Anda di halaman 1dari 31

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. MI
Jenis kelamin : Laki-Laki
Tanggal lahir : 17/10/1964
No. RM : 059295
Pekerjaan : PNS
Ruang Perawatan : Sandeq 401
Tanggal Masuk/Jam : 02/05/2016

II. SUBJEKTIF
Anamnesis : Autoanamnesis
Keluhan Utama : Batuk
Anamnesis Terpimpin :
Dialami kurang lebih 3 bulan yang lalu, terus menerus, disertai lendir
berwarna kuning kehijauan dan tidak disertai darah. Batuk tidak dipengaruhi
oleh cuaca. Ada sesak napas yang dirasakan bersamaan dengan keluhan
utama, tidak terus menerus dan tidak dipengaruhi cuaca dan aktivitas. Nyeri
dada tidak ada. Demam dialami kurang lebih 2 minggu yang lalu, turun
dengan pemberian anti demam. Keringat malam ada, penurunan berat badan
kurang lebih 15 kg dalam 3 bulan terakhir. Saat ini pasien menjalani
pengobatan OAT bulan ke-3. Mual muntah tidak ada. Nyeri perut dan nyeri
ulu hati tidak ada. BAB lancar. BAK lancar dan tidak ada keluhan nyeri saat
berkemih.
Riwayat Hipertensi disangkal. Riwayat DM disangkal. Riwayat asma
disangkal. Riwayat konsumsi OAT ada (bulan ke-3).

1
Pasien merupakan seorang PNS, dengan 1 orang istri dan 2 orang anak,
dimana tidak ada yang memiliki riwayat penyakit yang sama dalam anggota
keluarga.
Riwayat merokok dan konsumsi alkohol disangkal.
Imunisasi lengkap dan riwayat alergi (-)

I. Status Present
Status Generalisasi : Sakit sedang, Gizi kurang, Compos Mentis
Tinggi badan : 165 cm
Berat Badan : 45 kg
IMT =BB/TB2
= 45/1,652
= 16,5 kg/m2 (gizi cukup)
Status Vitalis :
T : 110/70 mmHg
N : 86 x/menit
P : 22 x/menit
S : 36,70C, axilla
II. Pemeriksaan Fisis
Kepala :
Ekspresi : Biasa
Simetris muka : Simetris kiri = kanan
Deformitas : (-)
Rambut : Hitam, lurus, sukar dicabut
Mata :
Eksoptalmus/Enoptalmus : (-)
Gerakan : Ke segala arah
Kelopak Mata : Edema (-)
Konjungtiva : Anemis (+)
Sklera : Ikterus (-)
Kornea : Jernih
Pupil : Bulat isokor diameter 2,5 mm

Telinga
Pendengaran : Dalam batas normal

2
Tophi : (-)
Nyeri tekan di prosesus mastoideus : (-)
Hidung :
Perdarahan : (-)
Sekret : (-)
Mulut:
Bibir : Pucat (+), kering (-)
Lidah : Kotor (-), tremor (-)
Tonsil : T1 T1, hiperemis (-)
Faring : Hiperemis (-)
Gigi geligi : Caries dentis (-)
Gusi : Hiperemis (-)
Leher :
Kelenjar getah bening : Tidak ada pembesaran
Kelenjar gondok : Tidak ada pembesaran
DVS : R+2 cmH2O
Pembuluh darah : Tidak ada kelainan
Kaku kuduk : (-)
Tumor : (-)
Dada :
Inspeksi :
Bentuk : Simetris kiri = kanan, normochest
Pembuluh darah : Bendungan vena sentral (-)
Sela iga : Dalam batas normal
Paru
Palpasi :
Fremitus raba : Vokal Fremitus taktil hemithoraks
dextra menurun.
Nyeri tekan : (-)
Massa tumor : (-)
Perkusi :
Paru kiri : Sonor
Paru kanan : Sonor
Batas paru-hepar : ICS VI dekstra anterior
Batas paru belakang kanan : CV Th. IX dekstra
Batas paru belakang kiri : CV Th. X sinistra
Auskultasi :
Bunyi pernapasan : Vesikuler kiri = kanan
Bunyi tambahan : Rh + - , Wh -/-
+ -

3
+ -

Jantung :
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis teraba pada ICS V, Thrill (-)
Perkusi : Pekak
Batas Jantung: Kanan atas : ICS II linea parasternalis dextra
Kiri atas : ICS II linea midclavicularis sinistra
Kanan bawah : ICS V linea parasternalis sinistra
Kiri bawah : ICS V linea midclavicularis sinistra
Auskultasi : Bunyi jantung I/II murni regular, Gallop (-), murmur (-)
Perut
Inspeksi : Datar, ikut gerak napas, massa tumor (-)
Auskultasi : Peristaltik (+), kesan normal
Palpasi : Nyeri tekan (-), Massa tumor (-)
Hepar tidak teraba pembesaran
Lien tidak teraba pembesaran
Perkusi : Timpani
Alat Kelamin
Tidak dilakukan pemeriksaan
Anus dan Rektum
Tidak dilakukan pemeriksaan
Punggung
Palpasi : Nyeri tekan (-), Massa tumor (-)
Nyeri ketok : (-)
Gerakan : Dalam batas normal
Lain-lain : Tidak ada skoliosis
Ekstremitas :
Edema : -/-
Eritema Palmaris: -/-

Laboratorium:
Darah Rutin (19/04/2016)

4
Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai rujukan
WBC 6,4 . 103/uL 4 - 10 x 103/uL
RBC 2,10 . 106/uL 46 x 106/uL
HGB 8,7 g/dl 14 - 18 g/dL
HCT 19,5 % 40 54%
MCV 106,5 pl 80 100 pl

