamasi tahap awal akan berlanjut disertai
dengan meningkatnya aliran cairan gingiva. Perubahan yang terjadi baik pada epitelium junction maupun
pada epitelium krevikuler merupakan tanda dari pemisahan sel dan beberapa proliferasi sel basal. Fibroblas
mulai berdegenerasi dan bundel-bundel kolagen dari kelompok serabut dentogingiva pecah sehingga seal dari
cuff marginal gingiva menjadi lemah pada keadaan ini terlihat peningkatan jumlah sel-sel inflamasi, 75 %
diantaranya terdiri dari limfosit. Juga terlihat adanya beberapa sel plasma dan makrofag. Dan dalam waktu 2
sampai 3 minggu akan terbentuk gingivitis yang sangat parah.9
Secara umum gingivitis dapat dibagi menjadi 6 jenis, diantaranya:10 Gingivitis Kronis, merupakan
penyakit gingiva yang diakibatkan oleh proses radang kronis dengan warna gingiva merah kebiruan, kontur
gingiva bengkak membulat, mudah berdarah sewaktu probing dan menyikat gigi, umumnya tidak sakit
kecuali ada eksaserbasi akut, radiografi terlihat hanya mengenai jaringan lunak saja; Gingivitis Kronis
modifikasi faktor sistemik, disebabkan oleh suatu iritasi (faktor lokal) dan memodifikasi respon jaringan
tubuh terhadap iritasi (faktor sistemik), yang dapat dikelompokan lagi sebagai berikut: gingivitis defisiensi
vitamin C, disebabkan oleh iritasi lokal yang diperberat bila kekurangan vitamin C dengan tanda-tanda
gingiva merah kebiruan, gingiva membesar, lunak, licin dan mengkilap, nekrosis pseudomembran, mudah
berdarah, dan terbentuk poket gingiva; gingivitis leukemia, disebabkan oleh karena produksi sel darah putih
yang berlebihan dengan tanda-tanda gingiva berwarna biru keunguan karena stagnasi darah pada jaringan
gingiva, pembesaran seperti masa tumor, agak keras, mengkilap, ulserasi, nekrosis, pseudomembran, mudah
berdarah, dan terbentuk poket gingiva; gingivitis pubertas, terjadi pada masa pubertas, berkurang setelah
umur 17 sampai 18 tahun, dengan tanda-tanda gingiva berwarna merah kebiruan, pembesaran marginal dan
interdental, membulat, edematus, licin, mengkilap, dan mudah berdarah; gingivitis pegnansi, gingivitis yang
terjadi pada saat kehamilan dengan tanda-tanda gingiva berwarna merah terang atau merah kebiruan, terjadi
pembengkakan, dan mudah berdarah. Pembagian gingivitis selanjutnya adalah: Gingivitis berhubungan
dengan bernafas melalui mulut, terjadi pada seseorang yang bernapas melalui mulut oleh karena obstruksi
hidung, pembesaran adenoid, deviasi septum nasal, trauma, tumor nasal, alergi, kebiasaan buruk, dan posisi
tidur dengan mulut terbuka; Gingivitis Alergi, gingivitis yang disebabkan oleh respon abnormal jaringan
terhadap agen tertentu (makanan, minuman, pasta gigi, obat kumur, obat-obatan lain) dengan tanda-tanda
gingiva kemerahan, perih, nekrosis, edema, ulserasi, dan terjadi pembentukan vesikel; Gingivitis
Deskuamasi, terjadi berkaitan dengan dermatosis: pemphigus, pemphigoid cicatricial benign mucous
membrane pemphigoid, lichen planus, dan umumnya terjadi pada wanita dengan tanda klinis epitel
terkelupas, berdarah, perih pada perubahan suhu dan makanan, gingival merah menyala, licin, dan
mengkilap; Gingivitis Akut, merupakan penyakit gingiva yang diakibatkan oleh proses radang akut dengan
tanda-tanda onset cepat, simptom berat, dan biasanya berlangsung dengan cepat.
Selain yang disebutkan diatas ada juga beberapa jenis gingivitis pada anak, yaitu:11 Gingivitis
Marginalis Kronis, penyebab utama dari gingivitis ini adalah plak di samping karena faktor kebersihan
rongga mulut, seperti adanya material alba, kalkulus serta adanya kebiasaan buruk; Gingivitis yang
dihubungkan dengan erupsi gigi, istilah yang umum digunakan adalah Eruption Gingivitis. Gigi yang
erupsi tidak menyebabkan gingivitis, tetapi keradangan akan terjadi apabila adanya akumulasi plak disekitar
gigi yang akan erupsi. Keradangan akan menyebabkan perubahanperubahan seperti bertambah besarnya
ketinggian normal dari marginal gingival dan pengaruhnya adalah pembesaran gingival (gingival
enlargement ); Gingivitis yang disebabkan oleh gigi desidui yang goyang dan terlepas sebagian,
terkikisnya tepi dari gigi desidui yang resorbsi menyebabkan terjadinya penumpukan plak sehingga
menyebabkan perubahan-perubahan gingiva seperti adanya perubahan warna, edema dan mungkin sampai
terbentuknya abses; Gingivitis pada gigi yang malposisi, gingivitis akan meningkat pada anak dengan
excessive overbite dan overjet, penyumbatan saluran pernafasan serta kebiasaan bernafas melalui mulut.
Dalam menentukan diagnosis perlu diperhatikan tanda-tanda gingiva yang sehat dan absennya
keadaan ini menunjukkan adanya penyakit. Tanda-tanda klinisnya adalah sebagai berikut:9 Perubahan
bentuk gingiva, perubahan bentuk biasanya dinyatakan menurut warna, bentuk, ukuran, konsistensi, dan
karakteristik permukaan. Gingiva yang sehat berwarna merah muda pucat dan tepinya setajam pisau serta
berbentuk scallop, papilanya ramping, sering mempunyai groove karena adanya sluce-way dan perlekatan
gingiva berstrippling. Bila pembuluh darah terdilatasi, jaringan akan menjadi merah, bengkak dengan eksudat
inflamasi. Pengbengkakan inflamasi yang paling jelas adalah pada remaja dan dewasa muda sehingga akan
terbentuk poket palsu. Poket disebut palsu karena berlawanan dengan poket asli atau poket periodontal
yang terbentuk akibat pergeseran ke apikal epithelium krevikuler bila ligamentum periodontal rusak akibat
inflamasi; Perdarahan gingiva, perdarahan gingiva mungkin merupakan keluhan yang paling sering
diajukan oleh pasien. Sayangnya perdarahan gingiva sangat umum sehingga banyak orang yang tidak begitu
memperdulikannya dan bahkan menganggapnya normal; meskipun demikian, kecuali bila perdarahan itu
terjadi setelah trauma akut, perdarahan hampir selalu merupakan tanda patologi; Nyeri dan sakit, merupakan
tanda yang langka dari gingivitis dan mungkin merupakan alasan utama mengapa penyakit ini sering kurang
mendapat perhatian. Gingiva mungkin terasa nyeri bila pasien menyikat gigi dan karena itu pasien cenderung
menyikat lebih lembut dan lebih jarang sehingga plak akan makin terakumulasi dan kondisi ini menjadi
makin parah; Rasa tidak enak, pasien mungkin merasa adanya darah khususnya bila mereka menyedot
daerah interdental. Sayangna, rasa ini sering tidak nyata dan umumnya merupakan keluhan yang relatif
jarang; Halitosis, bau mulut sering menyertai penyakit gingiva dan merupakan penyebab umum dari
kunjungan pasien ke dokter gigi. Bau berasal dari darah dan kebersihan mulut yang buruk dan perlu
dibedakan dengan bau akibat sumber lainnya.

GINGIVITIS PADA GIGI BERCAMPUR


Pada beberapa pasien terutama pada anak usia muda, deposit kalsifikasi mungkin tidak terlihat dan
perawatan inflamasi gingiva lebih banyak bersifat pengkontrolan plak.9 Gingivitis pada gigi bercampur
diantaranya adalah sebagai berikut:7 Gingivitis Marginal Kronis, sering dijumpai pada anak-anak,
dihubungkan dengan erupsinya gigi susu dan gigi permanen, dimana suatu survey yang dilakukan di Inggris
(Todd dan Dodd, 1985) menunjukkan bahwa kondisi ini muncul pada 18 % anak-anak berusia 5 tahun, 40 %
pada anak berusia 15 tahun; Gingivitis Artefakta, merupakan lesi yang terjadi paling sering terlihat pada
marginal gingival atau papilla, biasanya terjadi karena kaku jari. Lesi dapat berupa ulser atau berkerutnya
margin gingival setempat dari gigi, yang memperlihatkan permukaan akar.

SALIVA
Saliva merupakan suatu cairan yang disekresikan di dalam mulut yang sangat komplek yang terdiri
atas campuran atau kombinasi dari kelenjar ludah besar dan ludah kecil yang ada pada mukosa oral, dimana
saliva yang terbentuk di rongga mulut sekitar 90% dihasilkan oleh kelenjar submaksila dan kelenjar parotis
dan 5% dihasilkan oleh kelenjar sublingualis serta 5% dihasilkan oleh kelenjar-kelenjar ludah yang kecil.12
Komposisi saliva terdiri dari 94,0% - 99,5% air, bahan organik dan anorganik. Komponen anorganik
saliva antara lain Na+, K+, Ca2+, Mg2+, Cl-, SO4, H2, PO4, HPO4, sedangkan komponen organik utama
adalah protein. Selain itu juga ditemukan lipid, glukosa, amino, ureum, amoniak dan vitamin.13 Menurut
Tarigan (1995), bahan lain yang terkandung didalam saliva selain air adalah:14 mucin (glikoprotein saliva),
putih telor, mineral lain seperti K, Na, epithel, leukosit dan limposit, bakteri-bakteri dan enzym-enzym.
Saliva mempunyai berbagai macam fungsi diantaranya adalah:9,12 pada proses pencernaan, membantu
membentuk bolus makanan dan memperoduksi amilase untuk mencerna serat. Aliran cairan yang kental
membantu menghilangkan bakteri, debris sel dan kotoran makanan yang akhirnya akan menghambat
pembentukan plak; biokarbonat dan fosfat memberi efek buffer pada makanan dan asam bakteri; musin saliva
dan konstituenya melindungi permukaan mulut dan permukaan gigi; membentuk lapisan mucus pelindung
ada membrana mukosa yang akan bertindak sebagai barier terhadap iritan dan akan mencegah kekeringan;
mampu melakukan aktivitas anti bakteri dan virus karena selain mengandung antibodi spesifik (secretary Ig
A) juga mengandung lisosim, laktoferin, dan laktoperoksida.
Derajat asam dan kapasitas buffer ludah selalu dipengaruhi perubahan-perubahan, seperti:15 Irama
siang dan malam, pH saliva dan kapasitas buffer tinggi segera setelah bangun (keadaan isitirahat), tetapi
kemudian cepat turun; tinggi, seperempat jam setelah makan (stimulasi mekanik), tetapi biasanya dalam
waktu 30 60 menit turun lagi; agak naik sampai malam, tetapi setelah itu turun lagi; Diet, diet kaya
karbohidrat menurunkan kapasitas buffer, menaikkan metabolisme produksi asam oleh bakteri-bakteri mulut;
diet protein mempunyai efek menaikkan kapasitas buffer dan membangkitkan pengeluaran zat-zat basa
seperti amoniak; Perangsang kecepatan sekresi, bila sekresi saliva tidak cukup maka akan menggangu
kesehatan mulut. Sekresi saliva dapat mengakibatkan mulut kering, penurunan pengecapan, kesukaran
mengunyah dan menelan, keluhan rasa sakit pada lidah dan mukosa serta menyebabkan karies dan
kehilangan gigi. Terjadinya kekurangan sekeresi saliva antara lain: bernafas melalui mulut, gangguan fungsi
kelenjar lidah mayor, penggunaan obat-obatan dan penyinaran yang dilakukan pada penyakit karsinoma,
penyumbatan kelenjar saliva misalnya Sialolitiasis.

