Anda di halaman 1dari 6

MASALAH PERUMAHAN BAGI

MASYARAKAT BERPENGHASILAN
RENDAH
PENDAHULUAN
Rumah merupakan salah satu kebutuhan dasar yang hakiki dari manusia. Tempat manusia
berlindung dari fenomena alam seperti hujan, terik matahari maupun dari gangguan keamanan.
Kebutuhan dasar sebagai pelindung diri, yaitu sebagai shelter, secara tradisional, telah dipenuhi
sendiri secara swadaya dan gotong royong.

Perkembangan teknologi, pembagian profesi serta adanya industri jasa pembangun-an rumah
menyebabkan fungsi atau porsi pembangunan rumah secara swadaya dan gotong royong, terutama
di wilayah perkotaan telah beralih. Pembangunan rumah di wilayah perkotaan, sebagian besar telah
diambil alih oleh pihak ketiga. Pembangunan rumah oleh para pengembang industri perumahan
untuk skala besar dengan beragam type dan luas rumah baik yang ditujukan untuk golongan
menengah ke atas lengkap dengan berbagai fasilitas penunjang yang sangat lengkap. Belakangan
ini, di kotakota besar, marak dibangun town house yang hanya berisi 10 20 unit rumah mewah
yang seringkali melanggar aspek tata kota dan tata ruang.

Dari berbagai data, dapat disimpulkan bahwa rumah dan perumahan merupakan kebutuhan dasar
yang paling sulit dipenuhi oleh golongan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Di wilayah
Tambora Jakarta Barat, salah satu wilayah paling padat di Jakarta, masih dapat ditemukan rumah
kumuh seluas 20m2 yang dihuni bukan saja oleh satu keluarga yang terdiri dari 4 orang, tetapi juga
oleh beberapa keluarga dari 3 generasi.

Sejatinya, target utama dari Program Perumahan Nasional adalah para BMR perkotaan ditambah
dengan masyarakat miskin di pedesaan yang saat ini, menurut data survey dari Biro Pusat Statistik
(BPS)[i] berjumlah+ 31 (tiga puluh satu) juta jiwa.

LATAR BELAKANG.
Perumahan bagi MBR merupakan masalah pelik yang tidak pernah tuntas terselesaikan. Berbagai
program telah dicanangkan pemerintah untuk menyelesaikannya. Dari mulai program sejuta rumah
di masa pemerintahan Megawati sampai dengan seribu tower pada periode pertama pemerintahan
SBY. Seluruhnya hilang tanpa bekas terhadang oleh berbagai kendala. Dari mahalnya harga lahan,
biaya perijinan serta tingginya biaya konstruksi hingga kemampuan pengembang untuk memasok
rumah bagi MBR yang hanya pada batas 150.000 unit pertahun.

Hambatanhambatan tersebut pada akhirnya hanya menambah jumlah backlog perumahan yang
saat ini sudah mencapai 13,6 (tiga belas koma enam) juta unit dan pasti akan semakin
membengkak dari tahun ke tahun. Dengan demikian, penyelesaiannyapun akan memakan waktu
yang cukup lama serta biaya yang luar biasa besarnya.

Kesalahan tersebut tidak dapat sematamata ditimpakan kepada pengembang. Sebuah industri
berkembang dikarenakan adanya potensi keuntungan. Pemerintahlah, melalui Badan Usaha Milik
Negara/Daerah yang wajib mengisi celah yang tidak dapat dimasuki oleh sektor swasta.

SIAPA MASYARAKAT BERPENGHASILAN RENDAH MBR

Tinjauan berdasarkan besaran penghasilan


Saat berbicara mengenai golongan masyarakat berpenghasilan rendah, ada baiknya seluruh stake
holder negeri memiliki satu pandangan dan kesepakatan mengenai definisi MASYARAKAT
BERPENGHASILAN RENDAHMBR. Dalam salah satu terbitan Tempo beberapa waktu yang lalu,
World Bank menyatakan bahwa masyarakat dengan pengeluaran USD 220 per kapita per hari,
sudah dapat dimasukkan ke dalam kategori masyarakat berpenghasilan menengah. Dengan kata
lain, minimal pengeluarannya Rp.540.000,-[ii] per kapita per bulan atau maksimal Rp.2.160.000,-
[iii] per keluarga sudah termasuk golongan masyarakat berpenghasilan menengah.

