Anda di halaman 1dari 16

I.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Di Indonesia penyakit ini mulai menjalar dengan perkembangan


penularan yang cukup cepat. Tidak dapat disangkal bahwa mata rantai
penularan infeksi menular seksual adalah wanita tunasusila (WTS) yang
dapat menyusup dalam kehidupan rumah tangga. Perubahan perilaku
seksual telah menyebabkan timbunya berbagai masalah yang berkaitan
dengan infeksi menular seksual dan kehamilan yang tidak dikehendaki.
Bila penyakit infeksi menular seksual sebagian besar dapat diselesaikan
dengan pengobatan yang tepat sehingga tidak menimbulkan penyulit
selanjutnya, berbeda dengan kehamilan yang tidak dikehendaki. Masalah
terakhir ini mempunyai dampak yang lebih luas baik biologis, psikologis,
sosial, spiritual, dan etika. Penyakit infeksi menular seksual dapat
menimbulkan infeksi akut (mendadak) yang memerlukan penanganan
yang tepat karena akan dapat menjalar ke alat genitalia bagian dalam (atas)
dan menimbulkan penyakit radang panggul. Pengobatan yang kurang
memuaskan akan menimbulkan penyakit menjadi menahun (kronis)
dengan akibat akhir rusaknya fungsi alat genitalia bagian dalam sehingga
menimbulkan kurang subur atau mandul.

Dalam pertemuan di Atlanta USA tentang penyakit hubungan


seksual, menyatakan bahwa mata rantai yang ditularkan oleh WTS tidak
dapat dihilangkan tetapi hanya mungkin diperkecil peranannya. Dengan
diketemukannya penyakit AIDS yang disebabkan oleh virus dan sampai
sejauh ini belum ada pengobatannya, maka masyarakat akan lebih berhati-
hati. Secara kelakar disebut pula bahwa PID adalah pretty international
diseases, oleh karena disebar luaskan oleh wanita cantik yang berstatus
sebagai wanita tunasusila (WTS) atau wanita penghibur. Dalam upaya
meningkatkan pemahaman remaja tentang kesehatan reproduksi,
menjadikan remaja tegar dalam menghadapi masalah dan mampu
mengambil keputusan terbaik bagi dirinya, maka pelayanan konseling
sangat diperlukan remaja. Meskipun kepedulian pemerintah, masyarakat
maupun LSM dalam memperluas penyediaan informasi dan pelayanan
kesehatan reproduksi sudah semakin meningkat, namun dalam akses
pemberian pelayanan konseling masih terbatas. Hal ini antara lain
disebabkan keterbatasan jumlah fasilitas pelayanan konseling bagi remaja
yang terbatas.Disamping itu, kemampuan tenaga konselor dalam
memberikan konseling kepada remaja di pusat-pusat pelayanan informasi
dan konsultasi kesehatan reproduksi remaja juga masih terbatas. Atas dasar
itulah maka guna mendukung kemampuan SDM dalam melakukan
konseling kesehatan reproduksi remaja perlu disiapkan tenaga yang terlatih
melalui workshop konseling kesehatan reproduksi remaja.