MCH 113,0 pg 27 32 pg
MCHC 106,1 g/dl 32 36 g/dl
PLT 401 . 103/uL 150-400x103/uL

Fungsi Hati (04/05/2016)


Jenis Pemerikaan Hasil Nilai Rujukan
SGOT 33 U/L < 38 U/L
SGPT 16 U/L < 41 U/L

Foto Thorax (02/02/2016)


- TB paru duplex lama aktif dengan deviasi trakea ke dextra

MSCT-Scan Thorax
- Pneumonia spesifik bilateral disertai atelektasis dextra

Pemeriksaan Sputum (29/04/2016) :


BTA 1 : negatif
BTA 2 : negatif
BTA 3 : negatif
Gram : ditemukan gambaran bakteri berbentuk coccus gram positif dan gasil gram
negatif.
Jamur : ditemukan adanya gambaran jamur (hyfa).

III. ASSESSMENT

5
- TB Paru on treatment
- Community Acquired Pneumonia
- Anemia Megaloblastik DD/ Anemia Penyakit Kronis
- Hipoalbuminemia

IV. PLANNING
Pengobatan:
1. Rifampicin 600mg/3 kali seminggu/oral
2. INH 400 mg/3 kali seminggu/oral
3. Ceftriaxone 2 gr/24 jam/IV
4. Paracetamol 500 mg/8 jam/oral (bila demam)
5. Neurodex 1 tab/24 jam/oral
6. Diet tinggi protein
7. Transfusi albumin 25% 1 botol/hari

Rencana Pemeriksaan :
1. Foto Thoraks PA
2. Analisa darah tepi

V. PROGNOSIS
Ad Functionam : Bonam
Ad Sanationam : Bonam
Ad Vitam : Bonam

RESUME

Seorang laki-laki berusia 40 tahun masuk rumah sakit dengan keluhan batuk
darah yang dialami kurang lebih 1 bula lalu. Keluhan dirasakan memberat 2 minggu
terakhir dan pernah mengalai batuk darah kurang lebih 50 cc di RS Dadi ketika
dirawat disana sebelum akhirnya pasien pulang paksa. Keluhan disertai dengan sesak,
keringat malam hari, penurunan berat badan yang dirasakan turun sebanyak 2 kg
selama 2 bulan Pusing ada, mual muntah tidak ada, penurunan nafsu makan ada,
BAB belum selam 1 minggu, BAK lancar.

6
Riwayat menggunakan OAT 3 tahun lalu dan dinyatakan sembuh oleh dokter.
Kemudian kembali muncul gejala yang sama 1 bulan lalu. Riwayat terakhir OAT
hanya diminum selama 2 minggu. Riwayat HT tidak ada, DM tidak diketahui.
Riwayat keluarga mengalami batuk darah ada, yaitu orang tua pasien.
Pada pemeriksaan fisis didapatkan : Tanda vital: Tekanan darah 110/80
mmHg, nadi 90 per menit, pernapasan 24x per menit, suhu axilla 37,8C. pada
pemeriksaan thoraks didapatkan ronkhi di seluruh lapangan pandang paru. Foto
thoraks memperlihatkan kesan KP dupleks lama aktif.
Berdasarkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang
yang telah dilakukan maka diagnosis pasien ini adalah TB paru kasus relaps

TUBERKULOSIS PARU

I. PENDAHULUAN
Tuberkulosis paru adalah suatu infeksi kronis yang sangat lama dikenal pada
manusia, dihubungkan dengan tempat tinggal di daerah urban, lingkungan yang
padat, dibuktikan dengan adanya penemuan kerusakan tulang vertebra toraks yang
khas pada TB dari kerangka yang digali di Heidelberg dari kuburan zaman
neolitikum, begitu juga penemuan dari mumi dan ukiran di dinding piramid di Mesir
kuno pada tahun 2000-4000 SM. Hipokrates telah memperkenalkan terminologi
phthisis yang diangkat dari bahasa yunani yang menggambarkan tampilan TB paru
ini.1
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman
TB (Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi
dapat juga mengenai organ tubuh lainnya).2 Mycobacterium Tuberculosis yang

7
menyerang paru disebut juga tuberkulosis paru. Bila menyerang organ selain paru
(kelenjar limfe, kulit, otak, tulang, usus, ginjal) disebut tuberkulosis ekstra paru.3

II. EPIDEMIOLOGI
Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit yang telah lama dikenal dan
sampai saat ini masih menjadi penyebab utama kematian di dunia. 4 WHO
menyatakan Tuberkulosis paru menyerang sepertiga dari 1,9 miliar penduduk dunia
dewasa ini.3 Setiap tahun terdapat 8 juta kasus baru penderita tuberkulosis paru, dan
angka kematian tuberkulosis paru 3 juta orang setiap tahunnya. 3 1% dari penduduk
dunia akan terinfeksi tuberkulosis paru setiap tahun. 3 Satu orang memiliki potensi
menularkan 10 hingga 15 orang dalam 1 tahun. 3 Pada tahun 1993 WHO juga
menyatakan bahwa TB sebagai Global health emergenncy.1
Prevalensi TB di Indonesia dan negara-negara sedang berkembang lainnya
cukup tinggi.4Indonesia adalah negeri dengan pevalensi TB ke-3 tertinggidi dunia
setelah cina dan india.1 Pada tahun 1998 diperkirakan TB di cina, india dan indonesia
berturut turut 1.828.000, 1.414.000, 591.000 kasus.1Pada tahun 2006, kasus baru di
Indonesia berjumlah >600.000 dan sebagian besar diderita oleh masyarakat yang
berada dalamusia produktif (1555 tahun).3 Angka kematian karena infeksi TB
berjumlah sekitar 300 orang per hari dan terjadi >100.000 kematian per tahun.Hal
tersebut merupakan tantangan bagi semua pihak untuk terus berupaya mengendalikan
infeksi ini.3 Salah satu upaya penting untuk menekan penularan TB dimasyarakat
adalah dengan melakukan diagnosis dini yang definitif.4
Sekitar 75% penderita tuberkulosis paru adalah kelompok usia produktif
secara ekonomis (15-50 tahun). Diperkirakan seorang penderita tuberkulosis
parudewasa akan kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3 sampai 4 bulan, hal
tersebutberakibat pada kehilangan pendapatan tahunan rumah tangganya sekitar 20-
30%. Jikameninggal akibat penyakit tuberkulosis paru, maka akan kehilangan
pendapatannyasekitar 15 tahun, selain merugikan secara ekonomis, tuberkulosis paru