Mengacu pada Biro Pusat Statistik, secara nasional, BPS menyebut orang miskin itu apabila dalam
memenuhi kebutuhan makanan dan minuman serta non makanan di bawah Rp.212.000,- per bulan
per orang atau Rp.848.000,- per keluarga yang terdiri dari 4 orang. Nilai garis kemiskinan dari satu
daerah ke daerah lainpun berbedabeda. Di DKI Jakarta, orang akan disebut miskin apabila hanya
mampu memenuhi kebutuhan per bulannya di bawah Rp.331.000,- atau Rp.1.324.000,-/keluarga,
Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) sebesar Rp.1.112.000,-/keluarga, Bangka Belitung sebesar
Rp.286.000.- per kapita atau Rp.1.144.000,-/keluarga, Kepulauan Riau sebesar Rp.300.000,- per
kapita atau Rp.1.200.000,-/keluarga dan Jawa Tengah hanya sebesar Rp.192.000,- per kapita atau
Rp.768.000,-/keluarga.

Keluarga yang terdiri dari 4 orang serta memiliki penghasilan di bawah angkaangka di atas dapat
digolongkan ke dalam keluarga miskin yang saat ini berjumlah + 31 juta orang atau hampir 8 juta
keluarga.

Jumlah golongan miskin atau berpenghasilan rendah akan meningkat tajam apabila acuan yang
digunakan adalah penghasilan/pengeluaran di bawah USD 2 per hari per kapita atau
Rp.2.160.000,-/keluarga. Padahal, masih menurut World Bank, masyarakat berpenghasilan USD 2
4 per hari per kapita masih tergolong masyarakat yang sangat rentan terhadap gejolak penghasilan.
Sedikit saja guncangan terhadap penghasilannya. Dapat mengakibatkan mereka masuk ke dalam
golongan masyarakat berpenghasilan rendah.

Tinjauan berdasarkan kemampuan mengangsur KPR.


Bila mengacu pada ketentuan pemerintah dan Undangundang nomor 1 tentang Perumahan dan
Kawasan Pemukiman UU no.1 PKP, minimal luas bangunan yang berhak memperoleh bantuan
Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan - FLPP adalah 36 m 2 dan Peraturan Menteri Keuangan
serta Peraturan Menteri Perumahan harga maksimal Rp.70.000.000,- (tujuh puluh juta rupiah).

Ketentuan baru kerkenaan dengan luas bangunan minimal sebagai syarat perolehan FLPP, secara
langsung akan mempengaruhi harga jual rumah. Minimal akan terjadi peningkatan harga jual
sebesar (3621) m2 atau 15m2, yaitu selisih luas bangunan standar lama dikalikan dengan harga jual
bangunan per m2 yang jumlahnya sangat signifikan. Hal ini akan memberatkan masyarakat karena
jumlah uang muka yang harus disediakan bertambah besar.

Tinjauan dari daya beli masyarakat.


Pada awal dicanangkannya program Kredit Pemilikan Rumah oleh Bank Tabungan Negara,
masyarakat masih sangat beruntung mendapatkan rumah yang sangat layak dihuni, yaitu rumah
rumah dengan luas bangunan 45m2, 54m2 dan 70m2 dengan luas tanah di atas 150 m2, bahkan
hingga 300m2.

Menjelang akhir tahun 1980 dan memasuki awal tahun 1990an, type rumah dan luas bangunan
mulai mengecil, dimana type 70m2 bangunan sudah mulai tidak lagi mendapatkan subsidi bunga
pinjaman dan kemudian ditangani oleh Bank Papan Sejah-tera. Dengan demikian, secara alamiah,
para pengembang tidak lagi membangun rumahrumah type besar.
Tahun demi tahun berlalu. Kucuran dana pemerintah yang digunakan sebagai pendukung program
perumahan baik bagi pengembang maupun masyarakat konsumen semakin berkurang. Pemerintah
mulai melakukan berbagai pembatasan bagi pengembang maupun konsumen.

Bila pada sebelumnya, pengembang masih memperoleh kucuran kredit untuk pembebasan lahan
dan kredit konstruksi, maka kemudian pembebasan lahan harus didanai sendiri. Di lain sisi,
maraknya pembangunan perumahan telah menyuburkan percaloan tanah yang menyebabkan
peningkatan luar biasa atas harga tanah dan ditambah dengan maraknya mafia pertanahan yang
memunculkan berbagai sengketa tanah.

