Anda di halaman 1dari 26

PRINSIP DAN MEKANISME MIKROORGANISME PEMROSES PRODUKSI

VITAMIN
MAKALAH

Untuk Memenuhi Tugas Matakuliah Mikrobiologi Industri yang diampu oleh


Sitoresmi Prabaningtyas, S.Si., M.Si

Oleh
Offering GHK 2014 / Kelompok 8
Isfatun Chasanah 140342603465
Maulidan Asyrofil Anam 140342604964
Patricia Karin Himawan P. 140342604104

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
JURUSAN BIOLOGI
Februari 2017

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Penduduk dunia, dengan proporsi yang signifikan, menderita atau beresiko
terhadap kekurangan vitamin dan mineral, yang biasa dikenal sebagai zat gizi mikro.
Asupan yang cukup dan ketersediaan vitamin dan mineral yang esensial secara erat
berkaitan dengan kelangsungan hidup, perkembangan fisik dan mental, kesehatan yang
baik secara umum, dan kesejahteraan menyeluruh dari semua individu dan masyarakat
(Dewoto, 2007).
Vitamin merupakan faktor pertumbuhan yang sering digunakan dalam farmasi
atau ditambahkan kepada makanan. Beberapa vitamin yang penting, dihasilkan secara
komersial melalui proses mikrobiologi. Vitamin digunakan sebagai tambahan pada
makanan manusia dan pakan ternak. Produksi vitamin, berada kedua setelah antibiotika
dalam hal penjualan total produk farmasi dengan nilai lebih dari $700 juta per tahun
(Siagian, 2013). Sebagian besar vitamin dibuat secara komersial melalui sintesis bahan
kimia. Sejumlah vitamin terlalu sulit disintesis dengan biaya murah tapi keuntungannya
vitamin dapat dibuat dengan fermentasi mikrobial. Hal inilah yang melatarbelakangi
disusunnya makalah yang berjudul Prinsip dan Mekanisme Mikroorganisme
Pemroses Produksi Vitamin.

1.2. Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah dalam makalah ini:
1. Bagaimana konsep vitamin secara umum?
2. Bagaimana prinsip produksi vitamin oleh mikroorganisme?
3. Bagaimana mekanisme produksi vitamin oleh mikroorganisme?

1.3. Tujuan
Adapun tujuan dalam makalah ini:
1. Menjelaskan konsep vitamin secara umum.
2. Bagaimana prinsip produksi vitamin oleh mikroorganisme?
3. Menjelaskan mekanisme produksi industrial vitamin oleh mikroorganisme.

BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Vitamin secara Umum
2.1.1. Pengertian Vitamin
Vitamin adalah molekul organik yang di dalam tubuh mempunyai fungsi yang
sangat bervariasi. Fungsi vitamin dalam metabolisme yang paling utama adalah sebagai
kofaktor. Di dalam tubuh diperlukan dalam jumlah sedikit (micronutrient). Biasanya
tidak disintesis di dalam tubuh, jika dapat disintesis jumlahnya tidak mencukupi
kebutuhan tubuh, sehingga harus diperoleh dari makanan atau diet (Rahayu, 2010).
Vitamin dalam arti luas adalah senyawa organik, bukan karbohidrat, lemak
maupun protein yang memiliki peran vital untuk berjalannya fungsi tubuh yang normal,
meskipun dibutuhkan dalam jumlah kecil. Vitamin adalah zat gizi yang sangat
dibutuhkan tubuh, karena berperan membantu proses metabolisme tubuh yang normal.
Beberapa vitamin tidak dapat dibuat tubuh dalam jumlah cukup, sehingga harus
dilengkapi dari bahan pangan, kecuali vitamin D (Rahayu, 2010).

2.1.2. Alasan Diproduksinya Vitamin dalam Skala Besar di Industri


Terdapat banyak laporan di seluruh dunia mengenai kasus kekurangan vitamin
yang menunjukkan masih banyak orang membutuhkan penambahan vitamin. Serta,
dengan semakin banyak dilaporkannya manfaat vitamin bagi kesehatan, permintaan
pasar akan vitamin semakin meningkat. Hal ini menyebabkan diadakannya produksi
vitamin hemat biaya yang menggunakan mikroorganisme yang sudah direkayasa
genetik sebagai pengganti dari proses sintesis kimiawi (Schaechter, 2009).
Vitamin adalah senyawa yang tidak dapat dihasilkan dari proses anabolisme di
dalam tubuh, tetapi harus dipenuhi dari makanan sehari-hari. Zat ini dibutuhkan untuk
hidup (vita) dan mengandung unsur nitrogen (amine), karena itu diberi nama vitamin.
Selain untuk menghindari gejala yang dapat ditimbulkan akibat kekurangan vitamin,
dewasa ini vitamin memperoleh perhatian karena dapat mencegah berbagai penyakit,
seperti penyakit neoplastik (misalnya kanker) dan penyakit degeneratif (misalnya
rematik). Di negara berkembang, tersedia cukup beragam buah yang dapat mencukupi
kebutuhan vitamin harian jika pola makannya tepat. Namun, penelitian menunjukkan
bahwa pada situasi tertentu tubuh memerlukan lebih banyak pasokan nutrisi, seperti
kehamilan, menderita penyakit tertentu dan gaya hidup yang tak sehat. Menurut eVe
Study hampir 50% populasi di Spanyol perlu mengubah pola makan menjadi lebih
bergizi. Kekurangan salah satu atau beberapa vitamin, seperti riboflavin, folat, vitamin
A, vitamin D, vitamin E dan vitamin C dialami oleh 10.208 responden. Tiap orang
memiliki jenis kekurangan vitamin yang berbeda-beda dan hal ini menjadi masalah
dunia sehingga mendorong industri untuk memproduksi vitamin dalam skala besar
(Schaechter, 2009).
Peningkatan permintaan terhadap vitamin disebabkan oleh populasi masyarakat
dunia yang semakin bertambah dan usaha peternakan yang memerlukan penambahan
vitamin dalam pakan untuk menjaga kesehatan ternak. Selain itu, manusia
mengkonsumsi hampir 40% dari keseluruhan vitamin yang diproduksi dalam bentuk
suplemen atau makanan fortifikasi. Memang, kebiasaan makan, gaya hidup, kondisi
kesehatan tertentu dan usaha pemrosesan dan penngawetan makanan menjadi alasan
dibutuhkannya penambahan vitamin. Produk yang diperkaya dengan vitamin telah
dilaporkan oleh beberapa peneliti memiliki efek yang baik bagi kesehatan. Oleh karena
itu, akhir-akhir ini fortifikasi vitamin sangat sering dijumpai, misalnya pada sereal
untuk sarapan dan jus buah dalam kemasan. Peningkatan penjualan juga dialami oleh
suplemen berbentuk tablet, serbuk atau cairan, sesuai dengan survei Forsa pada tahun
2000 melaporkan bahwa 1 dari 3 orang Jerman secara rutin mengkonsumsi vitamin dan
menghabiskan rerata biaya 300 per tahun. Pastinya, seluruh produk vitamin oleh
organisme harus memiliki lisensi dan status GRAS (generally regarded as safe)
(Schaechter, 2009).

