Anda di halaman 1dari 16

FISIOLOGI IMUN DAN MEKANISME PERTAHANAN

In Profesi on 5 Juli 2009 at 5:45 am

FISIOLOGI IMUN DAN MEKANISME

Respons imun adalah respons tubuh berupa suatu urutan kejadian yang kompleks terhadap
antigen, untuk mengeliminasi antigen tersebut. Respons imun ini dapat melibatkan berbagai
macam sel dan protein, terutama sel makrofag, sel limfosit, komplemen, dansitokin yang
saling berinteraksi secara kompleks. Mekanisme pertahanan tubuh terdiri atas mekanisme
pertahanan non spesifik dan mekanisme pertahanan spesifik.

Substansi asing yang bertemu dengan system itu bekerja sebagai antigen, anti melawan, +
genin menghasilkan. Contohnya jika terjadi suatu substansi terjadi suatu respon dari tuan
rumah, respon ini dapat selular, humoral atau keduanya. Antigen dapat utuh seperti sel bakteri
sel tumor atau berupa makro molekul, seperti protein, polisakarida atau nucleoprotein. Pada
keadaan apa saja spesitas respon imun secara relatif dikendalikan oleh pengaruh molekuler
kecil dari antigendetenniminan antigenic untuk protein dan polisakarida, determinan
antigenic terdiri atas empat sampai enam asam amino atau satuan monosa karida. Jika
komplek antigen Yang memiliki banyak determinan misalnya sel bakteri akan
membangkitkan satu spectrum respon humoral dan selular. Antibodi, disebut juga
imunoglobulin adalah glikkoprotein plasma yang bersirkulasi dan dapat berinteraksi secara
spesifik dengan determinan antigenic yang merangsang pembentukan antibody, antibody
disekresikan oleh sel plasma yang terbentuk melalui proliferasi dan diferensiasi limfosit B.
Pada manusia ditemukan lima kelas imunoglobulin, Ig.G, terdiri dari dua rantai ringan yang
identik dan dua rantai berat yang identik diikat oleh ikatan disulfida dan tekanan non kovalen.
Ig G merupakan kelas yang paling banyak jumlahnya, 75 % dari imunoglobulin serum IgG
bertindak sebagai suatu model bagi kelas-kelas yang lain.

Adjuvant Senyawa yang jika dicampur dengan imunogen meningkatkan respon imun
terhadap imunogen : BCG, FCA, LPS, suspensi AL(OH)3

Imunogen senyawa yang mampu menginduksi respon imun

Hapten: Molekul kecil yang tidak mampu menginduksi respon imun dalam keadaan murni,
namun bila berkonyugasi dengan protein tertentu (carrier) atau senyawa BM besar dapat
menginduksi respon imun.

Epitop atau Antigenik Determinan :Unit terkecil dari suatu antigen yang mampu berikatan
dengan antibodi atau dengan reseptor spesifik pada limfosit
Mekanisme pertahanan tubuh

1. Mekanisme pertahanan non spesifik disebut juga komponen nonadaptif atau innate, atau
imunitas alamiah, artinya mekanisme pertahanan yang tidak ditujukan hanya untuk satu jenis
antigen, tetapi untuk berbagai macam antigen. Imunitas alamiah sudah ada sejak bayi lahir
dan terdiri atas berbagai macam elemen non spesifik. Jadi bukan merupakan pertahanan
khusus untuk antigen tertentu.

2. Mekanisme pertahanan tubuh spesifik atau disebut juga komponen adaptif atau imunitas
didapat adalah mekanisme pertahanan yang ditujukan khusus terhadap satu jenis antigen,
karena itu tidak dapat berperan terhadap antigen jenis lain. Bedanya dengan pertahanan tubuh
non spesifik adalah bahwa pertahanan tubuh spesifik harus kontak atau ditimbulkan terlebih
dahulu oleh antigen tertentu, baru ia akan terbentuk. Sedangkan pertahanan tubuh non
spesifik sudah ada sebelum ia kontak dengan antigen.

Mekanisme Pertahanan Non Spesifik

Dilihat dari caranya diperoleh, mekanisme pertahanan non spesifik disebut juga respons imun
alamiah. Yang merupakan mekanisme pertahanan non spesifik tubuh kita adalah kulit dengan
kelenjarnya, lapisan mukosa dengan enzimnya, serta kelenjar lain dengan enzimnya seperti
kelenjar air mata. Demikian pula sel fagosit (sel makrofag, monosit, polimorfonuklear) dan
komplemen merupakan komponen mekanisme pertahanan non spesifik.

Permukaan tubuh, mukosa dan kulit

Permukaan tubuh merupakan pertahanan pertama terhadap penetrasi mikroorganisme. Bila


penetrasi mikroorganisme terjadi juga, maka mikroorganisme yang masuk akan berjumpa
dengan pelbagai elemen lain dari sistem imunitas alamiah.

Kelenjar dengan enzim dan silia yang ada pada mukosa dan kulit

Produk kelenjar menghambat penetrasi mikroorganisme, demikian pula silia pada mukosa.
Enzim seperti lisozim dapat pula merusak dinding sel mikroorganisme.

Komplemen dan makrofag

Jalur alternatif komplemen dapat diaktivasi oleh berbagai macam bakteri secara langsung
sehingga eliminasi terjadi melalui proses lisis atau fagositosis oleh makrofag atau leukosit
yang distimulasi oleh opsonin dan zat kemotaktik, karena sel-sel ini mempunyai reseptor
untuk komponen komplemen (C3b) dan reseptor kemotaktik. Zat kemotaktik akan
memanggil sel monosit dan polimorfonuklear ke tempat mikroorganisme dan memfagositnya.

Protein fase akut

Protein fase akut adalah protein plasma yang dibentuk tubuh akibat adanya kerusakan
jaringan. Hati merupakan tempat utama sintesis protein fase akut. C-reactive protein (CRP)
merupakan salah satu protein fase akut. Dinamakan CRP oleh karena pertama kali protein
khas ini dikenal karena sifatnya yang dapat mengikat protein C dari pneumokok. Interaksi
CRP ini juga akan mengaktivasi komplemen jalur alternatif yang akan melisis antigen.
Sel natural killer (NK) dan interferon

Sel NK adalah sel limfosit yang dapat membunuh sel yang dihuni virus atau sel tumor.
Interferon adalah zat yang diproduksi oleh sel leukosit dan sel yang terinfeksi virus, yang
bersifat dapat menghambat replikasi virus di dalam sel dan meningkatkan aktivasi sel NK.

Mekanisme Pertahanan Spesifik

Bila pertahanan non spesifik belum dapat mengatasi invasi mikroorganisme maka imunitas
spesifik akan terangsang. Mekanisme pertahanan spesifik adalah mekanisme pertahanan yang
diperankan oleh sel limfosit, dengan atau tanpa bantuan komponen sistem imun lainnya
seperti sel makrofag dan komplemen. Dilihat dari caranya diperoleh maka mekanisme
pertahanan spesifik disebut juga respons imun didapat.

