Anda di halaman 1dari 16

Penegakkan Diagnosa Sindrom Nefrotik Idiopatik pada Anak

Nur Hidayah Binti Dzulkifly 102012522


Mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana.
Jl. Arjuna Utara No. 06 Jakarta 11510. No Telp ( 021) 5694-2051
____________________________________________________________________

Pendahuluan

Sindrom nefrotik adalah salah satu penyakit ginjal yang sering dijumpai pada
anak. Penyakit ini merupakan suatu kumpulan gejala-gejala klinis yang terdiri dari
proteinuria masif, hipoalbuminemia, hiperkolesteronemia serta edema. Sindrom nefrotik
dapat dibagi menjadi Sindrom nefrotik primer (idiopatik) yang berhubungan dengan
kelainan primer glomerulus dengan sebab tidak diketahui dan Sindrom nefrotik sekunder
yang disebabkan oleh penyakit tertentu.

Pada anak penyebab Sindrom nefrotik tidak jelas sehingga disebut Sindrom
Nefrotik Idiopatik ( SNI ). Kelainan histologis SNI menunjukkan kelainan-kelainan yang
tidak jelas atau sangat sedikit perubahan yang terjadi sehingga disebut Minimal Change
Nephrotic Syndrome atau Sindrom Nefrotik Kelainan Minimal (SNKM).

Epidemiologi

Insiden terjadinya sindrom nefrotik (SN) bervariasi dari umur, ras, dan letak
geografis. Insidens SN pada anak di Amerika Serikat dan Inggris adalah 2-7 kasus baru
per 100.000 anak per tahun, dengan prevalensi berkisar 12 16 kasus per 100.000 anak.
Di negara berkembang insidensnya lebih tinggi. Di Indonesia dilaporkan 6 per 100.000
per tahun pada anak berusia kurang dari 14 tahun. Perbandingan anak laki-laki dan
perempuan 2:1.1-3

Perbedaan geografis dan/atau etnik juga mempengaruhi insidensi dari sindrom


nefrotik. Contohnya, insiden sindrom nefrotik 6 kali lipat lebih besar pada anak-anak di
Asia daripada di Eropa. Sindrom nefrotik jarang terjadi di daerah Afrika.1-3

Di klinik (75%-80%) kasus SN merupakan SN primer (idiopatik). Pada anak-anak


(< 16 tahun) paling sering ditemukan nefropati lesi minimal (75%-85%) dengan umur
rata-rata 2,5 tahun, 80% < 6tahun saat diagnosis dibuat dan laki-laki dua kali lebih
banyak dari pada wanita. Pada orang dewasa paling banyak nefropati membranosa (30%-
50%), umur rata-rata 30-50 tahun dan perbandingan laki-laki dan wanita 2 : 1.3

Kejadian SN idiopatik 2-3 kasus per 100.000 anak pertahun sedangkan pada
dewasa 3 per 1000.000 pertahun. Sindrom nefrotik sekunder pada orang dewasa
terbanyak disebabkan oleh diabetes mellitus.3

Etiologi

Berdasarkan etiologi, sindrom ini dapat dibagi menjadi sindrom nefrotik primer
(idiopatik) dan sindrom nefrotik sekunder.4

Sindrom nefrotik primer tetap belum diketahui penyebabnya. Keberhasilan awal


dalam mengendalikan sindrom nefrotik dengan obat-obat imunosupresif memberi
kesan bahwa penyakitnya diperantarai oleh mekanisme imunologis yang klasik belum
ada, dan sekarang agaknya jelas bahwa obat-obat imunosupresif mempunyai banyak
pengaruh selain dari penekanan pembentukan antibody. Sebagian kecil penderita
mempunyai bukti bahwa penyakit ini diperantarai oleh IgE, tetapi bukti semakin banyak
mengesankan bahwa sindrom ini mungkin diakibatkan dari kelainan fungsi limfosit yang
berasal dari timus (sel-T), mungkin melalui produksi faktor yang meningkatkan
permeabilitas vaskuler.5

Berlainan dengan sindrom nefrotik primer, sindrom nefrotik sekunder jelas


diketahui penyebabnya, biasanya merupakan komplikasi dari penyakit berat. Beberapa
penyakit atau kelainan yang dapat menyebabkan sindrom nefrotik antara lain penyakit
infeksi, keganasan, obat-obatan, penyakit multisistem dan jaringan ikat, reaksi alergi,
penyakit metabolik, penyakit familial, toksin, transplantasi ginjal, thrombosis vena
renalis, stenosis arteri renalis, serta obesitas masif.5

Sindrom nefrotik dengan proteinuria berat yang diakibatkan oleh


glomerulonephritis, diabetes mellitus ataupun amyloidosis merupakan penyakit dengan
prognosis buruk. Pada kasus berat, sebagian pasien akan masuk dalam kondisi end-stage
renal failure (ESRD) dimana terjadi kegagalan fungsi ginjal.4

Patofisiologi

Kelainan patogenetik yang mendasari sindrom nefrotik adalah proteinuria, akibat


dari kenaikan permeabilitas dinding kapiler glomerulus. Mekanisme dari keniakan
permeabilitas ini belum diketahui tetapi mungkin terkait, setidak-tidaknya sebagian,
dengan hilangnya muatan negatif glikoprotein dalam dinding kapiler. Pada status
nefrosis, protein yang hilang biasanya melebihi 2 g/24 jam dan terutama terdiri dari
albumin; hipoproteinemianya pada dasanya adalah hipoalbuminemia. Umumnya,
edema muncul bila kadar albumin serum turun dibawah 2,5 g/dL (25 g/L).5

Mekanisme pembentukan edema pada nefrosis tidak dimengerti sepenuhnya.