2.2. Prinsip Produksi Vitamin oleh Mikroorganisme


Sejumlah besar vitamin dapat diisolasi dengan teknik ekstraksi pada tahun 1930-
1940an. Setelah struktur kimianya diketahui, disusunlah prosedur sintesis kimiawi
untuk vitamin, yang mana mendapat hadiah Nobel pada saat itu. Akan tetapi, saat ini
vitamin diproduksi melalui sintesis dan ekstraksi kimiawi atau prosedur bioteknik yang
meliputi proses fermentasi atau biokonversi. Macam metode sintesis dari beberapa jenis
vitamin disajikan dalam Tabel 1. Hanya vitamin B2 dan vitamin B12 yang diproduksi
secara eksklusif melalui bantuan mikroorganisme, bukan melalui sintesis kimiawi.
Beberapa alasan seperti peningkatan kepeduliaan terhadap lingkungan dan
keterbatasan sumber daya yang dapat diperbarui dan permintaan konsumen terhadap
produk yang diproduksi secara alami juga melatarbelakangi produksi mikrobial. Terkait
dengan alasan terakhir, tidak ada data ilmiah yang menunjukkan adanya perbedaan
signifikan antara vitamin yang diproduksi secara alami dan kimiawi. Seperti yang
dijelaskan oleh Jenderal Direktorat Perlindungan Kesehatan dan Konsumen dari Komisi
Eropa pada 2003 bahwa tidak ada perbedaan pigmentasi pada ikan yang disebabkan
oleh astaxantin dari sintesis kimiawi atau dari sumber alami dari Xanthophyllomyces
dendrorbous. Namun, dilihat dari jumlah penggunaan sumber daya fosil dan
pengeluaran sisa zat kimianya, prosedur bioteknik jelas lebih menguntungkan dibanding
prosedur kimiawi (Schaechter, 2009).
Tabel 1. Jenis vitamin yang diproduksi secara industrial beserta metode yang digunakan
Produksi
di dunia
Metode Produksi
(ton per
Senyawa tahun)
Sintesis Ekstraksi
Mikrobial Kombinasi
kimiawi kimiawi

Larut lemak
- Karotenoid + + + + >1000
Larut air
- Vitamin B2 + <10000
- Vitamin B12 + >3
- Vitamin C + 110000
Sumber: Schaechter (2009)

Mikroorganisme yang digunakan dalam produksi vitamin skala industri meliputi


bakteri, mikroalga atau fungi. Produksi vitamin oleh mikroba dimulai dari organisme
overproduser alami, seperti kapang Ashbya gossypii, yang memproduksi banyak
riboflavin (vitamin B2). Kapang yang dikultur dalam medium corn steep liquor ini
mampu memproduksi riboflavin 20.000 kali lebih banyak daripada jumlah yang
dibutuhkan untuk metabolismenya sendiri. Untuk meningkatkan produksi, dilakukan
strain improvement hingga rekayasa genetik yang dimungkinkan dengan bertambahnya
pengetahuan tentang jalur biokimia dan jalur regulatoris dalam mikroorganisme
tersebut. Bacillus subtilis adalah salah satu bakteri yang dapat memproduksi riboflavin
sebagai hasil dari rekayasa genetik. Sementara sianokobalamin (vitamin B 12) dihasilkan
oleh Pseudomonas denitrificans. Kapang ini mampu memproduksi sianokobalamin
50.000 kali lebih banyak daripada jumlah yang dibutuhkan untuk aktivitas metaboliknya
(Schaechter, 2009). Data lebih lengkap mengenai jenis vitamin dan nama
mikroorganisme penghasil dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Jenis vitamin yang diproduksi secara industrial beserta mikroorganisme pengahasilnya
Mikrooganisme Penghasilnya % dari
total
Senyawa
produksi
Bakteri Fungi Mikroalga
di dunia
Larut lemak
- Karotenoid:
-karoten Blakeslea Dunaliella
- 15
trispora salina
Astaxantin Xanthophyllomy- Haematococcus
- <10
ces dendrorbous pluvialis
Larut air
- Vitamin B2 Clostridium Ashbya gossypii
acetobutylicum dan
- 100
dan Bacillus Eremothecium
subtilis ashbyii
- Vitamin B12 Pseudomonas
- - 100
denitrificans
- Vitamin C Gluconobacter
suboxydans dan
- - 50
Ketogulonicige-
nium vulgare
Sumber: Schaechter (2009)

