Anda di halaman 1dari 49

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan laporan praktek
keperawatan gerontik dalam rangka Praktek Klinik Profesi Ners sebagai aplikasi mata ajar
keperawatan gerontik di Sasana Tresna Wredha Karya Bakhti Ria Pembangunan Cibubur
Jakarta Timur. Laporan keperawatan ggerontik ini disusun sebagai bentuk kewajiban dan
tanggung jawab atas pelaksanaan Praktik Klinik Profesi Ners keperawatan gerontik yang
telah dilaksanakan pada tanggal 26 Januari sampai 14 Februari 2015.

Dalam penyusunan laporan praktek keperawatan gerontik ini kami mendapat sedikit
hambatan dalam tempat pengambilan data dimana wisma bungur yang kami tempati praktek
ini memiliki jumlah lansia sebanyak 19 orang dan para oma serta opa tidak kooperatif saat
dilakukan pendekatan, namun berkat bantuan bimbingan dan pengarahan dari dosen
pembimbing, pembimbing STW, akhirnya kami dapat menyelesaikan laporan ini. Oleh
Karena itu, kami ingin mengucapkan banyak terimakasih kepada yang terhormat :

1. PROF Dr. Ir Eddy Sumarno Siradj, Msc. , Rektor Universitas Pembangunan Nasional
Veteran Jakarta

2. Desak Nyoman Sithi, S.Kp, MARS. Dekan Fakultas Ilmu-Ilmu Kesehatan Universitas
Pembangunan Nasional Veteran Jakarta

3. Ns. Duma L Tobing, M.kep, Sp.Kep.J selaku Kepala Program Profesi Ners Fakultas
Ilmu-Ilmu Kesehatan Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta

4. Ns. Sang Ayu Made Adyani, S.Kep, M.Kep, Sp.Kom selaku pembimbing dari
Institusi yang telah membimbing dan mengarahkan kami

5. Kepala Sasana Tresna Wredha Karya Bakhti Ria Pembangunan.

6. Bapak Ibnu Abbas selaku pembimbing dari Sasana Tresna Wredha Karya Bakhti Ria
Pembangunan Cibubur Jakarta Timur yang telah membimbing dan mengarahkan
kami.

1
Semoga bantuan yang diberikan pada penulis dalam menyelesaikan laporan
ini mendapatkan berkah dan rahmat dari Allah SWT, karena penulis tidak dapat
membalas apa-apa. Penulis berharap laporan ini dapat bermanfaat bagi para pembaca
khususnya program studi keperawatan dan institusi pendidikan. Dalam penulisan
laporan ini penulis juga mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi
penyempurnaanlaporan ini.

Jakarta, 11 Februari 2015

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................................i
DAFTAR ISI.............................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN
I.1 Latar
Belakang................................................................................................................1
I.2 Tujuan
Penulisan.............................................................................................................2
I.3 Manfaat
Penulisan...........................................................................................................3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


II.1 Lansia...........................................................................................................................4
II.2 Diabetes Mellitus........................................................................................................13
II.3 Senam Diabetes Mellitus............................................................................................20

BAB III TINJAUAN KASUS


III.1 Gambaran Sasana Tresna Wredha...........................................................................28
III.2 Pengkajian..................................................................................................................33

BAB IV PENUTUP
IV.1

Kesimpulan.................................................................................................................42
IV.2 Saran..........................................................................................................................43

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Keberhasilan pembangunan di bidang kesehatan telah menurunkan angka


kematian umum, angka kematian bayi, dan angka kelahiran. Hal ini berdampak
pada meningkatnya usia harapan hidup bangsa Indonesia dan meningkatnya jumlah
penduduk golongan lanjut usia. Pertumbuhan jumlah penduduk lanjut usia (lansia)
di Indonesia tercatat sebagai paling pesat di dunia dalam kurun waktu tahun 1990-
2025. Jumlah lansia yang kini sekitar 16 juta orang, akan menjadi 25,5 juta pada
tahun 2020, atau sebesar 11,37 persen dari jumlah penduduk. Itu berarti jumlah
lansia di Indonesia akan berada di peringkat empat dunia, di bawah Cina, India, dan
Amerika Serikat. Menurut data demografi internasional dari Bureau of the Census
USA (1993), kenaikan jumlah lansia Indonesia antara tahun 1990-2025 mencapai
41,4%, tertinggi di dunia. Kenaikan pesat itu berkait dengan usia harapan hidup
penduduk Indonesia.

Badan Pusat Statistik (BPS) 1998, harapan hidup penduduk Indonesia rata-
rata 63 tahun untuk kaum pria, dan wanita 67 tahun. Tetapi menurut kajian WHO
(1999) harapan penduduk Indonesia rata-rata 59,7 tahun, menempati peringkat ke-
103 dunia. Nomor satu adalah Jepang (74,5 tahun). Perhatian pemerintah terhadap
keberadaan lansia sudah meningkat. GBHN 1993 mengamanatkan agar lansia yang
masih produktif dan mandiri diberi kesempatan berperan aktif dalam
pembangunan.. Pemerintah juga menetapkan tanggal 29 mei sebagai Hari Lansia
Nasional, sedang DPR menerbitkan UU no 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan
lansia. Dengan makin bertambahnya penduduk usia lanjut, bertambah pula
penderita golongan ini yang memerlukan pelayanan kesehatan. Berbeda dengan
segmen populasi lain, populasi lanjut usia dimanapun selalu menunjukkan
morbiditas dan mortalitas yang lebih tinggi dibanding populasi lain. Disamping itu,
oleh karena aspek disabilitas yang tinggi pada segmen populasi ini selalu
membutuhkan derajat keperawatan yang tinggi. Keperawatan pada usia lanjut
merupakan bagian dari tugas dan profesi keperawatan yang memerlukan berbagai
keahlian dan keterampilan yang spesifik, sehingga di bidang keperawatan pun saat
1
ini ilmu keperawatan lanjut usia berkembang menjadi suatu spesialisasi yang mulai
berkembang. Keperawatan lanjut usia dalam bahasa Inggris sering dibedakan atas
Gerontologic nursing (gerontic nursing) dan geriatric nursing sesuai keterlibatannya
dalam bidang yang berlainan. Gerontologic nurse atau perawat gerontologi adalah
perawat yang bertugas memberikan asuhan keperawatan pada semua penderita
berusia diatas 65 tahun (di Indonesia dan Asia dipakai batasan usia 60 tahun) tanpa
melihat apapun penyebabnya dan dimanapun dia bertugas. Secara definisi, hal ini
berbeda dengan perawat geriatrik, yaitu mereka yang berusia diatas 65 tahun dan
menderita lebih dari satu macam penyakit (multipel patologi), disertai dengan
berbagai masalah psikologik maupun sosial.

Hasil pengkajian yang dilakukan pada 26 Januari 5 Februari 2015 diketahui


bahwa jumlah werdha di Wisma Bungur Sasana Tresna Wredha Bakti Ria
Pembangunan sebanyak 19 orang. Dari jumlah werdha tersebut, terdapat sebanyak
72 % werdha yang menderita diabetus mellitus. Banyaknya werdha yang sudah
terkena diabetes mellitus, tidak bisa mengontrol makanan, sudah banyak para oma
dan opa yang komplikasi penyakit lebih dari satu dan dan juga banyaknya werdha
yang jarang mengikuti kegiatan senam di panti, menjadi alasan kelompok untuk
memberikan pendidikan kesehatan seputar makanan apa yang baik untuk diabetus
mellitus dan diet rendah karbohidrat yang baik bagi werdha yang mengalami
diabetus mellitus.
Berdasarkan latar belakang tersebut, kelompok tertarik untuk membuat terapi
aktivitas kelompok dengan cara mengulang singkat pendidikan kesehatan tentang
diabetus mellitus, permainan dan terapi senam DM.

1.2 Tujuan Penulisan


1.2.1 Tujuan Umum

Setelah dilakukan terapi aktivitas kelompok, para oma dan opa dapat
mengingat kembali pengetahuan tentang diabetus mellitus dan menerapkan
terapi secara mandiri.

1.2.2 Tujuan Khusus

2
Setelah dilakukan terapi aktivitas kelompok selama 15 menit diharapkan
kelompok mampu

1. Dapat menerapkan pola diet diabetus mellitus

2. Werdha dapat mengetahui dan membatasi konsumsi makanan apa yang


tidak boleh dikonsumsi

3. Dapat meningkatkan fungsi kognitif werdha

4. Dapat melakukan terapi senam DM secara mandiri.

1.3 Manfaat Penulisan

Manfaat yang diperoleh dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
a. Mahasiswa dapat mengenal masalah kesehatan yang muncul pada werdha.
b. Mahasiswa dapat memberikan tindakan keperawatan yang tepat terhadap
werdha yang berada di STW.
c. Mahasiswa memiliki gambaran tentang proses keperawatan terhadap
werdha yang berada di STW.

3
BAB II
LANDASAN TEORI

II.1 Lansia
II.1.1 Definisi Lansia

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menggolongkan lansia menjadi 4


yaitu: usia pertengahan (middle age) adalah 45 59 tahun, lanjut usia (elderly)
adalah 60 74 tahun, lanjut usia tua (old) adalah 75 90 tahun dan usia sangat
tua (very old) diatas 90 tahun (Nugroho, 2008). Usia lanjut menurut Keliat
(1999) dikatakan sebagai tahap akhir perkembangan pada daur kehidupan
manusia. Sedangkan menurut Pasal 1 ayat (2), (3), (4), UU No. 13 Tahun 1998
tentang Kesehatan dikatakan bahwa usia lanjut adalah seseorang yang telah
mencapai usia lebih dari 60 tahun (Maryam dkk, 2008).

