Anda di halaman 1dari 12
BAHASA MELAYU JAKARTA C.D. Grijns Universitas Leiden Pendabuluan Makalah ini sebagian besar bersumber pada survai seluruh daerah bahasa Malayu Jakarta yang saya adakan pada tahun 1970. Jadi, data-data yang saya pakai sudah berumur 20 tahun lebih. Kita semua tahu betapa pesat perkembangan dan pembangunan DKI dan dacrah sekitarnya selama 20 tahun yang lalu itu. Jadi, secara kuantitatif data yang akan saya sajikan pasti sebagian hanya berguna sebagai bahan perbandingan untuk studi lanjutan dan untuk dapat menafsirkan keadaan bahasa di Jakarta sekarang. Secara kualitatif, dari segi bentuk dan fungsi bahasa Melayu Jakarta, perubahan mungkin sekali tidak secepat seperti perubahan sosial-geografis. Data sensus nasional yang diadakan sesudah tahun 1970 tentu menghasilkan banyak data baru. Malah dalam sensus terakhir untuk pertama kali dimasulkkan pertanyaan mengenai keadaan bahasa daerah. Akan tctapi, rumusan pertanyaan itu tidak memungkinkan kita untuk mengetahui dengan jelas siapa yang memakai bahasa Melayu Jakarta Jakarta Malay) sebagai bahasa pertama, dan siapa yang memakai bahasa Indonesia logat Jakarta (Jakartan Indonesian). Judul makalah ini yang terdiri atas tiga kata, yaitu bahasa, Melayu, dan Jakarta, memerlukan tiga jenis penjelasan pula. Dengan ‘bahasa’ saya maksudkan di sini (a) suatu sistem linguistis yang mempunyai ciri-ciri khas yang membedakannya dari semua sistem yang lain; (b) suatu sistem linguistis yang otonom, artinya yang norma-normanya tidak tergantung pada sistem yang lain. Bahasa Melayu Jakarta termasuk kategori bahasa yang merupakan alat komunikasi utama bagi suatu masyarakat tertentu, Masyarakat yang berbahasa Melayu Jakarta adalah golongan etnis yang tradisional yang menghuni suatu daerah tertentu. Dalam bahasa Inggris bahasa semacam itu dapat disebut suatu vernacular. Kata kedua dalam judul makalah ini adalah Melayu. Yang saya maksudakan dengan ‘Melayu’, agak sulit diberi definisi yang ketat. Yang paling esensial untuk menentukan kemelayuan suatu bahasa adalah bentuknya, baik bentuk tata bahasanya maupun bentuk kosakatanya, Bahasa-bahasa Melayu yang ada dapat digotongkan (a) sebagai vernacular (misainya,. bahasa Melayu Trengganu, bahasa Melayu Manado, bahasa Melayu Jakarta); (b) sebagai bahasa nasional (bahasa Indonesia dan Malaysia) dan (c) sebagai lingua franca. Menurut pendapat saya, bahasa sehari-hari yang dipakai di Jakarta sebaiknya dianggay termasuk bahasa nasional, berdasarkan dua pertimbangan: (a) bentuk bahasa schari-hari tidak otonom, dan selalu beroposisi dengan bahasa Indonesia resmi; (b) penutur bahasa itu tidak merupakan golongan etnis, dan bersifat masyarakat ibukota negara Indonesia. Saya berikan dua contoh yang sederhana: dalam bahasa Jakarta sehari-hari kata lu selalu beroposisi dengan sapaan lain, umpamanya Saudara, kamu, Bapak dll., dan hanya dipakai dengan konotasi tertentu, yaitu sangat kasar atau sangat akrab. Sebaliknya, dalam bahasa ‘Melayu Jakarta kata /u tidak berkonotasi itu. Contoh kedua: masyarakat ibukota merupakan masyarakat terbuka: semua orang Indonesia dari luar Jakarta, malah orang asing pun, yang sambil memekai bahasa Indonesia berusaha menyesuaikan logatnya dengan logat khas 67 Jakarta, diterima dengan baik dan terjadi akomodasi dari dua belah pihak. Akan tetapi, kalau pendatang itu berusaha memakai bahasa Melayu Jakarta yang merupakan vernacular, ia tidak dilayani sebagai penutur atau calon penutur vernacular itu. ‘Ada alasan lain lagi untuk menyebutkan vernacular yang kita bahas di sini suatu vernacular Melayu, yaitu dari survai yang saya adakan pada tahun 1970, ternyata sebagian besar penutur vernacular itu menamakan bahasanya bahasa Melayu. ‘Tepatnya: responden di luar DKI pada umumnya memakai nama bahasa Melayu, (ada juga Melayu Ora, Melayu Buset, asli Melayu, Melayu Daerah, Melayu sini, Melayu kasar dan Melayu Jakarta). Di daerah DKI paling banyak dipakai bahasa Jakarta; ada juga bahasa