B. Tujuan
1. Untuk mengetahui prevalensi penderita HIV/AIDS dan penyakit
infeksi menular seksual pada subjek dengan faktor risiko.
2. Untuk memberikan informasi tentang penyakit HIV/AIDS dan
penyakit infeksi menular seksual.
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. HIV/AIDS
1. Definisi
HIV atau Human Immunodeficiency Virus, adalah virus yang
menyerang system kekebalan tubuh manusia dan kemudian
menimbulkan AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome). AIDS
dapat diartikan sebagai kumpulan gejala atau penyakit yang
disebabkan oleh menurunnya kekebalan tubuh akubat infeksi HIV.
AIDS merupakan tahap akhir dari infeksi HIV (Djoerban, 2012).
2. Etiologi
Virus HIV yang termasuk dalam famili retrovirus genus lentivirus
diketemukan oleh Luc Montagnier, seorang ilmuwan Perancis
(Institute Pasteur, Paris 1983), yang mengisolasi virus dari seorang
penderita dengan gejala limfadenopati, sehingga pada waktu itu
dinamakan Lymphadenopathy Associated Virus (LAV). Gallo
(national Institute of Health, USA 1984) menemukan Virus HTLV-III
(Human T Lymphotropic Virus) yang juga adalah penyebab AIDS.
Pada penelitian lebih lanjut dibuktikan bahwa kedua virus ini sama,
sehingga berdasarkan hasil pertemuan International Committee on
Taxonomy of Viruses (1986) WHO member nama resmi HIV. Pada
tahun 1986 di Afrika ditemukan virus lain yang dapat pula
menyebabkan AIDS, disebut HIV-2, dan berbeda dengan HIV-1 secara
genetic maupun antigenic. HIV-2 dianggap kurang patogen
dibandingkan dengan HIV-1. Untuk memudahkan, kedua virus itu
disebut sebagai HIV saja (Merati, 2006).
3. Penegakkan diagnosis
a. Gejala klinis
Diagnosis HIV AIDS dapat ditegakkan berdasarkan
klasifikasi klinis WHO dan atau CDC. Di Indonesia diagnosis
HIV AIDS untuk keperluan surveilans epidemiologi dibuat bila
menunjukkan tes HIV positif dan sekurang-kurangnya didapatkan
2 gejala minor dan satu gejala mayor (Nasronuddin, 2007)
1) Gejala Mayor
a) Berat badan menurun lebih dari 10 % dalam 1 bulan
b) Diare kronis yang berlangsung lebih dari 1 bulan
c) Demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan
d) Penurunan kesadaran dan gangguan neurologis
e) Ensefalopati HIV
2) Gejala Minor
a) Batuk menetap lebih dari 1 bulan
b) Dermatitis generalisata
c) Herpes zoster multisegmental berulang
d) Kandidiasis orofaringeal
e) Herpes simpleks kronis progresif
f) Limfadenopati
g) Infeksi jamur berulang pada alat kelamin wanita
h) Retinitis oleh virus sitomegalo
b. Pemeriksaan penunjang
1) ELISA (enzyme-linked immunoabsorbent assay)
Tes skrining yang digunakan untuk mendiagnosis HIV
adalah ELISA (enzyme-linked immunoabsorbent assay).
Untuk mengidentifikasi antibodi terhadap HIV, tes ELISA
sangat sensitif, tapi tidak selalu spesifik, karena penyakit lain
juga bisa menunjukkan hasil positif sehingga menyebabkan
false positif, diantaranya penyakit autoimun ataupun karena
infeksi.16 Sensivitas ELISA antara 98,1%-100% dan dapat
mendeteksi adanya antibodi terhadap HIV dalam darah (Lan,
2006).
2) Western Blot Western Blot memiliki spesifisitas (kemampuan
test untuk menemukan orang yang tidak mengidap HIV)
antara 99,6% - 100%. Namun pemeriksaannya cukup sulit,
mahal dan membutuhkan waktu sekitar 24 jam.30 Tes
Western Blot mungkin juga tidak bisa menyimpulkan
seseorang menderita HIV atau tidak. Oleh karena itu, tes
harus diulangi setelah dua minggu dengan sampel yang sama.
Jika test Western Blot tetap tidak bisa disimpulkan, maka test
Western Blot harus diulangi lagi setelah 6 bulan (Lan, 2006).
3) PCR (Polymerase chain reaction)
PCR untuk DNA dan RNA virus HIV sangat sensitif dan
spesifik untuk infeksi HIV. Tes ini sering digunakan bila hasil
tes yang lain tidak jelas (Lan, 2006).
4) Tes darah
Tes untuk mengetahui antibodi HIV pertama tersedia
pada 1985. Baru setelah tes dapat diperoleh, muncul berbagai
pertanyaan tentang bagaimana cara memakai tes tersebut.
Umumnya, orang dapat dibagi dalam dua kubu: mereka yang
setuju dengan tes secara sukarela dan mereka yang
mengusulkan tes wajib. Gagasan wajib melakukan tes ditolak
oleh sebagian besar negara akibat biaya dan masalah logistik
yang terkait.3 Tiga negara yang mewajibkan tes adalah Kuba
(75 persen warga dites), Bulgaria (45 persen dites) dan bekas
Uni Soviet (30 persen) (Lan, 2006).
HIV tidak ditularkan melalui hubungan biasa sehari-hari
(yaitu, bukan virus yang diangkut udara) tetapi melalui
perilaku tertentu, tes wajib untuk seluruh penduduk dilihat
sangat mahal, secara ilmiah tidak dapat dibenarkan, dan dapat
menimbulkan perlakuan tidak adil. Di negara lain, kelompok
tertentu dijadikan sasaran, sering kali tanpa persetujuan dari
yang bersangkutan. Kelompok ini mencakup narapidana,
pekerja seks, pengguna narkoba dalam tempat pemulihan, dan
wanita hamil (Lan, 2006).