Imunitas spesifik hanya ditujukan terhadap antigen tertentu yaitu antigen yang merupakan
ligannya. Di samping itu, respons imun spesifik juga menimbulkan memori imunologis yang
akan cepat bereaksi bila host terpajan lagi dengan antigen yang sama di kemudian hari. Pada
imunitas didapat, akan terbentuk antibodi dan limfosit efektor yang spesifik terhadap antigen
yang merangsangnya, sehingga terjadi eliminasi antigen. Sel yang berperan dalam imunitas
didapat ini adalah sel yang mempresentasikan antigen (APC = antigen presenting cell =
makrofag) sel limfosit T dan sel limfosit B. Sel limfosit T dan limfosit B masing-masing
berperan pada imunitas selular dan imunitas humoral. Sel limfosit T akan meregulasi respons
imun dan melisis sel target yang dihuni antigen. Sel limfosit B akan berdiferensiasi menjadi
sel plasma dan memproduksi antibodi yang akan menetralkan atau meningkatkan fagositosis
antigen dan lisis antigen oleh komplemen, serta meningkatkan sitotoksisitas sel yang
mengandung antigen yang dinamakan proses antibody dependent cell mediated cytotoxicy
(ADCC). Limfosit berperan utama dalam respon imun diperantarai sel. Limfosit terbagi atas
2 jenis yaitu Limfosit B dan Limfosit T. Berikut adalah perbedaan antara Limfosit T dan
Limfosit B.

Limfosit B Limfosit T
Dibuat di sumsum tulang yaitu sel batang Dibuat di sumsum tulang dari sel batang yang
yang sifatnya pluripotensi(pluripotent stem pluripotensi(pluripotent stem cells) dan
cells) dan dimatangkan di sumsum dimatangkan di Timus
tulang(Bone Marrow)
Berperan dalam imunitas humoral Berperan dalam imunitas selular
Menyerang antigen yang ada di cairan antar Menyerang antigen yang berada di dalam sel
sel
Terdapat 3 jenis sel Limfosit B yaitu : Terdapat 3 jenis Limfosit T yaitu:
Limfosit B plasma, memproduksi Limfosit T pempantu (Helper T
antibodi cells), berfungsi mengantur sistem
Limfosit B pembelah, menghasilkan imun dan mengontrol kualitas sistem
Limfosit B dalam jumlah banyak dan imun
cepat Limfosit T pembunuh(Killer T cells)
atau Limfosit T Sitotoksik, menyerang
Limfosit B memori, menyimpan sel tubuh yang terinfeksi oleh patogen
mengingat antigen yang pernah
masuk ke dalam tubuh Limfosit T surpressor (Surpressor T
cells), berfungsi menurunkan dan
menghentikan respon imun jika
infeksi berhasil diatasi

Imunitas selular

Imunitas selular adalah imunitas yang diperankan oleh limfosit T dengan atau tanpa bantuan
komponen sistem imun lainnya. Limfosit T adalah limfosit yang berasal dari sel
pluripotensial yang pada embrio terdapat pada yolk sac; kemudian pada hati dan limpa, lalu
pada sumsum tulang. Dalam perkembangannya sel pluripotensial yang akan menjadi limfosit
T memerlukan lingkungan timus untuk menjadi limfosit T matur.

Di dalam timus, sel prekusor limfosit T akan mengekspresikan molekul tertentu pada
permukaan membrannya yang akan menjadi ciri limfosit T. Molekul-molekul pada
permukaan membran ini dinamakan juga petanda permukaan atau surface marker, dan dapat
dideteksi oleh antibodi monoklonal yang oleh WHO diberi nama dengan huruf CD, artinya
cluster of differentiation. Secara garis besar, limfosit T yang meninggalkan timus dan masuk
ke darah perifer (limfosit T matur) terdiri atas limfosit T dengan petanda permukaan molekul
CD4 dan limfosit T dengan petanda permukaan molekul CD8. Sel limfosit CD4 sering juga
dinamakan sel T4 dan sel limfosit CD8 dinamakan sel T8 (bila antibodi monoklonal yang
dipakai adalah keluaran Coulter Elektronics).

Di samping munculnya petanda permukaan, di dalam timus juga terjadi penataan kembali gen
(gene rearrangement) untuk nantinya dapat memproduksi molekul yang merupakan reseptor
antigen dari sel limfosit T (TCR). Jadi pada waktu meninggalkan timus, setiap limfosit T
sudah memperlihatkan reseptor terhadap antigen diri (self antigen) biasanya mengalami
aborsi dalam timus sehingga umumnya limfosit yang keluar dari timus tidak bereaksi
terhadap antigen diri.

Secara fungsional, sel limfosit T dibagi atas limfosit T regulator dan limfosit T efektor.
Limfosit T regulator terdiri atas limfosit T penolong (Th = CD4) yang akan menolong
meningkatkan aktivasi sel imunokompeten lainnya, dan limfosit T penekan (Ts = CD8) yang
akan menekan aktivasi sel imunokompeten lainnya bila antigen mulai tereliminasi.
Sedangkan limfosit T efektor terdiri atas limfosit T sitotoksik (Tc = CD8) yang melisis sel
target, dan limfosit T yang berperan pada hipersensitivitas lambat (Td = CD4) yang merekrut
sel radang ke tempat antigen berada.

Pajanan antigen pada sel T

Umumnya antigen bersifat tergantung pada sel T (TD = T dependent antigen), artinya antigen
akan mengaktifkan sel imunokompeten bila sel ini mendapat bantuan dari sel Th melalui zat
yang dilepaskan oleh sel Th aktif. TD adalah antigen yang kompleks seperti bakteri, virus dan
antigen yang bersifat hapten. Sedangkan antigen yang tidak tergantung pada sel T (TI = T
independent antigen) adalah antigen yang strukturnya sederhana dan berulang-ulang,
biasanya bermolekul besar.

Limfosit Th umumnya baru mengenal antigen bila dipresentasikan bersama molekul produk
MHC (major histocompatibility complex) kelas II yaitu molekul yang antara lain terdapat
pada membran sel makrofag. Setelah diproses oleh makrofag, antigen akan dipresentasikan
bersama molekul kelas II MHC kepada sel Th sehingga terjadi ikatan antara TCR dengan
antigen. Ikatan tersebut terjadi sedemikian rupa dan menimbulkan aktivasi enzim dalam sel
limfosit T sehingga terjadi transformasi blast, proliferasi, dan diferensiasi menjadi sel Th aktif
dan sel Tc memori. Sel Th aktif ini dapat merangsang sel Tc untuk mengenal antigen dan
mengalami transformasi blast, proliferasi, dan diferensiasi menjadi sel Tc memori dan sel Tc
aktif yang melisis sel target yang telah dihuni antigen. Sel Tc akan mengenal antigen pada sel
target bila berasosiasi dengan molekul MHC kelas I (lihat Gambar 3-2). Sel Th aktif juga
dapat merangsang sel Td untuk mengalami transformasi blast, proliferasi, dan diferensiasi
menjadi sel Td memori dan sel Td aktif yang melepaskan limfokin yang dapat merekrut
makrofag ke tempat antigen.

Limfokin

Limfokin akan mengaktifkan makrofag dengan menginduksi pembentukan reseptor Fc dan


C3B pada permukaan makrofag sehingga mempermudah melihat antigen yang telah berikatan
dengan antibodi atau komplemen, dan dengan sendirinya mempermudah fagositosis. Selain
itu limfokin merangsang produksi dan sekresi berbagai enzim serta metabolit oksigen yang
bersifat bakterisid atau sitotoksik terhadap antigen (bakteri, parasit, dan lain-lain) sehingga
meningkatkan daya penghancuran antigen oleh makrofag.

Aktivitas lain untuk eliminasi antigen

Bila antigen belum dapat dilenyapkan maka makrofag dirangsang untuk melepaskan faktor
fibrogenik dan terjadi pembentukan jaringan granuloma serta fibrosis, sehingga penyebaran
dapat dibatasi.

