Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Oleh :
Andre Kusuma Putra 25716303
1
Daur ulang
Proses pemilahan sampah yang masih memiliki nilai secara materiil untuk digunakan kembali
disebut sebagai daur ulang (reuse). Ada beberapa cara daur ulang, pertama adalah mengambil
bahan sampahnya untuk diproses lagi atau mengambil energi dari bahan yang bisa dibakar untuk
membangkitkan listrik.
Pengolahan kembali secara fisikMetode ini adalah aktivitas paling populer dari daur ulang, yaitu
mengumpulkan dan menggunakan kembali sampah yang dibuang, contohnya botol bekas pakai
yang dikumpulkan untuk digunakan kembali. Pengumpulan bisa dilakukan dari sampah yang
sudah dipisahkan dari awal (kotak sampah/kendaraan sampah khusus), atau dari sampah yang
sudah tercampur.
Sampah yang biasa dikumpulkan adalah kaleng minum aluminium, kaleng baja
makanan/minuman, Botol HDPE dan PET, botol kaca, kertas karton, koran, majalah, dan kardus.
Jenis plastik lain seperti (PVC, LDPE, PP, dan PS) juga bisa didaur ulang. Daur ulang dari produk
yang kompleks seperti komputer atau mobil lebih susah, karena bagian-bagiannya harus diurai
dan dikelompokkan menurut jenis bahannya.
Pengolahan biologis (Pengkomposan)
Material sampah organik, seperti residu tanaman, sampah makanan, atau kertas, bisa diolah
dengan menggunakan proses biologis menjadi kompos, atau dikenal dengan istilah
pengkomposan. Hasilnya adalah kompos yang bisa digunakan sebagai pupuk dan gas metana
yang bisa digunakan untuk membangkitkan listrik.
Contoh dari pengelolaan sampah menggunakan teknik pengkomposan adalah Green Bin Program
di Toronto, Kanada, di mana sampah organik rumah tangga, seperti sampah dapur dan potongan
tanaman dikumpulkan di kantong khusus untuk dikomposkan.
2
Metode pencegahan dan pengurangan(minimalisasi sampah)
Sebuah metode yang penting dari pengelolaan sampah adalah pencegahan zat sampah
terbentuk, atau dikenal juga dengan "pencegahan sampah". Metode pencegahan termasuk
penggunaan kembali barang bekas pakai, memperbaiki barang yang rusak, mendesain produk
supaya bisa diisi ulang atau bisa digunakan kembali (seperti tas belanja katun menggantikan tas
plastik), mengajak konsumen untuk menghindari penggunaan barang sekali pakai (contohnya
kertas tisu), dan mendesain produk yang menggunakan bahan yang lebih sedikit untuk fungsi
yang sama (contoh, pengurangan bobot kaleng minuman).
3
Sampah Sebagai Sumber Daya
Masalah sampah sebagai hasil aktivitas manusia di daerah perkotaan memberikan tekanan yang
besar terhadap lingkungan, terutama bila tidak sampai terangkut dan akhirnya terakumulasi di
tempat-tempat terbuka maupun badan air. Selain itu sampah yang diamankan di TPA, ternyata
tidak mampu mengamankan lingkungan sekitarnya akibat pengelolaan yang kurang baik.
Permasalahannya antara lain adalah:
Sampah yang dibuang di TPA 60-70% adalah materi organik yang mudah terurai. Sampah organik
akan terdekomposisi dan dengan adanya limpasan air hujan terbentuk leachate (lindi/air
sampah) yang akan mencemari sumber daya air baik air tanah maupun permukaan sehingga
mungkin saja sumur-sumur penduduk di sekitarnya ikut tercemar.
Lindi yang terbentuk mengandung nilai BOD (Biological Oxygen Demand = Kebutuhan Akan
Oksigen Biologis) mencapai ribuan bahkan puluhan ribu ppm. Selain itu dalam lindi juga
mengandung bibit penyakit patogen, seperti tifus, hepatitis, dan sebagainya.
Lindi mungkin juga mengandung logam berat, mengingat sampah yang diamankan di TPA
tersebut masih tercampur antara sampah domestik B3 seperti batu baterai dengan sampah
domestik biasa.