B. Gonorrhea
1. Definisi
Gonorrhoeae adalah penyakit kelamin yang pada permulaannya
keluar cairan putih kental berupa nanah dari OUE (orifisium uretra
eksternum) sesudah melakukan hubungan kelamin (Siregar, 2004).
2. Etiologi
Penyebab penyakit gonorrhoeae adalah Gonokokus yang
ditemukan oleh Neissr pada tahun 1879, dan kemudian baru
ditemukan pada tahun 1982. Setelah ditemukan kemudian kuman
tersebut dimasukan dalam grup Neisseria dan pada grup ini dikenal 4
spesies dan diantaranya adalah N. gonorrhoeae, N. meningitidis
dimana kedua spesies ini bersifat patogen. Kemudian 2 spesies lainnya
yang bersifat komensel diantaranya adalah N. catarrhalis dan N.
pharyngis sicca. Keempat spesies dari grup neisseria ini sukar untuk
dibedakan kecuai dengan menggunakan tes fermentasi. Gonokokus
termasuk golongan bakteri diplokok berbentuk seperti biji kopi yang
bersifat tahan terhadap asam dan mempunyai ukuran lebar 0,8 dan
mempunyai panjang 1,6. Dalam sediaan langsung yang diwarnai
dengan pewarnaan gram, kuman tersebut bersifat gram negatif,
tampak diluar dan didalam leukosit, kuman ini tidak tahan lama di
udara bebas, cepat mati dalam keadaan kering, tidak tahan terhadap
suhu diatas 39oc, dan kuman ini tidak tahan terhadap zat desinfektan
(Djuanda, 2008); (Barakbah, 2005); (wolff, 2005).
3. Penegakkan diagnosis
Penegakan diagnosis dilakukan dengan cara yaitu anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang (Daili, 2009).
a. Anamnesis

Pertanyaan yang diajukan kepada pasien dengan dugaan


IMS gonorrhoeae meliputi:
1) Keluhan dan riwayat penyakit saat ini.
2) Keadaan umum yang dirasakan.
3) Pengobatan yang telah diberikan, baik topikal ataupun
sistemik dengan penekanan pada antibiotik.
4) Riwayat seksual yaitu kontak seksual baik di dalam maupun
di luar pernikahan, berganti-ganti pasangan, kontak seksual
dengan pasangan setelah mengalami gejala penyakit,
frekuensi dan jenis kontak seksual, cara melakukan kontak
seksual, dan apakah pasangan juga mengalami keluhan atau
gejala yang sama.
5) Riwayat penyakit terdahulu yang berhubungan dengan IMS
atau penyakit di daerah genital lain.
6) Riwayat penyakit berat lainnya.
7) Riwayat keluarga yaitu dugaan IMS yang ditularkan oleh ibu
kepada bayinya.
8) Keluhan lain yang mungkin berkaitan dengan komplikasi
IMS, misalnya erupsi kulit, nyeri sendi dan pada wanita
tentang nyeri perut bawah, gangguan haid, kehamilan dan
hasilnya.
9) Riwayat alergi obat.
b. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik yang dilakukan kepada pasien harus
memperhatikan hal penting seperti kerahasiaan pribadi pasien.
Pada pasien pria, organ reproduksi lebih mudah diraba. Mula-
mula inspeksi daerah inguinal dan raba adakah pembesaran
kelenjar dan catat konsistensi, ukuran, mobilitas, rasa nyeri, serta
tanda radang pada kulit di atasnya. Pada waktu bersamaan,
perhatikan daerah pubis dan kulit sekitarnya, adanya pedikulosis,
folikulitis atau lesi kulit lainnya. Lakukan inspeksi skrotum,
apakah asimetris, eritema, lesi superfisial dan palpasi isi skrotum
dengan hati-hati. Perhatikan keadaan penis mulai dari dasar
hingga ujung. Inspeksi daerah perineum dan anus dengan posisi
pasien sebaiknya bertumpu pada siku dan lutut (Daili, 2009).

