Anda di halaman 1dari 7

LAPORAN PENDAHULUAN PADA AN.

A DENGAN FRAKTUR
DI RUANG IGD RSUD PROF.DR.MARGONO SOEKARJO
PURWOKERTO

Di Susun oleh
Andika Susetyo K.P

PROGRAM PROFESI NERS


STIKES HARAPAN BANGSA PURWOKWERTO
2017
A. DEFINISI
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan
atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Sjamsuhidayat, 2005).
Fraktur adalah setiap retak atau patah pada tulang yang utuh. Kebanyakan
fraktur disebabkan oleh trauma dimana terdapat tekanan yang berlebihan pada tulang,
baik berupa trauma langsung dan trauma tidak langsung (Sjamsuhidajat & Jong,
2005).
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang atau
tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Mansjoer, 2007).

B. ETIOLOGI
1. Trauma langsung/ direct trauma
Yaitu apabila fraktur terjadi di tempat dimana bagian tersebut mendapat ruda
paksa (misalnya benturan, pukulan yang mengakibatkan patah tulang).
2. Trauma yang tak langsung/ indirect trauma
Misalnya penderita jatuh dengan lengan dalam keadaan ekstensi dapat terjadi
fraktur pada pegelangan tangan.
3. Trauma ringan pun dapat menyebabkan terjadinya fraktur bila tulang itu sendiri
rapuh/ ada resiko terjadinya penyakit yang mendasari dan hal ini disebut dengan
fraktur patologis.
4. Kekerasan akibat tarikan otot
Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi.Kekuatan dapat berupa
pemuntiran, penekukan, penekukan dan penekanan, kombinasi dari ketiganya, dan
penarikan.

C. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinik dari faktur ,menurut Brunner and Suddarth,(2002:2358)
1. Nyeri terus-menerus dan bertambah beratnya sampai tulang diimobilisasi. Spasme
otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai almiah yang di rancang utuk
meminimalkan gerakan antar fregmen tulang
2. Setelah terjadi faraktur, bagian-bagian tidak dapat di gunakan dan cenderung
bergerak secara alamiah (gerak luar biasa) bukanya tetap rigid seperti normalnya.
Pergeseran fragmen tulang pada fraktur lengan dan tungkai menyebabkan
deformitas (terlihat maupun teraba) ekstermitas yang bisa diketahui
membandingkan ekstermitas yang normal dengan ekstermitas yang tidak dapat
berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot bergantung pada integritas tulang
tempat melekatnya otot.
3. Pada fraktur panjang terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi
otot yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur. Fragmen sering saling
melingkupi satu samalain sampai 2,5-5 cm (1-2 inchi)
4. Saat ekstermitas diperiksa dengan tangan teraba adanya derik tulang dinamakan
krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya (uji
krepitus dapat mengaibatkan kerusakan jaringan lunak yang lebih berat).
5. Pembengkakan dan perubahan warna lokal terjadi sebagai akibat trauma dari
pendarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini baru bisa terjadi setelah beberapa
jam atau hari setelah cidera.
D. PATOFISIOLOGI
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya pegas
untuk menahan. Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang
dapat diserap tulang, maka terjadilah trauma pada tulang yang mengakibatkan
rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang. Setelah terjadi fraktur, periosteum dan
pembuluh darah serta saraf dalam korteks, marrow, dan jaringan lunak yang
membungkus tulang rusak. Perdarahan terjadi karena kerusakan tersebut dan
terbentuklah hematoma di rongga medula tulang. Jaringan tulang segera berdekatan
ke bagian tulang yang patah. Jaringan yang mengalami nekrosis ini menstimulasi
terjadinya respon inflamasi yang ditandai dengan vasodilatasi, eksudasi plasma dan
leukosit, dan infiltrasi sel darah putih. Kejadian inilah yang merupakan dasar dari
proses penyembuhan tulang nantinya
Faktor-faktor yang mempengaruhi fraktur
1. Faktor Ekstrinsik
Adanya tekanan dari luar yang bereaksi pada tulang yang tergantung terhadap
besar, waktu, dan arah tekanan yang dapat menyebabkan fraktur.
2. Faktor Intrinsik
Beberapa sifat yang terpenting dari tulang yang menentukan daya tahan untuk
timbulnya fraktur seperti kapasitas absorbsi dari tekanan, elastisitas, kelelahan,
dan kepadatan atau kekerasan tulang.

