Anda di halaman 1dari 40

SKENARIO BERSIN DI PAGI HARI

BLOK RESPIRASI

KELOMPOK : B-10

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS YARSI

2017

I. SKENARIO 1

0
BERSIN DI PAGI HARI
Seorang laki-laki, umur 20 tahun, selalu bersin-bersin di pagi hari, keluar
ingus encer, gatal di hidung dan mata. Keluhan juga timbul bila udara berdebu.
Keluhan ini sudah dialami sejak kecil. Dalam keluarga tidak ada yang menderita
penyakit serupa, kecuali penyakit asma pada ayah pasien.
Pada pemeriksaan fisik terlihat sekret bening keluar dari nares anterior,
choncha nasalis inferior, oedem, mukosa pucat. Dokter menyarankan melakukan
pemeriksaan penunjang yaitu : Hitung eosinofil dalam darah tepi dan sekret
hidung, Pemeriksaan Ig E total serum dan Pemeriksaan feses untuk mendeteksi
kecacingan. Diagnosa kerja adalah Rhinitis alergi.

II. BRAINSTORMING

1
Kata Sulit
1. Asma : penyempitan saluran nafas dan peradangan
sementara akibat hiperreaktivitas terhadap rangsangan tertentu
2. Rhinitis alergi : inflamasi membran mukosa di hidung
3. Choncha nasalis inferior : bagian paling bawah choncha nasalis dekat
meatus nasi inferior

III. Pertanyaan
1. Mengapa pasien bersin di pagi hari ?
2. Bagaimana hubungan asma pada ayah pasien dengan penyakit yang
diderita pasien ?
3. Mengapa keluhan juga timbul jika udara berdebu ?
4. Apakah ada hubungan memasukkan air wudhu ke dalam hidung dengan
bersin yang diderita pasien ?
5. Mengapa terjadi gatal pada hidung dan mata ?
6. Mengapa dilakukan pemeriksaan penunjang seperti pada skenario ?
7. Mengapa keluar ingus encer ?
8. Apa saja faktor pemicu bersin ?
9. Apa saja obat yang diberikan untuk meredakan gejala ?
10. Mengapa pasien di diagnosa rhinitis alergi ?

IV. Jawaban

1. Karena silia yang terdapat pada hidung sensitif terhadap suhu rendah
seperti saat pagi hari atau bila terkena alergen seperti debu.
2. Karena adanya riwayat penyakit pada keluarga asma dan disebabkan
karena reaksi hipersensitivitas juga
3. Sebagai respon tubuh terhadap benda asing yang masuk ke dalam tubuh
4. Tidak, karena memasukkan air ke dalam hidung justru bermanfaat untuk
membersihkan hidung dari bakteri
5. Sebagai reaksi hipersensitivitas, gatal terjadi karena keluarnya histamin
APC terbentuk sitokin keluar Ig E berikatan dengan sel mast
gatal
6. Peningkatan Ig E : untuk mengidentifikasi hipersensitivitas
Peningkatan eosinofil : untuk memeriksa adanya alergi atau tidak
Pemeriksaan feses : untuk menyingkirkan diagnosis lain
7. Ingus encer karena pada saat suhu rendah mukosa hidung kering
tubuh mengkompensasi dengan mengeluarkan mukus untuk
melembabkannya
8. Debu, suhu rendah, alergen
9. Diberi obat anti-histamin
10. Karena gejala rhinitis alergi : bersin-bersin, mata dan hidung gatal,
keluhan timbulbila berdebu, suhu rendah, terdapat riwayat alergi pada
keluarga, eosinofil dan Ig E meningkat

Hipotesis

2
Rhinitis alergi merupakan reaksi hipersensitivitas yang disebabkan oleh
paparan alergen, suhu rendah, debu dan riwayat alergi pada keluarga yang
kemudian akan menimbulkan gejala seperti bersin-bersin, hidung dan mata gatal,
dan ingus encer.
Diagnosis dapat ditegakkan apabila dari hasil pemeriksaan penunjang
yaitu peningkatan kadar Ig E, eosinofil, dan dilakukan pemeriksaan feses untuk
menyingkirkan diagnosis lain. Gejala dapat diredakan dengan pemberian anti-
histamin.

Sasaran Belajar

3
LI. 1. Memahami dan Menjelaskan Anatomi Saluran Pernafasan Atas
LO.1.1. Makroskopis
LO.1.2. Mikroskopis

LI. 2. Memahami dan Menjelaskan Fisiologi Saluran Nafas Atas


LO.2.1. Fungsi Saluran Nafas Atas
LO.2.2. Mekanisme Pertahanan Tubuh

LI. 3. Memahami dan Menjelaskan Rhinitis Alergi


LO.3.1. Definisi
LO.3.2. Epidemiologi
LO.3.3. Etiologi
LO.3.4. Klasifikasi
L.O.3.5. Patofisiologi
L.O.3.6. Manifestasi Klinis
L.O.3.7. Diagnosis dan Diagnosis Banding
L.O.3.8. Tatalaksana
L.O.3.9. Komplikasi
L.O.3.10. Pencegahan
L.O.3.11. Prognosis

LI. 4. Memahami dan Menjelaskan Istinsyak, Istinsyar, Adab Menguap, Bersin


dan Bersendawa dalam Islam

LI. 1. Memahami dan Menjelaskan Anatomi Saluran Pernafasan Atas

4
LO.1.1. Makroskopis
Respirasi adalah pertukaran gas, yaitu oksigen (O2) yang dibutuhkan
tubuh untuk metabolisme sel dan karbondioksida (CO 2) yang dihasilkan
dari metabolisme tersebut dikeluarkan dari tubuh melalui paru.
Sistem Respirasi
1. Saluran Nafas Bagian Atas, pada bagian ini udara yang masuk ke tubuh
dihangatkan, disarung dan dilembabkan.
2. Saluran Nafas Bagian Bawah, bagian ini menghantarkan udara yang
masuk dari saluran bagian atas ke alveoli.
3. Alveoli, terjadi pertukaran gas anatara O2 dan CO2
4. Sirkulasi Paru, pembuluh darah arteri menuju paru, sedangkan
pembuluh darah vena meninggalkan paru.
5. Paru, terdiri atas :
a. Saluran Nafas Bagian Bawah
b. Alveoli
c. Sirkulasi Paru
6. Rongga Pleura, terbentuk dari dua selaput serosa, yang meluputi
dinding dalam rongga dada yang disebut pleura parietalis, dan yang
meliputi paru atau pleura veseralis
7. Rongga dan Dinding Dada, merupakan pompa muskuloskeletal yang
mengatur pertukaran gas dalam proses respirasi

Saluran Nafas Bagian Atas


a. Rongga hidung
Udara yang dihirup melalui hidung akan mengalami tiga hal :
1. Dihangatkan
2. Disaring
3. Dilembabkan
Ketiga hal di atas merupakan fungsi utama dari selaput lendir respirasi,
yang terdiri atas Psedostrafied Ciliated Columnar Epitelium yang
berfungsi menggerakkan partikel-partikel halus ke arah faring sedangkan
partikel yang besar akan disaring oleh bulu hidung, sel golbet dan kelenjar
serous yang berfungsi melembabkan udara yang masuk, pembuluh darah
yang berfungsi menghangatkan udara. Ketiga hal tersebut dibantu dengan
concha.
b. Nasofaring (terdapat Pharyngeal Tonsil dan Tuba Eustachius)
c. Orofaring (merupakan pertemuan rongga mulut dengan faring,
terdapat pangkal lidah)
d. Laringofaring (terjadi persilangan antara aliran udara dan aliran
makanan)
(Daniel S.W, 2008; Raden Inmar, 2009)
Hidung
Organ pertama yang berfungsi dalam saluran napas. Terdapat vestibulum
nasi yang terdapat cilia kasar yang berfungsi sebagai saringan udara.
Bagian dalam rongga hidungada terbentuk terowongan yang disebut

5
cavum nasi mulai dari nares anterior sampai ke nares posterior lalu ke
nasofaring.
Sekat antara kedua rongga hidung dibatasi dinding yang berasal dari
tulang dan mucusa yaitu septum nasi yang dibentuk oleh :
a. Cartilago septi naso
b. Os vomer
c. Lamina perpendicularis os ethmoidalis
1) Merupakan organ berongga yang terdiri atas tulang, tulang rawan
hyalin otot bercorak dan jaringan ikat
2) Fungsi :
a) Menyalurkan udara
b) Menyaring udara dari benda asing
c) Menghangatkan udara pernafasan
d) Melembabkan udara pernafasan
e) Alat pembau
3) Cavum nasi dipisahkan oleh septum nasi,
yang berhubungan dengan nasofaring
melalui choana (nares posterior)
4) Memiliki bagian terlebar yang disebut
dengan vestibulum nasi

Fossa Nasalis
Dinding superior rongga hidung sempit, dibentuk lamina
cribroformis ethmoidalis yang memisahkan rongga tengkorak dengan
rongga hidung. Dinding inferior dibentuk os maxilla dan os palatinum.
Ada 2 cara pemeriksaan hidung yaitu rhinoscopy anterior dan
posterior. Bagian anterior, di cavum nasi di sisi lateral terdapat concha
nasalis yang terbentuk dari tulang tipis dan ditutupi mukusa yang
mengeluarkan lendir dan di medial terlihat dinding septum nasi. Kalau
pada posterior, dapat terlihat nasofaring, choanae, bagian ujung belakang
conchae nasalis media dan inferior, juga terlihat OPTA yang berhubungan
dengan telinga.
Ada 3 buah concha nasalis, yaitu :
a. Concha nasalis superior
b. Concha nasalis inferior
c. Concha nasalis media
Di antara concha nasalis superior dan media terdapat meatus nasalis
superior.
Antara concha media dan inferior terdapat meatus nasalis media. Antara
concha nasalis inferior dan dinding atas maxilla terdapat meatus nasalis
inferior.
Fungsi chonca :
1. Meningkatkan luas permukaan epitel respirasi
2. Turbulensi udara dimana udara lebih banyak kontak dengan permukaan
mukosa.

6
Sinus-sinus yang berhubungan dengan cavum nasi disebut sinus
paranasalis :
a. Sinus sphenoidalis mengeluarkan sekresinya melalui meatus superior
b. Sinus frontalis ke meatus media
c. Sinus maxillaris ke meatus media
d. Sinus ethmoidalis ke meatus superior dan media.
Di sudut mata terdapat hubungan antara hidung dan mata melalui
ductus nasolacrimalis tempat keluarnya air mata ke hidung melalui meatus
inferior. Di nasofaring terdapat hubungan antara hidung dan rongga telinga
melalui OPTA (Osteum Pharyngeum Tuba Auditiva) eustachii. Alurnya
bernama torus tobarius.