Sel Th aktif juga akan merangsang sel B untuk berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel
plasma yang mensekresi antibodi (lihat bab tentang imunitas humoral). Sebagai hasil akhir
aktivasi ini adalah eliminasi antigen. Selain eliminasi antigen, pemajanan ini juga
menimbulkan sel memori yang kelak bila terpajan lagi dengan antigen serupa akan cepat
berproliferasi dan berdiferensiasi.

Imunitas humoral

Imunitas humoral adalah imunitas yang diperankan oleh sel limfosit B dengan atau tanpa
bantuan sel imunokompeten lainnya. Tugas sel B akan dilaksanakan oleh imunoglobulin yang
disekresi oleh sel plasma. Terdapat lima kelas imunoglobulin yang kita kenal, yaitu IgM, IgG,
IgA, IgD, dan IgE.

Limfosit B juga berasal dari sel pluripotensial yang perkembangannya pada mamalia
dipengaruhi oleh lingkungan bursa fabricius dan pada manusia oleh lingkungan hati, sumsum
tulang dan lingkungan yang dinamakan gut-associated lymphoid tissue (GALT). Dalam
perkembangan ini terjadi penataan kembali gen yang produknya merupakan reseptor antigen
pada permukaan membran. Pada sel B ini reseptor antigen merupakan imunoglobulin
permukaan (surface immunoglobulin). Pada mulanya imunoglobulin permukaan ini adalah
kelas IgM, dan pada perkembangan selanjutnya sel B juga memperlihatkan IgG, IgA dan IgD
pada membrannya dengan bagian F(ab) yang serupa. Perkembangan ini tidak perlu
rangsangan antigen hingga semua sel B matur mempunyai reseptor antigen tertentu.

Pajanan antigen pada sel B


Antigen akan berikatan dengan imunoglobulin permukaan sel B dan dengan bantuan sel Th
(bagi antigen TD) akan terjadi aktivasi enzim dalam sel B sedemikian rupa hingga terjadilah
transformasi blast, proliferasi, dan diferensiasi menjadi sel plasma yang mensekresi antibodi
dan membentuk sel B memori. Selain itu, antigen TI dapat secara langsung mengaktivasi sel
B tanpa bantuan sel Th.

Antibodi yang disekresi dapat menetralkan antigen sehingga infektivitasnya hilang, atau
berikatan dengan antigen sehingga lebih mudah difagosit oleh makrofag dalam proses yang
dinamakan opsonisasi. Kadang fagositosis dapat pula dibantu dengan melibatkan komplemen
yang akan berikatan dengan bagian Fc antibodi sehingga adhesi kompleks antigen-antibodi
pada sel makrofag lebih erat, dan terjadi endositosis serta penghancuran antigen oleh
makrofag. Adhesi kompleks antigen-antibodi komplemen dapat lebih erat karena makrofag
selain mempunyai reseptor Fc juga mempunyai reseptor C3B yang merupakan hasil aktivasi
komplemen.

Selain itu, ikatan antibodi dengan antigen juga mempermudah lisis oleh sel Tc yang
mempunyai reseptor Fc pada permukaannya. Peristiwa ini disebut antibody-dependent
cellular mediated cytotoxicity (ADCC). Lisis antigen dapat pula terjadi karena aktivasi
komplemen. Komplemen berikatan dengan bagian Fc antibodi sehingga terjadi aktivasi
komplemen yang menyebabkan terjadinya lisis antigen.

Hasil akhir aktivasi sel B adalah eliminasi antigen dan pembentukan sel memori yang kelak
bila terpapar lagi dengan antigen serupa akan cepat berproliferasi dan berdiferensiasi. Hal
inilah yang diharapkan pada imunisasi. Walaupun sel plasma yang terbentuk tidak berumur
panjang, kadar antibodi spesifik yang cukup tinggi mencapai kadar protektif dan berlangsung
dalam waktu cukup lama dapat diperoleh dengan vaksinasi tertentu atau infeksi alamiah. Hal
ini disebabkan karena adanya antigen yang tersimpan dalam sel dendrit dalam kelenjar limfe
yang akan dipresentasikan pada sel memori sewaktu-waktu di kemudian hari.

Jumlah normal sel leukosit.

Leukosit adalah sel darah Yang mengendung inti, disebut juga sel darahputih. Didalam darah
manusia, normal didapati jumlah leukosit rata-rata 5000-9000 sel/mm3, bila jumlahnya lebih
dari 12000, keadaan ini disebut leukositosis, bilakurang dari 5000 disebut leukopenia. Dilihat
dalam mikroskop cahaya maka sel darah putih mempunyai granula spesifik (granulosit), yang
dalam keadaan hidup berupa tetesan setengah cair, dalam sitoplasmanya dan mempunyai
bentuk inti yang bervariasi, Yang tidak mempunyai granula, sitoplasmanya homogen dengan
inti bentuk bulat atau bentuk ginjal. Terdapat dua jenis leukosit agranuler : linfosit sel kecil,
sitoplasma sedikit; monosit sel agak besar mengandung sitoplasma lebih banyak. Terdapat
tiga jenis leukosir granuler: Neutrofil, Basofil, dan Asidofil (atau eosinofil) yang dapat
dibedakan dengan afinitas granula terhadap zat warna netral basa dan asam.

Granula dianggap spesifik bila ia secara tetap terdapat dalam jenis leukosit tertentu dan pada
sebagian besar precursor (pra zatnya). Leukosit mempunyai peranan dalam pertahanan seluler
dan humoral organisme terhadap zat-zat asingan. Leukosit dapat melakukan gerakan amuboid
dan melalui proses diapedesis lekosit dapat meninggalkan kapiler dengan menerobos antara
sel-sel endotel dan menembus kedalam jaringan penyambung. Jumlah leukosit per mikroliter
darah, pada orang dewasa normal adalah 4000-11000, waktu lahir 15000-25000, dan
menjelang hari ke empat turun sampai 12000, pada usia 4 tahun sesuai jumlah normal. Variasi
kuantitatif dalam sel-sel darah putih tergantung pada usia. waktu lahir, 4 tahun dan pada usia
14 -15 tahun persentase khas dewasa tercapai. Bila memeriksa variasi Fisiologi dan Patologi
sel-sel darah tidak hanya persentase tetapi juga jumlah absolut masing-masing jenis per unit
volume darah harus diambil.

Neutrofil

Neutrofil berkembang dalam sum-sum tulang dikeluarkan dalam sirkulasi, selsel ini
merupakan 60 -70 % dari leukosit yang beredar. Garis tengah sekitar 12 um, satu inti dan 2-5
lobus. Sitoplasma yang banyak diisi oleh granula-granula spesifik (0;3-0,8um) mendekati
batas resolusi optik, berwarna salmon pinkoleh campuran jenis romanovky. Granul pada
neutrofil ada dua :

Azurofilik yang mengandung enzym lisozom dan peroksidase.

Granul spesifik lebih kecil mengandung fosfatase alkali dan zat-zat bakterisidal (protein
Kationik) yang dinamakan fagositin.