II.1.2 Batasan Lansia

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia, lanjut usia meliputi: usia


pertengahan yakni kelompok usia 46-59 tahun, usia lanjut (Elderly) yakni
antara usia 60-74 tahun, Tua (Old) yaitu antara 75-90 tahun, dan usia sangat
tua (Very old) yaitu usia diatas 90 tahun (Setiabudhi, 1999), dan menurut
DepKes RI tahun 1999, umur dibagi 3 lansia yaitu;
a. Usia pra senelis atau Virilitas adalah seseorang yang berusia 45-
49 tahun
b. Usia lanjut adalah seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih
c. Usia lanjut resiko tinggi adalah seseorang yang berusia 70 tahun
atau lebih atau dengan masalah kesehatan.

II.1.3 Proses Menua

Menurut Constantindes (1994) dalam Nugroho (2000) mengatakan


bahwa proses menua adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan
kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti dan
mempertahankan fungsi normalnya, sehingga tidak dapat bertahan terhadap
infeksi dan memperbaikinya kerusakan yang diderita. Proses menua merupakan

4
proses yang terus-menerus secara alamiah dimulai sejak lahir dan setiap
individu tidak sama cepatnya. Menua bukan status penyakit tetap merupakan
proses berkurangnya daya tahan tubuh dalam menghadapi rangsangan dari
dalam maupun dari luar tubuh.
Aging proses adalah suatu periode menarik diri yang tak terhindarkan
dengan karakteristik menurunnya interaksi antara lansia dengan orang lain di
sekitarnya. Individu diberi kesempatan untuk mempersiapkan dirinya
menghadapi ketidamampuan dan bahkan kematian (Cox, 1984 dalam
Miller,1995).
Dengan begitu manusia secara progresif akan kehilangan daya tahan
terhadap infeksi dan akan menumpuk makin banyak distorsi metabolik dan
stuktural yang disebut sebagai penyakit degeneratif seperti, hipertensi,
aterosklerosis, diabetes militus dan kanker yang akan menyebabkan kita
menghadapi akhir hidup dengan episode terminal yang dramatik seperti strok,
infark miokard, koma asidosis, metastasis kanker dan sebagainya ( Darmojo,
2004 ).

II.1.4 Teori penuaan


a. Teori biologis
1) Teori radikal bebas
Radikal bebas adalah produk metabolisme seluler yang
merupakan bagian molekul yang sangat aktif. Molekul ini memiliki
muatan ekstraseluler kuat yang dapat menciptakan reaksi dengan
protein, mengubah bentuk dan sifatnya, molekul ini juga dapat
bereaksi dengan lipid yang berada dalam membran sel,
mempengaruhi permeabilitas, atau dapat berikatan dengan organel
sel.
Proses metabolisme oksigen diperkirakan menjadi sumber
radikal bebas terbesar, secara speifik, oksidasi lemak, protein, dan
karbohidrat dalam tubuh menyebabkan formasi radikal bebas.
Polutan lingkungan merupakan sumber eksternal radikal bebas
(Potter & Perry, 2005).
2) Teori cross link

5
Teori cross link ikat menyatakan bahwa molekul kolagen
dan elastis, komponen jarigan ikat, membentuk senyawa yang lama
meningkatkan rigiditas sel, cross linkage diperkirakan akibat
reaksi kimia yang menimbulkan senyawa antara molekul molekul
yang normal terpisah. Kulit yang menua merupakan contoh cross
linkage jaringan ikat terikat usia meliputi penurunan kekuatan daya
rentang dinding arteri, tanggalnya gigi, dan tendon kering dan
berserat (Potter & Perry, 2005).
3) Teori imunologis
Mekanisme seluler tidak teratur diperkirakan menyebabkan
serangan pada jaringan tubuh melalui autoagresi atau imonodefisiensi
(penurunan imun). Tubuh kehilangan kemampuan untuk membedakan
proteinnya sendiri dengan protein asing, sistem imun menyerang dan
menghancurkan jaringan sendiri pada kecepatan yang meningkat secara
bertahap.
Dengan bertambahnya usia, kemampuan sistem imun untuk
menghancurkan bakteri, virus, dan jamur melemah, bahkan sistem ini
mungkin tidak tahan terhadap serangannya sehingga sel mutasi terbentuk
beberapa kali. Disfungsi system imun ini diperkirakn menjadi faktor
dalam perkembangan penyakit kronis seperti kanker, diabetes, dan
penyakit kardiovaskuler, serta infeksi (Potter & Perry, 2005).

b. Teori psikologis
1) Teori disengangement (pembebasan)
Menyatakan bahwa orang yang menua menarik diri dari peran yang
biasanya dan terikat pada aktivitas yang lebih intropeksi dan berfokus diri
sendiri, meliputi empat konsep dasar yaitu : (i) invidu yang menua dan
masyarakat secara bersama saling menarik diri, (ii) disengangement adalah
intrinsik dan tidak dapat diletakkan secara biologis dan psikologis, (iii)
disengangement dianggap perlu untuk proses penuaan, (iv)
disengangement bermanfaat baik bagi lanjut usia dan masyarakat (Potter &
Perry, 2005).
2) Teori aktifitas

6
Lanjut usia dengan keterlibatan sosial yang lebih besar memiliki
semangat dan kepuasan hidup yang tinggi, penyesuaian serta kesehatan
mental yang lebih positif dari pada lanjut usia yang kurang terlibat secara
sosial (Potter & Perry, 2005). Mempertahankan hubungan antara system
sosial dan individu agar tetap stabil dari usia pertengahan ke lanjut usia
(Nugroho, 2000). Menurut Mubarak dkk (2006), bahwa sangat penting
bagi individu lanjut usia untuk tetap aktivitas dan mencapai kepuasan
hidup.
3) Teori kontinuitas (kesinambungan)
Teori kontinuitas atau teori perkembangan menyatakan bahwa
kepribadiaan tetap sama dan perilaku menjadi lebih mudah diprediksi
seiring penuaan. Kepribadian dan pola perilaku yang berkembang sepanjang
kehidupan menentukan derajat keterikatan dan aktivitas pada masa lanjut
usia (Potter & Perry, 2005).

II.1.5 Perubahan yang terjadi pada lansia


Suatu proses yang tidak dapat dihindari yang berlangsung secara terus-
menerus dan berkesinambungan yang selanjutnya menyebabkan perubahan
anatomis, fisiologis dan dan biokemis. Pada jaringan tubuh dan akhirnya
mempengaruhi fungsi dan kemampuan badan secara keseluruhan (Depkes RI,
1998). Menurut Setiabudhi (1999) .Perubahan yang terjadi pada lansia yaitu:
a. Perubahan dari aspek biologis
Perubahan yang terjadi pada sel seseorang menjadi lansia yaitu
adanya perubahan genetika yang mengakibatkan terganggunya
metabolisme protein, gangguan metabolisme Nucleic acid dan
deoxyribonucleic (DNA), terjadi ikatan DNA dengan protein stabil yang
mengakibatkan gangguan genetika, gangguan kegiatan enzim dan
system pembuatan enzim, menurunnya proporsi protein diotak, otot,
ginjal darah dan hati, terjadinya pengurangan parenkim serta adanya
penambahan lipofisin.
1) Perubahan yang terjadi di sel otak dan saraf berupa jumlah sel
menurun dan fungsi digantikan sel yang tersisa, terganggunya
mekanisme perbaikan sel, kontrol inti sel terhadap sitopalsma

7
menurun, terjadinya perubahan jumlah dan stuktur mitokondria,
degenerasi lisosom yang mengakibatkan hoidrolisa sel,
berkurangnya butir Nissil, penggumpalan kromatin, dan penambahan
lipofisin, terjadi vakuolisasi protoplasma.
2) Prubahan yang terjadi di otak lansia adalah terjadi trofi yang
berkurang 5 sampai 10% yang ukurannya kecil terutama dibagian
prasagital, frontal, parietal, jumlah neuron berkurang dan tidak dapat
diganti dengan yangbaru, terjadi pengurangan neurotransmitter,
terbentuknya struktur abnormal diotak dan akumulasi pigmen
organik mineral( lipofuscin, amyloid, plaque, neurofibrillary tangle),
adanya perubahan biologis lainnya yang mempengaruhi otak seperti
gangguan indra telinga, mata, gangguan kardiovaskuler, gangguan
kelenjar tiroid, dan kortikosteroid.
3) Perubahan jaringan yaitu terjadinya penurunan sitoplasma protein,
peningkatan metaplastik protein seperti kolagen dan elastin.

b. Perubahan Fisiologis.
Pada dasarnya perubahan fisiologis yang terjadi pada aktivitas seksual
pada usia lanjut biasanya berlangsung secara bertahap dan menunjukkan
status dasar dari aspek vaskuler, hormonal dan neurologiknya(Alexander &
Allison, 1989 dalam Darmojo, 2004). Untuk suatu pasangan suami-istri, bila
semasa usia dewasa dan pertengahan aktivitas seksual mereka normal, akan
kecil sekali kemungkinan mereka akan mendapatkan masalah dalam
hubungan seksualnya.
Kaplan dalam Darmojo (2004) membagi siklus seksual dalam beberapa
tahap, yaitu fase desire (hasrat) dimana organ targetnya adalah otak. Fase ke-
2 adalah fase arousal (pembangkitan/ penggairahan)dengan organ targetnya
adalah sistem vaskuler dan fase ke-3 atau fase orgasmic dengan organ target
medulla spinalis dan otot dasar perineum yang berkontraksi selama orgasme.
Fase berikutnya yaitu fase orgasmik merupakan fase relaksasi dari semua
organ target tersebut.

