Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Rabies berasal dari kata latin rabere yang berarti gila. Rabies merupakan
suatu penyakit hewan menular akut yang bersifat zoonosis (dapat menular ke
manusia). Rabies adalah infeksi virus akut yang menyerang Sistem Saraf Pusat
(SSP) manusia dan mamalia dengan mortalitas 100%.

Penyebabnya adalah virus rabies yang termasuk genus Lyssa virus,


famili Rhabdoviridae, v i r u s r a b i e s t e r d a p a t dalam air liur hewan yang
terinfeksi. Hewan ini menularkan infeksi kepada hewan lainnya atau manusia
melalui gigitan dan kadang melalui jilatan. Banyak hewan yang bisa menularkan
rabies kepada manusia. Yang paling sering menjadi sumber dari rabies adalah
anjing, hewan lainnya yang juga bisa menjadi sumber penularan rabies adalah
kucing, kelelawar, rakun, sigung, rubah.

Daerah di Indonesia yang saat ini masih tertular rabies sebanyak 16


propinsi, meliputi: Pulau Sumatera (Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jambi,
Bengkulu, Sumatera Selatan dan Lampung), Pulau Sulawesi (Gorontalo, Sulawesi
Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara), Pulau
Kalimantan (Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur) dan
Pulau Flores. Dan kasus terakhir yang terjadi adalah Propinsi Maluku (Kota
Ambon dan Pulau Seram).

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana Penyebab penyakit rabies ?
2. Bagaimana Gejala Klinis Penyakit Rabies ?
3. Bagaimana Cara Penularan Penyakit Rabies ?
4. Prevalensi Penyakit Rabies di Indonesia ?
5. Bagaimana pencegahan dan penanganan penyakit rabies ?

1.3 Tujuan Masalah


1. Untuk Mengetahui Penyebab penyakit rabies.
2. Untuk Mengetahui Gejala Klinis Penyakit Rabies.
3. Untuk Mengetahui Cara Penularan Penyakit Rabies.

1
4. Untuk Mengetahui Prevalensi Penyakit Rabies di Indonesia.
5. Untuk Mengetahui Bagaimana pencegahan dan penanganan penyakit
rabies.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Etiologi Penyakit Rabies


Rabies merupakan salah satu penyakit zoonosis yang berupa penyakit viral akut
pada Susunan Saraf Pusat dengan gejala berupa kelumpuhan progresif serta
seringkali berakhir dengan kematian. Penyakit ini ditularkan umumnya melalui
gigitan hewan pembawa Rabies. Rabies disebut juga Lyssa, Tollwutatau Penyakit
Anjing gila. Penyebabnya adalah virus Rabies yang merupakan Virion dengan
genome RNA. Berdasarkan struktur genom dan model replikasinya Rabies
diklasifikasikan famili Rhabdoviridae ( dalam bahasa Yunani, rhabdo berarti
batang) dalam ordo Mononegavirales yang merupakan kelompok famili dengan
genom linear negativess RNA.

2
Virus rabies adalah singlestranded RNA, berbentuk seperti peluru berukuran
180 x 75 m. Sampai saat inisudah dikenal 7 genotip Lyssa virus dimana genotip
1 merupakan penyebab rabies yang paling banyak di dunia.Virus ini bersifat labil
dan tidak viable bila berada diluarinang. Virus menjadi tidak aktif bila terpapar
sinar matahari,sinar ultraviolet, pemanasan 1 jam selama 50 menit, pengeringan,
dan sangat peka terhadap pelarut.

Virus masuk melalui kulit yang terlukaatau melalui mukosa utuh seperti
konjungtiva mata, mulut, anus, genitalia eksterna, atau transplantasi kornea.
Infeksimelalui inhalasi virus sangat jarang ditemukan. Setelah virus rabies masuk
melalui luka gigitan, maka selama 2 minggu virus tetap tinggal pada tempat
masuk dan didekatnya, kemudian bergerak mencapai ujung-ujung serabut saraf
posterior tanpa menunjukkan perubahan-perubahan fungsinya.

