Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

Sistem saraf terbagi menjadi dua, yaitu sistem saraf pusat dan sistem saraf tepi.
Sistem saraf pusat dibagi menjadi otak dan medula spinalis. Sedangkan sistem saraf tepi
dibagi menjadi saraf somatik dan saraf otonom.1 bagian sistem saraf yang mengatur fungsi
viseral tubuh disebut sistem saraf otonom. Sostem ini membantu mengatur tekanan arteri,
motilitas dan sekresi gastrointestinal pengosongan kandung kemih, berkeringat suhu tubuh
dan banyak aktivitas lainnya. Sistem saraf otonom juga berperan pada sistem penglihatan
normal seperti cabang parasimpatis berperan pada fungsi lakrimasi, dan ukuran pupil
dikontrol oleh keseimbangan antara persarafan simpatis untuk otot dilator dan parasimpatis
untuk otot sfingter iris.2

Sistem saraf otonom terutama diaktifkan oleh pusat pusat yang terletak di medula
spinalis, batang otak dan hipotalamus. Juga, bagian korteks serebri khususny korteks limbik,
dapat menghantarkan impuls ke pusat pusat yang lebih rendah sehingga demikian
mempengarui pengaturan otonomik. Sistem saraf otonom terdiri dari dua subsistem yaitu
sistem saraf simpatis dan sistem saraf parasipatis yang kerjanya saling berlawanan.3,5,6

Sebenarnya tidak ada penyamarataan yang dapat dipakai untuk menjelaskan apakah
rangsangan simpatis atau parasimpatis dapat menyebabkan timbulnya eksitasi atau inhibisi
pada suatu organ tertentu. Oleh karena itu, untuk dapat mengerti fungsi simpatis dan
parasimpatis, kita harus mempelajari seluruh fungsi kedua sistem saraf ini pada masing
masing organ.4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Sistem Saraf Otonom

Sistem saraf otonom adalah bagian dari sistem saraf yang bertanggung jawab
terhadap homeostasis. Kecuali pada otot rangka, yang mendapat persarafan dari
sistem saraf somatomotorik, semua organ yang lain dipersarafi oleh sistem saraf
otonom. Ujung ujung saraf berlokasi di otot polos (contohnya : pembuluh darah,
dinding usus, kandung kemih), otot janung dan kelenjar (contohnya : kelenjar
keringat, kelenjar ludah). Sistem saraf memiliki dua divisi utama, sistem saraf
simpatis dan sistem saraf parasimpatis.1

2. Fisiologi Sistem Saraf Otonom

Serat serat saraf simpatis maupun parasimpatis mensekresikan salah satu dari
kedua bahan transmitter sinaps ini, asetilkolin atau norepinefrin.1,3,4,5. Serabut postganglion
sistem saraf simpatis mengekskresikan norepinefrin sebagai neurotransmitter. Neruon
neuron yang mengeluarkan norepinefrin ini dikenal dengan serabut adrenergik.

Serabut postganglion sistem saraf parasimpatis mensekresikan asetilkolin


sebagai neurotransmitter dan dikenal dengan serabut kolinergik. Sebagai tambahan
serabut postganglion saraf simpatis kelenjar keringat dan beberapa pembuluh darah
juga melepaskan asetilkolin sebsgi neurotransmitter. Semua saraf preganglion
simpatis dan parasimpatis melepaskan asetilkolin sebagai neurotransmitter
karenanya dikenal sebagai serabut kolinergik. Sedangkan asetilkolin yang dilepaskan
dari serabut preganglion mengaktivasi baik postganglion simpatis maupun
parasimpatis.
Gambar 2. Fisiologi Saraf Otonom

2.1. Anatomi Sistem Saraf Parasimpatis


Saraf dari sistem saraf parasimpatis meninggalkan sistem saraf pusat melalui
saraf saraf kranial III, IX, dan X serta saraf sacral spinal kedua dan ketiga;
3,6,9,10,11
kadangkal saraf sacral pertama dan keempat. . Kira kira 75% dari seluruh
serabut saraf parasimpatis didominasi oleh nervus vagus (saraf kranial X) yang
melalui daerah thoracal dan abdominal, seperti diketahui nervus vagus mempersarafi
jantung, paru paru, esophagus, lambung, usus halus, hati, kandung kemih, pankreas,
dan bagian atas uterus. Serabut saraf parasimpatis nervus III menuju mata, sedangkan
kelenjar air mata,hidung, dan glandula submaksilla menerima innervasi dari sraf
kranial VII, dan glandula parotis menerima innervasi dari saraf kranial IX.
Sistem saraf parasimpatis daerah sakral terdiri dari saraf sakral II dan III serta
kadang kadang saraf sakral I dan IV. Serabut serabut saraf ini mempersarafi
bagian distal kolon, rectum, kandung kemih dan bagian bawah uterus, juga
mempersarafi genitalia eksterna yang dapat menimbulkan respon seksual.8
Berbeda dengan sistem saraf simpatis, serbut preganglion parasimpatis menuju
ganglia atau organ yang dipersarafi secara langsung tanpa hambatan. Serabut
postganglion saraf parasimpatis pendek karena langsung berada di ganglia yang
sesuai, ini berbeda dengan sistem saraf simpatis, dimana neuron postganglion relatif
panjang. Ini menggambarkan ganglia dari rangkaian paravertebra simpatis yang
berada jauh dengan organ yang dipersarafinya.3