8
juga memberikan dampak buruk lainnya secara sosial bahkan kadang dikucilkan oleh
masyarakat.3

III. ETIOLOGI
Tuberkulosis paru adalah penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis dan menular secara langsung. Mycobacterium
tuberculosis berbentuk batang, berukuran panjang 1-4mikron dan tebal 0,3-0,6
mikron, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan, oleh
karena itu disebut sebagai Basil Tahan Asam (BTA). Kuman tuberkulosis cepat mati
dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat
yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh, kuman ini dapat dormant atau tertidur
lama dalam beberapa tahun.3
Sebagian besar dinding kuman terdiri atas lemak (lipid), kemudian
peptidoglikan, arabinomannan. Lipid inilah yang membuat kuman lebih tahan asam
(asam alkohol) sehingga disebut bakteri tahan asam dan tahan terhadap gangguan
kimia dan fisik. Kuman ini dapat hidup dalam suasana udara kering maupun dalam
keadaan dingin. Hal ini dapat terjadi karena kuman berada dalam sifat dorman. Dari
sifat dorman ini kuman dapat bangkit dan menjadi tuberkulosis aktif kembali.1
Sifat kuman ini adalah aerob. Sifat ini menunjukan bahwa kuman lebih
menyenangi jaringan yang tinggi kandungan oksigen. Dalam hal ini tekanan oksigen
pada bagian apikal paru-paru lebih tinggi dari bagian lain, sehingga bagian apikal ini
merupakan predileksi penyakit tuberkulosis.1

IV. PATOGENESIS
Paru merupakan port dentre lebih dari 98% kasus infeksi TB.Karena
ukurannya yang sangat kecil, kuman TB dalam percik renik (droplet nuclei) yang
terhirup, dapat mencapai alveolus. Masuknya kuman TB ini akan segera diatasi oleh
mekanisme imunologis non spesifik. Makrofag alveolus akan menfagosit kuman TB
dan biasanya sanggup menghancurkan sebagian besar kuman TB. Akan tetapi, pada
sebagian kecil kasus, makrofag tidak mampu menghancurkan kuman TB dan kuman

9
akan bereplikasi dalam makrofag. Kuman TB dalam makrofag yang terus
berkembang biak, akhirnya akan membentuk koloni di tempat tersebut. Lokasi
pertama koloni kuman TB di jaringan paru disebut Fokus Primer GOHN.1,5
Dari fokus primer, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju
kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi
fokus primer.Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe
(limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus primer
terletak di lobus paru bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah
kelenjar limfe parahilus, sedangkan jika fokus primer terletak di apeks paru, yang
akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Kompleks primer merupakan gabungan
antara fokus primer, kelenjar limfe regional yang membesar (limfadenitis) dan
saluran limfe yang meradang (limfangitis). 1,5
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya
kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi TB. Hal ini berbeda
dengan pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang
diperlukan sejak masuknya kuman hingga timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi
TB biasanya berlangsung dalam waktu 4-8 minggu dengan rentang waktu antara 2-12
minggu.Dalam masa inkubasi tersebut, kuman tumbuh hingga mencapai jumlah 103-
104, yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons imunitas seluler. 1,5
Selama berminggu-minggu awal proses infeksi, terjadi pertumbuhan
logaritmik kuman TB sehingga jaringan tubuh yang awalnya belum tersensitisasi
terhadap tuberkulin, mengalami perkembangan sensitivitas. Pada saat terbentuknya
kompleks primer inilah, infeksi TB primer dinyatakan telah terjadi. Hal tersebut
ditandai oleh terbentuknya hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu
timbulnya respons positif terhadap uji tuberkulin.Selama masa inkubasi, uji
tuberkulin masih negatif.Setelah kompleks primer terbentuk, imunitas seluler tubuh
terhadap TB telah terbentuk. Pada sebagian besar individu dengan sistem imun yang
berfungsi baik, begitu sistem imun seluler berkembang, proliferasi kuman TB
terhenti. Namun, sejumlah kecil kuman TB dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila

10
imunitas seluler telah terbentuk, kuman TB baru yang masuk ke dalam alveoli akan
segera dimusnahkan. 1,5
Setelah imunitas seluler terbentuk, fokus primer di jaringan paru biasanya
mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah
mengalami nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan
mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak
sesempurna fokus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap
selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini. 1,5
Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi.Komplikasi yang terjadi
dapat disebabkan oleh fokus paru atau di kelenjar limfe regional. Fokus primer di
paru dapat membesar dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi
nekrosis perkejuan yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui
bronkus sehingga meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas). Kelenjar limfe
hilus atau paratrakea yang mulanya berukuran normal saat awal infeksi, akan
membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut. Bronkus dapat terganggu.
Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal dapat menyebabkan
ateletaksis. Kelenjar yang mengalami inflamasi dan nekrosis perkejuan dapat
merusak dan menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga menyebabkan TB
endobronkial atau membentuk fistula. Massa keju dapat menimbulkan obstruksi
komplit pada bronkus sehingga menyebabkan gabungan pneumonitis dan ateletaksis,
yang sering disebut sebagai lesi segmental kolaps-konsolidasi. 1,5
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat terjadi
penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar
ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer. Sedangkan pada penyebaran
hematogen, kuman TB masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh
tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai
penyakit sistemik. 1,5
Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk
penyebaran hematogenik tersamar (occult hamatogenic spread). Melalui cara ini,