Neutrofil jarang mengandung retikulum endoplasma granuler, sedikit mitokonria, apparatus


Golgi rudimenter dan sedikit granula glikogen. Neutrofil merupakan garis depan pertahanan
seluler terhadap invasi jasad renik, menfagosit partikel kecil dengan aktif. Adanya asam
amino D oksidase dalam granula azurofilik penting dalam penceran dinding sel bakteri yang
mengandung asam amino D. Selama proses fagositosis dibentuk peroksidase. Mielo
peroksidase yang terdapat dalam neutrofil berikatan dengan peroksida dan halida bekerja
pada molekultirosin dinding sel bakteri dan menghancurkannya. Dibawah pengaruh zat
toksik tertentu seperti streptolisin toksin streptokokus membran granula-granula neutrofil
pecah, mengakibatkan proses pembengkakan diikuti oleh aglutulasiorganel- organel dan
destruksi neutrofil. Neotrofil mempunyai metabolisme yang sangat aktif dan mampu
melakukan glikolisis baik secara arrob maupun anaerob. Kemampuan nautropil untuk hidup
dalam lingkungan anaerob sangat menguntungkan, karena mereka dapat membunuh bakteri
dan membantu membersihkan debris pada jaringan nekrotik. Fagositosis oleh neutrfil
merangsang aktivitas heksosa monofosfat shunt, meningkatkan glicogenolisis.

EOSINOFIL

Jumlah eosinofil hanya 1-4 % leukosit darah, mempunyai garis tengah 9um (sedikit lebih
kecil dari neutrofil). Inti biasanya berlobus dua, Retikulum endoplasma mitokonria dan
apparatus Golgi kurang berkembang. Mempunyai granula ovoid yang dengan eosin asidofkik,
granula adalah lisosom yang mengandung fosfatae asam, katepsin, ribonuklase, tapi tidak
mengandung lisosim. Eosinofil mempunyai pergerakan amuboid, dan mampu melakukan
fagositosis, lebih lambat tapi lebih selektif dibanding neutrifil. Eosinofil memfagositosis
komplek antigen dan anti bodi, ini merupakan fungsi eosinofil untuk melakukan fagositosis
selektif terhadap komplek antigen dan antibody. Eosinofil mengandung profibrinolisin,
diduga berperan mempertahankan darah dari pembekuan, khususnya bila keadaan cairnya
diubah oleh proses-proses Patologi. Kortikosteroid akan menimbulkan penurunan jumlah
eosinofil darah dengan cepat.

BASOFIL
Basofil jumlahnya 0-% dari leukosit darah, ukuran garis tengah 12um, inti satu, besar bentuk
pilihan ireguler, umumnya bentuk huruf S, sitoplasma basofil terisi granul yang lebih besar,
dan seringkali granul menutupi inti, granul bentuknya ireguler berwarna metakromatik,
dengan campuran jenis Romanvaki tampak lembayung. Granula basofil metakromatik dan
mensekresi histamin dan heparin, dan keadaan tertentu, basofil merupakan sel utama pada
tempat peradangan ini dinamakan hypersesitivitas kulit basofil. Hal ini menunjukkan basofil
mempunyai hubungan kekebalan.

LIMFOSIT

Limfosit merupakan sel yang sferis, garis tengah 6-8um, 20-30% leukosit darah.Normal, inti
relatifbesar, bulat sedikit cekungan pada satu sisi, kromatin inti padat, anak inti baru terlihat
dengan electron mikroskop. Sitoplasma sedikit sekali, sedikit basofilik, mengandung granula-
granula azurofilik. Yang berwarna ungu dengan Romonovsky mengandung ribosom bebas
dan poliribisom. Klasifikasi lainnya dari limfosit terlihat dengan ditemuinya tanda-tanda
molekuler khusus pada permukaan membran sel-sel tersebut. Beberapa diantaranya
membawa reseptos seperti imunoglobulin yang mengikat antigen spesifik pada membrannya.
Lirnfosit dalam sirkulasi darah normal dapat berukuran 10-12um ukuran yang lebih besar
disebabkan sitoplasmanya yang lebih banyak. Kadang-kadang disebut dengan limfosit
sedang. Sel limfosit besar yang berada dalam kelenjar getah bening dan akan tampak dalam
darah dalam keadaan Patologis, pada sel limfosit besar ini inti vasikuler dengan anak inti
yang jelas. Limfosit-limfosit dapat digolongkan berdasarkan asal, struktur halus, surface
markers yang berkaitan dengan sifat imunologisnya, siklus hidup dan fungsi.

MONOSIT

Merupakan sel leukosit yang besar 3-8% dari jumlah leukosit normal, diameter 9-10 um tapi
pada sediaan darah kering diameter mencapai 20um, atau lebih. Inti biasanya eksentris,
adanya lekukan yang dalam berbentuk tapal kuda. Kromatin kurang padat, susunan lebih
fibriler, ini merupakan sifat tetap momosit Sitoplasma relatif banyak dengan pulasan wrigh
berupa bim abu-abu pada sajian kering. Granula azurofil, merupakan lisosom primer, lebih
banyak tapi lebih kecil. Ditemui retikulim endoplasma sedikit. Juga ribosom, pliribosom
sedikit, banyak mitokondria. Apa ratus Golgi berkembang dengan baik, ditemukan
mikrofilamen dan mikrotubulus pada daerah identasi inti. Monosit ditemui dalam darah,
jaingan penyambung, dan rongga-rongga tubuh. Monosit tergolong fagositik mononuclear
(system retikuloendotel) dan mempunyai tempat-tempat reseptor pada permukaan
membrannya. Untuk imunoglobulin dan komplemen. Monosit beredar melalui aliran darah,
menembus dinding kapiler masuk kedalam jaringan penyambung. DaIam darah beberapa
hari. Dalam jaringan bereaksi dengan limfosit dan memegang peranan penting dalam
pengenalan dan interaksi sel-sel immunocmpetent dengan antigen.

BAB II
RESPON ANTIBODI TERHADAP KANKER DAN VIRUS POLIO

Respon antibodi terhadap tumor.

Tumor ganas/kanker adalah jenis penyakit yang sangat berbahaya, karena dapat
menyebabkan kematian bagi penderitanya. Sehingga identifikasi prilaku pertumbuhan tumor
yang imunogenik (dapat menstimulasi respon imun) adalah penting dan perlu dilakukan,
terutama untuk tujuan imunoterapi. Melalui simulasi dengan metode Runge Kutta Gill
dapatlah dianalisis pertumbuhan tumor tersebut. Sistem imun CMI (cell-mediated-immunity)
tubuh manusia dapat menghambat dan mengontrol pertumbuhan tumor secara efektif untuk
tumor yang masih berada dalam stadium praklinik ( tumor 1cm = 109 sel ) dalam bentuk
immunologic-surveillance. Berdasarkan hasil simulasi diperoleh bahwa respon model sistem
CMI yang dilakukan oleh sel-sel efektor imun Tc, NK dan Ma terhadap tumor padat (dengan
asumsi tumor tumbuh mulai dari l sel hingga mencapai ukuran maksimum 3.10 ) yang
tumbuh secara Gompertz akan dapat menghambat pertumbuhan tumor, tetapi tidak dapat
memperkecil ukuran tumor tersebut. Simulasi model respon CMI dalam interval waktu 20
hari pertama, menunjukkan bahwa pertumbuhan tumor mulai konstan ( 1,94.105 sel) pada
hari yang ke delapan. Sedangkan model sistem CMI + ADCC (cell mediated immunity +
antibody dependent cell mediated cytotoxicity) sebagai pengembangan dari model sistem
CMI, dapat memberikan hasil simulasi yang lebih baik, di mana selain pertumbuhan tumor
mulai konstan pada hari yang ke delapan sampai dengan hari yang ke sepuluh ( 2,75.103
sel) juga pertumbuhan tumor tersebut menjadi menurun eksponensial sampai mencapai
ukuran 1,6.103 sel tumor pada hari yang ke lima belas, setelah itu tumor tidak tumbuh lagi
(konstan).