Hal itu pula yang menjadi salah satu sebab usulan agar pemerintah melalui Perumnas bertindak
sebagai land bank yang kemudian bekerja sama dengan para pengembang melalui skema Kasiba
dan Lisiba, tidak pernah terealisir degan baik.

Di balik berbagai kesulitan pembebasan lahan perumahan, krisis ekonomi pada tahun 1998
membuat daya beli masyarakat semakin merosot tajam. Perkembangan ekonomi masyarakat di
berbagai sektor menurun termasuk tentunya daya beli sektor perumah-an. Akibatnya backlog
semakin bertambah besar.

Kondisi yang semakin memburuk ini, yaitu kenaikan harga lahan mentah dan bahan bangunan serta
kenaikan biaya perijinan dengan disertai menurunnya daya beli masyarakat memaksa pemerintah
mencari berbagai terobosan guna meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui pemenuhan
kebutuhan rumah dan mengurangi backlog.

Untuk meningkatkan daya serap industri perumahan serta daya beli masyarakat, pemerintah
menurunkan standar luas bangunan yang mendapat fasilitas subsidi bunga. Dari semula luas
bangunan 45m2, turun menjadi 36m2. Tidak berselang lama, batas maksimal luas bangunan
penerima subsidi bunga KPR diturunkan kembali menjadi 27m 2 untuk kemudian berakhir hingga
hanya seluas 21m2 saja.

Di samping menurunkan luas bangunan agar harga rumah menjadi terjangkau, pemerintah
kemudian mengijinkan penjualan kaling siap bangunkasiba seraya menaikkan batas maksimum
fasilitas kredit. Namun kondisi ini ternyata masih tidak mampu meningkatkan daya beli masyarakat,
sehingga dari tahun ke tahun backlog tetap bertambah besar.

Perumahan untuk golongan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), demi untuk keterjangkauan
harga jual, pada umumnya dibangun di wilayah pelosok, jauh dari tempat kerja para penghuninya.
Minim fasilitas sosial dan fasilitas umum bagi para penghuninya serta minim pula sarana
transportasi yang melayani para penghuni menuju tempat kerja. Kondisi ini kemudian meningkatkan
biaya hidup non kunsumsi rumah tangga dimana pada akhirnya sangat memberatkan dan secara
perlahan secara struktural memiskinkan masyarakat.

BERBAGAI MASALAH PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN.

Siapa konsumen riel industri perumahan


Tanpa melihat figure dan karakteristik konsumennya, backlog sebesar 13,6 juta unit rumah
merupakan peluang besar bagi industri perumahan. Itu sebabnya pembangun-an perumahan dan
rumah susun di berbagai kota besar, begitu marak.

Bila melihat standar world bank maupun BPS tentang struktur penghasilan/gaji, maka masyarakat
yang berpenghasilan di atas Rp.3.500.000,-/bulan sudah masuk golong-an masyarakat
berpenghasilan menengah. Dalam struktur pegawai negeri sipil umumnya adalah mereka dengan
golongan 3A atau sarjana.

Masyarakat berpenghasilan rendah secara riel adalah mereka yang berpenghasilan di bawah garis
kemiskinan termasuk di dalamnya mereka yang berpenghasilan sesuai dengan Upah Minimum
Regional UMR serta mereka yang membelanjakan pengha-silannya sebesar USD 2/hari/kapita
menurut World Bank atau Rp.2.160.000,-/bulan/keluarga.

Pada kenyataan di lapangan, justru masyarakat dengan penghasilan di bawah Rp.3.500.000,-/bulan


dan terutama mereka yang berpenghasilan UMR dan di bawahnyalah yang paling membutuhkan
akses pada kepemilikan rumah. Golongan MBR ini tersebar baik sebagai pekerja formal PNS
golongan I. II dan honorer , pegawai swasta golongan rendah serta buruh pabrik maupun mereka
yang bergerak di sektor informal dengan penghasilan tak menentu.

Sudah menjadi rahasia umum betapa MBR seringkali berteduh sekedarnya, dalam gubuk
sederhana di lahan tak bertuan, di bawah jembatan, di sepanjang jalan layang yang seringkali
membahayakan diri mereka maupun pengguna jalan itu sendiri seperti pernah terjadi kebakaran di
tempat berteduh MBR yang berada di bawah salah ruas jalan layang di Jakarta.

MBR inilah sebetulnya konsumen riel penyumbang backlog yang tidak pernah tersentuh perhatian
pemerintah, baik dari segi pembiayaan maupun akses lainnya agar mereka bisa memiliki tempat
tinggal yang lebih layak.

