Oleh :
DEDI IRAWAN
1401100021
JURUSAN KEPERAWATAN
TAHUN 2017
LEMBAR PENGESAHAN
Tanggal :
NIM : 1401100021
Mengetahui,
( ) ( )
NIP. NIP.
A. DEFNISI
PPOK adalah penyakit obstruksi saluran nafas kronis dan progresif yang dikarakterisir
oleh adanya keterbatasan aliran udara yang bersifat irreversibel, yang disebabkan oleh
bronkitis kronis, emphysema, atau keduanya. (Ekawati, 2010)
Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) is a preventable and treatable disease
with some significant extrapulmonary effects that may contribute to the severity in individual
patients. ( Gold, 2008)
Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) adalah suatu penyakit yang dikarakteristikkan
oleh adanya hambatan aliran udara secara kronis dan perubahan-perubahan patologi pada
paru, dimana hambatan aliran udara saluran nafas bersifat progresif dan tidak sepenuhnya
reversibel dan berhubungan dengan respon inflamasi yang abnormal dari paru-paru terhadap
gas atau partikel yang berbahaya.
B.
ETIOLOGI
Etiologi untuk penyakit ini belum diketahui. Namun ada berbagai penyakit yang dapat
menyebabkan penyakit paru obstruksi menahun antara lain:
1. Emfisema Paru
Emfisema paru merupakan suatu definisi anatomik, yaitu suatu perubahan
anatomik parenkim paru yang ditandai dengan melebarnya secara abnormal saluran
udara bagian distal bronkus terminalis, yang disertai kerusakan dinding alveolus. Sesuai
dengan definisi tersebut, maka jika ditemukan kelainan berupa pelebaran ruang udara
(alveolus) tanpa disertai adanya destruksi jaringan maka keadaan ini sebenarnya tidak
termasuk emfisema, melainkan hanya sebagai "overinflation". Emfisema akan
menyebabkan defek pada aliran udara. Emfisema paru dapat didiagnosis secara tepat
dengan menggunakan CT scan resolusi tinggi.
2. Bronchitis kronik
Bronchitis adalah penyakit pernapasan dimana selaput lendir pada saluran-saluran
bronchial paru meradang. Ketika selaput yang teriritasi membengkak dan tumbuh lebih
tebal, hal ini menyebabkan penyempitan bronkus, berakibat pada serangan-serangan
batuk yang disertai oleh dahak dan sesak napas. Peradangan ini juga menyebabkan
pembentukan mukus yang berlebihan dalam bronkus dan bermanifestasi sebagai batuk
kronik dan pembentukan sputum selama sedikitnya 3 bulan dalam setahun, sekurang-
kurangnya dalam 2 tahun berturut-turut.
3. Asma bronkiale
Asma merupakan suatu penyakit yang dicirikan oleh hipersensitivitas cabang-
cabang trakeobronkial terhadap berbagai jenis rangsangan. Keadaan ini bermanifestasi
sebagai penyempitan saluran-saluran napas secara periodic dan reversible akibat
bronkospasme
4. Bronkiektasis
Bronkiektasis adalah dilatasi bronkus dan bronkiolus kronik yang mungkin
disebabkan oleh berbagai kondisi, termasuk infeksi paru dan obstruksi bronkus, aspirasi
benda asing, muntahan, atau benda-benda dari saluran pernapasan atas, dan tekanan
terhadap tumor, pembuluh darah yang berdilatasi dan pembesaran nodus limfe.
Bronkiektasis biasanya dimulai saat anak-anak setelah infeksi saluran pernapasan bawah
berulang sebagai komplikasi campak, pertusis, influenza, bronchitis, atau pneumonia.