Pada pasien wanita, pemeriksaan meliputi inspeksi dan


palpasi dimulai dari daerah inguinal dan sekitarnya. Untuk
menilai keadaan di dalam vagina, gunakan spekulum dengan
informed consent kepada pasien terlebih dahulu. Lakukan
pemeriksaan bimanual untuk menilai ukuran, bentuk, posisi,
mobilitas, konsistensi dan kontur uterus serta deteksi kelainan
pada adneksa (Daili, 2009).
c. Pemeriksaan Penunjang
Pengambilan bahan duh tubuh uretra pria, dapat dilakukan
dengan menggunakan lidi kapas yang dimasukkan ke dalam
uretra. Sedangkan pengambilan duh tubuh genital pada wanita
dilakukan dengan spekulum dan mengusapkan kapas lidi di dalam
vagina dan kemudian dioleskan ke kaca objek bersih (Daili,
2009).

C. Trikomoniasis
1. Definisi

Trikomoniasis merupakan penyakit menular seksual yang


disebabkan oleh parasit Trichomonas vaginalis. Parasit ini paling
sering menyerang wanita, namun pria dapat terinfeksi dan menularkan
ke pasangannya lewat kontak seksual. Vagina merupakan tempat
infeksi paling sering pada wanita, sedangkan uretra (saluran kemih)
merupakan tempat infeksi paling sering pada pria (Strous, 2008).

2. Etiologi

Trikomoniasis disebabkan oleh parasit Trichomonas vaginalis.


Trichomonas vaginalis ini termasuk dalam domain Eukarya, kingdom
Protista, filum Metamonada yang termasuk dalam protozoa yaitu
flagellata, Kelas Parabasilia, ordo Trichomonadida, genus
Trichomonas dan spesies Trichomonas vaginalis. Parasit ini menyebar
melalui hubungan seksual dengan orang yang sudah terkena penyakit
ini. Trikomoniasis menyerang (uretra) saluran kemih pada pria, namun
biasanya tanpa gejala, sedangkan pada wanita, trikomoniasis lebih
sering menyerang vagina. Resiko untuk terkena penyakit ini
tergantung aktivitas seksual orang tersebut (Strous, 2008).

3. Penegakkan diagnosis
Diagnosa trikomoniasis boleh ditegakkan melalui gejala klinis
namun menjadi sulit apabila pasiennya asimptomatik. Maka boleh
dilakukan pemeriksaan mikroskopik yaitu secara langsung yang
dilakukan dengan membuat sediaan dari sekret vagina. Sediaan vagina
dengan pH lebih dari 5,0 dicampurkan dengan saline normal maka
akam terlihat trokomonas yang motil dan predominan PMNs. Cara lain
adalah melalui kultur sekret vagina atau urethra pada pasien akut atau
kronik. Hasil kultur positif bila sel clue dan test bau amine positif,
hapusan saline mount atau Gram akan menunjukkan perubahan flora
bakteri vagina. Pemeriksaan serologi dan immnunologi juga boleh
dijalankan namun belum cukup sensitif untuk mendiagnosis
T.vaginalis (Parija, 2004).

