Diskusi Kasus Sesak Kelompok H
Diskusi Kasus Sesak Kelompok H
Sesak
Disusun oleh:
Kelompok H
F. Nikodemus Hosea 1006756774
Dina Faizah 1006658234
Caroline Oktarina 1006684182
Tasha 1006658442
Clarissa Emiko Talitaputri 1006658184
Juniarto Jaya Pangestu 1006658316
Kami yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa makalah Diskusi
Kasus Sesak ini merupakan hasil karya orisinal dan semua sumber yang dirujuk
telah dinyatakan dengan benar, sesuai dengan peraturan yang berlaku di
Universitas Indonesia.
BAB 1
PENDAHULUAN
Sesak dapat didefinisikan sebagai sensasi pernapasan abnormal yang secara
subjektif terasa tidak nyaman.1 Gejala ini merupakan salah satu alasan yang paling
banyak menyebabkan pasien berkunjung ke unit gawat darurat. Di samping itu,
hampir setengah pasien yang dirujuk ke unit akut layanan tersier memiliki gejala
sesak.2 Sayangnya, data mengenai sesak di Indonesia masih sangat minim dan
terbatas.
Tidak hanya jumlah kasusnya yang banyak, sesak juga merupakan gejala yang
sangat penting karena umumnya berhubungan dengan ketersediaan dan hantaran
oksigen di dalam tubuh. Keluhan sesak merupakan pertanda berbagai
penyakit/kondisi yang dapat mengancam nyawa, seperti serangan jantung, gagal
jantung, pneumothoraks, emboli paru, eksaserbasi akut asma atau PPOK, gagal
ginjal, dan beragam penyakit lainnya.3
1. Identitas Pasien
Inisial Tn. ABG
Tanggal Lahir (usia) 10 Februari 1970 (44 tahun)
Nomor RM 3985521
Pekerjaan Wiraswasta
Alamat Cakung, Jakarta Timur
Status Pernikahan Sudah menikah
Suku Batak
Agama Islam
Kewarganegaraan WNI
Jenis Pembayaran BPJS Kesehatan
2. Anamnesis
(dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 29 Oktober 2014)
Keluhan Utama
Pasien datang ke IGD RSCM pada tanggal 7 Oktober 2014 karena
sesak napas yang memberat sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit.
Riwayat Sosial
Pasien memiliki riwayat merokok sejak usia 20 tahun dan kemudian
berhenti sejak 1 tahun sebelum masuk rumah sakit. Pasien biasanya
merokok 3 bungkus per harinya. Riwayat konsumsi alkohol
disangkal. Riwayat pengunaan obat-obatan terlarang disangkal.
Pasien sehari-harinya menghabiskan waktunya dengan berjualan di
warung yang merupakan rumahnya sendiri. Rumah pasien berada di
pinggir jalan.
Pasien tinggal di rumah milik sendiri, bersama dengan istri dan 2
orang anak, masing-masing berusia 18 tahun dan 16 tahun. Pasien
mengaku rumahnya memiliki ventilasi dan pencahayaan yang cukup.
Penghasilan yang diperoleh pasien dari dagangannya diakui cukup
untuk membiayai kebutuhan hidup keluarganya.
Untuk pengobatan dan perawatan, pasien menggunakan jaminan
BPJS Kesehatan.
