Pendahuluan
Sindrom nefrotik adalah salah satu penyakit ginjal yang sering dijumpai pada
anak. Penyakit ini merupakan suatu kumpulan gejala-gejala klinis yang terdiri dari
proteinuria masif, hipoalbuminemia, hiperkolesteronemia serta edema. Sindrom nefrotik
dapat dibagi menjadi Sindrom nefrotik primer (idiopatik) yang berhubungan dengan
kelainan primer glomerulus dengan sebab tidak diketahui dan Sindrom nefrotik sekunder
yang disebabkan oleh penyakit tertentu.
Pada anak penyebab Sindrom nefrotik tidak jelas sehingga disebut Sindrom
Nefrotik Idiopatik ( SNI ). Kelainan histologis SNI menunjukkan kelainan-kelainan yang
tidak jelas atau sangat sedikit perubahan yang terjadi sehingga disebut Minimal Change
Nephrotic Syndrome atau Sindrom Nefrotik Kelainan Minimal (SNKM).
Epidemiologi
Insiden terjadinya sindrom nefrotik (SN) bervariasi dari umur, ras, dan letak
geografis. Insidens SN pada anak di Amerika Serikat dan Inggris adalah 2-7 kasus baru
per 100.000 anak per tahun, dengan prevalensi berkisar 12 16 kasus per 100.000 anak.
Di negara berkembang insidensnya lebih tinggi. Di Indonesia dilaporkan 6 per 100.000
per tahun pada anak berusia kurang dari 14 tahun. Perbandingan anak laki-laki dan
perempuan 2:1.1-3
Kejadian SN idiopatik 2-3 kasus per 100.000 anak pertahun sedangkan pada
dewasa 3 per 1000.000 pertahun. Sindrom nefrotik sekunder pada orang dewasa
terbanyak disebabkan oleh diabetes mellitus.3
Etiologi
Berdasarkan etiologi, sindrom ini dapat dibagi menjadi sindrom nefrotik primer
(idiopatik) dan sindrom nefrotik sekunder.4
Patofisiologi
Pada status nefrosis, hampir semua kadar lemak (kolesterol, trigliserida) dan
lipoprotein serum meningkat. Sekurang-kurangnya ada dua faktor yang memberikan
sebagian penjelasan: 1. Hipoproteinemia merangsang sintesis protein menyeluruh dalam
hati, termasuk lipoprotein; dan 2. Katabolisme lemak menurun, karena penurunan kadar
lipoprotein lipase plasma, sistem enzim utama yang mengambil lemak dari plasma.5
Manifestasi Klinik
Sindrom nefrotik idiopatik paling lazim muncul antara usia 2 dan 6 tahun.
Sindrom terdini telah dilaporkan pada setengah tahun terakhir dan usia satu tahun dan
lazim pada orang dewasa. Episode awal dan kekambuhan berikutnya dapat terjadi pasca-
infeksi virus saluran pernapasan atas yang nyata. Penyakit ini biasanya muncul sebagai
edema, yang pada mulanya ditemukan di sekitar mata dan pada tungkai bawah, dimana
edemanya bersifat pitting edema. Semakin lama, edema menjadi menyeluruh dan
mungkin disertai kenaikan berat badan, timbul asites dan/atau efusi pleura, penurunan
curah urin. Edemanya berkumpul pada tempat-tempat tergantung dari hari-ke hari tampak
berpindah dari muka dan punggung ke perut, perineum, dan kaki. Anoreksia, nyeri perut,
dan diare lazim terjadi; jarang ada hipertensi.1-3
Anamnesis
Anamnesis pada pasien anak yang diduga mempunyai gangguan pada ginjal dan
saluran kemih dilakukan secara alloanamnesis. Perlu ditanyakan pula pertanyaan-
pertanyaan yang menyangkut identitas anak, riwayat imunisasi, riwayat perinatal, dan
riwayat tumbuh kembang.1,2
Pendekatan umum
Keluhan yang sering ditemukan adalah bengkak di kedua kelopak mata, perut,
tungkai, atau seluruh tubuh dan dapat disertai jumlah urin yang berkurang.