Kemungkinannya adalah bahwa edema didahului oleh timbulnya hipoalbuminemia.
Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik plasma, yang
memungkinkan transudasi cairan dari ruang intravaskuler menurunkan tekanan perfusi
ginjal; mengaktifkan sistem renin-angiotensin-aldosteron, yang merangsang reabsorbsi
natrium di tubulus distal. Penurunan volume intravaskuler juga mereangsang pelepasan
hormon antidiuretic, yang mempertinggi reabsorbsi air dalam duktus kolektivus. Karena
tekanan onkotik plasma berkurang, natrium dan air yang telah direabsorbsi masuk ke
ruang interstisial, mamperberat edema. Adanya faktor-faktor lain yang juga memainkan
peran pada pembentukan edema dapat ditunjukkan melalui observasi bahwa beberapa
penderita sindrom nefrotik mempunyai volume intravaskuler yang normal atau
meningkat, dan kadar renin serta aldosterone plasma normal atau menurun. Penjelasan
secara hipotesis meliputi defek intrarenal dalam eksresi natrium da air atau adanya agen
dalam sirkulasi yang menaikkan permeabilitas dinding kapiler di seluruh tubuh, serta
dalam ginjal.6

Pada status nefrosis, hampir semua kadar lemak (kolesterol, trigliserida) dan
lipoprotein serum meningkat. Sekurang-kurangnya ada dua faktor yang memberikan
sebagian penjelasan: 1. Hipoproteinemia merangsang sintesis protein menyeluruh dalam
hati, termasuk lipoprotein; dan 2. Katabolisme lemak menurun, karena penurunan kadar
lipoprotein lipase plasma, sistem enzim utama yang mengambil lemak dari plasma.5

Sindrom nefrotik idiopatik terjadi pada 3 pola morfologi. Pada lesi-minimal


(85%), glomerulus tampak normal atau menunjukkan penambahan minimal pada sel
mesangial dan matriks. Temuan-temuan mikroskop imunofluoresens khas negatif.
Mikroskop electron menampakkan retraksi tonjolan kaki sel epitel. Lebih dari 90% anak
dengan penyakit lesi-minimal berespons terhadap terapi kortikosteroid.6

Kelompok proliferative mesangium (5%) ditandai dengan peningkatan difus sel


mesangial dan matriks. Dengan imunofluoresens, frekuensi endapan mesangium yang
mengandung IgM dan C3 tidak berbeda dengan frekuensi yang diamati pada penyakit
lesi-minimal. Sekitra 50-60% penderita lesi histologis ini akan berespons terhadap terapi
kortikosteroid.5
Pada biopsi penderita yang menderita lesi sclerosis setempat (10%), sebagian
besar glomerulus tampak normal atau menunjukkan proliferasi mesangium. Yang lain,
terutama glomerulus yang dekat dengan medulla (jukstamedulare), menunjukkan jaringan
parut segmental pada satu atau lebih lobulus. Penyakitnya seringkali progresif, akhirnya
melibatkan semua glomerulus, dan menyebabkan gagal ginjal stadium-akhir pada
kebanyakan penderita. Sekitar 20% penderita demikian berespons terhadap kortikosterois
atau terapi sitotoksik ataupun keduanya. Penyakit ini dapat berulang pada ginjal yang
ditransplantasikan.6

Manifestasi Klinik

Sindrom nefrotik idiopatik paling lazim muncul antara usia 2 dan 6 tahun.
Sindrom terdini telah dilaporkan pada setengah tahun terakhir dan usia satu tahun dan
lazim pada orang dewasa. Episode awal dan kekambuhan berikutnya dapat terjadi pasca-
infeksi virus saluran pernapasan atas yang nyata. Penyakit ini biasanya muncul sebagai
edema, yang pada mulanya ditemukan di sekitar mata dan pada tungkai bawah, dimana
edemanya bersifat pitting edema. Semakin lama, edema menjadi menyeluruh dan
mungkin disertai kenaikan berat badan, timbul asites dan/atau efusi pleura, penurunan
curah urin. Edemanya berkumpul pada tempat-tempat tergantung dari hari-ke hari tampak
berpindah dari muka dan punggung ke perut, perineum, dan kaki. Anoreksia, nyeri perut,
dan diare lazim terjadi; jarang ada hipertensi.1-3

Anamnesis

Anamnesis pada pasien anak yang diduga mempunyai gangguan pada ginjal dan
saluran kemih dilakukan secara alloanamnesis. Perlu ditanyakan pula pertanyaan-
pertanyaan yang menyangkut identitas anak, riwayat imunisasi, riwayat perinatal, dan
riwayat tumbuh kembang.1,2

Pertanyaan-pertanyaan terkait yang dapat diajukan dalam anamenesis kepada


pasien antara lain:1,2

Pendekatan umum

Identitas pasien (nama, umur, alamat).