Proses dekomposisi yang terjadi di TPA bersifat anaerobik, sehingga terbentuk gas-gas berbahaya
seperti metan, H2S, dan gas-gas merkaptan lainnya. Kebakaran yang sering terjadi di TPA, salah
satu pencetusnya adalah karena keberadaan gas-gas tersebut yang kemudian disulut oleh hal-
hal kecil seperti puntung rokok yang masih menyala.
Kebakaran yang biasanya sulit untuk dipadamkan, akan meluas dan menimbulkan asap disertai
bau yang menyengat, sehingga menyebabkan gangguan pernapasan baik petugas maupun
masyarakat sekitar.
Kepulan asap hasil pembakaran sampah harus dicermati, mengingat kemungkinan mengandung
zat berbahaya lainnya yaitu dioksin, zat karsinogenik penyebab kanker yang merupakan hasil
pembakaran tidak sempurna dari sampah plastik.
Selain masalah-masalah teknis seperti di atas, masalah non teknis pun menjadi kendala bagi
pengelola sampah kota, antara lain:
Keterbatasan lahan, terutama bagi kota-kota raya dan besar, sering menimbulkan
masalah, karena itu sampah harus dibuang ke wilayah tetangga.
Masalah kebersihan belum menjadi program prioritas di daerah. Hal ini berdampak pada
alokasi biaya kebersihan yang masih sangat terbatas.
Masyarakat masih belum memahami bahwa masalah kebersihan adalah tanggung jawab
bersama antara pemerintah dengan masyarakat.
Hukum dan peraturan perundang-undangan belum dilaksanakan atau ditegakkan.
4
yang ramah lingkungan, ternyata tidak ramah dalam aspek pembiayaan, karena membutuhkan
biaya yang tinggi untuk investasi, konstruksi, operasi dan pemeliharaan.
Untuk mengatasi berbagai permasalahan tersebut, sudah saatnya pemerintah daerah mau
merubah pola pikir yang lebih bernuansa lingkungan. Konsep pengelolaan sampah yang terpadu
sudah waktunya diterapkan, yaitu dengan meminimasi sampah serta maksimasi kegiatan daur-
ulang dan pengomposan disertai dengan TPA yang ramah lingkungan. Paradigma baru yang
diharapkan dapat mulai dilaksanakan adalah dari orientasi pembuangan sampah ke orientasi
daur-ulang dan pengomposan. Melalui paradigma baru ini pengelolaan sampah tidak lagi
merupakan satu rangkaian yang hanya berakhir di TPA (one-way street), tetapi lebih merupakan
satu siklus yang sejalan dengan konsep ekologi. Energi baru yang dihasilkan dari hasil penguraian
sampah maupun proses daur-ulang lainnya tidak hilang percuma. Berdasarkan perhitungan
Direktorat Bintek-Dept. PU (1999), bila konsep pengelolaan sampah terpadu dengan strategi 3-
M (mengurangi, menggunakan kembali, mendaur-ulang) dilaksanakan, maka sampah yang akan
masuk ke TPA berupa residu hanya sebesar 15%. Sampah yang dapat dikomposkan 40%,
didaur-ulang (20%), dan dibakar dengan menggunakan insinerator 25%. Gambar 1 di bawah ini
menunjukkan paradigma lama pengelolaan sampah.
Keberhasilan penerapan paradigma baru ini dapat tercapai tentu melalui koordinasi yang baik
dengan instansi terkait seperti Dinas Pertamanan, Dinas Pasar, Bapedalda, Kelurahan, dsb.
Masyarakat tentu saja harus terlibat aktif, misalnya dalam kegiatan pemilahan dan pengumpulan
sampah di sumber.
5
Gambar 2. Paradigma Baru Pengelolaan Sampah
Minimisasi Sampah
Definisi dan Manfaat
Minimisasi limbah/sampah adalah upaya untuk mengurangi volume, konsentrasi, toksisitas, dan
tingkat bahaya limbah yang berasal dari proses produksi dengan reduksi dari sumber dan/atau
pemanfaatan limbah.
Pada dasarnya minimisasi limbah/sampah merupakan bagian dari pengelolaan limbah dan dapat
mengurangi penyebaran limbah di lingkungan, meningkatkan efisiensi produksi dan dapat
memberikan keuntungan ekonomi, antara lain:
Mengurangi biaya pengangkutan ke pembuangan akhir;
Mengurangi biaya pembuangan akhir;
Meningkatkan pendapatan karena penjualan dan pemanfaatan limbah.