c. Perubahan Psikologis

8
Perubahan psikologis pada lansia sejalan dengan perubahan secara
fisiologis. Masalah psikologis ini pertama kali mengenai sikap lansia terhadap
kemunduran fisiknya (disengagement theory) yang berati adanya penarikan diri
dari masyarakat dan dari diri pribadinya satu sama lain. Lansia dianggap terlalu
lamban dengan daya reaksi yang lambat, kesigapan dan kecepatan bertindak dan
berfikir menurun(Santrock, 2002).

d. Perubahan Sosial
Umumnya lansia banyak yang melepaskan partisipasi sosial mereka,
walaupun pelepasan itu dilakukan secara terpaksa. Orang lanjut usia yang
memutuskan hubungan dengan dunia sosialnya akan mengalami kepuasan.
Pernyataan tadi merupakan disaggrement theory. Aktivitas sosial yang
banyak pada lansia juga mempengaruhi baik buruknya kondisi fisik dan
sosial lansia (Santrock, 2002).

e. Perubahan kehidupan keluarga


Sebagian besar hubungan lansia dengan anak jauh kurang memuaskan
yang disebabkan oleh berbagai macam hal. Penyebabnya antara lain :
kurangnya rasa memiliki kewajiban terhadap orang tua, jauhnya jarak
tempat tinggal antara anak dan orang tua. Lansia tidak akan merasa terasing
jika antara lansia dengan anak memiliki hubungan yang memuaskan sampai
lansia tersebut berusia 50 sampai 55 tahun (Darmojo, 2004)..
Orang tua usia lanjut yang perkawinannya bahagia dan tertarik pada
dirinya sendiri maka secara emosional lansia tersebut kurang tergantung
pada anaknya dan sebaliknya. Umumnya ketergantungan lansia pada anak
dalam hal keuangan. Karena lansia sudah tidak memiliki kemampuan untuk
dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Anak-anaknya pun tidak semua dapat
menerima permintaan atau tanggung jawab yang harus mereka penuhi.
Perubahan-perubahan tersebut pada umumnya mengarah pada
kemunduruan kesehatan fisik dan psikis yang akhirnya akan berpengaruh
juga pada aktivitas ekonomi dan sosial mereka. Sehingga secara umum akan
berpengaruh pada aktivitas kehidupan sehari-hari.

9
II.1.6 Permasalahan yang terjadi pada lansia
a. Permasalahan dari Aspek Fisiologis
Terjadinya perubahan normal pada fisik lansia yang dipengaruhi oleh
factor kejiwaan, sosial, ekonomi dan medik. Perubahan tersebut akan terlihat
dalam jaringan dan organ tubuh seperti kulit menjadi kering dan keriput,
rambut beruban dan rontok, penglihatan menurun sebagian atau menyeluruh,
pendengaran berkurang, indra perasa menurun, daya penciuman berkurang,
tinggi badan menyusut karena proses osteoporosis yang berakibat badan
menjadi bungkuk, tulang keropos, massanya dan kekuatannya berkurang dan
mudah patah, elastisitas paru berkurang, nafas menjadi pendek, terjadi
pengurangan fungsi organ didalam perut, dinding pembuluh darah menebaldan
menjadi tekanan darah tinggi otot jantung bekerja tidak efisien, adanya
penurunan organ reproduksi, terutama pada wanita, otak menyusutdan reaksi
menjadi lambatterutama pada pria, serta seksualitastidak terlalu menurun
(Martono, 1997 dalam Darmojo, 2004).

b. Permasalahan dari Aspek Psikologis


Menurut Martono, 1997 dalam Darmojo (2004), beberapa masalah
psikologis lansia antara lain:
1) Kesepian (loneliness), yang dialami oleh lansia pada saat
meninggalnya pasangan hidup, terutama bila dirinya saat itu
mengalami penurunan status kesehatan seperti menderita penyakit
fisik berat, gangguan mobilitas atau gangguan sensorik terutama
gangguan pendengaran harus dibedakan antara kesepian dengan
hidup sendiri. Banyak lansia hidup sendiri tidak mengalami
kesepian karena aktivitas sosialnya tinggi, lansia yang hidup
dilingkungan yang beraggota keluarga yang cukup banyak tetapi
mengalami kesepian.
2) Duka cita (bereavement),dimana pada periode duka cita ini
merupakan periode yang sangat rawan bagi lansia. meninggalnya
pasangan hidup, temen dekat, atau bahkan hewan kesayangan bisa
meruntuhkan ketahanan kejiwaan yang sudah rapuh dari seorang
lansia, yang selanjutnya memicu terjadinya gangguan fisik dan

10
kesehatannya. Adanya perasaan kosong kemudian diikuti dengan
ingin menangis dan kemudian suatu periode depresi. Depresi
akibat duka cita biasanya bersifat self limiting.
3) Depresi, pada lansia stress lingkungan sering menimbulkan
depresi dan kemampuan beradaptasi sudah menurun.
4) Gangguan cemas, terbagi dalam beberapa golongan yaitu fobia,
gangguan panik, gangguan cemas umum, gangguan stress setelah
trauma dan ganggua obstetif-kompulsif. Pada lansia gangguan
cemas merupakan kelanjutan dari dewasa muda dan biasanya
berhubungan dengan sekunder akibat penyakit medis, depresi,
efek samping obat atau gejala penghentian mendadak suatu obat.
5) Psikosis pada lansia, dimana terbagi dalam bentuk psikosis bisa
terjadi pada lansia, baik sebagai kelanjutan keadaan dari dewasa
muda atau yang timbul pada lansia.
6) Parafrenia, merupakan suatu bentuk skizofrenia lanjut yang sering
terdapat pada lansia yang ditandai dengan waham (curiga) yang
sering lansia merasa tetangganya mencuri barang-barangnya atau
tetangga berniat membunuhnya. Parfrenia biasanya terjadi pada
lansia yang terisolasi atau diisolasiatau menarik diri dari kegiatan
social.
7) Sindroma diagnose, merupakan suatu keadaan dimana lansia
menunjukkan penampilan perilaku yang sangat mengganggu.
Rumah atau kamar yang kotor serta berbau karena lansia ini
sering bermain-smain dengan urin dan fesesnya. Lansia sering
menumpuk barang-barangnya dengan tidak teratur (jawa:
Nyusuh). Kondisi ini walaupun kamar sudah dibersihkan dan
lansia dimandikan bersih namun dapat berulang kembali.

c. Permasalahan dari Aspek Sosial Budaya


Menurut Setiabudhi (1999), permasalahan sosial budaya lansia secara

11
umum yaitu masih besarnya jumlah lansia yang berada di bawah garis
kemiskinan, makin melemahnya nilai kekerabatan sehingga anggota keluarga
yang berusia lanjut kurang diperhatikan, dihargai dan dihormati, berhubung
terjadi perkembangan pola kehidupan keluarga yang secara fisik lebih
mengarah pada bentuk keluarga kecil, akhirnya kelompok masyarakat industry
yang memiliki ciri kehidupan yang lebih bertumpu kepada individu dan
menjalankan kehidupan berdasarkan perhitungan untung rugi, lugas dan efisien
yang secara tidak langsung merugikan kesejahteraan lansia, masih rendahnya
kuantitas tenaga professional dalam pelayanan lansia dan masih terbatasnya
sarana pelayanan pembinaan kesejahteraan lansia, serta belum membudayanya
dan melembaganya kegiatan pembinaan kesejahteraan lansia.

d. Permasalahan dari Aspek Sosial Budaya


Menurut Setiabudhi (1999), permasalahan sosial budaya lansia secara umum
yaitu masih besarnya jumlah lansia yang berada di bawah garis kemiskinan, makin
melemahnya nilai kekerabatan sehingga anggota keluarga yang berusia lanjut
kurang diperhatikan, dihargai dan dihormati, berhubung terjadi perkembangan pola
kehidupan keluarga yang secara fisik lebih mengarah pada bentuk keluarga kecil,
akhirnya kelompok masyarakat industry yang memiliki ciri kehidupan yang lebih
bertumpu kepada individu dan menjalankan kehidupan berdasarkan perhitungan
untung rugi, lugas dan efisien yang secara tidak langsung merugikan kesejahteraan
lansia, masih rendahnya kuantitas tenaga professional dalam pelayanan lansia dan
masih terbatasnya sarana pelayanan pembinaan kesejahteraan lansia, serta belum
membudayanya dan melembaganya kegiatan pembinaan kesejahteraan lansia

12
II.2 Konsep Dasar Diabetes Mellitus

III.1.4 Pengertian
Diabetes Mellitus (diabetes) adalah suatu kondisi terganggunya metabolisme

didalam tubuh karena ketidakmampuan tubuh membuat atau menyuplai hormon insulin

sehingga menyebabkan terjadinya peningkatan kadar gula darah melebihi normal

(Desriani, 2003).

II.2.2 Klasifikasi Diabetes Melitus

Berdasarkan Perkeni (2006) diabetes, diklasifikasikan menjadi:

1) Diabetes Mellitus Tipe-1

Destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut,

yangdisebabkan oleh: autoimun dan idiopatik.

2) Diabetes Mellitus Tipe-2

Penderita diabetes mellitus tipe-2 memiliki satu atau lebih

keabnormalan di bawah ini, antara lain:

a) Defisiensi insulin relatif: insulinyang disekresi oleh sel- pankreas untuk

memetabolisme tidak mencukupi (Kumar et al, 2005).

b) Resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif (Perkeni, 2006).