BAHAN DAN CARA


Penelitian ini menggunakan disain deskriptif observasional dengan pendekatan cross sectional dengan
variabel penelitian yaitu variabel pengaruh adalah gingivitis pada anak usia gigi bercampur dan variable
terpengaruhnya adalah pH saliva. Sampel ditentukan dengan menggunakan teknik simple random sampling
dengan cara undian sehingga didapatkan 30 orang anak. pH Saliva diukur dengan menggunakan kertas
lakmus dengan kreteria pH Saliva Asam: pH < 6,8, Normal: pH 6,7 7, dan Basa : pH > 7. Pengukuran
gingivitis menggunakan Gingivitis Index ( Loe dan Sillness,1963 cit Spokky 1990) yaitu Jumlah nilai per
gigi dibagi jumlah gigi yang diperiksa.
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kertas lakmus, stopwatch, kapas, alkohol
dan set alat diagnose serta form pencatat hasil penelitian.

HASIL PENELITIAN
Dari data pada tabel 1 terlihat bahwa dari 30 orang anak untuk kriteria dengan gingivitis ringan,
yang memiliki pH asam sebanyak 2 orang, pH normal 6 orang dan pH basa 10 orang. Untuk kriteria dengan
gingivitis sedang, yang memiliki pH asam sebanyak 2 orang, pH normal 1 orang dan pH basa 5 orang.
Kriteria gingivitis buruk untuk pH asam 1 orang, pH normal 0 dan pH basa 3 orang.

Tabel 1. Tabel pH Saliva pada penderita gingivitis anak


usia gigi bercampur

Ph Saliva
Variabel Total
Basa Normal Asam
Gingivitis Ringan 10 6 2 18
Gingivitis Sedang 5 1 2 8
Gingivitis Buruk 3 0 1 4

PEMBAHASAN
Dari hasil penelitian yang dilakukan untuk mengetahui pH saliva pada penderita gingivitis anak usia
gigi bercampur di SD No 2 Petulu, Kecamatan Ubud Kabupaten Gianyar yang berjumlah sebanyak 30 orang,
didapatkan hasil bahwa anak dengan gingivitis ringan yang memiliki pH asam sebanyak 2 orang, pH normal
sebanyak 6 orang, dan pH basa sebanyak 10 orang. Sedangkan untuk anak dengan gingivitis sedang, yang
memiliki pH asam sebanyak 2 orang, pH normal sebanyak 1 orang dan pH basa sebanyak 5 orang. Dan anak
dengan gingivitis buruk dengan pH asam sebanyak 1 orang, pH normal tidak ada dan pH basa sebanyak 3
orang.
Kecepatan aliran saliva maksimal terjadi pada siang hari. Selain itu posisi tubuh juga mempengaruhi
kecepatan aliran saliva dan posisi tubuh berdiri meningkatkan kecepatan aliran saliva yang mencapai
kecepatan aliran saliva tertinggi. Untuk mengukur kecepatan aliran dan pH saliva guna kepentingan
penelitian, diperlukan sejumlah saliva yang dikumpulkan 2 jam
setelah makan untuk membebaskan pengaruh makanan terhadap sekresi saliva.16
Seseorang yang makan makanan yang mengandung gula akan didapatkan penurunan pH saliva yang
menunjukkan terbentuknya asam dari hasil proses fermentasi karbohidrat oleh bakteri asidogenik. Asam yang
terbentuk akan mempengaruhi pH saliva yaitu menurunnya pH saliva.17 Beberapa proses fisiologis yang
dipengaruhi oleh saliva antara lain aktivitas enzimatik, proses demineralisasi jaringan keras serta ikatan zat
asam dan asam arang pada hemoglobin didalam eritrosit. Penurunan pH saliva dalam rongga mulut dapat
menyebabkan demineralisasi elemen elemen gigi dengan cermat, sedangkan pada kenaikan pH saliva dapat
terbentuk kolonisasi bakteri yang menyimpang dan juga meningkatnya pembentukan kalkulus.17
Kalkulus merupakan masa yang mengalami kalsifikasi yang melekat pada permukaan gigi. Biasanya
kalkulus terdiri dari bakteri plak yang mengalami mineralisasi. Kalkulus merupakan faktor patogenik
terhadap penyakit periodontal terutamanya adalah penyakit gingivitis. Gingivitis paling sering dijumpai
dalam keadaan kronis dan tanpa sakit, tetapi episode akut dan sakit dapat menutupi keadaan kronis tersebut.
Keparahannya sering kali dinilai berdasarkan perubahan- perubahan dalam segi warna, kontur, konsistensi
dan adanya perdarahan. Perkembangan gigi geligi dan beberapa bentuk metabolik sistemik tertentu sering
terjadi pada anakanak. Hal ini dapat menyebabkan kerusakan gingival dan jaringan periodontal lainnya
dimasa datang. Pada anak SD dengan usia gigi bercampur sering dihubungkan dengan gingivitis, dimana
pada fase gigi bercampur tersebut gigi sulit dibersihkan.6
Hadnyanawati (2002), berpendapat bahwa siswa yang mengalami gingivitis lebih banyak daripada
siswa yang sehat. Keadaan ini berhubungan dengan tingkat kebersihan gigi dan mulutnya. Semakin buruk
tingkat kebersihan gigi dan mulutnya, maka semakin mudah terserang gingivitis. Karena itu penting sekali
untuk menjaga kebersihan gigi dan mulut, serta melakukan kontrol plak secara teratur dan teliti. Pembersihan
plak merupakan bagian yang mendasar dari perawatan kesehatan periodontal. Jika seseorang dapat
mempertahankan kesehatan gigi dan mulutnya secara teratur, ini akan membatasi resiko penyakit periodontal
yang lebih parah lagi. Oleh karena itu pengetahuan tentang peranan pH saliva pada terjadinya gingivitis dan
pentingnya kontrol plak harus segera dilakukan, dengan dibarengi sikap rajin menyikat gigi dengan baik dan
benar.18
Disimpulkan bahwa kondisi pH saliva pada penderita gingivitis anak usia gigi bercampur adalah
sebagai berikut: untuk gingivitis ringan dengan pH asam sebanyak 2 orang, pH normal sebanyak 6 orang, pH
basa sebanyak 10 orang; untuk gingivitis sedang dengan pH asam sebanyak 2 orang, pH normal sebanyak 1
orang dan pH basa sebanyak 5 orang; untuk gingivitis buruk dengan pH asam sebanyak 1 orang, pH normal
tidak ada dan pH basa sebanyak 3 orang. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut agar dapat digunakan sebagai
pembanding sehingga hasilnya dapat diketahui bagaimana pH saliva pada penderita gingivitis anak usia gigi
bercampur.

DAFTAR PUSTAKA
1. Sadono M, Ridnasari I dan Roeslan B. Kadar imunglobulin G serum daerah predileksi gingivitis dan
periodontitis. Jurnal PDGI 1997; 46(1): 22-5.
2. Nurul D. Infeksi dalam bidang periodonsia. J Kedokteran Gigi Universitas Indonesia 2002;9(1): 14-6.
3. Hikmah N, Djamhari M dan Hadi P. Perbedaan Flow saliva antara wanita pre menopause dan pasca
menopause. Majalah Kedokteran Gigi Universitas Airlangga 2003; 36(2): 74-6.
4. Dikri I, Soetanto S dan Widjiastuti I. kelarutan kalsium pada enamel setelah direndam saliva buatan pH
5,5 dan pH 6,5. Majalah Kedokteran Gigi Universitas Airlangga 2003; 36(1): 7-10.
5. Djamil MS. Mekanisme fluor menghambat kerja enzim air liur, J Kedokteran Gigi Universitas
Indonesia 2000; 7(12): 1-4.
6. Widagdo Y, Sulistiani T dan Sumantri. Tingkat kebersihan mulut terhadap gingivitis pada siswa kelas VI
SD binaan dan non binaan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar. J Kedokteran
Gigi Universitas Mahasaraswati 2004; 2(2): 55-7.
7. Andlaw RJ dan Rock WP. Perawatan gigi anak, 2ed, A Djaya (penterjemah). Jakarta: Widya Medika.
1992: 181-2.
8. Sjuhada. Penyakit Gusi, [Homepage of Indonesia e-dental Information], 2004, [online]. Available from:
http//www. Geocities.com/sjuhada/penyakit gusi.html Accessed May 15, 2004.
9. Manson JD dan Eley BM. Buku ajar periodonti. 2ed, Anastasia (penterjemah). Jakarta: Hipokrates. 1993:
81-157.
10. Carranza FA. Clinical Periodontology, Philadelphia: WB. Saunders Company. 1990: 302-13.
11. Adnyasari SM dan Astuti W. Gingivitis pada anak dan pencegahannya. J Kedokteran Gigi
Mahasaraswati 2003; 1(3): 109-13.
12. Kidd EAM dan Bechal SJ. Dasar-dasar karies, penyakit dan penanggulangannya. 2ed, Sumawinata dan
Faruk (penterjemah) Jakarta:. EGC. 1992: 66-8.
13. Minasari. Peranan saliva dalam rongga mulut. Majalah Kedokteran Gigi Universitas Sumatra Utara
1999; 14(2): 33-9.
14. Tarigan R. Karies gigi. 4ed. Jakarta: Hipokrates. 1995: 20-1.
15. Amerogen AVN. Ludah dan kelenjar ludah arti bagi kesehatan gigi, Rafiah Abyono (penterjemah).
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 1992: 36-9.
16. Haroen ER. Pengaruh stimulus pengunyahan dan pengecapan terhadap kecepatan aliran dan pH saliva,
JKGUI 2002; 9(1): 29-34.
17. Wulandari F. Perubahan pH saliva setelah makan makanan ringan yang mengandung sukrosa, Majalah
Kedokteran Gigi 2003; 36(2): 14-7.
18. Hadnyanawati H. Hubungan kebersihan gigi dan mulut dengan gingivitis pada siswa sekolah dasar kelas
V di kabupaten Jember. Jurnal Kedokteran Gigi Universitas Indonesia 2002; 9(2): 10-2.
1

Sitotoksisitas tissue conditioner terhadap biakan sel fibroblas gingiva manusia

Ari Susanti*, Widowati Siswomihardjo** dan Purwanto Agustiono***


*Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati
**Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Gadjah Mada
***Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Gadjah Mada