Keluhan utama dan riwayat penyakit sekarang

Keluhan yang sering ditemukan adalah bengkak di kedua kelopak mata, perut,
tungkai, atau seluruh tubuh dan dapat disertai jumlah urin yang berkurang.
Keluhan lain juga dapat ditemukan seperti urin berwarna kemerahan.

Riwayat penyakit dahulu

Dapat ditanyakan apakah sebelumnya anak pernah menderita gejala seperti yang
dikeluhkan dan penyakit-penyakit yang pernah diderita anak sebelumnya.

Riwayat pengobatan

Tanyakan mengenai kebiasaan dalam pembuangan urin dan konsistensi urin :

Air seni yang berwarna merah atau keruh, rasa nyeri yang menyertai saat buang
air kecil, frekuensi pembuangan air seni serta jumlahnya, dan tanyakan pancaran
air seni yang terbuang.

Keluhan tambahan lainnya dan pola makan pasien

Rasa nyeri pada daerah pinggang atau daerah lain, gejala konstitusi (mual,
muntah, keringat dingin, lemas), pola makan anak, dan alergi.

Riwayat imunisasi dan tumbuh kembang

Imunisasi apa saja yang sudah diberikan kepada anak dan bagaimana riwayat
tumbuh kembangnya, untuk mengetahui adanya gagal tumbuh atau tidak.

Pemeriksaan Fisik

Keadaan Umum dilakukan pengukuran tanda vital: suhu, tekanan darah, frekuensi
pernapasan, denyut nadi. Pemeriksaan fisik abdomen di lakukan inspeksi dengan melihat
bentuk abdomen, kesimetrisan, pembesaran organ, atau adanya massa; kemungkinan
temuan penonjolan pinggang, penonjolan suprapubik, pembesaran hati, atau limpa,
tumor.2
Pada palpasi ditemukan kekakuan dinding abdomen, misalnya pada inflamasi
peritoneum. Palpasi dilakukan dengan tekanan ringan untuk mengetahui adanya nyeri
otot, nyeri lepas, dan nyeri tekan. Lalu dilakukan palpasi lebih dalam untuk mengetahui
adanya massa atau nyeri tekan.2

Perkusi abdomen dilakukan untuk pola bunyi timpani dan pekak. Kemungkinan
temuan asites, obstruksi GI, tumor ovarium. Pada auskultasi ditemukan bunyi normal
iaitu suara peristaltik dengan intensitas rendah terdengar tiap 10 30 detik Bila dinding
perut diketuk : frekuensi dan intensitas bertambah . Nada tingi (nyaring) : obstruksi GIT
(metalic sound). Berkurang/ hilang : peritonitis/ ileus paralitik.

Pada pemeriksaan fisik untuk Sindrom Nefrotik biasa dapat ditemukan edema.

Edema pitting biasanya ditemukan di wajah, ekstremitas bawah dan daerah periorbital,

skrotum atau labia dan perut (asites). Pada anak-anak dengan asites, kesulitan bernapas

dapat terjadi, dan sebagai kompensasi terjadilah takipneu. Edema paru dan efusi juga

dapat menyebabkan gangguan pernapasan. Nyeri tekan pada abdomen mungkin

menunjukan peritonitis.2
Pemeriksaan Penunjang

Langkah pertama dalam mengevaluasi anak dengan edema adalah untuk


memastikan apakah anak tersebut menderita sindrom nefrotik atau tidak, karena
hipoalbuminemia dapat terjadi tanpa adanya proteinuria (pada protein-losing
enteropathy), dan edema dapat terjadi tanpa adanya hipoalbuminemia (seperti pada
angioedema, insufisiensi venosa, gagal jantung kongestif, dan lain sebagainya). Untuk
memastikan diagnosis sindroma nefrotik, pada pemeriksaan laboratorium didapatkan :
proteinuria, hipoalbuminemia, dan hiperlipidemia. Pemeriksaan laboratorium yang
dibutuhkan diantaranya :1-3

Urinalisis.

Pada hasil urinalisis pasien dengan syndrome nefrotik dapat ditemukan


hematuria. Hasil tersering adalah hematuria mikroskopis. Hematuria makrsokopis
jarang ditemukan pada kasus syndrome nefrotik. Proteinuria dapat ditemukan
antara 3+ atau 4+, yang menunjukkan kandungan protein urin sekitar 300
mg/dL.1-3

Protein urin kuantitatif dengan menghitung protein/kreatinin urin pagi, atau


dengan protein urin 24 jam.1-3

Protein/kreatinin urin pagi lebih mudah dilakukan dan dapat mengeksklusi


proteinuria orthostatik.

Nilai protein/kreatinin urin lebih dari 2-3 mg/mg.