Gambar 1. Anatomi Sistem Parasimpatis

2.2. Transimisi Sistem Saraf Parasimpatis

Mekanisme sekresi dan pemindahan transmitter pada ujung


postganglionik.Beberapa ujung saraf otonom postganglionik terutama saraf parasimpatis
memang mirip dengan taut neuromuskular skeletal, namun ukurannya jauh lebih kecil.
Beberapa serat saraf parasimpatis dan hampir semua serat saraf simpatis hanya
bersinggungan dengan sel-sel efektor dari organ yang dipersarafinya, pada beberapa contoh,
serat-serat ini berakhir pada jaringan ikat yang letaknya berdekatan dengan sel-sel yang
dirangsangnya. Ditempat filamen ini berjalan atau mendekati sel efektor, biasanya terdapat
suatu bulatan yang membesar yang disebut varikositas ; didalam varikositas ditemukan
vesikel transmitter asetilkolin atau norepinefrin. Didalam varikositas ini juga terdapat banyak
sekali mitokondria untuk mensuplai adenosin triphosphat yang dibutuhkan untuk memberi
energi pada sintesis asetilkolin atau norepinefrin3,4.

Bila ada penjalaran potensial aksi disepanjang serat terminal, maka proses
depolarisasi meningkatkan permeabilitas membran serat saraf terhadap ion kalsium, sehingga
mempermudah ion ini untuk berdifusi keujung saraf atau varikositas saraf. Disini ion kalsium
berinteraksi dengan vesikel sekretori yang letaknya berdekatan dengan membran sehingga
vesikel ini bersatu dengan membran dan menggosongkan isinya keluar. Jadi, bahan
transmitter akhirnya disekresikan.3,4

Sintesis asetilkolin penghancurannya setelah disekresikan, dan lama kerjanya.

Asetilkolin disintesis di ujung terminal serat saraf kolinergik. Sebagian besar sintesis
ini terjadi di aksoplasma di luar vesikel. Selanjutnya, asetilkolin diangkut ke bagian dalam
vesikel, tempat bahan tersebut disimpan dalam bentuk kepekatan tinggi sebelum akhirnya
dilepaskan. Reaksi kimia dasar dari sintesis ini adalah sebagai berikut :

Asetilkolon transferase

Asetil-KoA + Kolin Asetilkolin

Asetilkolin begitu disekresikan oleh ujung saraf kolinergik, maka akan menetap dalam
jaringan selama beberapa detik, kemudian sebagian besar dipecah menjadi ion asetat dan
kolin oleh enzim asetilkolin esterase yang berikatan dengan kolagen dan glikosaminoglikans
dalam jaringan ikat setempat. Jadi, rupa-rupanya mekanisme ini mirip dengan mekanisme
penghancuran asetilkolin yang terjadi pada taut neuromuskular direrat saraf skeletal.
Sebaliknya, kolin yang terbentuk diangkut kembali ke ujung saraf terminal, tempat bahan ini
dipakai kembali untuk sintesis asetilkolin yang baru.3,9

Sintesis norepinefrin, pemindahannya dan lama kerjanya3,9

Sintesis norepinefrin dimulai di aksoplasma ujung saraf terminal dari serat saraf
adrenergik, namun disempurnakan di dalam vesikel. Tahap tahap dasarnya adalah sebagai
berikut :
Hidroksilasi

1. Tirosin DOPA

Dekarboksilasi

2. DOPA Dopamin

3. Pengangkutan dopamin menuju vesikel

Hidroksilasi

4. Dopamin Norepinefrin

Pada medula adrenal, reaksi ini dilanjutkan satu tahap lagi untuk mengalihkan sekitar 80
persen norepinefrin menjadi epinefrin, yakni sebagai berikut :

Metilasi

5. Norepinefrin Epinefrin

Setelah norepinefrin disekresikan oleh ujung ujung saraf terminal, maka kemudian
dipindahkan dari tempat sekresinya melalui tiga cara berikut :

1. Dengan proses tranport aktif, diambil lagi ke dalam ujung saraf adrenergik sendiri,
yakni sebanyak 50 80 % dari norepinefrin yang disekresikan.
2. Berdifusi keluar dari ujung saraf menuju cairan tubuh di sekelilingnya dan
kemudian masuk ke dalam darah, yakni seluruh sisa norepinefrin yang ada.
3. Dalam jumlah yang sedikit, dihancurkan oleh enzim (salah satu enzim tersebut
adalah monoamin oksidase, yang dapat dijumpai dalam ujung saraf itu sendiri, dan
enzim katekol-O-metil transferase yang dapat berdifusi ke seluruh jaringan).3,9,10