D. Kandidiasis
1. Definisi
Kandidiasis vulvovaginalis atau kandidosis vulvovaginalis/
kandida vulvovaginitis adalah infeksi vagina dan atau vulva oleh
genus candida1. Dengan berbagai manifestasi klinisnya yang bisa
berlangsung akut, kronis atau episodik. Kandidosis vulvovaginalis
rekuren adalah infeksi vagina dan atau vulva yang berulang, yang
disebabkan oleh organisme yang sama minimal 4 atau lebih episode
simtomatik dalam setahun (Nwadioha, 2010).
2. Etiologi
Disebabkan oleh C.albicans, walaupun spesies non-albicans dapat
ditemukan sebagai agen penyebab Candida merupakan organisme yang
berasal dari genus Candida dari famili Cryptococcaceae, ordo
Moniliales dari filum Fungi imperfecti (Janik, 2008). Pada tahun 1877
Grawitz mengemukakan bahwa genus ini merupakan jamur dimorfik.
Martin kemudian membagi genus menjadi beberapa spesies. Telah
diketahui 163 spesies Candida, walau diketahui hanya 20 spesies yang
patogen pada manusia. Sel jamur Candida berbentuk bulat atau lonjong
dengan ukuran 2-5 u X 3-6 u hingga 2-5,5 u X 5-28,5 u.14 Jamur
membentuk hifa semu (pseudohifa) yang merupakan rangkaian
blastospora (blastokonidia) yang memanjang tanpa septa, yang juga
dapat bercabangcabang. Berdasarkan bentuk tersebut maka dikatakan
bahwa Candida menyerupai ragi (yeast like). Dinding sel Candida
terutama terdiri atas - glucan, mannan, chitin serta sejumlah protein
dan lemak. Mannan merupakan komponen antigen yang utama.
Candida dapat tumbuh pada medium dengan pH yang luas, tetapi
pertumbuhannya akan lebih baik pada pH antara 4,5 sampai dengan
6,5 (Suyoso, 2004).
3. Penegakkan diagnosis
a. Anamnesis
Pada gambaran klinis, keluhan khas dari KVV adalah
gatal/iritasi vulva dan duh tubuh vaginal/keputihan Vulva bisa
terlihat tenang, tetapi bisa juga kemerahan, udem dengan fisura,
dan dijumpai erosi dan ulserasi. Kelainan lain yang khas adalah
adanya pseudomembran, berupa plak-plak putih seperti sariawan
(thrush), terdiri dari miselia yang kusut (matted mycelia), leukosit
dan sel epitel yang melekat pada dinding vagina. Pada vagina juga
dijumpai kemerahan, sering tertutup pseudomembran putih keju.
Jika pseudomembran diambil akan tampak mukosa yang erosif.
Cairan vagina biasanya mukoid atau cair dengan butir-butir atau
gumpalan keju (cottage cheese). Namun, duh tubuh biasanya
amat sedikit dan cair, vagina dapat tampak normal. Pada
pemeriksaan kolposkopi, terdapat dilatasi atau meningkatnya
pembuluh darah pada dinding vagina atau serviks sebagai tanda
peradangan (Daili, 2009).

b. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik ditemukan duh tubuh yang sifatnya
bervariasi dari yang cair seperti air sampai tebal dan homogen
dengan noda seperti keju. Kadang-kadang sekret tampak seperti
susu basi / pecah dan tidak berbau. Ditemukan eritema dan
pembengkakan pada labia dan vulva, juga dapat ditemukan lesi
papulopustular di sekitarnya. Serviks tampak normal sedangkan
mukosa vagina tampak kemerahan. Ditemukan pH vagina < 4,5
(Neves, 2005).
Gambar 2.1. Kandidiasis vulvovaginalis

Gambar 2.2 Discharge kandidiasis vulvovaginalis

c. Pemeriksaan Penunjang

Menurut Daili (2009), pemeriksaan mikroskopik dapat dipakai


sebagai standar emas (gold standard) untuk membuktikan adanya
bentuk ragi dari kandida. Terutama sensitivitasnya pada penderita
simtomatik sama dengan biakan. Di bawah ini terdapat beberapa
metode pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan untuk
memeriksa ada tidaknya kandida
1) Pemeriksaan mikroskopik
Pulasan dari pseudomembran atau cairan vagina dijadikan
sampel lalu dilakukan pewarnaan Gram atau KOH 10%
kemudian di letakkan di bawah mikroskop cahaya. Candida
albicans akan terlihat dimorfik dengan ragi sel-sel tunas
berbentuk lonjong dan hifa. Serta dalam bentuk yang invasif
kandida tumbuh sebagi filamen, miselia, atau pseudohifa
(Schorge, Schaeffer, 2010).

Gambar 2.3. Yeast Pseudohyphae (Steece, 2011)


2) Kultur
Sampel dibiakkan pada agar Sabourauds dextrose atau agar
Nutrient. Piring agar diinkubasi pada suhu 37C selama 24-72
jam. Biakan jamur (kultur) dari sekret vagina dilakukan untuk
konfirmasi terhadap hasil pemeriksaan mikroskopik yang
negatif (false negative) yang sering ditemukan pada KVV
kronis dan untuk mengindentifikasi spesies non-Candida
albicans (Yousif, Hussien. 2010).

