F Budi Hardiman
difalsifikasi (seperti "Allah itu mahakuasa") memang tidak ilmiah dan bukan
termasuk dalam teritorium sains, tetapi bisa saja pernyataan itu bermakna.
Aksi penyelamatan Popper ini menurut hemat saya tidak
menyelesaikan konflik tua antara sains dan agama. Bahkan, bisa jadi
keduanya bertempur lebih sengit karena kompetisi sains dan non-sains
dalam demarkasi itu. Namun, Popper memberikan kontribusi penting untuk
menyingkirkan positivisme dan memberi tempat pada agama dalam
pencarian makna.
Popper bahkan menegaskan bahwa tidak ada observasi yang bebas-
teori. Artinya, data empiris itu sendiri merupakan hasil konstruksi makna
dari subjek pengetahuan. Juga dalam sains, alam tidak pernah independen
dari pemaknaan-pemaknaan manusia atasnya.
Filsafat sains baru tidak berhenti pada posisi pertama. Ada tendensi
kuat membawa persoalan pencarian makna itu pada posisi kedua, yaitu
agama dan sains dibawa ke dalam satu arena. Dalam analisisnya atas
sejarah perkembangan sains, Thomas Kuhn dalam The Structure of
Scientific Revolutions menunjukkan bahwa perkembangan sains tidak
berlangsung linier, homogen, dan rasional (dalam arti akumulatif dan
progresif) seperti yang dikira orang sampai saat ini. Sains berkembang
melalui revolusi-revolusi yang membongkar paradigma lama dan
menggantinya dengan yang baru. Apa yang dipandang benar dalam
paradigma lama akan mengalami krisis sampai ditegakkan suatu
paradigma baru dengan kebenaran-kebenaran baru di dalamnya. Yang
sentral di sini adalah pandangan bahwa perubahan paradigma dalam
sejarah sains tidak termasuk wilayah logis hukum-hukum alam, melainkan
terjadi seperti proses "metanoia" (pertobatan) dalam agama. Ini membuat
teori-teori dalam paradigma yang satu tak dapat dibandingkan dengan
teori-teori dalam paradigma yang lain.
Lebih radikal daripada Popper, Kuhn berhasil menunjukkan bahwa
sains tidak memiliki "mata Allah" untuk keluar dari konteks spasial-
temporal dan mengeluarkan klaim-klaim makna absolut. Seperti politik dan
praktik-praktik manusiawi lainnya, sains juga kontingen terhadap sejarah
dan komunitas ilmuwan sehingga kebenaran makna ilmiah pun berubah-
ubah secara revolusioner seperti dalam politik. Jika demikian, penemuan
Kuhn ini dapat membawa kita pada konsekuensi yang radikal:
pencarian makna dalam sains (kebenaran ilmiah) tidak memiliki prioritas
atas pencarian makna dalam agama. Bahkan, pandangan Kuhn tentang
sejarah sains ini ikut menggugat setiap pandangan yang yakin akan adanya
kebenaran absolut yang bersifat suprahistoris, seperti misalnya dalam
agama.