Biasanya norepinefrin disekresikan secara langsung ke dalam jaringan yang tetap aktif
hanya selama beberapa detik, hal ini memperlihatkan bahwa proses pengambilan kembali
norepinefrin dan difusinya keluar dari jaringan berlangsung dengan cepat. Namun,
norepinefrin dan epinefrin yang disekresikan ke dalam darah oleh medula adrenal masih tetap
aktif sampai didifusikan ke suatu jaringan, tempat keduanya dihancurkan oleh katekol-O-
metil transferase, peristiwa ini terutama terjadi di dalam hati. Oleh karena itu, bila di
sekresikan ke dalam darah baik norepinefrin dan epinefrin akan tetap sangat aktif selama 10
sampai 30 detik dan kemudian aktivitasnya menurun, menjadi sangat lemah dalam waktu satu
sampai beberapa menit.3,9,10

Sebelum transmitter asetilkolin atau norepinefrin disekresikan pada ujung saraf otonom untuk
dapat merangsang organ efektor, transmiter ini mula-mula harus berikatan dulu dengan
reseptor yang sangat spesifik pada sel-sel efektor. Reseptor ini terdapat di bagian dalam
membran sel, terikat sebagai kelompok prostetik pada molekul protein yang menembus
membran sel. Ketika transmitter berikatan dengan reseptor, hal ini menyebabkan perubahan
konformasional ( bentuk tertentu dari keseluruhan) pada struktur molekul protein. Kemudian
molekul protein yang berubah ini merangsang atau menghambat sel, paling sering dengan :
(1) menyebabkan perubahan permeabilitas membran sel terhadap satu atau lebih ion, atau (2)
mengaktifkan atau justru mematikan aktivitas enzim yang melekat pada ujung protein
reseptor lain dimana reseptor ini menonjol ke bagian dalam sel.3

Perangsangan atau penghambatan sel efektor oleh perubahan permeabilitas


membrannya.3,9

Karena protein reseptor merupakan bagian integral dari membran sel, maka
perubahan konformasional pada struktur protein reseptor dari banyak sel organ akan
membuka atau menutup saluran ion melalui sela-sela molekul itu sendiri, dengan demikian
merubah permeabilitas membran sel terhadap berbagai ion. Sebagai contoh, saluran ion
natrium dan atau kalsium seringkali menjadi terbuka dan memungkinkan influks ion ion
tersebut dengan cepat untuk masuk ke dalam sel yang biasanya akan mendepolarisasikan
membran sel dan merangsang sel. Pada saat lain, saluran kalium terbuka sehingga
memungkinkan ion kalium berdifusi keluar dari sel dan biasanya hal ini akan menghambat
sel akibat hilangnya ion kalium elektro positif yang membentuk hipernegatifisme di dalam
sel. Juga pada beberapa sel perubahan lingkungan ion intraseluler akan menyebabkan kerja
sel internal seperti efek langsung ion kalsium dalam menimbulkan kontraksi otot polos.3,9

Kerja reseptor melalui perubahan enzim intraseluler.3,9


Cara lain agar reseptor dapat berfungsi adalah dengan mengaktifkan atau mematikan
aktivitas suatu enzim (atau zat kimia intraseluler lainnya) di dalam sel. Enzim seringkali
terlekat pada protein reseptor dimana reseptor menonjol ke bagian dalam sel. Sebagai contoh,
pengikatan epinefrin dengan reseptornya pada bagian luar sel akan meningkatkan aktivitas
enzim adenilatsiklase pada bagian dalam sel, dan hal ini kemudian menyebabkan
pembentukan adenosin monofosfat siklik (cAMP). cAMP kemudian dapat mengawali salah
satu kerja dari sekian banyak aktivitas intraseluler yang berbeda-beda, efek pastinya
bergantung pada mesin kimiawi dari sel efektor. Oleh karena itu, mudahlah untuk mengerti
bagaimana substansi transmiter otonomik dapat menyebabkan inhibisi pada beberapa organ
atau eksitasi pada organ lain. Hal ini biasanya ditentukan oleh sifat protein reseptor pada
membran sel dan efek reseptor yang terikat pada keadaan konformasionalnya. Pada setiap
organ, efek yang dihasilkannya secara keseluruhan cenderung berbeda dengan yang terdapat
pada organ lain.3,9

2.3. Interaksi Neurotransmitter dengan Reseptor

Norepineprin dan asetilkolin berinteraksi dengan reseptor ( protein makromolekul ) di


membran lipid sel. Interaksi reseptor neurotransmitter ini akan menyebabkan aktivasi atau
inhibisi enzim-enzim efektor seperti adenilatsiklase atau dapat merubah aliran ion-ion sodium
dan potassium di membran sel melalui protein ion chanel. Perubahan-perubahan ini akan
merubah stimulus eksternal menjadi signal intraseluler.3,9

