Anda di halaman 1dari 4

RUMAHKU SEHAT, BUMIKU SELAMAT

Tak peduli mewah atau kumuh, banyak orang percaya (mungkin termasuk Anda), rumah
adalah segalanya. Di sini penat disunat, canda dilepas, dan persoalan rumah tangga
dipecahkan.

Tapi, apakah masih berarti segala-galanya, jika rumah yang dibanggakan ternyata kaya
polusi dan sumber depresi? Hati-hati, sikap cuek Anda tak hanya merugikan diri sendiri,
tapi juga menyimpan petaka buat planet Bumi!

Mulailah dari pekarangan, dan rasakan imbas segarnya hingga ke kediaman

Begitulah kenyataannya. Selama ini kalangan industri melulu disalahkan terhadap


bolongnya ozon dan polusi udara. Padahal, kalau mau jujur, andil rumah tangga dalam
menciptakan bencana serupa tak kurang faktanya. Pemakaian pembersih lantai aerosol,
pestisida maupun penyejuk ruangan misalnya, diketahui berpotensi menyebarkan
senyawa beracun yang sangat berbahaya.

Memang, kuantitas racun yang dihasilkan masing-masing rumah tangga tak seberapa.
Tapi coba gabungkan dengan miliaran keluarga lainnya di seluruh dunia. Boleh jadi,
kemampuannya dalam menaikkan pemanasan global akan luar biasa.

Hutan sintetis

Sama dengan tubuh Anda, rumah juga punya organ dalam dan luar. Istilah kerennya,
interior dan eksterior. Aspek interior meliputi ruangan, perabotan serta aktivitas penghuni
rumah. Sementara eksterior berhubungan dengan pengelolaan pekarangan, taman, dan
lingkungan.

Keduanya bisa disebut dwitunggal yang tak bisa dipisahkan, ujar Edy Utoyo, arsitek
yang mantan sekjen Ikatan Arsitek Indonesia (IAI). Karena sebuah lingkungan bisa
disebut sehat, jika berhasil membawa dampak positif buat rumah-rumah di sekitarnya.
Sebaliknya, untuk menjaga agar rumah tetap sehat, dibutuhkan lingkungan yang
mendukung.

Bicara soal rumah sehat, mestinya kita berkaca pada, maaf ... hewan. Yang namanya
rayap saja, selalu berorientasi pada matahari dan tenaga panas Bumi untuk mengontrol
suhu gundukan tanah yang menjadi tempatnya bermukim. Massa termal Bumi yang
jumlahnya tak terbatas juga dimanfaatkan tikus untuk menunda dampak perubahan iklim
terhadap lubangnya.

Masih belum puas? Ada lho binatang khas Australia, namanya wombat (badannya
berkantung, mirip beruang kecil) yang sengaja menggali lubang sedalam 1 - 1,5 m di
musim panas. Tujuannya untuk mengurangi hawa gerah. Jelas sudah, arsitektur rumah
berkonsep sehat dan nyaman telah masuk dalam perhitungan hewan-hewan yang disebut
tadi.
Betul kata Sydney dan Joan Bags dalam bukunya, The Healthy House, bahwa manusia
mestinya lebih jago soal ini. Meski dalam sejarah purbakala, nenek moyang kita juga
pernah tinggal di kungkungan tanah liat (Mesir, Yunani, Italia). Sementara orang Cina
memakai campuran lempung dan tanah yang ditumbuk.

Kini, bahan-bahan tadi tak banyak digunakan lagi, berganti menjadi material sintetis nan
modern seperti beton, baja, kaca, dan plastik. Belum lagi berbagai perabotan yang juga
artifisial. Padahal, seperti belakangan terbukti, bahan-bahan tadi berpotensi membawa
derita berkepanjangan. Di tengah hutan sintetis, tingkat kelembaban menjadi sangat
rendah, bahkan cenderung kering. Kalau berlarut-larut, penghuninya bisa terkena
gangguan (sakit) tenggorokan, mudah haus, penyumbatan rongga hidung hingga sesak
napas.

Di daerah tropis seperti Indonesia, banyak yang mengakali ketidakenakan ini dengan
menginstal air conditioner (AC). Sejatinya, AC bertugas mengubah suhu dan uap air
sehingga ruangan menjadi nyaman. Dia mengurangi kelebihan uap air jika kondisi terlalu
lembab serta menambahkannya jika kurang. Pinter, kan?

AC dingin belum tentu sehat, terutama jika ada fungsi utama yang tersunat. Tapi naluri
para pedagang AC lebih pintar lagi. Dulu, kedua fungsi tersebut masih berjalan dengan
baik. Namun belakangan, produsen lebih mementingkan kemampuan mendinginkan,
tanpa peduli pada kelembaban. Akibatnya, sakit kepala dan tubuh lesu, karena tidak
seimbangnya kadar karbondioksida di udara.

Alat penyejuk udara yang menggunakan air (AC air) pun tak kalah risikonya. Dia butuh
perawatan teratur, terutama terhadap spora, virus, serta bakteri di dalam air. Kalau tak
rajin, bakteri dan kawan-kawannya dapat menjadi sumber alergi, infeksi serius, dan
keracunan. Sialnya, udara yang buruk tadi sering diputar kembali, sehingga prosesnya
mirip menyebarkan virus dan bakteri ke udara.

Bahaya lainnya, fan air berpotensi mengundang Legionnare atau Legionella pneumophili.
Air yang semula ditujukan untuk membantu menyejukkan ruangan, setelah kipas berputar
cukup lama, suhunya jadi menghangat. Sedangkan organisme ini berkembang biak
dengan baik di air hangat. Peningkatan suhu tubuh, batuk, nyeri otot, menggigil, sakit
pada dada dan perut, serta diare adalah dampak merasuk legiun bakteri ini. Awas!
Perokok dan peminum minuman keras termasuk calon pasien paling rentan. Lebih
mengerikan, penderitanya bisa tamat dalam 24 - 48 jam! Weleh, weleh.