Vaskularisasi hidung
Berasal dari cabang a. Opthalmica dan a. Maxillaris interna
1. Arteri ethmoidalis dengan cabang-cabang : arteri nasalis externa dan
lateralis, arteri septalis anterior
2. Arteri ethmoidalis posterior dengan cabang-cabang : arteri nasalis
posterior, lateralis dan septal, arteri palatinus majus
3. Arteri sphenopalatinum cabang arteri maxillaris interna. Ketiga
pembuluh tersebut membentuk anyaman kapiler pembuluh darah
yang dinamakan Plexus Kisselbach. Plexus ini mudah pecah oleh
trauma/infeksi sehingga sering menjadi sumber epistaxis pada anak.

Persarafan hidung
Persarafan sensorik dan sekremotorik hidung :
1. Depan dan atas cavum nasi mendapat persarafan sensoris dari
cabang nervus opthalmicus
2. Bagian lainnya termasuk mucusa hidung cavum nasi dipersarafi
ganglion sfenopalatinum. Nasofaring dan concha nasalis mendapat
persarafan sensorik dari cabang ganglion pterygopalatinum.
Nervus olfactorius memberikan sel-sel reseptor untuk penciuman. Proses
penciuman : pusat penciuman pada gyrus frontalis, menembus lamina

7
cribrosa ethmoidalis ke traktus olfactorius, bulbus olfactorius, serabut n.
olfactorius pda mucusa atas depan cavum nasi.

FARING
Merupakan struktur seperti tuba yang menghubungkan hidung dan rongga
mulut ke laring. Dibagi menjadi 3 bagian, yaitu:
1. Nasofaring
Bagian pharynx yang
berada dibelakang cavum
nasi dan diatas palatum
molle berfungsi sebagai
tractus respiratorius
sehingga dindingnya tidak
kolaps. Nasopharynx
dihubungkan dengan
cavum nasi oleh choanae.
Nasopharynx berhubungan
dengan oropharynx lewat
isthmus pharyngeus. Pada dinding lateral nasopharynx terdapat
ostium pharyngeum tubae auditiva (O.P.T.A.). Pada atap dan
dinding posterior terdapat tonsila pharyngea yang dapat mengalami
pembesaran dikenal sebagai adenoid yang membuat buntu tractus
respiratorius. Di samping OPTA terdapat di depan lekukan yang
disebut fosa Rosenmuller.
2. Orofaring
Mulai dari palatum mole ke tulang hyoid. Ini membuka ke bagian
depan, melalui isthmus faucium ke dalam mulut, sementara di
dinding lateral, antara kedua lengkungan palatina, terdapat tonsila
palatina.
3. Laringofaringeal
Di depannya terdapat pintu masuk larnyx, yang digerakkan oleh
epiglotis. Di bawah muara glotis bagian medial dan lateral terdapat
ruangan yang disebut sinus piriformis yaitu di antara lipatan
ariepiglotika dan cartilago thyroid. Lebih ke bawah lagi terdapat
otot-otot dari lamina cricoid dan di bawahnya terdapat muara
esofagus.

LARING
Daerah yang dimulai dari aditus laryngis sampai batas bawah cartilago
cricoid. Rangka laring terbentuk dari tulang rawan dan tulang.
1. Berbentuk tulang adalah os hyoid
2. Berbentuk tulang rawan adalah : tyroid 1 buah, arytenoid 2 buah,
epiglotis 1 buah. Pada arytenoid bagian ujung ada tulang rawan kecil
cartilago cornuculata dan cuneiforme.
Laring adalah bagian terbawah dari saluran napas atas.
Os hyoid

8
Mempunyai 2 buah cornu, cornu majus dan minus. Berfungsi untuk
perlekatan otot mulut dan cartilago thyroid
Cartilago thyroid
Terletak di bagian depan dan dapat diraba tonjolan yang disebut
prominess laryngis atau lebih disebut jakun pada laki-laki. Jaringan
ikatnya adalah membrana thyrohyoid. Mempunyai cornu superior dan
inferior. Pendarahan dari a. Thyroidea superior dan inferior.
Cartilago arytenoid
Mempunyai bentuk seperti burung penguin. Ada cartilago corniculata dan
cuneiforme. Kedua arytenoid dihubungkan m.arytenoideus transversus.
Epiglotis
Tulang rawan berbentuk sendok. Melekat di antara cartilago arytenoid.
Berfungsi untuk membuka dan menutup aditus laryngis. Saat menelan
epiglotis menutup aditus laryngis supaya makanan tidak masuk ke laring.
Cartilago cricoid
Batas bawah adalah cincin pertama trakea. Berhubungan dengan thyroid
dengan ligamentum cricothyroid dan m.cricothyroid medial lateral.
Otot-otot laring :
a. Otot extrinsik laring
Berfungsi untuk menarik larynx ke atas dan ke bawah selama proses
menelan. Pada umumnya otot-otot melekat pada os hyoideus melalui
membrana thyrohyoideus dan terjadi gerakan larynx. Otot-otot
ekstrinsik terbagi atas 2 golongan :
1. Otot-otot elevator (otot-otot suprahyoid), otot yang berinsertio
pada os hyoideus yaitu : M. digastricus, M. stylohyoideus, M.
mylohyoideus dan M. geniohyoideus
2. Otot-otot depressor (otot-otot yang infra hyoid), otot yang berorigo
pada os hyoideus yaitu : M. sternothyroideus, M. sternohyoideus
dan M. omohyoideus
b. Otot intrinsik laring
1. M.cricoarytenoid posterior yang membuka plica vocalis. Jika
terdapat gangguan pada otot ini maka bisa menyebabkan orang
tercekik dan meninggal karena rima glottidis tertutup. Otot ini
disebut juga safety muscle of larynx.
2. M. cricoarytenoid lateralis yang menutup plica vocalis dan
menutup rima glottdis
3. M. arytenoid transversus dan obliq
1. M.vocalis
4. M. aryepiglotica
5. M. thyroarytenoid

9
Dalam cavum laryngis terdapat :
Plica vocalis, yaitu
pita suara asli sedangkan
plica vestibularis adalah pita
suara palsu. Antara plica
vocalis kiri dan kanan
terdapat rima glottidis
sedangkan antara plica
vestibularis terdapat rima
vestibuli. Persyarafan daerah
laring adalah serabut nervus
vagus dengan cabang ke
laring sebagai n.laryngis
superior dan n. recurrent.

LO.1.2. Mikroskopis
Sistem pernapasan biasanya dibagi menjadi 2 daerah utama:
1. Bagian konduksi, meliputi rongga hidung, nasofaring, laring, trakea,
bronkus, bronkiolus dan bronkiolus terminalis
2. Bagian respirasi, meliputi bronkiolus respiratorius, duktus alveolaris
dan alveolus.
Sebagian besar bagian konduksi dilapisi epitel respirasi, yaitu epitel bertingkat
silindris bersilia dengan sel goblet. Dengan menggunakan mikroskop elektron
dapat dilihat ada 5 macam sel epitel respirasi yaitu sel silindris bersilia, sel
goblet mukosa, sel sikat (brush cells), sel basal, dan sel granul kecil.

1. Hidung
Bagian dalam hidung dilapisi empat epitel. Pada bagian luar
hidung akan ditutupi oleh kulit dengan epitel berlapis gepeng tanpa lapisan
tanduk banyak terdapat kelenjar sebasea yang akan meluas hingga bagian
depan dari vestibulum nasi.
Rambut kaku dan besar menonjol ke luar berfungsi sebagai
penyaring. Beberapa milimeter ke dalam vestibulum, epitel berlapis
gepeng menjadi epitel kuboid tanpa silia lalu menjadi epitel bertingkat dan
kolumna (torak) bersilia. Epitel hidung terdiri dari sel-sel kolumnar
bersilia, sel goblet dan sel-sel basofilik kecil pada dasar epitel yang

10
dianggap sebagai sel-sel induk bagi penggantian jenis sel yang lebih
berkembang. Selain mukus, epitel juga mensekresi cairan yang
membentuk lapisan diantara bantalan mukus dan permukaan epitel. Di
bawah epitel terdapat lamina propria tebal mengandung kelenjar
submukosa terdiri dari sel-sel mukosa dan serosa. Di lamina propria juga
terdapat sel plasma, sel mast, dan kelompok jaringan limfoid.
Di atas chonca nasalis superior serta di bagian sekat hidung di
dekatnya terdapat daerah berwarna cokelat kekuningan berbeda dengan
daerah respirasi lain yang berwarna merah jambu mengandung reseptor
penghidu yaitu derah olfaktoriua atau mukosa olfaktoria. Di bawah epitel
chonca inferior terdapat swell bodies, merupakan fleksus venosus untuk
menghangatkan udara inspirasi. Fungsi chonca :
a. Meningkatkan luas permukaan epitel respirasi
b. Turbulensi udara dimana udara lebih banyak kontak dengan
permukaan mukosa

Epitel olfaktoria bertingkat silindris tanpa sel goblet, lamina basal tidak
jelas. Epitel disusun tiga jenis sel :
a. Sel penyokong/sel sustentakular
b. Sel basal
c. Sel olfaktorius
2. Faring
Terbagi menjadi tiga, yaitu :
a. Nasofaring yang terletak di bawah dasar tengkorak : epitel
bertingkat torak bersilia dengan lapisan tanduk
b. Orofaring terletak belakang rongga mulut dan permukaan belakang
lidah : epitel berlapis gepeng dengan lapisan tanduk
c. Laringofaring, terletak di belakang laring : epitel bervariasi.
3. Laring
Laring adalah saluran napas yang menghubungkan faring dengan
trakea. Laring berfungsi untuk bagian system konduksi pernapasan juga
pita suara. Pita suara sejati dan pita suara palsu masing-masing merupakan
tepi bebas atas selaput krikovokal (krikotiroid) dan tepi bebas bawah
selaput kuadratus (aryepiglotica). Di antara pita suara palsu dan pita suara
sejati terdapat sinus dan kantung laring. Lipatan aryepiglotica dan pita
suara mempunyai epitel berlapis gepeng tanpa lapisan tanduk. Laring juga
mempunyai epitel bertingkat silindris bersilia dengan sel goblet.
Pada pita suara, lamina propria di bawah epitel berlapis gepeng
padat dan terikat erat dengan jaringan ikat ligamentum vokalis di

11
bawahnya. Dalam laring tidak ada submukosa tapi lamina propria dari
membrane mukosanya tebal dan mengandung banyak serat elastin.

4. Epiglotis
Epiglotis merupakan juluran dari tepian laring, meluas ke faring
dan memiliki permukaan lingual dan laringeal. Bagian lingual dan apikal
epiglotis ditutupi oleh epitel gepeng berlapis, sedangkan permukaan
laringeal ditutupi oleh epitel respirasi bertingkat silindris bersilia. Di
bawah epitel terdapat kelenjar campuran mukosa dan serosa.
Di bawah epiglotis, mukosanya membentuk dua lipatan yang
meluas ke dalamlumen laring: pasangan lipatan atas membentuk pita suara
palsu (plikavestibularis) yang terdiri dari epitel respirasi dan kelenjar
serosa, serta dilipatan bawah membentuk pita suara sejati yang terdiri dari
epitel berlapisgepeng, ligamentum vokalis (serat elastin) dan muskulus
vokalis (otot rangka).Otot muskulus vokalis akan membantu terbentuknya
suara dengan frekuensiyang berbeda-beda.