Nilai protein urin 24 jam > 40 mg/m2/jam atau nilai protein urin sewaktu
>100mg/dL, terkadang mencapai 1000mg/dL.
Sebagian besar protein yang diekskresi pada SN adalah albumin.

Pemeriksaan darah1-3

Darah tepi lengkap (hemoglobin, leukosit, hitung jenis leukosit, trombosit,


hematocrit, LED)

Albumin dan kolesterol serum

Ureum, kreatinin serta bersihan kreatinin dengan cara klasik atau dengan
rumus Schwartz

Kadar komplemen C3; bila dicurigai lupus eritematosus sistemik pemeriksaan


ditambah dengan komplemen C4, ANA (anti nuclear antibody), dan anti ds-
DNA

Pada beberapa penelitian tidak ditemukan perbedaan bermakna pada hipoalbuminemia


dan proteinuria yang bermakna pada anak dengan sindroma nefrotik. Antara faktor nya
adalah kadar albumin dalam darah ditentukan oleh sintesis hepar dan pengeluarannya
disebabkan degradasi metabolik, eksresi renal , dan gastro intestinal. Oleh karena itu
proteinuria pada SN tidak hanya di tentukan oleh eksresi renal.4

Biopsi Ginjal

Biopsi ginjal tidak diindikasikan bagi pasien SN primer dengan awitan pada usia
1-8 tahun, kecuali jika riwayat klinis, temuan pada pemeriksaan fisik, maupun hasil dari
pemeriksaan laboratorium mengindikasikan adanya kemungkinan SN sekunder atau SN
primer selain tipe lesi minimal. Biopsi ginjal diindikasikan bagi pasien usia < 1 tahun,
dimana SN kongenital lebih sering terjadi, dan pada pasien usia > 8 tahun dimana
penyakit glomerular kronik memiliki insidensi yang lebih tinggi. Biopsi ginjal hendaknya
juga dilakukan bila riwayat, pemeriksaan, dan hasil uji laboratorium mengindikasikan
adanya SN sekunder.1-3

Radiografi

Pemeriksaan ultrasonografi atau venografi ginjal sekiranya dicurigai adanya


trombosis vena ginjal. Gambaran USG pada thrombosis vena ginjal yaitu: 1-3 Pembesaran
ginjal dengan korteks hipoekoik dari edema pada fase awal. Pengurangan ukuran dan
meningkatnya ekogenesitas. Pada Doppler ditemukan aliran arterial diastolic terbalik,
absennya aliran vena, visualisasi thrombus dengan lumen, resistensi tinggi pada arteri
renalis dengan peningkatan indeks resistif.

Diagnosis

Working Diagnosis

Sindrom Nefrotik Idiopatik

Sindrom nefrotik idiopatik merupakan penyakit ginjal dengan gejala proteinuria


masif >3 g/hari, hipoalbuminemia < 3 g/dl, edema, hiperlipidemia, lipiduria dan
hiperkoagulabilitas terkait kelainan glomerulus akibat penyakit tertentu atau tidak
diketahui.3

Untuk menegakkan diagnosis anak dengan sindrom nefrotik, ada beberapa


keadaan yang dapat ditemukan. Analisis urin menunjukkan proteinuria +3 atau +4;
mungkin ada hematuria mikroskopis, tetapi jarang ada hematuria makroskopis. Fungsi
ginjal mungkin normal atau menurun. Bersihan kreatinin rendah karena terjadi penurunan
perfusi ginjal akibat penyusutan volume intravaskuler dan akan kembali ke normal bila
volume intravaskuler membaik. Ekskresi protein melebihi 2 g/24 jam, kadar kolesterol
dan trigliserid serum naik, kadar albumin serum biasanya kurang dari 2 g/dL, dan kadar
kalsium serum total menurun, karena penurunan fraksi terikat-albumin. Kadar C3
normal.3

Anak dengan awitan sindrom nefrotik antara usia 1 sampai 8 tahun agaknya
menderita penyakit lesi-minimal yang berespons terhadap steroid, dan terapi
kortikosteroid harus dimulai tanpa biopsi ginjal. Penyakit lesi-minimal tetap lazim pada
anak di atas usia 8 tahun yang datang dengan sindrom nefrotik, tetapi glomerulonephritis
membranosa dan membranoproliferatif menjadi semakin sering; biopsi ginjal dianjurkan
pada kelompok ini untuk menegakkan diagnosis pasti sebelum mempertimbangkan
terapi.3

Sindrom Nefrotik Primer

Pada sindrom nefrotik primer ada pilihan untuk memberikan terapi empiris atau
melakukan biopsi ginjal untuk mengidentifikasi lesi penyebab sebelum memulai terapi.
Selain itu terdapat perbedaan dalam regimen pengobatan sindrom nefrotik dengan respon
terapi yang bervariasi dan sering terjadi kekambuhan setelah terapi dihentikan.3

Pada anak-anak dengan sindrom nefrotik, ginjal tampaknya merupakan satu-


satunya organ utama yang terlibat dan dapat disebut sebagai sindroma nefrotik primer.
Sindroma nefrotik dapat pula berkembang dalam perjalanan suatu penyakit sistemik
disini sindroma nefrotik dianggap sekunder.3

Yang termasuk golongan primer :3

Sindrom nefrotik lesi minimal (MCNS = minimal change nephrotic syndrome)

Pada sindrom nefrotik kelainan minimal (SNKM) (85% dari kasus


sindrom nefrotik pada anak), glomerulus terlihat normal atau memperlihatkan
peningkatan minimal pada sel mesangial dan matrixnya. Penemuan pada
mikroskop immunofluorescence biasanya negative, dan mikroskop electron hanya
memperlihatkan hilangnya epithelial cell foot processes (podosit) pada
glomerulus. Lebih dari 95% anak dengan SNKM berespon dengan terapi
kortikosteroid.