2.3. Mekanisme Produksi Vitamin oleh Mikroorganisme


2.3.1. -karoten (Pro-vitamin A)
Vitamin A adalah sebuah senyawa yang disusun oleh bermacam retinoid, retinol,
retinal, asam retinoat dan ester retinil yang berbeda. Pro-vitamin A utamanya disusun
oleh b-karoten, sementara sisanya adalah a-karoten dan b-kriptoxantin. Dalam tubuh
kita, pro-vitamin tersebut dikonversi menjadi retinal dan asam retinoat, yang merupakan
bentuk aktif dari vitamin A (McNeil et al., 2013).
Vitamin A terlibat dalam berbagai macam fungsi, seperti untuk imunitas,
penglihatan, komunikasi seluler, pertumbuhan dan diferensiasi sel, serta sangat
diperlukan untuk perkembangan normal dan merawatan jantung, paru, ginjal dan organ
lainnya. Vitamin A esensial untuk penglihatan karena merupakan komponen utama
reseptor pada retina (McNeil et al., 2013).
Dalam pola makan baik vitamin A maupun pro-vitamin A dapat diperoleh dari
makanan. Vitamin A tersedia sebagai retinol dan ester retinil yang dapat diperoleh dari
ikan, daging, susu dan telur, yang utama di minyak ikan dan hati. Pro-vitamin juga
ditemukan di pigmen sayuran hijau, oranye serta kuning. Baik pro-vitamin A maupun
vitamin A harus dimetabolisme menjadi retinal dan asam retinoat (McNeil et al., 2013).
Pada skala industri, vitamin A utamanya diproduksi menggunakan mikroalga
Dunaliella dan fungi Blakeslea trispora untuk menghasilkan b-karoten. Dalam kondisi
tertentu (20-30% garam, terbatas nitrogen, cahaya 10.000 lux dan 25-27 0C selama 3
bulan), Dunaliella dapat menghasilkan lebih dari 0,1 g/g sel kering. Fermentasi B.
trispora dapat menghasilkan 0,2 g/g sel kering setelah tujuh hari (McNeil et al., 2013).
Pada beberapa tahun terakhir, sejumlah pendekatan rekayasa metabolik telah
dikembangkan untuk memproduksi karotenoid dalam organisme yang berbeda.
Saccharomyces cerevisiae telah dimodifikasi dengan gen dari Xanthophyllomyces
dendrororhous agar gen biosintesis karotenoidnya terekspresi, sehingga menghasilkan
sekitar 6,3 mg/g sel kering b-karoten. Escherichia coli juga telah direkayasa untuk
memproduksi karotenoid dengan penyisipan gen dari Enterococcus faecalis dan
Streptococcus pneumoniae terbukti paling produktif, hasilnya mencapai 460 mg/L
(McNeil et al., 2013). Sintesis b-karoten oleh E. coli dapat melalui 2 jalur, yaitu jalur
mevalonat (MEV) dan jalur 2-C-methyl-Derythritol-4-phosphate (MEP) (Zhao et al.,
2013).

Gambar 1 Jalur sintesis b-karoten oleh bakteri. Jalur MEP (kanan) (Zhao et al., 2013)
dan jalur MEV (kiri) (Sun et al., 2016).

Selain melalui bantua bakteri semisal E. coli, mikroorganisme lain yang sering
digunakan dalam industri b-karoten adalah khamir (yeast). Menurut Mata-Gomez et al.
(2014), beberapa karoten yang dapat diproduksi oleh khamir antara lain b-karoten,
torulen, astaxanthine, dan cantaxhanthin.
Gambar 2 Beberapa jenis khamir yang telah dibuktikan mampu menghasilkan
karotenoid khamir (Mata-Gomez et al., 2014).

Gambar 3. Beberapa karotenoid yang dapat diproduksi oleh khamir (Mata-Gomez et


al., 2014).

Mata-Gomez et al, (2014) menyatakan bahwa proses produksi karotenoid oleh


mikroba mencakup beberapa tahap utama, yaitu:
1. Seleksi substrat yang tepat. Material mentah yang akan digunakan sebaiknya tidak
diperlakukan sebelumnya, tergantung kapasitas fermentasi dan enzim yang
diproduksi oleh mikroorganisme yang digunakan.
2. Bioreaktor. Konfigurasi bioreactor dan variabel operasional sangat krusialuntuk
hasil yang maksimal.
3. Downstream processing. Keadaan sel adalah langkah kritis untuk pemulihan hasil
produksi karotenoid.
Gambar 4 Skema produksi karotenoid oleh mikroorganisme (Mata-Gomez et al.,
2014).