ABSTRACT
Tissue conditioner is supposed to be used only between 2 days to 1 week. However, patients some times
would use tissue conditioner more than the prescribed length of time. Tissue conditioner contains plasticizer that
will leach out into the saliva during the usage. Moreover, some of the plasticizer is known to be toxic. This
research aims to study the effect of tissue conditioner on citotoxicity of human fibroblast gingival cell culture.
The research uses 78 wells of human fibroblast gingival cell culture. The cell culture is applied with soaked tissue
conditioner with immersion times of 3, 7, 14, 21, and 28 days, then incubated for 48 hours. MTT test is used to
detect the citotoxicity of the tissue conditioner and ELISA plate reader at 550 nm wave length to read the OD
value. It relies on the OD value and average percentage of decayed cell at the immersion 3 days (18,086%), 7
days (19,392%), 14 days (45,874%), 21 days (24,468%), and 28 days (18,640%) are analyzed with one way
ANOVA. The variant analysis results reveal that the length of tissue conditioner immersion time significantly
affects the percentage of fibroblast gingival cell decay (p<0.05). The percentage of cell decay increases up to 14
day immersion time. After that, the percentage decreases

Key words: citotoxicity, tissue conditioner, human fibroblast gingival cell culture

Korespondensi: Desak Nyoman Ari Susanti, Bagian Ilmu Bahan Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Gigi
Universitas Mahasaraswati Denpasar, Jalan Kamboja 11A, Denpasar, Telp. (0361) 7424079, 7462701, Fax.
(0361) 261278

PENDAHULUAN
Gigitiruan digunakan untuk menggantikan gigi yang hilang dan diharapkan dapat berfungsi seperti gigi
asli. Pembuatan gigitiruan dikatakan berhasil apabila dapat dipakai secara nyaman, dapat menjamin estetika, dan
dapat berfungsi secara optimal. Kenyamanan ini tidak selalu bisa diperoleh terutama pada pemakai gigitiruan
yang mengalami kerusakan jaringan mukosa sebagai penyangga gigitiruan tersebut.1 Kerusakan jaringan mukosa
yang terjadi dapat berupa iritasi mukosa maupun ulkus yang disebabkan karena tekanan yang berlebihan pada
salah satu daerah tertentu akibat gigitiruan yang tidak kontak dengan akurat pada jaringan penyangga gigitiruan.
Salah satu cara guna mengatasi masalah tersebut adalah dengan mengaplikasikan tissue conditioner pada bagian
dalam gigitiruan yang kontak dengan mukosa penyangga gigitiruan.2 Tissue conditioner mempunyai mekanisme
kerja sebagai bantalan sementara yang dapat mendistribusikan tekanan-tekanan oklusal pada tulang alveolar
secara merata sehingga secara perlahan jaringan mukosa dapat kembali seperti semula.3
Komposisi tissue conditioner berupa bubuk dan cairan, bubuk biasanya adalah polimetilmetakrilat atau
kopolimer dari polietil atau metil metakrilat. Cairannya terdiri dari 4-50% etil alkohol, dan 60-80% ester
plasticizer, biasanya dari golongan phthalate ester seperti dibutyl phthalate atau butyl phthalyl butyl glycolate.4,5,6
Tissue conditioner ketika digunakan, selalu kontak dengan saliva yang 99% terdiri atas air. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa plasticizer dapat terlepas dari tissue conditioner. Plasticizer dapat terlepas dari soft denture
liner sebesar 13,4 mg selama 14 hari perendaman dalam air 8, dan secara kualitatif diketahui dibutyl phthalate
dapat terlepas dari tissue conditioner setelah perendaman selama 1 hari dan 4 hari dalam akuades maupun dalam
saliva buatan.9
Saat tissue conditioner terendam dalam media yang cair seperti air dan saliva, maka polimer akan
menyerap air dari lingkungannya.10 Air dapat terserap kedalam polimer dan membentuk ikatan hidrogen dengan
gugus karboksil polimer yang bersifat polar.4 Plasticizer tidak berikatan secara kimiawi dengan polimer, hanya
berikatan secara fisika.10 Adanya ion hidrogen dari air di lingkungan sekitarnya yang masuk diantara plasticizer
2

dan polimer menyebabkan plasticizer yang bersifat polar cenderung untuk berikatan dengan ion hidrogen
sehingga plasticizer perlahan-lahan terlepas. Akibatnya rantai polimer akan bergerak lebih mendekat dan
interaksinya bertambah, akhirnya tissue conditioner kemudian mengeras.11 Beberapa plasticizer diketahui bersifat
toksik.12 Plasticizer yang biasanya digunakan pada tissue conditioner seperti DBP dan BPBG juga berpotensi
untuk menimbulkan efek yang merugikan. Efek DBP pada manusia diantaranya adalah dapat menimbulkan
dermatitis, vomiting, konjungtivitis ocular pain dan lain-lain,13 sedangkan BPBG diketahui dapat menimbulkan
iritasi pada kulit.14
Pada umumnya bahan yang digunakan di kedokteran gigi tidak benar-benar aman.4 Bahan yang
digunakan dapat berinteraksi dengan jaringan di rongga mulut, menyebabkan perubahan-perubahan pada bahan
dan juga jaringan sekitarnya.15 Oleh karena itu aspek biokompatibilitas suatu bahan juga harus diperhatikan
disamping efek fisik dan estetik.16
Tissue conditioner digunakan selama 2 hari sampai dengan seminggu7, tetapi pasien sering kali
terlambat datang atau tidak datang kembali ke klinik oleh karena sudah merasa nyaman dan tidak sakit lagi.
Penggunaan tissue conditioner yang melebihi batas waktu pemakaian dan adanya plasticizer yang dapat terlepas
dari tissue conditioner kedalam saliva, berpotensi untuk menimbulkan toksisitas pada jaringan gingiva. Salah satu
penilaian biokompatibilitas bahan secara in vitro dapat dilakukan dengan uji sitotoksisitas.4 Sel fibroblas sering
digunakan dalam penelitian secara in vitro. Fibroblas merupakan sel utama jaringan ikat yang terletak pada
lamina propria mukosa rongga mulut termasuk gingiva. Sel fibroblas aktif berploriferasi pada keadaan normal
yaitu pada proses regenerasi, atau dalam proses penyembuhan jaringan yang rusak.17 Jika sel fibroblas gingiva
mengalami jejas yang ireversibel akibat terpapar bahan yang bersifat sitotoksik, sel fibroblas tidak akan mampu
melakukan aktivitas fungsionalnya yaitu berploriferasi maupun membentuk matriks ekstraseluler dan
fibronektin.18 Penelitian eksperimental laboratoris ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh tissue conditioner
terhadap sitotoksisitas biakan sel fibroblas gingiva manusia.

BAHAN DAN METODE


Disk dari tissue conditioner sebanyak 5 buah dibuat dengan mencampur bubuk dan cairan tissue
conditioner dalam mixing pot, lalu adonan dituang kedalam cetakan dari fiber glass dengan diameter 30mm tebal
3mm. Setelah setting, subyek dikeluarkan dari cetakan dan masing-masing dimasukkan dalam 10 mL akuabides
steril dalam container plastik, dengan waktu perendaman yaitu 3, 7, 14, 21 dan 28 hari.
Kultur sel fibroblas gingiva dibuat dari gingiva yang diperoleh dari potongan jaringan gingiva sehat dari
pasien operkulektomi dengan kriteria sehat secara klinis. Jaringan gingiva dicuci dengan larutan povidon iodine
10%, dibilas dengan larutan PBS, lalu disimpan dalam tabung sentrifugasi 15 mL yang berisi collection medium.
Proses selanjutnya dikerjakan dalam vertical laminar flow, yaitu jaringan gingiva dicuci 3 kali dengan
RPMI 1640, lalu dipotong menjadi potongan yang sangat kecil ( 1mm3) dan ditempatkan dalam petri dish.
Jaringan dalam petri dish disuplemen dengan media kultur sel dan diinkubasi dalam inkubator bersuhu 37C
dengan kadar CO2 5%. Media kultur sel dibuang dan diganti dengan media kultur sel yang segar setiap 2-4 hari.
Selanjutnya dibuat kultur sel primer dengan cara: media kultur sel dalam petri dish dibuang, diberi
tripsin, lalu disimpan dalam inkubator selama 10 menit, setelah itu suspensi sel dan tripsin dipindahkan kedalam
tabung sentrifugasi dan diisi RPMI sampai 15 mL, lalu disentrifugasi selama 10 menit. Selanjutnya sel yang
terkumpul di dasar tabung dipindahkan ke flask culture. Bila sel dalam flask sudah menempel dan tumbuh
memenuhi dasar flask, dilakukan tripsinisasi yang bertujuan melepaskan sel-sel yang menempel, lalu dilakukan
penghitungan sel dengan menggunakan hemositometer untuk mengetahui jumlah sel hidup dan dibuat suspensi
sel dengan kepadatan sel 1,5 x 104 sel/ 100 L.
Setiap sumur diisi suspensi sel fibroblast dengan kepadatan 1,5x104 sel/100 L media kultur sel, lalu
diinkubasi selama 24 jam. Media kultur sel dalam sumuran dituangi dengan 100 L dari setiap cuplikan larutan
perendaman. Sumuran tanpa perlakuan digunakan sebagai kontrol. Masing-masing dibuat 3 kali replikasi. Tiap
sumuran diberi 10L MTT, dibiarkan selama 4 jam dalam inkubator, lalu diberi 100L SDS-HCL dibiarkan
dalam ruangan dan dilindungi dari cahaya dengan aluminium foil selama 24 jam. Selanjutnya nilai OD bisa
diperoleh dengan menggunakan ELISA plate reader pada panjang gelombang 550nm.
Nilai OD pada uji MTT diperoleh dengan penghitungan terhadap jumlah formazan yang terbentuk
dengan menggunakan ELISA plate reader pada panjang gelombang 550 nm. Nilai OD digunakan untuk
menghitung persentase viabilitas sel dengan menggunakan rumus:19
3

% viabilitas sel = OD sample x 100 %


OD kontrol negatif

OD kontrol negatif (tanpa perlakuan) menggambarkan sel hidup semua (100%). Hasil perhitungan persentase
viabilitas sel kemudian di konversi lagi menjadi persentase kematian sel menggunakan rumus berikut :

OD kontrol negatif OD sample


% Kematian sel = x 100%
OD kontrol negatif

HASIL
Persentase kematian sel diketahui dengan menghitung nilai OD setelah dilakukan uji MTT. Nilai OD
menunjukkan besarnya nilai serapan sel yang viabel. Semakin besar nilai OD maka semakin besar jumlah sel
yang viabel atau sel yang hidup, dan sebaliknya semakin kecil nilai OD semakin banyak sel yang mati, hal ini
berarti meningkatnya persentase kematian sel. Rerata persentase kematian sel pada tiap kelompok sampel dapat
dilihat pada tabel dan grafik berikut ini:

Tabel 1. Rerata dan simpang baku persentase kematian sel


pada tiap kelompok penelitian dengan uji MTT

Kelompok sampel % Kematian sel sb ()


3 hari 18,086 2,6548
7 hari 19,392 2,1295
14 hari 45,874 2,7812
21 hari 24,468 2,3422
28 hari 18,640 4,3993

50

40

30
Mean of DEAD

20

10
3,00 7,00 14,00 21,00 28,00

DAY

Gambar 1. Grafik rerata persentase kematian sel akibat


pengaruh lama perendaman tissue conditioner

Berdasarkan tabel 1 dan grafik (gambar 1) diketahui bahwa pada kelompok sampel yang diberi cuplikan
larutan perendaman, didapatkan rerata persentase kematian sel meningkat sampai dengan perendaman 14 hari,
4

lalu mengalami penurunan pada perendaman 21 dan 28 hari. Untuk mengetahui perbedaan pengaruh variasi lama
perendaman tissue conditioner terhadap persentase kematian sel dengan menggunakan uji ANAVA satu jalur
dengan tingkat kepercayaan 95%. Hasil perhitungan statistik didapatkan adanya perbedaan bermakna akibat
variasi lama perendaman terhadap persentase kematian sel (p < 0,05) seperti tampak pada tabel 2.