Masa inkubasi virus rabies sangat bervariasi, mulaidari 7 hari sampai lebih dari 1
tahun, rata-rata 1-2 bulan, tergantung jumlah virus yang masuk, berat dan
luasnyakerusakan jaringan tempat gigitan, jauh dekatnya lokasigigitan ke sistem
saraf pusat, persarafan daerah lukagigitan dan sistem kekebalan tubuh. Pada
gigitan di kepala, muka dan leher 30 hari,gigitan di lengan, tangan, jaritangan 40
hari, gigitan di tungkai, kaki, jari kaki 60 hari,gigitan di badan rata-rata 45 hari.
Asumsi lain menyatakan bahwa masa inkubasi tidak ditentukan dari jarak
sarafyang ditempuh , melainkan tergantung dari luasnya persarafan pada tiap
bagian tubuh, contohnya gigitan padajari dan alat kelamin akan mempunyai masa
inkubasi yang lebih cepat.

Tingkat infeksi dari kematian paling tinggi pada gigitan daerah wajah, menengah
pada gigitan daerah lengan dan tangan, paling rendah bila gigitan ditungkaidan
kaki. (Jackson, 2003. WHO, 2010). Sesampainya diotak virus kemudian
memperbanyak diri dan menyebarluas dalam semua bagian neuron, terutama
predileksi terhadap sel-sel sistemlimbik, hipotalamus dan batangotak. Setelah
memperbanyak diri dalam neuron-neuron sentral, virus kemudian ke arah perifer
dalam serabut saraf eferen dan pada saraf volunter maupun saraf otonom.Dengan
demikian virus menyerang hampir tiap organ dan jaringan didalam tubuh, dan
berkembang biak dalam jaringan, seperti kelenjar ludah, ginjal, dan sebagainya.

3
Pada intinya masa inkubasi tergantung dari jarak lokasi gigitan dengan Central
Nervous system, semakin jauh lokasi portdentry dari virus Rabies ini dari otak
maka semakin lama masa inkubasinya.

2.2 Gejala Klinis Penyakit Rabies


Pada hewan , khususnya anjing, gejala klinis dapat dikategorikan dalam beberapa
fase yaitu fase prodromal yang berupa demam dan terjadi perubahan perilaku,
selanjutnya memasuki fase eksitasi berupa kegelisahan, respons yang berlebihan
terhadap suara ataupun cahaya dan anjing cenderung menggigit. Fase berikutnya
adalah paralitik yang ditandai dengan kejang, dysphagia, hydrophobia,
hypersalivasi, kelumpuhan otottermasuk otot pernafasan dan diakhiri dengan
kematian.

Rabies terdiri dari dua bentuk yaitu dumb rabies dan furious rabies. Pada dumb
rabies umumnya terjadi gangguan menelan, bersembunyi dan jarang menggigit,
selanjutnya dalam kurun waktu sekitar empat hari akan terjadi paralisa progresif
yang berakhir dengan kematian. Bentuk iniumumnya jarang menular ke manusia.

Sebaliknya pada bentuk furious umumnyaterlihat gejala umum misalnya


menurunnya nafsu makan, gelisah, bersembunyi, sensitive dan agresif, menyerang
segala sesuatu yang berada disekitarnya, kejang kejang yang berakibat
dysphagia, hydrophobia,hypersalivasi , selanjutnya terjadi paralisa dan kematian.
Bentuk furious ini yang biasanya menular ke manusia akibat gigitan
hewanpenderita. (Soeharsono,2002)

Pada manusia , Fase prodromal berlangsung pendek sekitar dua sampai empat
hari yang ditandai dengan malaise, anorexia,sakit kepala, nausea, vomit, sakit
tenggorokan dan demam. Selanjutnya memasuki fasesensorik yang berupa
terjadinya sensasi abnormal di sekitar tempat infeksi yangkemudian berlanjut ke
fase exitasi berupa ketegangan, ketakutan, hyperlacrimasi, dilatasipupil, keringat
berlebihan, halusinasi, kakuotot, keinginan melawan, dysphagia
sehinggahypersalivasi dan hydrophobia. Kematian biasanya diakibatkan karena
paralisaotot pernafasan.