2.4.
Reseptor Reseptor Norepinefrin

Efek farmakologi katekolamin merupakan konsep awal dari reseptor-reseptor alfa dan
beta adrenergik.9 Penelitian dengan memakai obat-obatan yang meniru kerja norepinefrin
pada organ efektor simpatis (disebut sebagai simpatomimetik ) telah memperlihatkan bahwa
terdapat dua jenis reseptor adrenergik, reseptor-reseptor ini dibagi menjadi alfa 1 dan alfa 2.
Selanjutnya reseptor beta dibagi menjadi beta 1 dan beta 2. 3,9 Norepinefrin dan epinefrin,
keduanya disekresikan kedalam darah oleh medula adrenal, mempunyai pengaruh
perangsangan yang berbeda pada reseptor alfa dan beta. Norepinefrin terutama merangsang
reseptor alfa namun kurang merangsang reseptor beta. Sebaliknya, epinefrin merangsang
kedua reseptor ini sama kuatnya. Oleh karena itu, pengaruh epinefrin dan norepinefrin pada
berbagai organ efektor ditentukan oleh jenis reseptor yang terdapatdalam organ tersebut. Bila
seluruh reseptor adalah reseptor beta, maka epinefrin akan menjadi organ perangsang yang
lebih efektif.3

Reseptor dopamin juga dibagi menjadi dopamin 1 dan dopamin 2. Presinap alfa dan
dopamin 2 merupakan negative feedback karena bila diaktivasi akan menyebabkan pelepasan
neurotransmitter. Reseptor-reseptor alfa 2 juga terdapat di platelet yang berfungsi sebagai
mediator pada agregasi platelet yang dengan cara mempengaruhi konsentrasi enzim platelet
adenilatsiklase. Pada sistem saraf pusat, stimulasi postsinap alfa 2 dengan menggunakan
obat seperti klonidin atau dexmetomidine akan meningkatkan konduksi dan hiperpolarisasi
membran sehingga kebutuhan zat anestesi akan menurun. Sistem signal transmembran terdiri
dari 3 bagian, yaitu : (a) sisi pengenalan, (b) sisi efektor atau katalitik, dan (c) tranducing
atau coupling protein.9

Aktivasi dari reseptor-reseptor beta 1, beta 2, dan dopamin mengakibatkan


pembentukan cycle adenosine monophosphate (cAMP) sebagai messenger kedua.
Peningkatan konsentrasi cAMP intraseluler akan memicu terjadinya proses-proses di
intraseluler (cascading protein phosporilation reaction dan stimulasi pompa sodium
potassium) yang mempunyai efek metabolik dan farmakologi seperti beta adrenergik.
Berbeda dengan reseptor beta, kalau pada reseptor alfa 1 diaktivasi akan menyebabkan
fasilitasi ion kalsium bergerak kedalam sel dan menstimulasi hidrolisis dan
poliphospoinositides sedangkan aktivasi reseptor alfa 2 dan dopamin 2 menghambat adenilat
cyclase. Stimulasi atau inhibisi dari protein G dibutuhkan sebagai perantara untuk
menginhibisi adenylate cyclase atau menstimulasi hidrolisis phospoinositide.9

2.5.
Reseptor Asetilkolin

Reseptor-reseptor kolinergik dibagi menjadi nikotinik dan muskarinik. Secara fisiologi


masing-masing reseptor dibagi menjadi beberapa subtipe. Reseptor nikotinik dibagi menjadi
2 yaitu reseptor N1 dan N2. N1 terdapat di ganglia otonom sedangkan N2 terdapat di
neuromuscular junction. Hexamethonium memblok reseptor N1 sedangkan blokade ganglia
otonom dalam beberapa tingkatan walaupun efek pada reseptor N2 tetap predominan.9

Reseptor muskarinik dibagi menjadi M1 dan M2. Reseptor M1 terdapat di ganglia


otonom dan sistem saraf pusat sedangkan reseptor M2 ada di jantung dan kelenjar ludah.
Pirenzepin adalah salah satu contoh obat yang merupakan antagonis selektif pada reseptor
M1 sedangkan atropine merupakan antagonis selektif pada reseptor M1 dan M2. Perbedaan
antara reseptor nikotinik dan muskarinik adalah pada jarak reseptor antara atom-atom dalam
berinteraksi dengan asetilkolin ataupun obat-obat.9

Seperti norepinefrin, reseptor-reseptor asetilkolin akan bergabung dengan protein G dalam


kerjanya. Impuls yang datang di akhir saraf kolinergik akan meningkatkan permeabilitas
membran saraf dan menyebabkan influk ion kalsium sehingga terjadi sekresi asetilkolin
kedalam celah sinaptik. Asetilkolin menyebabkan perubahan-perubahan pada permeabilitas
chanel ion protein sehingga dapat melewati membrane sel . Sebagai contoh reseptor
magnesium menurunkan konduksi ion potassium dan mengakibatkan eksitasi sebaliknya
reseptor M2 meningkatkan konduksi ion potassium mengakibatkan hiperpolarisasi membran
sel yang berefek inhibisi.9

Kerja eksitasi dan inhibisi akibat perangsangan parasimpatis

Dalam tabel 1 dicantumkan efek-efek yang terjadi pada organ viseral tubuh akibat
terangsangnya saraf parasimpatis.. Demikian pula, perangsangan parasimpatis akan
mengeksitasi beberapa organ namun menghambat organ lainnya. Kebanyakan organ diatur
oleh salah satu dari kedua sistem tersebut.