11
kuman TB menyebar secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak
menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian akan mencapai berbagai organ di
seluruh tubuh. Organ yang biasanya dituju adalah organ yang mempunyai
vaskularisasi baik, misalnya otak, tulang, ginjal, dan paru sendiri, terutama apeks
paru atau lobus atas paru. Di berbagai lokasi tersebut, kuman TB akan bereplikasi dan
membentuk koloni kuman sebelum terbentuk imunitas seluler yang akan membatasi
pertumbuhannya. 1,5
Di dalam koloni yang sempat terbentuk dan kemudian dibatasi
pertumbuhannya oleh imunitas seluler, kuman tetap hidup dalam bentuk dorman.
Fokus ini umumnya tidak langsung berlanjut menjadi penyakit, tetapi berpotensi
untuk menjadi fokus reaktivasi. Fokus potensial di apkes paru disebut sebagai Fokus
SIMON. Bertahun-tahun kemudian, bila daya tahan tubuh pejamu menurun, fokus TB
ini dapat mengalami reaktivasi dan menjadi penyakit TB di organ terkait, misalnya
meningitis, TB tulang, dan lain-lain. 1,5
Bentuk penyebaran hamatogen yang lain adalah penyebaran hematogenik
generalisata akut (acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini, sejumlah
besar kuman TB masuk dan beredar dalam darah menuju ke seluruh tubuh. Hal ini
dapat menyebabkan timbulnya manifestasi klinis penyakit TB secara akut, yang
disebut TB diseminata. TB diseminata ini timbul dalam waktu 2-6 bulan setelah
terjadi infeksi. Timbulnya penyakit bergantung pada jumlah dan virulensi kuman TB
yang beredar serta frekuensi berulangnya penyebaran. Tuberkulosis diseminata terjadi
karena tidak adekuatnya sistem imun pejamu (host) dalam mengatasi infeksi TB,
misalnya pada balita. 1,5
Tuberkulosis milier merupakan hasil dari acute generalized hematogenic
spread dengan jumlah kuman yang besar. Semua tuberkel yang dihasilkan melalui
cara ini akan mempunyai ukuran yang lebih kurang sama. Istilih milier berasal dari
gambaran lesi diseminata yang menyerupai butir padi-padian/jewawut (millet seed).
Secara patologi anatomik, lesi ini berupa nodul kuning berukuran 1-3 mm, yang
secara histologi merupakan granuloma.1

12
Bentuk penyebaran hematogen yang jarang terjadi adalah protracted
hematogenic spread. Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu fokus perkejuan
menyebar kesaluran vaskular di dekatnya, sehingga sejumlah kuman TB akan masuk
dan beredar di dalam darah. Secara klinis, sakit TB akibat penyebaran tipe ini tidak
dapat dibedakan dengan acute generalized hematogenic spread. Hal ini dapat terjadi
secara berulang.1

Gambar 1. Skema Perkembangan Sarang Tuberkulosis Post Primer dan Perjalanan


Penyembuhannya

V. KLASIFIKASI DAN TIPE PENDERITA TUBERCULOSIS


Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien tuberculosis memerlukan suatu
definisi kasus yang meliputi empat hal , yaitu:2
1.
Lokasi atau organ tubuh yang sakit: paru atau ekstra paru;
2. Bakteriologi (hasil pemeriksaan dahak secara mikroskopis): BTA positif atau
BTA negatif;
3. Tingkat keparahan penyakit: ringan atau berat.
4. Riwayat pengobatan TB sebelumnya: baru atau sudah pernah diobati

a. Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena:2

13
Tuberkulosis paru.
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim)
paru, tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus.2
Tuberkulosis ekstra paru.
Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura,
selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar lymfe, tulang,
persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain.2

b. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis, yaitu pada TB


Paru:2
Tuberkulosis paru BTA positif.
Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.
1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada
menunjukkan gambaran tuberkulosis.
1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB positif.
1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS
pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan
setelah pemberian antibiotika non OAT.
Tuberkulosis paru BTA negatif
Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif. Kriteria
diagnostik TB paru BTA negatif harus meliputi:2
Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negative
Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis.
Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.

c. Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan penyakit.2


TB paru BTA negatif foto toraks positif
dibagi berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya, yaitu bentuk berat dan
ringan. Bentuk berat bila gambaran foto toraks memperlihatkan gambaran

14
kerusakan paru yang luas (misalnya proses far advanced), dan atau
keadaan umum pasien buruk.
TB ekstra-paru
dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya, yaitu:2
TB ekstra paru ringan, misalnya: TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa
unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan kelenjar adrenal.
TB ekstra-paru berat, misalnya: meningitis, milier, perikarditis, peritonitis,
pleuritis eksudativa bilateral, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kemih
dan alat kelamin.
Catatan:2
Bila seorang pasien TB paru juga mempunyai TB ekstra paru, maka
untukkepentingan pencatatan, pasien tersebut harus dicatat sebagai pasien
TBparu.
Bila seorang pasien dengan TB ekstra paru pada beberapa organ, makadicatat
sebagai TB ekstra paru pada organ yang penyakitnya paling berat.

d. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya


Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi menjadi beberapa tipe
pasien, yaitu:2
Kasus baru
Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah
menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).

