Anda di halaman 1dari 5

Euthanasia

Ada dua masalah dalam bidang kedokteran/kesehatan yang berkaitan dengan aspek hukum
yang selalu aktual dibicarakan dari waktu ke waktu sehingga dapat digolongkan ke dalam
masalah klasik dalam bidang kedokteran, yaitu abortus provokatus dan euthanasia. Dalam
lafal sumpah dokter yang disusun oleh Hippokrates (460-377 SM), kedua masalah ini telah
ditulis dan diingatkan. Sampai kini,tetap saja persoalan yang timbul berkaitan dengan
masalah ini tidak dapat diatasi atau diselesaikan dengan baik, atau dicapainya kesepakatan
yang dapat diterima oleh semua pihak. Di suatu pihak, tindakan abortus provokatus dan
euthanasia pada beberapa kasus dan keadaan memang diperlukan. Sementara di lain pihak,
tindakan ini tidak dapat diterima, bertentangan dengan hukum, moral, dan agama. Kedua
maslah ini setiap waktu dihadapi oleh kalangan kedokteran dan masyarakat. Bahkan dapat
diperkirakan akan semakin meningkat di masa mendatang.
Mengenai masalah euthanasia bila ditinjau ke belakang boleh dikatakan masalahnya
sudah ada sejak kalangan kesehatan menghadapi penyakit yang tidak tersembuhkan,
sementara pasien sudah dalam keadaan merana dan sekarat. Dalam situasi demikian, tidak
jarang pasien memohon agar dibebaskan dari penderitaan ini dan tidak ingin diperpanjang
hidupnya lagi. Pada pasien yang sudah tidak sadar, keluarga yang tidak tega melihat orang
sakit penuh penderitaan menjelang ajalnya minta kepada dokter untuk tidak meneruskan
pengobatan, bahkan ada pula yang minta diberikan obat untuk mempercepat kematian. Dari
sinilah istilah euthanasia muncul, yaitu melepas kehidupan seseorang agar terbebas dari
penderitaan, atau mati secara baik (mati enak).
Masalah ini makin sering dibicarakan dan menarik banyak perhatian karena semakin
banyak kasus yang dihadapi kalangan kedokteran dan masyarakat terutama setelah
ditemukannya tindakan di dalam dunia pengobatan dengan mempergunakan teknologi
canggih dalam mengatasi keadaan gawat dan mengancam kelangsungan hidup. Banyak kasus
di pusat pelayanan kesehatan terutama di bagian gawat darurat dan di bagian unit perawatan
intensif yang pada masa lalu sudah merupakan kasus yang tidak dapat dibantu lagi.
Namun, pada kasus-kasus tertentu tetap saja muncul persoalan dasar kembali, yaitu
dilema meneruskan atau tidak tindakan medik yang memperpanjang kehidupan.
Apa yang harus dilakukan dokter menghadapi korban yang telah mati otak atau mati
batang otak ini, karena belum ada kasus yang dapat keluar dari keadaan ini, sebab kerusakan
jaringan otak sudah irreversible, atau pada kasus kanker stadium terminal dengan penderitaan
yang hebat, sementara obat untuk itu belum ada. Begitu juga pada pasien gagal ginjal kronis
yang memerlukan pencucian darah secara berkala, sementara dana untuk tindakan ini
ditanggung pasien/keluarga. Dan masih banyak alasan lain.
Sesuai dengan makin meningkatnya kesadaran akan hak untuk menntukan nasib
sendiri (self determination), di banyak negara mulai timbul gerakan dan penghargaan atas hak
seseorang untuk mengakhiri hidup. Di beberapa negara, hak ini diakui oleh pemerintah
karena diatur dalam undang-undang seperti di negeri Belanda, Belgia, dan Northern Territory,
Australia.
Mengenai masalah euthanasia yang kita ikuti dari media cetak dan elektronik adalah
2 kasus pasien di Australia yang mengakhiri hidup atas permintaan sendiri dengan menekan
enter pada Laptop yang sudah diprogramkan untuk usaha euthanasia.
Pengertian
Euthanasia berasal dari kata Yunani Euthanathos. Eu = baik, tanpa penderitaan; sedang
thanatos = mati. Dengan demikian dapat diartikan mati dengan baik tanpa penderitaan. Ada
yang menerjemahkannya sebagai mati cepat tanpa derita.

Belanda, salah satu negara di Eropa yang maju dalam pengetahuan hukum kesehatan
mendefinisikan euthanasia sesuai dengan rumusan yang dibuat oleh Euthanasia Study Group
dari KNMG (Ikatan Dokter Belanda).