Betawi dan asli Jakarta. Tidak seorang pun menamakan bahasanya omong Jakarta atau Melayu Betawi. Kata yang ketiga dari judul makalah ini adalah Jakarta, Perlu saya jelaskan bahwa daerah bahasa Melayu Jakarta tidak terbatas pada daerah DKI, tetapi meliputi juga hampir seluruh Kabupaten Bekasi, dan sebagian atau seluruhnya dari delapan kecamatan di Kabupaten Bogor, dan dari delapan kecamatan di Kabupaten Tangerang. Daerah bahasa itu dibatasi oleh Sungai Citarum di sebelah timur dan oleh Sungai Cisadane di sebelah barat. Di bagian selatan daerah itu berbatasan dengan Kotamadya Bogor. Jumlah Penutur Menurut perhitungan kasar yang saya buat pada tahun 1970, jumlah penutur bahasa Melayu Jakarta adalah 2.300.000 orang, dengan perincian sbb: 50% dari jumlah seluruhnya bertempat tinggal di daerah DKI, dan 50% di daerah pedesaan Bekasi, Bogor dan Tangerang. Kalau kita membedakan kelurahan DKI yang bersifat urban dengan yang bersifat rural, maka di kelurahan urban rata-rata hanya 6% dari seluruh penduduk berbahasa Betawi, dan di kelurahan rural 60%. Di kelurahan di luar DKI persentase itu rata-rata berjumlah 64%. Dengan adanya lebih dari dua juta penutur, bahasa Melayu Jakarta sebagai vernacular atau bahasa daerah menduduki tempat yang kesepuluh di antara bahasa-bahasa utama (major languages) di Indonesia, sesudah bahasa Bali sebagai nomor sembilan dan sebelum bahasa Aceh dan bahasa Sasak. Menurut definisi Nababan, kedudukan major language diberikan pada suatu bahasa asli (native language) yang dipakai oleh sekurang- kurangnya satu juta orang, biarpun penuturnya kurang dari 25% dari seluruh penduduk daerah yang bersangkutan (Nababan 1985:4). Akan tetapi, perlu dicatat bahwa bahasa Melayu Jakarta hampir tidak mempunyai tradisi sastra tertulis, tidak dipakai diluar lingkungan orang Betawi, dan tidak dipakai dalam rangka pendidikan dan keagamaan. Masyarakat Bahasa ‘Tadi saya katakan bahwa masyarakat yang berbahasa Melayu Jakarta merupakan golongan etnis yang tradisional. Dalam kuesioner yang saya pakai untuk survai bahasa Melayu Jakarta sengaja dicantumkan pertanyaan yang mungkin agak membingungkan responden, sbb: "Kalau ditanya kepada seorang penduduk asli di desa/kelurahan ini: '‘Saudara termasuk suku apa?’ Bagaimana kiranya jawabnya?” Hampir separuh dari responden menjawab: "(suku) Melayu", 27% menjawab: *(suku) Jakarta’, 14% "(suku) Sunda", dan ada beberapa orang yang menjawab: "(suku) Betawi", atau "Betawi asli". Karena orang Betawi asii tidak biasa menganggap diri sebagai suatu suku, cukup memarik perhatian bahwa dari antara 285 tesponden hanya 13 orang menjawab: "Tidak tahu". Mengingat bahwa kata Betawi sudah 68 lazim dipakai dalam bahasa Indonesia, dan bahwa di kalangan penutur bahasa Melayu Jakarta dibentuk beberapa perkumpulan yang bernama 'kaum Betawi' dsb., saya akan memakai nama ‘orang Betawi' untuk menunjuk kepada penotur itu, Kesadaran kesukuan: mereka (perception of ethnicity) ternyata dari beberapa fakta: (1) mereka membuat perbedaan yang jelas antara orang Sunda atau Jawa dan orang Betawi. Orang Betawi di kampung-kampung urban menghadapi pendatang Sunda dan Jawa yang pada umumnya agak miskin. Walaupun orang Betawi pada umumnya tidak termasuk golongan yang berada, mereka memiliki status sebagai warga kampung yang sudah turun- temurun bermukim di kampungnya dengan martabatnya, adatnya dan bahasanya sendiri Sebaliknya, di daerah Bekasi terdapat banyak pegawai Sunda dari dacrah Priangan, yang bahasanya dan adatnya dianggap lebih halus dari pada penduduk asli, sehingga di Bekasi ita ‘gengsi orang Sunda cukup tinggi dibanding dengan kampung-kampung di daerah perkotaan. (2) Sikap orang Betawi terhadap perkawinan campuran, artinya perkawinan seorang putrinya dengan laki-laki dari suku lain, cukup positif. Mereka mangharapkan bahwa calon menantu akan menyesuaikan diri dengan masyarakat Betawi. (3) Pada umumnya orang Betawi yakin bahwa dalam dua generasi yang akan datang, anak dan cucu