3. Pemeriksaan Fisik
(Pemeriksaan Fisik dilakukan pada 29 Oktober 2014)
Tanda Vital
Keadaan Umum Tampak sakit sedang
Kesadaran Compos mentis
Tekanan Darah 120/78 mmHg
Frekuensi nadi 100/menit, isi cukup, reguler
Frekuensi napas 22/menit, abdominotorakal, reguler
Suhu 35,60C
Saturasi O2 98%
Status Generalis
Kepala Normocephal
Mata Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Leher Trakea di tengah, tidak teraba pembesaran KGB, tidak
teraba pembesaran kel. tiroid, JVP=5+1 cmH2O, tidak
terdengar bruit karotis dan bruit tiroid
Jantung I : iktus kordis tidak terlihat
P : iktus kordis tidak teraba
Pr : batas jantung kanan di linea parasternal dekstra,
batas jantung kiri di linea midclavicula sinistra,
pinggang jantung di intercostal 4 linea
midclavicularis sinistra
A : bunyi jantung 1 dan 2 terdengar normal, tidak
terdengar bising jantung, tidak terdengar bunyi
jantung tambahan
Paru I : kedua hemithorax simetris statis dan dinamis,
tampak barrel chest, tidak tampak adanya massa,
sela iga tampak melebar
P : chest expansion baik, palpasi taktil fremitus sama di
kedua lapang paru, diameter anteroposterior:lateral
7:8, tidak teraba nyeri tekan di seluruh lapang paru
Pr : sonor di kedua hemithorax
A : bunyi napas vesikuler di kedua lapang paru,
terdengar bunyi rhonki basah kasar di kedua lapang
paru, dan tidak terdengar bunyi mengi
Abdomen I : datar, lemas, tidak tampak massa
P : tidak teraba nyeri tekan, tidak teraba massa, hepar
dan limpa tidak teraba
Pr : timpani di seluruh lapang abdomen
A : bising usus terdengar normal 3 kali per menit
Ekstremitas Akral hangat, tidak ada edema di keempat ekstremitas,
tampak clubbing finger, CRT < 2 detik
4. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan Laboratorium terakhir
Pemeriksaan Darah Rutin (18 Oktober 2014)
Hemoglobin 13,5 g/dL
Hematokrit 39,6%
Leukosit H 21,4
Trombosit 154
MCV 88,9
MCH 30,4
MCHC 34,2
Pemeriksaan Hitung Jenis (18 Oktober 2014)
Basofil L 0
Eosinofil 1
Neutrofil batang H 4
Neutrofil segmen H 76
Limfosit L 16
Monosit 3
Pemeriksaan Hemostasis (28 Oktober 2014)
Masa Protrombin (PT) 10,0 (11,1)
aPTT 33,6 (32,4)
Fibrinogen 227,2
D-dimer H 900
Pemeriksaan Kimia Klinik (28 Oktober 2014)
SGOT 14
SGPT 18
Kolinesterase 5021
Protein (28 Oktober 2014)
Protein total L 5,7
Albumin L 3,35
Globulin 2,35
Asam Urat 4,1
Analisis Gas Darah (28 Oktober 2014)
pH H 7,454
pCO2 38,50
pO2 39,10
HCO3 H 27,30
CO2 H 28,50
BE H 3,80
Sat O2 96,20%
Standard HCO3 H 27,8
Standard BE 3,2
Pemeriksaan Kadar Elektrolit (28 Oktober 2014)
Na serum 132
K serum 4,11
Cl serum 94,4
Pemeriksaan laboratorium (IGD, 13 Oktober 2014)
Pemeriksaan Darah Rutin
Hemoglobin 13,2
Hematokrit 39,5
Leukosit H 14,5
Trombosit 169
MCV 88,2
MCH 29,4
MCHC 33,4
Pemeriksaan Hitung Jenis
Basofil L 0
Eosinofil L 0
Neutrofil batang 3
Neutrofil segmen H 91
Limfosit L 4
Monosit 2
Pemeriksaan Hemostasis
PT 11,7 (11,8)
aPTT 45,5 (36,1)
5. Resume
Pasien laki-laki usia 44 tahun datang ke IGD RSCM pada 7 Oktober
2014 dengan keluhan dispnea kronis yang memberat, batuk berdahak
kental putih, afebris. Riwayat pengobatan TB 2 tahun lalu dan
hipertensi tidak terkontrol. Riwayat merokok, Indeks Brinkman 690.
PF: takipnea, peningkatan tekanan vena jugularis, barrel chest,
pelebaran sela iga, rhonki basah kasar di kedua lapang paru, dan
clubbing finger.
Pemeriksaan lab: leukositosis neutrofilia limfositopenia, peningkatan
kadar ureum dan kreatinin, dan saturasi oksigen rendah.
