Anda di halaman 1dari 52

BAB I

PENDAHULUAN

Trauma adalah keadaan yang disebabkan oleh luka atau cedera pada fisik dan/ psikologis.
Trauma dapat menyebabkan perubahan fisiologi sehingga terjadi gangguan metabolisme
kelainan imunologi, dan gangguan faal berbagai organ. Dewasa ini trauma melanda dunia
bagaikan wabah karena dalam kehidupan modern penggunaan kendaraan automotif dan senjata
api semakin meluas. Sayangnya, penyakit akibat trauma sering ditelantarkan sehingga trauma
merupakan penyebab kematian utama pada kelompok usia muda dan produktif di seluruh dunia.
Angka kematian ini dapat diturunkan melalui upaya pencegahan trauma dan penanggulangan
optimal yang diberikan sedini mungkin pada korbannya.1

Hepar merupakan salah satu organ yang paling sering terluka dalam trauma abdomen.
Hepar terletak anterior di dalam rongga perut dan terdiri dari parenkim yang rapuh yang
dibungkus oleh kapsul Glisson, membuat organ ini rentan terhadap cedera. Sebagian besar
terjadinya trauma pada hepar disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas dan perilaku kekerasan.
Seperti yang ditunjukkan oleh beberapa penelitian, manajemen trauma hepar telah sangat
berubah dalam tiga dekade terakhir dengan peningkatan yang signifikan dalam hasil, terutama
dalam kasus trauma tumpul. Cedera hepar yang termasuk dalam grade I, II, dan III berhasil
diobati dengan observasi saja (Non Operative Management, NOM). Sebaliknya dua pertiga dari
grade IV atau V memerlukan laparotomi (Operative Manajemen, OM). Operasi ini umumnya
menantang dan sulit. Tingkat keparahan cedera hati traumatis secara universal diklasifikasikan
menurut sistem klasifikasi AAST (American Association for the Surgery of Trauma). Tulisan ini
membahas modalitas diagnostik dan pendekatan terapi untuk trauma hepar.1,2

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Hepar

Hepar merupakan organ paling besar dari tubuh. Pada orang dewasa dapat mencapai 1,5
kg atau 2-2 % dari berat tubuh. Pada anak-anak relatif lebih berat, dapat mencapai 5% dari
berat tubuh. Hepar terletak di bawah diafragma pada region hipokondria kanan, bagian atas
dari region epigastrika, dan dapat mencapai hipokondria kiri sejauh linea mammilaria.3

Gambar 1. Letak Hepar4

Hepar mempunyai konsistensi yang lunak seperti selai, namun pada cadaver bentuknya
tetap karena dibungkus oleh kapsula Glisson (tunica fibrosa hepatis, NA), yang merupakan
jaringan ikat yang kuat. Bentuknya seperti suatu pyramid bersisi tiga dengan basis menunjuk
ke kanan sedangkan apeks (puncak) nya ke kiri.3

Hepar terbagi menjadi lobus kiri dan lobus kanan yang dipisahkan oleh ligamentum
falciforme, di inferior oleh fissura yang dinamakan dengan ligamentum teres dan di posterior

2
oleh fissura yang dinamakan ligamentum venosum. Ligamentum peninggalan embrional
terdiri dari ligamentum teres hepatis (dari vena umbilicalis), ligamentum falciforme hepatis
dibentuk oleh dua lembaran peritoneum yang menjadi satu ligamentum coronaria hepatis
terdiri dari atas dua lembar, lembar dibagian dorsal berjalan ke ren dan glandula suprarenalis
dextra sehingga dinamakan ligamentum hepato-renalis. Ligamentum triangulare dextra
(ligamentum lateralis dextra) dibentuk oleh kedua lembaran ligamentum coronaria hepatis.
Ligamentum triangulare sinistra (ligamentum lateralis sinistra) di sebelah kiri berakhir
sebagai suatu ikat fibrosa yang kuat yang dinamakan appendix fibrosa hepatis.3