Euthanasia adalah dengan sengaja tidak melakukan sesuatu untuk memperpanjang


hidup seorang pasien atau sengaja melakukan sesuatu untuk memperpendek hidup atau
mengakhiri hidup seorang pasien, dan ini dilakukan untuk kepentingan pasien sendiri.

Konsep tentang kematian

Perkembangan euthanasia tidak terlepas dari perkembangan konsep tentang kematian. Usaha
manusia untuk memperpanjang kehidupan dan menghindari kematian dengan
mempergunakan kemajuan iptek kedokteran telah membawa masalah baru dalam euthanasia,
terutama berkenaan dengan penentuan kapan seorang dinyatakan telah mati.

Beberapa konsep tentang mati yang dikenal adalah:

1. Mati sebagai berhentinya darah mengalir

2. Mati sebagai saat terlepasnya nyawa dari tubuh

3. Hilangnya kemampuan tubuh secara permanen

4. Hilangnya manusia secara permanen untuk kembali sadar dan melakukan interaksi
sosial

Konsep mati dari berhentinya darah mengalir seperti dianut selama ini dan yang juga diatur
dalam PP. 18 Tahun 1981 menyatakan bahwa mati adalah berhentinya fungsi jantung dan
paru, tidak bisa dipergunakan lagi karena teknologi resusitasi telah memungkinkan jantung
dan paru yang semula terhenti, kini dapat dipacu dan berdenyut kembali dan paru dapat
dipompa untuk berkembang kempis kembali.

Konsep mati terlepasnya roh dari tubuh sering menimbulkan keraguan karena
misalnya pada tindakan tindakan resusitasi yang berhasil, keadaan demikian menimbulkan
kesan seakan-akan nyawa dapat ditarik kembali.

Mengenai konsep mati dari hilangnya kembali kemampuan tubuh secara permanen
untuk menjalankan fungsinya secara terpadu, juga dipertanyakan karena organ berfungsi
sendiri-sendiri tanpa terkendali karena otak telah mati. Untuk kepentingan transplantasi
konsep ini menguntungkan, tetapi secara moral tidak dapat diterima karena kenyataannya
organ-organ masih berfungsi meskipun tidak terpadu lagi.

Bila dibandingkan dengan manusia sebagai makhluk sosial, yaitu individu yang
mempunyai kepribadian, menyadari kehidupannya, kekhususannya, kemampuannya
mengingat, menentukan sikap, dan mengambil keputusan, mengajukan alasan yang masuk
akal, mampu berbuat, menikmati, mengalami kecemasan dan sebagainya, kemampuan untuk
melakukan interaksi sosial tersebut makin banyak dipergunakan.

Pusat pengendali ini terletak dalam batang otak. Oleh karena itu, jika batang otak
telah mati (brain stem death) dapat diyakini bahwa manusia itu secara fisik dan sosial telah
mati.