3) Diabetes Mellitus Tipe Lain

Diabetes tipe ini dapat disebabkan karena beberapa hal, antara lain : defek

genetic fungsi sel beta, defek genetic kerja insulin penyakit eksokrin

pankreas, endokrinopati, karena obat atau zat kimia, infeksi, sebab imunologi

yang jarang dan sindrom genetik lain yang berkaitan dengan diabetes

4) Diabetes Mellitus Kehamilan

Diabetes mellitus kehamilan atau sering disebut dengan istilah Diabetes

Mellitus Gestasional (DMG) adalah suatu gangguan toleransi karbohidrat yang

terjadi atau diketahui pertama kali pada saat kehamilan sedang berlangsung.

13
Faktor risiko diabetes tipe ini antara lain obesitas, adanya riwayat DMG,

gukosuria, adanya riwayat keluarga dengan diabetes, abortus berulang, adanya

riwayat melahirkan bayi dengan berat > 4 kg, dan adanya riwayat preeklamsia.

Penilaian adanya risiko diabetes melitus gestasional perlu dilakukan sejak

kunjungan pertama untuk pemeriksaan kehamilannya.

II.2.3 Etiologi

Diabetes adalah suatu penyakit yang disebabkan karena peningkatan kadar gula

dalam darah (hiperglikemi) akibat kekurangan hormon insulin absolut ataupun

relatif.

II.2.4 Patofisiologi

2) Pada diabetes tipe 2 terdapat dua masalah utama yang berhubungan dengan

insulin, yaitu: resistesni insulin dan gangguan sekresi insulin. Normalnya

insulin akan terikat dengan reseptor khusus pada permukaan sel. Sebagai

akibat terikatnya insulin dengan reseptor tersebut, terjadi suatu rangkain

reaksi dalam metabolisme glukosa dalam sel. Resistensi insulin pada diabetes

tipe 2 disertai dengan penurunan reaksi intrasel ini. Dengan demikian insulin

menjadi tidak efektif untuk menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan

(Smeltzer & Bare, 2002 ). Untuk mengatasi resistensi insulin dan mencegah

terbentuknya glukosa dalam darah, harus terdapat peningkatan jumlah insulin

yang disekresikan. Pada penderita toleransi glukosa terganggu, keadaan ini

terjadi akibat sekresi insulin yang berlebihan, dan kadar glukosa akan

dipertahankan pada tingkat yang normal atau sedikit meningkat. Namun

demikian, jika sel-sel beta tidak mampu mengimbangi peningkatan

kebutuhan akan insulin, maka kadar glukosa akan meningkat dan terjadi

diabetes tipe 2 (Smeltzer & Bare, 2002 ).

3) Pada diabetes melitus tipe1, dikenal 2 bentuk dengan patofisiologi yang


14
berbeda

a) Tipe 1A, diduga pengruh genetik dan lingkungan memegang peran utama

untuk terjadinya kerusakan pancreas. HLA-DR4 ditemukan mempunyai

hubungan yang sangat erat.

b) Tipe1B berhubungan dengan keadaan autoimun primer pada sekelompok

penderita yang juga sering menunjukan manifestasi autoimun lainnya,

seperti Hasbimoto disease, pernisious anemia, dan myasthenia gravis.

keadaan ini berhubungan dengan antigen HLA-DR3 dan muncul pada usia

sekitar 30-50 tahun. Pada diabetes tipe 1 cenderung terjadi ketoasidosis

diabetic.

II.2.5 Kriteria diagnosis diabetes melitus


Kriteria diagnosis menurut American Diabetes Association (2008)

1) Kadar glukosa darah puasa 126 mg/dL (7,0 mmol/L).Puasa diartikan

pasien tidak mendapatkan asupan kalori tambahan sedikitnya 8 jam.

2) Tampak gejala klasik diabetes melitus dan kadar glukosa darah sewaktu

200mg/dL (11,1 mmol/L). Gejala klasik diabetes

mellitus termasuk poliuria, polidipsia dan penurunan berat badan yang tidak

dapat dijelaskan. Glukosa sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat

pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir.

3) Kadar glukosa darah 2 jam pada Tes Toleransi Glukosa Oral 200

mg/dL(11,1mmol/L).Tes Toleransi Glukosa Oral dilakukan dengan standar

World Health Organization, menggunakan beban glukosa yang setara

dengan 75 gramglukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air. Apabila

hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau diabetesmelitus,

maka dapat digolongkan ke dalam kelompok Toleransi GlukosaTerganggu

15
(TGT) atau Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT) tergantungdari

hasil yang diperoleh:

b TGT: glukosa darah plasma 2 jam setelah beban antara 140-199 mg/dL

(7,8-11,0 mmol/L).

c GDPT: glukosa darah puasa antara 100-125 mg/dL (5,6-6,9 mmol/L).

4)
II.2.6 Faktor resiko diabetes
5)
6) Pemeriksaan penyaring atau skrining dilakukan pada kelompok dengan

faktor risiko diabetes mellitus seperti usia 45 tahun, obesitas (Indeks

Massa Tubuh > 2 kg/m), riwayat keluarga diabetes mellitus,

riwayat melahirkan bayi dengan berat badan > 4000 gram (4kg),

atauriwayat diabetes gestasional, hipertensi ( 140/90 mmHg), kolesterol

(HDL 35 mg/dL dan atau trigliserida 250 mg/dL), riwayat

penyakit jantung, orang sebelumnya dinyatakan sebagai TDT (Toleransi

Glukosa Terganggu) atau GDPT (Glukosa Darah Puasa Terganggu).


7)
II.2.7 Komplikasi Diabetes Mellitus
8) Diabetes mellitus merupakan penyakit kronis yang membutuhkan
pengobatan yang terkontrol. Tanpa didukung oleh pengelolaan yang tepat,
diabetes dapat menyebabkan beberapa komplikasi (IDF, 2007). Komplikasi
yang disebabkandapat berupa:
1) Komplikasi Akut

a) Hipoglikemi

9) Hipoglikemi ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah


hingga mencapai <60 mg/dL. Gejala hipoglikemia terdiri dari gejala
adrenergik (berdebar, banyak keringat, gemetar, rasa lapar) dan
gejala neuro-glikopenik (pusing, gelisah, kesadaran menurun sampai
koma) (Perkeni, 2006).
10)
b) Ketoasidosis diabetik
11)
12) Keadaan ini berhubungan dengan defisiensi insulin, jumlah

16
insulin yangterbatas dalam tubuh menyebabkan glukosa tidak dapat

digunakan sebagaisumber energi, sehingga tubuh melakukan

penyeimbangan dengan;. memetabolisme lemak. Hasil dari

metabolisme ini adalah asam lemak bebasdan senyawa keton.

Akumulasi keton dalam tubuh inilah yang menyebabkanterjadinya

asidosis atau ketoasidosis (Gale, 2004).Gejala klinisnya dapat

berupa kesadaran menurun, nafas cepat dan dalam(kussmaul) serta

tanda-tanda dehidrasi. Selain itu, sesorang dikatakanmengalami

ketoasidosis diabetik jika hasil pemeriksaan laboratoriumnya:


13)
1) Hiperglikemia (glukosa darah >250 mg/dL)
2) Na serum <140 meq/L
3) Asidosis metabolik (pH <7,3; bikarbonat <15 meq/L)
4) Ketosis (ketonemia dan atau ketonuria
14)

17
c) Hiperosmolar non ketotik
15)
16) Riwayat penyakitnya sama dengan ketoasidosis

diabetik, biasanya berusia > 40 tahun. Terdapat

hiperglikemia disertai osmolaritas darah yang tinggi >320.


17)
2) Komplikasi Kronis (Menahun)
18)
a) Makroangiopati: pembuluh darah jantung, pembuluh darah

tepi, pembuluh darah otak


19)
b) Mikroangiopati: pembuluh darah kapiler retina mata

(retinopati diabetik) dan Pembuluh darah kapiler ginjal

(nefropati diabetik)

c) Neuropatid : suatu kondisi yang mempengaruhi sistem

saraf, di mana serat-serat saraf menjadi rusak sebagai

akibat dari cedera atau penyakit


20)
d) Komplikasi dengan mekanisme gabungan: rentan infeksi,

contohnya tuberkolusis paru, infeksi saluran kemih,infeksi

kulit dan infeksi kaki. dan disfungsi ereksi.


21)
II.2.8 Penatalaksanaan
22)
23) Tujuan utama terapi diabetes adalah menormalkan aktivitas

insulin dan kadar glukosa darah sebagai upaya untuk mengurangi

terjadinya komplikasi vaskuler serta neuropatik. Tujuan terapeutik pada

setiap tipe diabetes melitus adalah mencapai kadar glukosa darah normal

tanpa terjadinya hipoglikemia dan gangguan serius pada pola aktivitas

pasien (Smeltzer & Bare, 2002).

24) Penatalaksanaan diabetes melitus dalam jangka pendek

18
bertujuan untuk menghilangkan keluhan/gejala diabetes melitus,

sedangkan tujuan jangka panjangnya adalah untuk mencegah komplikasi.

Tujuan tersebut dilaksanakan dengan cara menormalkan kadar glukosa,

lipid, dan insulin. Untuk mempermudah tercapainya tujuan tersebut,

kegiatan dilaksanakan dalam bentuk pengelolaan pasien secara holistik

dan mengajarkan kegiatan mandiri (Mansjoer dkk, 2007).

25) Terdapat lima komponen dalam penatalaksanaan diabetes

melitus yaitu diet, latihan, pemantauan, terapi (jika diperlukan), dan

pendidikan. Penanganan di sepanjang perjalanan penyakit diabetes

melitus akan bervariasi mengikuti kemajuan dalam metode terapi yang

dihasilkan dari riset, perubahan pada gaya hidup, keadaan fisik, dan

mental daripenderita diabetes melitus sendiri. Para diabetisi diharapkan

dapat mengontrol kadar glukosa darahnya secara rutin agar dapat

dilakukan tindakan pencegahan sedini mungkin (Smeltzer & Bare, 2002).