LI. 2. Memahami dan Menjelaskan Fisiologi Saluran Nafas Atas


LO.2.1. Fungsi Saluran Nafas Atas
Pernapasan atau respirasi adalah menghirup udara dari luar yang
mengandung O2 kedalam tubuh serta menghembuskan udara yang banyak
mengandung CO2 sebagai sisa dari oksidasi yang keluar dari tubuh. Proses
penghirupan udara ini disebut inspirasi dan menghembuskan disebut ekspirasi
Secara fungsional (faal) saluran pernafasan dapat dibagi menjadi dua bagian,
yaitu:
1. Zona Konduksi

12
Zona konduksi berperan sebagai saluran tempat lewatnya udara
pernapasan, serta membersihkan, melembabkan dan menyamakan suhu
udara pernapasan dengan suhu tubuh. Disamping itu zona konduksi juga
berperan pada proses pembentukan suara.
Zona konduksi terdiri dari hidung, faring, trakea, bronkus, serta
bronkioli terminalis.Trakea dapat juga dijuluki sebagai eskalator-muko-
siliaris karena silia pada trakea dapat mendorong benda asing yang terikat
zat mucus ke arah faring yang kemudian dapat ditelan atau dikeluarkan.
Silia dapat dirusak oleh bahan-bahan beracun yang terkandung dalam asap
rokok. Struktur bronki primer masih serupa dengan struktur trakea. Pada
bagian akhir dari bronki, cincin tulang rawan yang utuh berubah menjadi
lempengan-lempengan. Pada bronkioli terminalis struktur tulang rawan
menghilang dan saluran udara pada daerah ini hanya dilingkari oleh otot
polos. Struktur semacam ini menyebabkan bronkioli lebih rentan terhadap
penyimpatan yang dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Bronkioli
mempunyai silia dan zat mucus.
Bahan-bahan debris di alveoli ditangkap oleh sel makrofag yang
terdapat pada alveoli, kemudian dibawa oleh lapisan mukosa dan
selanjutnya dibuang.

2. Zona Respiratorik
Zona respiratorik terdiri dari alveoli, dan struktur yang berhubungan.
Pertukaran gas antara udara dan darah terjadi di dalam alveoli. Selain
struktur diatas terdapat pula struktur yang lain, seperti bulu-bulu pada pintu
masuk yang penting untuk menyaring partikel-partikel yang masuk.

Proses terjadinya pernapasan terbagi 2 bagian, yaitu :


1. Menarik napas (inspirasi)
Inspirasi merupakan proses aktif, disini kontraksi otot-otot inspirasi
akan meningkatkan tekanan di dalam ruang antara paru-paru dan dinding
dada (tekanan intraktorakal). Inspirasi terjadi bila muskulus diafragma
telah dapat rangsangan dari nervus prenikus lalu mengkerut datar.
Muskulus interkostalis kontraksi. Dengan demikian jarak antara sternum
dan vertebrata semakin luas dan lebar. Rongga dada membesar maka
pleura akan tertarik, dengan demikian menarik paru-paru maka tekanan
udara di dalamnya berkurang dan masuklah udara dari luar.
2. Menghembus napas (ekspirasi)
Ekspirasi merupakan proses pasif yang tidak memerlukan konstraksi
otot untuk menurunkan intratorakal. Ekspirasi terjadi apabila pada suatu
saat otot-otot akan kendur lagi (diafragma akan menjadi cekung, muskulus
interkostalis miring lagi) dan dengan demikian rongga dada menjadi kecil
kembali, maka udara didorong keluar. Tetapi setelah ekspirasi normal,
kitapun masih bisa menghembuskan nafas dalam-dalam karena adanya
kerja dari otot-otot ekspirasi yaitu muskulus interkostalis internus dan
muskulus abdominis.

Fungsi Saluran Pernafasan Atas

13
1. Mengambil oksigen yang kemudian dibawa oleh darah keseluruh tubuh
(sel-selnya) untuk mengadakan pembakaran
2. Mengeluarkan karbon dioksida yang terjadi sebagai sisa dari pembakaran,
kemudian dibawa oleh darah ke paru-paru untuk dibuang (karena tidak
berguna lagi oleh tubuh)
3. Melembabkan udara / Penyesuaian udara dalam waktu singkat saat
udara melintasi bagian horisontal hidung , udara inspirasi dihangatkan atau
didinginkan mendekati suhu tubuh dan kelembapan relatifnya dibuat
mendekati 100 % . Suhu ekstrim dan kekeringan udara inspirasi
dikompensasi dengan cara mengubah aliran udara . Hal ini dilakukan
melalui perubahan fisik pada jaringan erektil hidung
4. Purifikasi udara Rambut hidung atau vibrisa pada vestibulum nasi
berperan dalam filtrasi udara . Anatomi hidung dalam yang iregular
menimbulkan arus balik udara inspirasi dengan akibat penimbunan
partikel dalam hidung dan nasofaring . Benda asing ( virus / bakteri ) yang
seringkali menggumpal membentuk partikel besar akan di ekspektorans
atau diangkut melalui transpor mukosiliar ke dalam lambung untuk di
sterilkan sekresi lambung .

Sistem respirasi bekerja melalui 3 tahapan yaitu :


1. Ventilasi
Ventilasi terjadi karena adanya perubahan tekanan intra pulmonal,
pada saat inspirasi tekanan intra pulmonal lebih rendah dari tekanan
atmosfer sehingga udara dari atmosfer akan terhisap ke dalam paru-paru.
Sebaliknya pada saat ekspirasi tekanan intrapulmonal menjadi lebih tinggi
dari atmosfer sehingga udara akan tertiup keluar dari paru-paru. Perubahan
tekanan intrapulmonal tersebut disebabkan karena perubahan volume
thorax akibat kerja dari otot-otot pernafasan dan diafragma.
Ventilasi dipengaruhi oleh :
a. Kadar oksigen pada atmosfer
b. Kebersihan jalan nafas
c. Daya recoil & complience (kembang kempis) dari paru-paru
d. Pusat pernafasan

Fleksibilitas paru sangat penting dalam proses ventilasi.


Fleksibilitas paru dijaga oleh surfaktan. Surfaktan merupakan campuran
lipoprotein yang dikeluarkan sel sekretori alveoli pada bagian epitel
alveolus dan berfungsi menurunkan tegangan permukaan alveolus yang
disebabkan karena daya tarik menarik molekul air & mencegah kolaps
alveoli dengan cara membentuk lapisan monomolekuler antara lapisan
cairan dan udara.
2. Difusi
Difusi dalam respirasi merupakan proses pertukaran gas antara
alveoli dengan darah pada kapiler paru. Proses difusi terjadi karena
perbedaan tekanan, gas berdifusi dari tekanan tinggi ke tekanan rendah.
Salah satu ukuran difusi adalah tekanan parsial.

14
Volume gas yang berdifusi melalui membran respirasi per menit
untuk setiap perbedaan tekanan sebesar 1 mmHg disebut kapasitas difusi.
Kapasitas difusi oksigen dalam keadaan istirahat sekitar 230 ml/menit.
Difusi dipengaruhi oleh :
a. Ketebalan membran respirasi
b. Koefisien difusi
c. Luas permukaan membran respirasi
d. Perbedaan tekanan parsial
e. Transportasi
3. Perfusi
Merupakan aliran darah aktual melalui sirkulasi pulmonal dimana
O2 diangkut dalam darah membentuk ikatan (oksi Hb) /
Oksihaemoglobin(98,5%) sedangkan dalam eritrosit bergabung dengan Hb
dalam plasma sebagai O2 yang larut dlm plasma (1,5%). CO 2 dalam darah
ditrasportasikan sebagai bikarbonat.

LO.2.2. Mekanisme Pertahanan Tubuh


Mekanisme pertahanan non spesifik disebut juga komponen
nonadaptif atau innate, atau imunitas alamiah, sudah ada sejak bayi lahir. Jadi
bukan merupakan pertahanan khusus untuk antigen tertentu.
Mekanisme pertahanan tubuh spesifik atau disebut juga komponen
adaptif atau imunitas didapat adalah mekanisme pertahanan yang ditujukan
khusus terhadap satu jenis antigen, karena itu tidak dapat berperan terhadap
antigen jenis lain.
1. Deposisi Partikel :
Perjanalan udara pernapasan mulai dari hidung sampai ke
parenkim paru melalui struktur yang berkelok-kelok sehingga
memungkinkan terjadinya proses deposisi partikel. Partikel yang masuk ke
dalam sistem pernapasan ukurannya sangat heterogen. Partikel berukuran
>10 m tertangkap di dalam rongga hidung, yang berukuran di antara 5-10
m tertangkap di bronkus dan percabangannya, sedangkan yang berukuran
<3 m dapat masuk ke dalam alveoli. Tertangkapnya partikel disebabkan
karena partikel tersebut menabrak dinding saluran pernapasan dan adanya
kecenderungan partikel untuk mengendap. Pada daerah yang mempunyai
aliran udara turbulen, partikel besar terlempar keluar dari jalur aslinya
sehingga menabrak dinding jalan napas dan menempel pada mukus.
Kecepatan aliran udara di bronkiolus berkurang sehingga partikel kecil
yang masuk sampai alveoli dapat dipengaruhi oleh gaya gravitasi dan
sedimentasi sehingga partikel tersebut mengendap. Partikel yang sangat
kecil menabrak dinding karena adanya gerak Brown.
2. Refleks Batuk dan Refleks Tekak ( Gag Reflex )
Batuk merupakan mekanisme refleks yang sangat penting untuk
menjaga agar jalan napas tetap terbuka (patent) dengan cara meyingkirkan
hasil sekresi, selain itu juga untuk menghalau benda asing (corpus
alineum) yang akan masuk ke dalam sistem pernapasan . Benda asing yang
masuk ke dalam saluran pernapasan dapat menyebabkan peradangan
dalam sistem pernapasan. Mekanisme batuk memerlukan adanya

15
penutupan glotis dan peningkatan tekanan intratoraks (sebagai elemen
eksplosif).
Jika terdapat kelumpuhan pita suara, elemen eksplosif batuk tidak
terjadi dan keadaan seperti ini disebut sebagai bovine cough. Paralisis
motorik pada laring biasanya disebabkan oleh terganggunya nervus
laringeus rekuren kiri, karena terdapat karsinoma bronkial pada regio hilus
kiri, aneurisma aorta karena sifilis, karsinoma esofagus, karsinoma tiroid,
atau dapat juga karena adanya pembengkakan mediastinum.
3. Mekanisme Eskalasi Mukus
Eskalasi mukosiliar melibatkan peran silia dan mukus. Silia
terdapat pada dinding saluran pernapasan mulai dari laring sampai
bronkiolus terminal. Jumlah silia pada bronkiolus jarang tetapi ke arah
cephalad jumlah silia bertambah padat. Silia bergerak 14 kali per detik.
Mukus yang lengket dan berbentuk gel yang mengapung di atas mukus
yang lebih encer, terdorong ke arah cephalad karena gerak silia. Partikel
menempel pada mukus sehingga partikel juga keluar bersama mukus .
Jumlah silia dan aktivitasnya dipengaruhi oleh asap rokok, toksin,
dan asidosis ; ketiganya menurunkan jumlah silia dan aktivitasnya. Gerak
silia ditingkatkan oleh - agonis , kecepatan mucociliary clearance
dipercepat oleh metilxantin, dan oleh bahan kolinergik. Atropin
menurunkan kecepatan mucociliary clearance .