2.3.2. Riboflavin (Vitamin B2)


Riboflavin adalah salah satu vitamin yang terpenting bagi tubuh, kadang-kadang
disebut sebagai lactoflavin, vitamin B2 atau vitamin G. merupakan kelompok yang larut
dalam air. Riboflavin diproduksi dengan cara kimia dan proses fermentasi. Identifikasi
riboflavin berawal dari beberapa penelitian di bidang sains. Pada tahun 1932, Otto Otto
Warburg dan Walter Kristen di Jerman mengisolasi enzim pengoksida terbaru dari ragi.
Enzim yang terlarut dalam air berwarna kuning, namun fluoresensi terlihat ketika
disinari oleh sinar ultraviolet.
Industri fermentasi yang memproduksi bahan kimia seperti alkohol, butanol dan
aseton dari gandum dan molasse mengalami permasalahan dalam hal pembuangan
residu fermentasi. Residu yang ditemukan ternyata menjadi sumber yang baik untuk
riboflavin dan vitamin lainnya. Karena residu itu mengandung vitamin dari asalnya
(gandum dan molasse), maupun hasil dari fermentasi mikroorganisme. Dengan metode
pengeringan, vitamin yang terkonsentrasi digunakan sebagai produk yang berguna. Pada
akhirnya anggota dari industri itu melakukan penataan kembali residu tersebut.
Kebutuhan aseton selama perang dunia menyebabkan pengembangan fermentasi
butanol-aseton meluas. Para peneliti mengungkapkan adanya pigmen kuning saat
fermentasi gandum, sebelum ditemukannya riboflavin. Beberapa peneliti menduga
bahwa pigmen tersebut diekstrak dari jagung dengan pelarut dari organisme
pemfermentasi Clostridium acetobutylicum. Pada tahun 1940, peneliti mengkonfirmasi
bahwa pigmen itu riboflavin yang disintesis dari bakteri yang memproduksi pelarut
netral, butanol dan aseton
Riboflavin dapat diproduksi baik pada industri atau skala laboratorium dengan
berbagai mikroorganisme (Buzzini dan Rossi, 1997). Pada tahun 1935, Alexander
Guilliermond, sebuah Mikologi Perancis, mengamati bahwa suatu organisme mirip ragi,
Eremothecium ashbyii, awalnya diisolasi sebagai patologis untuk tanaman kapas di
Belgia Kongo, menghasilkan pigmen kuning saat kultur di laboratorium. Ragi yang lain,
genus Candida, menghasilkan jumlah riboflavin yang signifikan, tetapi tidak berlaku
untuk eksploitasi komersial karena toleransinya sangat rendah untuk besi. Guilliermond
dan rekan-rekannya, ketika meneliti Eremothecium ashbyii, melaporkan bahwa spesies
terkait, Ashbya gossypii, memproduksi sisa riboflavin. Pada tahun 1943, L. J.
Wickerham, zymologist di Northern Regional, mengkultur Ashbya gossypii yang
diperolehnya dari W.J. Robbins, direktur Taman Botani New York. Setelah
ditumbuhkan, akhirnya mereka berhasil mengkonfirmasi dugaan pigmen dari riboflavin.
Sejak saat itu Dr. Wickerhamm menemukan strain mikrobiologi yang cocok untuk
produksi riboflavin secara cepat dan melimpah secara in vitro. Sejak deskripsi pertama
dari proses produksi riboflavin (Guilliermond et al., 1935), banyak penelitian telah
dilakukan untuk mengembangkan media sintetis didefinisikan bahwa memaksimalkan
produksi riboflavin.
Tabel 3. Mikroorganisme penghasil riboflavin dan konsentrasi yang dihasilkan

Riboflavin
Jenis Organisme Nama Spesies Sumber Karbon
(g/L)
Clostridium acetobutylicum - 0,1
Bakteri
Bacillus subtilis Glukosa 0,1
Candida flareri Glukosa, fruktosa 0,6
Ragi (yeast)
Candida guilliermondii Liquid brewery waste 0,2
Glukosa 0,2
Minyak jagung, minyak
20,0
Ashbya gossypii kedelai
Minyak kedelai, lemak
Fungi 3,3
tulang
Fruktosa, sukrosa 1,0
Eremothecium ashbyii Glukosa, molasse 5,0
Molasse 20,0

Jalur metabolisme dari tiga mikroorganisme penghasil riboflavin yaitu ragi,


bakteri gram positif dan fungi ditunjukkan oleh Gambar 1. Candida famata memiliki
jalur sederhana dari glukosa menjadi guanosin trifosfat (GTP), yang merupakan
biosintesis riboflavin. Sel Bacilli memiliki jalur yang berbeda dari ragi, dan mengubah
glukosa ke guanosin monofosfat (GMP), yang juga merupakan prekursor GTP. Ashbya
gossypii menggunakan minyak nabati, yang diperoleh dengan perusakan asam lemak,
dan Asam lemak yang dihasilkan masuk ke peroksisom. Kemudian, beberapa jalur yang
mungkin tergantung pada strain tertentu. Metabolit yang dihasilkan dari sumber karbon
di beberapa penghasil riboflavin memasuki jalur biosintesis riboflavin. Biosintesis
dimulai dari GTP dan selesainya dengan produk riboflavin (Alosta, 2007).

Gambar 5. Jalur metabolik dalam produksi riboflavin pada A. gossypii, B. subtilis dan C, famata.
Katerangan: G6P, glukosa-6-fosfat; 3PG, 3-fosfogliserat; PEP, fosfoenolpiruvat; Ribu-5P,
ribulosa-5-fosfat; OAA, Oksaloasetat; Asp, aspartat; Thr, treonin; Gly, glisin; Ser, serin; GTP,
guanosin trifosfat; GMP, guanosin monofosfat; XMP, xantin monofosfat; IMP, inosine monofosfat;
DRTP, 2,5-diamino-6-ribosilamino-4 (3H)-pirimidinedion 5-fosfat; ARP, 5-amino-6-ribitilamino-
2,4(lH, 3H)-pirimidine; DBP, L-3,4-dihidroksi-2-butanon-4-fosfat; DMRL, 6, 7-dimetil-8-
ribitillumazin.
Sumber: Alosta (2007)

2.3.3. Kobalamin (Vitamin B12)


Kobalamin pertama kali teridentifikasi sebagai zat nutrisi pada tahun 1920an
ketika Whipple dan Robscheit-Robbins (1925) serta Minot dan Murphy (1926)
menemukan bahwa ekstrak kasar hati dapat digunakan untuk menyembuhkan anemia
parah. Senyawa aktif dalam ekstrak tersebut dimurnikan, dikristalkan dan diamati
strukturnya oleh Dorothy Hodgkin (Warren & Deery, 2009).
Kobalamin memiliki struktur kimia yang paling kompleks di antara semua
vitamin, mengandung 15 cincin corrin planar dengan sebuah ion kobalt di tengah,
sebuah gugus dimetilbenzimidazol sebagai ligan bawah, dan sebuah gugus adensil-,
metil-, hidroksi- atau siano sebagai ligan atas. Kobalamin adalah nutrisi esensial untuk
tumbuhan dan hewan, karena hanya beberapa bakteri dan arkaea yang dapat
mensintesisnya secara de novo (Warren & Deery, 2009).

Gambar 6. Struktur vitamin B12. Sumber: Warren, M. J. & Deery, E (2009).