2.3 Cara Penularan Rabies

4
Masa inkubasi pada anjing dan kucing rata-rata sekitar 2 minggu tetapi dilaporkan
dapat terjadi antara 10 hari 8 minggu dan pada manusia 2-3 minggu, dengan
masa yang paling lama 1 tahun, tergantung pada:
a. Jumlah virus yang masuk melalui luka
b. Dalam atau tidaknya luka
c. Dekat atau tidaknya luka dengan susunan syaraf pusat
d. Perlakuan luka pasca gigitan
Pada hewan percobaan virus masih dapat ditemukan di tempat suntikan selama
14 hari. virus menuju ke susunan syaraf pusat melalui syaraf perifer terutama pada
hypocampus dan sel Purkinje dan kelenjar ludah
Pada anjing 3-5 hari sebelum gejalah klinis terlihat, kelenjar ludah telah
mengandung virus dan akan terus infeksi selama hewan sakit. Virus ditularkan
terutama melalui luka gigitan, oleh karena itu bangsa karnivora adalah hewan
utama penyebar rabies antara hewan atau ke manusia
Cara penularan melalui gigitan dan non gigitan (aerogen, transplantasi, kontak
dengan bahan mengandung virus rabies pada kulit lecet atau mukosa). Cakaran
oleh kuku hewan penular rabies adalah berbahaya karena binatang menjilati kuku-
kukunya. Saliva yang ditempatkan pada permukaan mukosa seperti konjungtiva
mungkin infeksius. Ekskreta kelelawar yang mengandung virus rabies cukup
untuk menimbulkan bahaya rabies pada mereka yang masuk gua yang terinfeksi
dan menghirup aerosol yang diciptakan oleh kelelawar. Penularan rabies melalui
transplan kornea dari penderita dengan ensefalitis rabies yang tidak didiagnosis
pada resipen/penerima sehat telah direkam dengan cukup sering. Penularan dari
orang ke orang secara teoritis mungkin tetapi kurang terdokumentasi dan jarang
terjadi.
Luka gigitan biasanya merupakan tempat masuk virus melalui saliva, virus
tidak bisa masuk melalui kulit utuh. Setelah virus rabies masuk melalui luka
gigitan, maka selama 2 minggu virus tetap tinggal pada tempat masuk dan
didekatnya, kemudian bergerak mencapai ujung-ujung serabut saraf posterior
tanpa menunjukkan perubahan-perubahan fungsinya. Bagian otak yang terserang
adalah medulla oblongata dan annons hoorn.

5
Sesampainya di otak virus kemudian memperbanyak diri dan menyebar luas
dalam semua bagian neuron, terutama mempunyai predileksi khusus terhadap sel-
sel sistem limbik, hipotalamus dan batang otak. Setelah memperbanyak diri dalam
neuron-neuron sentral, virus kemudian ke arah perifer dalam serabut saraf eferen
dan pada saraf volunter maupun saraf otonom. Dengan demikian virus ini
menyerang hampir tiap organ dan jaringan didalam tubuh dan berkembang biak
dalam jaringan jaringan seperti kelenjar ludah, ginjal dan sebagainya. Gambaran
yang paling menonjol dalam infeksi rabies adalah terdapatnya badan negri yang
khas yang terdapat dalam sitoplasma sel ganglion besar.

Gambar 1. Negri Body di Neuron

2.4 Prevalensi Penyakit Rabies di Indonesia


Prevalensi adalah seberapa sering suatu penyakit atau kondisi terjadi pada
sekelompok orang. Prevalensi dihitung dengan membagi jumlah orang yang
memiliki penyakit atau kondisi dengan jumlah total orang dalam kelompok.

Rabies atau penyakit anjing gila adalah penyakit zoonotik yang bersifat akut
yang disebabkan oleh virus kelompok negative sense single-stranded RNA,
Golongan Mononegavirales, Family Rhabdoviridae, Genus Lyssavirus (Priangle,
1991). Menurut World Health Organization (WHO), Rabies menduduki peringkat
12 Daftar penyakit yang mematikan (Mattos Dan Rupprecht,2001).