26)

II.3 Senam Diabetes Mellitus

II.3.1 Defenisi
27) Perawatan kaki merupakan upaya pencegahan primer
terjadinya luka pada kaki diabetes. Salah satu tindakan yang harus
dilakukan dalam perawatan kaki untuk mengetahui adanya kelainan kaki
secara dini adalah dengan melakukan senam kaki diabetes, disamping
memotong kuku yang benar, pemakaian alas kaki yang baik, dan menjaga
kebersihan kaki (Soegondo, et al. 2004).
28) Kaki diabetes adalah salah satu komplikasi kronik DM
yang paling ditakuti. Angka amputasi akibat diabetes masih tinggi,
sedangkan biaya pengobatan juga sangat tinggi dan sering tidak
terjangkau oleh masyarakat umum.

19
29) Senam adalah latihan fisik yang dipilih dan diciptakan
dengan terencana, disusun secara sistematik dengan tujuan membentuk
dan mengembangkan pribadi secara harmonis (probosuseno, 2007).
Berdasarkan pengertiannya, senam adalah salah satu jenis olahraga
aerobik yang menggunakan gerakan sebagian otot-otot tubuh, dimana
kebutuhan oksigen masih dapat dipenuhi tubuh (karim, 2002).
30) Latihan fisik merupakan salah satu prinsip dalam
penatalaksanaan penyakit Diabetes Melitus. Kegiatan fisik sehari-hari
dan latihan fisik teratur (3-4 kali seminggu selama kurang lebih 30 menit)
merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan diabetes. Latihan fisik
yang dimaksud adalah berjalan, bersepeda santai, jogging, senam, dan
berenang. Latihan fisik ini sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status
kesegaran jasmani (PERKENI, 2002).
31) Senam kaki adalah kegiatan atau latihan yang dilakukan
oleh pasien diabetes melitus untuk mencegah terjadinya luka dan
membantu melancarkan peredaran darah bagian kaki.
(S,Sumosardjuno,1986)
32) Ada 3 alasan mengapa orang dengan diabates lebih tinggi
resikonya mengalami masalah kaki yaitu:
a. Sirkulasi darah kaki dari tungkai yang menurun (gangguan
pembuluh darah)
b. Berkurangnya perasaan pada kedua kaki (gangguan saraf)
c. Berkurangnya daya tahan tubuh terhadap infeksi
33) Senam kaki ini sangat dianjurkan untuk penderita diabetes
yang mengalami gangguan sirkulasi darah dan neuropathy di kaki, tetapi
disesuaikan dengan kondisi dan kemampuan tubuh penderita. Latihan
senam kaki DM ini dapat dilakukan dengan cara menggerakkan kaki dan
sendi-sendi kaki misalnya berdiri dengan kedua tumit diangkat,
mengangkat dan menurunkan kaki. Gerakan dapat berupa gerakan
menekuk, meluruskan, mengangkat, memutar keluar atau ke dalam dan
mencengkram pada jari-jari kaki (Soegondo, et al. 2004).
34)

20
35)
II.3.2 Tujuan
36) Adapun tujuan yang diperoleh setelah melakukan senam
kaki ini adalah memperbaiki sirkulasi darah pada kaki pasien diabetes,
sehingga nutrisi lancar kejaringan tersebut (Tara, 2003).
37) Gerakan dalam senam kaki DM tersebut seperti yang
disampaikan dalam 3rd National Diabetes Educators Training Camp
tahun 2005 dapat membantu memperbaiki sirkulasi darah di kaki. Bisa
mengurangi keluhan dari neuropathy sensorik seperti: rasa pegal,
kesemutan, gringgingen di kaki. Manfaat dari senam kaki DM yang lain
adalah dapat memperkuat otot-otot kecil, mencegah terjadinya kelainan
bentuk kaki, meningkatkan kekuatan otot betis dan paha (gastrocnemius,
hamstring, quadriceps), dan mengatasi keterbatasan gerak sendi
(Soegondo, et al. 2004).
38) Senam kaki DM dapat menjadi salah satu alternatif bagi
pasien DM untuk meningkatkan aliran darah dan memperlancar sirkulasi
darah, hal ini membuat lebih banyak jala-jala kapiler terbuka sehingga
lebih banyak reseptor insulin yang tersedia dan aktif (Soegondo, et al.
2004). Kondisi ini akan mempermudah saraf menerima nutrisi dan
oksigen yang mana dapat meningkatkan fungsi saraf (Guyton & Hall,
2006).
39) Soegondo, et al. (2004), juga menyebutkan bahwa latihan
seperti senam kaki DM dapat membuat otot-otot di bagian yang bergerak
berkontraksi. Kontraksi otot ini akan menyebabkan terbukanya kanal ion,
menguntungkan ion positif dapat melewati pintu yg terbuka. Masuknya
ion positif itu mempermudah aliran penghantaran impuls saraf (Guyton
& Hall, 2006).
40) Secara garis besar tujuan dari senam kaki diabetik adalah:
a. Memperbaiki sirkulasi darah
b. Memperkuat otot-otot kecil
c. Mencegah terjadinya kelainan bentuk kaki
d. Meningkatkan kekuatan otot betis dan paha

21
e. Mengatasi keterbatasan gerak sendi
41)
II.3.3 Indikasi dan Kontraindikasi
1. Indikasi
42) Senam kaki ini dapat diberikan kepada seluruh
penderita Diabetes mellitus dengan tipe 1 maupun 2. Namun
sebaiknya diberikan sejak pasien didiagnosa menderita
Diabetes Mellitus sebagai tindakan pencegahan dini.
2. Kontraindikasi
a. Klien mengalami perubahan fungsi fisiologis seperti
dipsnu atau nyeri dada.
b. Orang yang depresi, khawatir atau cemas.
II.3.4 Prosedur Pelaksanaan
1. Persiapan Alat : Kertas Koran 2 lembar, Kursi (jika tindakan
dilakukan dalam posisi duduk), hanskun.
2. Persiapan Klien : Kontrak Topik, waktu, tempat dan tujuan
dilaksanakan senam kaki
3. Persiapan lingkungan : Ciptakan lingkungan yang nyaman
bagi pasien, Jaga privacy pasien
4. Prosedur Pelaksanaan :
a. Perawat cuci tangan
b. Jika dilakukan dalam posisi duduk maka posisikan pasien
duduk tegak diatas bangku dengan kaki menyentuh lantai

22
43)
44)
45) Gambar 1. Pesien duduk di atas kursi
c. Dengan Meletakkan tumit dilantai, jari-jari kedua belah kaki
diluruskan keatas lalu dibengkokkan kembali kebawah
seperti cakar ayam sebanyak 10 kali
46)

47)
48) Gambar 2. Tumit kaki di lantai dan jari-jari
kaki diluruskan ke atas
d. Dengan meletakkan tumit salah satu kaki dilantai, angkat
telapak kaki ke atas. Pada kaki lainnya, jari-jari kaki
diletakkan di lantai dengan tumit kaki diangkatkan ke atas.

23
Cara ini dilakukan bersamaan pada kaki kiri dan kanan secara
bergantian dan diulangi sebanyak 10 kali.

49)
50)
51)
52) Gambar 3. Tumit kaki di lantai sedangkan telapak kaki di
angkat
e. Tumit kaki diletakkan di lantai. Bagian ujung kaki diangkat
ke atas dan buat gerakan memutar dengan pergerakkan pada
pergelangan kaki sebanyak 10 kali.

53)
54)
55) Gambar 4. Ujung kaki diangkat ke atas
f. Jari-jari kaki diletakkan dilantai. Tumit diangkat dan buat
gerakan memutar dengan pergerakkan pada pergelangan kaki
sebanyak 10 kali.

24
56)
57)
58) Gambar 5. Jari-jari kaki di lantai
g. Angkat salah satu lutut kaki, dan luruskan. Gerakan jari-jari
kedepan turunkan kembali secara bergantian kekiri dan ke
kanan. Ulangi sebanyak 10 kali.
h. Luruskan salah satu kaki diatas lantai kemudian angkat kaki
tersebut dan gerakkan ujung jari kaki kearah wajah lalu
turunkan kembali kelantai.
i. Angkat kedua kaki lalu luruskan. Ulangi langkah ke 8, namun
gunakan kedua kaki secara bersamaan. Ulangi sebanyak 10
kali.
j. Angkat kedua kaki dan luruskan,pertahankan posisi tersebut.
Gerakan pergelangan kaki kedepan dan kebelakang.
k. Luruskan salah satu kaki dan angkat, putar kaki pada
pergelangan kaki , tuliskan pada udara dengan kaki dari
angka 0 hingga 10 lakukan secara bergantian. Gerakan ini
sama dengan posisi tidur.