Organ Efek Perangsangan


Parasimpatis

Mata

Pupil konstriksi

Otot siliaris konstriksi

Kelenjar

Nasal, Lakrimalis, Parotis, rangsangan banyak sekali


Submandibula, Lambung, Pankreatik sekresi

Kelenjar keringat berkeringat pada telapak


tangan atau tangan

Kelenjar apokrin tidak ada

Pembuluh darah seringkali memberi sedikit


efek/ tidak sama sekali

Jantung

Otot peningkatan kecepatan

penurunan kekuatan
kontraksi (khususnya
atrium)

Pembuluh koroner dilatasi

Paru

Bronkus konstriksi

Pembuluh darah dilatasi

Usus

Lumen penurunan peristaltis dan


tonus

Sfingter
relaksasi

Hati sintesa glikogen ringan

Kandung empedu kontraksi

Saluran empedu

Ginjal tidak ada

Kandung kemih

Detrusor kontraksi

Trigonum relaksasi

Penis ereksi

Tabel 1. EFEK OTONOMIK PADA BERBAGAI ORGAN TUBUH

2.6.Efek Perangsangan Parasimpatis Pada Organ Spesifik


1. Mata
Perangsangan parasimpatis mengkontraksikan otot otot sirkular iris
sehingga terjadi konstriksi pupil. Bila ada cahaya yang berlebihan
masuk ke dalam mata, serat serat parasimpatis yang mengatur pupil
akan terangsang secara refleks, dimana refleks ini akan mengurangi
pembukaan pupil dan mengurangi jumlah cahaya yang membentur
retina. Sebaliknya selama periode eksitasi, saraf simpatis akan
terangsang dan karena itu, pada saat yang bersamaan akan menambah
pembukaan pupil. Pemusatan lensa hampir seluruhnya diatur oleh
sistem saraf parasimpatis. Normalnya, lensa dipertahankan tetap dalam
keadaan rata oleh tegangan instrinsik elastik dari ligamen radialnya.
Perangsangan parasimpatis membuat otot siliaris berkontraksi,
sehingga melepakan tegangan tadi dan menyebabkan lensa menjadi
lebih konveks. Keadaan ini membuat mata memusatkan objeknya
dekat tangan.4,8

2. Kelenjar kelenjar tubuh


Kelenjar nasalis, lakrimalis, saliva dan sebagian besar kelenjar
gastrointestinal terangsang dengan kuat oleh sistem saraf parasimpatis
sehingga mengeluarkan banyak sekresi cairan. Kelenjar kelenjar
saluran pencernaan yang paling kuat dirangsang oleh parasimpatis
adalah yang terletak di saluran bagian atas, terutama kelenjar di daerah
mulut dan lmbung. Kelenjar usus halus dan usus besar terutama diatur
oleh faktor faktor lokal yang terdapat di saluran usus sendiri dan
oleh sistem saraf enterik usus serta sedikit oleh saraf otonom.
Selanjutnya kelenjar keringat terutama dirangsang oleh pusat pusat
di hipotalamus yang biasanya dianggap sebagai pusat parasimpatis.
Oleh karena itu, berkeringat dapat dianggap sebagai fungsi
parasimpatis, walaupun hal ini dikendalikan oleh serat serat yang
secara anatomis tersebar melalui saraf simpatis.6
3. Sistem gastrointestinal
Sistem gastrointestinal mempunyai susunan saraf intrinsik sendiri
yang dikenal sebagai pleksus intramural atau sistem saraf enterik usus.
Pada umumnya, perangsangan parasimpatis meningkatkan seluruh
tingkat aktivitas saluran gastrointestinal, yakni dengan memicu
terjadinya gerakan peristaltik dan relaksasi sfingter, jadi akan
mempermudah pengeluaran isi usus melalui saluran pencernaan
dengan cepat. Pengaruh dorongan ini berkaitan dengn penambahan
kecepatan sekresi yang terjadi secara beramaan pada sebagian bear
kelenjar gastrointestinal.
4. Jantung
Perangsangan parasimpatis akan mengakibatkan penurunan
kemampuan pemompaan jantung dan menurunkan aktivitas jantung.
5. Pembuluh darah sistemik
Perangsangan parasimpatis hampir sama sekali tidak berpengaruh
pada pembuluh darah kecuali pada daerah daerah tertentu malah
memperlebar, seperti pada timbulnya daerah kemerahan di wajah.

2.7. Efek Perangsangan Parasimpatis Terhadap Tekanan Arteri :

Perangsangan parasimpatis menurunkan daya pompa jantung tetapi sama sekali tidak
mempengaruhi tahanan perifer. Efek yang umum adalah terjadi sedikit penurunan tekanan.
Ternyata perangsangan parasimpatis vagal yang hampir selalu dapat menghentikan atau
kadang kadang menghentikn seluruh jantung dn menyebbkan hilangnya seluruh atau
sebagian besar tekanan.