Mekanisme Batuk
Seluruh saluran nafas dari hidung sampai bronkiolus terminalis,
dipertahankan agar tetap lembab oleh selapis mukosa yang melapisi seluruh
permukaan. Mukus ini disekresikan sebagian oleh sel goblet dalam epitel
saluran nafas, dan sebagian lagi oleh kelenjar submukosa yang kecil. Batuk
yang tidak efektif dapat menimbulkan penumpukan sekret yang berlebihan,
atelektasis, gangguan pertukaran gas dan lain-lain. Pusat batuk berada pada
medulla oblongata.
Mekanisme batuk dibagi menjadi 4 fase:
Fase 1 (iritasi), allergen atau bahan iritan masuk ke dalam saluran pernafasan
Fase 2 (Inspirasi), paru2 memasukan kurang lebih 2,5 liter udara, oesofagus
dan pita suara menutup, sehingga udara terjerat dalam paru-paru
Fase 3 (Kompresi), otot perut berkontraksi, diafragma naik dan menekan paru-
paru, diikuti pula dengan kontraksi intercosta internus. Pada akhirnya akan
menyebabkan tekanan pada paru2 meningkat hingga 100mm/hg.
Fase 4 (Ekspirasi), Spontan oesofagus dan pita suara terbuka dan udara
meledak keluar dari paru

16
Mekanisme Bersin
Reflek bersin mirip dengan reflek batuk kecuali bahwa refleks ini
berlangsung pada saluran hidung, bukan pada saluran pernapasan bagian
bawah. Rangsangan awal menimbulkan refleks bersin adalah iritasi dalam
saluran hidung, impuls saraf aferen berjalan dalam nervus ke lima menuju
medulla tempat refleks ini dicetuskan. Terjadi serangkaian reaksi yang mirip
dengan refleks batuk tetapi uvula ditekan, sehingga sejumlah besar udara
dengan cepat melalui hidung, dengan demikian membantu membersihkan
saluran hidung dari benda asing.

LI. 3. Memahami dan Menjelaskan Rhinitis Alergi

LO.3.1. Definisi Rhinitis Alergi


Penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien
atopi yang sebelumnya sudah tersensitasi dengan alergen yang sama serta
dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan
alergen spesifik tersebut (Von Pirquet, 1986).

Definisi menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on


Asthma) tahun 2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin,
rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang
diperantarai oleh Ig E.

LO.3.2. Epidemiologi Rhinitis Alergi


Rinitis alergi merupakan masalah kesehatan global yang memberi
dampak 10-20% populasi. Prevalensi rinitis alergi di Amerika Utara mencapai
10-20%, di Eropa sekitar 10-15%, di Thailand sekitar 20% dan Jepang 10%
(Madiadipoera, 2009). Prevalensi rinitis alergi di Indonesia mencapai 1,5-
12,4% dan cenderung mengalami peningkatan setiap tahunnya (Nurcahyo dan
Eko, 2009).

Rinitis alergi merupakan kondisi kronik tersering pada anak dan


diperkirakan mempengaruhi 40% anak-anak. Sebagai konsekuensinya, rinitis
alergi berpengaruh pada kualitas hidup, bersama-sama dengan komorbiditas
beragam dan pertimbangan beban sosial-ekonomi, rinitis alergi dianggap

17
sebagai gangguan pernafasan utama. Tingkat keparahan rinitis alergi
diklasifikasikan berdasarkan pengaruh penyakit terhadap kualitas hidup
seseorang.

LO.3.3. Etiologi Rhinitis Alergi


Rhinitis alergi melibatkan interaksi antara lingkungan dengan predisposisi
genetik dalam perkembangan penyakitnya. Faktor genetik dan herediter sangat
berperan pada ekspresi rhinitis alergi. Penyebab tersering adalah allergen
inhalan pada dewasa dan ingestan pada anak-anak. Pada anak-anak sering
disertai gejala alergi lain seperti urtikaria dan gangguan pencernaan. Penyebab
rhinitis alergi dapat berbeda tergantung dari klasifikasi.
Rhinitis alergi musiman biasanya berupa serbuk sari atau jamur. Rhinitis
alergi perennial diantaranya debu tungau (Dermatophagoides farinae dan
Dermatophagoides pteronyssinus), jamur, binatang peliharaan, dan binatang
pengerat. Faktor resiko terpaparnya debu tungau biasanya karpet, sprei, suhu
tinggi, dan kelembaban udara. Berbagai pemicu yang bisa berperan dan
memperberat adalah beberapa faktor nonspesifik diantaranya asap rokok,
polusi udara, bau aroma yang kuat atau merangsang dan perubahan cuaca.
Berdasarkan cara masuknya allergen dibagi atas:
a. Allergen inhalan yang masuk bersama dengan udara pernafasan misalnya,
debu rumah, tungau, serpihan epitel bulu binatang, serta jamur.
b. Allergen ingestan yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya
susu, telur, coklat, ikan, dan udang.
c. Allergen injektan yang masuk melalui suntikan atau tusukan misalnya
penisilin atau sengatan lebah.
d. Allergen kontaktan yang masuk melalui kontak dengan kulit atau jaringan
mukosa, misalnya bahan kosmetik atau perhiasan.

LO.3.4. Klasifikasi Rhinitis Alergi


Dahulu rhinitis alergik dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat
berlangsungnya, yaitu :

1. Rhinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis)


Di Indonesia tidak dikenal rhinitis alergi musiman, hanya ada pada Negara
yang mempunyai 4 musim. Allergen penyebabnya spesifik yaitu tepung
sari (pollen) dan spora jamur. Oleh karena itu, nama yang tepat adalah
polinosis atau rino konjungtivitis karena gejala klinik yang tampak ialah
gejala pada hidung dan mata (mata merha, gatal disertai lakrimasi)
2. Rhinitis alergi sepanjang tahun (perennial)
Gejala pada penyakit ini timbul intermitten atau terus menerus, tanpa
variasi musim, jadi dapat ditemukan sepanjang tahun. Penyebab yang
paling sering ialah allergen inhalan terutama pada orang dewasa dan
allergen ingestan.

18
Saat ini digunakan klasifikasi rhinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari
WHO Initiative ARIA ( Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun
2001 :

Rhinitis berdasarkan sifatnya dapat dibedakan menjadi dua :

1. Rhinitis akut (coryza, common cold) merupakan peradangan mukosa


hidung dan sinus-sinus aksesoris yang disebabkan oleh suatu virus dan
bakteri. Penyakit ini dapat mengenai hampir setiap orang dan pada suatu
waktu dan sering kali terjadi pada musim dingin dengan insidensi tertinggi
pada awal musim hujan dan musim semi.

2. Rhinitis kronis adalah suatu peradangan kronis pada membran mukosa


yang disebabkan oleh infeksi yang berulang, karena alergi, atau karena
rhinitis vasomotor.

Klasifikasi rhinitis berdasarkan etiologi

Jenis Rhinitis Penjelasan

Alergin (diperantarai oleh a. Inflamasi yang diperantarai


Ig E) oleh Ig E pada mukosa
hidung, berakibat pada
infiltrasi dari sel eosinofil dan
sel Th 2 pada lapisan hidung.
b. Diklasifikasikan sebagai
intermiten atau persisten
Autonomic a. Rhinitis medicamentosa
b. Hypothyroidism
c. Hormonal
d. Non-allergic rhinitis with
eosinophilia syndrome

19
(NARES)
Infectious Disebabkan oleh virus (tersering),
bacterial, atau infeksi jamur

Idiopatik Penyebabnya tidak jelas

Rhinitis Non-Alergi
Disebabkan oleh infeksi saluran nafas (rhinitis viral dan rhinitis
bacterial, masuknya benda asing ke dalam hidung, deformitas struktural,
neoplasma, dan massa, penggunaan kronik dekongestan nasal, penggunaan
kontrasepsi oral, kokain dan anti hipertensif).
1. Rhinitis Infeksiosa
Rhinitis infeksiosa biasanya disebabkan oleh infeksi pada saluran
pernafasan. Bagian atas, baik oleh bakteri maupun virus. Ciri khas dari
rhinitis infeksiosa adalah lendir hidung yang bernanah, yang disertai
dengan nyeri dan tekanan pada wajah, penurunan fungsi indera penciuman
serta batuk.
2. Rhinitis Non-Alergi dengan Sindroma Eosinofilia
Penyakit ini diduga berhubungan dengan kelainan metabolisme
prostaglandin. Pada hasil pemeriksaan apus hidung penderitanya,
ditemukan eosinofil sebanyak 10-20 %. Gejalanya berupa hidung
tersumbat, bersin, hidung meler, hidung terasa gatal dan penurunan fungsi
indera penciuman (hiposmia).
3. Rhinitis Okupasional
Gejala-gejala rhinitis hanya timbul di tempat penderita bekerja. Gejala-
gejala rhinitis biasanya terjadi akibat menghirup bahan-bahan iritan
(misalnya debu kayu, bahan kimia). Penderita juga sering mengalami asma
karena pekerjaan.
4. Rhinitis Hormonal
Beberapa penderita mengalami gejala rhinitis pada saat terjadi gangguan
keseimbangan hormon (misalnya selama kehamilan, hipotiroid, pubertas,
pemakaian pil KB). Estrogen diduga menyebabkan peningkatan kadar
asam hialuronat di selaput hidung. Gejala rhinitis pada kehamilan biasanya
mulai timbul pada bulan kedua, terus berlangsung selama kehamilan dan
akan menghilang pada saat persalinan. Gejala utamanya adalah hidung
tersumbat dan hidung berair.
5. Rhinitis Medikamentosa (karena obat-obatan)
Rhinitis medikamentosa merupakan akibat pemakaian vasokonstriktor
topikal (obat tetes hidung atau obat semprot hidung) dalam waktu lama
dan berlebihan, sehingga menyebabkan sumbatan pada hidung yang
menetap. Dapat dikatakan hal ini disebabkan oleh pemakaian obat yang
berlebihan (drug abuse).
6. Rhinitis Gustatorius

20
Rhinitis gustatorius terjadi setelah mengkonsumsi makanan tertentu,
terutama makanan yang panas dan pedas.
7. Rhinitis Vasomotor
Rhinitis vasomotor diyakini merupakan akibat dari teganggunya
keseimbangan sistem parasimpatis dan simpatis. Gejala yang timbul
berupa hidung tersumbat, bersin-bersin dan hidung berair. Rhinitis
vasomotor adalah gangguan pada mukosa hidung yang ditandai dengan
adanya edema yang persisten dan hipersekresi kelenjar pada mukosa
hidung apabila terpapar oleh iritan spesifik.
8. Rhinitis Atrofi
Beberapa hal yang dianggap sebagai penyebabnya seperti infeksi oleh
kuman spesifik, yaitu spesies Klebsiella , stafiokokus, streptokokus,
pseudomonas aeruginosa, defisiensi Fe, sinusitis kronik, kelainan
hormonal.