Tabel:2. Ringkasan Hasil Uji Anava satu jalur : Signifikansi pengaruh antar kelompok

Sumber Variansi jk dk MS F p
Antar kelompok 2764,776 4 691,194 77,295 0,001*
Dalam kelompok 178,846 20 8,942
Total 2943,622 24

Keterangan: jk = jumlah kuadrat, dk = derajat kebebasan, MS = rerata kuadrat,


p = tingkat kemaknaan, * = bermakna

PEMBAHASAN
Pengaruh yang ditimbulkan terhadap sitotoksisitas sel fibroblas gingiva diduga diakibatkan karena
adanya senyawa phthalate ester yang terlepas dari tissue conditioner selama perendaman dalam akuabides dan
telah dibuktikan melalui uji spektrofotometer UV. Sel yang terpengaruh oleh paparan cuplikan hasil perendaman
tissue conditioner yang mengandung phthalate ester akan mengalami perubahan aktivitas enzimatik sel. Efek
sitotoksik dari suatu toksin akan dapat menyebabkan enzim dehidrogenase tidak aktif. Akibatnya sel menjadi non
viabel dan selanjutnya menyebabkan kematian sel. Enzim dehidrogenase pada sel yang non viabel tidak mampu
untuk mengubah MTT menjadi kristal formazan. Sel yang viabel mampu mengubah MTT menjadi kristal
formazan karena enzim dehidrogenase dalam sel yang viabel mampu bekerja dengan baik yaitu memutus cincin
tetrazolium20. Semakin besar pengaruh yang ditimbulkan oleh suatu jejas toksik akan mengakibatkan semakin
banyak sel yang mati yang berarti persentase kematian sel juga meningkat.21
Perendaman 14 hari menunjukkan hasil persentase kematian sel tertinggi (45,874%), dan memiliki
persentase kematian sel yang berbeda bermakna dengan perendaman lainnya. Hal ini diduga karena pada
perendaman 14 hari phthalate ester yang terlepas dari tissue conditioner sudah mencapai pelepasan maksimal.22
Penurunan persentase kematian sel secara bermakna terjadi setelah perendaman 14 hari yaitu pada perendaman
21 hari dan kemudian pada perendaman 28 hari. Penurunan persentase kematian sel secara bermakna yang terjadi
antara perendaman 14 hari dengan perendaman 21 hari diduga disebabkan karena phthalate ester mengalami
transformasi kimia menjadi bentuk lain atau bahkan rusak sehingga menyebabkan toksisitasnya menurun.
Demikian juga pada perendaman 21 hari, menunjukkan persentase kematian sel yang berbeda bermakna dengan
perendaman 28 hari, hal ini diduga karena transformasi kimia yang terus berlanjut.
Pada penelitian ini senyawa phthalate ester dalam cuplikan hasil rendaman tissue conditioner diduga
merupakan jejas toksik bagi sel fibroblas gingiva yang menyebabkan terjadinya kematian sel. Reaksi fosforilasi
oksidasi dalam mitokondria merupakan salah satu sistem yang paling mudah mengalami gangguan oleh karena
jejas toksik.21 Reaksi ini menghasilkan ATP dari ADP dan fosfat anorganik yang memerlukan enzim
dehidrogenase sebagai katalisator dalam pengangkutan elektron.23 Adanya paparan dari cuplikan hasil
perendaman tissue conditioner yang mengandung senyawa DBP dapat menghambat kerja enzim dehidrogenase
sehingga dapat menghambat proses pengangkutan ADP ke dalam mitokondria dan ATP keluar mitokondria.
Akibatnya produksi ATP mengalami penurunan. ATP merupakan sumber energi untuk metabolisme sel,24 bila
produksi ATP menurun maka akan menimbulkan gangguan pada sistem metabolisme sel, mengganggu aktivitas
sel dan akhirnya terjadi kematian sel.23 Kemampuan cuplikan hasil rendaman tissue conditioner untuk
membunuh setengah (50%) populasi sel dinyatakan sebagai parameter untuk menilai efek sitotoksik tissue
conditioner dalam penelitian ini. Suatu paparan dikatakan bersifat sitotoksik jika dapat menyebabkan hambatan
aktivitas fungsional sel atau kematian sel lebih dari 50% populasi sel.25
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Jones dkk.26 diketahui total phthalate ester yang
terlepas dari tissue conditioner (visco Gel) dengan waktu perendaman 14 hari dalam akuades adalah sebesar
3,8mg/gram atau 3,8 x 10-3gram. Jika jumlah pelepasan phthalate ester pada penelitian ini diasumsikan sama
dengan hasil penelitian Jones dkk.26 maka diperkirakan pelepasan phthalate ester sebesar 3,8 x 10-3gram dapat
membunuh sel fibroblas gingiva sebesar 45, 874%. Berdasarkan hasil tersebut untuk mencapai kematian sel 50%
maka dibutuhkan sebanyak 4,14 x 10-3gram phthalate ester yang terlepas tissue conditioner. Penurunan
5

persentase kematian sel pada perendaman 21 hari yang mengakibatkan 24, 468% sel mengalami kematian dapat
diperkirakan jumlah phthalate ester yang terlepas adalah 2,02x10-3gram sedangkan pada perendaman 28 hari
mengakibatkan 18,640% sel mati diperkirakan phthalate ester yang terlepas sebesar 1,54x10-3gram.
Menurut Suffness dan Pezzato27 suatu bahan dianggap mempunyai efek sitotoksik bila mempunyai nilai
IC50 kurang dari 20 g/ml, bila lebih dari 20 g/ml berarti bahan tersebut bersifat kurang toksik. Berdasarkan
teori tersebut, maka nilai yang didapat dari penelitian ini masih jauh dari nilai IC50, oleh karena itu dapat
dikatakan bahwa perendaman tissue conditioner selama 14 hari tidak menimbulkan efek toksik yang
membahayakan secara in vitro pada biakan sel fibroblas gingiva manusia.
Dengan asumsi bahwa lama perendaman sama dengan lama pemakaian tissue conditioner ditinjau dari
segi sitotoksisitas, setelah penggunaan selama 14 hari maka tingkat sitotoksisitas relatif tissue conditioner
terhadap sel fibroblas gingiva akan semakin berkurang yang ditunjukkan dengan persentase kematian sel yang
semakin menurun. Sebaliknya penggunaan tissue conditioner melebihi batas waktu penggunaan akan merugikan
dalam aspek sifat fisik maupun mekanisnya. Menurut Hamada dkk.5 bahwa penggunaan tissue conditioner yang
melebihi batas waktu pemakaian akan mengakibatkan permukaannya menjadi kasar, kaku dan akan kehilangan
elastisitas. Permukaan tissue conditioner yang kasar akan menguntungkan bagi mikroorganisme untuk
berkembang biak.12
Tissue conditioner yang mengandung DBP dan BPBG keduanya berpotensi untuk menimbulkan
toksisitas. Tetapi komponen mana yang sebenarnya paling berperan menyebabkan toksisitas terhadap sel
fibroblas gingiva dalam penelitian ini tidak dapat dijelaskan dengan pasti, karena hanya pelepasan DBP yang
dapat diamati pada penelitian ini. Hasil penelitian diperoleh berdasarkan kondisi in vitro dengan merendam
tissue conditioner dalam akuabides, sedangkan secara klinis tissue conditioner akan selalu kontak dengan saliva
selama digunakan. Menurut Kopac dkk.28 efek sitotoksik suatu bahan akan lebih besar dan nyata pada kondisi in
vitro, sedangkan di klinik efek tersebut kemungkinan akan lebih kecil atau berkurang karena di dalam rongga
mulut akan mengalami pengenceran oleh saliva. Selain saliva, adanya barrier epithel gingiva yang sehat akan
mengurangi efek destruktif dari suatu bahan.
Melalui penelitian ini dapat diambil kesimpulan bahwa lama perendaman tissue conditioner
berpengaruh meningkatkan persentase kematian sel fibroblas gingiva sampai dengan perendaman 14 hari. Setelah
perendaman 14 hari persentase kematian sel mengalami penurunan. Saran pada penelitian ini, hasil penelitian
perlu dipertegas dengan melakukan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan metode lain yang ditinjau dari
aspek kimiawi tissue conditioner.

DAFTAR PUSTAKA
1. Dootz ER, Koran A and Craig RG. Comparation of the physical properties of 11 soft denture liners. J
Prosthet Dent. 1992; 67(5): 707-12.
2. Van Noort R. Introduction to dental materials. London: Mosby; 1994. 188-91.
3. Harrison A. Temporary soft lining materials. Bri. Dent J. 1981; 15: 419-22.
4. Anusavice KJ. Phillips science of dental materials 11th ed. Philadelphia: W.B.Saunders Company; 2003;
143-69, 171-89, 750-1.
5. Hamada T, Murata H dan Razak A. Pelapisan gigitiruan denture lining 1st ed. Surabaya: Airlangga
University Press. 2003; 48-60
6. Murata H, Guang Hong, Ying Ai-Li and Hamada T. Compatibility of tissue conditioner and dental stones:
effect on surface roughness. J Prosthet Dent. 2005; 93: 274-81.
7. Mc. Cabe JF dan Walls AG. Applied dental materials 8th ed. Black Well Science Ltd. Osney Mead, Oxford.
1998; 108-14.
8. Graham BS, Jones DW and Sutow EJ. An in vivo and in vitro study of the loss of plasticizer from soft
polymer-gel materials. J Dent Res.1991; 70(5): 870-3.
9. Susanti A. Penelitian pendahuluan: Pelepasan dibutyl phthalate dari tissue conditioners. Uji dengan gas
Kromatografi di Laboratorium Kimia Organik Fakultas MIPA UGM. 2005.
10. Mc. Carthy JA dan Moser JB. Mechanical Properties of Tissue Conditioners Part I: Theoretical
considerations, behavior characteristics, and tensile properties. The Journal of Prosthetic Dentistry. 1978;
40(1): 89-97.
11. Ferracane JL. Materials in dentistry principles and applications, 2nd ed. Lippincott Williams & Wilkins.
2001; 255-70.
6

12. Lefebvre CA, Wataha JC, Cibirka RM, Schuster GS and Parr GR. Effects of triclosan on the cytotoxity and
fungal growth on a soft denture liner. J Prosthet Dent. 2001; 85: 352-56.
13. IPCS,1997. Available from: http://www.oehha.org/prop65/pro65_list/files/120205final3 phthalates.pdf.
Accessed Februari 14, 1997.
14. Anonim. 2005. Available from: http://www.phs.osaka-u.ac.JP. Accessed Juli 9, 2005.
15. OBrien WJ. Dental materials and their selection 3 th ed. Quintessence Publishing Co. Inc. 2002; 74-89.
16. Craig RG. Restorative dental materials, 10th ed. Mosby-Year Book, Inc. 1997; 533-36.
17. Fawcet DW. A Textbook of histology. 12th ed. Chapman & Hall, New York. 1994; 210-13.
18. Tipton DA, Braxton SD and Dabbous MK. Role of salivary components as moulators of bleaching agent
toxicity to human gigival fibroblast in vitro. J Periodontol. 1995; 66: 766-74.
19. Schmalz G, Dental material testing. European Journal of Oral Science. 2000; 108: 442-48.
20. Freshney RI. Culture of animal cells: a manual of basic techniques. 4th ed. New York: Wiley-Liss, Inc. 2000;
330-37.
21. Cotran MD, Kumar V and Collins T. Robbins pathologic of diseases. 6th ed. Philadelpia: WB. Sounders
Company. 1999; 4-15, 102-10.
22. Chairil Anwar. Konsultasi pribadi di kantor rektorat Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. 2006.
23. Murray RK, Granner DK, Mayes PA and Rodwell VW. Harpers Biochemistry. Biokimia Harper edisi 25.
Andry Hartono (penterjemah). Jakarta: Penerbit buku kedokteran EGC. 2000; 126-37.
24. Wirahadikusumah. M. Biokimia: Metabolisme energi, karbohidrat, dan lipid. Penerbit ITB Bandung. 1985;
7-36.
25. Stine KE and Brown TM. Principles of Toxicology. New York: CRC Press, Inc. Boca Raton. 1996; 1-5.
26. Jones DW Sutow EJ, Hall WM, Tobin WM and Graham BS. Dental soft polymers: plasticizer composition
and leachability. J Dental Materials 1988; 4: 1-7.
27. Suffness M and JM, Pezzato. Biochemistry : Essays for bioactivity vol. 6. London. Academic Press 1991.
28. Kopac I, Batista U, Cvetko E and Marion L. Viability of fibroblast in cell culture after treatment with
different chemical retraction agents. J Oral Rehabil. 2002; 29(1): 98-104.
Sikap kerja duduk ergonomis selama perawatan gigi menurunkan keluhan
muskuloskeletal pada mahasiswa kedokteran gigi
M. Taha Maruf
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar

ABSTRAC
Dentists unnaturally work posture which is starts since studying in dental faculty, become a
complicatedly changeable behavior, and an increase in musculoskeletal complaints are happened for several
years. Mostly spotted complaints are low back pain, neck, shoulder and upper arm complaints. Dental
Students of Mahasaraswati University as a dentists candidate treat several patients for more than 2 hours
daily with stand work posture or sit on non-adjustable dental stool. The study was an experimental study with
Pretest Posttest Control Group Design with samples were consist of 20 students, 10 students as control
group, which performed dental treatment by stand work posture, and 10 students as experimental group
which performed dental treatment by ergonomic sit work posture. Musculoskeletal complaints were assessed
by using Nordic Body Map questioner with 4-scale Likert. The results indicated that by changing from stand
work posture to an ergonomic sit work posture, it would reduce musculoskeletal complaints significantly
(p<0.05) for 31.85%. The conclusion can be drawn that ergonomic sit work posture can reduced
musculoskeletal complaints, thus the recommendation is the ergonomics sit work posture should be used for
the dental students, so it can be conditionally when they become dentist later.

Key words: ergonomic sit work posture, musculoskeletal.

Korespondensi: M. Taha Maruf. Bagian Bedah Mulut, Fakultas Kedokteran Gigi Universitas
Mahasaraswati Denpasar, Jalan Kamboja 11A, Denpasar, Telp. (0361) 7424079, 7462701, Fax. (0361)
261278

PENDAHULUAN
Penatalaksanaan dan metode pekerjaan dokter gigi dievaluasi dari aspek ergonomi khususnya
tentang gangguan muskuloskeletal yang menunjukkan bahwa dokter gigi bekerja dalam kondisi-kondisi yang
umumnya menyebabkan gangguan muskuloskeletal, dan dari tahun ke tahun terjadi peningkatan kasus
gangguan muskuloskeletal yang disebabkan oleh karena sikap tubuh yang tidak alamiah (irrational posture).
Kelainan yang sering dijumpai adalah sakit pinggang (low back pain), keluhan pada leher, pundak dan lengan
atas.1 Sikap kerja yang salah ini dimulai ketika mengikuti kepaniteraan klinik dan menjadi suatu kebiasaan
sehingga sulit diubah. Penelitian oleh Rising, et al.2 yang dilansir Journal of the American Dental Association
(JADA) menunjukkan bahwa 46% 71% mahasiswa kedokteran gigi (dental students) mengalami keluhan
muskuloskeletal terutama pada leher, pundak dan pinggang, timbul sejak tahun pertama kepaniteraan klinik
dan mencapai puncaknya pada tahun ke tiga.
Mahasiswa Kedokteran Gigi UNMAS Denpasar melakukan perawatan gigi dengan sikap kerja
berdiri lebih dari dua jam setiap harinya dan berlangsung selama 6 hari. Dari penelitian pendahuluan dengan
menggunakan kuesioner Nordic Body Map dengan empat skala Likert, terdapat rerata keluhan
muskuloskeletal sebesar 46,4 dengan urutan keluhan pada leher, punggung, betis, lengan atas, bahu dan
pinggang. Keluhan ini disebabkan lapang pandang yang terlalu rendah sehingga untuk dapat melihat dengan
jelas maka tubuh harus membungkuk dan leher memutar. Setelah beberapa lama melakukan perawatan gigi,
mahasiswa sering mengubah sikap kerjanya dari berdiri ke duduk dengan tujuan untuk mengurangi keluhan
yang ada. Tetapi karena menggunakan kursi (dental stool) yang tidak bisa disesuaikan ketinggiannnya,
lapang pandang menjadi lebih tinggi sehingga untuk dapat bekerja dengan optimal maka lengan atas dan
pundak terangkat sehingga menimbulkan keluhan muskuloskeletal pada daerah tersebut. Keluhan pada
pinggang dan punggung juga diperparah karena tidak adanya sandaran punggung (backrest) pada kursi yang
dipergunakan.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, untuk menurunkan keluhan muskuloskeletal yang terjadi
dipandang perlu melakukan perubahan sikap kerja berdiri ke sikap kerja duduk ergonomis selama perawatan
gigi pada mahasiswa Kedokteran Gigi.

1
2

BAHAN DAN METODE


Penelitian dilakukan di bagian Periodonsia Rumah Sakit Gigi dan Mulut Fakultas Kedokteran Gigi
Universitas Mahasaraswati Denpasar dan dilakukan pada periode April Mei 2006. Penentuan sampel
dengan metode Acak Sederhana (Simple Random Sampling) yaitu dengan menggunakan tabel angka random.
Jumlah sampel berdasarkan rumus Pocock dan memenuhi kriteria inklusi adalah 20 orang mahasiswi yang
sedang menempuh kepaniteraan klinik di bagian Periodonsia dengan usia 20 25 tahun tahun, berjenis
kelamin wanita dan mempunyai pengalaman kepaniteraan klinik lebih dari satu tahun.
Rancangan penelitian yang dipergunakan adalah eksperimental dengan Rancangan pretest-posttest
control group design. Dari jumlah sampel 20 orang dikelompokkan menjadi dua kelompok yaitu masing-
masing 10 orang, yaitu kelompok kontrol adalah subjek yang melakukan perawatan gigi dengan sikap kerja
berdiri dan kelompok perlakuan adalah subjek yang melakukan perawatan gigi dengan sikap kerja duduk
ergonomis; masing-masing selama dua jam pada satu orang pasien setiap hari. Untuk mengetahui rerata
keluhan muskuloskeletal, didata menggunakan kuesioner Nordic Body Map dengan 4 skala Likert. Untuk
mendapatkan waktu perawatan selama dua jam, maka macam perawatan gigi yang dilakukan adalah skeling
dengan jumlah skor 60% yaitu karang gigi/kalkulus menutupi 1/2 bagian permukaan servikooklusal gigi dan
dilanjutkan dengan pemolesan pada semua gigi.
Pukul 08.00 WITA subjek dipersilakan menyiapkan alat dan bahan yang akan digunakan selama
perawatan gigi. Pukul 08.15 WITA subjek dikumpulkan dan diberikan penjelasan sekali lagi tentang cara
penelitian yang akan dilakukan, termasuk cara pengisian kuesioner. Pukul 08.30 WITA dilakukan pengisian
kuesioner Nordic Body Map oleh subjek sebelum mulai bekerja. Pukul 08.55 WITA pasien dipersilakan
masuk dan duduk di dental chair dengan posisi kursi yang sudah ditentukan. Pukul 09.00 WITA dilakukan
perawatan pasien dengan sikap kerja sesuai dengan kelompoknya dan urutan perawatan disesuaikan dengan
posisi subjek terhadap dental chair yaitu dimulai dari belakang, samping dan depan. Pasien diijinkan untuk
berkumur hanya pada setiap perubahan posisi subjek dengan waktu kurang dari 10 detik. Pukul 11.00 WITA
pekerjaan dihentikan. Pukul 11.20 WITA dilakukan pengisian kuesioner Nordic Body Map oleh subjek
setelah selesai bekerja.

HASIL PENELITIAN
Keluhan mukuloskeletal sebelum bekerja antara kelompok kontrol dan perlakuan tidak berbeda
bermakna (p>0,05). Dengan kata lain, kondisi awal dapat dianggap sama atau memberikan pengaruh yang
sama pada kedua kelompok. Untuk melihat perbedaan kemaknaan rerata keluhan muskuloskeletal antara
kelompok kontrol dan perlakuan setelah bekerja dilakukan uji Mann-Whitney dengan tingkat kemaknaan
=0,05; didapatkan nilai p = 0,00 (p<0,05) atau berbeda bermakna (tabel 1.).

Tabel 1. Skor nordic body map antara kelompok kontrol dan perlakuan
Kontrol Perlakuan
No Variabel n P-value
Rerata SB Rerata SB
1 Total skor gangguan muskuloskeletal pre 10 30,0 1,05 29,8 1,14 0,73(NS)
2 Total skor gangguan muskuloskeletal post 10 51,8 2,92 35,3 2,79 0,00(S)
3 Beda pre-post 10 21,8 3,39 5,5 2,28 0,00(S)

Untuk mengetahui jenis keluhan pada bagian-bagian tertentu anggota tubuh dilakukan uji Mann-
Whitney dengan tingkat kemaknaan =0,05; sebagian besar didapatkan nilai p = 0,00 (p<0,05) atau berbeda
bermakna (tabel 2.).

Tabel 2. Skor nordic body map pada bagian anggota tubuh antara kelompok kontrol dan perlakuan

No Jenis Keluhan K P Turun % p-value


1 Leher Bagian Bawah 36 16 20 55,56 0,00(S)
2 Leher Bagian Atas 35 19 16 45,71 0,00(S)
3 Punggung 35 14 21 60,00 0,00(S)
4 Pinggang 35 20 15 42,86 0,00(S)
5 Bahu Kiri 33 17 16 48,48 0,00(S)
6 Lengan Atas Kanan 32 15 17 53,13 0,00(S)
7 Lengan Atas Kiri 29 15 14 48,28 0,00(S)
8 Pergelangan Tangan Kanan 25 16 9 36,00 0,01(S)
9 Bahu Kanan 22 15 7 31,82 0,02(S)
10 Betis Kanan 22 14 8 36,36 0,03(S)
3

11 Betis Kiri 20 10 10 50,00 0,01(S)


12 Pergelangan Tangan Kiri 17 13 4 23,53 0.14(NS)
13 Tangan Kanan 17 13 4 23,53 0,35(NS)
14 Paha Kanan 14 11 3 21,43 0,28(NS)
15 Bokong 12 11 1 8,33 0,74(NS)

PEMBAHASAN
Rerata skor keluhan muskuloskeletal pada kelompok kontrol yaitu subjek yang menggunakan sikap
kerja berdiri selama perawatan gigi adalah sebesar 51,8 + 2,92; sedangkan pada kelompok perlakuan yaitu
subjek yang menggunakan sikap kerja duduk ergonomis selama perawatan gigi adalah sebesar 35,3 + 2,79
atau terdapat penurunan skor keluhan meskuloskeletal sebesar 31,85%. Dan dari uji Mann-Whitney dengan
tingkat kemaknaan =0,05, menunjukkan kedua kelompok berbeda bermakna (p<0,05). Untuk lebih jelasnya
dapat dilihat pada gambar 1.

Rerata Keluhan Muskuloskeletal

60
51,8
50
40 35,3
30 29,8
Rerata Skor 30

20

10

0
Kontrol Perlakuan Kontrol Perlakuan

Pre Post

Gambar 1. Rerata keluhan muskuloskeletal pada kelompok kontrol dan


perlakuan

Penurunan skor keluhan muskuloskeletal tersebut disebabkan karena pembebanan otot statis dan
sikap paksa pada sikap kerja berdiri dapat dikurangi dengan perubahan sikap kerja duduk ergonomis,
sehingga terbentuk sikap kerja alamiah selama perawatan gigi. Perubahan sikap kerja tersebut akan
menurunkan skor keluhan muskuloskeletal yang dialami oleh subjek selama perawatan gigi. Kalau dilihat
penurunan bagian-bagian anggota tubuh yang mengalami keluhan setelah dilakukan perubahan sikap kerja
dan diurut penurunan keluhan terbesar sampai terkecil, maka urutannya adalah : punggung (60%), leher
bagian bawah (55,56%), lengan atas kanan (53,13%), betis kiri (50%), bahu kiri (48,48%), lengan atas kiri
(48,28%), leher bagian atas (45,71%), pinggang (42,86%), betis kanan (36,36%), pergelangan tangan kanan
(36%) dan bahu kanan (31,82%); yang menunjukkan perbedaan yang bermakna (p<0,05). Sedangkan
penurunan skor keluhan muskuloskeletal pada pergelangan tangan kiri (23,53%), tangan kanan (23,53%),
paha kanan (21,43%) dan bokong (8,33%); menunjukkan tidak berbeda bermakna (p>0,05).
Gambar 2 menunjukkan penurunan bagian-bagian anggota tubuh yang mengalami keluhan setelah
dilakukan perubahan sikap kerja berdiri ke sikap kerja duduk ergonomis.

Kontrol Perlakuan

40

35

30

25

Rerata Skor 20

15

10

0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Jenis Keluhan

Gambar 2. Rerata keluhan muskuloskeletal bagian anggota tubuh pada kelompok


kontrol dan perlakuan. Keterangan: 1. Leher bagian bawah (S); 2. Leher
4

bagian atas (S) 3. Punggung (S); 4. Pinggang (S); 5. Bahu kiri (S); 6. Lengan
atas kanan (S); 7. Lengan atas kiri (S); 8. Pergelangan tangan kanan (S); 9. Bahu
kanan (S); 10. Betis kanan (S);11. Betis kiri (S); 12. Pergelangan tangan kiri (NS);
13. Tangan kanan (NS); 14. Paha kanan (NS); 15. Bokong (NS)
Penurunan skor keluhan muskuloskeletal yang bermakna karena perubahan sikap kerja berdiri ke
sikap kerja duduk ergonomis selama perawatan gigi, menyebabkan berkurangnya sikap kerja paksa dan
pembebanan statis terutama pada punggung, leher, lengan atas, betis, bahu dan pinggang. Sebaliknya pada
sikap kerja berdiri, berat tubuh sebagian besar disangga oleh tungkai sehingga pembebanan terbesar terjadi
pada tungkai, yang menimbulkan manifestasi rasa sakit pada betis (gambar 3). Dengan perubahan sikap kerja
berdiri ke sikap kerja duduk ergonomis selama perawatan gigi, pembebanan pada betis menjadi sangat
berkurang (gambar 4).

Gambar 3. Sikap kerja berdiri pada kelompok kontrol

Gambar 3 menunjukkan sikap kerja kelompok kontrol yaitu subjek yang melakukan perawatan gigi
dengan sikap kerja berdiri. Terlihat bahwa sikap kerja yang dilakukan merupakan sikap kerja paksa
(awkward positions) yaitu tubuh membungkuk sehingga terjadi penekukan disertai pemutaran pada
punggung, pinggang dan leher serta terjadi pembebanan pada tungkai. Selain itu juga terlihat terangkatnya
pundak dan lengan bawah.
Sebaliknya pada gambar 4 terlihat subjek sudah menggunakan sikap kerja duduk ergonomis.
Terlihat tubuh bagian atas tegak simetris, inklinasi kepala yang mendekati posisi tegak, punggung dapat
bersandar pada sandaran kursi, lengan atas bebas tergantung dari pundak dan lengan bawah sedikit terangkat.
5

Gambar 4. Sikap kerja duduk ergonomis pada kelompok perlakuan

Sikap kerja berdiri untuk waktu yang lama dan pembebanan statis akibat sikap paksa menyebabkan
terjadinya bendungan darah vena, penimbunan cairan dan varises vena pada tungkai yang sering dirasakan
sebagai bentuk kelelahan otot.3 Sebaliknya, pada sikap kerja duduk ergonomis, kerja otot lebih dinamis
sehingga peredaran darah yang membawa oksigen ke bagian-bagian otot menjadi lancar sehingga tidak
terjadi penimbunan asam laktat. Mekanisme terjadinya kelainan muskuloskeletal pada dokter gigi adalah
multifaktor yaitu perubahan secara fisiologis akibat kerja statis yang terlalu lama sehingga terjadi
peningkatan tekanan pada cakram (disc pressures). Sikap kerja seperti ini menyebabkan ketidakstabilan
spinal sehingga terjadi perubahan degeneratif pada lumbal yang menimbulkan sakit pinggang (low back
pain/LBP). Terdapat hubungan antara kontraksi otot yang statis (muscle contraction) yang lama dengan
iskemia otot (muscle ischemia) atau nekrosis otot (muscle necrosis). Kelemahan otot-otot tulang belakang
(trunk) dan pundak yang membentuk sikap tubuh menyebabkan sikap tubuh yang buruk. Otot-otot
beradaptasi dengan memanjang dan memendek untuk mengakomodasi sikap tubuh ini, terjadi ketidak
seimbangan otot yang menyebabkan kerusakan struktur dan timbulnya rasa sakit.4 Tulang belakang yang
bergerak satu arah secara berulang (repeated unidirectional twisting) dapat menyebabkan sakit pada tulang
belakang (low back pain), juga disebabkan pengaruh sikap kerja dengan satu sikap dalam waktu yang lama.
Untuk mencapai kesehatan muskuloskeletal yang seimbang, pengetahuan tentang kekuatan dan kelenturan
punggung (trunk flexibility and core strenght) serta mengutamakan penggunaan peralatan yang ergonomis,
perlu diketahui oleh operator.4
Sedangkan penurunan keluhan muskuloskeletal yang tidak signifikan pada pergelangan tangan kiri,
tangan kanan, paha kanan dan bokong disebabkan karena pada kedua sikap kerja baik berdiri maupun duduk
ergonomis tidak terjadi perubahan posisi dari anggota tubuh tersebut. Pada kedua sikap kerja tersebut,
pergelangan tangan kiri pada posisi yang tidak alamiah yaitu terjadinya pemutaran pergelangan tangan (wrist
twist) agar dapat menarik pipi penderita. Demikian juga dengan tangan kanan, karena harus memegang
instrumen yang kecil dan bekerja pada daerah kerja yang sempit menyebabkan posisi yang tidak alamiah.
Masih tingginya skor keluhan muskuloskeletal pada mahasiswa kedokteran gigi, disebabkan karena
perawatan gigi baik yang dilakukan mahasiswa atau dokter gigi berada pada sikap kerja yang sulit yaitu
terjadinya penekukan dan pemutaran leher (cervical flexion dan rotation), terangkatnya tangan (abducted
arms) dan gerakan repetisi pada saat memegang instrumen tangan (repetitive precision), sehingga dokter gigi
dikelompokkan dalam profesi yang beresiko tinggi terhadap kelainan muskuloskeletal dengan keluhan
terbesar pada leher, pundak dan pinggang.6 Hal ini sesuai dengan penelitian oleh Rising, et al.2, menunjukkan
bahwa 46%71% mahasiswa kedokteran gigi (dental students) mengalami keluhan muskuloskeletal terutama
pada leher/pundak dan pinggang. Keluhan muskuloskeletal ini timbul sejak tahun pertama kepaniteraan
klinik dan tertinggi pada tahun ke tiga.
Penelitian lain yang dilansir oleh Journal of Dental Hygiene menyatakan bahwa 62% dokter gigi
mengalami keluhan muskuloskeletal yaitu dengan prevalensi tertinggi pada leher (68,5%), pundak (60%) dan
terjadinya Carpal Tunnel Syndrome (44,2%).7 Walaupun angka insidensi kelainan muskuloskeletal pada
dokter gigi di Indonesia masih kurang, tetapi di Nebraska lebih dari 29% dari 1000 dokter gigi dilaporkan
menderita penyakit dengan gejala peripheral neuropathy pada lengan atas dan leher. Dokter gigi yang
melakukan preparasi gigi untuk pembuatan crown and bridge, dilaporkan paling sering mengalami
perubahan sensasi pada lengan atas mereka. Diperkirakan 60% 80% dari orang dewasa (dari populasi
secara umum) menderita kelainan sakit pinggang yang menyebabkan absen dari tempat kerjanya. Dokter gigi
juga berada dalam kondisi seperti itu.8
Meskipun demikian, perubahan sikap kerja dari sikap berdiri menjadi sikap duduk dan
memposisikan pasien dengan posisi terlentang (supine) atau agak terlentang (semi-supine) di dental chair
telah dilakukan, hal ini tampaknya hanya dapat mengurangi pengaruhnya pada anggota gerak bawah (lower
limbs) dan pinggang (lower back), tetapi kondisi membungkuk (bending), ketegangan (stretching) dan
kecenderungan pada sikap yang tidak semestinya (awkward positions) yang dialami oleh dokter gigi sehari-
hari, masih menyebabkan resiko pada tulang belakang terutama pada bagian pinggang, leher dan pundak.9
Pendapat serupa dikemukakan oleh Ratzon, et al.10 dalam penelitian di Israel dan Amerika Serikat,
bahwa kelainan muskuloskeletal terutama sakit pinggang (low back pain) terjadi tidak saja disebabkan oleh
karena sikap berdiri tetapi juga disebabkan oleh sikap duduk yang terlalu lama. Untuk mengurangi resiko
timbulnya keluhan muskuloskeletal selama mengerjakan pasien dengan sikap kerja berdiri ataupun duduk,
disarankan tidak lebih dari dua jam. Demikian juga Chaikumarn11, berpendapat bahwa istirahat pendek antara
satu pasien ke pasien berikutnya direkomendasikan untuk dokter gigi, sebab dengan istirahat pendek di antara
pasien mampu menurunkan angka sakit pinggang (low back pain) pada dokter gigi.
6