Tak hanya udara kering yang bermasalah, terlalu lembab pun memunculkan problem. Di
daerah tropis, banyak jamur yang perkembangannya sangat cepat di ruang berventilasi
kurang, seperti gudang dan lemari pakaian. Nah, jamur ini merupakan penyebab utama
alergi bagi orang sensitif. Juga sanggup membusukkan berbagai bahan dan mengubahnya
menjadi gas beracun.

Lawan dengan dilusi


Bagaimana dengan bahan-bahan bangunan? Aha, diam-diam, yang satu ini pun
berpotensi jadi sumber wara-wirinya jamur, spora, dan racun di udara. Poliuretan yang
banyak digunakan untuk bahan atap, mebel, dan penyekat ruangan, disinyalir sebagai
penghasil sianat. Sedangkan melamin yang kerap digunakan sebagai lapisan kitchen set,
banyak yang mengandung formaldehid. Semuanya senyawa kaya racun.

Ada juga arsenik yang kerap digunakan untuk menempel wallpaper. Setelah diselidiki,
lem itu ternyata menghasilkan gelatin yang punya kemampuan menumpuk jamur
Scopulariopsis brevicaulis. Dalam kelembaban tinggi, jamur ini berkembang biak makin
subur dan berubah menjadi gas mematikan, seperti tryhydride dan phosphine, arsine, dan
stibine.

Tapi jangan dulu pesimistis. Dengan berbagai masalah tadi, bukan berarti mimpi
memiliki rumah sehat jauh di awang-awang. Mulailah dengan mengatur sirkulasi udara.
Menambah ventilasi mungkin bisa jadi jalan keluar. Usahakan setiap ruangan
mempunyai ventilasi tempat masuknya udara segar. Kalau perlu, pasang lubang exhaust,
tulis John dan Lynn Bower di situs Healthy House Institute.

Menurut mereka, cara paling gampang menghalau polusi memang dengan dilusi, yakni
memasukkan udara ke dalam ruangan. Selain ventilasi, udara segar juga bisa masuk
dengan menyelipkan bahan-bahan transparan (tembus sinar matahari) di atap. Cara ini tak
hanya membantu sirkulasi udara, tapi juga hemat listrik, karena jasa penerangan bisa
dikurangi. Perhatian lebih harus diberikan pada daerah-daerah rawan, seperti dapur,
gudang, serta kamar mandi.

Satu lagi yang tak kalah penting, Buat ventilasi dengan sistem silang, urai Edy Utoyo.
Maksudnya, lubang keluar dan masuknya udara dibedakan. Teknik membuat jendela jenis
ini bisa dikorek dari para arsitek, karena jenis bahan dan ragam desainnya. Dengan cara
ini, penyedot exhaust bisa dihindari.

Bagaimana dengan kualitas material? Ah, tampaknya kita mesti bersabar. Tuntutan
terhadap penggunaan bahan bangunan yang aman baru gencar terdengar di negara-negara
maju. Pemerintah Jerman contohnya, sudah sejak 1980 mengenakan simbol khusus untuk
menandai produk bangunan ramah lingkungan dan aman buat kesehatan. Dengan total
kandungan bahan organik berbahayanya (TVOC) tidak melebihi 15%.

Namun intinya, material sehat adalah bahan yang bisa menyerap uap air di udara dan
melepaskannya lagi. Material yang disebut juga bahan higroskopis ini biasanya
mengandung kelembaban moderat, antara 40 - 60%. Contoh barangnya antara lain kayu
lunak, plester semen yang berpori, cat yang bersifat alami, wallpaper terbuat dari kertas
serta perabot terbuat dari serat alam.

Rumah H. Yoyo Mochtar, finalis Lomba Rumah Sehat SeKota Bekasi mungkin bisa jadi
contoh bagaimana penataan lingkungan dan interior erat berkaitan. Kediaman warga asli
Betawi ini, pekarangannya (227 m2) ditanami sekitar 109 jenis tumbuhan, mulai tanaman
obat, buah, hingga sayuran. Bahkan ada juga kolam ikan.
Bukan cuma mendapat kesegaran, rumah yang terletak di bilangan Kranji, Bekasi itu
pada akhirnya memberi juga pilihan hidup mandiri buat H. Yoyo. Kalau lagi enggak
punya duit, buah-buahan, sayuran, dan ikannya bisa dimanfaatkan, ucapnya sambil
tertawa. Kepada Intisari Yoyo mengakui, Niat awalnya cuma pingin punya rumah yang
adem. Itu sebabnya, yang digarap pekarangan duluan, imbuhnya.

Ternyata, segarnya pekarangan berimbas positif terhadap bangunan tempat tinggalnya


yang bertipe 58. Jadi enggak terlalu repot mengatur sirkulasi udaranya, cerita Yoyo.
Secara tak langsung, ini mengukuhkan sebuah penelitian di Amerika Serikat, bahwa
kelompok rumah yang berlingkungan dan halaman tertata baik, hijau nan asri mempunyai
persentase kesehatan penghuni jauh lebih baik ketimbang kompleks miskin tanaman.

Nah, jika interior dan eksterior istana Anda sudah mumpuni, ajaklah tetangga
bergotong-royong untuk menciptakan kompleks hunian yang segar. Berarti secara tak
langsung, bersama rumah-rumah sehat lainnya di belahan pulau, samudera, bahkan benua
lain, Anda telah ikut menyelamatkan Bumi.

Hebat, kan?

Anda mungkin juga menyukai