Sindroma nefrotik dengan proliferasi mesangial difus

Ditandai dengan adanya peningkatan sel mesangial yang difus dan matriks
pada pemeriksaan mikroskop biasa. Mikroskop immunofluoroscence dapat
memperlihatkan jejak 1+ IgM mesangial dan/atau IgA. Mikroskop electron
memperlihatkan peningkatan dari sel mesangial dan matriks diikuti dengan
menghilangnya sel podosit. Sekitar 50% pasien dengan lesi histologis ini
berespon dengan terapi kortikosteroid.

Sindroma nefrotik dengan glomerulosklerosis fokal

Glomerulus memperlihatkan proliferasi mesangial dan jaringan parut


segmental pada pemeriksaan dengan mikroskop biasa. Mikroskop
immunofluorescence menunjukkan adanya IgM dan C3 pada area yang
mengalami sklerosis. Pada pemeriksaan dengan mikroskop electron, dapat dilihat
jaringan parut segmental pada glomerular tuft disertai dengan kerusakan pada
lumen kapiler glomerulus. Lesi serupa dapat terlihat pula pada reflux
vesicoureteral, dan penyalahgunaan heroin intravena. Hanya 20% pasien dengan
FSGS yang berespon dengan terapi prednison. Penyakit ini biasanya bersifat
progresif, pada akhirnya dapat melibatkan semua glomeruli, dan menyebabkan
penyakit ginjal stadium akhir (end stage renal disease) pada kebanyakan pasien.

Differential Diagnosis

Sindrom Nefrotik Sekunder


Sindrom nefrotik sekunder adalah sindrom nefrotik yang berhubungan dengan
penyakit/kelainan sistemik, atau disebabkan oleh obat, alergen, maupun toksin. Secara
histopatologis sindrom nefrotik sekunder dapat berupa kelainan minimal,
glomerulosklerosis fokal segmental, glomerulonefritis membranosa maupun
glomerulonefritis membranoproliferatif. Penyakit sistemik yang sering menyebabkan
sindrom nefrotik sekunder adalah purpura Henoch-Schonlein, lupus eritematosus
sistemik, infeksi sistemik seperti hepatitis B, penyakit sickle cell, diabetes melitus,
ataupun keganasan.6

Glomerulonefritis Akut
Pada glomerulonefritis akut terdapat edema pada tungkai dan tidak disertai asites
karena albuminuria pada Glomerulonefritis akut tidak semasif pada sindrom nefrotik.
Selain itu glomerulonefritis akut lebih cenderung mengalami hipertensi dibandingkan
sindrom nefrotik. Pada sindrom nefrotik biasanya normotensi/ hipotensi. Hematuria
makroskopik juga lebih sering ditemukan pada Glomerulonefritis akut. Pada pemeriksaan
lab dapat ditemukan penurunan komplemen dan tidak terjadi peningkatan kolesterol, hal
ini penting untuk membedakan Glomerulonefritis akut dan sindrom nefrotik.5

Penatalaksanaan

Medika Mentosa

Anak dengan manifestasi klinis SN pertama kali, sebaiknya dirawat di rumah sakit
dengan tujuan untuk mempercepat pemeriksaan dan evaluasi pengaturan diet,
penanggulangan edema, memulai pengobatan steroid, dan edukasi orangtua.1-3,7

Sebelum pengobatan steroid dimulai, dilakukan pemeriksaan-pemeriksaan


berikut: 1-3,6

Pengukuran berat badan dan tinggi badan

Pengukuran tekanan darah

Pemeriksaan fisis untuk mencari tanda atau gejala penyakit sistemik, seperti
lupus eritematosus sistemik, purpura Henoch-Schonlein.

Mencari fokus infeksi di gigi-geligi, telinga, ataupun kecacingan. Setiap


infeksi perlu dieradikasi lebih dahulu sebelum terapi steroid dimulai.

Melakukan uji Mantoux. Bila hasilnya positif diberikan profilaksis INH


selama 6 bulan bersama steroid, dan bila ditemukan tuberkulosis diberikan
obat antituberkulosis (OAT).