L.O.3.5. Patofisiologi Rhinitis Alergi


Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan
tahap sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2
fase yaitu immediate phase allergic reaction atau reaksi alergi fase cepat
(RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam
setelahnya dan late phase allergic reaction atau reaksi alergi fase lambat
(RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase
hiperreaktivitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung 24-48 jam.
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau
monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan
menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah
diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptide dan bergabung
dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptide MHC kelas II
(Major Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel
T helper (Th0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin
1 (IL-1) yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan
Th2. Th2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5, dan IL-
13.
IL-4 dan IL-13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B,
sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E
(IgE). IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor
IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini
menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator
yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar alergen yang
sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi
degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat
terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk (Performed Mediators)

21
terutama histamin. Selain histamin juga dikeluarkan Newly Formed Mediators
antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4
(LT C4), bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF), berbagai sitokin (IL-3,
IL-4, IL-5, IL-6, GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony Stimulating
Factor) dan lain-lain. Inilah yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat
(RAFC).
Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus
sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga
akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan
permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah
hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang
ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung
sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM1).
Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang
menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons
ini tidak berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai
puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan
penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil,
basofil dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL-3,
IL-4, IL-5 dan Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-CSF)
dan ICAM1 pada sekret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau
hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator
inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP),
Eosiniphilic Derived Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP), dan
Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen),
iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok,
bau yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara yang tinggi
(Irawati, Kasakayan, Rusmono, 2008).

22
Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh (vascular bad)
dengan pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga
pembesaran ruang interseluler dan penebalan membran basal, serta ditemukan
infiltrasi sel-sel eosinofil pada jaringan mukosa dan submukosa hidung.
Gambaran yang ditemukan terdapat pada saat serangan. Diluar keadaan
serangan, mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan dapat terjadi terus-
menerus (persisten) sepanjang tahun, sehingga lama kelamaan terjadi
perubahan yang ireversibel, yaitu terjadi proliferasi jaringan ikat dan
hiperplasia mukosa, sehingga tampak mukosa hidung menebal.
Dengan masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara
garis besar terdiri dari:
1. Respon primer
Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat
non spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil
seluruhnya dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi respon sekunder.
2. Respon sekunder
Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai tiga kemungkinan
ialah sistem imunitas seluler atau humoral atau keduanya dibangkitkan.
Bila Ag berhasil dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih
ada, atau memang sudah ada defek dari sistem imunologik, maka reaksi
berlanjut menjadi respon tersier.
3. Respon tersier
Reaksi imunologik yang terjadi tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini
dapat bersifat sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag
oleh tubuh.

L.O.3.6. Manifestasi Klinis Rhinitis Alergi


Gejala klinik rinitis alergi, yaitu :
1. Bersin patologis. Bersin yang berulang lebih 5 kali setiap serangan bersin.
2. Ingus (rinore) yang encer
3. Gangguan hidung. Hidung gatal dan rasa tersumbat. Hidung rasa
tersumbat merupakan gejala rinitis alergi yang paling sering kita temukan
pada pasien anak-anak.
4. Gangguan mata. Mata gatal dan mengeluarkan air mata (lakrimasi).
5. Lubang hidung membengkak
6. Edema kelopak mata
7. Kongesti konjungtiva
Gejala spesifik lain pada anak adalah:
1. Allergic shiner. Perasaan anak bahwa ada bayangan gelap di daerah bawah
mata akibat stasis vena sekunder. Stasis vena ini disebabkan obstruksi
hidung.
2. Allergic salute. Perilaku anak yang suka menggosok-gosok hidungnya
akibat rasa gatal.
3. Allergic crease. Tanda garis melintang di dorsum nasi pada 1/3 bagian
bawah akibat kebiasaan menggosok hidung.

23
4. Bunny rabbit sound: adalah suara yang dihasilkan karena lidah menggosok
palatum yang gatal dangerakannya seperti kelinci mengunyah.

L.O.3.7. Diagnosis dan Diagnosis Banding


A. Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan:
1. Anamnesis
Anamnesis sangat penting, karena sering kali serangan tidak
terjadi dihadapan pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan
dari anamnesis saja. Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya
serangan bersin berulang. Gejala lain ialah keluar hingus (rinore) yang
encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang
kadang-kadang disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi).
Kadang-kadang keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan utama
atau satu-satunya gejala yang diutarakan oleh pasien (Irawati,
Kasakayan, Rusmono, 2008).
Perlu ditanyakan pola gejala (hilang timbul, menetap) beserta
onset dan keparahannya, identifikasi faktor predisposisi karena faktor
genetik dan herediter sangat berperan pada ekspresi rinitis alergi, respon
terhadap pengobatan, kondisi lingkungan dan pekerjaan. Rinitis alergi
dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, bila terdapat 2 atau lebih
gejala seperti bersin-bersin lebih 5 kali setiap serangan, hidung dan
mata gatal, ingus encer lebih dari satu jam, hidung tersumbat, dan mata
merah serta berair maka dinyatakan positif (Rusmono, Kasakayan,
1990).
2. Pemeriksaan Fisik.
Pada muka biasanya didapatkan garis Dennie-Morgan dan allergic
shinner, yaitu bayangan gelap di daerah bawah mata karena stasis vena
sekunder akibat obstruksi hidung (Irawati, 2002). Selain itu, dapat
ditemukan juga allergic crease yaitu berupa garis melintang pada
dorsum nasi bagian sepertiga bawah. Garis ini timbul akibat hidung
yang sering digosok-gosok oleh punggung tangan (allergic salute).
Pada pemeriksaan rinoskopi ditemukan mukosa hidung basah,
berwarna pucat atau livid dengan konka edema dan sekret yang encer
dan banyak. Perlu juga dilihat adanya kelainan septum atau polip
hidung yang dapat memperberat gejala hidung tersumbat. Selain itu,
dapat pula ditemukan konjungtivis bilateral atau penyakit yang
berhubungan lainnya seperti sinusitis dan otitis media (Irawati, 2002).
3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan sitologi hidung tidak memastikan diagnosis, tetapi
berguna sebagai pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil
dalam jumlah banyak (5 sel/lapang pandang) menunjukkan
kemungkinan alergi. Hitung jenis eosinofil dalam darah tepi dapat
normal atau meningkat. Pemeriksaan IgE total seringkali menunjukkan
nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu
penyakit. Lebih bermakna adalah pemeriksaan IgE spesifik dengan cara

24
RAST (Radioimmuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked
Immuno Sorbent Test).
Uji kulit alergen penyebab dapat dicari secara invivo. Ada dua
macam tes kulit yaitu tes kulit epidermal dan tes kulit intradermal. Tes
epidermal berupa tes kulit gores (scratch) dengan menggunakan alat
penggores dan tes kulit tusuk (skin prick test). Tes intradermal yaitu tes
dengan pengenceran tunggal (single dilution) dan pengenceran ganda
(Skin Endpoint Titration SET). SET dilakukan untuk alergen inhalan
dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi. Selain dapat
mengetahui alergen penyebab, juga dapat menentukan derajat alergi
serta dosis inisial untuk imunoterapi.
Selain itu, dapat pula dilakukan tes provokasi hidung dengan
memberikan alergen langsung ke mukosa hidung. Untuk alergi
makanan, dapat pula dilakukan diet eliminasi dan provokasi atau
Intracutaneous Provocative Food Test (IPFT).

B. Diagnosis Banding
1. Rhinitis vasomotor : suatu keadaan idiopatik yang didiagnosis tanpa
adanya infeksi, alergi, eosinofilia, perubahan hormonal dan pajanan
obat.
2. Rhinitis medikamentosa : suatu kelainan hidung berupa gangguan
respon normal vasomotor yang diakibatkan oleh pemakaian
vasokonstriktor topikal dalam waktu lama dan berlebihan sehingga
menyebabkan sumbatan hidung yang menetap.
3. Rhinitis simpleks : penyakit yang diakibatkan oleh virus. Biasanya
adalah rhinovirus. Sangat menular dan gejala dapat timbul sebagai
akibat tidak adanya kekebalan atau menurunnya daya tahan tubuh
4. Rhinitis hipertrofi : hipertrofi concha karena proses inflamasi kronis
yang disebabkan oleh bakteri primer atau sekunder.
5. Rhinitis atrofi : infeksi hidung kronik yang ditandai adanya atrofi
progresif pada mukosa dan tulang chonca.

L.O.3.8. Tatalaksana
A. Non-farmakologi:
Hindari pencetus (alergen)
a. Amati benda-benda apa yang menjadi pencetus(debu, serbuk sari, bulu
binatang, dll)
b. Jika perlu, pastikan dengan skin test
c. Jaga kebersihan rumah, jendela ditutup, hindari kegiatan berkebun. Jika
harus berkebun, gunakan masker wajah
B. Farmakologi :
Jika tidak bisa menghindari pencetus, gunakan obat-obat anti alergi seperti:
a. Anti histamine oral, antagonis H-1 (difenhidaramin, prometasin, loratadin,
setisirin, fexofenadin)

25
b. Agonis alfa adrenergic, sebagai dekongestan hidung oral dengan atau
tanpa kombinasi anti histamine
c. Kortikosteroid topikal, bila gejala sumbatan tidak dapat diobati dengan
obat lain (beklometason, budesonid, flunisolid, triamsinolon).
d. Sodium kromoglikat topikal, bekerja menstabilkan mastosit sehingga
pelepasan mediator kimia dihambat.
e. Antikolinergik topikal, mengatasi rhinorea karena inhibisi reseptor
kolinergik pada permukaan sel efektor (ipratropium bromida).
f. Anti leukotrine (zafirlukast/montelukast), anti IgE, DNA rekombinan
merupakan obat-obatan baru untuk rhinitis alergi.
Jika tidak berhasil, atau obat-obatan tadi menyebabkan efek samping yang
tidak bisa diterima, lakukan imunoterapi dengan terapi desensitasi

Penatalaksanaan rhinitis alergi berdasarkan ARIA 2001


Tipe rhinitis Lini pertama Tambahan
alergi

Sedang- Antihistamin Dekongestan


Intermitten oral,antihistamin intranasal
intranasal

Sedang- Antihistamin Dekongestan


Intermitten atau oral,kortikosteroid intranasal dan
berat-intermitten intranasal, sodium kromolin
antihistamin
intranasal

Berat-Persisten Kortikosteroid Antihistamin


intranasal oral,antihistamin
intranasal,sodium
kromolin,ipratropium
bromida,antagonis
leukotriene

1. Anti Histamin Antagonis H-1


a. Farmakodinamik :
Antagonis H1 netral dan agonis inversa H1 mengurangi atau
menghambat kerja histamin secara reversibel dan kompetitif mengikat
reseptor H1. Obat-obat ini hampr tidak berefek terhadap reseptor H2 dan
sedikit terhadap reseptor H3. Antagonis reseptor H1 generasi pertama
memiliki banyak efek selain blokade efek histamin. Sejumlah besar dari
efek ini mungkin terjadi karena kemiripan struktur umum dengan struktur
obat yang memiliki efek pada kolinoreseptor muskarinik, adrenoseptor ,
serotonin, dan reseptor anestetik lokal.