6
Usaha minimisasi limbah di Indonesia telah dimulai di sektor industri pada tahun 1995 dengan
membuat suatu komitmen nasional dalam penerapan strategi produksi bersih dalam proses
industri. Walaupun demikian usaha serupa belum dimulai di sektor domestik/rumah tangga dan
baru terbatas pada kegiatan pengumpulan dan sedikit daur-ulang.
Salah satu bagian dari minimasi limbah yang perlu diperhatikan adalah limbah atau sampah padat
yang dihasilkan dari pengemasan (packaging) karena jumlah yang dihasilkan akan semakin
meningkat di masa mendatang. Upaya minimisasi limbah padat rumah tangga antara lain melalui
kegiatan daur-ulang dan produksi kompos.
Sangat disayangkan bahwa Pemerintah Daerah belum memiliki komitmen yang kuat mengenai
minimisasi limbah rumah tangga. Komitmen ini sudah seharusnya dituangkan dalam
kebijaksanaan Pemda dan diperkuat dengan peraturan daerah. Di tingkat Pusat kegiatan 3-M
(Mengurangi, Menggunakan kembali, Mendaur-ulang) sudah dibakukan melalui kebijaksanaan,
strategi dan dijabarkan dalam pelaksanaan kegiatan yang lebih konkrit. Pelaksanaan kegiatan
tersebut antara lain berupa pemberian paket bantuan proyek perintisan UDPK (Usaha Daur-ulang
dan Produksi Kompos) di 50 kota Dati II di Indonesia. Petunjuk teknis, petunjuk pelaksanaan dan
tata cara tentang kegiatan 3-M sudah disusun dan disebarluaskan melalui diseminasi-diseminasi
oleh Ditjen Cipta Karya Dept. PU. Tetapi harapan untuk dapat merangsang Pemda melakukan
kegiatan pengomposan dan daur-ulang sehingga dapat mengefisienkan biaya pengelolaan
sampah kota ternyata belum dapat tercapai.
7
Langkah-langkah pengerjaan penanganan sampah 3-R dapat disesuaikan dengan sumber
penghasil sampah, seperti daerah perumahan, fasilitas sosial, fasilitas umum, dan daerah
komersial.
Tabel 1,2, dan 3 berikut menjelaskan tentang upaya penanganan sampah 3-R di beberapa
sumber sampah.
8
Tabel 3. Upaya 3-R di Daerah Komersial (Pasar, Pertokoan, Restoran, Hotel)
9
pengambilan sesuai jenis sampah, diolah untuk menjadi material konstruksi, energy listrik.
(jepang,jerman &swedia).
Bijak kelola Sampah https://www.youtube.com/watch?v=FxKTel5uN5E : 5 aspek yang harus
diperhatikan dalam pengelolaan sampah
Siklus Runtae (Pengolahan Sampah Baik) https://www.youtube.com/watch?v=5cu5UPKaBIc
:dari kita untuk kita.
10
Di samping acap menulis di Kompas dan Prisma, Hasan Poerbo juga mengarang sejumlah karya
tulis, sendiri atau bersama pengarang lain. Ia adalah Co-author Goodman untuk buku terbitan
Pergamon Press 1977, Design & Construction of Low Cost Housing, An East West Perspective.
Hidup dari Sampah
Bencana yang menimpa masyarakat Leuwigajah dan Jayagiri Kecamatan Lembang, Kabupaten
Bandung, yang meninggal akibat longsoran tumpukan sampah hasil penimbunan terbuka (open
dumping), dan peristiwa di tahun 1980-an, saat Imelda Marcos, Mentri Lingkungan Hidup
merangkap Gubernur Metropolitan Manila, dikecam keras karena membiarkan sampah
menumpuk melalui sistem "penimbunan terbuka", lalu longsor memakan ribuan jiwa penduduk
miskin, telah menjadi peringatan bagi pemerintah untuk menghapus sistem penimbunan
terbuka.
Untuk mengganti penimbunan, Prof Hasan Poerbo, Pemimpin Pusat Studi Lingkungan Hidup
Institut Teknologi Bandung (PSLH ITB), mengembangkan gagasan "mendaur ulang sampah
berbasis masyarakat".