mereka yang tetap tinggal di kampungnya tetap akan memakai bahasa Melayu Jakarta. (4) Untuk menguji sikap penduduk di daerah pedesaan terhadap pemakaian bahasa Sunda di desanya sendiri, mereka ditanya jawab apa yang akan mereka berikan kalu seorang tamu dari tempat lain datang dan memberi salam dalam bahasa Sunda ("punten"), Akan dibalas dengan bahasa Sunda pula, ("mangga"), atau dalam bahasa Melayu? Sebaliknya, bagaimana kalau tamu itu memberi salam dalam bahasa Melayu (“assalamu'alaikum"): akan dibalas dengan (“wa ‘alaikumassalam”) atau dengan memakai bahasa Sunda? Ternyata tidak kurang dari 40% dari semua responden akan membalas dalam bahasa Melayu, walaupun disapa dalam bahasa Sunda, sedangkan 30% akan membalas dengan bahasa Sunda. (5) Orang Betawi mempunyai ingatan kolektif (collective memories) mengenai zaman dahulu kala maupun zaman modern sampai pendudukan Jepang. Dari zaman dahulu kala mereka ingat akan hubungan dengan Mataram, dengan Banten, dengan Cirebon dan dengan daerah Priangan. Yang menarik perhatian ialah dari ratusan responden di seluruh daerah tidak ada yang menyebut nama Siliwangi, raja yang umum dikenal orang Sunda sebagai raja Pakuan Pajajaran, kerajaan Hindu di Jawa Barat. Di beberapa tempat di Tangerang dan Bekasi orang menganggap diri sebagai keturunan pasukan Sultan Agung yang menyerbu benteng Batavia dalam tahun 1628 dan 1629. Di tiga belas kecamatan ada responden yang menyatakan bahwa ada hubungan sejarah dengan Banten dan di enam kecamatan ada yang menyebutkan hubungan dengan Cirebon. Suatu ciri khas masyarakat Betawi ialah tidak adanya kaum bangsawan, seperti ménak Sunda atau radén Jawa.Masih terdapat cerita lama mengenai penyebaran agama Islam di daerah Melayu oleh para wali dari Cirebon, dan di berbagai kecamatan di daerah pedesaan ada kauman sekelompok kekuarga yang tinggal dekat dengan masjid dan yang merupakan keturunan dari orang yang pertama kali mengabarkan ajaran- ajaran Islam ke tempat itu. Pada waktu lebaran ada yang berkunjung kepada guru ngaji mereka di Banten. Khusus dari daerah Parung beratus-ratus orang ziarah ke makam Sunan Gunung Jati dekat Cirebon, dan semua orang Betawi mengenal kebiasaan untuk membayar kau! atau nazar ke makam_ Sayyid Husein di masjid Luar Batang dekat Pasar Ikan. Suatu tradisi khas Betawi adalah juga menghadiri upacara mi’raj di tempat pengajian di Kwitang. Sampai tahun 1968 Syaikh Ali cs) Al-Habsji membacakan sejarah mi'raj dalam bahasa Melayu. Ingatan mengenai zaman modern, mulai dari abad ke-18 sampai kemerdekaan, berhubungan dengan sejarah tanah partikelir. Orang masih ingat nama-nama tuan tanah Belanda, Tionghoa, dan Arab, dan sering disebut sistem kerja rodi dan kompenian atau kumpenian (dari VOC, Verenigde Oostindische Compagnie), yaitu wang yang dibayar untuk dibebaskan dari kerja rodi. Di samping kumpenian, harus dibayar cuké, yaitu pungutan 20% dari hasil tanah oleh tuan tanah. Dari zaman tanah partikelir masih dikenal beberapa istilah, ump. égenar (Bld eigenaar) ‘pemilik’, polmak (Bld volmacht, gevolmachtigde) ‘kuasa' potiah (Tionghoa: ‘pelapor') ‘pegawai tuan tanah yang bertanggung jawab alas pemungutan pajak', kumetir (Bld gecommitteerde) ‘agen, wakil potiah', dsb. Di daerah perkotaan masih dikenal bék (Bld wijk-meester), 'kepala kampung' , dan tavidi (Bld Tweede, 'kedua') ‘wakil ‘Semua bekas sejarah ini merupakan milik kebudayaan orang Betawi yang tidak dimiliki oleh orang Jakarta lainnya. Banyak ciri-ciri khas Betawi dapat disebut lagi. Kesetiaan mereka melakukan sembahyang lima waktu, peranan sosial pengajian, khusus sebagai tempat wanita Betawi berkumpul; keogahan mereka untuk mengirim anaknya kepada sekolah dasar; perhatian mereka yang sangat terbatas terhadap perkembangan politik. Di zaman kolonial reserse politik Belanda yang mengikuti perkembangan gerakan nasional dari dekat dalam laporannya tidak pemah menyebutkan perkumpulan kaoem Betawi sebagai berbahaya untuk pemerintahan kolonial. Di bidang