Dalam keadaan demikian kalangan medis sering menempuh pilihan tidak meneruskan
resusitasi (DNR, do not resucitation)
Penentuan saat mati ini juga dibahas dan diterapkan dalam World Medical Assembly
tahun 1968 yang dikenal dengan Deklarasi Sydney. Di sini dinyatakan bahwa penentuan saat
kematian di kebanyakan negara merupakan tanggung jawab sah dokter. Dokter dapat
menentukan seseorang sudah mati dengan menggunakan kriteria yang lazim tanpa bantuan
alat khusus, yang telah diketahui oleh semua dokter.
Hal penting dalam penentuan saat mati di sini adalah proses kematian tersebut sudah
tidak dapat dibalikkan lagi (irreversible), meski menggunakan teknik penghidupan kembali
apapun. Walaupun sampai sekarang tidak ada alat yang sungguh-sungguh memuaskan dapat
digunakan untuk penentuan saat mati ini, alat elektro-ensefalograf dapat diandalkan untuk
maksud tersebut.
Jika penentuan saat mati berhubungan dengan kepentingan transplantasi organ,
keputusan saat mati harus dilakukan oleh 2 orang dokter atau lebih, dan dokter yang
menentukan saat mati itu tidak boleh ada kaitannya langsung dengan pelaksanaan
transplantasi tersebut.
Jenis Euthanasia
Euthanasia bisa ditinjau dari beberapa sudut.
Dilihat dari cara dilaksanakan, euthanasia dibedakan atas:
1. Euthanasia pasif
Euthanasia pasif adalah perbuatan menghentikan atau mencabut segala tindakan
atau pengobatan yang perlu untuk mempertahankan hidup manusia.
2. Euthanasia aktif
Euthanasia aktif adalah perbuatan yang dilakukan secara medik melalui intervensi
aktif oleh seorang dokter dengan tujuan untuk mengakhiri hidup manusia.
Euthanasia aktif ini dapat pula dibedakan atas:
1. Euthanasia aktif langsung (direct)
Euthanasia aktif langsung adalah dilakukannya tindakan medik secara terarah
yang diperhitungkan akan mengakhiri hidup pasien, atau memperpendek hidup
pasien. Jenis euthanasia ini dikenal juga sebagai mercy killing.
2. Euthanasia aktif tidak langsung (indirect)
Euthanasia aktif tidak langsung adalah saat dokter atau tenaga kesehatan
melakukan tindakan medik untuk meringankan penderitaan pasien, namun
mengetahui adanya resiko tersebut dapat memperpendek atau mengakhiri hidup
pasien.
Ditinjau dari permintaan, euthanasia dibedakan atas:
1. Euthanasia voluntir atau Euthanasia sukarela (atas permintaan pasien)
Euthanasia atas permintaan pasien adalah euthanasia yang dilakukan atas
permintaan pasien secara sadar dan diminta berulang-ulang
2. Euthanasia involuntir (tidak atas permintaan pasien)
Euthanasia tidak atas permintaan pasien adalah euthanasia yang dilakukan pada
pasien yang (sudah) tidak sadar, dan biasanya keluarga pasien yang meminta
Kedua jenis euthanasia di atas dapat digabung, misalnya euthanasia pasif voluntir,
euthanasia aktif involuntir.
Ada yang melihat pelaksanaan euthanasia dari sudut lain dan membaginya atas empat
kategori, yaitu:
1. Tidak ada bantuan dalam proses kematian tanpa maksud memperpendek hidup
pasien
2. Ada bantuan dalam proses kematian tanpa maksud memperpendek hidup pasien
3. Tidak ada bantuan dalam proses kematian dengan tujuan memperpendek hidup
pasien
4. Ada bantuan dalam proses kematian dengan tujuan memperpendek hidup pasien

Euthanasia dan Hukum


Kitab Undang-undang Hukum Pidana mengatur seseorang dapat dipidana atau dihukum jika
ia menghilangkan nyawa orang lain dengan sengaja ataupun karena kurang hati-hati.
Ketentuan pelanggaran pidana yang berkaitan langsung dengan euthanasia aktif terdapat pada
pasal 344 KUHP.
Pasal 344 KUHP
Barang siapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang
disebutnya dengan nyata dan dengan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-
lamanya dua belas tahun.
Ketentuan ini harus diingat kalangan kedokteran sebab walaupun terdapat beberapa alasan
kuat untuk membantu pasien/keluarga pasien mengakhiri hidup atau memperpendek hidup
pasien, ancaman hukuman ini harus dihadapinya.
Untuk jenis euthanasia aktif maupun pasif tanpa permintaan, beberapa pasal dibawah
ini perlu diketahui oleh dokter.

Pasal 338 KUHP


Barang siapa dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain, dihukum karena makar
mati, dengan penjara selama-lamanya lima belas tahun.
Pasal 340 KUHP
Barangsiapa dengan sengaja dan direncanakan lebih dahulu menghilangkan jiwa
orang lain, dihukum, karena pembunuhan direncanakan (moord), dengan hukuman
mati atau penjara selama-lamanya seumur hidup atau penjara sementara selama-
lamanya dua puluh tahun.
Pasal 359 KUHP
Barang siapa karena salahnya menyebabkan matinya orang dihukum penjara selama-
lamanya lima tuhn atau kurungan selama-lamanya satu tahun.
Selanjutnya, di bawah ini dikemukakan sebuah ketentuan hukum yang mengingatkan
kalangan kesehatan untuk berhati-hati menghadapi kasus euthanasia.
Pasal 345 KUHP
Barang siapa dengan sengaja menghasut orang lain untuk membunuh diri,
menolongnya dalam perbuatan itu, atau memberikan daya upaya itu jadi bunuh diri,
dihukum penjara selama-lamanya empat tahun.
Pasal ini mengingatkan dokter untuk, jangankan melakukan euthanasia, menolong atau
memberi harapan ke arah perbuatan itu saja pun sudah mendapat ancaman pidana.

Anda mungkin juga menyukai