Rontgen thoraks: fibroinfiltrat di kedua lapangan paru, infiltrat baru,
pendataran diafragma kanan, dan gambaran jantung pendulum. EKG:
P pulmonal.
6. Daftar Masalah
1. HCAP
2. PPOK eksaserbasi akut
3. Cor pulmonale
4. AKI dd/ acute on CKD
5. Hipertensi terkontrol
6. Diabetes melitus
7. Pengkajian
1. Dipikirkan HCAP, atas dasar:
Pasien memiliki riwayat perawatan menggunakan ventilator di
ICU. Dari anamnesis, pasien masih mengeluh batuk berdahak.
Dari pemeriksaan fisik, didapatkan rhonki basah kasar pada kedua
lapang paru.
Foto thoraks menunjukkan gambaran infiltrat baru Dari data
pemeriksaan penunjang selama di rumah sakit didapatkan adanya
leukositosis dan saturasi oksigen rendah.
Rencana edukasi: -
Rencana diagnosis:
Foto polos thorax ulang
Rencana tata laksana:
Levofloxacin 1 X 750 mg IV
Fluconazole 1 X 200 mg IV
2. Dipikirkan PPOK eksaserbasi akut, atas dasar:
Dari anamnesis, didapatkan pasien memiliki riwayat sesak napas
kronis sejak 8 bulan yang lalu dan memberat sejak 3 hari SMRS.
Pasien memiliki riwayat batuk berdahak warna putih. Pasien juga
memiliki riwayat merokok 3 bungkus sehari selama 23 tahun.
Dari pemeriksaan fisik, didapatkan barrel chest, pelebaran sela
iga, dan clubbing finger.
Dari pemeriksaan rontgen thoraks, ditemukan pendataran
diafragma dan gambaran jantung pendulum.
Rencana edukasi:
Gunakan oksigen jika merasa sesak
Rencana diagnosis: -
Rencana tata laksana:
Terapi oksigen: O2 nasal kanul 3 lpm
Terapi inhalasi: Inhalasi pulmicort/12 jam dan inhalasi
combivent/6 jam; metilprednisolone 16-8-8 mg PO
Mukolitik: Fluimucil 3 X 1 CI PO
3. Dipikirkan Cor pulmonale, atas dasar:
Pasien memiliki riwayat PPOK. Dari pemeriksaan fisik,
didapatkan adanya peningkatan JVP 5+1 cm H20. Dari
pemeriksaan EKG, didapatkan gambaran gelombang P pulmonal
pada lead II.
Rencana edukasi: -
Rencana diagnosis: -
Rencana tata laksana:
Cegah progresivitas cor pulmonale dengan mengontrol
PPOK.
4. Dipikirkan AKI dd/ acute on CKD, atas dasar:
Pasien memiliki riwayat hipertensi tidak terkontrol. Selama
perawatan di ICU, didapatkan data peningkatan kadar ureum dan
kreatinin.
Rencana edukasi:
Konsumsi air diatur dan disesuaikan dengan instruksi dari
dokter
Rencana diagnosis:
Periksa ulang kadar ureum kreatinin
Rencana tata laksana:
Terapi cairan: IVFD Ringerfundin 500 cc selama 24 jam
5. Hipertensi terkontrol
Dipikirkan hipertensi terkontrol atas dasar temuan anamnesis
yang menunjukkan pengakuan pasien bahwa pasien memang
memiliki riwayat hipertensi yang pasien tidak ketahui sejak
kapan. Dari hasil anamnesis, pasien mengaku tidak minum obat
antihipertensi sebelum pasien dirawat. Namun sejak dirawat,
pasien mulai mengkonsumsi obat antihipertensi, valsartan. Hasil
pengukuran tekanan darah terakhir di bangsal RSCM pada hari
perawatan ke-22 menunjukkan angka 120/78 mmHg yang
menunjukkan bahwa tekanan darah pasien berada dalam rentang
normal.