Lobus kanan hepar enam kali lebih besar dari lobus kiri dan mempunyai 3 bagian
utama yaitu : lobus kanan atas, lobus caudatus dan lobus quadrates. Diantara kedua lobus
terdapat porta hepatis, jalur masuk dan keluar pembuluh darah, saraf dan duktus. Hepar
dikelilingi oleh kapsula fibrosa yang dinamakan kapsul glisson dan dibungkus peritoneum
pada sebagian besar keseluruhan permukaannya.3

Hepar disuplai oleh dua pembuluh darah yaitu : vena porta hepatika yang berasal dari
lambung dan usus yang kaya akan nutrien seperti asam amino, monosakarida, vitamin yang
larut dalam air dan mineral dan arteri hepatika, cabang dari arteri koliaka yang kaya akan
oksigen. Pembuluh darah tersebut masuk hati melalui porta hepatis yang kemudian dalam
porta tersebut vena porta dan arteri hepatika bercabang menjadi dua yakni ke lobus kiri dan
ke lobus kanan. Darah dari cabang-cabang arteri hepatika dan vena porta mengalir dari
perifer lobulus ke dalam ruang kapiler yang melebar yang disebut sinusoid. Sinusoid ini
terdapat diantara barisan sel-sel hepar ke vena sentral. Vena sentral dari semua lobulus hati
menyatu untuk membentuk vena hepatica.3

Selain cabang-cabang vena porta dan arteri hepatika yang mengelilingi bagian perifer
lobulus hati, juga terdapat saluran empedu yang membentuk kapiler empedu yang dinamakan
kanalikuli empedu yang berjalan diantara lembaran sel hati.3

Ductus choledochus, arteri hepatica dan vena porta yang terbungkus di dalam
ligamentum hepato-duodenale di sebelah ventral foramen epiploicum Winslowi membentuk
suatu triad (tiga serangkai) yang dinamakan hepatic triad, dengan susunan sebagai berikut
Ductus choledochu, Vena porta, dan Arteri hepatica.

3
Gambar 2. Anatomi Hepar Tampak Anterior dan Posterior4

4
Gambar 3. Susunan Hepar5

Plexus (saraf) hepaticus mengandung serabut dari ganglia simpatis T7-T10, yang
bersinaps dalam plexuscoeliacus, nervus vagus dexter dan sinistra serta phrenicus dextra.

Hepar selanjutnya dibagi atas 8 segmen yang masing-masing disuplai oleh pedikel
yang terdiri dari vena portal, arteri hepatika dan duktus biliaris. Segmen-segmen ini lebih
lanjut di bagi kedalam 4 sektor yang dipisahkan oleh scissura yang mengandung tiga vena
hepatika utama. Sistem ini mula-mula digambarkan pada tahun 1957 oleh Goldsmith dan
Woodburney sebagaimana juga oleh Couinaud, yang mengambarkan anatomi hepar , dimana
itu paling berkaitan dengan pembedahan hepar.3

Scissura utama terdapat vena hepatika media yang berada pada arah anteroposterior
dari fosa kandung empedu sampai ke sisi kiri vena cava inferior dan membagi hepar menjadi
hemiliver kiri dan kanan. Garis dari scissura yang di kenal juga sebagai Cantlies line. Hepar
kanan dibagi menjadi sektor anterior (segmen V dan segmen VIII) dan sektor posterior
(segmen VI dan segmen VII) oleh scissura kanan yang mana terdapat vena hepatika kanan.
Pedikel portal kanan yang terdiri atas arteri hepatika kanan, vena porta kanan dan duktus
biliaris kanan yang kemudian menjadi pedikel anterior kanan dan pedikel posterior kanan
yang mensuplai sektor anterior dan posterior. Hepar kiri memiliki fisura yang nampak berada
di sepanjang permukaan inferior yang disebut fisura umbilikalis. Ligamentum teres (sisa
vena umbilikalis) berada pada fisura ini. Ligamentum falciform berhubungan dengan fisura

5
umbilikalis dan ligamentum teres. