Anda di halaman 1dari 4

1.

Pengertian
Thaharoh menurut pengertian bahasa serarti suci atau kesucian atau
bersih/kebersihan. (A. Rahaman Ritonga dan Zainudin, Fiqih Ibadah, (Jakarta: Gaya Media
Pratama, 1997), cet. II, h. 26). Kata ini mengandung pengertian yang lebih luas yaitu
mencakup kebersihan atau kesucian dari segala kotoran yang bersifat fisik, seperti najis,
kotoran, kencing dan lain-lain yang bersifat spiritual yaitu kebersihan dari aib dan kesehatan.
Diantara kotoran yang bersifat jasmaniah adalah kotoran yang dapat dilihat, dirasa dan
diketahui dengan panca indera, sedangkan kotoran yang bersifat rohaniah adalah perbuatan
yang kotor, perbuatan keji dan bersifat kotor lainnya. (Raghib al-Ashfahani, Mu jam
Mufradat al-Fadzh al-Quran, (Bairut: Dar Fikr, t.th), h. 318).
Sedangkan menurut istilah fiqh, thaharah ialah

Menghilangkan hadas atau najis yang menghalangi (kesahihan) shalat dan


ibadah-ibadah sejenisnya dengan air, atau menghilangkan hukumnya (hadas dan
najis) dengan tanah. (Abu Jayb, Sady, Al-Qamus al- Fiqhiyah Lughatan wa
Isthilahan, (Dar al-Fikr, 1988), h. 233)
Thaharoh merupakan suatu aspek yang paling esensial sebelum seseorang melakukan
ibadah. (Ahmad Thib Raya dan Siti Musdah Mulia, Menyelami Seluk Beluk Ibadah dalam
Islam, (Bogor: Kencana, 2003) hlm. 119-120)
Menurut syara thaharoh itu ialah mengangkat atau menghilangkan penghalang yang
timbul dari hadas atau najis. (Lahmuddin Nasution, Fiqih I, Institut Agama Islam Negeri
Sumatera Utara, hlm. 9.)

2. Syarat-syarat Wajib Thaharah


1. Islam
2. Berakal
3. Baligh
4. Berhenti darah haid atau nifas
5. Telah masuk waktu shalat
6. Tidak tidur
7. Tidak lupa
8. Tidak terpaksa
9. Adanya air atau debu
10. Dapat melakukan sesuai dengan kemampuan

3. Alat-alat Thaharah (Muhammad Syamsi Abu Farhab, S. Saadah (RPAI) Rangkuman


Pengetahuan Agama Islam (Surabaya: Amelia, 2004), hlm. 17-18.)
1) Air
2) Debu
3) Batu untuk istinjak

4. Thaharah dari Najis


Thaharah memiliki empat sarana untuk bersuci, yaitu air, debu, sesuatu (kulit
binatang) yang bisa disamak dan bebatuan untuk beristinja. Sedangkan tujuan thaharah
adalah untuk berwudhu, mandi, tayammum, dan menghilangkan najis. Air dapat
dipergunakan untuk berwudhu atau mandi. Debu dapat digunakan untuk bertayamum,
sebagai ganti air dalam berwudhu atau mandi. Bangkai Kulit binatang bisa disamak
(dibersikan menjadi suci) kecuali kulit babi dan anjing serta hewan keturunan dari
keduanya. Bebatuan digunakan untuk bersuci setelah buang air kecil dan air besar. Cara
menyucikan najis berbeda-beda, tergantung jenis najisnya. Cara yang lebih banyak
dilakukan adalah mencuci atau membasuhnya dengan air, meskipun telah bersuci
menggunakan tiga batu setelah istinja misalnya. Bahkan, bila diikuti dengan air setelah
menggunakan tiga batu tersebut, maka menjadi lebih baik (afdlal). Bila ingin meringkas
dengan salah satu dari air atau batu, maka bersuci dengan menggunakan air lebih
utama. Karena air lebih bisa menghilangkan benda dan bekasnya. (Qalyubi wa
Umairah, Hasyiyata Qalyubi wa Umairah, (Bairut: Dar al-Kutub al-al-Ilmiyyah,
1997), Juz 1, Cet ke-1, h. 63)