Rencana edukasi:
pasien terkait hipertensi,
perubahan gaya hidup,
konsumsi garam dengan metode DASH
Rencana diagnosis: -
Rencana tata laksana:
Valsartan 1 X 160 mg
Pantau tekanan darah
6. Diabetes melitus
Dipikirkan diabetes melitus karena steroid atas dasar temuan
kadar glukosa darah sewaktu yang mencapai angka 263 mg/dL
pada hari perawatan ke-7, saat pasien diberi terapi
metilprednisolon atas indikasi PPOK eksaserbasi akut. Sementara
pada hari perawatan ke-14, saat pasien tidak diberi terapi
metilprednisolon, kadar glukosa darah sewaktu pasien hanya
mencapai angka 139 mg/dL.
Rencana edukasi: -
Rencana diagnosis: -
Rencana tata laksana:
injeksi novorapid 3X5 cc SC
kontrol gula darah harian
7. Prognosis
Ad vitam : bonam
Ad functionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad malam
8. Kesimpulan
Pasien laki-laki 44 tahun dengan keluhan dispnea kronis yang
memberat, batuk berdahak kental putih, afebris. Riwayat hipertensi
tidak terkontrol dan merokok IB 690. PF: takipnea, peningkatan JVP,
barrel chest, pelebaran sela iga, rhonki basah kasar di kedua lapang
paru, dan clubbing finger. Pemeriksaan lab: leukositosis neutrofilia
limfositopenia, peningkatan kadar ureum dan kreatinin, dan saturasi
oksigen rendah. Rontgen thoraks: fibroinfiltrat di kedua lapangan
paru, infiltrat baru, pendataran diafragma kanan, dan gambaran
jantung pendulum. EKG: P pulmonal.
Pasien didiagnosis: HCAP, PPOK eksaserbasi akut, cor pulmonale,
AKI dd/ acute on CKD, hipertensi terkontrol, dan diabetes melitus
e.c. steroid.
Prognosis: ad vitam bonam, ad functionam dubia ad bonam, ada
sanationam dubia ad malam.
BAB 3
PEMBAHASAN
Pasien datang dengan keluhan sesak kronis yang memberat dalam beberapa hari
terakhir. Keluhan sesak sendiri dapat disebabkan oleh gangguan pada berbagai
sistem organ, antara lain paru, kardiovaskular dan darah, metabolik, saraf, serta
otot dan rangka. Pada pasien ini, diagnosis banding dapat dibatasi dengan
mempertimbangkan lama pasien mengalami sesak, yakni sejak 8 bulan yang lalu
(sesak kronis).
Keluhan sesak pada pasien ini diduga disebabkan oleh eksaserbasi PPOK. Hal ini
ditunjang oleh riwayat sesak disertai batuk berdahak berwarna putih tanpa
demam, serta riwayat merokok sebanyak 3 bungkus sehari selama 23 tahun
(Indeks Brinkman 690). Pada pemeriksaan fisik, ditemukan pula barrel chest,
pelebaran sela iga, dan clubbing finger. Pada rontgen didapatkan pendataran
diafragma dan gambaran jantung pendulum. Berdasarkan hal tersebut, pasien
didiagnosis mengalami PPOK eksaserbasi akut.
Eksaserbasi pada pasien PPOK dapat disebabkan oleh berbagai hal, misalnya
infeksi saluran napas atau iritasi oleh polusi. Kondisi tersebut memicu respon
inflamasi yang diikuti dengan memberatnya keluhan sesak seperti yang dialami
oleh pasien.5 Adanya riwayat batuk berdahak meningkatkan kemungkinan infeksi
saluran napas sebagai penyebab eksaserbasi pada pasien ini.
Perlu diingat pula bahwa sesak napas pada pasien ini juga dapat disebabkan oleh
kemungkinan lain, misalnya infeksi paru. Sayangnya, pada pasien ini hal tersebut
sulit dipastikan karena pasien memiliki riwayat TB Paru sehingga gambaran
rontgen thoraks berupa fibroinfiltrat kurang signifikan. Anamnesis dan
pemeriksaan fisik pun memberikan data yang kurang signifikan. Meski demikian,
hal tersebut tidak memengaruhi tata laksana karena mengobati infeksi saluran
napas juga merupakan langkah penanganan eksaserbasi PPOK.