Sampai saat ini telah menyebar hampir di seluruh kepulauan di Indonesia,


kecuali provinsi NTB, provinsi NTT (kecuali pulau Flores dan pulau Lembata),
Maluku dan Maluku Utara (kecuali Ternate dan Ambon), Provinsi Irian Jaya

6
Barat, Papua, provinsi DKI Jakarta, prrovinsi Jawa Timur, provinsi Daerh
Istimewa Yogyakarta, provinsi Jawa Tengah, dan pulau-pulau di sekitar Sumatera.
Sepanjang tahun 2008-2010 telah terjadi kasus rabies di daerah bebas seperti di
pulau Bali, kabupaten Garut, kabupaten Tasikmalaya, kabupaten Cianjur,
kabupaten/kota Sukabumi, kabupaten Lebak di provinsi Banten, dan kota Gunung
sitolai di pulau Nias (Anonimous, 2010).

Terdapat beberapa indicator yang digunakan dalam memantau upaya


pengendalian rabies, yaitu: GHPR (kasus Gigitan Hewan Penular Rabies), PET/
Post Exposure Treatment (piata laksanaan kasus gigitan) dan kasus yang positif
rabies dan mati berdasarkan uji Lyssa.

Pada tahun 2014 terdapat 25 provinsi tertular rabies dari 34 provinsi di


Indonesia. (Kementerian Pertanian). Sebanyak provinsi lainnya bebas rabies, lima
diantaranya provinsi bebas historis ( Papua, Papua Barat, Bangka Belitung,
Kepulauan Riau dan DKI Jakarta).

Kasus kematian karena rabies (Lyssa) di tahun 2014 secara signifikan


mengalami penurunan dari 195 pada tahun 2009 menjadi 81 kasus Lyssa pada
tahun 2014. Demikian juga dengan jumlah kasus GHPR pada tahun 2014
mengalami penurunan pada dalam tiga tahun terakhir.

Gambar berikut menunjukkan bahwa terjadi peningkatan PET dari 78,5% pada
tahun 2013 menjadi 79,4% pada tahun 2014

7
Pada tahun 2014 terdapat 42.958 kasus gigitan hewan penularan rabies. Kasus
GHPR paling banyak terjadi di Bali dengan prevalensi 21.161 kasus dengan kasus
meninggal berdasarkan tes Lyssa yang positif rabies adalah satu orang. Diikuti
oleh Nusa Tenggara Timur dengan prevalensi 5.340 kasus GHPR serta Sulawesi
utara dengan prevalensi 3.601 kasus GHPR dengan 22 positif rabies.

Berikuta dalah gambar yang memperlihatkan sebaran kasus rabies di Indonesia


selama tahun 2014

Sedangkan pada tahun 2015 terdapat 25 provinsi tertular penyakit rabies dari
34 provinsi di Indonesia (SK Kementerian Pertanian). Sebanyak Sembilan
provinsi lainnya bebas rabies, lima diantaranyaprovinsibebashistoris (Papua,
Papua Barat, Bangka Belitung, Kepulauan Riau dan NTB). Dan empat provinsi
dibebaskan( Jawa Tengah. DI Yoyakarta, JawaTi,urdan DKI Jakarta).

Kasus kematian karena rabies (Lyssa) di tahun 2015 mengalami penurun dari
195 pada tahun 2009 menjadi 118 kasus Lyssa pada tahun 2015. Namun, kasus
GHPR mengalami peningkatan pada tahun 2015 menjadi sebesar 80.433 kasus.

Berikut adalah diagram batang yang memperlihatkan bahwa terjadi penurunan


kematian rabies (Lyssa).

8
Pada tahun 2015 terdapat 80.433 kasus GHPR. Kasus GHPR paling banyak
terjadi di Bali yaitu dengan prevalensi 42.630 kasus, diikuti oleh NTT dengan
prevalensi 7.386 kasus. Sedangkan untuk kematian akibat rabies (Lyssa) terdapat
118 kasus. Terjadi paling banyak di Sulawesi Utara sebanyak 28 kasus dan Bali
senyak 15 Kasus.

2.5 Pencegahan dan Penanganan Rabies


2.5.1 Pencegahan Rabies

Pencegahan rabies pada hewan adalah tanggung jawab Dinas Peternakan dan
dalam pelaksanaannya akan bekerjasama dengan semua instansi. Agar pencegahan
dan pemberantasan lebih efektif, maka disusun pedoman khusus berlandaskan
pada surat keputusan bersama antara menteri Kesehatan, Menteri Pertanian dan
Menteri Dalam Negeri tentang pencegahan dan penanggulangan rabies.