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. X.Ray dilakukan untuk melihat bentuk patahan atau keadaan tulang yang cedera.
2. Bone scans, Tomogram, atau MRI Scans
3. Arteriogram : dilakukan bila ada kerusakan vaskuler.
4. CCT kalau banyak kerusakan otot.
5. Pemeriksaan Darah Lengkap
Lekosit turun/meningkat, Eritrosit dan Albumin turun, Hb, hematokrit sering
rendah akibat perdarahan, Laju Endap Darah (LED) meningkat bila kerusakan
jaringan lunak sangat luas, Pada masa penyembuhan Ca meningkat di dalam
darah, traumaa otot meningkatkan beban kreatinin untuk ginjal. Profil koagulasi:
perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, transfusi multiple, atau cederah
hati.

F. PATWAYS
G. PENATALAKSANAAN MEDIS
1. Pengobatan dan Terapi Medis
a. Pemberian anti obat antiinflamasi.
b. Obat-obatan narkose mungkin diperlukan setelah fase akut
c. Obat-obat relaksan untuk mengatasi spasme otot
d. Bedrest, Fisioterapi
2. Konservatif
Pembedahan dapat mempermudah perawatan dan fisioterapi agar mobilisasi dapat
berlangsung lebih cepat. Pembedahan yang sering dilakukan seperti disektomi
dengan peleburan yang digunakan untuk menyatukan prosessus spinosus vertebra;
tujuan peleburan spinal adalah untuk menjembatani discus detektif, menstabilkan
tulang belakang dan mengurangi angka kekambuhan. Laminectomy mengangkat
lamina untuk memanjakan elemen neural pada kanalis spinalis, menghilangkan
kompresi medulla dan radiks. Microdiskectomy atau percutaeneus diskectomy
untuk menggambarkan penggunaan operasi dengan mikroskop, melihat potongan
yang mengganggu dan menekan akar syaraf.
H. KOMPLIKASI
1. Syok
Syok hipovolemik akibat perdarahan dan kehilangan cairan ekstrasel ke jaringan
yang rusak sehingga terjadi kehilangan darah dalam jumlah besar akibat trauma.
2. Mal union.
Gerakan ujung patahan akibat imobilisasi yang jelek menyebabkan mal union,
sebab-sebab lainnya adalah infeksi dari jaringan lunak yang terjepit diantara
fragmen tulang, akhirnya ujung patahan dapat saling beradaptasi dan membentuk
sendi palsu dengan sedikit gerakan (non union).
3. Non union
Non union adalah jika tulang tidak menyambung dalam waktu 20 minggu. Hal ini
diakibatkan oleh reduksi yang kurang memadai.
4. Delayed union
Delayed union adalah penyembuhan fraktur yang terus berlangsung dalam waktu
lama dari proses penyembuhan fraktur.
5. Tromboemboli, infeksi, kaogulopati intravaskuler diseminata (KID).
Infeksi terjadi karena adanya kontaminasi kuman pada fraktur terbuka atau pada
saat pembedahan dan mungkin pula disebabkan oleh pemasangan alat seperti
plate, paku pada fraktur.
6. Emboli lemakSaat fraktur, globula lemak masuk ke dalam darah karena tekanan
sumsum tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler.
Globula lemak akan bergabung dengan trombosit dan membentuk emboli yang
kemudian menyumbat pembuluh darah kecil, yang memsaok ke otak, paru, ginjal,
dan organ lain.
7. Sindrom Kompartemen
Masalah yang terjadi saat perfusi jaringan dalam otot kurang dari yang dibutuhkan
untuk kehidupan jaringan. Berakibat kehilangan fungsi ekstermitas permanen jika
tidak ditangani segera.
Cedera vascular dan kerusakan syaraf yang dapat menimbulkan iskemia, dan
gangguan syaraf. Keadaan ini diakibatkan oleh adanya injuri atau keadaan
penekanan syaraf karena pemasangan gips, balutan atau pemasangan traksi.
(Brunner & suddarth, 2002: 2390).