Pembahasan Masalah
Tabel 3 Pilihan terapi antibiotik pada HCAP, HAP, atau VAP yang berisiko
disebabkan oleh patogen MDR7
Pengkajian diagnosis PPOK pada pasien ini sudah dijelaskan pada bagian
sebelumnya. Apabila kondisi pasien sudah stabil dan masalah lainnya sudah
teratasi, perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut (uji faal paru dengan spirometri)
untuk mencari tahu derajat PPOK yang dialami pasien. Hal ini nantinya akan
berpengaruh terhadap penatalaksanaan dan pengontrolan kondisi PPOK pasien. Di
samping itu, pasien juga perlu diberikan edukasi mengenai pengetahuan dasar
tentang PPOK, obat-obatan (manfaat dan efek samping), cara pencegahan
perburukan penyakit, menghindari pencetus, dan penyesuaian aktivitas.5
Pada pasien ini, diduga sudah terjadi cor pulmonale akibat komplikasi dari PPOK.
Kondisi ini bersifat ireversibel sehingga hanya dapat dicegah progresivitasnya,
yaitu dengan mengontrol perburukan PPOK. Apabila simtomatis, maka dapat
diberikan terapi sesuai dengan keluhannya.
Pasien mengalami gangguan fungsi ginjal yang ditandai dengan hasil pemeriksaan
kadar kreatinin serum pada hari perawatan ke-7 yang mencapai angka 2,716
mg/dL. Berdasarkan formula Cockroft didapatkan kecepatan klirens kreatinin
hingga angka, pasien dapat didiagnosis mengalami masalah CKD. Namun,
dikarenakan belum adanya pemeriksaan fungsi ginjal dalam 3 bulan terakhir,
diagnosis CKD masih belum dapat ditegakkan. Di samping itu, diagnosis CKD
baru dapat ditegakkan berdasarkan penghitungan eGFR. Untuk mengatasi masalah
ginjal yang dialami oleh pasien, keseimbangan cairan pasien perlu mendapat
perhatian khusus.
Dari anamnesis, ditemukan bahwa pasien memiliki riwayat hipertensi yang tidak
terkontrol. Namun demikian, pasien juga memiliki masalah yang lain selain
hipertensi, yaitu diabetes melitus dan gangguan ginjal. Oleh karenanya
berdasarkan pedomen hipertensi dari JNC 8, target perbaikan tekanan darah yang
disarankan untuk pasien ini adalah tekanan darah di bawah 140/90 mmHg. Untuk
mencapai target tekanan darah ini, terapi medikamentosa dapat diadministrasikan.
Obat antihipertensi yang menjadi pilihan untuk menurunkan tekanan darah pasien
ini adalah golongan ACE inhibitor atau golongan ARB. Pada pasien ini diberikan
terapi medikamentosa berupa valsartan, yang merupakan obat antihipertensi
golongan ARB. Di samping itu, pada pemeriksaan terakhir di hari perawatan ke-
22, ditemukan hasil pengukuran tekanan darah pasien yang mencapai angka
120/78 mmHg. Hasil pengukuran tersebut menunjukkan bahwa tekanan darah
pasien sudah mencapai target tekanan darah yang diharapkan. Oleh sebab itu,
sesuai rekomendasi pedoman hipertensi JNC 8, terapi medikamentosa dapat
dilanjutkan dan pemantauan tekanan darah tetap harus dilakukan.10
Gambar 2. Algoritma Tatalaksana Hipertensi Berdasarkan Pedoman JNC 810
Dari hasil pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu pasien pada hari perawatan
ke-7 ditemukan bahwa pasien mengalami kondisi hiperglikemia dengan angka
mencapai 263 mg/dL. Sementara pada pemeriksaan kadar glukosa darah hari
perawatan ke-14, ditemukan kadar glukosa darah sewatku pasien hanya mencapai
angka 139 mg/dL. Perbedaan mendasar yang ditemukan pada kedua hari tersebut
adalah pada hari perawatan ke-7 pasien telah memperoleh administrasi steroid
untuk tatalaksana PPOK eksaserbasi akut sebelumnya, sementara pada hari
perawatan ke-14, pemeriksaan darah dilakukan sebelum pasien menerima
pengobatan steroid.