C. FAKTOR RESIKO
1. Merokok
Pada tahun 1964, penasihat Committee Surgeon General of the United
States menyatakan bahwa merokok merupakan faktor risiko utama mortalitas bronkitis
kronik dan emfisema. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa dalam waktu satu detik
setelah forced expiratory maneuver (FEV ), terjadi penurunan mendadak dalam volume
ekspirasi yang bergantung pada intensitas merokok. Hubungan antara penurunan fungsi
paru dengan intensitas merokok ini berkaitan dengan peningkatan kadar prevalensi
PPOK seiring dengan pertambahan umur. Prevalansi merokok yang tinggi di kalangan
pria menjelaskan penyebab tingginya prevalensi PPOK dikalangan pria. Sementara
prevalensi PPOK dikalangan wanita semakin meningkat akibat peningkatan jumlah
wanita yang merokok dari tahun ke tahun .
PPOK berkembang pada hampir 15% perokok. Umur pertama kali merokok,
jumlah batang rokok yang dihisap dalam setahun, serta status terbaru perokok
memprediksikan mortalitas akibat PPOK. Individu yang merokok mengalami penurunan
pada FEV1 dimana kira-kira hampir 90% perokok berisiko menderita PPOK. Second-
hand smoker atau perokok pasif berisiko untuk terkena infeksi sistem pernafasan, dan
gejala-gejala asma. Hal ini mengakibatkan penurunan fungsi paru (Kamangar, 2010).
Pemaparan asap rokok pada anak dengan ibu yang merokok menyebabkan penurunan
pertumbuhan paru anak. Ibu hamil yang terpapar dengan asap rokok juga dapat
menyebabkan penurunan fungsi dan perkembangan paru janin semasa gestasi.
2. Hiperesponsif saluran pernafasan
Menurut Dutch hypothesis, asma, bronkitis kronik, dan emfisema adalah variasi
penyakit yang hampir sama yang diakibatkan oleh faktor genetik dan lingkungan.
Sementara British hypothesis menyatakan bahwa asma dan PPOK merupakan dua
kondisi yang berbeda; asma diakibatkan reaksi alergi sedangkan PPOK adalah proses
inflamasi dan kerusakan yang terjadi akibat merokok. Penelitian yang menilai hubungan
tingkat respon saluran pernafasan dengan penurunan fungsi paru membuktikan bahwa
peningkatan respon saluran pernafasan merupakan pengukur yang signifikan bagi
penurunan fungsi paru. Meskipun begitu, hubungan hal ini dengan individu yang
merokok masih belum jelas. hiperesponsif saluran pernafasan ini bisa menjurus kepada
remodeling saluran nafas yang menyebabkan terjadinya lebih banyak obstruksi pada
penderita PPOK.
3. Infeksi saluran pernafasan
Infeksi saluran pernafasan adalah faktor risiko yang berpotensi untuk
perkembangan dan progresi PPOK pada orang dewasa. Dipercaya bahwa infeksi salur
nafas pada masa anak-anak juga berpotensi sebagai faktor predisposisi perkembangan
PPOK. Meskipun infeksi saluran nafas adalah penyebab penting terjadinya eksaserbasi
PPOK, hubungan infeksi saluran nafas dewasa dan anak-anak dengan perkembangan
PPOK masih belum bisa dibuktikan
4. Pemaparan akibat pekerjaan
Peningkatan gejala gangguan saluran pernafasan dan obstruksi saluran nafas
juga bisa diakibatkan pemaparan terhadap abu dan debu selama bekerja. Pekerjaan
seperti melombong arang batu dan perusahaan penghasilan tekstil daripada kapas
berisiko untuk mengalami obstruksi saluran nafas. Pada pekerja yang terpapar dengan
kadmium pula, FEV 1, FEV 1/FVC, dan DLCO menurun secara signifikan (FVC, force
vital capacity; DLCO, carbon monoxide diffusing capacity of lung). Hal ini terjadi
seiring dengan peningkatan kasus obstruksi saluran nafas dan emfisema. Walaupun
beberapa pekerjaan yang terpapar dengan debu dan gas yang berbahaya berisiko untuk
mendapat PPOK, efek yang muncul adalah kurang jika dibandingkan dengan efek akibat
merokok.