Pada SN idiopatik, kortikosteroid merupakan pengobatan awal, kecuali bila ada


kontraindikasi. Jenis steroid yang diberikan adalah prednison atau prednisolon. 1-3,5

Terapi pada anak dengan sindrom nefrotik idiopatik tanpa kontraindikasi steroid
sesuai dengan anjuran ISKDC adalah diberikan prednison 60 mg/m2 LPB/hari atau 2
mg/kgbb/hari (maksimal 80 mg/hari) dalam dosis terbagi, untuk menginduksi remisi.
Dosis prednison dihitung sesuai dengan berat badan ideal (berat badan terhadap tinggi
badan). Prednison dosis penuh (full dose) inisial diberikan selama 4 minggu. Bila terjadi
remisi dalam 4 minggu pertama, dilanjutkan dengan 4 minggu kedua dengan dosis 40
mg/m2 LPB (2/3 dosis awal) atau 1,5 mg/kgbb/hari, secara alternating (selang sehari), 1 x
sehari setelah makan pagi. Bila setelah 4 minggu pengobatan steroid dosis penuh, tidak
terjadi remisi, pasien dinyatakan sebagai resisten steroid. 7

Bila didapatkan gejala atau tanda yang merupakan kontraindikasi steroid, seperti
tekanan darah tinggi, peningkatan ureum dan atau kreatinin, infeksi berat, maka dapat
diberikan sitostatik siklofosfamid (CPA) oral maupun siklofosfamid puls. Siklofosfamid
dapat diberikan per oral dengan dosis 2-3 mg/kg bb/hari dosis tunggal, maupun secara
intravena (CPA puls). CPA oral diberikan selama 8 minggu. CPA puls diberikan dengan
dosis 500 750 mg/m2 LPB, yang dilarutkan dalam 250 ml larutan NaCL 0,9%,
diberikan selama 2 jam. CPA puls diberikan sebanyak 7 dosis, dengan interval 1 bulan
(total durasi pemberian CPA puls adalah 6 bulan). 1-3,7

Pengobatan sindrom nefrotik resisten steroid (SNRS) sampai sekarang belum


memuaskan. Pada pasien SNRS sebelum dimulai pengobatan sebaiknya dilakukan biopsi
ginjal untuk melihat gambaran patologi anatomi, karena gambaran patologi anatomi
mempengaruhi prognosis. 1-3,6

Siklofosfamid (CPA)

Pemberian CPA oral pada SN resisten steroid dilaporkan dapat menimbulkan


remisi. Pada SN resisten steroid yang mengalami remisi dengan pemberian CPA, bila
terjadi relaps dapat dicoba pemberian prednison lagi karena SN yang resisten steroid
dapat menjadi sensitif kembali. Namun bila pada pemberian steroid dosis penuh tidak
terjadi remisi (terjadi resisten steroid) atau menjadi dependen steroid kembali, dapat
diberikan siklosporin.1-3,7
Siklosporin (CyA)

Pada SN resisten steroid, CyA dilaporkan dapat menimbulkan remisi total


sebanyak 20% pada 60 pasien dan remisi parsial pada 13%.1-3,6

Efek samping CyA adalah hipertensi, hiperkalemia, hipertrikosis, hipertrofi


gingiva, dan juga bersifat nefrotoksik yaitu menimbulkan lesi tubulointerstisial. Oleh
karena itu pada pemakaian CyA perlu pemantauan terhadap: 1-3,6

Kadar CyA dalam darah: dipertahankan antara 150-250 nanogram/mL

Kadar kreatinin darah berkala

Biopsi ginjal setiap 2 tahun

Penggunaan CyA pada SN resisten steroid telah banyak dilaporkan dalam literatur, tetapi
karena harga obat yang mahal maka pemakaian CyA jarang atau sangat selektif. 1-3,6

Metilprednisolon puls

Mendoza dkk. (1990) melaporkan pengobatan SNRS dengan metil prednisolon


puls selama 82 minggu + prednison oral dan siklofosfamid atau klorambusil 8-12
minggu. Metilprednisolon dosis 30 mg/kgbb (maksimum 1000 mg) dilarutkan dalam 50-
100 mL glukosa 5%, diberikan dalam 2-4 jam. 1-3,7

Obat imunosupresif lain

Obat imunosupresif lain yang dilaporkan telah digunakan pada SNRS adalah
vinkristin, takrolimus, dan mikofenolat mofetil. Karena laporan dalam literatur yang
masih sporadik dan tidak dilakukan dengan studi kontrol, maka obat ini belum
direkomendasi di Indonesia. 1-3,7

Untuk mengurangi proteinuria yang terjadi pada sindrom nefrotik, dapat


digunakan regimen untuk mengurangi pengeluaran protein di ginjal dengan
mempengaruhi tekanan osmotik maupun tekanan onkotik. 1-3,7

Angiotensin converting enzyme inhibitor (ACE-I) dan angiotensin receptor


blocker (ARB) telah banyak digunakan untuk mengurangi proteinuria. Cara kerja kedua
obat ini dalam menurunkan ekskresi protein di urin melalui penurunan tekanan
hidrostatik dan mengubah permeabilitas glomerulus. ACE-I juga mempunyai efek
renoprotektor melalui penurunan sintesis transforming growth factor (TGF)-1 dan
plasminogen activator inhibitor (PAI)-1, keduanya merupakan sitokin penting yang
berperan dalam terjadinya glomerulosklerosis. Pada SNSS relaps, kadar TGF-1 urin
sama tinggi dengan kadarnya pada SNRS, berarti anak dengan SNSS relaps sering
maupun dependen steroid mempunyai risiko untuk terjadi glomerulosklerosis yang sama
dengan SNRS. Dalam kepustakaan dilaporkan bahwa pemberian kombinasi ACE-I dan
ARB memberikan hasil penurunan proteinuria lebih banyak. 1-3,7