Setiap kota besar pasti menghasilkan sampah dan memiliki pemulung miskin yang
menggantungkan nafkahnya pada usaha mendaur ulang sampah. Hasan Poerbo, pencinta
lingkungan, berempati pada rakyat miskin. Karena itu, lahir gagasan memadukan pengelolaan
sampah dan melibatkan pemulung guna meningkatkan pendapatan mereka dalam konsep "hidup
dari sampah".
Prinsip pertama konsep ini adalah memberdayakan pemulung sebagai ujung tombak usaha daur
ulang sampah untuk dijual ke pelapak yang memilah sampah menurut kegunaannya. Sampah
terpilah dijual ke bandar yang mengolahnya menjadi biji pelet sebagai bahan baku pembuatan
alat rumah tangga dan mainan anak2.
Pada tahun 1980-an, Pasar Rumput menjadi outlet barang-barang plastik buatan industri rumah
kawasan Manggarai dari bahan baku plastik asal sampah. Piring, gelas, botol kecap, dan tempat
sambal di warung dan penjual makanan kereta dorong banyak terbuat dari bahan baku plastik
asal daur ulang sampah.
Ketika memberdayakan para pemulung mengelola sampah, terungkap kesulitan hubungan
pemulung dengan penguasa dan pejabat lokal. Banyak pemulung tidak memiliki "kartu tanda
penduduk (KTP)" sehingga dianggap bukan penduduk sah dan perlu diusir ke luar kota oleh aparat
pemerintah kota dan polisi. Tanpa KTP mereka menjadi non-person, tanpa hak legal untuk
memiliki tempat hunian sah bebas dari penggusuran. Sebagai non-person mereka juga tidak bisa
menikah secara resmi di kantor agama.Menyadari hal ini, Hasan Poerbo dkk. PSLH ITB
membangun tempat hunian dengan lingkungan bersih sebagai domisili pemulung di Kampung
Jati Dua, Kotamadya Bandung. Dengan alamat yang menetap diurus KTP pemulung. Dengan kartu
ini, resmilah mereka menjadi warga Kota Bandung dan terbuka kemungkinan mengurus
perkawinan resmi mereka. Sebanyak 100 pasang menikah secara bersamaan di hadapan
penghulu kantor agama disaksikan Menteri Lingkungan Hidup, Walikota Bandung, dan Rektor ITB
11
dalam acara yang murah meriah.Hubungan antara pemulung dan PSLH terjalin erat dalam
kerjasama efektif menanggulangi sampah kotamadya Bandung. Walikota Bandung Ateng
Wahyudi mendukung sepenuhnya usaha ini sehingga Bandung berhasil meraih Adipura Kota
Terbersih di tahun 1980-an.
Prinsip kedua, menanggulangi sampah selagi volumenya masih kecil di tingkat RT/RW atau
kelurahan. Sampah, seperti api, selagi volumenya kecil, lebih mudah dikelola ketimbang menjadi
besar sulit dikendalikan dan membawa bencana. Sampah terdiri dari bahan organis yang bisa
diolah menjadi pupuk kompos dan bahan anorganis yang bisa didaur ulang para pemulung.
Pengelolaan sampah lebih mudah saat volumenya masih kecil.
Ini membawa kita pada prinsip ketiga menanggulangi sampah dengan pendekatan "dari bawah"
dalam merencanakan, melaksanakan, kontrol, dan evaluasi dengan semangat partisipatif
merangsang masyarakat berperan serta secara aktif.
Adalah rumah tangga sendiri yang menghasilkan sampah dan kelak menderita jika sampah
menumpuk busuk dan mengganggu kesehatan warga. Tetapi lebih dari ini, sampah bisa jadi uang
bila dikelola dengan baik.
Prinsip keempat, memberi penghargaan dan pengakuan atas jerih payah anggota masyarakat
yang terbukti berhasil mengelola sampah. Dinas-dinas pemerintahan tidak perlu mengerjakan
pengelolaan sampah sendiri atau "memproyekkannya" pada swasta atas dasar komersial murni
tanpa lebih dulu menjajaki kesediaan masyarakat untuk mengelolanya bersama swasta dan
pemerintah. Tugas birokrat seyogianya menggunakan retribusi sampah untuk menciptakan iklim
agar penanggulangan sampah menjadi gerakan masyarakat dengan kesadaran. Tunbuhnya
kesadaran inilan yang sepatutnya pemerintah rangsang, kembangkan dan hargai.