25
59)
60)
61) Gambar 6. Kaki diluruskan dan diangkat
62) l. Letakkan sehelai koran dilantai. Bentuk kertas itu
menjadi seperti bola dengan kedua belah kaki. Kemudian,
buka bola itu menjadi lembaran seperti semula menggunakan
kedua belah kaki. Cara ini dilakukan hanya sekali saja
1) Lalu robek koran menjadi 2 bagian, pisahkan kedua
bagian koran.
2) Sebagian koran di sobek-sobek menjadi kecil-kecil
dengan kedua kaki
3) Pindahkan kumpulan sobekan-sobekan tersebut dengan
kedua kaki lalu letakkan sobekkan kertas pada bagian
kertas yang utuh.
4) Bungkus semuanya dengan kedua kaki menjadi bentuk
bola

63)
64) Gambar 7. Membentuk kertas kora

26
65) BAB III
66) TINJAUAN KASUS
67)
68) III.1 Gambaran Sasana Tresna Werdha
69) Dalam kehidupan dewasa ini jumlah lanjut usia akan semakin
banyak, itu semua disebabkan karena adanya peningkatan kualitas hidup maka
dari itu para lanjut usia wajib mendapatkan perlindungan, perawatan,
kesejahteraan dan juga pendidikan yang layak dan sesuai dengan keadaan lanjut
usia. Wujud nyata tindakan tersebut adalah dengan dibangunnya Sasana Trena
Werdha bagi lansia yang bertujuan untuk melindungi, merawat, mensejahterakan
serta mendidik usia lanjut.
70)
71) III.1.1 Identitas Sasana Tresna Werdha
72) Sasana Tresna Werdha adalah unit pelaksanaan teknis dari Yayasan
Karya Bhakti RIA Pembangunan yang mempunyai tugas memberikan
pelayanan sosial bagi para lansia, sehingga mereka dapat menikmati sisa
hidupnya dengan diliputi ketentraman lahir dan batin.
73)
74) III.1.2 Sejarah Berdirinya Sasana Tresna Werdha
75) Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti yang dimiliki dan dikelola
oleh Yayasan Karya Bhakti RIA Pembangunan, diprakarsai oleh Ibu Hj.
Siti Hartinah Soeharto dan diresmikan oleh Bp.Soeharto tanggal 14 Maret
1984. Merupakan sebuah institusi yang bergerak di bidang pelayanan
kesejahteraan khusus kepada generasi lanjut usia. Sasana Tresna Werdha
Karya Bhakti memiliki kapasitas tampung 110 orang dan menempati area
seluas 16.454 m2 dengan batas-batas wilayah sebagai berikut:
76) Sebelah Selatan : Dusun Klampok
77) Sebelah Utara : Dusun Tengger
78) Sebelah Timur : Dusun Sukun
79) Sebelah Barat : Dusun Rajeg
80) Pada tahun 1994 mengalami pembakuan penamaan UPT
Pusat/Panti/Sasana dilingkungan Departemen Sosial sesuai SK Mensos RI.

27
No. 14/HUK/1994 dengan nama Panti Sosial Tresna Werdha Sejahtera
Pandaan. Melalui SK Mensos RI No. 8/HUK/1998 ditetapkan termasuk
kategori panti percontohan tingkat Provinsi dengan kapasitas tampung 110
orang Perda No. 12 th 2000 tentang Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur
bahwa Panti Sosial Tresna Werdha Pandaan, merupakan unit pelaksana
teknis Dinas sosial Provinsi Jawa Timur. Dengan keluarnya Perda No. 14
th 2002 yang merubah Perda No. 12 th 2000 tentang Dinas Sosial yang
berisi bahwa Panti Sosial Tresna Werdha Pandaan berubah menjadi Panti
Sosial Tresna Werdha Pandaan-Bangkalan yang merupakan unit pelaksana
teknis dari Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur.
81)
82) III.1.3 Visi dan Misi
a. Visi
83) Visi sasana tresna werdha adalah untuk memberikan pelayanan bagi para
lanjut usia yang terlantar dalam memenuhi kebutuhan hidup secara bio,
psiko, sosial, dan spiritual.
b. Misi
1. Terpenuhinya kebutuhan biologis atau jasmani yang meliputi:
a) Kebutuhan pokok hidup seperti sandang, pangan dan papan.
b) Pemeliharaan kesehatan bagi lansia.
c) Kebutuhan rekreatif untuk mengisi waktu luang.
2. Terpenuhinya kebutuhan psikologis yang meliputi:
a) Kebutuhan kasih sayang.
b) Kebutuhan rasa aman.
c) Kebutuhan untuk rasa ketenangan.
d) Peningkatan semangat hidup.
e) Peningkatan rasa percaya diri.
3. Terpenuhinya kebutuhan sosial yang meliputi:
a) Terpenuhinya kebutuhan sosial terutama bimbingan sosial antar
penghuni wisma yang lain.
b) Terpenuhinya kebutuhan untuk bersosialisasi dengan masyarakat.

28
c) Terpenuhinya kebutuhan untuk ikut bergabung dalam kegiatan
lansia.
d) Terpenuhinya kebutuhan untuk dihargai dari orang lain.
4. Terpenuhinya kebutuhan spiritual yang meliputi:
a) Kebutuhan untuk beribadah sesuai dengan agamanya masing-
masing.
b) Kebutuhan untuk menerima siraman rohani sesuai dengan
agamanya masing-masing.
84)
85) III.1.4 Fungsi Sasana Tresna Werdha
a. Sebagai pusat pemberi pelayanan bagi kesejahteraan lanjut usia.
b. Sebagai pusat informasi dan konsultasi masalah lanjut usia.
c. Sebagai pusat pengembangan kesejahteraan sosial.
86)
87) III.1.5 Panduan Pelayanan Sasana Tresna Werdha
1. Memberi pelayanan / pendampingan kepada lansia yang disesuaikan
dengan kebutuhan
2. Bersikap dalam kesantunan secara professional
3. Memberi dukungan untuk mendorong / mempertahankan kemandirian
lansia
4. Memberi berbagai kemudahan untuk lansia sehingga permasalahan yang
di hadapi lansia menjadi lebih ringan
5. Adnya kerja sama yang saling percaya dan menghormati
6. Partisipation Approach
88)
89) III.1.6 Sarana dan Prasarana STW
1. Bangunan
2. Sasana Tresna Werdha didirikan diatas tanah seluas 16.960 m2, tanah
tersebut dibgi menjadi:
a) Gedung wisma dibagi menjadi 3 bagian tempat yaitu untuk fasilitas
hunian, fasilitas klinik werdha dan fasilitas penunjang pelayanan
lansia. Fasilitas hunian sebanyak 4 wisma meliputi wisma Aster,

29
Bungur, Bungur, Dahlia. Fasilitas klinik terdapat 1 wisma yaitu wisma
Wijaya Kusuma dengan 3 kamar VIP, bangsal rawat inap dengan 15
kamar tidur, dan pelayanan 24 jam. Gedung tersebut dibangun diatas
tanah seluas 1320 m2. Wisma-wisma ini memiliki fasilitas diantaranya
ruang tamu, kamar tidur, ruang rekreasi, dapur, dan kamar mandi.
b) Gedung kantor seluas 210 m2
c) Gedung lokal kerja 70 m2
d) Musholla seluas 160 m2
e) Dapur umum seluas 160 m2
f) Aula seluas 160 m2
g) Pos satpam seluas 6 m2
h) Rumah dinas tipe 50
i) Rumah dinas tipe 36
3. Sarana air bersih
90) Sumber air bersih berasal dari sumur bor yang terletak dibelakang wisma
dan bantuan air dari perusahaan air minum Vivi.
4. Jamban keluarga
91) Setiap wisma minimal memiliki 1 kamar mandi, dan setiap wisma
mempunyai septic tank sendiri dimana septic tank ini tidak terhubung
antar yang satu dengan yang lainnya.
5. Sarana pembuangan air limbah
92) Setiap wisma terdapat sarana pembuangan air limbah yang dialirkan
sampai ke tempat pembuangan limbah akhir.
6. Sarana ibadah setiap wisma
93) Panti Sosial Tresna Werdha memiliki satu musholla yang terletak
disebelah barat panti.
7. Kebun dan kolam
94) Dibelakang panti terdapat kebun dan kolam ikan.
95)
96)
97)
98)

30
99) III.1.7 Hubungan Lintas Program dan Lintas Sektoral
1. Lintas Program
100) Kegiatan yang ada di panti ini tidak hanya berasal dari Dinas
Sosial tetapi ada juga kegiatan yang bekerja sama dengan Departemen
Agama, bimbingan mental agama yang ada di wisma-wisma, dengan
Debdikbud untuk pengadaan kegiatan dan lain sebagainya.
2. Lintas Sektoral
101) Panti bekerjasama dengan RSUD Sidoarjo, RSU Malang,
Puskesmas Pandaan, RSU Bangil, Pemda setempat.
102)
103) III.1.8 Persyaratan Masuk Panti Sosial Tresna Werdha
1. Lansia umur 60 tahun ke atas.
2. Terlantar sosial dan ekonominya.
3. Tidak ada yang menanggung kelangsungan hidupnya.
4. Atas kemauan sendiri atau dipaksa.
5. Tidak mempunyai penyakit menular/kronis yang membahayakan orang
lain.
6. Surat keterangan RT/RW.
7. Surat rekomendasi dari kantor sosial kabupaten atau kota setempat.
8. Surat keterangan sehat dari puskesmas setempat.
9. Lulus seleksi dari petugas panti dan mengisi formulir yang disediakan oleh
panti.
104)
105) III.1.9 Distribusi Pendanaan
106) Seluruh dana kegiatan yang diadakan di Panti berasal dari
APBD/Dinas Sosial Propinsi Jawa Timur.
107)
108)
109)
110)
111)
112)

31
113) III.2 Pengkajian
A. DIMENSI BIOLOGIS
1. Usia
114)
2) J 3) Prese
1) Usia 115)
umlah ntasi
116)
4) 60-79 5)
6) 73,7 117)
14
7) 80 8) 118)
9) 26,3
5 119)
10) 11) 12)
120)
Total 19 100
121) Berdasarkan jumlah
werdha di wisma bungur sebanyak 19 orang, werdha berumur 60-79
tahun sebanyak 14 orang atau 73,7%, dan werrdha berumur 80
sebanyak 5 orang atau 26,3%.
122)
2. Jenis Kelamin