Pada anak dengan SNSS relaps sering, dependen steroid dan SNRS dianjurkan
untuk diberikan ACE-I saja atau dikombinasikan dengan ARB, bersamaan dengan steroid
atau imunosupresan lain. Jenis obat ini yang bisa digunakan adalah: 1-3,7

Golongan ACE-I: kaptopril 0.3 mg/kgbb diberikan 3 x sehari, enalapril 0.5


mg/kgbb/hari dibagi 2 dosis, lisinopril 0,1 mg/kgbb dosis tunggal.

Golongan ARB: losartan 0,75 mg/kgbb dosis tunggal.

Pada beberapa penelitian tidak ditemukan perbedaan bermakna dari aspek klinis dengan
temuan laboratorium yaitu usia, edema, hipertensi, proteinuria, hematuria, albuminemia,
dan kolesterol dengan pengobatan pada sindroma nefrotik sensitif steroid maupun pada
sindroma nefrotik tidak sensitif steroid.8

Non-Medika Mentosa

Perawatan di rumah sakit pada SN relaps hanya dilakukan bila terdapat edema
anasarka yang berat atau disertai komplikasi muntah, infeksi berat, gagal ginjal, atau
syok. Tirah baring tidak perlu dipaksakan dan aktivitas fisik disesuaikan dengan
kemampuan pasien. Bila edema tidak berat, anak boleh sekolah. 1-3,7

Pemberian diet tinggi protein dianggap merupakan kontraindikasi karena akan


menambah beban glomerulus untuk mengeluarkan sisa metabolisme protein (hiperfiltrasi)
dan menyebabkan sklerosis glomerulus. Bila diberi diet rendah protein akan terjadi
malnutrisi energi protein (MEP) dan menyebabkan hambatan pertumbuhan anak. Jadi
cukup diberikan diet protein normal sesuai dengan RDA (recommended daily
allowances) yaitu 1,5-2 g/kgbb/hari. Diet rendah garam (1-2 g/hari) hanya diperlukan
selama anak menderita edema. 1-3,7

Restriksi cairan dianjurkan selama ada edema berat. Biasanya diberikan loop
diuretic seperti furosemid 1-3 mg/kgbb/hari, bila perlu dikombinasikan dengan
spironolakton (antagonis aldosteron, diuretik hemat kalium) 2-4 mg/kgbb/hari. Sebelum
pemberian diuretik, perlu disingkirkan kemungkinan hipovolemia. Pada pemakaian
diuretik lebih dari 1-2 minggu perlu dilakukan pemantauan elektrolit kalium dan natrium
darah.1-3,7

Bila pemberian diuretik tidak berhasil (edema refrakter), biasanya terjadi karena
hipovolemia atau hipoalbuminemia berat ( 1 g/dL), dapat diberikan infus albumin 20-
25% dengan dosis 1 g/kgbb selama 2-4 jam untuk menarik cairan dari jaringan interstisial
dan diakhiri dengan pemberian furosemid intravena 1-2 mg/kgbb. Bila pasien tidak
mampu dari segi biaya, dapat diberikan plasma 20 ml/kgbb/hari secara pelan-pelan 10
tetes/menit untuk mencegah terjadinya komplikasi dekompensasi jantung. Bila
diperlukan, suspensi albumin dapat diberikan selang-sehari untuk memberi kesempatan
pergeseran cairan dan mencegah overload cairan. Bila asites sedemikian berat sehingga
mengganggu pernapasan dapat dilakukan pungsi asites berulang.1-3,7

Pasien sindrom nefrotik yang sedang mendapat pengobatan kortikosteroid >2


mg/kgbb/ hari atau total >20 mg/hari, selama lebih dari 14 hari, merupakan pasien
imunokompromais. Pasien SN dalam keadaan ini dan dalam 6 minggu setelah obat
dihentikan hanya boleh diberikan vaksin virus mati, seperti IPV (inactivated polio
vaccine). Setelah penghentian prednison selama 6 minggu dapat diberikan vaksin virus
hidup, seperti polio oral, campak, MMR, varisela. Semua anak dengan sindrom nefrotik
sangat dianjurkan untuk mendapat imunisasi terhadap infeksi pneumokokus dan
varisela.1-3,6