Keluhan lain juga dapat ditemukan seperti urin berwarna kemerahan.
Dapat ditanyakan apakah sebelumnya anak pernah menderita gejala seperti yang
dikeluhkan dan penyakit-penyakit yang pernah diderita anak sebelumnya.
Riwayat pengobatan
Air seni yang berwarna merah atau keruh, rasa nyeri yang menyertai saat buang
air kecil, frekuensi pembuangan air seni serta jumlahnya, dan tanyakan pancaran
air seni yang terbuang.
Rasa nyeri pada daerah pinggang atau daerah lain, gejala konstitusi (mual,
muntah, keringat dingin, lemas), pola makan anak, dan alergi.
Imunisasi apa saja yang sudah diberikan kepada anak dan bagaimana riwayat
tumbuh kembangnya, untuk mengetahui adanya gagal tumbuh atau tidak.
Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum dilakukan pengukuran tanda vital: suhu, tekanan darah, frekuensi
pernapasan, denyut nadi. Pemeriksaan fisik abdomen di lakukan inspeksi dengan melihat
bentuk abdomen, kesimetrisan, pembesaran organ, atau adanya massa; kemungkinan
temuan penonjolan pinggang, penonjolan suprapubik, pembesaran hati, atau limpa,
tumor.2
Pada palpasi ditemukan kekakuan dinding abdomen, misalnya pada inflamasi
peritoneum. Palpasi dilakukan dengan tekanan ringan untuk mengetahui adanya nyeri
otot, nyeri lepas, dan nyeri tekan. Lalu dilakukan palpasi lebih dalam untuk mengetahui
adanya massa atau nyeri tekan.2
Perkusi abdomen dilakukan untuk pola bunyi timpani dan pekak. Kemungkinan
temuan asites, obstruksi GI, tumor ovarium. Pada auskultasi ditemukan bunyi normal
iaitu suara peristaltik dengan intensitas rendah terdengar tiap 10 30 detik Bila dinding
perut diketuk : frekuensi dan intensitas bertambah . Nada tingi (nyaring) : obstruksi GIT
(metalic sound). Berkurang/ hilang : peritonitis/ ileus paralitik.
Pada pemeriksaan fisik untuk Sindrom Nefrotik biasa dapat ditemukan edema.
Edema pitting biasanya ditemukan di wajah, ekstremitas bawah dan daerah periorbital,
skrotum atau labia dan perut (asites). Pada anak-anak dengan asites, kesulitan bernapas
dapat terjadi, dan sebagai kompensasi terjadilah takipneu. Edema paru dan efusi juga
menunjukan peritonitis.2
Pemeriksaan Penunjang
Urinalisis.
Nilai protein urin 24 jam > 40 mg/m2/jam atau nilai protein urin sewaktu
>100mg/dL, terkadang mencapai 1000mg/dL.
Sebagian besar protein yang diekskresi pada SN adalah albumin.