26
Mengantuk, efek umum antagonis H1 generasi pertama adalah
sedasi, tetapi intensitas efek ini bervariasi di antara subgolongan kimiawi
dan juga diantara pasien. Antagonis H1 generasi kedua sedikit atau tidak
memiliki efek sedatif atau stimulan. Obat-obat ini juga jarang
menimbulkan efek autonom daripada antihistamin generasi pertama.
Efek antimual dan antimuntah, beberapa antagonis H1 generasi
pertama memiliki aktivitas signifikan dalam mencegah mabuk perjalanan.
Antagonis H1 tertentu, terutama doksilamin dahulu luas digunakan dalam
mengobati mual dan muntah kehamilan.
Efek antiparkinsonisme, sebagian dari antagonis H1 khususnya
difenhidramin memiliki efek penekan akut yang signifikan pada gejala
ekstrapiramidal yang berkaitan dengan obat antipsikotik tersebut.
Anestesia lokal, beberapa antagonis H1 generasi pertama adalah
anestesi lokal yang poten. Mereka menghambat saluran natrium di
membran peka-rangsang dengan cara serupa seperti yang dilakukan
prokain dan lidokain. Difenhidramin dan prometazin sebenarnya lebih
poten daripada prokain sebagai anestetik lokal. Mereka kadang digunakan
untuk menghasilkan anestesia lokal pada pasien yang alergi terhadap obat
anestetik lokal konvensional.
Beberapa antagonis H1 misalnya setirizin, menghambat pelepasan
histamin dan mediator peradangan lain dari sel mast. Mekanismenya
belum sepenuhnya diketahui tetapi mungkin berperan dalam efek positif
obat ini dalam pengobatan alergi misalnya rhinitis alergi.
b. Farmakokinetik :
Antagonis H1 biasanya dibagi menjadi obat generasi pertama
dan generasi kedua. Keduanya ini dibedakan oleh efek sedatif yang relatif
kuat pada sebagian besar obat generasi pertama. Penghambat H1 generasi
kedua kurang sedatif, sebagian karena distribusinya yang lebih sedikit di
susunan saraf pusat.
Obat-obat ini cepat diserap setelah pemberian oral, dengan
konsentrasi puncak darah terjadi dalam 1-2 jam. Mereka tersebar luas di
seluruh tubuh, dan obat generasi pertama cepat masuk ke susunan saraf
pusat. Sebagian dari mereka mengalami metabolisme ekstensif, terutama
oleh sistem mikrosom di hati.
Beberapa dari obat generasi kedua dimetabolisme oleh sistem
CYP3A4 dan karenanya dapat berinteraksi dengan obat lain (misalnya
ketokonazol) yang menghambat subtipe enzim P450 ini. Sebagian besar
obat memiliki masa kerja efektif 4-6 jam setelah satu dosis, tetapi meklizin
dan beberapa obat generasi kedua bekerja lebih lama, dengan masa kerja
12-24 jam.

c. Penggolongan AH1
1) AH 1 generasi 1

27
Contoh : Etanolamin, Etilenedamin, Piperazin, Alkilamin, Derivat
fenotiazin
Keterangan AH1 generasi 1 = - sedasi ringan-berat
- antimietik dan komposisi obat flu
- antimotion sickness
2) AH 1 generasi 2
Contoh : Feksofenadin, Loratadin, Desloratadin, Setirizin
Keterangan AH1 generasi 2 = kurang menyebabkan sedasi dibandingkan
AH 1 generasi 1
d. Indikasi AH1 berguna untuk penyakit :
- Mabuk perjalanan
- Alergi
- Anastesi lokal
- Untuk asma berbagai profilaksis
e. Efek samping
Vertigo, tinitus, lelah, penat, inkoordinasi, insomnia, tremor, mulut kering,
disuria, palpitasi, hipotensi, sakit kepala, rasa berat, lemah pada tangan.
f. Interaksi Obat
Aritmia ventrikel letal yang terjadi pada beberapa pasien yang
mendapat obat generasi kedua awal, terfenadin atau astemizol, dalam
kombinasi dengan ketokonazol, itrakonazol atau antibiotik makrolid
seperti eritromisin. Obat-obat antimikroba ini menghambat metabolisme
banyak obat oleh CYP3A4 dan menyebabkan peningkatan signifikan
konsentrasi antihistamin dalam darah. Karena interaksi yang berbahaya
tersebut maka terfenadin dan astemizol dikontraindikasikan pemberiannya
pada pasien yang mendapat ketokonazol, itrakonazol, atau antibiotik
golongan makrolid, dan juga pada pasien dengan penyakit hati
g. Antihistamin golongan 1 lini pertama
1) Pemberian dapat dalam kombinasi atau tanpa kombinasi dengan
dekongestan secara peroral.
2) Lipofilik, dapat menembus sawar darah otak, mempunyai efek pada
SSP dan plasenta.
3) Kolinergik
4) Sedatif
Oral : difenhidramin, klorfeniramin, prometasin, siproheptadin
Topikal : Azelastin

2. Dekongestan
a. Dekongestan Nasal
1) Farmakodinamik
Golongan simpatomimetik, beraksi pada reseptor adrenergik pada mukosa
hidung untuk menyebabkan vasokonstriksi, menciutkan mukosa yang
membengkak, dan memperbaiki pernafasan
2) Farmakokinetik
Penggunaan dekongestan topikal tidak menyebabkan atau sedikit sekali
menyebabkan absorpsi sistemik
3) Efek Samping

28
Penggunaan agen topikal yang lama (lebih dari 3-5 hari) dapat
menyebabkan rhinitis medikamentosa, di mana hidung kembali tersumbat
akibat vasodilatasi perifer maka batasi penggunaan
Contoh Obat : nafazolin, tetrahidrozolin, oksimetazolin dan xilometazolin

Obat dekongestan topical dan durasi aksinya :


Obat Durasi Aksi

Aksi Pendek Sampai 4 jam

Fenilefrin HCl

Aksi Sedang 4-6 jam

Nafazolin HCl

Tetrahidrozolin HCl

Aksi Panjang Sampai 12 jam

Oksimetazolin HCl

Xylometazolin HCl

b. Dekongestan oral
Secara umum tidak dianjurkan karena efek klinis masih diragukan dan
punya banyak efek samping
Contoh obat: Efedrin, fenilpropanolamin dan fenilefrin
Indeks terapi sempit resiko hipertensi
1) Efedrin
a) Farmakokinetik
Alkaloid yang terdapat dalam tumbuhan efedra. Efektif pada
pemberian oral, masa kerja panjang, efek sentralnya kuat. Bekerja
pada reseptor alfa, beta 1 dan beta 2.
b) Efek Samping
Efek kardiovaskular : tekanan sistolik dan diastolik meningkat,
tekanan nadi membesar. Terjadi peningkatan tekanan darah karena
vasokontriksi dan stimulasi jantung. Terjadi bronkorelaksasi yang
relatif lama.
Efek sentral : insomnia, sering terjadi pada pengobatan kronik yang
dapat diatasi dengan pemberian sedatif.

c) Dosis : Dewasa : 60 mg/4-6 jam


Anak-anak 6-12 tahun : 30 mg/4-6 jam
Anak-anak 2-5 tahun : 15 mg/4-6 jam

2) Fenilpropanolamin
a) Farmakodinamik

29
Dekongestan nasal yang efektif pada pemberian oral. Selain
menimbulkan konstriksi pembuluh darah mukosa hidung, juga
menimbulkan konstriksi pembuluh darah lain sehingga dapat
meningkatkan tekanan darah dan menimbulkan stimulasi
jantung. Efek farmakodinamiknya menyerupai efedrin tapi
kurang menimbulkan efek SSP.
b) Kontraindikasi
Harus digunakan sangat hati-hati pada pasien hipertensi dan
pada pria dengan hipertrofi prostat. Obat ini jika digunakan
dalam dosis besar (>75 mg/hari) pada orang yang obesitas
akan meningkatkan kejadian stroke, sehingga hanya boleh
digunakan dalam dosis maksimal 75 mg/hari sebagai
dekongestan.
c) Interaksi Obat
Kombinasi obat ini dengan penghambat MAO adalah kontra
indikasi.
d) Dosis : Dewasa : 25 mg/4 jam
Anak-anak 6-12 tahun : 12,5 mg/4 jam
Anak-anak 2-5 tahun : 6,25 mg/4 jam

3) Fenilefrin
Fenilefrin adalah agonis selektif reseptor alfa 1 dan hanya sedikit
mempengaruhi reseptor beta. Hanya sedikit mempengaruhi jantung
secara langsung dan tidak merelaksasi bronkus. Menyebabkan
konstriksi pembuluh darah kulit dan daerah splanknikus sehingga
menaikkan tekanan darah.
3. Intranasal corticosteroids (INCS)
INCS menjadi obat pilihan untuk anak-anak yang menderita rhinitis alergi.
Dahulu di khawatirkan INCS dapat menyebabkan efek samping sistemik
seperti terganggunya pertumbuhan dan metabolism tulang. Tapi studi
menunjukkan fluticasone tidak ada efek samping klinis yang
membahayakan. Mometason juga tidak menunjukkan mengganggu
pertumbuhan anak-anak usia 3-9 tahun. Setelah penggunaan 3 bulan
flutikason pada anak-anak usia 3-11 tahun, dilakukan rhinoskopi, dan tidak
menunjukkan menipisnya jaringan hidung atau atrofi mukosa hidung
Macamnya : betametason, budesonide, flunisolide, flucticasone,
mometasone dan triamikolon
Kerjanya dengan menghambat respon alergi fase awal maupun fase
lambat. Efek utama pada mukosa hidung :
a. mengurangi inflamasi dengan memblok pelepasan mediator,
b. menekan kemotaksis neutrofil
c. mengurangi edema intrasel
d. menyebabkan vasokonstriksi ringan
e. menghambat reaksi fase lambat yang diperantarai oleh sel mast
Efek Samping : bersin, perih pada mukosa hidung, sakit kepala dan infeksi
Candida albicans
4. Sodium kromolin

30
Suatu penstabil sel mast sehingga mencegah degranulasi sel mast dan
pelepasan mediator, termasuk histamin. Tersedia dalam bentuk semprotan
hidung untuk mencegah dan mengobati rhinitis alergi.
Efek sampingnya : iritasi lokal (bersin dan rasa perih pada membran
mukosa hidung
Dosisnya untuk pasien di atas 6 tahun adalah 1 semprotan pada setiap
lubang hidung 3-4 kali sehari pada interval yang teratur.
5. Ipratropium bromida
Merupakan agen antikolinergik berbentuk semprotan hidung, bermanfaat
pada rhinitis alergi yang persisten atau perenial. Memiliki sifat anti
sekretori jika digunakan secara lokal dan bermanfaat untuk mengurangi
hidung berair yang terjadi pada rhinitis alergi. Tersedia dalam bentuk
larutan dengan kadar 0,03%, diberikan dalam 2 semprotan (42 mg) 2- 3
kali sehari.
Efek sampingnya ringan, meliputi sakit kepala, epistaxis, dan hidung
terasa kering.