folklor Betawi ada beberapa jenis kesenian yang selalu memakai bahasa Melayu, baik Melayu Tinggi maupun bahasa Betawi. Yang mempunyai identitas Betawi adalah kesenian tukang cerita yang membaca cerita-cerita mengenai jago Betawi (si Pitung, Mat Item, si Jampang, Nyai Dasima) /énong, topeng Melayu, wayang kulit Melayu. Wayang kulit Melayu saja ada lebih dari 1000 pertunjukan di sekitar Jakarta pada tahun 1969. Hal itu sama sekali tidak diketahui di Jakarta pada waktu itu, sebelum wayang Bekasi 'ditemukan_ kembali’ oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Di kampung-kampung urban di DKI pertunjukan rakyat itu sudah kurang digemari, dan yang sangat populer sampai sekarang adalah orkes rebana/robana. Secara tradisional orang Betawi memilih pekerjaan yang tertentu. Mereka ikut aktif dalam pemerintahan pada tingkat RW, kelurahan dan kecamatan, tetapi jarang pada tingkat kabupaten atau provinsi. Mereka sama sekali tidak suka bekerja sebagai polisi. Banyak yang menjadi tukang sepeda, tukang sepatu, tukang kapur, tukang cetak, tukang bangunan, tukang jahit, tukang rambut, atau pemborong kecil, sopir, centéng (jaga malam), pedagang kecil, buruh di pasar (kuli), dan dahulu kusir delman. Semuanya itu menunjukkan bahwa orang Betawi sebagai golongan etnis dapat dibedakan dari golongan etnis lain yang tinggal di Jakarta. Dalam pemakaian bahasa mereka berbeda juga. Pertalian antara kesukuan Betawi dan bahasa Melayu Jakarta sangat erat. Melayu Jakarta semata-mata dipakai dalam lingkungan orang Betawi sendiri. Kalau mereka berbicara dengan orang lar, malah kalau orang luar hadir, mereka segera alih kode dan memakai bahasa Jakarta umum, yang mereka sebutkan bahasa sehari-hari atau bahasa Indonesia ("bahasa sekolah"). Orang luar yang mau memakai Melayu Jakarta tidak dilayani, kecuali sesudah proses integrasi di kampung Betawi yang agak Jama. Di kampung-kampung i mana percakapan di jalan banyak berlangsung dalam bahasa Melayu Jakarta, dan di mana anak-anak bermain memakai bahasa itu, tentu integrasi bahasa berjalan lebih cepat melalui 70 anak-anak. Keadaan itu menyebabkan bahwa batas bahasa tidak dapat ditentukan begita saja berdasarkan statistik bahasa pertama para penduduk. Yang memutuskan adalah bahasa yang terbanyak dipakai antara tetangga dan oleh anak-anak di rumah dan di luar rumah disekitar tempat tinggalnya. Tentang itu saya buat dua studi kasus yang rinci; satu di daerah Tanah Abang (Kelurahan Kebon Melati) dan satu di desa Cilebut dekat Bogor (Grijns 1983; 1991, 1:40.47). Sistem Linguistis Bahasa Melayu Jakarta Dari hasil penelitian yang diterbitkan pada tahun 60-an dan 70-an (Muhadjir 1964, 1981/1984; Ikranagara 1975, 1980/1988, Wallace 1976 [belum diterbitkan], Kahler 1966 dan Abdul Chaer 1976) sudah menjadi cukup jelas bahasa Melayu Jakarta (MJ) seperti dipakai di bagian perkotaan DKI merupakan sistem bahasa yang tersendiri yang berbeda dengan sistem bahasa Indonesia (BI), baik dalam bentuk resminya, maupun sebagai bahasa Indonesia logat Jakarta (J). Pada pihak Jain tumpang-tindih antara MJ dan BI sangat banyak, Menurut pendapat saya, khasanah fonem konsonan dan vokal sama kecuali unsur- unsur yang berikut: MI tidak ada bunyi sengau (diftong), sama seperti bahasa Jawa, Sunda dan Bali. BI ada tiga diftong: /ay/, /aw/ dan /oy/. Dalam IJ dapat kita amati alternasi yang tidak teratur. Dalam satu tuturan juga seorang penutur dapat berkata kalo’ dan kalau, be(r)damé dan berdamai (MJ biasa memakai dami atau dami'). ‘Suatu ciri khas MJ kalau dibanding dengan BI adalah terdapatnya pepet (e) dengan frekuensi yang tinggi di suku terakhir yang tertutup; misalnya, MJ malem, BI malam. U ada alternasi semalam/semalem, tanaman/taneman. Pepet dalam suku terakhir yang tertutup termasuk sistem bahasa Jawa, Sunda dan Bali. ‘Mengenai konsonan dapat dicatat bahwa ada empat konsonan yang berasal dari bahasa asing yang diberi status fonem dalam BI baku, yaitu /f/, /z/, /sy/ dan /kh/. Keempat Konsonan