Pemeriksaan darah1-3
Ureum, kreatinin serta bersihan kreatinin dengan cara klasik atau dengan
rumus Schwartz
Biopsi Ginjal
Biopsi ginjal tidak diindikasikan bagi pasien SN primer dengan awitan pada usia
1-8 tahun, kecuali jika riwayat klinis, temuan pada pemeriksaan fisik, maupun hasil dari
pemeriksaan laboratorium mengindikasikan adanya kemungkinan SN sekunder atau SN
primer selain tipe lesi minimal. Biopsi ginjal diindikasikan bagi pasien usia < 1 tahun,
dimana SN kongenital lebih sering terjadi, dan pada pasien usia > 8 tahun dimana
penyakit glomerular kronik memiliki insidensi yang lebih tinggi. Biopsi ginjal hendaknya
juga dilakukan bila riwayat, pemeriksaan, dan hasil uji laboratorium mengindikasikan
adanya SN sekunder.1-3
Radiografi
Diagnosis
Working Diagnosis
Anak dengan awitan sindrom nefrotik antara usia 1 sampai 8 tahun agaknya
menderita penyakit lesi-minimal yang berespons terhadap steroid, dan terapi
kortikosteroid harus dimulai tanpa biopsi ginjal. Penyakit lesi-minimal tetap lazim pada
anak di atas usia 8 tahun yang datang dengan sindrom nefrotik, tetapi glomerulonephritis
membranosa dan membranoproliferatif menjadi semakin sering; biopsi ginjal dianjurkan
pada kelompok ini untuk menegakkan diagnosis pasti sebelum mempertimbangkan
terapi.3
Pada sindrom nefrotik primer ada pilihan untuk memberikan terapi empiris atau
melakukan biopsi ginjal untuk mengidentifikasi lesi penyebab sebelum memulai terapi.
Selain itu terdapat perbedaan dalam regimen pengobatan sindrom nefrotik dengan respon
terapi yang bervariasi dan sering terjadi kekambuhan setelah terapi dihentikan.3
Ditandai dengan adanya peningkatan sel mesangial yang difus dan matriks
pada pemeriksaan mikroskop biasa. Mikroskop immunofluoroscence dapat
memperlihatkan jejak 1+ IgM mesangial dan/atau IgA. Mikroskop electron
memperlihatkan peningkatan dari sel mesangial dan matriks diikuti dengan
menghilangnya sel podosit. Sekitar 50% pasien dengan lesi histologis ini
berespon dengan terapi kortikosteroid.
Differential Diagnosis
Glomerulonefritis Akut
Pada glomerulonefritis akut terdapat edema pada tungkai dan tidak disertai asites
karena albuminuria pada Glomerulonefritis akut tidak semasif pada sindrom nefrotik.
Selain itu glomerulonefritis akut lebih cenderung mengalami hipertensi dibandingkan
sindrom nefrotik. Pada sindrom nefrotik biasanya normotensi/ hipotensi. Hematuria
makroskopik juga lebih sering ditemukan pada Glomerulonefritis akut. Pada pemeriksaan
lab dapat ditemukan penurunan komplemen dan tidak terjadi peningkatan kolesterol, hal
ini penting untuk membedakan Glomerulonefritis akut dan sindrom nefrotik.5
Penatalaksanaan
Medika Mentosa
Anak dengan manifestasi klinis SN pertama kali, sebaiknya dirawat di rumah sakit
dengan tujuan untuk mempercepat pemeriksaan dan evaluasi pengaturan diet,
penanggulangan edema, memulai pengobatan steroid, dan edukasi orangtua.1-3,7
Pemeriksaan fisis untuk mencari tanda atau gejala penyakit sistemik, seperti
lupus eritematosus sistemik, purpura Henoch-Schonlein.
Terapi pada anak dengan sindrom nefrotik idiopatik tanpa kontraindikasi steroid
sesuai dengan anjuran ISKDC adalah diberikan prednison 60 mg/m2 LPB/hari atau 2
mg/kgbb/hari (maksimal 80 mg/hari) dalam dosis terbagi, untuk menginduksi remisi.