Makrofag telah mengidentifikasikan sel kanker. Ketika melampaui batas menyatukan dengan
sel kanker, makrofag (sel putih yang lebih kecil) akan menyuntkan toksin yang akan
membunuh sel tumo

Respon Imun Terhadap Infeksi Virus Polio


Respon imun/kekebalan alami memegang peranan penting dalam penentuan trofisme jaringan
dan patogenitas virus polio. Pada tikus transgenik CD155, jaringan non syaraf yang tidak
menjadi target replikasi untuk virus polio menunjukkan peningkatan aktivitas gen yang
distimulasi oleh interferon dan respon interferonnya lebih cepat dibandingkan jaringan syaraf.
Hal ini menimbulkan dugaan adanya peran penting interferon dalam melindungi jaringan non
syaraf tersebut. Ketika tikus transgenik CD155 tersebut di-knock out interferon alfa-beta-nya,
titer virus polio di jaringan non syaraf meningkat dan terjadi peningkatan frekuensi paralisis
dibandingkan dengan tikus transgenik CD155 liar . Respon sistem kekebalan humoral
berperan penting dalam perlindungan dan kekebalan jangka panjang. Antibodi yang
dihasilkan setelah infeksi polio virus liar, atau setelah vaksinasi dengan vaksin polio oral
(OPV/oral poliovirus vaccine. Ada yang menyebutnya vaksin polio hidup) atau IPV
(inactivated polio vaccine, atau ada yang menyebutnya vaksin polio mati) dapat mencegah
terjadinya poliomielitis karena mencegah terjadinya viremia, sehingga mencegah infeksi pada
sistem syaraf pusat. Dibandingkan IPV, infeksi virus polio liar atau vaksin polio oral akan
menghasilkan produksi IgG sirkulasi yang lebih banyak dan juga sekresi IgA di usus halus.
Akibatnya dosis yang dibutuhkan oleh virus polio untuk melakukan re-infeksi akan
mengalami peningkatan. Selain itu, jika terjadi re-infeksi, jumlah dan durasi pengeluaran
virus polio di tinja akan menurun. Jumlah dan durasi pengeluaran virus polio di tinja ini
berperan besar dalam proses penyebaran virus polio. Makin banyak dan makin lama virus
polio dikeluarkan via tinja oleh si penderita, maka resiko penyebarannya akan semakin besar.

Selain respon sistem kekebalan humoral, sistem kekebalan seluler mungkin juga berperan
besar dalam menghadapi infeksi virus polio. Secara teoritik, sel T CD4+ membantu sel B
dalam respon kekebalan humoral. Sel T sitolitik mungkin mempunyai peranan dalam proses
pembersihan virus secara langsung dengan cara melisiskan seln yang terinfeksi virus. Sel T
gamma atau delta dan sel NK (yang merupakan bagian dari respon kekebalan alami) mungkin
berperan dalam respon kekebalan adaptif sel T. Meskipun begitu, bagaimana sebenarnya
mekanisme sistem kekebalan seluler dalam menghadapi infeksi virus polio masih belum jelas

BAB III

REGULASI RESPONS IMUN

Setelah antigen dapat dieliminasi, maka agar tidak terjadi aktivasi sistem imun yang tak
terkendali, maka diperlukan adanya regulasi respons imun. Ada 3 macam mekanisme tubuh
untuk meregulasi respons imun yang sudah terjadi.

Regulasi oleh antibodi yang terbentuk

Antibodi yang terbentuk akibat paparan antigen dapat mempengaruhi produksi antibodi
selanjutnya. Pada waktu kadar antibodi masih rendah, yaitu pada waktu tahap respons
permulaan, antibodi yang terbentuk akan merangsang sel B yang mempunyai kapasitas
memproduksi antibodi dengan afinitas tinggi. Jadi antibodi yang baru terbentuk merupakan
faktor penting untuk mendorong proses maturasi afinitas. Hal ini terjadi karena antibodi yang
terbentuk akan berkompetisi dengan reseptor antigen pada sel B untuk mengikat antigen,
sehingga yang terangsang adalah sel B yang mempunyai daya ikat tinggi terhadap antigen
atau berafinitas tinggi, karena itu antibodi yang dihasilkan juga berafinitas tinggi.

Adanya efek antibodi seperti tersebut dipengaruhi oleh tipe isotip antibodi. Umumnya IgM
mempunyai tendensi untuk meningkatkan produksi antibodi, tetapi IgG lebih sering bersifat
supresif. Di samping itu, pada tahap respons permulaan, pada saat rasio antigen masih lebih
besar daripada antibodi, maka adanya antibodi akan mempermudah kompleks Ag-Ab
terfiksasi pada sel makrofag melalui reseptor Fc, hingga dapat dipresentasikan pada sel Th
yang kemudian merangsang sel B membentuk antibodi. Jadi pada permulaan terjadi
peningkatan jumlah maupun afinitas antibodi. Tetapi bila antibodi sudah ada dalam
konsentrasi tinggi, yaitu setelah mencapai jumlah cukup untuk menetralkan antigen yang ada,
antibodi akan merupakan umpan balik negatif agar tidak terbentuk antibodi yang sama lebih
lanjut. Hal ini terjadi karena dengan terikatnya bagian F(ab)2 antibodi pada epitop antigen
maka reseptor antigen pada sel B tidak akan terangsang lagi oleh epitop antigen tersebut,
sehingga tidak terjadi aktivasi dan priming sel B terhambat (lihat Gambar 3-3).

Di samping itu, antibodi yang bertambah dapat pula merupakan umpan balik negatif melalui
bagian Fc-nya. Sel B selain mempunyai reseptor antigen juga mempunyai reseptor Fc.
Dengan terikatnya antibodi pada reseptor Fc sel B, maka epitop antigen yang terikat pada
reseptor antigen pada sel B tidak dapat mengadakan bridging oleh karena adanya gabungan
silang antara reseptor antigen dan reseptor Fc, sehingga tidak terjadi aktivasi sel B (lihat
Gambar 3-4). Tidak adanya bridging antara suatu reseptor antigen dengan reseptor antigen
lainnya pada sel B mengakibatkan tidak terjadinya aktivasi enzim, sehingga sel B tidak
terangsang untuk mengalami transformasi blast, berproliferasi dan berdiferensiasi, dan
akibatnya pembentukan antibodi makin lama makin berkurang.

Regulasi idiotip spesifik

Akibat stimulasi antigen terhadap sel B akan terbentuk antibodi yang makin lama makin
bertambah. Pada kadar tertentu, idiotip dari antibodi tersebut akan bertindak sebagai stimulus
imunogenik yang mengakibatkan terbentuknya anti-idiotip. Dasar reaksi ini sebenarnya
belum jelas karena merupakan kontradiksi dari self tolerance. Tetapi fakta memang
membuktikan adanya limfosit yang dapat mengenal dan bereaksi dengan idiotip antibodi,
karena ada limfosit yang mempunyai reseptor untuk idiotip ini. Anti-idiotip yang terbentuk
juga mempunyai idiotip hingga akan merangsang terbentuknya anti-idiotip, dan seterusnya.

Pada binatang adanya anti-idiotip ini terlihat pada waktu fase respons imun mulai menurun.
Anti-idiotip yang terbentuk dengan sendirinya mirip antigen asal, karena itu dinamakan
internal image dari antigen asal. Tetapi adanya antibodi anti-idiotip ini pada respons imun
yang normal tidak akan merangsang kembali terjadinya antibodi terhadap antigen asal.
Terbentuknya anti-idiotip berturut-turut mengakibatkan jumlah antibodi makin lama makin
berkurang. Dapat dipersamakan seperti batu yang jatuh ke dalam ir dan menimbulkan
gelembung air yang makin lama makin menghilang. Regulasi melalui pembentukan anti-
idiotip adalah regulasi untuk menurunkan respons imun (down regulation) yang dikenal
sebagai jaringan imunoregulator dari Jerne (1974).