Prinsip kelima mengembangkan sanitary landfill, menimbun sampah di tanah yang berlekuk
untuk ditutup dengan lapisan tanah. Ini dilakukan secara berulang dan membentuk "kue lapis"
terdiri atas penimbunan sampah yang ditutup tanah. Tanah yang semula berlekuk menjadi rata
oleh sanitary landfill shg harganya naik berlipat kali krn bisa dipakai untuk berbagai keperluan,
seperti olahraga dan taman hijau. Pengelolaan sampah pun tumbuh menjadi "sentra
keuntungan". Yang penting harus dijaga agar sampah tidak merusak lingkungan, merembes dan
mencemari air tanah.
Sebuah film dokumenter berjudul Hidup dari sampah telah merekam usaha pengelolaan sampah
oleh PSLH ITB. Pada tahun 1980-an, pola pendekatan pengelolaan sampah serupa itu
berkembang di berbagai kota. Maka tercatat Linus Simanjuntak, Direktur Kebun Binatang
Ragunan, berhasil menerapkan pola PSLH ITB mengelola sampah menjadi pupuk kompos di
kebun binatangnya. Leuwigajah menjadi proyek percontohan Kabupaten Bandung untuk
pembuatan pupuk kompos dari sampah dan pengembangan sanitary landfill.
Proyek percontohan serupa juga dikembangkan di Surabaya, yang merebut Adipura Kota
Terbersih. Central Policy and Implementation Studies Jakarta, dipimpin pelaksana proyek
12
Darwina (kini mempimpin Yayasan Pembangunan Berkelanjutan) mengembangkan pengelolaan
sampah untuk Bumi Serpong. Yayasan Dian Desa Yogjakarta dipimpin Anton Soedjarwo
mengembangkan proyek pengomposan sampah untuk Kabupaten Bantul.
Dalam melaksanakan program Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK), di bawah pimpinan Ibu
Munadi dan Ibu Soepardjo Roestam, melibatkan ibu-ibu di RT,RW, dan kelurahan di seluruh
Tanah Air ikut mengelola kebersihan lingkungan.Salah satu ibu yang menonjol adalah Ibu Harini,
pemimpin PKK RW Banjarsari, Cilandak Barat, Jakarta Selatan, dan pemimpin posyandu, yang
melatih dan mendorong mahasiswa dan anggota berbagai kelompok masyarakat madani aktif
mengelola sampah berbasis masyarakat. Ibu Harini juga memelopori pengembangan "tanaman
obat keluarga" di halaman rumah kawasan RW Banjarsari.
Gubernur Jambi Sofwan Maskun saat lalu juga aktif mendorong kebersihan kota dan daerah
Jambi. Tiap rumah dan pengusaha bertanggungjawab memelihara kebersihan emperan rumah
atau bangunan masing-masing. Penduduk Ubud, Bali, lebih maju dengan mengolah limbah
menjadi bio gas energi untuk memasakdan penerangan rumah.
Masih banyak contoh yang bisa dikutip untuk menunjukkan kesediaan masyarakat aktif berperan
serta mengelola sampah, memelihara keasrian lingkungan hidup. Penting menjadikan program
pengelolaan sampah dengan 5 prinsip suatu gerakan masyarakat. Prinsip-prinsip ini bisa
diperluas dengan mengelola dengan mengelola limbah sanitasi jamban keluarga.
Namun perlu diingat, tiap usaha lingkungan merupakan perjuangan jangka panjang yang
memerlukan mentalitas pelari maraton, tahan napas, dan tidak bosanan untuk waktu lama.
Sasaran jangka panjang harus tetap dipegang dan program jangan senantiasa ganti haluan
dengan perubahan pimpinan. Maintenance of objective adalah pegangan menajemen utama.
Dalam memperjuangkan sasaran lingkungan, penting memberi inspirasi pada konstituen
pendukung gerakan ini. Dalam memimpin gerakan lingkungan, apalagi di bidang 'kotor' seperti
pengelolaan sampah, usaha ini tidak cukup dilaksanakan dengan rasio tetapi harus diikuti
komitmen.
Profesor Hasan Poerbo telah tiada. Namun, semangat beliau menanggulangi sampah dan
kemiskinan tetap menyala tinggi di balik cita-cita luhur "hidup dari sampah", membangun
kegunaan dari barang terbuang.