itu terdapat dalam MJ, tetapi tingkat integrasinya dalam MJ masih rendah. Kita dengar film/pilem, dan kadang-kadang f dipakai sebagai markar konteks keagamaan, umpamanya kalau seorang kyai berpidato dan memakai kuch fe daripada pépé; zaré dipakai di samping jiarah; syarat di samping sarat; khusus di samping husus. Dalam DU keempat konsonan itu sering Retrofleks prapalatal sh dan dh, di samping dento-alveolar ¢ dan d yang dikenal dari bahasa Jawa, tidak terdapat di MJ. Yang dapat diamati dengan jelas tempat artikulasi d dan nterletak lebih di belakang dari t. Orang Bali yang baru menetap di Jakarta kadang-kadang ditertawakan karena ‘kejawaan’ lafal ¢ mereka, walaupun f bahasa Bali kurang jauh ke belakang daripada th retrofleks bahasa Jawa. Distribusi beberapa konsonan MJ berbeda dengan BI baku, dan pada umumnya juga dengan UJ. Konsonan yang bersangkutan adalah s, konsonan-konsonan laringual, dan onsonan bersuara pada akhir kata. Di MJ kita temukan lenyapnya s- (s-deletion) pada kata, ‘atau s- diganti dengan h- atau glottal stop: atu, hatu dan ‘atu sering dapat didengar; begitu juga ada variasi antara ude, ‘udé, udeh; antara diajar dan dihajar (kedua-duanya dengan arti "dipikul'), BI baku tidak mengenal rangkub atau uleg. Dalam UJ tidak saya amati hatu, sedangkan varian-varian lain sering dipakai oleh penutur BI, baik penutur BI baku (sebagai bentuk bermarkar), maupun penutur IJ. na Bagian mengenai fonologi MJ ini saya tutup dengan suatu catatan mengenai gugus konsonan (cluster) pada awal kata. Seperti akan kita lihat, pengaruh bahasa Jawa terhadap MB sangat besar. Walaupun demikian, MJ tetap mempertahankan suatu ciri kemelayuan berhubung dengan gugus konsonan seperti dr-, tr-, dl-, tl-, sr-, cr dan banyak lain yang terdapat dalam bahasa Jawa. Yang paling banyak kita dapati ialah der-, ter-, del, tel- dsb., yang memakai pepet sesudah konsonan pertama. Mengenai soal itu saya tulis panjang lebar dalam Grijns 1981. Gejala itu sebagian saya tafsirkan sebagai pengaruh bahasa Sunda, yang praktis tidak mengenal gugus konsonan pada awal kata ‘Sekarang kita pindah kepada soal afiksasi. Jumilah afiks MJ lebih kecil daripada jumlah afiks BI. Yang ada adalah berbagai bentuk pranasalasi, be(r)-, pe(N-), per)-, di-, Ke-, te(r}- dan se-; sufiks yang produktif hanya ada dua: -in dan -an (sama dengan BI sebenarnya harus dibedakan antara -an1, -an2, dsb.). Semuanya ini sudah dipaparkan oleh Muhadjir, Ikranagara, Kahler, Wallace dan Abdul Chaer, (dan lihat juga Grijns 1991; I: tidak banyak gunanya kalau saya ulang di sini. Akan tetapi, ada beberapa harus diteliti Jebih jauh: saya duga bahwa dalam pranasalisasi, nasal yang mendahului konsonan awal bersuara dari bentuk dasar, adalah nasal silabis, umpamanya dalam nglier ‘melihat’, ngrasain 'merasakan', ngwaliin 'menjadi wali untuk seseorang', mbakar, ndenger, njailin 'mempermainkan', nggigit; malah terdapat ncampur 'mencampur' (yang berkontras dengan nyampur ‘hidup bersama’), dan ncongol disamping nyongol ‘menonjol ke depan’ . Prefiks N- (tanpa me-) jelas membedakan MJ dan IJ dengan BI baku. Suffix -in tidak terdapat di BI, dan sebaliknya, sufiks -kan/-ken dan i tidak termasuk MJ. Dalam IJ kita dapat mengamati pemakaian alternatif dari ketiga sufiks itu. Di berbagai desa yang berbatasan dengan daerah berbahasa Sunda saya temukan oposisi antara -in dan -kan. (-ken itu menurut pendapat saya berasal dari Sunda keun dan bukan dari BI -kan/-ken). Di kecamatan Parung suatu verba yang berkhiran -ken dapat menunjuk pada suatu objek yang spesifik, sedangkan kalau verba itu berakhiran -in, objeknya tidak spesifik Umpamanya: si Ani kudu nyuciken piring berarti: ‘Ani harus mencuci piring', sedangkan si Ani ogah nyuciin piring berarti: 'Ani tidak suka mencuci piring.’ Di tempat lain ada kontras antara -ken dan -in yang berhubungan dan relasi antara pelaku dan objek-tak- langsung (beneficiary): Beltin Ali rokok berarti: 'Belikan rokok untuk (temanmu, dsb.) Ali’; kalau kedudukan sosial beneficiary lebih tinggi, dipakai -ken: Belikan Pak Lurah rokok. Hal itu saya temukan di Bekasi Selatan. Tadi sudah saya katakan bahwa di Bekasi orang Sunda dan bahasa Sunda sering berprestise, dan dalam hal ini -ken saya anggap berasal dari bahasa Sunda. ‘Ada lagi akhiran yang layak diperhatikan, yaitu akhiran -ah atau -a yang dapat dibandingkan dengan BI dan MJ -nya; misalnya, atepah ‘atapnya’, wajibah 'scharusnya' tempatah ‘tempatnya' , tetungkedah ‘tongkatnya', anaka ‘anaknya', sampanah 'sampannya, perahunya’, di samping sampanya 'sampahnya'. Akhiran -a(h) ini secara geografis tersebar luas, tetapi tidak umum dipakai lagi, dan saya anggap sebagai relikt, Namun, saya duga juga bahwa -ah tidak berfungsi sebagai pronomina posesif tetapi sebagai ‘definite marker’ (lihat Stokhof 1986:331-32), seperti dalam kalimat kebo ada tandukah 'kerbau adalah hewan bertanduk’. Di beberapa dialek bahasa Bali bentuk pronomina posesif orang ketiga -né berbeda dengan suffiks ‘demonstratif’ -é, ump. griyo-é 'arumah ini’. Di antara bahasa- bahasa Nusantara ada beberapa yang memiliki sufiks -2 atau -é tanpa nasal sesudah wokal, misalnya. bahasa Jawa Cirebon: siraé kepalanya',, kallé ‘sungai itu’ (lih. Smith 1925:8). 72 Bahasa Melayu Belitung ada sufiks -¢, ump. régéé ‘harganya', arié ‘'harinya’ (lih. Vorderman :375-76). Gejala sufiks -a(h) dalam MJ masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Semoga itu dapat dilakukan sebelum sufiks itu hilang sama sekali (lih. juga Grijns 1991, i: 184-86). Sekianlah dahulu beberapa citi khas bahasa MJ. Sekarang saya ingin melaporkan sedikit tentang metode dan teknik baru yang saya pakai untuk menemukan dan membatasi dialek- dialek utama yang terdapat di MJ. Variasi menurut Golongan Penutur ‘Studi variasi bahasa dapat digolongkan atas dua aspek utama: variasi menurut golongan penutur (penelitian dialek dan sosiolek) dan variasi menurut keadaan (situasional), menurut relasi antara dua lawan bicara (unsur, kelamin, status sosial, sikap, pokok pembicaraan, dsb. Kedua-duanya termasuk bidang sosiolinguistik karena variasi itu disebabkan oleh faktor- faktor sosial. Penelitian variasi menurut golongan penutur dahulu terutama dilakukan atas dasar penyebaran geografis dari sejumlah unsur bahasa. Kalau distribusi geografis unsur- unsur itu agak sama, digariskan ikatan isoglos pada peta geografis, dan penutur yang tinggal di daerah yang dilingkupi oleh ikatan isoglos itu dianggap penutur satu dialek (lokabahasa) tertentu. Metode ini ada beberapa kekurangannya. Pada umumnya ikatan isoglos terurai lagi karena setiap unsur bahasa ada sejarahnya sendiri. Memilih ikatan isoglos dan menil kedudukannya terhadap isoglos-isoglos lain sangat subjektif. Kekurangan yang terbesar ialah kriterium geografis dipakai sebagai kriterium utama untuk menggolongkan penutur bahasa, sedangkan relasi antara unsur-unsur bahasa sendiri tetap tidak jelas. Bahasa MJ adalah “vernacular* suatu masyarakat bahasa yang tradisional. Jadi, penggolongan menurut tingkat atau stratifikasi sosial (studi sosiolek) tidak begiru relevan. Oleh karena itu, saya memusatakan penelitian saya pada penggolongan menurut distribusi geografis (studi dialek). Akan tetapi, ternyata distribusi unsur-unsur MJ pada peta begitu kompleks sehingga usaha penggolongan penutur atas dasar ikatan isoglos tidak mungkin akan berhasil. Lalu saya diberi tahu bahwa ada metode baru yang masih dikembangkan ‘untuk menemukan struktur dalam data yang banyak jumlahnya dan yang rupa-rupanya tidak teratur distribusinya. Akhimya, dengan menerapkan metode itulah saya berhasil membedakan tujuh dialek utama dalam kontinuum MJ. Ketujuh dialek itu dapat dilihat pada peta di lampiran (peta nomor 33 di Grijns 1991, I). Dialek itu saya sebut dialek Mauk- Sepatan, Gunung Sindur, Ciputat, Cengkareng-Grogol Petamburan-Kebayoran Baru, Kota, Pasar Rebo, dan dialek Pebayuran, Bekasi bagian timur. Dialek Mauk-Sepatan banyak menunjukkan