Regulasi oleh sel T supresor (Ts)

Dalam tubuh kita terdapat limfosit yang dapat meregulasi limfosit lainnya untuk
meningkatkan fungsinya yang dinamakan sel T helper (Th = CD4). Selain itu terdapat juga
limfosit yang menekan respons imun yang terjadi secara spesifik yang dinamakan sel T
supresor (Ts = CD8). Sel Ts dapat juga diaktifkan pada respons imun normal dengan tujuan
mencegah respons imun yang tak terkendali. Bagaimana cara sel Ts melakukan tugasnya
belumlah jelas, tetapi secara in vitro dapat diketahui bahwa pada aktivasi sel Ts akan
dilepaskan faktor spesifik yang akan menekan respons imun yang sedang berlangsung.

Sel Ts dapat diaktifkan melalui tiga cara, yaitu 1) oleh antigen yang merangsang respons
imun itu sendiri. Antigen merangsang CD4 yang 2H4+ 4B4- untuk mengeluarkan faktor
supresi antigen spesifik yang akan merangsang sel Ts untuk menekan sel efektor, 2) oleh
antigen yang mengadakan bridging antara sel Ts dengan sel limfosit lainnya, seperti sel B dan
sel Th, sehingga Ts menekan aktivasi sel B dan sel Th, 3) oleh sel B atau sel Th yang
mempunyai reseptor idiotip dari idiotip sel Ts, sehingga sel Ts menekan aktivasi sel B dan sel
Th.

PERKEMBANGAN LIMFOSlT DALAM PROSES IMMUN

Seperti kita ketahui bahwa limfosit yang bersikulasi terutama berasal dari timus dan organ
limfoid perifer, limpa, limfonodus, tonsil dan sebagainya. Akan tetapi mungkin semua sel
pregenitor limfosit berasal dari sum-sum tulang, beberapa diantara limfositnya yang secara
relatif tidak mengalami diferensiasi ini bermigrasi ke timus, lalu memperbanyak diri, disini
sel limfosit ini memperoleh sifat limfosit T, kemudian dapat masuk kembali kedalam aliran
darah, kembali kedalam sum-sum tulang atau ke organ limfoid perifer dan dapat hidup
beberapa bulan atau tahun. Sel-sel T bertanggung jawab terhadap reaksi immune seluler dan
mempunyai reseptor permukaan yang spesifik untuk mengenal antigen asing. Limfosit lain
tetap diam disum-sum tulang berdiferensiasi menjadi limfosit B berdiam dan
berkemban.didalam kompertemenya sendiri. Sel B bertugas untuk memproduksi antibody
humoral antibody response yang beredar dalam peredaran darah dan mengikat secara khusus
dengan antigen asing yang menyebabkan antigen asing tersalutantibody, kompleks ini
mempertinggi fagositosis, lisis sel dan sel pembunuh (killer sel atau sel K) dari organisme
yang menyerang. Sel T dan sel B secara marfologis hanya dapat dibedakan ketika diaktifkan
oleh antigen. Tahap akhir dari diferensiasi sel-sel B yang diaktifkan berwujud sebagai sel
plasma. Sel plasma mempunyai retikulum endoplasma kasar yang luas yang penuh dengan
molekul-molekul antibody, sel T yang diaktifkan mempunyai sedikit endoplasma yang kasar
tapi penuh dengan ribosom bebas.

Terjadinya respon imun dari tubuh.

Kepekaan tubuh terhadap benda asing (antigen 0 akan menimbulkan reaksi tubuh yang
dikenal sebagai Respon imun Respon imun ini mempunyai dampak positif terhadap, tubuh
yaitu dengan timbulnya suatu proses imunisasi kekebalan tubuh terhadap antigen tersebut,
dan dampak negatifnya berupa reaksi hypersensitifitas. Hypersensitifitas merupakan reaksi
yang berlebihan dari tubuh terhadap antigen dimana akan mengganggu fungsi sistem imun
yang menimbulkan efek protektif yaitumerusak jaringan. Proses kerusakan yang paling cepat
terjadi berupa degranulasi sel dan derifatnya (antara lain sel basofil, set Mast dan sel plasma)
yang melepaskan mediator-mediatonya yaitu histamin, serotonin, bradikinin, SRS=A,
lekotrin Eusinohil chemotactic Factor (ECF) dan sebagainya. Reaksi tubuh terhadap
pelepasan mediator ini menimbulkan penyakit berupa asthma bronchial, rhinitis aIergika,
urtikaria, diaree dan bisa menimbulkan shock. Secara lambat akan terjadi reaksi kerusakan
jaringan berupa sitolisis dari sel-sel darah merah sitotokis terhadap organ tubuh seperti ginjal
(glomeruloneftitis), serum siknesdermatitis kontak, reaksi tuberculin dan sebagainya,
rheumatoid arthritis. coom dan gell membagi 4 jenis sesitifitas, dimana dapat dilihat apa yang
terjadi pada sel-sel leukosit. Pada type I (padareaksi anafilaktik) terjadi antigen bergabung
dengan IgE (imunoglobin tipe E-antibodies tipe E) yang terikat pada mast sel -sel basofil dan
sel plasma. Reaksi terhadap tubuh terjadi dalam beberapa menit.

Pada type II (pada reaksi sititoksik) dimana antigen mengikat diri pada membran sel, yang
pada penggabungan anti gen mengikat IgG atau IgM yang bebas dalam cairan tubuh akan
menghancurkan sel yang mengikat anti gen tersebut. Reaksi ini terdapat pada tranfusi darah,
anemia hemolitika.

Pada Type III ( reaksi artrhus ) merupakan reaksi anti gen dan antibody komplek dimana gen
bergabung dengan IgG atau IgM menjadi suatu komplek, yang

mengikat diri antara lain sel-sel ginjal, paru-paru dan sendi. Terjadilah aktifitas dari
komplemen (komplemen protein dalam darah) dan pelepasan zat-toksis. Ditemui pada
glomerulo nephritis, serum scness, rheumatk arthritis.

Type IV ( delayed ), antigen merupakan sel protein atau sel asing yang bereaksi dengan
limfosit, limfosit melepaskan mediator aktif yaitu limfokin, terjadi reaksi pada kulit, reaksi
pada tranplantasi, reaksi tuberculin dan dermatitis kontak.

BAB IV
IMONOPATOGENESIS.

Pada Imunopatologi menjelaskan bahwa reaksi alergi diawali dengan tahap sensit, kemudian
diikuti reaksi ale yang terlepas dari sel-sel mast (mastosit) dan atau sel basofil yang berkontak
ulang dengan allergen spesifiknya (IS hizaka, Tomiko dan Ishizaka 1971). Saat ini lebih jelas
terutama pada rhinitis alergika diketahui terdiri dari dua fase (Kaliner 1987, Lichtensin 1988,
pertama reaksi alergi fase cepat (RAFC,immediet phas-allergic reaction), berlangsung sampai
satu jam setelah berkontak alergan kedua, reaksi alergis fase lambat (RAFL, Late phase
allergic reaction) yang berlangsung sampai 24 jam bahkan sampai 48 jam kemudian, dengan
puncak reaksi pada 4 8 jam pertama.