Kasus kambuh (Relaps)


Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan
tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap,
didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur).
Kasus setelah putus berobat (Default )

15
Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan
BTA positif.
Kasus setelah gagal (Failure)
Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali
pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.
Kasus Pindahan (Transfer In)
Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register TB lain
untuk melanjutkan pengobatannya.

WHO 1991 berdasarkan terapi membagi TB dalam 4 kategori yakni:1


Kategori I ditujukan terhadap:
Kasus baru dengan sputum positif
Kasus baru dengan bentuk TB berat
Kategori II ditujukan terhadap :
Kasus kambuh
Kasus gagal dengan sputum BTA positif
Kategori III ditujukan terhadap:
Kasus BTA negatif dengan kelainan paru yang tidak luas
Kasus TB ekstra paru selain dari yang disebut dari kategori I
Kategori IV, ditujukan terhadap TB kronik.

VI. GEJALA KLINIS


Adapun keluhan yang sering didapat pada pasien tuberkulosis paru yaitu
batuk terus menerus dan berdahak selama 3 minggu atau lebih. Gejala tambahan yang
mungkin menyertai adalah batuk darah, sesak nafas dan rasa nyeri dada, badan
lemah, nafsu makan menurun, berat badan turun, rasa kurang enak badan (malaise),
berkeringat malam walaupun tanpa kegiatan dan demam/meriang lebih dari sebulan.1
Demam. Biasanya subfebris menyerupai demam influenza.tetapi kadang kadang
suhu tubuh dapat mencapai 40-41o C. serangan demam pertama dapat sembuh
sebentar, kemudian dapat timbul kembali. Keadaan demamnya bersifat hilang
timbul, sehingga pasien tidak pernah terlepas dari serangan demam. Hal ini

16
tergantung dari daya tahan tubuh seseorang. Dan berat ringanya infeki
tuberkulosis.1
Batuk/batuk darah. Gejala ini banyak ditemukan. Batuk darah dapat terjadi
karena iritasi bronkus. Batuk ini diperlukan untuk membuang produk produk
radang. Sifat batuk dimulai dari betuk kering/non produktif kemudian setelah
timbul peradangan menjadi batuk produktif. Keadaan selanjutnya adalah batuk
darah olehkarena pecahnya pembuluh darah.1
Sesak napas. Sesak napas ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, yang
infiltratnya sudah meliputi setenga bagian babkan karena danyparu.1
Nyeri dada. Nyeri dada muncul jika infiltratnya sudah sampai ke pleura
sehingga menimbulkan pleuritis. Hal ini disebabkan karena danya pergeseran
antara kedua pleura sewaktu menarik napas.1
Malaise. Gejala malaise yang sering ditemukan berupa anoreksia. Badan makin
kurus,sakit kepala, meriang, nyeri otot, keringat malam. Gejala malaise makin
lama makin berat dan hilang timbul secara teratur.1
VII.PEMERIKSAAN FISIS
Pemeriksaan fisis yang pertama kali ditemukan terhadap keadaan umum
pasien yang ditemukan konjungtiva mata atau kulit yang pucat karena anemia, badan
kurus dan berat badan menurun.1
Tempat kelainan lesi yang paling dicurigai adalah bagian apeks paru.Bila
dicurigai infiltrat yang agak luas, maka didapatkan perkusi yang redup dan auskultasi
suara napas bronkial. Akan didapatkan juga suara ronki kasar, basah dan nyaring
tetapi bila infiltrat ini diliputi oleh penebalan pleura, suara napas menjadi vesikuler
melemah. Bila terdapat cavitas yang cukup besar, perkusi memberikan suara
hipersonor atau timpani dan auskultasi memberikan suara amforik.1
Pada tuberkulosis yang lanjut dengan fibrosis yang luas sering ditemukan
atrofi dan retraksi otot-otot interkostal. Bagian paru yang sakit menjadi menciut dan
menarik isi mediastenum atau paru yang lainya. Paru yang sehat menjadi lebih
hiperinflasi. Bila jaringan fibrotik amat luas yakni lebih setengah dari jaringan paru-

17
paru akan terjadi pengecilan daerah aliran darah dan selanjutnya meningkatkan
tekanan arteri pulmonal (hipertensi pulmonal), diikuti terjadinya kor pulmonal dan
gagal jantung kanan.1
Bila tuberkulosis mengenai pleura, sering terbentuk efusi pleura. Paru yang
sakit terlihat agak tertinggal dalam pernapasan. Perkusi memberikan suara pekak.
Auskultasi memberikan suara napas yang lemah sampai tidak terdengar sama sekali.1

Pemeriksaan Radiologi
Radiografi merupakan alat yang penting untuk diagnosa dan evaluasi
tuberkulosis. Pada saat ini pemeriksaan radiologi dada merupakan cara yang praktis
untuk menemukan lesi tuberkulosis.1,10
Lokasi lesi tuberkulosis umumnya diapeks paru (segment apikal lobus atas
atau segment apikal lobus bawah), tetapi dapat juga mengenai lobus bawah (bagian
inferior) atau di daerah hilus menyerupai tumor paru (misalnya tumor paru pada
endobronkial).1
Lesi primer yang telah menyembuh dapat meninggalkan nodul perifer kecil
yang dapat mengalami kalsifikasi bertahun-tahun. Kompleks ghon membentuk nodul
perifer yang berkalsifikasi bersama dengan kelenjar limfe yang mengalami
kalsifikasi.5
Pada awalnya penyakit saat lesi masih merupakan sarang-sarang pneumonia,
gambaran radiologi berupa bercak bercak seperti berawan dengan batas batas yang
tidak tegas. Bila lesi sudah diliputi jaringan ikat maka bayangan terlihat seperti
bulatan dengan batas yang tegas. Lesi ini dikenal sebagai tuberkuloma.1
Pada cavitas bayangannya berupa cincin yang berdinding tipis. Bila terjadi
fibrosis maka bayanganya bergaris garis. Pada calsivikasi bayanganya tampak
sebagai bercak bercak padat dengan densitas tinggi. Pada atelektasis terlihat sebagai
fibrosis yang luas disertai penciutan yang dapat terjadi pada sebagian atau satu lobus
atau satu bagian paru. Gambaran tuberkulosis milier terlihat berupa bercak-bercak
halus yang umumnya terebar merata pada seluruh lapangan paru.1