5. Polusi udara
Beberapa peneliti melaporkan peningkatan gejala gangguan saluran
pernafasan pada individu yang tinggal di kota daripada desa yang berhubungan dengan
polusi udara yang lebih tinggi di kota. Meskipun demikian, hubungan polusi udara
dengan terjadinya PPOK masih tidak bisa dibuktikan. Pemaparan terus-menerus dengan
asap hasil pembakaran biomass dikatakan menjadi faktor risiko yang signifikan
terjadinya PPOK pada kaum wanita di beberapa negara. Meskipun begitu, polusi udara
adalah faktor risiko yang kurang penting berbanding merokok.
6. Faktor genetik
Defisiensi 1-antitripsin adalah satu-satunya faktor genetik yang berisiko untuk
terjadinya PPOK. Insidensi kasus PPOK yang disebabkan defisiensi 1-antitripsin di
Amerika Serikat adalah kurang daripada satu peratus. 1-antitripsin merupakan inhibitor
protease yang diproduksi di hati dan bekerja menginhibisi neutrophil elastase di paru.
Defisiensi 1-antitripsin yang berat menyebabkan emfisema pada umur rata-rata 53
tahun bagi bukan perokok dan 40 tahun bagi perokok.
D. PATOFISIOLOGI
E. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis penyakit paru obstruktif menahun dapat berupa :
1. Bronkitis
Dengan ciri-ciri sebagai berikut :
a. Batuk berdahak (dahaknya bisa berwarna kemerahan)
b. Sesak nafas ketika melalukan olahraga atau aktivitas ringan
c. Sering menderita infeksi pernafasan (misalnya : flu)
d. Lelah
e. Pembengkakan pergelangan kaki, tungkai kiri dan kanan
f. Wajah telapak tangan atau selaput lendir berwarna kemerahan
g. Pipi tampak kemerahan
h. Sakit kepala
2. Emfisema
Dengan ciri-ciri sebagai berikut :
a. Dispnea
b. Takipnea
c. Inspeksi : Barel chest, penggunaan otot bantu pernafasan
d. Perkusi : Hiperseronan, penurunan fremitus traktil pada seluruh bidang paru
e. Auskultasi : Bunyi nafas crackles, ronchi, perpanjangan ekspirasi
f. Hipoksemia
g. Hipercapnia
h. Anoreksia
i. Penurunan BB
j. Kelemahan
3. Asma
Dengan ciri-ciri sebagai berikut :
a. Batuk
b. Dispnea
c. Hipoksia
d. Takikardi
e. Berkeringan
f. Pelebaran tekanan nadi
F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Diagnosis
Diagnosis PPOK dimulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
Diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan foto toraks dapat menentukan
PPOK Klinis. Apabila dilanjutkan dengan pemeriksaan spirometri akan dapat menentukan
diagnosis PPOK sesuai derajat penyakit.
Anamnesis
a. Ada faktor risiko
Faktor risiko yang penting adalah usia (biasanya usia pertengahan), dan adanya riwayat
pajanan, baik berupa asap rokok, polusi udara, maupun polusi tempat kerja. Kebiasaan
merokok merupakan satu - satunya penyebab kausal yang terpenting, jauh lebih penting
dari faktor penyebab lainnya. Dalam pencatatan riwayat merokok perlu diperhatikan
apakah pasien merupakan seorang perokok aktif, perokok pasif, atau bekas perokok.