Kobalamin (vitamin B12) yang diproduksi oleh industri, biasa digunakan sebagai
suplemen nutrisi, adalah senyawa kobalamin buatan dengan ligan siano yang
merupakan turunan dari kobalamin alami seperti adenosil-, metil-, atau kobalamin
hidroksi. Akan tetapi, istilah vitamin B12 juga digunakan untuk kobalamin alami.
Vitamin B12 yang diproduksi oleh industri tidak pernah diproduksi melalui jalur sintesis
yang rumit dan panjang, melainkan dieskstrak dari feses, sapropel atau kultur
Streptomyces sp. yang digunakan untuk produksi antibiotik. Ekstrak selanjutnya
diproses dengan fermentasi oleh Pseudomonas, Bacillus, Methanobacterium atau
Propionibacterium (Wang et al., 2014).
Gambar 7. Skema jalur biosintesis vitamin B12 oleh Pseudomonas denitrificans.
Keterangan: ACA, asam adenosilkobirat; AcCoA, asetil-KoA; APP, aminopropanol-O-2-fosfat;
CIT, sitrat; DMBI, dimetil benzimidazol; F6P, fruktosa-6-fosfat; Gly, glisin; Glu, glutamat; G3P,
gliseraldehid-3-fosfat; G6P, glukosa-6-fosfat; KDG, 2-keto,3-deoksi-6-fosfoglukonat; OAA,
oksaloasetat; P5P, pentosa-5-fosfat; PGA, 3-fosfat-gliserat; PYR, piruvat; Ser, serin; SUC-CoA,
suksinil-KoA; Thr, treonin; UPR, uroporfirinogen III; -KG, -ketoglutarat dan -ALA, asam -
aminolevulinat.
Akhir-akhir ini, bakteri Pseudomonas denitrificans hampir secara eksklusif
digunakan sebagai organisme produksi. Penelitian terhadap jalur biosintesis kobalamin
pada P. denitrificans dan kloning ke 22 gen cob dari organisme tersebut memungkinkan
peneliti menyusun strain produksi dengan gen yang terekayasa. Agar produksi tinggi,
glisin betain harus ada dalam molasse beet gula, begitu pula dengan prekursor
biosintetik kolin klorida. Medium fermentasi juga harus menyediakan garam kobalt dan
dimetilbenzimidazol sebagai komponen molekul kobalamin. Selama tujuh hari
fermentasi, adenosilkobalamin akan banyak disekresikan dari biomassa dan
terakumulasi di dalam kaldu fermentasi dalam satuan miligram. Langkah downstream
meliputi filtrasi, perlakuan sianida, kromatografi, ekstraksi dan kristalisasi yang
menghasilkan vitamin B12 murni (Schaechter, 2009).

2.3.4. Asam Askorbat (Vitamin C)


Vitamin C adalah produk mendunia yang jumlahnya mencapai 110.000 ton/tahun.
Produk ini digunakan sebagai nutrisi bagi manusia dan hewan serta antioksidan dalam
makanan. Langkah pertama dalam produksi asam askorbat adalah melalui proses
Reichstein yang merupakan sebuah reaksi biokonversi, yakni oksidasi D-sorbitol
menjadi L-sorbose oleh Gluconobacter oxydans. Biotransformasi akan berjalan lebih
efektif (contoh: 200 g/L D-sorbitol dikonversi menjadi 200 g/L sorbose) jika
menggunakan mutan G. oxydans yang diseleksi untuk mendapatkan mutan yang tahan
terhadap konsentrasi sorbitol tinggi. Lebih baik menggunakan biokonversi daripada
reaksi kimiawi karena melalui reaksi kimiawi selain menghasilkan L-sorbose juga
menghasilkan D-sorbose yang tidak diperlukan. Jika proses biokonversi berjalan baik,
D-sorbitol dengan konsentrasi awal 100 g/L menghasilkan 280 g/L L-sorbose dalam
waktu 16 jam dengan produktivitas 17,6 g/L/jam. Proses Reichstein mengkonversi
glukosa menjadi 2-keto-L-asam gulonat (2-KLGA) melalui lima tahapan dengan hasil
sebesar 50%. Kemudian 2-KLGA secara kimiawi dikonversi menjadi asam askorbat
melalui dua tahapan lagi (El-Mansi et al., 2012).
Proses fermentasi serupa dengan metode Reichstein. Kultur campuran G. oxydans
(yang mengkonversi L-sorbose menjadi 2-KLGA) dan G. suboxydans (yang
mengkonversi D-sorbitol menjadi L-sorbose) dapat mengkonversi 138 g/L D-sorbitol
menjadi 112 g/L 2-KLGA, dengan hasil sebesar 75% dalam waktu dua hari. Strain
rekombinan G. oxydans mengandung gen yang mengkode L-sorbose dehidrogenase,
sementara G. oxydans normal mengandung gen yang mengkode L-sorbosone
dehidrogenase. Mutasi mampu menekan jalur L-idionate dan meningkatkan promoter
yang berperan dalam produksi D-sorbitol, sehingga mampu menghasilkan 130 g/L 2-
KLGA dari 150 g/L D-sorbitol (El-Mansi et al., 2012).