18
Pada satu foto dada sering ditemukan bermacam macam bayangan sekaligus
(pada tuberkulois yang sudah lanjut) sperti infiltrat, garis garis fibrotik, kalsifikasi,
kavitas maupun atelektasis dan emfisema.1

Gambar 2. Tuberkulosis Yang Sudah Lanjut Pada Foto Rontgen Dada

VIII. DIAGNOSTIK TUBERKULOSIS


Diagnosis TB paru ditegakkan berdasarkan diagnosis klinis, dilanjutkan
dengan pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan radiologis.
Menurut American Thoracic Society dan WHO 1964 diagnosa pasti tuberkulosis paru
adalah dengan menemukan kuman mikobakterium tuberkulosis dalam sputum atau
jaringan paru secara biakan.1
Diagnosis tuberkulosis paru pada orang dewasa dapat ditegakkan dengan
ditemukannya BTA Positif pada pemeriksaan dahak secara mikroskopis. Hasil
pemeriksaan dinyatakan positif apabila sedikitnya dua dari tiga spesimen hasilnya
positif. Bila hanya satu spesimen yang positif perlu diadakan pemeriksaan lebih lanjut
yaitu foto rontgen dada atau pemeriksaan dahak sewaktu, pagi, sewaktu (SPS)
diulang :3
a. Kalau hasil rontgen mendukung tuberkulosis paru, maka penderita didiagnosis
sebagai penderita tuberkulosis paru BTA Positif.

19
b. Kalau hasil rontgen tidak mendukung tuberkulosis paru, maka pemeriksaan dahak
ulangi dengan SPS lagi. Apabila fasilitas memungkinkan maka dapat dilakukan
pemeriksaan biakan. Bila tiga spesimen dahak hasilnya negatif, diberikan
antibiotik spektrum luas (misal: kotrimoksasol atau amoksisillin) selama 1 2
minggu, bila tidak ada perubahan, namun gejala klinis tetap mencurigakan
tuberkulosis paru, ulangi pemeriksaan dahak SPS.
Kalau hasil SPS positif, maka didiagnosis sebagai penderita tuberkulosis paru BTA
positif.
Kalau hasil SPS tetap negatif, dilakukan pemeriksaan foto rontgen dada, untuk
mendukung diagnosis tuberkulosis paru.
1) Bila hasil rontgen mendukung tuberkulosis paru, di diagnosis sebagai
penderita tuberkulosis paru BTA negatif rontgen positi
2) Bila hasil rontgen tidak mendukung tuberkulosis paru, penderita tersebut
bukan tuberkulosis paru.

IX. PENGOBATAN
Obat yang digunakan untuk tuberkulosis digolongkan atas 2 kelompok yaitu
kelompok obat lini pertama dan obat lini kedua. Kelompok obat lini pertama yaitu
isoniazid, rimfapisin, etambutol, pirazinamid dan streptomisin, memperlihatkan
efektifitas yang tinggi dengan toksisitasi yang dapat diterima. Sedangkan antibiotik
lini kedua yang digunakan yaitu antibiotik dengan golongan florokuinolon
(siprofloksasin, ofloksasin, levoofloksasin), sikloerin, etionamid, amikasin,
kanamisin, kapreomisin, dan paraamino salisilat.7
Tujuan pengobatan tuberkulosis adalah memusnahkan basil tuberkulosis
dengan cepat dan mencegah kekambuhan. Selain itu, bertujuan untuk mengurangi
transmisi TB kepada orang lain dan mencegah/menghambat resistensi TB terhadap
pengobatan.7
Adapun OAT lini pertama yang digunakan yaitu:6
a) Isoniasid ( H )

20
Dikenal dengan INH, bersifat bakterisid, dapat membunuh 90 % populasi
kuman dalam beberapa hari pertama pengobatan. Obat ini sanat efektif terhadap
kuman dalam keadaan metabolik aktif yaitu kuman yang sedang berkembang. Dosis
harian yang dianjurkan 5 mg/kk BB, sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali
seminggu diberikan dengan dosis 10 mg/kg BB.

b) Rifampisin ( R )
Bersifat bakterisid dapat membunuh kuman semi dormant ( persister ) yang
tidak dapat dibunuh oleh isoniasid dosis 10mg/kg BB diberikan sama untuk
mengobatan harian maupun intermiten 3 kal seminggu.

c) Pirasinamid ( Z)
Bersifat bakterisid dapat membunuh kuman yang berada dalam sel dengan
suasana asam. Dosis harian yang dianjurkan 25mg/kg BB, sedangkan untuk
pengobatan intermiten 3 kali seminggu diberikan dengan dosis 35 mg/kg BB.

d) Streptomisin ( S)
Bersifat bakterisid . Dosis harian yang dianjurkan 15 mg/kg BB sedangkan
untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu digunakan dosis yang sama penderita
berumur sampai 60 tahun dasisnya 0,75 gr/hari sedangkan unuk berumur 60 tahun
atau lebih diberikan 0,50 gr/hari.

e) Etambutol ( E)
Bersifat sebagai bakteriostatik. Dosis harian yang dianjurkan 15 mg/kg BB
sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu digunakan dosis 30
mg/kg/BB.