2.8. Efek Perangsangan Parasimpatis Terhadap Fungsi Tubuh Lainnya :

Pada umumnya sebagian besar struktur endotermal, seperti hati, kandung empedu,
ureter, kandung kemih, dn bronkus dihambat oleh perangsangan simpatis namun dirangsang
oleh perangsangan parasimpatis.

2.9. Pengaturan Sistem Saraf Otonom Pada Jantung

Jantung merupakan organ muskular yang berongga, berukuran sebesar kepalan tinju
dan berlokasi di rongga dada, pada garis tengah tubuh dengan sternum bagian depn dan
vertebra thoracalis pada bagian belakang. Walaupun secara anatomi jantung manusia ada
satu, namun sisi kanan dan sisi kiri jantung berfungsi sebagai dua pompa yang terpisah.
Jantung terbagi menjadi dua bagian, kanan dan kiri dengan empat ruang di dalamnya . dua
ruangan di atas di sebut dengan atrium dan ruangan di bawah disebut dengan ventrikel.
Pembuluh darah yang membawa darah dari jaringan kembali ke jantung disebut dengan vena
dan yang membawa darah dari jantung ke jaringan disebut arteri.11

Jantung diinnervasi oleh dua divisi dari sistem saraf otonom, yang dapat mengubah
kecepatan (dan juga kekuatan) kontraksi, walaupun rangsangan sarf tidak dibutuhkan untuk
memulai kontraksi. Saraf parasimpatis jantung, nervus vagus, mempersarafi atrium terutama
SA node dan AV node. Persarafan parasimpatis untuk ventrikel hanya sedikit. Saraf simpatis
jantung mempersarafi atrium termasuk SA node dan AV node dan juga secara dominan
mempersarafi ventrikel.

2.10. Susunan Saraf Otonom dan Irama Jantung

Sistem hantaran khusus mendapat pelayanan saraf otonom simpatis dan


parasimpatis. Simpul sinoatrial dipersarafi oleh saraf parasimpatis melalui saraf vagus kanan,
sedangkan saraf vagus kiri melayani simpul atrioventrikular. Kedua saraf parasimpatis
tersebut tidak memelihara otot otot ventrikel, kecuali hanya sedikit saja dan ini mungkin
dapat diabaikan. Sedangkan saraf simpatis memelihar semuanya, baik atrium, ventrikel,
simpul sinus dan simpul atrioventrikular. Kedua saraf otonom tersebut mengatur denyut
jantung miogenik sehingga mempengaruhi cardiac performance seperti otomatisitas,
konduktivitas, kontraktilitas, dan rhythmicity jantung. Simpul sinoatrial merupakan pusat
tertinggi pacu jantung, dan dari sini muncul inherent rhythm yang tidak pernah berhenti
berdenyut, yang berjalan spontan dan impulsnya dihantarkan melalui SCS ke seluruh bagian
jantung lainnya dan selanjutnya timbul irama jantung yang senada dengan irama simpul
sinoatrial.

Rangsangan saraf parasimpatis pada simpul sinus, cenderung, memperlambat kecepatan


pembentukan impuls pada pusat pacu jantung, hal ini terjadi karena ujung ujung saraf
parasimpatis mengeluarkan asetilkolin, yang pengaruhnya dapat menurunkan jumlah
produksi impuls di simpul sinus dan menurunkn kepekaanatrio ventricular junction
terhadap impuls atau rangsang yang datang dari simpul sinus, sehingga terjadi kelambatan
hantaran impuls ke otot ventrikel. Berkurangnya produksi impuls pada simpul sinus
disebabkan oleh adanya penekanan pada slope diastolic depolarization dan cenderung
meningkatkan stabilitas potensial membran istirahat, sehingga menjauhi firing levelnya.

Rangsangan yang sangat juat oleh parasimpatis akan menghentikan peruahan ritmik
aktivitas potensial aksi pada pacu jantung dan terjadilah blok hantaran impuls ke
atrioventricular junction. Bila keadaan ini terjadi, maka ventrikel tidak akan berkontraksi,
tetapi dengan adanya pacu jantung pada SCS di dalam ventrikel dan otot otot jantung itu
sendiri, maka terjadilah rangsangan pada ventrikel yang menyebabkan ventrikel dapat
berkontraksi di luar kontrol simpul sinus. Dan ini merupakan salah satu mekanisme
kompensasi untuk mempertahankan denyut jantung. Denyut ventrikel demikian disebut
sebagai : ekstrasistole ventrikel dan pada rekaman elektrokrdiogram tampak gelombang QRS
tanpa didahului oleh gelombang P.