pengaruh bahasa Jawa dan Sunda dari Banten. Dialek Gunung Sindur mempunyai banyak ciri Sunda, sedangkan dialek Ciputat lebih banyak bercorak Jawa. Dalam dialek Cengkareng-Grogol-Petamburan-Kebayoran Baru ditemukan relatif banyak unsur Bali, dan dialek itu memakai lafal apa‘ dibanding denan dialek Kota yang memakai apé atau ape. Dialek Kota itu sedikit sekali memakai pranasalisasi dibanding dengan semua dialek lain. Dialek Pasar Rebo sulit digolongkan, dan akhirnya saya ambil kesimpulan bahwa dialek itu merupakan perpaduan atau campuran dari unsur-unsur berbagai dialek lain. Walaupun begitu, dialek itu mempunyai identitas yang nyata. Akhirnya, dialek Pebayuran banyak dipengaruhi bahasa Sunda. Deskripsi masing-masing dialek dapat dibaca di Grijns (1991, 1199-246). Pada halaman 245--246 terdapat ikhtisar bentuk-bentuk pranasalisasi yang khas untuk setiap dialek. Perhatikanlah contoh berikut. B Mauk-Sepatan [inum], memikirken [sic!], ngabetulin, moro 'memburu' ngigit Gunung Sindur nginum, ngebawa, ngegigit Ciputat ‘membakar, mburu, mbagi, ngganti, mencocok/menocok, mendengerin, menggigit Cengkareng-Grogol Petamburan-Kebayoran Baru mberi, nggigit, negoda, ngematiin, ngeludah/ngludah/meludah Kota ngapung, ngebawa, mbawa, ngebeli, membele ‘membelah’, nimbul, ngulon Pasar Rebo ‘mengapung, memikirin, mbakar, membakar, mbelah/membelah, ndandanin/mendandanin 'meraperbaiki' , menggigit/manggigit/nggigit Pebayuran. mikirken, ngabakar, ngedenger, ngagigit, (gogoda), ngeliat ‘Unsur-unsur Umum atau 'Netral’ Melalui metode yang saya gunakan dapat juga ditetapkan unsur-unsur bahasa mana yang ‘umum dipakai atau yang ‘netral’; artinya, yang bukan unsur khas dari salah sata dialek. Dari analisis unsur-unsur ‘netral' itu dapat diambil kesimpulan yang berikut: Dari unsur-unsur umum bahasa MJ 80% dapat langsung dibandingkan dengan bahasa Melayu umum; 70% dengan bahasa Jawa; 60% dengan bahasa Sunda dan 44% dengan bahasa Bali, sedangkan persamaan dengan bahasa-bahasa daerah lain sedikit sekali, Sebagai patokan untuk statistik inj dipakai kamus Wilkinson, Pigeaud, Eringa dan Kersten + Kamus Bali-Indonesia (1978). ‘Unsur yang dapat langsung dibandingkan itu adalah unsur yang baik menurut bentuknya maupun menurut artinya praktis sama. Asal-usul Orang Betawi dan Bahasa Melayu Jakarta Orang Betawi yang turun-temurun menghuni kampung-kampung di Batavia dan di tanah- ‘anah pertikelir (milik tan tanah) di sekitar Batavia sebagian besar berasal dari budak belian VOC yang didatangkan dari Bali dan Indonesia Timur. Banyak orang Tionghoa peranakan yang beragama Islam bergabung dengan mereka. Kemudian juga orang Jawa dan orang Sunda bercampur dengan penduduk itu. Dahulu VOC mewajibkan penduduk bertempat tinggal di kampung-kampung menurut suku. Akan tetapi, pada abad ke-19 segregasi etnis itu sudah berakhir. Orang yang dahulu terutama memakai bahasa daerahnya, mulai memakai bahasa Melayu yang dikenal sebagai lingua franca. Lama-kelamaan penduduk kampung ‘merupakan suku sendiri dan mengembangkan bahasa Melayunya sendiri. Melihat besarnya persamaan bahasa Melayu itu dengan bahasa Jawa, Sunda, dan Bali, dapat kita anggap bahwa bahasa MJ merupakan hasil suatu proses konvergensi: kosakata yang sudah dimiliki bersama menjadi inti kosakata bahasa vernacular orang Betawi. Metode Analisis Data Metode dan teknik yang saya gunakan disebut multiple correspondence analysis. Teknik itu langsung menghubungkan semua responden sebagai satu kumpulan (set, Bld verzaameling) 4 dengan semua data (responses) sebagai satu set lain. Lalu responden digolongkan (d:klasifikasi) menurut responses yang mereka berikan, dan sekaligus responses digolongkan ‘menurut responden yang menghasilkannya. ‘Teknik ini adalah semacam analisis faktor yang sangat canggih, Karena dari kuantifikast distribusi unsur-unsur bahasa bukan saja varian-varian bahasa dan responden-responden dapat digolongkan, tetapi juga faktor-faktor utama yang menyebabkan penggolongan itu