Pasien dengan beragam daftar masalah perlu dievaluasi adanya potensi interaksi
obat yang diberikan. Pada pasien ini, diberikan levofloxacin, fluconazole,
budesonide, albuterol/ipratropium, metilprednisolon, N-acetilsistein, valsartan,
dan insulin aspart. Obat-obatan bronkodilator yang diberikan secara inhalasi
jarang masuk ke dalam aliran sistemik, sehingga jarang mengalami interaksi.
Dari obat-obatan tersebut, ditemukan adanya beberapa interaksi obat, yakni:12
1. Bass JB JR.. Dyspnea. In: Walker HK, Hall WD, Hurst JW, editors. Clinical
Methods: The History, Physical, and Laboratory Examinations. 3rd edition.
Boston: Butterworths; 1990. Chapter 36. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK357/
2. Parshall MB, Schwartzstein RM, Adams L, Banzett RB, Manning HL,
Bourbeau J, et al. An official American thoracic society statement: update on
the mechanisms, assessment, and management of dyspnea. Am J Respir Crit
Care Med. 2012 Feb;185(4):425-52. Available from:
http://www.thoracic.org/statements/resources/other/update-on-mamd.pdf
3. Bozkurt B, Mann DL. Shortness of breath. Circulation. 2003;108:e11-e13.
Available from: http://circ.ahajournals.org/content/108/2/e11.full.pdf+html
4. Karnani NG, Reisfield GM, Wilson GR. Evaluation of chronic dyspnea. Am
Fam Physician. 2005 Apr 15;71(8):1529-1537. Available from:
http://www.aafp.org/afp/2005/0415/p1529.html
5. Antariksa B, Djajalaksana S, Pradjnaparamita, Riyadi J, Yunus F, Suradi, et al.
Diagnosis dan penatalaksanaan PPOK. 1st ed. Jakarta: Perhimpunan Dokter
Paru Indonesia, 2002.
6. Sastroasmoro SS, H Bondan, Kampono N, Widodo D, Umbas R, Hermani B,
et al. Panduan pelayanan medis departemen penyakit dalam. Jakarta: RSUPN
Ciptomangunkusumo, 2007.
7. American thoracic society. Guidelines for the management of adults with
hospital-acquired, ventilator-associated, and healthcare-associated pneumonia.
Am J Respir Crit Care Med. 2005;171:388-416. Available from:
http://www.atsjournals.org/doi/pdf/10.1164/rccm.200405-644ST
8. Buist AS, Anzueto A, Calverley P, deGuia TS, Fukuchi Y, Jenkins C, et al.
Global strategy for the diagnosis, management, and prevention of chronic
obstructive pulmonary disease. USA: MCR VISION, 2006. Available from:
http://www.who.int/respiratory/copd/GOLD_WR_06.pdf
9. NICE. Chronic kidney disease: early identification and management of
chronic kidney disease in adults in primary and secondary care. National
Institute for Health and Care Excellence, September 2008. Cited on October
31st 2014 from:
http://www.nice.org.uk/nicemedia/live/12069/42117/42117.pdf
10. James PA, Oparil S, Carter BL, Cushman WC, Himmelfarb CD, Handler J,
Lackland DT, et al. 2014 Evidence-based guideline for the management of
high blood pressure in adults report from the panel members appointed to the
eight joint national committee. JAMA. 2014:311 (5): 507-20
11. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Petunjuk praktis terapi insulin pada
pasien diabetes melitus. 2011. Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta
12. Medscape interaction checker [internet]. WebMD LLC, 2014. Available from:
http://reference.medscape.com/drug-interactionchecker