Kelelahan otot yang beresiko menyebabkan cedera pada sistem muskuloskeletal terjadi karena sikap
kerja yang cenderung statis tanpa adanya kesempatan untuk pemulihan yang cukup, sehingga aliran darah
menuju otot terhambat, suplai oksigen dan glukosa menurun, terjadinya penumpukan sisa metabolisme dan
menimbulkan nyeri otot.12 Kontraksi otot baik yang statis maupun dinamis dapat menyebabkan kelelahan
otot setempat. Kelelahan otot tersebut terjadi pada waktu ketahanan (endurance time) terlampaui. Waktu
ketahanan otot tergantung pada jumlah tenaga yang dikembangkan oleh otot sebagai suatu persentase tenaga
maksimum yang dapat dicapai oleh otot.13 Dari hasil penelitian dan pembahasan pada bab sebelumnya, maka
dapat disimpulkan bahwa perubahan sikap kerja berdiri ke sikap kerja duduk ergonomis selama perawatan
gigi pada mahasiswa Kedokteran Gigi menurunkan keluhan muskuloskeletal yang bermakna.

DAFTAR PUSTAKA
1. Szymanska J. Disorders of the musculoskeletal system among dentists from the aspect of ergonomics
and prophylaxis. 2002. Available from: http://www.aaem.pl/ pdf/aaem0226.htm. Accessed on Dec 12,
2004.
2. Rising DW, Bennett BC, Hursh K and Plesh O. Reports of body pain in a dental student population.
JADA 2005; (136). Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/entrez/query.fcgi?cmd=Retrieve&db
=pubmed&dopt=Abstract&list_uids=15693502&query_hl=25&itool=pubmeddocsum. Accessed on
May 20, 2005.
3. Pheasant S. Ergonomics Work and Health, Mac Millan Pran Scientific and Medical. 1991.
4. Valachi B and Valachi K. Mechanisms leading to musculoskeletal disorders in dentistry. JADA 2003;
(134). Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/entrez/query.fcgi?cmd=Retrieve&db=pubme
&dopt= Abstract&list_uids= 15693502& query_hl=25&itool=pubmed_docsum. Accessed on Dec 12,
2004.
5. Milerad E and Ekenvall L. Symptoms of the neck and upper extremities in dentists. 1998. Available
from: Http://Www.Ncbi.Nlm. Nih.Gov/Entrez/Query.Fcgi?Cmd= Retrieve&Db= Pubmed&List_Uids
= 2353196&Dopt=Abstract&Holding=F1000. Accessed on Des 12, 2005.
6. Finsen L, Christensen H, Bakke, M. Musculoskeletal disorders among dentists and variation in dental
work. 2003. Available from: http://www.ami.dk/Udgivelser/Videnskabelige%20 artikler/185.aspx?
lang =en. Accessed on May 15, 2005.
7. Alexopoulos EC, Ioanna CS and Fotini C. 2004. Prevalence of musculoskeletal disorders in dentists.
Available from : http://www. biomedcentral.com/ 1471-2474/5/16. Accessed on Dec 12, 2004.
8. Fish DR and Morris ADM. Musculoskeletal disorders in dentists. 1998. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/entrez/query.fcgi?cmd=Retrieve&db=PubMed&listuids=9613097&dopt
=Abstract&holding= f1000,holding=f1000. Accessed on Dec 12, 2004.
9. Entwistle NBA. Musculoskeletal pain in dentistry an occupational injury?. 2006. Available from:
http://bdhf.atalink.co.uk/ articles/50. Accessed on Jan 26, 2006.
10. Ratzon NZ, Yaros T, Mizlik A and Kanner T. Musculoskeletal symptoms among dentists in relation
to Work Posture. 2000. Available from: Http://Www.Ncbi.Nlm.Nih.Gov/Entrez/Query.Fcgi?Cmd=
Retrieve&Db=Pubmed&List_Uids=12441484&Dopt =Abstract&Holding=F1000. Accessed on Des
12, 2004.
11. Chaikumarn M. Differences in dentists' working postures when adopting proprioceptive derivation vs.
conventional concept. Int J Occup Saf Ergon. 2005; 11(4): 441-9. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/entrez/query.fcgi?cmd=Retrieve&db=pubmed&dopt=Abstract&list_uids
=16329787&query_hl=1& itool=pubmed_docs. Accessed on Apr 12, 2006.
12. Grandjean E. Fitting the Task To the Man. 4th Edition. London: Taylor & Francis. 1993.
13. Waters TR. & Bhattacharya A. Physiological aspect of neuromuscular function. Dalam: Battacharya A
& McGlothlin JD. Occupational Ergonomic. 1996. USA : Marcel Dekker Inc.
Perawatan kelainan jaringan periodontal akibat traumatik oklusi
Ni Kadek Ari Astuti
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar

ABSTRAK

Occlusal trauma has been defined as injury to periodontium resulting from occlusal forces which exceed
the reparative capacity of the attachment apparatus ,ie. the tissue injury occurs because the periodontium is
unable to cope with the increased stresses it experiences. Occlusal trauma has been classified as either primary
trauma which results from excessive occlusal force applied to a tooth or to teeth with normal and healthy
supporting tissues and secondary occlusal trauma refers to the changes which occur when normal or abnormal
occlusal forces are applied to the attachment apparatus of a tooth or teeth with inadequate or reduced
supporting tissues. An occlusion that produces force sthat cause injury in the periodontal tissue, masticatory
system and Temporo Mandibular Joint (TMJ) called traumatic occlusion. A simple correction of the occlusion,
by occlusal adjustment should be the first step in treatment planning. Beside that, removing plaque and
premature tooth contact improves the prognosis periodontally involved tissues.

Key words: Periodontal diseases, traumatic occusion, periodontal treatment.

Korespondensi: Ni Kadek Ari Astuti, Bagian Biologi Oral. Fakultas Kedokteran Gigi Universitas
Mahasaraswati Denpasar, Jalan Kamboja 11A, Denpasar, Telp. (0361) 7424079, 7462701, Fax. (0361) 261278.

PENDAHULUAN
Oklusi merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kesehatan jaringan periodontal. Tekanan
oklusi yang besar ataupun kecil dapat merangsang adaptasi jaringan periodontal, sedangkan tekanan yang
melebihi kekuatan fisiologis jaringan periodontal akan menyebabkan kerusakan. Trauma oklusi ialah kerusakan
sebagian alat pengunyahan pada masticatory system sebagai hasil dari hubungan kontak oklusi yang tidak normal
dan atau fungsi sistem pengunyahan yang tidak normal.1,2,3 Trauma oklusi mempunyai manifestasi di jaringan
periodontal, jaringan keras gigi, jaringan pulpa, temporomandibular joint, jaringan lunak serta sistem saraf.
Dalam hubungannya dengan jaringan periodontal, yang dimaksud dengan trauma oklusi adalah terjadinya
kerusakan pada jaringan periodontal yang disebabkan karena tekanan oklusi (traumatik oklusi).1,2,3,4
Dalam tulisan ini akan dibahas mengenai perawatan kelainan pada jaringan periodontal akibat traumatik
oklusi, yaitu tekanan oklusi yang diterima oleh periodonsium dimana tekanan tersebut telah melampaui
kemampuan adaptasi jaringan periodontal sehingga menimbulkan cedera atau kelainan pada jaringan periodontal.

PENYAKIT PERIODONTAL
Penyakit periodontal merupakan penyakit yang ditandai oleh adanya inflamasi gingiva, pembentukan
saku periodontal dan kehilangan perlekatan.3,4,5,6 Secara klinis, penyakit periodontal ditandai dengan adanya
perubahan gingiva, baik berupa perubahan warna, konsistensi maupun bentuk. Gingivitis adalah suatu
keradangan pada gingiva yang mengawali penyakit periodontal. Keradangan ini bisa bertahan di dalam gingiva
sampai beberapa tahun, juga dapat menyebar ke jaringan yang lebih dalam, menjadi periodontitis menahun yang
destruktif.3,4,5 Destruksi tulang alveolar juga dapat disebabkan oleh adanya trauma oklusi pada keadaan ada atau
tanpa inflamasi.3 Perkembangan patogenesis penyakit periodontal telah mempengaruhi kriteria indikasi perawatan
periodontal maupun tujuan perawatan itu sendiri. Bila dahulu penyakit periodontal dianggap merupakan suatu
penyakit yang secara lambat tapi terjadi terus menerus, perkembangan sekarang ini penyakit periodontal
dianggap merupakan suatu siklus dengan masa aktif (eksaserbasi) dan masa inaktif (tenang).7
Diagnosis suatu penyakit periodontal dapat ditegakkan melalui beberapa pemeriksaan antara lain; health
survey, general dental survey, occlusal survey, deposit survey dan periodontal survey. Health survey adalah
pemeriksaan yang dilakukan untuk mengetahui keadaan umum pasien terutama yang ada hubungannya dengan

1
kelainan periodontal ataupun penyakit yang berpengaruh terhadap perawatan pembedahan nantinya. General
Dental Survey merupakan pemeriksaan gigi geligi menyeluruh untuk mendapatkan status kesehatan gigi secara
umum meliputi jaringan lunak, lengkung rahang, karies dan status pulpa, restorasi, derajat kegoyangan gigi dan
kebiasaan buruk pasien. Occlusal survey perlu dilakukan, karena seperti diketahui oklusi dapat mempengaruhi
perkembangan dan kelainan periodontal. Deposit survey adalah pemeriksaan terhadap jumlah dan lokasi plak
beserta kalkulus yang melekat pada permukaan gigi geligi. Periodontal survey merupakan bagian yang penting
dalam pemeriksaan. Pemeriksaan jaringan periodontium yang seksama memerlukan periodontal probe karena
tanpa alat ini kita tidak dapat membuat diagnosis suatu kelainan periodontal dengan tepat.8