Standard perumahan yang layak.


Pasal 22 ayat 3 Undangundang no 1 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman mensyaratkan
rumah berukuran 36m2 sebagai salah satu syarat untuk memperoleh FLPP. Dampak dari ketentuan
ini secara langsung akan menaikkan harga jual rumah tapak (landed house). Ketentuan luas
minimal bangunan tersebut sepertinya dipermudah dengan dinaikkannya batas maksimal KPR
menjadi Rp.70.000.000,- .

Memang, standar kelayakan luas minimal perumahan yang berlaku internasional mensyaratkan luas
12 m2/orang. Keinginan pemerintah untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk
memperoleh rumah sesuai dengan standar kela-yakan yang baik, patut diacungi jempol. Standar
itulah yang memang digunakan di Negaranegara maju dimana ktidakmampuan masyarakat
membayar angsuran pembiayaan rumah yang tinggi diakomodasikan dengan dibukanya akses
untuk menyewa apartemen murah dengan subsidi berupa tunjangan sewa apartemen terutama
untuk pasangan muda, seperti yang terjadi di Perancis.

MBR di Indonesia hingga saat ini belum membutuhkan standar rumah yang tinggi. Mereka masih
berada pada taraf terendah, yaitu cukup bersenang hati dengan memiliki tempat bernaung yang
layak dengan penuh ketenangan. Tidak berdesakan dalam ruang multifungsi berukuran 3x4m 2.
Tentu bukan pula berada dalam gubuk di lahan tak bertuan, di pinggir kali, di tepi rel KA, di kolong
jembatan/jalan layang atau bahkan di emperan toko.

Pelaksana pembangunan perumahan dan kawasan pemukiman.


Dalam berbagai data perumahan, pelaksana pembangunan rumah di Indonesia terdiri dari berbagai
elemen, antara lain pembangunan secara swadaya, secara gotong royong dalam suatu kaum,
pemerintah melalui BUMN/D, maupun partisipasi kalangan industri perumahan yang tergabung
dalam Real Estat Indonesia maupun Aspersi.

Masa keemasan pembangunan perumahan telah berakhir sejak terjadinya krisis ekonomi pada
tahun 1998. Sejak itu, kemampuan pembangunan atau lebih tepat disebut daya serap masyarakat
atas RS yang kemudian beralih nama menjadi RSS seiring dengan pengurangan standar luas, lalu
kemudian menjadi RSh, semakin menurun. Sudah beberapa tahun terakhir ini, daya serap RSh
tidak lagi beranjak dari 150.000 unit per tahun akibat dari langkanya/keterlambatan pencairan dana
subsidi pemerintah, yang juga selalu berubah skema dan penyebutannya.

Ketidakberhasilan pemerintah untuk mengurangi backlog, bagai lingkaran setan yang tak
berkesudahan. Minimnya fasilitas kredit konstruksi, suku bunga pinjaman yang tinggi, harga tanah
yang semakin meningkat, harga bahan bangunan serta melemahnya daya beli masyarakat serta
tersendatnya pencairan FLPP menjadi sebab-sebab terjadinya kegagalan tersebut.

Pasal 42 UU no.1 PKP yang mensyaratkan keharusan ketersediaan perumahan minimal 20% yang
dapat diterjemahkan sebagai rumah stock sebagai syarat pemberian fasilitas FLPP kepada
konsumen perumahan merupakan tambahan beban biaya bagi pengembang.

Pada akhirnya, mega proyek 1 juta unit rumah untuk rakyat, program 1.000 tower rusun hanya
tinggal nama, terkendala baik oleh ketidaksinkronan antara program pemerintah dengan penerapan
di lapangan maupun skema pembiayaan.

Tata Ruang yang adil.


Sebuah kota yang adil adalah kota yang mampu mengakomodasikan seluruh kebu-tuhan
masyarakatnya sesuai dengan kemampuan masyarakat terkait. Adalah suatu hal yang sangat ideal
bila MBR, karena keterbatasan daya belinya dapat bertempat tinggal di tengah kota, dekat dengan
tempatnya mencari nafkah. Masyarakat menengah dengan segala kemampuan keuangannya masih
dapat memilih untuk bertempat tinggal di wilayah elite di pusat kota atau perumahan mewah di
sekitar ring road, yang mempermudah akses ke tempat kerja.