1. Tahap Sensitasi

Pada awal reaksi alergis sebenarnya dimulai dengan respon pengenalan alergan/antigen oleh
sel darah putih yang dinamai sel makrofag, monosit (Brown dkk, 1991) dan atau sel denritik
(Mc William, 1996) Sel-sel tersebut berperan sebagai sel penyaji (antigen presenting cells, sel
APC) dan berada dimukosa (dalam dimukosa hidung), antigen/allergen yang menempel pada
permukaan mukosa ditangkap oleh sel APC, setelah melalui proses internal dalam sel APC,
dari malergen tersebut terbentuk fragmen pendek peptida imunogenik, Frakmen ini
bergabung dengan molekul HLA = kelas II @B heterodimer dalam endoplasmic reticullum
sel APC. Penggabungan yang terjadi akan membentuk komplek peptide-MHC-class II
(mayor histocompatibility comlolex class II) yang kemudian dipresentasikan dipermukaan sel
APC; kepada salah satu limfosit T yaitu Holper-T cell (klon T-CD4 +, dimana Tho), jika
selanjutnya tho ini memiliki molekul reseptor spesifik terhadap molekul komplek peptide
MHC-II maka akan terjadi penggabungan kedua molekul tersebut. Akibat selanjutnya sel
APC akan melepas sitokin Salah satunya Interkulin I (IL-I),sitokin akan mempengaruhi
limfosit jenis T-CD4 + (Tho) yang jika sinyal kostimulator (pro-inflamotori second Signal)
induksinya cukup memadai, maka akan terjadi aktivasi dan proliferasi sel Tho menjadi Th2
dan Th1; sel ini akan memproduksi sitokin yang mempunyai spectrum luas sebagai
molekulimunoregulator, antara lain interleukin-3 (IL-3), IL-4, IL-5 dan IL-13. Sitokin IL-4
dan IL-13 akan ditangkap resepiornya pada permukaan limfisit B istirahat (resting B sel),
sehingga terjadi aktivasi limfosit B. Limfosit B ini memproduksi imunoglobulin E (IgE),
sedangkan IL-13 dapat berperan sendiri dalam keadaan IL-4 rendah (Naclerio dkk, 1985,
Geha, 1988), sehingga molekul IgE akan melimpah dan berada di mukosa atau peredaran
darah.

2. Reaksi Alergis

Molekul IgE yang beredar dalam sirkulasi darah akan memasuki jaringan dan akan ditangkap
oleh reseptor IgE yang berada pada permukaan sel metacromatik (mastosit atau sel basofil),
sel ini menjadi aktif. Apabila dua light chain IgE berkonta dengan allergen spesifiknya maka
akan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit/basofil dan akibainya terlepas
mediator-mediator alergis. Reaksi alergis yang segera terjadi akibat histamin tersebut
dinamakan reaksi alergi fase cepat (RAFC )yang mencapai puncaknya pada 15-20 menit pada
paparan alergen dan berakhir pada sekitar 60 menit kemudian. Sepanjang RAFC mastosit
juga melepaskan molekul-molekul kemotaktik (penarik sel darah putih ke organ sasaran).
Reaksi alergis fase cepat dapat berlanjut terus sebagai reaksi alergi fase lambat (RAFL)
sampai 24 bahkan 48 jam kemudian (Kaliner 1987. Lichtenstein 1988). Tanda khas RAFL
adalah terlihatnya pertambahan jenis dan jumlah sel-sel inflamasi yang berakumulasi
(berkumpul) di jaringan sasaran. Sepanjang RAFL (creticos 1998) sel eosiinofil aktif akan
melepas berbagai mediator, antara lain basic protein, leukotriens cytokines, Sedangkan
basofil akan melepas histamin, leukotriens dan cytokines.

Disamping itu berbagai sel mononuclear akan melepas histamin releasing factors (HRFs)
Yang akan memacu mastosit dan basofil dan melepas histamin lebih banyak lagi. Sepanjang
reaksi alergi fase cepat (RAFC) dan reaksi alergi fase lambat (RAFL) sel-sel inflamasi
dilepaskan sebagai prodak protein yang merupakan hasil

kenerja DNA sel-sel inflamasi tersebut yang dapat dibagi dalam tiga jenis, Gran dkk
1991;Bocher dkk; Coffman 1994 schleimer dkk 199. Durham and Till 1998 Greticos 1998;
Nel dkk 1998. Mediator-mediator mastosit / basofil dan eosinofil, histamin, prostaglandin,
Leukotrien, ECFA,(eosinofi chemotactic factorof anaphylactic) NCFA (Neutrophil
chematactic factor of anaphylactic), dan kinin. Mediator yang berasal dari sel eosinofil.
PAF,LTB4,C5a kemoaktraktan. LTC4 PAF, ECP;. Molekul-molekul sitokin
inductor/stimulator/aktivalator RIA yang terdiri atas, IL-44 dan IL-33 yang mempengaruhi
limfosit B dalam memproduksi IgE. IL-3 dan IL-4 mempengaruhi basofil memproduksi
histamin. LTs dan sitokin-sitokin. IL-3 dan IL-5 mempengaruhi sel eosinofil dalam
memproduksi protein-protein basa LTs dan sitokin. HRFs yang mempengaruhi mastosit dan
basofil melepas histamin lebih banyak lagi. IL-4 mempengaruhi epitel, IL-13 mempengaruhii
endotel dalam memproduksi VCAM (Vascular cell adhesion molecule). Molekul-molekul
activator/survival sel eosinofil, GM=CSF dan IL-3 IL-3 dan IL-5 (inerleukin-3 dan
interleukin-5) Fibronektin Molekul sitokin kemoaktraktan bagi sel eosinofil. IL-5 IL-
3.GM=CSF,IL-8 Lain-lain Interaksi EOS aktif dan epitel mukosa hidung membentuk IL-8,
RNTES dan GGM=CSF. Molekul-molekul protein utama produk sel-sel inflamasi, sel
endotel dan mukosa yang berperan langsung menimbulkan alergi adalah antara lain; histamin,
leukotrien, prostak landing, kinin, platelet e activating factor (PAF), sitokin dan kimokin.
Histamin, dapat menggunakan H2 reseptor-mediated-antiinflmnatoriyactivity meliputi
inhibisi penglepasan enzin lisosomal neutrfil, inhibisi pelepasan histamin dari leukosit
perifer, dan aktivasi suppressor T-lymllocytes ( Metcalfe et al, 1981, cit White 1999).
Histamin menggunakan efeknya pada berbagai sel seperti sel oto polos, neuron, sel-sel
kelenjar (endokrin dan Eksokrin, sel-sel darah, dan sel-sel sistem imun (pearce 1991, cit
White 1999), Histamin merupakan vasodilator, konstruktor otot polos, stimulsn pennabilitas
vaskuler yang kuat, stimulan sekresi kelenjar mukosa saluran nafas dansekresi kelenjar
lambung. (White 1999). Leukotrien diproduksi oleh berbagai sel inflanlasi seperti mastosit
basofil, eosinofil, neutrofil dan monosit. Prostaglandin, berasal dari pecahan arachodonic acid
membran sel yang paling banyak diproduksi oleh mastosit paru-paru PGD2 (White 1999).
Seperti kita ketahui bahwa efek biologis dari prostaglandin adalah, memodulasi kontraksi otot
polos, penurunan permeabbilitas vaskuler, rasa gatal dan nyeri, dan agregasi serta degranulasi
platelet.(trombosit). Kinin merupakan hormon peptida yang kuat terbentuk de novo dalam
cairan tubuh dan jaringan sepanjang inflamasi. Tiga jenis-jenis kinin yang penting dalam
tubuh adalah bredykinin, kallilidin (Iysbradykinin) dan met-lys bradykinin. Pada reaksi
inflamasi alergi dalam hidung kinin sangat banyak ditemukan. Platelet activating factor (PAF)
merupakan sebuah ether-linked phospholipid. PAF diproduksi oleh mastosit, macrofag dan
eosinofil.