C. Operatif
Tindakan konkotomi (pemotongan konka inferior) perlu dipikirkan bila
konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara
kateurisasi memakai AgNO3 25 % atau troklor asetat (Roland,
McCluggage,Sciinneider, 2001).
Polip mukoid jinak pada hidung sering kali dihubungkan dengan alergi
hidung, dapat terjadi pada anak-anak namun lebih sering ditemukan pada
orang dewasa, karena menyumbat jalan napas, polip seringkali dirasakan
sangat mengganggu. Setelah lesi penyumbat diidentifikasi sebagai polip
jinak, maka lesi tersebut dapat diangkat.
Pasien harus di peringatkan bahwa polip dapat kembali kambuh
bilamana ada alergi, sehingga polip perlu berkali-kali diangkat selama
hidup. Polip umumnya berasal dari sinus.

D. Imunoterapi (Desensitisasi)
Bersifat kausatif, imunoterapi merupakan proses yang lambat dan
bertahap dengan menginjeksikan alergen yang diketahui memicu reaksi
alergi pada pasien dengan dosis yang semakin meningkat.
Tujuannya adalah agar pasien mencapai peningkatan toleransi terhadap
alergen, sampai dia tidak lagi menunjukkan reaksi alergi jika terpapar oleh
senyawa tersebut

L.O.3.9. Komplikasi
Komplikasi rhinitis alergi yang sering ialah :
1. Polip hidung
2. Otitis media efusi yang sering residif, terutama pada anak-anak
3. Rinosinusitis

L.O.3.10. Pencegahan
Pada dasarnya penyakit alergi dapat dicegah dan dibagi menjadi 3 tahap, yaitu:
a. Pencegahan primer

31
Untuk mencegah sensitisasi atau proses pengenalan dini terhadap alergen.
Tindakan pertama adalah mengidentifikasi bayi yang mempunyai risiko
atopi. Pada ibu hamil diberikan diet restriksi (tanpa susu, ikan laut, dan
kacang) mulai trimester 3 dan selama menyusui, dan bayi mendapat ASI
eksklusif selama 5-6 bulan. Selain itu kontrol lingkungan dilakukan untuk
mencegah pajanan terhadap alergen dan polutan.

b. Pencegahan sekunder
Untuk mencegah manifestasi klinis alergi pada anak berupa asma dan pilek
alergi yang sudah tersensitisasi dengan gejala alergi tahap awal berupaalergi
makanan dan kulit. Tindakan yang dilakukan dengan penghindaran terhadap
pajanan alergen inhalan dan makanan yang dapat diketahui dengan uji kulit.
Debu tungau adalah salah satu penyebab terbesar alergi. Mereka adalah
serangga mikroskopis yang berkembang biak dalam debu rumah tangga.

Berikut adalah beberapa cara yang dapat dilakukan untuk membatasi jumlah
tungau di rumah:
1) Pertimbangkan membeli udara-permeabel kasur dan selimut penutup
oklusif ( jenis tempat tidur bertindak sebagai penghalang terhadap
tungau debu dan kotoran mereka).
2) Pilih kayu atau penutup lantai vinyl, bukan karpet.
3) Bersihkan bantai, mainan, tirai dan furnitur berlapis secara teratur,
baik dengan menghilangkan debu.
4) Gunakan bantal sintetis dan selimut akrilik bukannya selimut wol
atau selimut bulu.
5) Gunakan vacuum cleaner dilengkapi dengan filter udara partikulat
efisiensi tinggi (HEPA) karena dapat mengeluarkan debu lebih dari
penyedot debu biasa.
6) Gunakan kain bersih basah untuk menyeka permukaan karena debu
kering dapat menyebarkan alergen lanjut.
7) Menjaga pintu dan jendela tertutup selama pertengahan pagi dan
sore hari, ketika ada sebagian serbuk sari di udara
8) Mandi, mencuci rambut dan mengganti pakaian setelah berada di
luar
c. Pencegahan tersier
Untuk mengurangi gejala klinis dan derajat beratnya penyakit alergi
dengan penghindaran alergen dan pengobatan.

L.O.3.11. Prognosis
Secara umum, pasien dengan rhinitis alergi tanpa komplikasi yang
respon dengan pengobatan memiliki prognnosis baik. Pada pasien yang
diketahui alergi terhadap serbuk sari, maka kemungkinan rhinitis pasien ini
dapat terjadi musiman. Prognosis sulit diprediksi pada anak-anak dengan
penyakit sinusitis dan telinga yang berulang.
Prognosis yang terjadi dapat dipengaruhi banyak faktor termasuk
status kekebalan tubuh maupun anomali anatomi. Perjalanan penyakit rhinitis
alergi dapat bertambah berat pada usia dewasa muda dan tetap bertahan hingga

32
dekade lima dan enam. Setelah masa tersebut, gejala klinik akan jarang
ditemukan karena menurunnya sistem kekebalan tubuh.

LI. 4. Memahami dan Menjelaskan Istinsyak, Istinsyar, Adab Menguap, Bersin


dan Bersendawa dalam Islam

1. Adab Menguap dalam Islam


Berikut ini beberapa Hadits Nabawi yang menjelaskan tentang
hakikat dari menguap dan beberapa adab yang berkaitan dengannya. Allah
mencintai bersin dan membenci menguap. Dari Abu Hurairah radhiallahu
anhu, dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam, beliau bersabda,
Sesungguhnya Allah menyukai bersin dan membenci menguap.
Karenanya apabila salah seorang dari kalian bersin lalu dia memuji Allah,
maka kewajiban atas setiap muslim yang mendengarnya untuk
mentasymitnya (mengucapkan yarhamukallah). Adapun menguap, maka
dia tidaklah datang kecuali dari setan. Karenanya hendaklah menahan
menguap semampunya. Jika dia sampai mengucapkan haaah, maka setan
akan menertawainya. (HR. Bukhari no. 6223 dan Muslim no. 2994).
Allah membenci menguap karena menguap adalah aktivitas yang
membuat seseorang banyak makan, yang pada akhirnya membawa pada
kemalasan dalam beribadah. Menguap adalah perbuatan yang dibenci oleh
Allah, terlebih-lebih ketika pada waktu shalat. Para nabi tidak pernah
menguap, dikarenakan menguap adalah salah satu aktivitas yang dibenci
oleh Allah. Imam Ibnu Hajar berkata, Imam Al-Khathabi mengatakan
bahwa makna cinta dan benci pada hadits di atas dikembalikan kepada
sebab yang termaktub dalam hadits itu. Yaitu bahwa bersin terjadi karena
badan yang kering dan pori-pori kulit terbuka, dan tidak tercapainya rasa
kenyang. Ini berbeda dengan orang yang menguap. Menguap terjadi
karena badan yang kekenyangan, dan badan terasa berat untuk
beraktivitas, hal ini karena banyaknya makan. Bersin bisa menggerakkan
orang untuk bisa beribadah, sedangkan menguap menjadikan orang itu
malas (Fathul Baari, 10/607)
Menutup mulut ketika menguap. Dari Abu Said Al-Khudri
radhiallahu anhu, dia berkata bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam bersabda, Bila salah seorang dari kalian menguap maka hendaklah
dia menahan mulutnya dengan tangannya karena sesungguhnya setan akan
masuk. (HR. Muslim no. 2995). Ketika seseorang ingin menguap
hendaknya ia menutup mulutnya dengan tangan kiri, karena menguap
adalah salah satu perbuatan yang buruk. Tidak ada bacaan dzikir khusus
yang dibaca ketika menguap. Syaikh Sulaiman al-Majid menegaskan,Dan
kami tidak mengetahui adanya sunah yang mengajarkan dzikir atau doa
yang dianjurkan untuk dibaca ketika menguap. Adapun yang banyak
tersebar menurut sebagian ulama dan kebanyakan masyarakat, bahwa
ketika menguap dianjurkan untuk membaca taawudz, berdalil dengan
firman Allah, yang artinya: Apabila setan mengganggumu maka mintalah

33
perlindungan kepada Allah. Sementara Nabi shallallahu alaihi wa sallam
menyebut bahwa menguap itu dari setan. Pendalilan semacam ini, tidak
pada tempatnya. Beliau menyebutkan alasan, Karena Nabi shallallahu
alaihi wa sallam yang mengabarkan kepada kita bahwa menguap itu dari
setan, beliau tidak mengajarkan kepada kita (untuk membaca taawudz),
selain perintah untuk menahan dan meletakkan tangan di mulut. Sehingga,
andaikan taawudz (ketika menguap) disyariatkan, tentu Nabi shallallahu
alaihi wa sallam akan menyebutkannya.

Mengguap di dalam Shalat. Hadits tentang menguap berasal dari


setan juga diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dengan lafazh: Menguap ketika
shalat adalah dari setan, jika salah seorang dari kalian menguap, maka
tahanlah semampunya. Al-Imam Malik rahimahullah berkata: Mulutnya
ditutup dengan tangannya ketika shalat sampai selesai menguap. Jika
menguap ketika sedang membaca bacaan shalat, kalau dia memahami apa
yang dibaca, maka hukumnya makruh namun sudah mencukupi baginya
(bacaan dia). Tetapi jika tidak memahaminya, maka dia harus mengulangi
bacaannya, dan jika tidak mengulanginya, -kalau bacaan tersebut adalah
surat Al-Fatihah-, maka itu tidak mencukupi (tidak sah shalatnya), dan
kalau selain Al-Fatihah, maka sudah mencukupinya (shalatnya sah). Al-
Imam An-Nawawi rahimahullah menerangkan: Pasal tentang beberapa
masalah yang langka di tengah-tengah umat namun sangat butuh untuk
dijelaskan kepada mereka, adalah di antaranya: Seorang yang menguap
ketika shalat, dia harus menghentikan bacaan shalatnya sampai
menguapnya selesai, kemudian melanjutkan bacaannya. Ini adalah
perkataan Mujahid, dan ini ucapan yang bagus, ditunjukkan oleh riwayat
dari Abu Said Al-Khudri radhiyallahu anhu, dia berkata: Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam bersabda: Jika salah seorang di antara kalian
menguap, hendaknya dia tahan mulutnya dengan tangannya, karena setan
berupaya untuk masuk. (HR. Muslim)

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan : Dan di antara


yang diperintahkan bagi orang yang menguap adalah: jika sedang shalat,
maka dia harus menghentikan bacaannya sampai menguapnya selesai, agar
bacaannya tidak berubah. Pendapat yang seperti ini disandarkan oleh Ibnu
Abi Syaibah dari Mujahid, Ikrimah, dan para tabiin.
2. Adab Bersin dalam Islam

Bersin adalah sesuatu yang disukai Allah Taala, dan bahkan bersin
itu adalah pemberian dari Allah. Sebagaimana disabdakan oleh Nabi
shallallahu alaihi wa sallam: Bersin itu dari Allah dan menguap itu dari
syaithon. Jika salah seorang diantara kalian menguap, hendaknya dia
menutup dengan tangannya. Jika ia mengatakan, aah berarti
syaithon sedang tertawa di dalam perutnya. Sesungguhnya Allah
menyukai perbuatan bersin dan membenci menguap. (Diriwayatkan oleh
at-Tirmidzi, no. 2746; al-Hakim, IV/264; Ibnu Khuzaimah, no. 921 dan
Ibnu Sunni dalam kitab Amalul Yaum wal Lailah, no. 2666. Hadits ini
dinilai shohih oleh al-Albani dalam Shohiih al-Jaami, no. 4009).