Penentuan derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian jumlah
rata-rata batang rokok dihisap sehari dikalikan lama merokok dalam tahun. Interpretasi
hasilnya adalah derajat ringan (0-200), sedang (200-600), dan berat ( >600) (PDPI, 2003).
b. Gejala klinis
Gejala PPOK terutama berkaitan dengan respirasi. Keluhan respirasi ini harus diperiksa
dengan teliti karena seringkali dianggap sebagai gejala yang biasa terjadi pada proses
penuaan. Batuk kronik adalah batuk hilang timbul selama 3 bulan yang tidak hilang
dengan pengobatan yang diberikan. Kadang-kadang pasien menyatakan hanya berdahak
terus-menerus tanpa disertai batuk. Selain itu, Sesak napas merupakan gejala yang sering
dikeluhkan pasien terutama pada saat melakukan aktivitas. Seringkali pasien sudah
mengalami adaptasi dengan sesak napas yang bersifat progressif lambat sehingga sesak ini
tidak dikeluhkan. Untuk menilai kuantitas sesak napas terhadap kualitas hidup digunakan
ukuran sesak napas sesuai skala sesak menurut British Medical Research Council (MRC)
(Tabel 2.1) (GOLD, 2009).
Tabel 2.1. Skala Sesak menurut British Medical Research Council (MRC)
Skala Keluahan Sesak Berkaitan dengan Aktivitas
2 Sesak mulai timbul jika berjalan cepat atau naik tangga 1 tingkat
4 Sesak timbul jika berjalan 100 meter atau setelah beberapa menit
Pemeriksaan Fisik
Temuan pemeriksaan fisik mulai dari inspeksi dapat berupa bentuk dada seperti tong (barrel
chest), terdapat cara bernapas purse lips breathing (seperti orang meniup), terlihat
penggunaan dan hipertrofi otot-otot bantu napas, pelebaran sela iga, dan bila telah terjadi
gagal jantung kanan terlihat distensi vena jugularis dan edema tungkai. Pada perkusi biasanya
ditemukan adanya hipersonor. Pemeriksaan auskultasi dapat ditemukan fremitus melemah,
suara napas vesikuler melemah atau normal, ekspirasi memanjang, ronki, dan mengi (PDPI,
2003).
Pemeriksaan Penunjang
a. Spirometri (VEP1, VEP1 prediksi, KVP, VEP1/KVP)
Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi (%) dan atau VEP1/KVP (%). VEP1
merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk menilai beratnya PPOK dan
memantau perjalanan penyakit. Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin
dilakukan, APE meter walaupun kurang tepat, dapat dipakai sebagai alternatif dengan
memantau variabilitas harian pagi dan sore, tidak lebih dari 20%.
b. Radiologi (foto toraks)
Hasil pemeriksaan radiologis dapat ditemukan kelainan paru berupa hiperinflasi atau
hiperlusen, diafragma mendatar, corakan bronkovaskuler 1 meningkat, jantung pendulum,
dan ruang retrosternal melebar. Meskipun kadang-kadang hasil pemeriksaan radiologis
masih normal pada PPOK ringan tetapi pemeriksaan radiologis ini berfungsi juga untuk
menyingkirkan diagnosis penyakit paru lainnya atau menyingkirkan diagnosis banding
dari keluhan pasien (GOLD, 2009).
c. Laboratorium darah rutin
d. Analisa gas darah
e. Mikrobiologi sputum (PDPI, 2003)
Berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan spirometri dapat ditentukan klasifikasi (derajat)
PPOK, yaitu (GOLD, 2009) :
7. Elektrokardiografi
Mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh Pulmonal dan hipertrofi ventrikel
kanan.
8. Ekokardiografi
Menilai funfsi jantung kanan
9. Bakteriologi
Pemerikasaan bakteriologi sputum pewarnaan Gram dan kultur resistensi diperlukan untuk
mengetahui pola kuman dan untuk memilih antibiotik yang tepat. Infeksi saluran napas
berulng merupakan penyebab utama eksaserbasi akut pada penderita PPOK di Indonesia.
10. Kadar alfa-1 antitripsin
Kadar antitripsin alfa-1 rendah pada emfisema herediter (emfisema pada usia muda),
defisiensi antitripsin alfa-1 jarang ditemukan di Indonesia.