dapat diketahui. Dalam hal ini ternyata faktor terpenting adalah kontras urban-rural dan kontras Jawa-Sunda. Tatangan bahasa Melayu Jakarta Bahasa MJ menghadapi tiga tantangan utama: (1) masyarakat bahasa terpisah-pisah karena pembangunan metropolitan DKI; (2) anak-anak orang Betawi mulai berpendidikan dan mulai menggantikan bahasanya dengan bahasa Indonesia (Janguage shift, sama seperti dahulu, waktu mereka melepaskan bahasa daerah asalnya, dan sama dengan perkembangan sekarang di kalangan pendatang baru di Jakarta); (3) imerferensi dari pihak bahasa Indonesia. Menurat dugaan saya faktor utama adalah /anguage shift, sedangkan mungkin interferensi dari pihak MJ kearah IJ jauh lebih besar daripada yang sebaliknya Tatangan bagi Para linguis ‘Ada dua tantangan yang dapat saya sebutkan di sini. (a) Jakarta seolah-olah merupakan laboratorium bahasa. Perkembangan bahasa Indonesia beralaskan dua faktor: pembinaan bahasa baku, dan konvergensi antara berbagai tradisi bahasa lisan tak resmi, Sangat diperlukan dokumentasi dan analisis bahasa lisan yang dipakai di Jakarta oleh jutaan orang yang berbahasa Indonesia secara monolingual. (b) Metode multiple correspondence analysis dan metode-metode yang sejenis telah membuka pintu untuk melakukan penelitian variasi bahasa berdasarkan korpus-korpus data yang besar. Dalam penerapan metode itu diperlukan kerja sama interdisipliner. Lebih dari dua puluh tahun lalu William Labov sudah mengeluh bahwa di Kalangan para linguis perhatian terhadap metode-metode analisis data yang modern masih sangat kurang. Bagaimana keadaan itu sekarang? 75 DAFTAR RUJUKAN PUSTAKA Abdul Chaér 1976 Kamus dialek Melayu Jakarta-bahasa Indonesia. Jakarta: Nusa Indah. Grijns, C.D. 1981 "Jakartan speech and Takdir Alisjahbana's plea for the simple Indonesian word- form”. Di dalam: N. Phillips dan Khaidir Anwar (ed.), Papers on Indonesian languages and literatures, 1-34. London: The Indonesian Etymological Project/Paris: Association Archipel. [Cahier 4’ Archipel 13] 1983 "Language-use in three neighbourhoods of Tanah Abang: the speaker's view". Di dalam: James T. Collins (ed.), Studies in Malay dialects, Part 1, 37-51. [NUSA 16] 1991 Jakarta Malay: A multidimensional approach to spatial variation (dua jilid). Leiden. (Ph.D. thesis] Ikranagara, Kay 1975 “Lexical particles in Betawi", International Journal of the Sociology of Language 5, 93-108. 1980 Melayu Betawi grammar. Jakarta: UIniversitas Atma Jaya. [NUSA 9} 1988 Tata bahasa Melayu Betawi. Jakarta: Balai Pustaka. (Seri ILDEP} Kahler, Hans 1966 Worterverzeichnis des Omong Djakarta. Berlin: Dietrich Reimer. Muhadjir 1964 “Dialek Djakarta", Madjalah Iimu-ilmu Sastra Indonesia 2-1, 25-52. 1981 Morphology of Jakarta dialect, affixation and reduplication. Jakarta: Badan Penyelenggara Seri NUSA, Universitas Atma Jaya. [NUSA 11] 1984 Morfologi dialek Jakarta; afiksasi dan reduplikasi. Jakarta: Djambatan. [Seri ILDEP] Nababan, P.W.J. 1985 “Bilingualism in Indonesia: Ethnic language maintenance and the spread of the national language’ , Southeast Asian Journal of Social Science 13-1, 1-18. Smith, J.N. 1926 Her didalect van Tjirebon. Batavia: Albrecht/'s-Gravenhage: Nijhoff. (Koninklijk Bataviaash Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, Verhandelingen (=VBG) 66-4.) Stokhof, W.A.L. 1986 "A note on some deictic elements in Indonesian*. Di dalam: C.M.S. Hellwig dan S.0. Robson (ed.), A man of Indonesian letters; Essays in honour of Professor A. Teeuw, 324-33. Dordrecht/Cinnaminson: Foris Publications. [KITLV, Verhandelingen 121.) Vorderman, A.G 1891 "Bijdrage tot de Kennis van het Billiton-Maleisch" , Tijdschrift voor Indische Taal, land- en Volkenkunde (=TBG) 34-4, 373-400. [Added: "Errata" 34-6, 624.] Wallace, Stephen 1976 Linguistics and social dimensions of phonological variation in Jakarta Malay. [Unpublished Ph.D. Thesis, Cornell University.] 76 (4a anaino) tarsooe zor) tet +t e198) onsen i. oF

Anda mungkin juga menyukai