Cara melakukan thaharah (membersihkan najis) tergantung pada jenis najis yang
mengenai suatu benda, antara lain sebagai berikut:

1. Najis mughalazah yaitu najis yang berat, yakni najis yang timbul dari anjing dan babi
atau dari keturunan keduanya. Cara mensucikannya, lebih dahulu dihilangkan
wujud najisnya, kemudian dibasuh dengan air bersih sebanyak tujuh kali, dan
salah satunya dicampur dengan tanah yang suci. Najis mutawassitah (pertengahan),
yaitu najis yang lain daripada kedua macam tersebut di atas. Najis pertengahan ini
ada terbagi atas dua bagian :
a. Najis hukmiyah, yaitu najis yang tidak terlihat (tidak nampak). Cara mencuci
najis ini cukup dengan mengalirkan air di atas benda yang terkena najis
tersebut. Apabila rupa najis ini tidak mau hilang setelah digosok-gosok, maka
dimaafkan.
b. Najis ainiyah, yaitu yang terlihat (masih ada zat, warna, dan baunya), maka
Cara mencuci najis ini hendaklah dengan dihilangkan zat, rasa, warna, dan
baunya. Adanya bau dan warna pada benda menunjukkan adanya najis di benda
tersebut, kecuali bila setelah dihilangkan dengan cara digosok dan dikucek, maka
dimaafkan.
2. Najis mukhaffah (ringan), misalnya kencing bayi laki-laki yang belum memakan
makanan lain selain ASI. cara untuk menghilangkan najis pada kencing bayi
yaitu cukup memercikan air pada pakaian yang terkena kencing bayi laki-laki jika ia
belum mengkonsumsi makanan (najis mukhaffafah), jika bayi laki-laki itu telah
mengkonsumsi makanan, maka pakaian yang terkena air kencing itu harus dicuci
(najis mutawassitah). Sedangkan jika bayi itu perempuan maka pakaian yang
terkena air kencingnya harus dicuci baik ia sudah mengkonsumsi makanan atau
belum (najis mutawassitah). (Abi Hamid bin Muhammad al-Ghazali, Ihya Ulum
al-Din, (Bairut:Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Cet. Ke-1, 2002, h. 186)
Dengan demikian cara menghilangkan dan membersihkan najis adalah
bisa dengan mencuci, membasuh, menyiram, menyiprati, dan mengusap dengan air.
Cara-cara tersebut berdasarkan ketetapan syara yang dirinci dalam beberapa hadis
shahih. Cara mencuci dan menyiram dapat dilakukan bagi semua jenis dan macam
najis bagi semua tempat, sedang mengusap dengan menggunakan dengan
beberapa batu diperbolehkan pada najis yang melekat pada kubul dan dubur (istinja).
(Muhammad bin Ibrahim, Fatwa-Fatwa tentang Wanita, Al-Fatwa Al-Jamiah Lil
Marah Ash Shalihah, Penerjemah Amin bin Yahya Al-Wazan (Jakarta: Darul
Haq,2001), h. 4)

5. Tata Cara Bersuci Bagi Orang Yang Sakit atau fraktur ekstremitas bawah
orang sakit mempunyai hukum tersendiri tentang hal ini. Syariat Islam begitu
memperhatikan hal ini karena Allah mengutus Nabi Muhammad Shallallahu alaihi
wa sallam dengan aturan yang lurus dan lapang yang dibangun atas dasar kemudahan,
seperti firman Allah:
Artinya : Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu
kesempitan [Al-Hajj : 78]

Artinya : Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran


bagimu [Al-Baqarah : 185]

Artinya : Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan


dengarlah serta taatlah dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu [At-
Taghabun : 16]

Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda. Sesungguhnya din ini mudah

Beliau juga bersabda.: Jika saya perintahkan kalian dengan suatu urusan maka
kerjakanlah semampu kalian [2]