2.3.5. Kalsiferol (Vitamin D)

Vitamin D adalah senyawa larut lemak yang merupakan turunan dari kolesterol
dan ergosterol. Bentuk vitamin D yang diproduksi di industri adalah vitamin D2
(ergokalsiferol) dan D3 (kolekalsiferol). Vitamin D2 ditransformasi dari ergosterol,
sementara vitamin D3 dihasilkan dari konversi kolesterol menjadi 7-dehidrokolesterol,
yang kemudian diputus dengan radiasi UV untuk menghasilkan kolekalsiferol. Baik
vitamin D2 maupun D3 dapat aktif dalam manusia sebelum melewati dua tahap
hidroksilasi yang terjadi di hati dan ginjal. Pertama, hati mengkonversi vitamin D
menjadi 25-hidroksi-vitamin D (kalsidiol). Kedua, ginjal mentransformasi kalsidiol
menjadi 1,25-dihidroksi-vitamin D (kalsitriol). Normalnya, vitamin D2 dan D3
difortifikasi ke dalam makanan dan pakan. Vitamin ini penting karena dapat membantu
absorpsi kalsium dan mineralisasi tulang, memodulasi pertumbuhan sel dan memiliki
fungsi neuromuskular, imun dan inflamasi (McNeil et al., 2013).
Vitamin D dapat disintesis oleh kebanyakan orang melalui paparan terhadap sinar
matahari, namun radiasi yang berlebihan dapat bersifat karsinogenik sehingga penting
untuk mengimbangi paparan terhadap sinar matahari dengan pola makan yang
mengandung vitamin ini. Vitamin ini dapat ditemukan secara alami dalam daging ikan
berlemak dan minyak hati ikan, namun sejumlah kecil vitamin ini juga dapat ditemukan
di hati sapi, keju, kuning telur (D2) dan beberapa jamur (D3) (McNeil et al., 2013).
Berikut adalah mekanisme sintesis vitamin D.

Gambar 8 Sintesis vitamin D (Sumber; http://www.globalrph.com/vitamin_d.htm).

2.3.6. Tokoferol (Vitamin E)

Vitamin E (Tokoferol)
Vitamin E adalah anti oksidan fase lipid utama tubuh terdiri dari 8 bentuk
molekuler, 4 tokoferol dan 4 tokotrienol. Molekul tokoferol ini terdiri dari prenil
hidropobik dan kromonal polar. Kromonal terdiri dari , , dan isomer. Walaupun
seluruhnya terdapat dalam makanan tetapi tokoferol adalah bentuk yang paling aktif
dan banyak digunakan. Vitamin E dalam bentuk oral yang sering di konsumsi adalah D-
tokoferol, D- tokoferol dan tokoferil suksinat sedangkan untuk topikal jenis yang
digunakan adalah tokoferil asetat dan tokoferil linoleat. Istilah tokoferol dan
tokoferil hanya berbeda dari absorbsinya di mana ester tokoferol lebih sedikit
absorbsinya di kulit (Deny, dkk. 2006). Vitamin E memiliki rumus kimia C 29H50O2,
struktur kimia vitamin E ( tokoferol) dapat dilihat pada gambar berikut :

Gambar 9 Struktur kimia vitamin E ( tokoferol) (Winarti, 2010)

Vitamin E (tokoferol) bertindak sebagai antioksidan dengan memutuskan berbagai


reaksi rantai radikal bebas sebagai akibat kemampuannya untuk memindahkan
hydrogen fenolat kepada radikal bebas perksil dari asam lemak tak jenuh ganda yang
telah mengalami peroksidasi . Radikal bebas fenoksi yang terbentuk kemudian bereaksi
dengan radikal bebas peroksil selanjutnya. Dengan demikian tokoferol tidak mudah
terikat dalam reaksi oksidasi yang reversible, cincin kromana dan rantai samping akan
teroksidasi menjadi produk non radikal bebas (Triana, 2006).
-tokoferol dipercaya mempunyai peranan penting dalam mencegah dari pengaruh
cahaya yang membuat kerusakan kulit, mata, penyakit degeneratif seperti
artherosklerosis, penyakit kardiovaskuler dan kanker. Saat ini -tokoferol diproduksi
dengan sintesis kimia dan ekstraksi dari minyak sayur. Hal ini disebabkan karena -
tokoferol kebanyakan ditemukan pada sel yang mengandung klorofil. Namun produksi
dengan sisntesis kimia dan ekstraksi minyak sayur ini hanya menghasilkan -tokoferol
dalam jumlah sedikit (Tany & Tsumura, 1988). Mikroorganisme fotosintetik yang hidup
di air diketahui menyimpan tokoferol dalam jumlah yang dapat terdeteksi. Spirulina
platensis, Dunaliella tertiolecta, Synechocystis sp., Chlorella sp., Chlamydomonas sp.,
Ochromonas sp., dan Euglena gracilis merupakan contoh mikroalga yang menyimpan
-tokoferol dalam selnya dengan konsentrasi yang lebih tinggi dibandingkan sumber
makanan yang terkenal sebagai sumber vitamin.

Mikroorganisme lain yang dapat menghasilkan -tokoferol terdapat pada tabel


berikut:
Tabel 2. Beberapa organisme yang dapat menghasilkan -tokoferol
(Tani & Tsumura, 1988)

Microorganism

Penelitian untuk optimasi -tokoferol sudah diketahui menggunakan Euglena


gracilis Z, dengan menggunakan :
1. Modification of Culture Condition.
2. Two Step Culture
3. Screening of Tokoferol-producing Microorganisms
Modification of Culture Condition. Dapat diketahui bahwa sel dengan densitas
tinggi menurunkan penetrasi cahaya pada tiap sel, menurunkan aktifitas fotosintesis. Ini
menyebabkan penurunan kondisi aerobic dan meningkatkan kadar vitamin E. Kemudian
konsumsi oksigen dan glukosa dari respirasi dapat meningkatkan metabolisme
heterotropik. Hasil dari sel densitas tinggi yang ditumbuhkan secara fotoheterotrof dari
fed-batch culture mencapai 1,21 mg/g massa sel kering.
Two Step Culture. Produksi bersamaan akan betakaroten, vitamin C dan vitamin E
sudah berhasil dilakukan oleh E. gracillis Z menggunakan two step culture. Di step
pertama dari batch culture, E. gracillis Z di kultivasikan secara fotoheterotrof di media
Oda dan Hunter yang dimodifikasi dengan intensitas cahaya tinggi. Ketika sel terlambat
mencapai fase eksponensial mereka akan terpisah, kemudian dicuci dan diresustensikan
lagi dengan volume yang sama kedalam medium Cramer dan Mayers untuk step
kultivasi yang kedua. Two step culture menggunakan sel densitas tinggi menghasilkan
produktivitas antioksidan yang tinggi.
Screening of Tocopherol-producing Microorganism. Distribusi organisme yang
dapat memproduksi tokoferol sudah diidentifikasi dan dipelajari pada 162 strain dari 26
genus yeast ascosporogenous dan asporogenous, 74 strai dari 15 genus kapang
phytomycetes dan ascomycetes, 41 strain dari 12 genus basidiomycetes dan 4 strain dari
Euglena, Chlorella dan Chlamydomonas.
Pada pembuatan medium kultur untuk memperbanyak E. gracillis Z harus
diperhatikan beberapa faktor. Faktor ini nantinya dapat mempengaruhi hasil dari
produksi -tokoferol. Melalui beberapa riset dan penelitian sudah dirumuskan resep
medium yang tepat untuk media kultur E. gracillis Z. Perbandingan beberapa medium
beserta produksi -tokoferol dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 3. Komposisi medium beserta jumlah -tokoferol yang dihasilkan
(Tani & Tsumura, 1988)