Salah satu kisah lain juga tentang pengolaan sampah yang memberdayakan masyarakat adalah
kisah dari Indra Darmawan, Penggerak Koperasi Sampah Saguling, yang videonya bisa dilihat di
link berikut ini https://www.youtube.com/watch?v=Zhx2A6Lj04M
Indra Memberdayakan warga sekitar waduk saguling untuk menjadikan sampah sebagai berkah,
mekanismenya adalah pemulung mengambil sampah, sampah dibeli dari pemulung lewat
koperasi, kemudian di cacah menjadi biji plastik, dijual ke pabrik, enceng gondok dijadikan bahan
kerajinan tangan dan dijual. Semua hasil keuntungannya akan kembali lagi ke para pemulung.
13
C. KAWASAN INDUSTRI PENGELOLAAN SAMPAH
Kawasan Industri Sampah (KIS) merupakan konsep penanganan sampah secara terpadu yang
dihasilkan oleh masyarakat, dikelola oleh masyarakat, dan hasilnya dinikmati oleh masyarakat.
KIS merupakan salah satu alternatif yang dapat diterapkan dalam rangka mengurangi beban
Pemerintah dalam Mengelola sampah kota, sekaligus merupakan perwujudan kepedulian
masyarakat membantu terciptanya kota yang bersih dan sehat melalui pendaur-ulangan dan
pengomposan sampah.
Dampak penutupan TPA Leuwigajah akibat longsor pada 21 Februari 2005, sangat terasa bagi
Kota Bandung dan Kota Cimahi. Sampah dibiarkan menumpuk di jalan-jalan. Andalan Kota
Bandung saat ini adalah TPA Jelekong yang terletak sekira 22 km di selatan Bandung, dengan
kondisi yang juga rentan terhadap permasalahan lingkungan dan terhadap penolakan
masyarakat sekitar.
Hampir semua pengelola kota tidak mempunyai alternatif lain bila TPA mereka mengalami
gangguan. Mereka juga tidak berpengalaman menangani sampah dengan lebih baik dan
berkesinambungan. Selama ini TPA belum dioperasikan secara baik dan profesional, sehingga
kasus-kasus TPA bermasalah selalu muncul. Di sisi lain, masyarakat di sekitar TPA telah menyadari
hak-haknya untuk mendapatkan kualitas lingkungan yang baik.
Dalam setiap wacana pengelolaan sampah yang baik, umumnya semuanya sepakat bahwa
reduksi dan daur-ulang (reduce, reuse dan recycling [3R) merupakan kunci pemecahan masalah
sampah perkotaan. Namun sampai saat ini konsep tersebut masih belum terrealisasi secara
nyata. Semua pihak sepakat bahwa daur ulang merupakan cara terbaik untuk mengurangi
sampah. Pengomposan dianggap cara yang sangat cocok untuk Indonesia.
Berdasarkan hal itulah, tahun 1980-an Pusat Penelitian Lingkungan Hidup (PPLH) ITB yang
dimotori almarhum Prof. Hasan Poerbo memperkenalkan konsep Kawasan Industri Sampah (KIS).
Sasarannya, meminimalkan sampah yang akan diangkut ke TPA dengan melibatkan swadaya
masyarakat dalam daur ulang sampah di tingkat kawasan. Konsep sejenis sudah dikembangkan
di Jakarta yaitu Usaha Daur ulang dan Produksi Kompos (UDPK) yang dimulai pada 1991. Namun
hampir semua UDPK tidak bertahan hidup. Beberapa tahun lalu, Kota Bandung telah menerapkan
konsep ini. Pengomposan dilakukan di tingkat TPS serta di beberapa TPA yang telah ditutup,
tetapi entah mengapa aktivitas ini tidak terlihat lagi.
Secara teknis keberhasilan pengomposan tergantung pada pemilahan dan pemisahan sedini
mungkin. Upaya ini tidak boleh berhenti di tingkat penghasil saja, tetapi harus diikuti dengan
pemisahan sarana pengumpulan, sarana penampungan sementara, serta truk sampah yang
mengangkut sampah sejenis menuju ke pemrosesan. Bahkan di TPA pun sampah harus tetap
dipisahkan agar dapat diaur ulang lebih lanjut, sehingga bagian sampah yang akan ditimbun di
TPA diharapkan berkurang.