Berdasar kaidah dasar ini maka Allah memeberi keringanan bagi orang yang
mempunyai udzur dalam masalah ibadah mereka sesuai dengan tingkat udzur yang
mereka alami, agar mereka dapat beribadah kepada Allah tanpa kesulitan, dan segala
puji bagi Allah Subhanahu wa Taala. (HR Bukhari, Kitab Iman, bab Dien itu mudah)

TATA CARA BERSUCI BAGI ORANG YANG SAKIT


1. Orang yang sakit wajib bersuci dengan air. Ia harus berwudhu jika berhadats kecil
dan mandi jika berhadats besar.

2. Jika tidak bisa bersuci dengan air karena ada halangan, atau takut sakitnya
bertambah, atau khawatir memperlama kesembuhan, maka ia boleh bertayamum.

3. Tata cara tayamum : Hendaknya ia memukulkan dua tangannya ke tanah yang suci
sekali pukulan, kemudian mengusap wajahnya lalu mengusap telapak tangannya.

4. Bila tidak mampu bersuci sendiri maka ia bisa diwudhukan, atau ditayamumkan
orang lain. Caranya hendaknya seseorang memukulkan tangannya ke tanah lalu
mengusapkannya ke wajah dan dua telapak tangan orang sakit. Begitu pula bila tidak
kuasa wudhu sendiri maka diwudhukan orang lain.

5. Jika pada sebagian anggota badan yang harus disucikan terluka, maka ia tetap
dibasuh dengan air. Jika hal itu membahayakan maka diusap sekali, caranya
tangannya dibasahi dengan air lalu diusapkan diatasnya. Jika mengusap luka juga
membahayakan maka ia bisa bertayamum.

6. Jika pada tubuhnya terdapat luka yang digips atau dibalut, maka mengusap balutan
tadi dengan air sebagai ganti dari membasuhnya.

7. Dibolehkan betayamum pada dinding, atau segala sesuatu yang suci dan
mengandung debu. Jika dindingnya berlapis sesuatu yang bukan dari bahan tanah
seperti cat misalnya,maka ia tidak boleh bertayamum padanya kecuali jika cat itu
mengandung debu.

8. Jika tidak mungkin bertayamum di atas tanah, atau dinding atau tempat lain yang
mengandung debu maka tidak mengapa menaruh tanah pada bejana atau sapu tangan
lalu bertayamum darinya.

9. Jika ia bertayamum untuk shalat lalu ia tetap suci sampai waktu shalat berikutnya
maka ia bisa shalat dengan tayamumnya tadi, tidak perlu mengulang tayamum, karena
ia masih suci dan tidak ada yang membatalkan kesuciannya.

10. Orang yang sakit harus membersihkan tubuhnya dari najis, jika tidak mungkin
maka ia shalat apa adanya, dan shalatnya sah tidak perlu mengulang lagi.

11. Orang yang sakit wajib shalat dengan pakaian suci. Jika pakaiannya terkena najis
ia harus mencucinya atau menggantinya dengan pakaian lain yang suci. Jika hal itu
tidak memungkinkan maka ia shalat seadanya, dan shalatnya sah tidak perlu
mengulang lagi.

12. Orang yang sakit harus shalat di atas tempat yang suci. Jika tempatnya terkena
najis maka harus dibersihkan atau diganti dengan tempat yang suci, atau
menghamparkan sesuatu yang suci di atas tempat najis tersebut. Namun bila tidak
memungkinkan maka ia shalat apa adanya dan shalatnya sah tidak perlu mengulang
lagi.

13. Orang yang sakit tidak boleh mengakhirkan shalat dari waktunya karena ketidak
mampuannya untuk bersuci. Hendaknya ia bersuci semampunya kemudian melakukan
shalat tepat pada waktunya, meskipun pada tubuhnya, pakaiannya atau tempatnya ada
najis yang tidak mampu membersihkannya. (HR Bukhari, Kitab Itisham, bab
mengikuti sunnah Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam (7288), Muslim, Kitab
Fadhail, bab menghormati Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dan jangan
banyak bertanya tentang hal yang tidak terlalu penting (1337).

Anda mungkin juga menyukai