13) Jenis 14) J 15) Prese 123)

Kelamin umlah ntasi 124)

16) 125)

Perempua 17) 126)


18) 57,9
11
n 127)
19) 128)
20)
Laki-laki 21) 42,1
8 129)
22) 23) 24) 130) Berdasarkan jumlah
Total 19 100 werdha di wisma bungur
sebanyak 19 orang, werdha berjenis kelamin perempuan sebanyak 11
orang atau 57,9% , dan werrdha yang berjenis kelamin laki-laki
sebanyak 8 orang atau 42,1%.
131)
132)
133)
134)

32
135)
136)
3. Suku
138) Jum 139) Pr
137) Suku
lah esentasi
142) 47,
140) Jawa 141) 9
3
145) 5,
143) Sunda 144) 1
3
148) 10
146) Batak 147) 2
,5
151) 21
149) Minang 150) 4
,1
152) Manad 154) 5,
153) 1
o 3
157) 10
155) Melayu 156) 2
,5
160) 10
158) Total 159) 19
0
161)
162)
163)Berdasarkan jumlah werdha di wisma bungur sebanyak 19 orang,
werdha yang Bersuku Jawa sebanyak 9 orang atau 47,3%, Suku Sunda
sebanyak 1 orang atau 5,3%, Suku Batak sebanyak 2 orang atau 10,5%,
Suku Minang sebanyak 4 orang atau 21,1%, Suku Manado sebanyak 1
orang atau 5,3%, Suku Melayu 2 orang atau 10,5%.
164)
4. Pendidikan
165) Pendi 166) Ju 167) Pr
dikan mlah esentasi
168) SD 169) 1 170) 5,3
171) SMP 172) 1 173) 5,3
176) 57,
174) SMA 175) 11
8

33
177) D III 178) 1 179) 5,3
182) 26,
180) S1 181) 5
3
183) Jumla 185) 10
184) 19
h 0
186)
187)Berdasarkan jumlah werdha di wisma bungur sebanyak 19 orang,
werdha yang Berpendidikan SD sebanyak 1 orang atau 5,3%,
Berpendidikan SMP sebanyak 1 orang atau 5,3%, Berpendidikan SMA
sebanyak 11 orang atau 57,8%, Berpendidikan D III sebanyak 1 orang
atau 5,3%, Berpendidikan S1 sebanyak 5 orang atau 26,3%.
188)
5. Pekerjaan
189) Peker 190) Ju 191) Pr
jaan mlah esentasi
194) 10
192) Guru 193) 2
,5
195) Peraw
196) 1 197) 5,3
at
198) Pegaw
199) 12 200) 63
ai
201) Karya
202) 3 203) 15
wan
204) Pensiu
205) 1 206) 5,3
nan
207) Jumla 209) 10
208) 19
h 0
210)
211)
212)Berdasarkan jumlah werdha di wisma bungur sebanyak 19 orang,
werdha yang Pekerjaan Guru sebanyak 2 orang atau 10,5%, Pekerjaan
Perawat sebanyak 1 orang atau 5,3%, Pekerjaan Peggawai sebanyak 12
orang atau 63%, Pekerjaan Karyawan sebanyak 3 orang atau 15%,
Pekerjaan Pensiunan sebanyak 1 orang atau 5,3%.

34
213)
6. Masalah kesehatan utama
214)Masalah kesehatan terbanyak yang kita temui di Wisma Bungur
adalah penyakit Diabetus melitus, Hipertensi dan penurunan
keseimbangan sehingga menyebabkan werdha sering terjatuh (resiko
jatuh).
215)
B. DIMENSI PSIKOLOGIS
1. Gambaran diri kelompok
216)Werdha sangat menghargai satu sama lain, mereka tidak
membedakan teman yang satu dengan teman yang lain. Mereka
mengatakan bahwa semua penghumi STW adalah sama apabila ada
yang mengalami kesusahan atau masalah harus ditolong.
2. Keterampilan koping
217)Werdha memandang penyakit yang dialami oleh teman-
teman mereka adalah wajar, karna umur seperti mereka sangat rentan
mengalami penyakit darah tinggi, dan mengalami penurunan fungsi-
fungsi pendengaran, fungsi penglihatan, dan keseimbangan.
218)Apabila ada salah satu teman yang sakit kemudian dirawat
mereka menjenguk bersama-sama ke Rumah Sakit menggunakan mobil
pribadi salah satu lansia yang ada di Bungur.
3. Insiden dan prevalen masalah psikologis
219)Dari 19 orang jumlah lansia di Bungur, sebanyak 2 orang
pernah jatuh. Dan ada juga yang jatuh lebih dari 1 kali. Penyakit
terbanyak yang kita dapat adalah Diabetus Melitus dan Hipertensi.
4. Stressor psikologis di dalam masyarakat
220)Werdha di wisma Bungur merasa bahwa tidak ada ancaman
fisik maupun ancaman social yang dapat merugikan mereka.
221)
C. DIMENSI FISIK
1. Lokasi atau tempat target group

35
222) Lokasi yang kita targetkan adalah Wisma Bungur yang
terdiri dari 26 kamar dan mempunyai penghuni 19 lansia. Fasilitas dan
penerangan yang tersedia di ruangan sudah sangat baik, disetiap kamar ada
1 lampu, 1 kipas angin, 1 tempat tidur, 1 kamar mandi dan wastafel.
223) Lantai sudah terpasang keramik, setiap hari ada petugas
yang membersihkan. Tetapi kadang saat dari kamar mandi werdha sering
terpeleset karena lantai yang licin. Untuk penataan barang juga sudah
sangat baik, kursi dan meja di letakan di pinggir agar werdha dapat leluasa
bergerak, disetiap dinding juga terdapat pegangan yang dapat digunakan
oleh werdha.
2. Kondisi lingkungan yang dapat membahayakan (Polusi, pertukaran cuaca,
resiko penyakit)
224) Kondisi lingkungan yang dapat membahayakan werdha
adalah lantai yang licin sehingga kadang membuat mereka terpleset,
banyaknya nyamuk juga sangat mengganggu werdha.
225)
226)
D. DIMENSI LINGKUNGAN SOSIAL
1. Sikap komunitas terhadap target grup
227) Werdha di Wisma Bungur selalu terbuka dengan keadaan
mereka, mereka juga selalu berpartisipasi dengan kegiatan yang ada yang
disediakan di STW.
228) 2. Status social dan ekonomi target grup
229) Werdha memiliki status social yang cukup. Untuk
membiayai keperluan sehari-hari serta untuk membayar uang STW mereka
dibiayai oleh anak-anak mereka serta keluarga mereka dan ada juga dari
pensiunan suami serta tabungan sendiri.
2. Pendidikan
230) Pendidikan werdha beragam, mulai dari SD hingga Sarjana
bahkan ada juga yang Dokter.
3. Pekerjaan

36
231) Pekerjaan werdha mulai dari ibu rumah tangga, Guru,
Dosen,
232) Karyawan Swasta,Perawat dan ada juga yang berprofesi sebagai
Dokter.
4. Pelayanan kesehatan yang bersifat proteksi
233) Pelayanan kesehatan di STW sudah tersedia Klinik, Dokter
dan perawat yang dapat menangani masalah kesehatan yang dirasakan oleh
werdha. Saat penyakit werdha sudah tidak bisa ditangani oleh petugas
kesehatan yang ada di STW maka werdha di rujuk ke Rumah sakit.
5. Transportasi ( termasuk khusus )
234) Saat bepergian untuk rekreasi dan memeriksakan kesehatan
werdha mempunyai tranportasi sendiri dengan dijemput oleh anak-anak
serta keluarga mereka.
235)
E. DIMENSI PERILAKU
1. Kebutuhan nutrisi
236) Semua werdha menyukai makanan yang disediakan oleh
STW, makanan yang biasa di sajikan oleh STW diantaranya adalah sayur
sop, sayur toge, sayur lodeh, tumis kacang - kacangan, semur daging,
tempe goreng, sayur tahu sehingga dapat menyebabkan peningkatan
tekanan darah pada werdha. Werdha juga sering membeli makanan dari
luar seperti gorengan dan makanan lain.
2. Merokok
237) Terdapat dua opa yang terbiasa merokok, dan merokok di
dalam wisma, ia merokok di kamar wisma sehingga mengganggu
kesehatan werdha yang lain.
3. Gerak badan
238) Gerak badan werdha sudah tidak leluasa lagi, ada diantara
werdha yang berjalan menggunakan walker, tongkat, kursi roda.
4. Aktivitas rekreasi
239) Aktifitas rekreasi werdha biasanya di jemput oleh anak-
anak serta keluarga mereka untuk jalan-jalan. Saat keluarga dan anak-anak

37
mereka tidak berkunjung ke STW mereka membuat acara sendiri seperti
makan bersama di kebun, minum kopi dan ngeteh bersama untuk
menghabiskan waktu luang.
5. Perlindungan Khusus yang digunakan
240) Saat berjalan werdha menggunakan pegangan yang
disediakan disetiap dinding, ada juga yang menggunakan kursi roda,
walker dan tongkat.
241)
F. DIMENSI KESEHATAN
1. Pelayanan kesehatan yang dibutuhkan
242) Werdha sangat memerlukan klinik dan perawat yang siap
selama 24 jam untuk memantau dan menjaga kesehatan mereka.
2. Sikap terhadap kesehatan dan pelayanan kesehatan
243) Sikap werdha terhadap kesehatan serta pelayanan kesehatan
sangat baik, werdha sangat aktif dalam menjaga kesehatan dengan
mengikuti senam bersama, terapi musik, bahkan sering menanyakan
keadaan kesehatan mereka kepada Dokter.
3. Jaminan Pemeliharaan Kesehatan
244) Seharusnya werdha tidak mengeluarkan biaya kembali
untuk membayar jaminan pemeliharaan kesehatan, karena di STW sudah
disediakan pelayanan kesehatan.
245)