14
Konsep tersebut selama ini belum berjalan lancar karena memang membutuhkan kesiapan
semua pihak. Selain itu, perlu ada perubahan cara pikir dan cara pandang dalam menangani
sampah. Dan, yang terpenting adalah mengubah cara pandang dinas kebersihan dan pemerintah
kota/ kabupaten setempat. Hingga sekarang, belum satu pun kota di Indonesia yang mempunyai
pengalaman dalam menerapkan pengelolaan sampah dengan konsep 3R.
Berdasarkan pengalaman di negara lain, target optimis untuk mencapai partisipasi dari seluruh
penghasil sampah di sebuah kota dalam jangka waktu 10 tahun tidak akan lebih dari 50%. Pada
sebuah paparan dalam sebuah seminar internasional pengelolaan sampah beberapa tahun yang
lalu. Seorang pembicara dari AS mengemukakan, walaupun sistem dan sarana telah diarahkan
untuk mendukung upaya 3R, dengan menetapkan target reduksi 50% dalam 10 tahun, toh untuk
mencapai rencana tersebut tidak mudah. Dia mengatakan,"I don't think it will happen. We are
not dealing with garbage, we are dealing with lifestyle. (Saya kira hal itu tidak akan terjadi. Kita
tidak hanya menangani soal sampah, tetapi dengan gaya hidup,-red.)
Banyak pengelola kota di Indonesia yang pernah mencoba konsep 3R ini mempertanyakan
keberhasilan reduksi sampah dengan pengomposan atau daur ulang, karena sampah yang harus
diangkut ke TPA oleh truk-truk yang tersedia dirasakan tidak mengalami penurunan. Sementara
itu kompos yang dihasilkannya sulit dipasarkan, dan dianggap hanya membebani dana pemda
dalam pengelolaan sampah, yang memang sampai saat ini sangat minim dan selalu berada pada
prioritas yang rendah dalam skala anggaran sebuah kota.
Selama ini volume sampah yang dapat dikelola oleh Pemda jauh dari 100%. Hanya 50-60% saja
yang dapat diangkut ke TPA. Sekecil apapun peran reduksi sampah, itu berarti sebetulnya telah
menambah kemampuan pemda dalam menangani sampah. Dalam pengelolaan sampah skala
kota, dengan kemampuan membayar retribusi yang masih rendah serta belum terbentuknya
sistem pengelolaan yang baik, maka jangan mengharapkan pengomposan sebagai sumber
pendapatan pemda. Paling tidak dengan upaya tersebut, volume sampah akan berkurang
sehingga menghemat biaya pengangkutan. Di samping itu, dengan adanya pengalaman dalam
menerapkan sistem ini serta disertai adanya kebijakan dan strategi yang jelas, maka secara
bertahap volume sampah yang harus diangkut ke TPA akan berkurang.
Sudah waktunya pemda mempunyai kebijakan dan strategi serta menyusun sebuah organisasi
dan institusi yang pas untuk mengelola sampah kota yang berbasiskan daur ulang. Penghasil
sampah diposisikan sebagai salah satu mitra penting yang berperan dalam pengelolaan ini. Yang
paling utama adalah adanya pengakuan secara formal dan dukungan penuh dari pemda, dan
bukan hanya sekadar dukungan sebatas informal agreement. Bila perlu disertai insentif misalnya
dalam bentuk pengurangan retribusi yang harus dibayar. Pemda hendaknya juga siap membeli
produk kompos yang dihasilkan, sebagai bagian dari biaya pengelolaan sampah kota. Selama ini
dukungan masih bersifat provisional, dan belum secara institusional masuk ke dalam fungsi
reguler pengelolaan sampah kota. Mereka dibiarkan sendiri dalam meneruskan unit-unit daur
ulangnya.
15
Pengelolaan sampah kota adalah sebuah sistem yang kompleks. Dia tidak sesederhana
penanganan sampah pedesaan. Sampah akan terus muncul dalam skala yang besar sesuai
besaran kota tersebut, dan setiap hari harus ditangani. Peran dan kemauan politik pemerintah
daerah, baik eksekutif maupun legislatif, mulai dari kebijakan yang terarah, adanya rencana
strategis yang tepat, kesungguhan dalam mengaplikasikan peraturan-peraturan yang relevan,
sampai kepada kemauan untuk menyediakan anggaran pengelolaan sampah di daerahnya akan
sangat menentukan keberhasilan sistem itu sendiri.*** (Enri Damanhuri, PR,08mei2006)
Sektor informal yang selama ini telah aktif dalam upaya daur-ulang sampah kota yaitu pemulung,
bos lapak dan bandar perlu diintegrasikan dalam sistem pengelolaan sampah kota yang berpusat
pada sarana pengelolaan sampah tersebut. Program daur-ulang pada dasarnya tidak hanya
dilakukan di sumber-sumber timbulan sampah, akan tetapi juga diterapkan di tempat transit
sampah (TPS) yang dapat disebut sebagai pengolahan skala kawasan, atau dalam lokasi
pengolahan/pembuangan akhir. Penerapan program daur-ulang dan proses pengolahannya di
tempat pengolahan/pembuangan akhir, dikenal dengan konsep Pengolahan Sampah Terpadu.