Masuknya vitamin E ke dalam sel dapat terjadi melalui proses mediasi reseptor (LDL
membawa vitamin ini ke dalam sel) atau melalui proses yang dibantu oleh lipoprotein
lipase dengan cara vitamin E dilepaskan dari kilomikron dan VLDL. Di dalam sel,
transpor intraselular dari tokoferol membutuhkan protein pengikat tokoferol intraselular.
Vitamin E pada sebagian besar sel-sel non adiposa terdapat pada membran sel (Gyuton,
2007). Berikut adalah pembentukan vitamin e dari mikroalga.

(Sumber : http://www.lipidhome.co.uk/lipids/simple/tocol/index.htm)

Vitamin K (Menaquinon)
Vitamin K adalah vitamin yang larut dalam lemak, merupakan suatu naftokuinon
yang berperan dalam proses pembekuan darah, seperti prothrombin, proconvertin,
komponen thromboplastin plasma, dan Stuart-Power Factor. Vitamin K juga adalah
sekelompok senyawa kimia yang terdiri atas filokuinon yang terdapat dalam tumbuh-
tumbuhan dan menakuinon yang terdapat dalam minyak ikan dan daging. Menakuinon
juga dapat disintesis oleh bakteri di dalam usus halus manusia (Sandjaja, 2009). Selain
berperan dalam pembekuan, vitamin ini juga penting untuk pembentukan tulang
terutama jenis K1. Vitamin K1 diperlukan agar penyerapan kalsium bagi tulang menjadi
maksimal (Winarno, 1986).
Ada tiga bentuk vitamin K, yaitu: (1) Vitamin K1 (phylloquinone) yang tedapat
pada sayuran hijau, (2) Vitamin K2 (menaquinone) yang dapat disintesis oleh flora usus
normal seperti Bacteriodes fragilis dan beberapa strain Escherichia coli, (3) Vitamin K3
(menadione) merupakan vitamin K sintetis yang sekarang jarang diberikan pada bayi
yang baru lahir (neonatus) karena dilaporkan dapat menyebabkan anemia hemolitik.
Vitamin K3 ini bersifat larut dalam air, digunakan untuk penderita yang mengalami
gangguan penyerapan vitamin K dari makanan (Sandjaja, 2009).

Gambar 10. Struktur Kimia Vitamin K dalam Tiga Bentuk


Vitamin K1 mempunyai rantai samping fitil. Vitamin K2 merupakan sekumpulan
ikatan yang rantai sampingnya terdiri atas beberapa satuan isoprene (berjumlah 1
samping dengan 14 unit). Vitamin K3 terdiri atas naftakinon tanpa rantai samping, oleh
karena itu mempunyai sifat larut air. Vitamin K atau metadion baru aktif secara biologis
setelah mengalami alkalilasi didalam tubuh (Almatsier, 2006).

Vitamin K larut dalam lemak dan tahan panas, tetapi mudah rusak oleh radiasi,
asam, dan alkali. Vitamin K juga terdapat di alam dalam dua bentuk, keduanya terdiri
atas cincin 2-metilnaftakinon dengan rantai samping. Vitamin K1 mempunyai rantai
samping fitil. Vitamin K2 merupakan sekumpulan ikatan yang rantai sampingnya terdiri
atas beberapa satuan isoprene (berjumlah 1 samping dengan 14 unit). Vitamin K3 terdiri
atas naftakinon tanpa rantai samping, oleh karena itu mempunyai sifat larut air. Vitamin
K atau metadion baru aktif secara biologis setelah mengalami alkalilasi didalam tubuh
(Almatsier, 2006). Sebanyak 50-80 persen vitamin K di dalam usus diserap dengan
bantuan asam empedu dan cairan pankreas. Setelah diserap di dalam usus halus bagian
atas, vitamin K dikaitkan dengan kilomikron untuk diangkut melalui sistem limfa ke
hati. Hati merupakan tempat penyimpanan vitamin K utama di dalam tubuh. Kemudian,
vitamin K diangkut oleh lipoprotein VLDL plasma dari hati menuju ke berbagai sel
tubuh. Karena vitamin K bersifat larut dalam lemak, hal-hal yang menghambat
penyerapan lemak secara otomatis juga akan menurunkan penyerapan vitamin K
(Almatsier, 2006).