Komplikasi

Komplikasi-komplikasi yang dapat terjadi pada anak dengan sindrom nefrotik


antara lain infeksi dan thrombosis arteri dan vena.9

Infeksi adalah komplikasi sindrom nefrotik utama, komplikasi ini akibat dari
meningkatnya kerentanan terhadap infeksi bakteriselama kambuh. Penjelasan yang
diusulkan meliputi penurunan kadar immunoglobulin, cairan edema yang berperan
sebagai media perbiakan, defisiensi protein, penurunan aktivitas bakterisid leukosit,
terapi imunosupresif, penurunan perfusi limpa karena hipovolemia, kehilangan faktor
komplemen (faktor properdin B) dalam urin yang mengopsonisasi bakteri tertentu. Belum
jelas, mengapa peritonitis spontan merupakan tipe infeksi yang paling sering; sepsis,
pneumonia, selulitis, dan infeksi saluran kemih juga dapat ditemukan. Organisme
penyebab peritonitis yang paling lazim adalah S. pneumoniae; bakteri gram-negatif juga
ditemukan. Demam dan temuan-temuan fisik mungkin minimal bila ada terapi
kortikosteroid. Oleh karenanya, kecurigaan yang tinggi, pemeriksaan segera (termasuk
biakan darah dan cairan peritoneum), dan memulai terapi awal yang mencakup organisme
gram-positif maupun gram-negatif adalah penting untuk mencegah terjadinya penyakit
yang mengancam jiwa. Bila dalam perbaikan, semua penderita yang sedang menderita
nefrosis harus mendapatkan vaksin pneumokokus polivalen.9

Komplikasi lain dapat meliputi kenaikan kecenderungan terjadinya thrombosis


arteri dan vena (setidak-tidaknya sebagian karena kenaikan kadar faktor koagulasi
tertentu dan inhibitor fibrinolisis plasma, penurunan kadar anti-trombin III plasma, dan
kenaikan agregasi trombosit); defisiensi faktor koagulasi IX, XI, dan XII; dan penurunan
kadar vitamin D serum.9

Prognosis

Sebagian besar anak dengan sindrom nefrotik yang berespons terhadap steroid
akan mengalami kekambuhan berkali-kali sampai penyakitnya menyembuh sendiri secara
spontan menjelang usia akhir dekade kedua. Yang penting adalah, menunjukkan pada
keluarganya bahwa anak tersebut tidak akan menderita disfungsi ginjal, bahwa
penyakitnya biasanya tidak herediter, dan bahwa anak akan tetap fertil (bila tidak ada
terapi siklofosfamid atau klorambusil). Untuk memperkecil efek psikologis sindrom
nefrotik, ditekankan bahwa selama masa remisi anak tersebut normal serta tidak perlu
pembatasan diet dan aktivitas. Pada anak yang sedang berada dalam masa remisi
pemeriksaan protein urin biasanya tidak diperlukan.9

Kesimpulan

Sindrom nefrotik merupakan kumpulan gejala yang ditandai dengan proteinuria


massif disertai dengan hipoalbuminemia, hiperlipidemia, dan pitting edema. Berdasarkan
etiologi dibagi menjadi dua, yaitu sindrom nefrotik primer dan sindrom nefrotik
sekunder. Secara epidemiologi, anak berumur kurang dari 14 tahun sering mengalami
sindrom ini dan anak laki-laki lebih sering terkena daripada anak perempuan. Oleh
karena diduga oleh reaksi autoimun, pemberian obat-obat imunosupresif dapat
mengendalikan kekambuhan dari sindrom ini sampai sembuh sempurna secara spontan.
Prognosis dari penyakit ini cukup baik dan komplikasi yang dapat menyertai sindrom
nefrotik yaitu infeksi dan thrombosis.
Daftar Pustaka

1. Kliegman RM, Emerson NW. Nelson textbook of pediatrics. 19 th ed. Philadephia:


Elsevier Saunders. 2011. p.1801-6.

2. Avner ED, Harmon WE, Niaudet P. Pediatric nephrology. Springer. 2009. p. 667-
91

3. Markum AH, Ismael S, Alatas H, et al. Buku ajar ilmu kesehatan anak. Jilid I.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2004.h.528-67.
4. Pratiwi DM, Mayetti, Husnil, Kandri. Hubungan antara proteinuria dan
hipoalbuminemia pada anak sindroma nefrotik yang di rawat di RSUP Dr. M
Djamil periode 2009-2012. Jurnal kesehatan Andalas 2013 ; 2(2). di unduh dari
www.tappdf.com pada 10 maret 2017
5. Bergstein JM. Nefrologi. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Arvin AM,
penyunting. Ilmu kesehatan anak Nelson. Vol.II. Edisi 15. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 2000. hal. 1828-32.
6. Gunawan CA. Sindroma nefrotik patogenesis dan penatalaksanaan. Jakarta:
Cermin Dunia Kedokteran; 2006.h.50-3, 150.

7. Kumar V, Abbas AK, Fausto N, Mitchell RN. Robbins basic pathology. 8th ed.
USA: Saunders Elsevier. 2007. p. 517-50.

8. Robin S.M, Adrian U, Stevanus G. Hubungan aspek klinis dan laboratorik dengan
tipe sindroma nefrotik pada anak. Jurnal eClinic (eCL) vol 4 , no 1. Januari 2015.
diunduh dari www.tappdf.com pada 10 Maret 2017.

9. Trihon PP, Alatas H, Tambunan T, Pardede SO. Konsensus tata laksana sindrom
nefrotik idiopatik pada anak. Ed. 2. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak
Indonesia. 2012. h. 2-15

Anda mungkin juga menyukai