Konsep ini prinsipnya menyatukan secara terpadu kegiatan pembuangan akhir dengan kegiatan
proses pemilahan, daur ulang, dan komposting, dan upaya lainnya agar sampah yang akan diurug
menjadi lebih sedikit. PPT dan PPLH ITB pada tahun 1980-an telah memperkenalkan dan menguji-
coba konsep ini sebagai Kawasan Industri Sampah (KIS).
Salah satu skenario kegiatan dan proses dari pengolahan sampah terpadu ini dapat dilihat pada
Gambar berikut. Dengan pengembangan sistem pengolahan sampah terpadu ini, fungsi dari
tempat pembuangan akhir sampah pada beberapa tahun mendatang dapat menjadi tidak
dominan karena kapasitas sampah yang akan diurug lebih kecil daripada sampah yang dapat
diolah atau dimanfaatkan lagi, hal ini seiring dengan tahap pengembangan pengelolaan
persampahan yang semakin meningkat.
17
DAFTAR PUSTAKA
Pengelolaan sampah, https://id.wikipedia.org/wiki/Pengelolaan_sampah ,Diakses pada
tanggal 25 Februari 2017
Hasan Purbo, https://id.wikipedia.org/wiki/Hasan_Purbo ,Diakses pada tanggal 25
Februari 2017
Hasan Poerbo Apa & Siapa ITB, http://hasanpoerbo.blogspot.co.id/ ,Diakses pada
tanggal 25 Februari 2017
Hidup dari sampah, belajar dari Prof Hasan Poerbo
http://hasanpoerbo.blogspot.co.id/2006/04/hidup-dari-sampah-belajar-dari-
prof.html ,Diakses pada tanggal 24 Februari 2017
Pengelolaan Sampah, http://sampah-news.blogspot.co.id/2006/05/sampah-sampah-
sampah.html ,Diakses pada tanggal 24 Februari 2017
Pengelolaan Sampah Melalui Konsep Kawasan Industri Sampah (KIS),
http://www.ampl.or.id/digilib/read/pengelolaan-sampah-melalui-konsep-kawasan-
industri-sampah-kis-/3643 ,Diakses pada tanggal 24 Februari 2017
Penanganan Sampah Kota,
https://jujubandung.wordpress.com/2012/05/27/penanganan-sampah-kota/ ,Diakses
pada tanggal 24 Februari 2017
LIMBAH, https://jujubandung.wordpress.com/category/limbah/page/19/ ,Diakses
pada tanggal 24 Februari 2017
Beginilah Pengelolaan Sampah Ala Negara Maju Yang Harus Dicontoh Pemprov DKI
Jakarta: https://www.youtube.com/watch?v=pA_sv5LVU6M ,Diakses pada tanggal 26
Februari 2017
NET12 - Pengolahan Sampah Terpadu di German dan Swedia
https://www.youtube.com/watch?v=wxMK48UAVAY ,Diakses pada tanggal 26 Februari
2017
IMS - Teknologi Pengelolaan Sampah Dunia
https://www.youtube.com/watch?v=rOm2POXlXOY ,Diakses pada tanggal 26 Februari
2017
Bijak kelola Sampah https://www.youtube.com/watch?v=FxKTel5uN5E , ,Diakses pada
tanggal 26 Februari 2017
Siklus Runtae (Pengolahan Sampah Baik)
https://www.youtube.com/watch?v=5cu5UPKaBIc ,Diakses pada tanggal 26 Februari
2017
Indra Darmawan, Penggerak Koperasi Sampah Saguling
https://www.youtube.com/watch?v=Zhx2A6Lj04M ,Diakses pada tanggal 26 Februari
2017
18