21
Tabel 1. Jenis, sifat dan dosis OAT 2

Pemilihan Obat TB
Ada dua prinsip pengobatan tuberkulosis yaitu paling sedikit menggunakan 2
obat dan pengobatan harus berlangsung setidaknya 3-6 bulan setelah sputum negatif
untuk tujuan sterilisasi dan mencegah kekambuhan. Pengobatan tuberkulosis paru-
paru hampir selalu menggunakan tiga obat INH, Rifampisin, dan Pirazinamid pada
dua bulan pertama selama tidak ada resistensi terhadap satu atau lebih anti
tuberkulosis ini.7
Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan:2
Tahap awal (intensif)
Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi
secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.
Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien
menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.
Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam
2 bulan.
Tahap Lanjutan
Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam
jangka waktu yang lebih lama

22
Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga mencegah
terjadinya kekambuhan
Paduan OAT Di Indonesia
WHO merekomendasikan paduan OAT StandarYaitu :6
Kategori 1 :
2HRZE / 4 H3R3
2HRZE / 4 HR
2HRZE / 6 HE
Kategori 2:
2HRZES / HRZE /5H3R3E3
2HRZES / HRZE / 5HRE
Kategori 3:
2HRZ / 4H3R3
2 HRZ / 4 HR
2HRZ / 6 HE
Program Nasional Penanggulangan TBC di Indonesia menggunakan paduan OAT:
Kategori 1 : 2 HRZE / 4H3R3
Kategori 2 : 2HRZES / HRZE / 5H3R3E3
Kategori 3 : 2 HRZ / 4H3R3
Disamping ketiga kategori ini disediakan paduan obat sisipan (HRZE) Paduan
OAT ini disediakan dalam bentuk paket kombipak dengan tujuan untuk memudahkam
pemberian obat danmenjamin kelangsungan (kontinuitas) pengobatan sampai selesai
satu paket untuk satu penderita dalam satumasa pengobatan.
a) Kategori-1 (2HRZE / 4H3R3)
Tahap intensif terdiri dari Isoniasid (H), Rifampisin (R), Pirasinamid (Z) dan
Etambutol (E) Obat-obat tersebut diberikan setiap hari selama 2 bulan (2HRZE).
Kemudian diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri dari isoniasid (H) dan
Rifampisin (R) diberikan tiga kali dalam seminggu selama 4 bulan (4H3R3 ).

23
Obat ini diberikan untuk :
Penderita baru TBC Paru BTA Positif
Penderita TBC Paru BTA negatif Rontgen positif yang sakit berat dan
Penderita TBC Ekstra Paru berat.

b) Kategori-2 (2HRZES/HRZE/5H3R3E3)
Tahap intensif diberikan selama 3 bulan yang terdiri dari 2 bulan dengan
Isoniasid (H), Rifampisin (R), Pirasinamid (Z),dan Etambutol (E) setiap hari. Setelah
itu diteruskan dengan tahap lanjutan selama 5 bulan dengan HRE yang diberikan tiga
kali dalam seminggu. Perlu diperhatikan bahwa suntikan streptomisin diberikan
setelah penderita selesai menelan obat.
Obat ini diberikan untuk :
Penderita kambuh ( relaps )
Penderita Gagal ( failure )
Penderita dengan Pengobatan setelah lalai ( after default )

24
Satu paket kombipak kategori 2 berisi 156 blister harian yang terdiri dari 90
blister HRZE untuk tahap intensif dan 66 blister HRE untuk tahap lanjutan masing-
masing dikemas dalam dos kecil dan disatukan dalam 1 dos besar disamping
itudisediakan 30 vial streptomicin @ 1,5 gr dan pelengkap pengobatan (60 spoit dan
aquadest) untuk tahap intensif.

c) Kategori-3 (2HRZ/4H3R3)
Tahap intensif terdiri dari HRZ diberikan setiap hari selama 2 bulan (2HRZ)
diteruskan dengan tahap lanjutan terdiri dari HR selama 4 bulan diberikan 3 kali
seminggu (4H3R3).
Obat ini diberikan untuk :
Penderita baru BTA negatif dan rontgen positif sakit ringan
Penderita ekstra paru ringan yaitu TBC kelenjar limfe (limfadenitis) pleuritis
eksudativa unilateral TBC kulit, tbctulang (kecuali tulang belakang) sendi dan
kelenjar adrenal.

25
Satu paket kombipak kategori 3 berisi 114 blister harian yang terdiri dari 60
blister HRZ untuk tahap intensif dan 54 bliter HR untuk tahap lanjutan masing
masing di kemas dalam dos kecil dan disatukan dalam 1 dos besar
d) OAT Sisipan ( HRZE)
Bila pada akhir tahap intensif pengobatan penderita baru BTA positif dengan
kategori 1 atau penderita BTA positif pengobatan ulang dengan kategori 2 hasil
pemeriksaan dahak masih BTA positif diberikan obat sisipan (HRZE) setiap hari
selama 1 bulan.

Obat Anti Tuberkulosis Fixed-Dose Combination (OAT FDC).


Obat anti tuberkulosis fixed-dose combination atau disingkat dengan OAT
FDC (sering disebut FDC saja) adalah tablet yang berisi kombinasi beberapa jenis
obat anti TBC dengan dosis tetap.8

JENIS TABLET FDC


Jenis-jenis tablet FDC untuk dewasa :8
Tablet yang mengandung 4 macam obat dikenal sebagai tablet 4FDC. Setiap
tabletmengandung:
75 mg Isoniasid (INH)
150 mg Rifampisin.
400 mg Pirazinamid
275 mg Etambutol.