2.11. Efek Rangsangan Parasimpatis Terhadap Jantung

Sistem saraf parasimpatis berpengaruh terhadap simpul SA untuk menurunkan denyut


jantung. Acethylcoline dilepaskan pada peningkatan aktivitas parasimpatis yang
meningkatkan permeabilitas simpul SA terhadap K+ dengan memperlambat penutupan saluran
K+. Hasilnya, tingkat dimana potensial aksi spontan mulai berkurang melalui efek dua kali
lipat :

1. Peningkatan permebilitas K+ menjadikan membran simpul SA hiperpolar karena lebih


banyak ion kalium positif yang keluar dibandingkan keadaan normal, membuat
keadaan di dalam menjadi lebih negatif. Karena potensial listrik dimulai bahkan jauh
dari ambang batas, diperlukan waktu lama untuk mencapai ambang batas.
2. Peningkatan permeabilitas K+ diinduksi oleh rangsang vagus dan menentang reduksi
otomatis dalam permeabilitas k+ yang bertanggung jawab untuk memulai depolarisasi
membran secara bertahap ke ambang batas. Efek yang berlawanan ini menurunkan
tingkat depolarisasi spontan, memperpanjang waktu yang dibutuhkan untuk melintas
ambang batas. Oleh karena itu, simpul SA mencapai ambang batas dan rangsangan
terus berkurang, menurunkn denyut jantung.

Pengaruh parasimpatis simpul AV menurunkan eksibilitas simpul, memperpanjang


transmisi impuls ke ventrikel bahkan lebih panjang dibandingkan perlambatan simpul AV
yang biasa. Efek ini disebabkan oleh meningkatnya permeabilitas K +, yang membuat
membran menjadi hiperpolar, sehingga menghambat permulaan eksitasi simpul AV.

2.12. Efek Sistem Saraf Otonom Terhadap Jantung dan Struktur yang
Mempengaruhi Jantung

Area yang dipengaruhi Efek dari rangsangan parasimpatis


Simpul SA Menurunkan tingkat depolarisasi ambang
batas, memperlambat denyut jantung
Simpul AV Menurunkan eksitabilitas, meningkatkan
perlambatan simpul AV
Jalur konduksi ventrikular Tidak ada efek
Otot atrium Menurunkan kontraktilitas, memperlemah
kontraksi
Otot ventrikel Tidak ada efek
Medulla adrenalis (kelenjar endokrin) Tidak ada efek
Vena Tidak ada efek

Stimulasi parasimpatis pada sel sel kontraktil atrium mempersingkat potensial aksi,
efek ini diyakini disebabkan oleh lambatnya arus masuk yang dibawa oleh Ca2+ yang
menyebabkan fase plateu berkurang sebagai hasilnya kontraksi atrium diperlemah. Sistem
parasimpatis mempunyai sedikit efek pada kontraksi ventrikel, karena sedikitnya inervasi
pada ventrikel.

2.13. Obat yang Bekerja Pada Saraf Parasimpatis

Obat obat yang termasuk kelompok sistem parasimpatis :

1) Asetilkolin (ach)
2) Fisostigmin (eseri, anticholium)
3) Neostigmin (prostigmin)
4) Piridostigmin (mestinon)
5) Distigminbromida (ubretid)

Farmakokinetik :

Ester kolin kurang diserap dan didistribusi ke dalam SSP dari saluran cerna
(kurang aktif per oral), namun kepekaannya untuk dihidrolisa oleh kolinestrase sangat
berbeda. Asetilkolin sangat cepat dihidrolisa sehingga untuk mencapai efek yang
memuaskan obat ini harus diberikan melalui infus secara IV dalam dosis besar. Efek
asetilkolin yang diberikan dalam bentuk bolus besar IV diperoleh selama 5 20 detik,
sedangkan suntikan IM dan SC hanya memberikan efek lokal. Metakolin lebih tahan 3
kali terhadap hidrolisa dan dapat memberikan efek sistemik walaupun diberikan secara
SC.

Farmakodinamik :

Aktifasi sistem saraf parasimpatis memodifikasi fungsi organ melalui 2


mekanisme utama. Pertama, asetilkolin yang dilepas dari saraf parasimpatis dapat
mengaktifkan reseptor muskarinik pada organ efektor untuk mengubah fungsinya secara
langsung. Kedua, asetilkolin yang dilepas dari saraf parasimpatik dapat berinteraksi dengan
reseptor muskarinik pada ujung saraf untuk menghambat pelepasan neurotransmitternya.
Melalui mekanisme ini, asetilkolin yang dilepas dan kemungkinan, mensirkulasi agonis
muskarinik secara tidak langsung mengubah fungsi organ dengan memodulasi efek
parasimpatis dan sistem saraf simpatis serta kemungkinan juga sistem nonkolinergik, dan
adrenergik.

Efek samping :

Dapat menimbulkan banyak keringat, ludah, nausea, muntah dan diare, yang
merupakan tanda naiknya tonus parasimpatikus.

Interaksi obat :

Pemakaian obat tidak dapat diberikan secara per oral karena obat trsebut
dihidrolisis oleh asam lambung, karena cara kerjanya terlalu singkat sehingga segera
dihancurkan oleh asetilkolinesterase atau outirilkolinesterase.