Dosis prednison dihitung sesuai dengan berat badan ideal (berat badan terhadap tinggi
badan). Prednison dosis penuh (full dose) inisial diberikan selama 4 minggu. Bila terjadi
remisi dalam 4 minggu pertama, dilanjutkan dengan 4 minggu kedua dengan dosis 40
mg/m2 LPB (2/3 dosis awal) atau 1,5 mg/kgbb/hari, secara alternating (selang sehari), 1 x
sehari setelah makan pagi. Bila setelah 4 minggu pengobatan steroid dosis penuh, tidak
terjadi remisi, pasien dinyatakan sebagai resisten steroid. 7
Bila didapatkan gejala atau tanda yang merupakan kontraindikasi steroid, seperti
tekanan darah tinggi, peningkatan ureum dan atau kreatinin, infeksi berat, maka dapat
diberikan sitostatik siklofosfamid (CPA) oral maupun siklofosfamid puls. Siklofosfamid
dapat diberikan per oral dengan dosis 2-3 mg/kg bb/hari dosis tunggal, maupun secara
intravena (CPA puls). CPA oral diberikan selama 8 minggu. CPA puls diberikan dengan
dosis 500 750 mg/m2 LPB, yang dilarutkan dalam 250 ml larutan NaCL 0,9%,
diberikan selama 2 jam. CPA puls diberikan sebanyak 7 dosis, dengan interval 1 bulan
(total durasi pemberian CPA puls adalah 6 bulan). 1-3,7
Siklofosfamid (CPA)
Penggunaan CyA pada SN resisten steroid telah banyak dilaporkan dalam literatur, tetapi
karena harga obat yang mahal maka pemakaian CyA jarang atau sangat selektif. 1-3,6
Metilprednisolon puls
Obat imunosupresif lain yang dilaporkan telah digunakan pada SNRS adalah
vinkristin, takrolimus, dan mikofenolat mofetil. Karena laporan dalam literatur yang
masih sporadik dan tidak dilakukan dengan studi kontrol, maka obat ini belum
direkomendasi di Indonesia. 1-3,7
Pada anak dengan SNSS relaps sering, dependen steroid dan SNRS dianjurkan
untuk diberikan ACE-I saja atau dikombinasikan dengan ARB, bersamaan dengan steroid
atau imunosupresan lain. Jenis obat ini yang bisa digunakan adalah: 1-3,7
Pada beberapa penelitian tidak ditemukan perbedaan bermakna dari aspek klinis dengan
temuan laboratorium yaitu usia, edema, hipertensi, proteinuria, hematuria, albuminemia,
dan kolesterol dengan pengobatan pada sindroma nefrotik sensitif steroid maupun pada
sindroma nefrotik tidak sensitif steroid.8
Non-Medika Mentosa
Perawatan di rumah sakit pada SN relaps hanya dilakukan bila terdapat edema
anasarka yang berat atau disertai komplikasi muntah, infeksi berat, gagal ginjal, atau
syok. Tirah baring tidak perlu dipaksakan dan aktivitas fisik disesuaikan dengan
kemampuan pasien. Bila edema tidak berat, anak boleh sekolah. 1-3,7
Restriksi cairan dianjurkan selama ada edema berat. Biasanya diberikan loop
diuretic seperti furosemid 1-3 mg/kgbb/hari, bila perlu dikombinasikan dengan
spironolakton (antagonis aldosteron, diuretik hemat kalium) 2-4 mg/kgbb/hari. Sebelum
pemberian diuretik, perlu disingkirkan kemungkinan hipovolemia. Pada pemakaian
diuretik lebih dari 1-2 minggu perlu dilakukan pemantauan elektrolit kalium dan natrium
darah.1-3,7
Bila pemberian diuretik tidak berhasil (edema refrakter), biasanya terjadi karena
hipovolemia atau hipoalbuminemia berat ( 1 g/dL), dapat diberikan infus albumin 20-
25% dengan dosis 1 g/kgbb selama 2-4 jam untuk menarik cairan dari jaringan interstisial
dan diakhiri dengan pemberian furosemid intravena 1-2 mg/kgbb. Bila pasien tidak
mampu dari segi biaya, dapat diberikan plasma 20 ml/kgbb/hari secara pelan-pelan 10
tetes/menit untuk mencegah terjadinya komplikasi dekompensasi jantung. Bila
diperlukan, suspensi albumin dapat diberikan selang-sehari untuk memberi kesempatan