Adapun langkah langkah pencegahan rabies dapat dilihat di bawah ini:


1. Tidak memberikan izin untuk memasukkan atau menurunkan anjing,
kucing, kera dan hewan sebangsanya di daerah bebas Rabies.
2. Memusnahkan anjing, kucing, kera atau hewan sebangsanya yang masuk
tanpa izin ke daearh bebas rabies.
3. Melaksanakan vaksinasi rutin terhadap anjing, kucing dank ear dengan
target khusus 70% populasi anjing yang ada di daerah tertular

Upaya pengendalian rabies telah dilaksanakan secara terintegrasi oleh dua


Kementrian yang bertanggung jawab yaitu Kementrian Pertanian dalam hal ini
Direktorat Kesehatan Hewan untuk penangan kepada hewan peluara dan

9
pengawasan lalu lintasnya, serta sector Kesehatan untuk penanganan kasus gigitan
pada manusia dan penderita Rabies (Lyssa). Adapun upaya yang telah dilakukan
kementrian kesehatan dalam penanganan rabies di Indonesia adalah menyediakan
vaksin anti rabies (VAR) dan refrigerator, menyediakan media KIE peningkatan
kapasitas pengendalian rabies.

Berbagai prioritas kegiatan untuk pengendalian rabies yaitu:


a. Penurunan kematian akibat rabies (lyssa) melalui penangan kasus
GHPR dengan pembentukan/optimalkan rabies center.
b. Surveilans epidemiologi tepadu.
c. Meningkatkan akses masyarakat ke fasilitas pelayanan kesehatan.
d. Penanggulangan KLB terpadu.
e. Kerjsama lintas sector.
f. Peningkatan pengetahuan dan keterampilan petugas.
g. Penuluhan kepada masyarakat melalui berbagai media dan berbagai
kesempatan.
h. Pemenuhan kebutuhan logistic.

2.5.2 Penanganan Rabies


Penanganan Luka Akibat Gigitan Hewan Penular Rabies (GHPR)
1. Pencucian luka
Pencucian luka merupakan langkah pertama yang sangat penting dalam tata
laksana kasus GHPR. Luka gigitan dicuci dengan air mengalir dan sabun/deterjen
selama 10-15 menit.
2. Pemberian Antiseptik
Pemberian antiseptik (alkohol 70%, betadine, obat merah, dll) dapat diberikan
setelah pencucian luka.
3. Tindakan Penunjang
Luka GHPR tidak boleh dijahit untuk mengurangi invasi virus pada jaringan luka,
kecuali luka yang lebar dan dalam yang terus mengeluarkan darah, dapat
dilakukan jahitan situasi untuk menghentikan perdarahan. sebelum dilakukan
penjahitan luka, harus diberikan suntikan infiltrasi SAR sebanyak mungkin di
sekitar luka dan sisanya diberikan secara intra muscular (IM).
Pemberian VAR dan SAR ditentukan menurut kategori luka gigitan dan
kondisi hewan penggigitnya. Untuk kontak (dengan Iiur atau saliva hewan

10
tersangka/hewan Rabies atau penderita Rabies) tetapi tidak ada luka, maka tidak
perlu diberikan pengobatan VAR dan SAR. Pada kasus luka risiko rendah dapat
diberikan VAR namun perlu melihat kondisi hewan penggigitnya. Sedangkan pada
kasus luka risiko tinggi harus diberikan VAR dan SAR. Kasus Gigitan Hewan
penular Rabies harus segera ditangani, karena jika tidak segera ditangani setelah
terkena gigitan dan muncul gejala, hal ini sering berakhir fatal dengan kematian.
Menurut WHO dan CDC (Centers for Disease Control and Prevention), sekali
gejala Rabies muncul, hampir pasti kecil peluang penyembuhannya secara
statistik. Maka dari itu, segera cuci luka setelah di gigit hewan penular Rabies
(HPR) dan mendatangi fasilitas kesehatan yang biasa menangani kasus gigitan
HPR sebaiknya jangan tunggu hingga muncul gejala. Belum diketemukan
obat/cara pengobatan untuk penderita Rabies sehingga selalu diakhiri dengan
kematian pada hamper semua penderita Rabies baik manusia maupun hewan.