2.14. Golongan Obat Untuk Parasimpatis :

Obat parasimpatis dibagi kedalam 2 kelompok besar yaitu :

1) Kolinergik / Parasimpatikomimetika
Sekelompok zat yang dapat menimbulkan efek yang sama dengan stimulasi. Susunan
parasimpatis (SP), karena melepaskan asetilkolin (ach) di ujung ujung neuron,
dimana tugas utama SP adalah mengumpulkan energi dari makanan dan menghambat
penggunaannya, singkatnya asimilasi
Efek kolinergis yang terpenting :
Stimulasi pencernaan, dengan cara memperkuat peristaltik dan sekresi kelenjar
ludah dan getah lambung (Hcl), juga sekresi air mata.
Memperlambat sirkulasi, dengan cara mengurangi kegiatan jantung,
vasodilatasi dan penurunan tekanan darah.
Memperlambat pernapasan, dengan cara mengecilkan bronchi sedangkan
sekresi dahak di perbesar.
Kontraksi otot mata, dengan cara miosis (penyempitan pupil) dan menurunnya
tekanan intraokuler akibat lancarnya pengeluaran air mata.
Kontraksi kandung kemih dan ureter, dengan cara memperlancar pengeluaran
urin
Dilatasi pembuluh dan kontraksi otot rangka
Menekan SSP (sistem saraf pusat), setelah stimulasi permulaan
2) Antikolinergis

BAB III

KESIMPULAN

Sistem saraf otonom terdiri dari dua subsistem yaitu sistem saraf simpatis dan
sistem saraf parasimpatis yang kerjanya saling berlawanan. Anatomi dan fisiologi sistem
saraf otonom berguna memperkirakan efek farmakologi obat obatan baik pada sistem saraf
simpatis maupun parasimpatis.

Saraf dari sistem saraf parasimpatis meninggalkan sistem saraf pusat melalui
saraf saraf kranial III, VII, IX dan X serta sarf sacral spinal kedua dan ketiga; kadangkala
saraf sacral pertama dan keempat. Kira kira 75% dari seluruh serabut saraf parasimpatis
didominasi oleh nervus vagus (saraf kranial X).

Berbeda dengan sistem saraf simpatis, serabut preganglion parasimpatis menuju


ganglia atau organ yang dipersarafi secara langsung tanpa hambatan. Serabut postganglion
saraf parasimpatis pendek karena secara langsung berada di ganglia yang sesuai.
Serat saraf parasimptis mensekresikan salah satu dari kedua bahan transmitter
sinaps yaitu asetilkolin atau norepinefrin. Nuron neuron yang mengeluarkan norepinefrin
ini dikenal dengan serabut adrenergik. Serabut postganglion sistem saraf parasimpatis
mensekresikan asetilkolin sebagai neurotransmitter dan di kenal sebagai serabut kolinergik.
Sedangkan asetilkolin yang dilepaskan dari serabut preganglion mengaktivasi baik
postanglion simpatis maupun parasimpatis.

Sistem saraf parasimpatis selalu aktif dan aktivitas basalnya diatur oleh tonus
parasimpatis. Nilai tonus ini yang menyebabkan perubahan perubahan aktivitas pada organ
yang dipersarafinya.

Refleks otonom adalah refleks yang mengatur organ visceral meliputi refleks
otonom kardiovaskular, refleks otonom gastrointestinal, refleks seksual, refleks otonom
lainnya meliputi refleks yang membantu pengaturan sekresi kelenjar pankreas, pengosongan
kandung empedu, , ekskresi urin pada ginjal, berkeringat, konsentrasi glukosa darah dan
sebagian besar fungsi visceral lainnya.

Sistem parasimpatis biasanya menyebabkan respon setempat yang spesifik,


berbeda dengan respon umum dari sistem simpatis terhadap pelepasan impuls secara masal,
maka fungsi pengaturan sistem parasimpatis sepertinya jauh lebih spesifik
DAFTAR PUSTAKA

Autonomic nervous system, available on URL : http://www.merck.


com/mmpe/sec16/ch208/ch208a.html
Autonomic Nervous System. 2006 Available on URL:http://www.frca
co.uk/article.aspx?articleid=100506
Collins VJ. Physiologic and Pharmacologic Bases of Anesthesia, Autonomic Nervous
System.1996 .Vol :.281-301

Definition Autonomic Nervous System available on URL: http://www.medterms.


com/script/main/art.asp?articlekey=2403

Ellis H, Feldman S, Griffiths WH.Anatomy for Anaesthetists.Eight edition.

Guyton, Hall. 2010. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran edisi 9. EGC:Jakarta

Muhiman,muhardi.2009. Anestesiologi. Fakultas Kedokteran Universitas


Indonesia:Jakarta
Martini FH. Fundamental of Anatomy & Pysiology. 7th edition. The Autonomic Nervous
System and Higher-Order Functions.2006, vol :517-548

Stoelting RK. Pharmacology and Physiology in Anesthetic Practice. Autonomic Nervous


System. 2005.vol : 643-653.

Anda mungkin juga menyukai