Peningkatan kualitas hidup dan keseimbangan lingkungan perkotaan perlu diupayakan secara terus
menerus antara lain dengan penataan wilayah kumuh perkotaan, perluasan ruang hijau terbuka.
Penataan ruang hijau terbuka, perbaikan wilayah kumuh dan program perumahan sebetulnya dapat
dijalankan secara terpadu.

Pada umumnya, kotakota di Indonesia berkembang dari suatu pusat kegiatan se-perti stasiun,
terminal atau alunalun. Masyarakat Indonesia juga selalu memperlakukan sungai sebagai wilayah
belakang. Itu sebabnya sebagian besar sungai di Indonesia yang melalui kota selalu memperoleh
limbah, baik limbah rumah tangga, bahkan limbah industri tanpa pengolahan apapun juga sehingga
pada akhirnya mematikan biota sungai dan menurunkan kualitas air sungai sebagai sumber air
baku.

Penataan kota terpadu bisa dimulai dari tepi sungai. Pembebasan wilayah tepi sungai untuk
menerapkan garis sempadan sungai dapat dilaksanakan sekaligus untuk pembangunan jalan
inspeksi dan kemudian pembangunan rusun baik jenis rusunami maupun rusunawa. Pada lokasi
yang strategis, pembangunan rusunawa harus menjadi prioritas agar MBR bisa mendekati lokasi
kerja. Hal yang sama juga bisa dilaksanakan pada jalur tepi rel kereta api.

KESIMPULAN DAN SARAN.

Perumahan di Indonesia sampai saat ini masih menjadi masalah pelik yang tidak terselesaikan.
Backlog perumahan semakin bertambah seiring dengan bertambahnya waktu. Berbagai upaya yang
dicanangkan pemerintah untuk mengatasi masalah ini pada akhirnya hanya menjadi pencitraan bagi
pemerintah tanpa ada kelanjutannya.

Harga tanah perkotaan yang semakin tinggi juga menjadi tambahan masalah yang menyebabkan
rumah dan rusun bagi MBR tersingkir ke pinggir kota dan bahkan hingga ke pelosok desa.
Infrastruktur perkotaan berupa transportasi umum, fasilitas air minum dan penerangan belum tentu
siap mengikuti perkembangan lokasi perumahan tersebut. Hal ini sudah pasti menambah beban
pengeluaran, bukan saja untuk pemerintah yang sewajarnya menyediakan infrastruktur perkotaan,
tetapi juga MBR sebagai konsumen. Tidak mengherankan bila daya serap MBR menjadi semakin
kecil.

MBR adalah konsumen riel yang sangat membutuhkan rumah. Merekalah sesungguhnya bagian
masyarakat penyumbang backlog perumahan saat ini akibat rendahnya daya beli mereka. Untuk itu
diperlukan upaya keras untuk memenuhi kebutuhan rumah bagi mereka.

UU nomor 1 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman yang semula diharapkan mampu
mengatasi dan mengurangi backlog perumahan, pada kenyataan malah semakin memperberat
beban para pelaku sektor perumahan. Untuk itu diperlukan Blue Print dan upaya radikal (out of the
box) untuk mengatasi masalah perumahan antara lain:

1. Mendefinisikan secara tepat apa yang dimaksud dengan MBR, termasuk ca-kupan sektor
pekerjaannya pekerja sektor formal dan informal.
2. Menentukan maksimal penghasilan untuk memperoleh FLPP serta jangka waktunya agar MBR
dapat hidup dengan layak dengan sisa penghasilannya.
3. Memprioritaskan pembangunan Rusunawa di perkotaan untuk mendekatkan MBR ke lokasi tempat
mereka mencari nafkah dengan memanfaatkan lahan di tepi kali ataupun tepi rel KA. Dilaksanakan
sekaligus dalam rangka penataan kota dan penambahan ruang hijau terbuka sebagai paru-paru
kota.
4. Membangun dan menjamin ketersediaan infrastruktur perkotaan (jalan, air minum, penerangan)
serta sarana transportasi umum yang aman, nyaman dan murah untuk mengurangi beban biaya
pengembang maupun beban hidup konsumenMBR.
5. Perlu dilakukan judicial review atas Undang-undang no. 1 tentang Perumahan dan Kawasan
Pemukiman (PKP) yang dapat membebani daya beli konsumen maupun biaya/beban pengembang.

Anda mungkin juga menyukai