Aktifitas biologisnya meliputi pletelet aktivasi neutrofil,dan kontraksi otot palos, PAF juga
merangsang akumulasi eosinofil ke permukaan endothelium yang merupakan langkah awal
pengerahan eosinofil kedalam jaringan. PAF memacu eosinofil untuk melepas berbagai
protein basa yang menyebabkan peningkatan kerusakan mukosa (terutama oleh MBP) dan
menyebabkan peningkatan ekspresi low-affiniti IgE reseptors pada eosinofil dan monosit.
PAF banyak dibentuk oleh sel eosinofil yang dapat menarik sel eosinofil lainya memasuki
jaringan.

Sitikin (cytokine) memainkan peran yang penting sepanjang reaksi alergi fase lambat,
mastosit adalah sumber dari sitokin multifungsi ( Bradding et al 1996) cit White 1999 antara
lain:

1. Aktifitas sel-sel inflasi (makrofag, selT, sel B dan eosinofil) diatur oleh IL=1, IL-4, IL-5,
IL-6, TNF- dan GM=CSF.

2. Pertumbuhan dan proliferasi sel B, dan pertumbuhan sel-T-helfer ditingkatkan oleh IL-1.

3. IL-2 memacu proliferasi limfosit T dan aktivasi Limfosit B

4. IL- menyebabkan diferensiasi limfosit B menjadi IgE sekresing plasmasel dan bersama
TNF-@ meninkatkan pengaturan ekpresi high-dan low affinity IgE reseptor pada sel-sel
APC.

5. IL-5 menyebabkan aktivasi limfosit B, diferensiasi dan pemanjangan umur eosinofil.

Leukosit dan turunannya merupakan sel dan struktur dalam tubuh manusia yang
didistribusikan keseluruh tubuh dengan fungsi utamanya melindungi organismo terhadap
invasi dan pengrusakan oleh mikro organisme dan benda asing lainnya. Sel-sel limfosit ini,
mempunyai kemampuan untuk membedakan dirinya sendiri (makromolekuler organisme
sendiri) dari yang bukan diri sendiri (benda asing) dan mengatur penghancuran dan inaktivasi
dari benda asing yang mungkin merupakan molekul yang terisolasi atau bagian dari mikro
organisme Semua leukosit berasal dari sum-sum tulang. kemudian mengalami kematangan
pada organ limfoid lainnya.

KELAINAN SISTEM IMUN: ALERGI

Alergi, kadang disebut hipersensitivitas, disebabkan respon imun terhadap antigen. Antigen
yang memicu alergi disebut allergen. Reaksi alregi terbagi atas 2 jenus yaitu:reaksi alergi
langsung dan reaksi alergi tertunda. Reaksi alergi langsung disebabkan mekanisme imunitas
humoral. Reaksi ini disebabkan oleh prosuksi antibodi IgE berlebihan saat seseorang terkena
antigen. Antibodi IgE tertempel pada sel Mast,leukosit yang memiliki senyawa histamin. Sel
mAst banyak terdapat pada paru-paru sehingga saat antibodi IgE menempel pada sel Mast,
Histamin dikeluarkan dan menyebabkan bersin-bersin dan mata berair. Reaksi alergi tertunda
disebabkan oleh perantara sel. Contoh yang ekstrim adalah saat makrofag tidak dapat
menelan antigen atau menghancurkannya. Akhirnya Limfosit T segera memicu
pembengkakan pada jaringan.

KELAINAN SISTEM IMUN: PENOLAKAN ORGAN TRANSPLANTASI

Sistem imun menyerang sesuatu yang dianggap asing di dalam tubuh individu normal, yang
diserang adalah organ transplantasi. Saat organ ditransplantasikan, MHC organ donor
dikenali sebagai senyawa sing dan kemudian diserang. Untuk mengatasi hal ini, ilmuwan
mencari donor transplantasi yang MHC punya banyak kesamaan dengan milik si resipien.
Resipien organ tranplantasi juga diberi obat untuk menekan sistem imun mereka dan
menghindarkan penolakan dari organ transplantasi.
Jika organ tranplantasi mengandung Limfosit T yang berbeda jenisnya dengan Limfosit T
milik donor seperti pada cangkok sumsum tulang, Limfosit T dari organ tranplantasi ini bisa
saja menyerang organ dan jaringan donor. Unutk mengatasi hal ini, ilmuwan meminimalisir
reaksi graft versus host(GVH) dengan cara menghilangkan semua Limfosit T dewasa
sebelum dilakukan tranplantasi.

KELAINAN SITEM IMUN: DEFISIENSI IMUN

Salah satu penyakit defisiensi sistem imun yaitu AIDS(Acquired Immune deficiency
Syndrome) yang disebabkan oleh HIV(Human Immunodeficiency Virus). HIV menyerang
Limfosit T pembantu karena Limfosit T pembantu mengatur jalannya kontrol sistem imun.
Dengan diserangkan Limfosit T pembantu, maka pertahanan tubuh akan menjadi lemah.
Defisiensi sistem imun dapata terjadi karena radiasi yang menyebabkan turunnya produksi
limfosit. Sindrom DiGeorge adalah kelainan sistem imun yang disebabkan karena penderita
tidak punya timus dan tidak dapat memproduksi Limfosit T dewasa. Orang dengan kelainan
ini hanya bisa mengandalkan imunitas humoralnya secara terbatas dan imunitas diperantarai
selnya sangat terbatas. Contoh ekstrim penyakit defisiensi sistem imun yang diturunkan
secara genetika adalah Severe Combined Immuno Deficiency(SCIED). Penderita SCID tidak
punya Limfosit B dan T maka ia harus diisolasi dari lingkungan luar dan hidup dengan betul-
betul steril karena mereka bisa saja mati disebabkan oleh infeksi.

KELAINAN SISTEM IMUN: PENYAKIT AUTOIMUN

Autoimunitas adalah respon imun tubuh yang berbalik menyerang organ dan jaringan sendiri.
Autoimunitas bisa terjadi pada respon imun humoral atau imunitas diperantarai sel. Sebagai
contoh, penyakit diabetes tipe 1 terjadi karena tubuh membuat antibodi yang menghancurkan
insulin sehingga tubuh penderita tidak bisa membuat gula. Pada myasthenia gravis, sistem
imun membuat antibodi yang menyerang jaringan normal seperti neuromuscular dan
menyebabkan paralisis dan lemah. Pada demam rheumatik, antibodi menyerang jantung dan
bisa menyebabkan kerusakan jantung permanen. Pada Lupus Erythematosus sistemik, biasa
disebut lupus, antibodi menyerang bebeagai jaringan yang berbeda, menyebabkan gejalan
yang menyebar.

Daftar pustaka

Baratawijaya, karnen,.1996. Immunologi Dasar. Jakarta : gaya baru .

Goodman JW. The Immune Response. In: Stites DP, Terr AI eds. Basic and Clinical
Immunology, 8 ed. Connecticut: Prentice Hall Int. Inc, 1994: 40-9

Anda mungkin juga menyukai