I. PENGKAJIAN
1. B1 (Breathing) : Napas pendek
2. B2 (Blood) : Hipotensi, bradikardi,
3. B3 (Brain) : Pusing saat melakukan perubahan posisi, nyeri tekan
otot, hiperestesi tepat diatas daerah trauma dan mengalami deformitas pada
daerah trauma.
4. B4 (Bleader) : Inkontenensia defekasi dan berkemih, retensi urine,
distensi perut dan peristaltic hilang
5. B5 ( Bowel) : Mengalami distensi perut dan peristaltik usus hilang
6. B6 (Bone) : Kelumpuhan otot terjadi kelemahan selama syok
spinal, hilangnya sensasi dan hilangnya tonus otot dan hilangnya reflek.

J. DIAGNOSA
1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kelumpuhan otot
diafragmakerusakan
2. Mobilitas fisik berhubungan dng kelumpuhan gangguan rasa nyaman nyeri
3. Berhubungan dengan adanya cedera gangguan eliminasi alvi /konstipasi
berhubungan
4. Dengan gangguan persarafan pada usus dan rektum.
5. Perubahan pola eliminasi urine berhubungan dengan kelumpuhan syarat
perkemihan.

K. INTERVENSI
a. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kelumpuhan otot
diafragmakerusakan
Tujuan perawatan : pola nafas efektif setelah diberikan oksigen
Kriteria hasil : Pentilasi adekuat
Intervensi :
1. Pertahankan jalan nafas; posisi kepala tanpa gerak.
2. Lakukan penghisapan lendir bila perlu, catat jumlah, jenis dan karakteristik
sekret.
3. Kaji fungsi pernapasan.
4. Auskultasi suara napas.
5. Observasi warna kulit.
b. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kelumpuhan.
Tujuan perawatan : Selama perawatan gangguan mobilisasi bisa diminimalisasi
sampai cedera diatasi dengan pembedahan.
Kriteria hasil : Tidak ada kontrakstur, kekuatan otot meningkat, pasien
mampu beraktifitas kembali secara bertahap.
Intervensi
1. Kaji secara teratur fungsi motorik.
2. Lakukan log rolling.
3. Pertahankan sendi 90 derajad terhadap papan kaki.
4. Ukur tekanan darah sebelum dan sesudah log rolling.
5. Inspeksi kulit setiap hari.
6. Berikan relaksan otot sesuai pesanan seperti diazepam.
c. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan adanya cedera
Tujuan keperawatan : Rasa nyaman terpenuhi setelah diberikan perawatan dan
pengobatan
Kriteria hasil : Melaporkan rasa nyerinya berkurang
Intervensi:
1. Kaji terhadap nyeri dengan skala 0-5. Rasional.
2. Bantu pasien dalam identifikasi faktor pencetus.
3. Berikan tindakan kenyamanan.
4. Dorong pasien menggunakan tehnik relaksasi.
5. Berikan obat antinyeri sesuai pesanan.
DAFTAR PUSTAKA

Brunner, Suddarth. 2002. Buku Ajar keperawtan medikal bedah, edisi 8 vol.3. EGC. Jakarta
Carpenito, LJ. 2001. Buku Saku Diagnosa Keperawatan edisi 6 . Jakarta: EGC
Doengoes, M.E., 2000, Rencana Asuhan Keperawatan, EGC, Jakarta.
Ircham Machfoedz, 2007. Pertolongan Pertama di Rumah, di Tempat Kerja, atau di
Perjalanan. Yogyakarta: Fitramaya
Johnson, M., et all. 2000. Nursing Outcomes Classification (NOC) Second Edition. New
Jersey: Upper Saddle River
Mansjoer, A dkk. 2007. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1 edisi 3. Jakarta: Media
Aesculapius
Mc Closkey, C.J., et all. 1996. Nursing Interventions Classification (NIC) Second Edition.
New Jersey: Upper Saddle River
Santosa, Budi. 2007. Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA 2005-2006. Jakarta: Prima
Medika
Smeltzer, S.C., 2001, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, EGC, Jakarta

Anda mungkin juga menyukai