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Penyakit rabies merupakan salah satu penyakit zoonosis yang berupa penyakit
viral akut pada Susunan Saraf Pusat dengan gejala berupa kelumpuhan progresif
serta seringkali berakhir dengan kematian.
Pada hewan, khususnya anjing, gejala klinis dapat dikategorikan dalam
beberapa fase yaitu fase prodromal yang berupa demam dan terjadi perubahan
perilaku, selanjutnya memasuki fase eksitasi berupa kegelisahan, respons yang
berlebihan terhadap suara ataupun cahaya dan anjing cenderung menggigit.
Cara penularan melalui gigitan dan non gigitan (aerogen, transplantasi, kontak
dengan bahan mengandung virus rabies pada kulit lecet atau mukosa). Cakaran
oleh kuku hewan penular rabies adalah berbahaya karena binatang menjilati kuku-
kukunya.
Prevalensi penyakit rabies di Indonesia yaitu pada tahun 2014 terdapat 25
provinsi tertular rabies dari 34 provinsi di Indonesia. (Kementerian Pertanian).
Sebanyak provinsi lainnya bebas rabies, lima diantaranya provinsi bebas historis
( Papua, Papua Barat, Bangka Belitung, Kepulauan Riau dan DKI Jakarta).

11
Sedangkan pada tahun 2015 terdapat 25 provinsi tertular penyakit rabies dari 34
provinsi di Indonesia (SK Kementerian Pertanian). Sebanyak Sembilan provinsi
lainnya bebas rabies, lima diantaranyaprovinsibebashistoris (Papua, Papua Barat,
Bangka Belitung, Kepulauan Riau dan NTB). Dan empat provinsi
dibebaskan( Jawa Tengah. DI Yoyakarta, JawaTi,urdan DKI Jakarta).
Pencegahan rabies dapat dilihat langkah-langkah di bawah ini:
1. Tidak memberikan izin untuk memasukkan atau menurunkan anjing,
kucing, kera dan hewan sebangsanya di daerah bebas Rabies.
2. Memusnahkan anjing, kucing, kera atau hewan sebangsanya yang masuk
tanpa izin ke daearh bebas rabies.
3. Melaksanakan vaksinasi rutin terhadap anjing, kucing dank ear dengan
target khusus 70% populasi anjing yang ada di daerah tertular

Penanganan Luka Akibat Gigitan Hewan Penular Rabies (GHPR)


1. Pencucian luka
2. Pemberian Antiseptik
3. Tindakan Penunjang

3.2 Saran
Penyakit Rabies atau Lyssa sangat berbahaya dan dapat menyebabkan mematikan
oleh karena itu disarankan agar sebaiknya kita berhati-hati dalam memelihara
hewan yang rentan terhadap penyakit rabies seperti anjing, kucing dll. Jika
terdapat tanda-tanda yang mencurigakan terhadap hewan peliharaan sebaikknya
segera dibawa ke dokter hewan untuk diperiksa. Sebaiknya juga menempatkan
hewan peliharaan dalam kandang dan senantiasa memperhatikan kebersihan
kandang dan sekitarnya. Dan dianjurkan agar melaksanakan vaksinasi rabies
terhadap hewan secara teratur setiap tahun ke Dokter hewan.

12
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. Manual Penyakit Hewan Mamalia.


(http://wiki.isikhnas.com/images/9/9a/Penyakit_Rabies.pdf) diakses pada
25/02/2017

Depkes, 2010, PengendalianPenyakit, JurnalKesMas, Vol 6 No1:25

Pusat Data danInformasiKementerianKesehatan RI. 2016.Infodatin Rabies.


Tersediadi
(http://www.pusdatin.kemkes.go.id/resources/download/pusdatin/infodatin/Infodat
in-Rabies-2016.pdf) diakses pada 25 Februari 2016

Universitas Sumatera Utara.


(http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/16929/4/Chapter%20II.pdf)
diakses pada 25/02/2017

Utami, s., Sumianto, B. 2010. Identifikasi Virus Rabies PadaAnjing Liar di Kota
Makassar. JurnalSainVeteriner, Vol 28 NO 2:1.2&4

13

Anda mungkin juga menyukai