26
Tablet ini digunakan untuk pengobatan setiap hari dalam tahap intensif dan untuk
sisipan.
Jumlah tablet yang digunakan disesuaikan dengan berat badan penderita.
Tablet yang mengandung 2 macam obat dikenal sebagai tablet 2FDC.
Setiap tablet mengandung:8
150 mg Isoniasid (INH).
150 mg Rifampisin
Tablet ini digunakan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu dalam tahap
lanjutan. Jumlah tablet yang digunakan disesuaikan dengan berat badan penderita.
Disamping itu, tersedia obat lain untuk melengkapi paduan obat kategori 2, yaitu:8
Tablet Etambutol @ 400 mg,
Streptomisin injeksi, vial @ 750 mg atau vial @ 1 gr
Aquadest.

PADUAN OAT FDC


Paduan pengobatan OAT-FDC terdiri dari :8
1. Kategori 1 : 2 (HRZE) / 4 (HR)3
1.1. Kategori 1 diberikan kepada:
Penderita baru TBC Paru BTA positif
Penderita baru TBC Paru BTA negatif/Rontgenpositif (ringan atau berat)
Penderita TBC Ekstra Paru (ringan atau berat).
Pemeriksaan dahak harus tetap dilakukan karena penting untuk evaluasi
pelaksanaan programpenanggulangan tuberkulosis.
Dosis Untuk Kategori 1 : 2(HRZE) / 4(HR)3

27
2. Kategori 2 : 2(HRZE)S /1(HRZE) / 5(HR)3E3
2.1. Kategori 2 diberikan kepada:8
penderita TBC BTA positif Kambuh
penderita TBC BTA positif Gagal
penderita TBC berobat setelah lalai (treatment after default) yang kembali
dengan BTA positif.
2.2. Dosis Kategori 2.
Dosis disesuaikan Berat Badan.

Dosis Untuk Kategori 2 : 2(HRZE)S / 1(HRZE) / 5(HR)3E3

28
3. OAT sisipan : 1(HRZE)
OAT sisipan diberikan :8 Bila pada akhir tahap intensif pengobatan pada
penderita BTA positif tidak terjadi konversi, maka diberikan obat sisipan 4 FDC
(HRZE) setiap hari selama 28 hari dengan jumlah tablet setiap kali minum sama
dengan sebelumnya.

PEDOMAN PEMBUATAN PAKET INDIVIDU PENGOBATAN PENDERITA


TBC DENGAN OAT-FDC

Kat.1 : 2HRZE / 4(HR)3


- Penderita Baru TBC Paru BTA Positif
- Penderita Baru TBC Paru BTA Negatif, Ro positif
- Penderita Ekstra Paru
Kat.2 : 2HRZES / 1HRZE / 5 (HR)3E3
- Penderita TBC Paru BTA Positif Kambuh

29
- Penderita TBC Paru BTA Positif Gagal
- Penderita TBC defaulter yg kembali dengan BTA positif
Sisipan : 1HRZE
- Penderita TBC Paru BTA pos yg tidak mengalami
konversi pada akhir tahap intensif
Note :
- Dosis Streptomisin untuk penderita usia > 60 th : 500 mg

X. Komplikasi
Komplikasi berikut sering terjadi pada penderita stadium lanjut :3
a. Hemoptisis berat (Perdarahan dari saluran napas bawah) yang dapat
mengakibatkan kematian karena syok hipovolemik atau tersumbatnyajalan nafas.
b. Kolaps dari lobus akibat retraksi bronchial
c. Bronkiektasis (Pelebaran bronkus setempat) dan fibrosis (pembentukan jaringan
ikat pada proses pemulihan atau reaktif) pada paru.
d. Pneumothoraks(Adanya udara di dalam rongga pleura) spontan, kolap spontan
karena kerusakan jaringan.
e. Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, persendian, ginjal, dan
sebagainya.

30
DAFTAR PUSTAKA

1. Bahar A, Amin Z. Tuberkulosis Paru. Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V. Jakarta:


Balai penerbit FKUI. 2009; p. 2230- 39.
2. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2007. Pedoman Nasional
Penanggulangan Tuberkulosis. Edisi 2 Cetakan pertama. Jakarta
3. Ruswanto B.Analisis spasial sebaran kasus Tuberkulosis paru ditinjau dari
faktor Lingkungan dalam dan luar rumahDi kabupaten pekalongan.2010.
Available
forhttp://eprints.undip.ac.id/23875/1/BAMBANG_RUSWANTO.pdf. (Cited
26/05/2013).
4. Hudoyo A. Jurnal Tuberkulosis Indonesia. 2012. Available
forhttp://ppti.info/ArsipPPTI/PPTI-Jurnal-Maret-2012.pdf 7. Cited
26/05/2013.
5. Daniel, M. Thomas. 1999. Harrison : Prinsip-Prinsip Ilmu penyakit dalam
Edisi 13 Volume 2. Jakarta : EGC : 799-808
6. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2002. Pedoman Nasional
Penanggulangan Tuberkulosis. Cetakan ke 8. Jakarta.
7. Istiantoro YH, Setiabudy R. Tuberkulostatik dan Leprostatik. Farmakologi
dan Terapi. Edisi V. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2011; p. 613- 32
8. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2004.Petunjuk Penggunaan Obat
Anti Tuberkulosis Fixed Dose Combination(OAT-FDC). Edisi 1. Jakarta.

31

Anda mungkin juga menyukai