pergeseran cairan dan mencegah overload cairan. Bila asites sedemikian berat sehingga
mengganggu pernapasan dapat dilakukan pungsi asites berulang.1-3,7
Komplikasi
Infeksi adalah komplikasi sindrom nefrotik utama, komplikasi ini akibat dari
meningkatnya kerentanan terhadap infeksi bakteriselama kambuh. Penjelasan yang
diusulkan meliputi penurunan kadar immunoglobulin, cairan edema yang berperan
sebagai media perbiakan, defisiensi protein, penurunan aktivitas bakterisid leukosit,
terapi imunosupresif, penurunan perfusi limpa karena hipovolemia, kehilangan faktor
komplemen (faktor properdin B) dalam urin yang mengopsonisasi bakteri tertentu. Belum
jelas, mengapa peritonitis spontan merupakan tipe infeksi yang paling sering; sepsis,
pneumonia, selulitis, dan infeksi saluran kemih juga dapat ditemukan. Organisme
penyebab peritonitis yang paling lazim adalah S. pneumoniae; bakteri gram-negatif juga
ditemukan. Demam dan temuan-temuan fisik mungkin minimal bila ada terapi
kortikosteroid. Oleh karenanya, kecurigaan yang tinggi, pemeriksaan segera (termasuk
biakan darah dan cairan peritoneum), dan memulai terapi awal yang mencakup organisme
gram-positif maupun gram-negatif adalah penting untuk mencegah terjadinya penyakit
yang mengancam jiwa. Bila dalam perbaikan, semua penderita yang sedang menderita
nefrosis harus mendapatkan vaksin pneumokokus polivalen.9
Prognosis
Sebagian besar anak dengan sindrom nefrotik yang berespons terhadap steroid
akan mengalami kekambuhan berkali-kali sampai penyakitnya menyembuh sendiri secara
spontan menjelang usia akhir dekade kedua. Yang penting adalah, menunjukkan pada
keluarganya bahwa anak tersebut tidak akan menderita disfungsi ginjal, bahwa
penyakitnya biasanya tidak herediter, dan bahwa anak akan tetap fertil (bila tidak ada
terapi siklofosfamid atau klorambusil). Untuk memperkecil efek psikologis sindrom
nefrotik, ditekankan bahwa selama masa remisi anak tersebut normal serta tidak perlu
pembatasan diet dan aktivitas. Pada anak yang sedang berada dalam masa remisi
pemeriksaan protein urin biasanya tidak diperlukan.9
Kesimpulan
2. Avner ED, Harmon WE, Niaudet P. Pediatric nephrology. Springer. 2009. p. 667-
91
3. Markum AH, Ismael S, Alatas H, et al. Buku ajar ilmu kesehatan anak. Jilid I.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2004.h.528-67.
4. Pratiwi DM, Mayetti, Husnil, Kandri. Hubungan antara proteinuria dan
hipoalbuminemia pada anak sindroma nefrotik yang di rawat di RSUP Dr. M
Djamil periode 2009-2012. Jurnal kesehatan Andalas 2013 ; 2(2). di unduh dari
www.tappdf.com pada 10 maret 2017
5. Bergstein JM. Nefrologi. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Arvin AM,
penyunting. Ilmu kesehatan anak Nelson. Vol.II. Edisi 15. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 2000. hal. 1828-32.
6. Gunawan CA. Sindroma nefrotik patogenesis dan penatalaksanaan. Jakarta:
Cermin Dunia Kedokteran; 2006.h.50-3, 150.
7. Kumar V, Abbas AK, Fausto N, Mitchell RN. Robbins basic pathology. 8th ed.
USA: Saunders Elsevier. 2007. p. 517-50.
8. Robin S.M, Adrian U, Stevanus G. Hubungan aspek klinis dan laboratorik dengan
tipe sindroma nefrotik pada anak. Jurnal eClinic (eCL) vol 4 , no 1. Januari 2015.
diunduh dari www.tappdf.com pada 10 Maret 2017.
9. Trihon PP, Alatas H, Tambunan T, Pardede SO. Konsensus tata laksana sindrom
nefrotik idiopatik pada anak. Ed. 2. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak
Indonesia. 2012. h. 2-15