TRAUMATIK OKLUSI
Trauma oklusi adalah cedera yang terjadi pada jaringan periodonsium akibat tekanan oklusal yang
diterima periodonsium telah melampaui kemampuan adaptasinya. Trauma oklusi ialah kerusakan sebagian alat
pengunyah (masticatory system) sebagai hasil dari hubungan kontak oklusi yang tidak normal dan atau fungsi
sistem pengunyahan yang tidak normal.9 Oklusi yang tekanannya telah menimbulkan cedera tersebut dinamakan
traumatik oklusi.3 Istilah traumatic occlusion dikenalkan oleh Stilman pada tahun 1917, dan pada tahun 1922
ditetapkan definisinya oleh Stilman dan Mc.Cole sebagai tekanan oklusi yang abnormal, yang menyebabkan
trauma pada periodontium. Traumatik oklusi merupakan istilah yang banyak dipakai, untuk menunjukkan suatu
oklusi yang menghasilkan trauma, dan kerusakan yang timbul dinamakan trauma karena oklusi.1,2 Trauma
oklusi diklasifikasikan primer dan sekunder. Primer, apabila dampak tekanan oklusal yang abnormal terjadi pada
periodonsium yang sehat; sedangkan sekunder, dampak tekanan oklusal yang mungkin abnormal atau tidak,
tetapi merupakan tekanan yang berlebih untuk periodontium yang telah lemah.1,2,10
Pada waktu lampau, trauma karena oklusi hanya dilihat dalam hubungannya dengan periodontium. Akan
tetapi akhir-akhir ini ada kecenderungan untuk memasukkan semua kerusakan dari setiap bagian sistem
stomatognatik yang berasal dari tekanan oklusi abnormal dan fungsi abnormal, kedalam trauma karena oklusi
atau trauma oklusi. Jadi trauma oklusi dapat bermanifestasi di periodontium, jaringan keras gigi, pulpa, sendi
rahang, jaringan lunak mulut, dan sistem neuromuskuler. Ini berarti bahwa apabila terdapat kerusakan pada
periodontium, jaringan keras gigi, pulpa, sendi rahang dan sebagainya, perlu dilihat kaitannya dengan oklusi yang
normal.10 Adanya posisi gigi yang tidak baik, dan oklusi gigi rahang atas terhadap rahang bawah yang tidak baik
juga pada gigi berjejal, menyebabkan penyebaran tekanan oklusi yang tidak merata. Demikian juga tekanan pada
sisi kunyah yang tidak seimbang, memberikan beban tekanan yang sangat besar pada sisi lain. Keadaan-keadaan
ini memberikan kecenderungan terjadinya kerusakan pada periodontium. Periodonsium yang tidak sehat akan
menurunkan daya adaptasinya sehingga dengan tekanan oklusi yang tidak seimbang akibat gigi-gigi yang
berjejal, yang ringan pun sudah dapat menimbulkan trauma oklusi.10
Pengaruh tekanan oklusi terhadap jaringan periodontal dapat terjadi melalui 3 tingkatan yaitu
kerusakan, perbaikan dan adaptasi jaringan periodontal.9 Efek tekanan oklusal pada jaringan periodontium
dipengaruhi oleh besar, arah, lama dan frekuensi tekanan.5,9 Tekanan yang kecil akan menstimulir jaringan
periodontal untuk terjadi kerusakan dari tulang alveolar, dengan akibat terjadi pelebaran dari ruang ligamen
periodontal. Tekanan yang besar akan menghasilkan terjadinya perubahan dalam jaringan periodontal, dimulai
dengan kompresi dari fiber-fiber yang menyebabkan degenerasi hialin.9

PERAN TRAUMATIK OKLUSI TERHADAP KELAINAN PERIODONTAL


Tekanan oklusi tidak dapat dipisahkan dari kondisi jaringan periodontal, apakah jaringan periodontal
sehat atau tidak. Terhadap jaringan periodontal yang sehat, tekanan oklusi akan menyebabkan terjadinya
rangsangan secara mekanis sehingga jaringan akan menjadi sehat. Tekanan oklusi yang menyebabkan kerusakan
jaringan periodontal akan mempengaruhi jaringan periodontal yang meradang sehingga kerusakan akan
bertambah besar. Trauma oklusi adalah kerusakan jaringan periodontal yang disebabkan oleh tekanan yang tidak
normal, sedang peradangan adalah kerusakan jaringan periodontal yang disebabkan oleh adanya mikroorganisme.
Kedua kerusakan ini merupakan keadaan yang terpisah, namun dapat terjadi bersama-sama pada satu atau
sekelompok gigi. Trauma oklusi (traumatic from occlusion) dapat terjadi dengan atau tanpa peradangan.
Beberapa ahli menyebutkan bahwa trauma oklusi bukan penyebab awal gingivitis, namun trauma oklusi
merupakan keadaan yang dapat menambah kegoyangan gigi, dan adanya tekanan oklusi yang terus menerus
dapat menyebabkan kerusakan tulang. Meskipun traumatik oklusi tidak menyebabkan periodontitis, namun
traumatik oklusi dapat melemahkan atau menurunkan kesehatan jaringan periodontium. Traumatik oklusi dapat
juga menimbulkan suatu lesi (traumatic lesion).1,2,11

2
Bruxisme merupakan salah satu contoh trauma yang terus menerus dan dapat berpengaruh terhadap
terjadinya periodontitis.9 Gigi-gigi yang malformasi atau oklusi yang mengganggu merupakan faktor pendorong
lokal terjadinya penyakit periodontal.8 Tekanan oklusal yang menyebabkan hipermobiliti gigi tersebut juga dapat
mengganggu proses kesembuhan setelah perawatan periodontitis.3

PERAWATAN
Pada prinsipnya, perawatan kelainan periodontal baik permukaan, sedang, atau sudah lanjut yang
penyebabnya merupakan gabungan antara plak dan trauma adalah menghilangkan plak dan kemudian
menghilangkan trauma, kecuali apabila trauma itu tidak mempengaruhi perawatan kelainan periodontal. Kontrol
dari trauma bertujuan untuk menstabilkan oklusi agar sedikit sekali pengaruhnya terhadap perawatan kelainan
periodontal. Perawatan kebersihan mulut sangat penting pada perawatan ini. Terapi oklusi merupakan bagian
terapi kelainan periodontal. Seorang periodontis atau dokter gigi yang mengabaikan perawatan terapi oklusi dapat
dikatakan salah walaupun berhasil dalam menghilangkan peradangan gingiva. Terapi oklusi dapat mengurangi
terbentuknya poket dan dapat mengurangi kegoyangan gigi. Terapi oklusi tidak dapat memperbaiki gingivitis
atau periodontitis akibat aktivitas bakteri, namun dapat membantu pasien dalam melakukan kontrol plak dan
perawatan kelainan periodontal.1,2,7
Terapi oklusi meliputi: perawatan ortodonsi, pemakaian splin sementara, bite planes, occlusal
adjustment, restorasi gigi, pemakaian splin permanen.1,2,7,9 Metode perawatan untuk menghilangkan traumatik
oklusi tersebut adalah penyesuaian oklusi (occlusal adjustment) melalui pengasahan gigi secara selektif.2,3
Occlusal Adjusment dengan cara pengasahan dilakukan untuk memperbaiki hubungan oklusi gigi yang tidak
normal.9,11 Occlusal Adjustment dengan cara pengasahan diusahakan seminimal mungkin, karena pengasahan
akan menyebabkan perubahan yang menetap. Occlusal Adjusment bisa dilakukan sebelum atau setelah perawatan
periodontal dan dilakukan untuk dilakukan untuk sebab-sebab yang jelas dan indikasi yang tepat. Occlusal
adjustment dalam hubungan dengan perawatan periodontal, dapat dibagi 3 (tiga) tahap yaitu: preliminari
grinding, adalah partial adjustment dengan cara spot grinding pada tahap-tahap awal dari perawatan dengan
tujuan untuk menghilangkan hambatan oklusi; definitive grinding/complete adjustment, tahap ini dilakukan
setelah perawatan periodontal; check grinding, biasanya dilakukan paling akhir yaitu satu bulan setelah semua
perawatan periodontal selesai, karena setelah kesembuhan sering terjadi trauma kembali akibat adanya
pergerakan gigi.12
Tekanan oklusi tidak dapat dipisahkan dari kondisi jaringan periodontal, baik jaringan periodontal yang
sehat atau tidak. Tekanan oklusi menyebabkan kerusakan jaringan periodontal dan memperparah kondisi jaringan
periodontal yang meradang. Perawatan yang dapat dilakukan untuk mengurangi kelainan periodontal akibat
traumatik oklusi adalah kombinasi skeling atau pembersihan plak/kalkulus dan menghilangkan trauma dengan
occlusal adjustment secara selektif.

DAFTAR PUSTAKA
1. Caputo A, dan Wylie R, Force generation and reaction within the periodontium,
http://www.dent.ucla.edu/pic/members/force/references.html, diakses Agustus 2007.
2. Davies SJ, Gray RJM, Linden GJ, dan James JA, Occlusal considerations in periodontics, BDJ, 2001;
191(11): 597-604.
3. Ervina. Perawatan periodontitis yang disertai trauma karena oklusi (Laporan Kasus). Dentika Dental Journal
2004; 2(9): 110-3.
4. Utami D, Widyastuti R. Keberhasilan scaling dan root planing pada perawatan periodontal. J ITEKGI 2005;
2(1): 5
5. Syahriel D, Santoso B. Immobilisasi gigi goyang akibat periodontitis marginalis. J Kedokteran Gigi
Mahasaraswati 2003; 2(1): 2-3
6. Thahir H. Perawatan periodontal pada pasien dengan keluhan estetik (Laporan Kasus). Dentika Dental
Journal 2004; 1(9): 21-4.
7. Widyastuti R, Rachma Y. Perdarahan gusi pada probing sebagai parameter dalam mendeteksi kelainan
penyakit periodontal. J ITEKGI 2003; 1(3): 1.
8. Kumala A. Diagnosis, prognosis dan rencana perawatan penyakit periodontal. J ITEKGI 2005; 2(1): 1-2.
9. Prijantojo. Trauma jaringan periodontal karena oklusi dan perawatannya. Naskah Lengkap Kursus Penyegar
dan Penambah Ilmu Kedokteran Gigi. Jakarta: FKG UI 1988: 90-7.

3
10. Sadoso SD, Yashadana DD. Gigi berjejal sebagai penyebab trauma oklusi. Naskah Lengkap Kursus
Penyegar dan Penambah Ilmu Kedokteran Gigi. Jakarta: FKG UI. 1988: 86-7.
11. Syahriel D, Nurdeviyanti N dan Aryani P. Bruxism sebagai penyebab terjadinya kelainan periodontal. J
KGM 2004; 2(2): 67-8.
12. Amelia K dan Ratih W. Peranan oklusal adjusment pada perawatan periodontal. J ITEKGI 2005; 2(1): 34-5.

Anda mungkin juga menyukai