G. PENATALAKSANAAN
Secara umum penatalaksanaan PPOK adalah:
1. Usaha-usaha pencegahan, terutama ditujukan terhadap memburuknya penyakit.
2. Mobilisasi dahak.
3. Mengatasi bronkospasme
4. Memberantas infeksi.
5. Penanganan terhadap komplikasi.
6. Fisioterapi, inhalasi terapi dan rehabilitasi.
H. PENCEGAHAN
1. Pencegahan primer:
a. Pendidikan terhadap penderita dan keluarganya
Mereka harus mengetahui faktor-faktor yang dapat mencetus eksaserbasi serta faktor
yang memperburuk penyakit ini. Ini perlu peranan aktif penderita untuk usaha
pencegahannya.
b. Menghindari rokok dan zat-zat inhalasi lain yang bersifat iritasi
Rokok merupakan faktor pertama yang dapat memperburuk perjalanan penyakit.
Penderita harus tidak merokok. Di samping itu zat-zat inhalasi yang bersifat iritasi
harus dihindari. Karena zat itu menimbulkan ekserbasi atau memperburuk perjalanan
penyakit.
c. Menghindari infeksi
Infeksi saluran nafas sedapat mungkin dihindari karena dapat menimbulkan suatu
ekserbasi.
d. Lingkungan sehat dan kebutuhan cairan yang cukup.
e. Imunoterapi.
2. Pencegahan sekunder:
Pencegahan sekunder meliputi diagnosis dini (pemeriksaan penyakit) dan pengobatan yang
tepat.
a. Pemeriksaan fisik.
Pemeriksaan meliputi pasien tampak kurus dengan barrel shape chest (diameter
anteoposterior dada meningkat), fermitus taktil dada tidak ada atau berkurang, perkusi
dada hipersonor, peranjakan hati mengecil, batas paru hati lebih rendah, tukak jantung
berkurang, dan suara nafas berkurang dengan ekspirasi panjang.
b. Pemeriksaan rutin.
Pemeriksaan fungsi paru terdiri dari pemeriksaan spirometri dan uji bronkodilator.
Pemeriksaan ini merupakan parameter yang paling umum. Juga terdapat pemeriksaan
darah rutin meliputi pemeriksaan Hb, Ht, dan leukosit. Pada pemeriksaan radiologi,
foto dada berguna untuk menyingkirkan penyakit paru lain.
c. Pemerksaan khusus.
Pemeriksaan meliputi pemeriksaan fungsi paru, uji latih pulmoner, uji provokasi
bronkus, uji coba kortikosteroid, analisa gas darah, CT scan resolusi tinggi, EKG,
ekokardiografi, bakteriologi dan pemeriksaan kadar alfa-1 antitripsin.
Pengobatan yang sesuai.
3. Pencegahan tertier
Pencegahan ini berupa rehabilitasi, disebabkan pasien cenderung menemui kesulitan
bekerja, merasa sendiri dan terisolasi, untuk itu perlu dilakukan kegiatan sosialisasi agar
terhindar dari depresi.
I. KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat terjadi pada PPOK adalah :
1. Hipoxemia
Hipoxemia didefinisikan sebagai penurunan nilai PaO2 kurang dari 55 mmHg, dengan
nilai saturasi Oksigen <85%. Pada awalnya klien akan mengalami perubahan mood,
penurunan konsentrasi dan pelupa. Pada tahap lanjut timbul cyanosis.
2. Asidosis Respiratory
Timbul akibat dari peningkatan nilai PaCO2 (hiperkapnia). Tanda yang muncul antara lain :
nyeri kepala, fatique, lethargi, dizzines, tachipnea.
3. Infeksi Respiratory
Infeksi pernafasan akut disebabkan karena peningkatan produksi mukus, peningkatan
rangsangan otot polos bronchial dan edema mukosa. Terbatasnya aliran udara akan
meningkatkan kerja nafas dan timbulnya dyspnea.