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil HIV dan Vaginal Swab


1. HIV dan HVC
Kelompo Jenis Pemeriksaan
k HIV HVC
1 HIV I weak -
2 - -
3 - -
4 - -
5 - -
6 - -
7 - -
8 - -
9 HIV I weak -
10 - -
11 - -
12 - -
13 - -
14 - -
15 - -
16 - -
17 - -
18 - -
19 - -
20 - -
21 - -
22 HIV I weak -
23 - -
24 - +
25 - -
26 -
27 -
28 -
29 -

2. Vaginal Swab
Kelompok Diplokokus Candida Trichomonas
1 Positif Negatif Positif
2 Positif Negatif Positif
3 Negatif Negatif Negatif
4 Negatif Negatif Negatif
5 Negatif Negatif Negatif
6 Positif Negatif Positif
7 Negatif Negatif Negatif
8 Positif Negatif Negatif
9 Negatif Negatif Negatif
10 Positif Positif Negatif
11 Negatif Negatif Negatif
12 Positif Negatif Negatif
13 Positif Negatif Negatif
14 Positif Negatif Negatif
15 Positif Negatif Negatif
16 Positif Negatif Negatif
17 Positif Negatif Negatif
18 Positif Negatif Negatif
19 Positif Negatif Negatif
20 Negatif Positif Negatif
21 Positif Negatif Negatif
22 Positif Negatif Negatif
23 Negatif Negatif Negatif
24 Positif Negatif Negatif
25 Negatif Negatif Negatif
26 Positif Negatif Negatif
27 Negatif Negatif Negatif
B. Pembahasan HIV dan Vaginal Swab

HIV dan virus-virus sejenisnya umumnya ditularkan melalui kontak


langsung antara lapisan kulit dalam (membran mukosa) atau aliran darah,
dengan cairan tubuh yang mengandung HIV, seperti darah, air mani, cairan
vagina, cairan preseminal, dan air susu ibu. Penularan dapat terjadi melalui
hubungan intim (vaginal, anal, ataupun oral), transfusi darah, jarum suntik
yang terkontaminasi, antara ibu dan bayi selama kehamilan, bersalin, atau
menyusui, serta bentuk kontak lainnya dengan cairan-cairan tubuh tersebut.
Pada praktikum kali yang kali lakukan yaitu mendeteksi adanya Adanya
Human Imuno Defisiensi Virus pada Serum Pasien. Pertama-tama yang kali
lakukan yaitu mempersiapkan alat dan bahan yang akan digunakan. Ambil
tempatkan tes device pada permukaan yang bersih dan bermutu atau
permukaan yang tinggi. Pegang penetes secara partikel teteskan 25 l
serum/plasma (50 ul whole Blood), kemudian tambahkan 40 l beffer untuk
sampel serum (80 l buffer untuk whole blood). Baca hasil setelah 10 menit.
Namun pada hasil praktikum HIV dan HCV diperoleh hasil negatif atau non
reaktif. Pemeriksaan antibody HIV dalam serum atau plasma merupakan cara
yang umum yang lebih efisien untuk menentukan apakah seseorang tak
terlindungi dari HIV fan melindungi darah dan elemen-elemen yang
dihasilkan darah untuk HIV. Perbedaan dalam sifat-sifat biologis,aktifitas
serologis, dan deretan genom, HIV 1 dan 2 positif sera dapat diidentifikasi
dengan menggunakan tes serologis dasar HIV.
Pada pemeriksaan vagina swab dilakukan pewarnaan dengan metilen blue
dan tidak ditemukan infeksi bakteri diplococcus (-), trikomonas (-) dan
candida (-). Pada hasil positif ditemukan bakteri ini menjadi faktor penyebab
terjadinya infeksi menular seksual ini tidak hanya berdampak pada diri wanita
yang menderita IMS, tetapi juga bisa menularkan kepada laki-laki sebagai
pasangan seksualnya. Sehingga istrinya berisiko tertular IMS dari suami yang
sejak dulu atau sekarang menggunakan jasa pekerja seks tanpa menggunakan
kondom. Jika si istri kelak hamil bisa ditularkan kejanin yang dikandungnya
yang menyebabkan kelainan pada janin / bayi misalnya bayi berat lahir
rendah (BBLR), infeksi bawaan sejak lahir, bayi lahir mati dan bayi lahir
belum cukup umur (Widyastuti, 2009).