Dalam keadaan normal, sebanyak 30-40 persen dari vitamin K yang diserap akan
dikeluarkan melalui empedu, dan 15 persen melalui urin sebagai metabolit larut air.
Simpanan vitamin K di dalam tubuh tidak banyak dan pergantiannya terjadi dengan
cepat. Simpanan di dalam hati sebanyak 10 persen berupa filokuinon dan 90 persen
berupa menakuinon, yang kemungkinan disintesis oleh bakteri pada saluran pencernaan.
Namun, kebutuhan akan vitamin K tampaknya tidak dapat hanya dipenuhi dari sintesis
menakuinon, diperlukan juga diperoleh dari makanan (Almatsier, 2006).
Biosintesis vitamin K menggunakan bakteri yang menghasilkan enzim
Isochorismic Synthase (ICS). Contoh Bakteri penghasil ICS yaitu Escherichia colli
yang merupakan bakteria gram negatif berbentuk batang/basilus/rod yang umum
ditemui di usus bawah organisma berdarah panas (endotermik). Kebanyakan strain E.
coli tidak berbahaya, tetapi terdapat beberapa jenis/strain , seperti serotype O157: H7,
boleh menyebabkan keracunan makanan yang serius pada manusia, dan kadang kala
strain ini menyebabkan produk makan dikembalikan. Strain berbahaya ini juga
sebenarnya adalah sebagian dari unsur alam flora usus yang normal bersama dengan
jenis bilion strain yang jahat dan baik yang lain. Strain ini juga boleh menguntungkan
perumah mereka dengan menghasilkan vitamin K2, dan dengan mencegah pembentukan
bakteria patogen dalam usus. Berikut gambar mekanisme pembentukan vitamin K
dalam bakteri.
Sikimat merupakan precursore pembentuk menaquinon. Jalur asam Shikimate
merupakan jalur alternative menuju senyawa aromatic. Jalur ini berlangsung dalam
mikroorganisme dan tumbuhan namun tidak berlangsung dalam hewan. Zat antara
pusat adalah asam shikimat, sutau asam yang ditemukan pada tanaman Illicium sp,
beberapa tahun sebelum perannya dalam metabolisme ditemukan. Asam ini juga
terbentuk dalam bakteri Esherichia colli. Berikut merupakan gambar jalur shikimate.
(Sumber : http://www.chem.qmul.ac.uk/iupac/misc/quinone.html)
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Adapun kesimpulan dalam makalah ini:
1. Vitamin (vita = hidup, amine = mengandung nitrogen) adalah molekul organik
yang berperan sebagai kofaktor. Senyawa ini tidak dihasilkan dari proses
anabolisme di dalam tubuh, tetapi diambil dari makanan sehari-hari. Senyawa ini
dibutuhkan dalam jumlah sedikit, namun keberadaannya vital bagi kehidupan.
2. Prinsip produksi vitamin adalah penggunaan mikroorganisme yang spesifik.
3. Mekanisme produksi vitamin oleh mikroorganisme adalah melalui jalur
metabolisme panjang yang membutuhkan glukosa (utamanya) sebagai sumber
karbon.
DAFTAR PUSTAKA

Almatsier, S. 2006. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama.

Alosta, H. A. 2007. Riboflavin production by encapsulated candida flareri. Dissertation.


Faculty of graduate college of the Oklahoma University

Dewoto, H. R. 2007. Farmakologi dan Terapi. Edisi kelima. Jakarta: Percetakan Gaya
Baru.

El-Mansi, E. M. T.; Bryce, C. F. A.; Dahhou, B.; Sanchez, S.; Demain, A. L. & Allman,
A. R. 2012. Fermentation Microbiology and Biotechnology. Third Edition. Boca
Raton: CRC Press.

Mata-Gomez, L.C., Montanez, J.C., Mendez-Zavala, A., & Aguilar, C.N. 2014.
Biotechnological Production of Carotenoids by Yeasts: An Overview. Microbial
Cell Factories, 13(12): 1-11.

McAuley, D.F. Vitamin D. (Online), (http://www.globalrph.com/vitamin_d.htm).


Diakses tanggal 7 Pebruari 2017

McNeil, B.; Archer, D.; Giavasis, I. & Harvey, L. 2013. Microbial Production of Food
Ingredients, Enzymes and Nutraceuticals. Cambridge: Woodhead Publishing.

Rahayu, I. D. 2010. Klasifikasi, Fungsi, dan Metabolisme Vitamin. (Online), (http://


imbang.staff.umm.ac.id/files/2010/02/Klasifikasi_dan_Metabilisme_vitamin_imb
ang.pdf), diakses pada Februari 2017.

Ramos, J. 2004. Pseudomonas. Biosynthesis of Macromolecules and Molecular


Metabolism. New York: Kluwer Academic/Plenum Publishers.

Sandjaja. 2009. Kamus Gizi. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Schaechter, M. 2009. Encyclopedia of Microbiology. Third Edition. San Diego:


Academic Press.

Siagian, A. 2003. Pendekatan Fortifikasi Pangan Untuk Mengatasi Masalah


Kekurangan Zat Gizi Mikro. Sumatera Utara: FKM USU.

Sun, Y., Sun, L., Shang, F., & Yan, G. 2016. Enhanced Production of b-Carotene in
Recombinant Saccharomyces cerevisiae by Inverse Metabolic Engineering with
Supplementation of Unsaturated Fatty Acids. Process Biochemistry, 51(2016):
568-577.

Tani, Yoshiki and Tsumura, Haruhiko. 1988. Screening for Tokoferol-producing


Microorganisms and Cl-Tokoferol Production by Euglena gracilis Z. Research
Center for Cell and Tissue Culture. Faculty of Agriculture. Kyoto University:
Japan

Wang, Z.; Wang, H.; Wang, P.; Zhang, Y.; Chu, J.; Zhuang, Y. & Zhang, S. 2014.
Enhance Vitamin B12 production by online CO2 concentration control optimization
in 120 m3 fermentation. J Bioproces Biotechniq, 4 (4).
Warren, M. J. & Deery, E. 2009. Vitamin B12 (cobalamin) biosynthesis in the purple
bacteria. The Purple Phototrophic Bacteria, 28 (5): 81-95.

Winarno, F.G. 1986. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama.

Zhao, J., Li, Q., Sun, T., Zhu, X., Xu, H., Tang, J., Zhang, X., & Ma, Y. Engineering
Central Metabolic Modules of Escherichia coli for Improving B-Carotene
Production. Metabolic Engineering. 17(2013): 42-50.

Anda mungkin juga menyukai