4. Gagal jantung
Terutama kor-pulmonal (gagal jantung kanan akibat penyakit paru), harus diobservasi
terutama pada klien dengan dyspnea berat. Komplikasi ini sering kali berhubungan dengan
bronchitis kronis, tetapi klien dengan emfisema berat juga dapat mengalami masalah ini.
5. Cardiac Disritmia
Timbul akibat dari hipoxemia, penyakit jantung lain, efek obat atau asidosis respiratory.
6. Status Asmatikus
Merupakan komplikasi mayor yang berhubungan dengan asthma bronchial. Penyakit ini
sangat berat, potensial mengancam kehidupan dan seringkali tidak berespon terhadap
therapi yang biasa diberikan. Penggunaan otot bantu pernafasan dan distensi vena leher
seringkali terlihat.
7. Gagal Nafas
Gagal nafas kronik. Dimana hasil analisis gas darah PO 2 < 60 mmHg dan PCO 2 > 60
mmHg, dan pH normal
Gagal Nafas Akut pada Gagal Nafas Kronik yang ditandai oleh:
a. Sesak napas dengan atau tanda sianosis
b. Sputum bertambah dan purulen
c. Kesadaran menurun
d. Demam
Yang ditandai oleh sesak nafas dengan atau tanpa sianosis, sputum bertambah dan purulen,
demam serta penurunan kesadaran.
8. Kor Pulmonal
Ditandai oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit > 50%, dapat disertai gagal jantung
kanan.
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Identitas klien
Nama, tempat tanggal lahir, umur, jenis kelamin, agama/suku, warga Negara, bahasa
yang digunakan, penanggung jawap meliputi : nama, alamat, hubungan dengan klien.
4. Pola eliminasi.
B. Diagnosa Keperawatan
C. Perencanaan Keperawatan.
Intervensi keperawatan:
Intervensi keperawatan:
3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia, produksi
sputum, efek samping obat, kelemahan, dispnea
Tujuan: Kebutuhan nutrisi tubuh terpenuhi
Intervensi keperawatan:
a. Kaji kebiasaan diet, masukan makanan saat ini. Evalusi berat badan
b. Auskultasi bunyi usus
c. Berikan perawatan oral sering
d. Berikan porsi makan kecil tapi sering
e. Hindari makanan penghasil gas dan minuman berkarbonat
f. Hindari makanan yang sangat panas dan sangat dingin
g. Timbang BB
h. Konsul ahli gizi untuk memberikan makanan yang mudah dicerna
i. Kaji pemeriksaan laboratorium seperti albumin serum
j. Berikan vitamin/mineral/elektrolit sesuai indikasi
k. Berikan oksigen tambahan selama makan sesuai indikasi
4. Gangguan pola tidur berhubungan dengan ketidaknyamanan karena batuk terus menerus
Tujuan : Kebutuhan istirahat tidur terpenuhi
Interversi keperawatan :
a. Bantu klien latihan relaksasi ditempat tidur.
b. Lakukan pengusapan punggung saat hendak tidur dan anjurkan keluarga untuk
melakukan tindakan tersebut.
c. Atur posisi yang nyaman menjelang tidur, biasanya posisi high fowler.
d. Lakukan penjadwalan waktu tidur yang sesuai dengan kebiasaan pasien.
e. Berikan makanan ringan menjelang tidur jika klien bersedia.
Intervensi keperawatan:
DEPKES RI. 2008. Pedoman Pengendalian Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
Gedhe N., Cristantie. 2002. Keperawatan Medikal Bedah Klien Dengan Gangguan Sistem
Pernafasan. Jakarta: EGC.
Irman Somantri. 2007. Keperawatan Medikal Bedah: Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan
Gangguan Sistem Pernafasan. Jakarta: Salemba Medika.
Nurhasan. 2010. Faktor-Faktor Resiko yang Berhubungan dengan Penyakit Paru Obstruktif
Kronik (PPOK) di Irna Embun Pagi dan Non Bedah RSUP. DR. M. Djamil. Program
Studi Ilmu Keperawatan Universitas Andalas.