38
246) 25) Data Subjektif 26) Data Objektif
1. Werdha mengatakan sering 1. TTV
a. TD : 140/90 mmhg
pusing
b. N : 86 x/menit
2. Werdha mengatakan tengkuknya
c. S : 36 oc
sakit d. RR : 20 x/menit
3. Werdha mengatakan Werdha
2. Werdha mudah emosi
mengatakan bila pusing minum
3. Werdha memijat kepalanya
obat dari dokter (seperti :
4. Werdha memakai alat bantu
amlodiphin)
4. Werdha mengatakan rata-rata jalan (seperti : tongkat, walker,
tidur pukul 22.00 kemudian kursi roda)
bangun pukul 02.00 wib 5. Werdha berjalan dengan
5. Werdha mengatakan pernah
perlahan dan berpegangan
mengalami riwawat stroke
6. Werdha mengatakan
6.

pandangannya sudah mulai


berkurang
7. Werdha mengatakan makan nasi
nya sudah di batasi
8. Werdha mengatakan mempunyai
riwayat DM

247)
248)
249)
250)
251)
252)
253)
254)
255)
256)
257)
258)
259)
260)
261)
262)
263)

39
264)
265)
266)
267)
268)
269)
270)
271)
272)
273)
274)
275)
276)
277)
278)
279)
280)
281)
282) Analisa data
283) 284) Data 285) Masalah
No
1. 286) DS 290)
1. Werdha mengatakan pandangannya 291) Nutrisi Kurang Dari
sudah mulai berkurang Kebutuhan Tubuh
2. Werdha mengatakan makan nasi nya
sudah di batasi
3. Werdha mengatakan mempunyai
riwayat DM
4. Werdha mengatakan sering
kesemutan pada kaki dan tangan
5. Werdha mengatakan BB nya turun
pada sebulan ini
287)
288) DO
1. GDS : 233
2. Terdapat luka yang sukar sembuh
3. Klien hanya tidur saja
4. Klien sering makan nasi
289)
6. 292) DS 300)
1. Werdha mengatakan sering pusing 301) Nyeri Akut
2. Werdha mengatakan tengkuknya

40
sakit
3. Werdha mengatakan Werdha
mengatakan bila pusing minum obat
dari dokter (seperti : amlodiphin)
4. Werdha mengatakan rata-rata tidur
pukul 22.00 kemudian bangun pukul
02.00 wib
5. Werdha mengatakan pernah
mengalami riwawat stroke
293)
294) DO
1. TTV
a. TD : 140/90 mmhg
b. N : 86 x/menit
c. S : 36 oc
d. RR : 20 x/menit

2. Werdha mudah emosi


3. Werdha memijat kepalanya
4. Werdha memakai alat bantu jalan
(seperti : tongkat, walker, kursi roda)
5. Werdha berjalan dengan perlahan
dan berpegangan
6. Skala nyeri
295) p : saat terbangun di
tengah malam
296) q : nyeri sedang
297) r : kepala bagian
belakang
298) s : skala nyeri 5
299) t : pada saat kurang tidur
tetapi jika tidur hilang
302)
303)
304)
305)

41
306)
307)
308)
309)
310)
311)
312)

313) BAB IV
314) PENUTUP
315)
316) IV.1 Kesimpulan
317) Dari hasil pengkajian yang dilakukan dari tanggal 28
Januari sampai 5 Februari 2015 didapatkan data :
318) IV.1.1 Berdasarkan jumlah werdha di wisma bungur sebanyak
19 orang, werdha berumur 60-79 tahun sebanyak 14 orang atau
73,7%, dan werrdha berumur 80 sebanyak 5 orang atau
26,3%.
319) IV.1.2 Berdasarkan jumlah werdha di wisma bungur sebanyak
19 orang, werdha berjenis kelamin perempuan sebanyak 11
orang atau 57,9% , dan werrdha yang berjenis kelamin laki-laki
sebanyak 8 orang atau 42,1%.
320) IV.1.3 Berdasarkan jumlah werdha di wisma bungur sebanyak
19 orang, werdha yang Bersuku Jawa sebanyak 9 orang atau
47,3%, Suku Sunda sebanyak 1 orang atau 5,3%, Suku Batak
sebanyak 2 orang atau 10,5%, Suku Minang sebanyak 4 orang
atau 21,1%, Suku Manado sebanyak 1 orang atau 5,3%, Suku
Melayu 2 orang atau 10,5%.
321) IV.1.4 Berdasarkan jumlah werdha di wisma bungur sebanyak
19 orang, werdha yang Berpendidikan SD sebanyak 1 orang
atau 5,3%, Berpendidikan SMP sebanyak 1 orang atau 5,3%,
Berpendidikan SMA sebanyak 11 orang atau 57,8%,

42
Berpendidikan D III sebanyak 1 orang atau 5,3%,
Berpendidikan S1 sebanyak 5 orang atau 26,3%.
322) IV.1.5 Berdasarkan jumlah werdha di wisma bungur sebanyak
19 orang, werdha yang Pekerjaan Guru sebanyak 2 orang atau
10,5%, Pekerjaan Perawat sebanyak 1 orang atau 5,3%,
Pekerjaan Peggawai sebanyak 12 orang atau 63%, Pekerjaan
Karyawan sebanyak 3 orang atau 15%, Pekerjaan Pensiunan
sebanyak 1 orang atau 5,3%.
323) IV.1.6 Masalah kesehatan terbanyak yang kita temui di Wisma
Bungur adalah penyakit Diabetus melitus, Hipertensi dan
penurunan keseimbangan sehingga menyebabkan werdha sering
terjatuh (resiko jatuh).
324)
325) IV.2 Saran
326) Berdasarkan hasil pengkajian yang dilakukan ada
beberapa hal saran yang perlu dijadikan pertimbangan bagi kami antara
lain :

327) IV.2.1 Bagi Institusi Pendidikan

328)Sebagai bahan masukan atau referensi tambahan dalam


penyampaian materi dalam proses belajar mengajar yang
berkaitan dengan keperawatan gerontik.

329) IV.2.2 Bagi Mahasiswa

330) Sebagai panduan atau referensi ilmu keperawatan gerontik.

331) IV.2.3 Bagi Tempat praktik

332) Diharapkan PSTW Sasana Tresna Werdha dapat


meningkatkan kualitas dan mutu pelayanan kesehatan terhadap
para lansia di Wisma Bungur.

333)
334)
335)

43
336)
337)
338)
339)
340)
341)
342)

44
343) DAFTAR PUSTAKA
344)
345) Darmojo RB, Mariono, HH (2004). Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia
Lanjut). Edisi ke-3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
346)
347) Desriani. (2003) .PQQGDH (Piroloquinoline Quinone Glukosa
Dehidrigenase) sebagai Biosensor Glukosa Pada Pengobatan Penyakit DM
. Diunduh dari :http:detikhealth.com. Diakses ta nggal 10 Febuari 2015.
348)
349) Guyton, A.C. and Hall, J.E. (2006). Textbook of Medical
Physiology. 11th ed. Philadelphia, PA, USA: Elsevier Saunders.
350)
351) Karim. (2002). Panduan Kesehatan Olahraga Bagi Petugas
Kesehatan. Diakses dari
352) http://pbprimaciptautama.blogspot. 10 Febuari 2015
353)
354) Kumar, N., (2005). Assessing the Learning Culture and
Performance of Educational institutions, Performance Improvement ,
Vol.44, No.9. October, pp.27 - 32.
355)
356) Mansjoer, A., dkk. (2007) Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga
Jilid Pertama. Jakarta: Media Aesculapius FKUI.
357)
358) Maryam, R. Siti, dkk. (2008). Mengenal Usia Lanjut dan
Perawatannya . Jakarta: Salemba Medika.
359)
360) Mubarak, Wahit Iqbal. (2006). Ilmu
keperawatankomunitas.Jakarta: Salemba Medika
361)
362) Nugroho, W (2000). Keperawatan Gerontik, Edisi-2. Jakarta:EGC
363)
364) Perkeni, (2006). Konsensus Pengelolaan Diabetes Mellitus tipe 2 di
Indonesia. Jakarta,Perkeni.
365)
366) Potter, P. A., & Perry, A. G. (2005). Buku Ajar Fundamental :
konsep, proses, dan
367) praktik. Jakarta : EGC
368) Probosuseno. (2007). Agar Olahraga Bermanfaat Untuk Kesehatan.
Diakses pada tanggal 10 Febuari 2015 dari http://www.republika.co.id
369)
370) Santrock, J.W. (2002). Life Span Development, Perkembangan
Masa Hidup. Jilid II. Jakarta: Erlangga
371)
372) Smeltzer, S. C & Bare, B. G. (2002) Buku Ajar Keperawatan
Medikal Bedah Brunner & Suddarth Ed.8 . Jakarta: EGC.
373)
374) Soegondo, S., Soewondo, P., Subekti, I. (2009). Penatalaksanaan
diabetes mellitus terpadu. Panduan penatalaksanaan diabetes melitus bagi
dokter dan edukator. Jakarta : Balai Penerbitan FKUI.
375)
376) Tara, E, E Soetrisno, (2002). Buku Pintar Terapi Diabetes Mellitus.
Taramedia & Restu Agung, Jakarta
377)

Anda mungkin juga menyukai