IV. KESIMPULAN

Di Asia Tenggara penyakit menular seksual menjadi salah satu perhatian


utama karena pesatnya pertumbuhan kasusnya dari tahun ke tahun. HIV/AIDS,
gonorrhoeae, kandidiasis vulvovaginalis dan trikomoniasis hampir selalu menjadi
penyakit yang menduduki peringkat infeksi menular seksual terbanyak di setiap
negara. Kelompok usia dengan kejadian IMS terbanyak hampir sama di setiap
negara yaitu berkisar antara usia 15-49 tahun. Angka kejadian IMS juga rata-rata
tinggi di kelompok pekerja seks komersil dan hampir semuanya berawal dari
pendatang yang melakukan hubungan seks dengan pekerja seks komersil dan
menyebarkan penyakitnya. Dari para pekerja seks komersil itu penyakit ini
semakin berkembang.

Pada praktek lapangan pemeriksaan penderita penyakit IMS ini didapatkan


3 dari 29 subjek dengan faktor risiko mendapatkan hasil HIV-weak positif dan
beberapa bentuk bakteri penyebab IMS. Hal ini perlu ditingkatkan kewaspadaan
pada jaring penularannya, apalagi subjek berisiko ini seorang pekerja seksualb
yang memiliki peran penularan sangat tinggi. Oleh karena itu, pemerintah di
masing-masing negara mempunyai program-programnya sendiri untuk
menurunkan angka kejadian IMS di negaranya. Beberapa negara berhasil
menurunkan angka kejadiannya, tetapi di beberapa negara angka kajadiannya
terus meningkat.
DAFTAR PUSTAKA

Z. Djoerban, S. Djauri. 2012. Infeksi tropical. Hiv aids. Buku ajar Ilmu Penyakit
Dalam FKUI. Edisi IV. Jilid III. Hal. 1803-1807.
Lan, Virginia M. Human Immunodeficiency Virus (HIV) and Acquired
Immunodeficiency Syndrome (AIDS). In: Hartanto H, editor.
Patofisiologi: Konsep Klinis proses-proses Penyakit. Edisi 6. Jakarta: ECG
2006. Hal . 224.
Merati, Tuti P. 2006. Respon Imun Infeksi HIV. In : Sudoyo Aru W: editor. Buku
ajar ilmu penyalit dalam. Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen
Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Hal 545-6
Nasronuddin. HIV & AIDS Pendekatan Biologi Molekuler, Klinis, Dan Sosial.
Surabaya: Airlangga University Press; 2007. Hal. 27.
Daili, S.F., 2009. Gonore. In: Daili, S.F., et al., Infeksi Menular Seksual. 4th ed.
Jakarta: Balai Penerbitan FKUI, 65-76.
Djuanda, Adhi, Mochtar, Aisah, Siti. 2008. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.
Edisi Kelima. Jakarta : FKUI
Barakbah, J. 2005. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. Surabaya : Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga
Wolff K, Richard AJ, Dick S. 2005. fitzpatrick's color atlas and synopsis of
clinical dermatology. English: McGraw-Hill Professional.
Neves NA, Carvalho LP, Lopes AC, et al. 2005. Successful treatment of
refractory recurrent vaginal candidiasis with cetirizine plus fluconazole. J
Low Genit Tract Dis. 9(3):167-70.
Schorge, Schaffer, Halvorson, Hoffman, Bradshaw, Cunningham, 2010.
Gynecologic Infections. Dalam : Williams Obstetrics 23rd Edition. United
States of America : McGraw-Hill Companies, 49-64.
Nwadioha, Egah, Alao, Iheanacho, 2010. Risk Factors for Vaginal Candidiasis
among Women Attending Primary Health care Centers of Jos, Nigeria.
Available from :
http://www.academicjournals.org/jcmr/PDF/PDF2010/July/Nwadioha
%20et% 20al.pdf [Diakses : Tanggal 29 September 2016].

Anda mungkin juga menyukai