34
Agar bersin yang kita lakukan bisa mendatang pahala di sisi Allah
Taala, maka hendaklah kita memperhatikan adab-adab yang diajarkan
oleh Nabi kita, Muhammad shallallahu alaihi wa sallam, tatkala kita
sedang bersin.

Berikut ini adalah adab-adab yang harus kita perhatikan ketika


bersin.

a. Meletakkan tangan atau baju ke mulut ketika bersin. Salah satu akhlaq
mulia yang dicontohkan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam ketika
bersin adalah menutup mulut dengan tangan atau baju. Hal ini
sebagaimana yang biasa dilakukan oleh Rasullullah shallallahu alaihi
wa sallam tatkala beliau bersin. Abu Hurairah radhiyallahu anhu
menceritakan, Tatkala Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
bersin, beliau meletakkan tangan atau bajunya ke mulut dan
mengecilkan suaranya. (Diriwayatkan oleh Abu Dawud, no. 5029; at-
Tirmidzi, no. 2745 dan beliau menshohihkannya. Diriwayatkan pula
oleh al-Hakim, IV/293, beliau menshohikannya dan disepakati oleh
adz-Dzahabi).
b. Mengecilkan suara ketika bersin. Hal ini sebagaimana yang
dicontohkan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam dalam hadits di
atas. Dalam redaksi yang lainnya disebutkan, Apabila salah seorang
dari kalian bersin hendaklah ia meletakkan tangannya ke wajahnya
dan mengecilkan suaranya. (Diriwayatkan oleh al-Hakim, IV/264 dan
beliau menshohihkannya. Disepakati pula oleh adz-Dzahabi, dan al-
Baihaqi dalam asy-Syuab, no. 9353. Hadits ini dinilai hasan oleh al-
Albani dalam Shohiih al-Jaami, no. 685). Betapa banyaknya orang
yang terganggu atau terkejut dengan kerasnya suara bersin. Maka sudah
selayaknya setiap muslim mengecilkan suaranya ketika bersin sehingga
tidak mengganggu atau mengejutkan orang-orang yang ada di
sekitarnya.

c. Memuji Allah Taala ketika bersin. Nabi shallallahu alaihi wa sallam


memerintahkan umatnya untuk mengucapkan tahmid tatkala bersin.
Beliau shallallahu alaihi wa sallam bersabda: Jika salah seorang di
antara kalian bersin, hendaklah ia mengucapkan Alhamdulillah, jika ia
mengatakannya maka hendaklah saudaranya atau temannya
membalas: yarhamukalloh (semoga Allah merahmatimu). Dan jika
temannya berkata yarhamukallah, maka ucapkanlah: yahdikumulloh
wa yushlihu baalakum (semoga Allah memberimu petunjuk dan
memperbaiki keadaanmu). (Hadits shohih. Diriwayatkan oleh al-
Bukhori, no. 6224 dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu

d. Mengingatkan orang yang bersin agar mengucapkan Tahmid jika ia


lupa. Jika kita mendapati orang yang bersin namun tidak memuji Allah
Taala, hendaklah kita mengingatkannya. Ini termasuk bagian dari
nasihat. Abdullah bin al-Mubarak melihat orang lain bersin tapi tidak
mengucapkan Alhamdulillah, maka beliau berkata kepadanya, Apa

35
yang seharusnya diucapkan seseorang jika ia bersin? Orang itu
mengatakan, Alhamdulillah. Maka Ibnul Mubarak menjawab,
Yarhamukalloh.

3. Adab Istinyak dan Istinsyar dalam Islam

a. Menggunakan tangan kanan. Pada hadits Utsman bin Affan di atas,


yang menjelaskan tentang tata cara berwudhu rasulullah shallallahu
alaihi wa salam beliau memasukkan tangan kanannya ke dalam
bejana air lalu diikuti dengan berkumur dan beristinsyaq. Dan beberapa
ulama berpendapat bahwasanya istinsyaq menggunakan tangan kanan,
dan menggunakan tangan kiri ketika mengeluarkannya (Istintsar).
Mereka beralasan, dikarenakan ketika menghembuskan air keluar dari
hidung, maka yang ikut keluar bersama air adalah kotoran hidung, dan
tangan kiri digunakan untuk membersihkan kotoran yang ada pada
tubuh.

b. Mendahulukan madhmadhah daripada Istinsyaq. Dalilnya adalah hadits


yang menunjukkan tata cara wudhu Utsman ketika mencontohkan cara
beliau berwudhu. Beliau menyebutkan madhmadhah sebelum
menyebutkan istinsyaq. Dan sebagian besar ulama sepakat akan urutan
ini, akan tetapi mereka berselisih tentang apakah berkumur dan
istinsyaq ini menjadi satu rangkaian dalam satu cidukan air saja,
ataukah harus terpisah? Ulama Malikiyah berpendapat bahwasanya
seseorang berkumur terlebih dahulu sebanyak sekali, dua kali atau tiga
kali, lalu dilanjutkan dengan beristinsyaq. Pendapat inilah yang banyak
kita jumpai pada kebanyakan masyarakat di sekitar kita.

c. Berkumur dan beristinsyaq dengan air yang sama. Lepas dari pendapat
di kalangan Malikiyah di atas, berkata Imam Syafie rahimahullahu
taala; disunnahkan untuk menggabungkan antara berkumur dan
beristinsyaq dengan air yang sama sebanyak tiga kali cidukan telapak
tangan (kanan).

d. Bersungguh-sungguh dalam berkumur-kumur dan beristinsyaq kecuali


ketika sedang berpuasa.

4. Adab Bersendawa dalam Islam

Dalam kasus sendawa ketika shalat, ulama hanafiyah membedakan antara


sendawa yang bisa ditahan dan sendawa yang tidak bisa ditahan, dan
antara sendawa yang keluar suara dan sendawa tanpa keluar suara. Jika
sendawa itu bersuara, dan bisa ditahan, namun dikeluarkan oleh orang
yang shalat, maka menurut Abu Hanifah dan Muhammad bin Hasan as-
Syaibani (murid senior Abu Hanifah).

36
Dalam Durar al-Hukkam Syarh Gharar al-Ahkam dinyatakan, untuk
sendawa, biasanya keluar suara (huruf), dan bisa ditahan maka
membatalkan shalat menurut kedua imam Abu Hanifah dan Muhammad
bin Hasan. Namun jika tidak bisa ditahan, tidak membatalkan shalat.
Demikian kesimpulan dalam kitab al-Kafi. (Durar al-Hukkam, 1/448).

Sementara dalam madzhab Malikiyah, mereka menyamakan hukum


sendawa dengan berdehem. Al-Ujhuri mengatakan,Yang jelas, sendawa
dan keluar dahak, hukumnya sama dengan berdehem. (al-Fawakih ad-
Dawani, 3/15).

Kemudian mereka menjelaskan, jika sendawa itu tidak bisa ditahan, tidak
membatalkan shalat dan tidak perlu sujud sahwi. Namun jika bisa ditahan,
ada dua pendapat. Dan pendapat yang paling kuat dalam madzhab Maliki,
bahwa sendawa bisa membatalkan shalat jika sendawa itu dilakukan
karena sengaja dan main-main. (al-Fawakih ad-Dawani ala risalah al-
Qoiruwani, 3/15).

DAFTAR PUSTAKA

37
Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI. 2007. Farmakologi dan Terapi
Edisi 5. Jakarta : Badan Penerbit FKUI. (p: 278-281,513-514)
Dorland WAN. 2000. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29. Jakarta: EGC (p:
1050)
Ganong, WF, 2007, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, 21th ed, ab. M. Djauhari
Widjajakusumah. Jakarta : EGC.
Gunawan SG, Setiabudy R, Nafrialdi, Elysabeth. (2011). Farmakologi dan
Terapi. Edisi V, Jakarta : Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI.
http://www.nytimes.com/health/guides/disease/allergic-rhinitis/prognosis.html.
Diakses pada Kamis, 16 Febuari 2017 19:30
http://www.piss-ktb.com/2012/02/770-akidah-adab-bersendawa-glegeken.html.
Diakses pada Kamis, 16 Febuari 2017 20:45

https://muslimah.or.id/217-adab-menguap-dan-bersin.html. Diakses pada Kamis,


16 Februari 2017 20:45

https://untukislam.wordpress.com/2014/03/16/istinsyaq/. Diakses pada Kamis, 16


Februari 2017 20:50

https://remajaislam.com/343-adab-ketika-bersin.html. Diakses pada Kamis, 16


Februari 2017 21:30

Irawati, N., Kasakeyan, E., Rusmono, N. Rinitis Alergi. 2008. Dalam: Buku
AjarIlmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher Edisi
keenam.Jakarta: Balai Penerbit FK UI; 128-134.

Kaplan AP dan Cauwenberge PV, 2003. Allergic Rhinitis In : GLORIA Global Resources
Allegy Allergic Rhinitis and Allergic Conjunctivitis, Revised Guidelines,
Milwaukeem USA.

Price,Wilson. 2006. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit vol 2.


Jakarta:EGC.

Raden, Inmar. 2014. Anatomi Kedokteran Sistem Respiratorius. Jakarta : Universitas


Yarsi

Sherwood L. 2014. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem Edisi 8. Jakarta: EGC
Small, P. and Kim, H. 2011. Allergic rhinitis. 7 (Suppl 1), p. S3. Available from:
doi: 10.1186/1710-1492-7-S1-S3.

Soepardi E., Iskandar N, 2004. Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi kelima.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta

38
Suprihati. 2005. The Prevalence of Allergic Rhinitis and Its Relation to some Risk
Factors among 13-14 years old students in Semarang, Indonesia, In : Indonesian
Journal of Otorhinolaryngology, Head and Neck Surgery, Vol,XXXV, no 1, Jakarta;
64-70.

Syarh Shahih Al-Adab Al-Mufrad. Majalah Tashfiyah edisi 03 vol. 01 1432 H 2011 M,
hal. 50-51

39

Anda mungkin juga menyukai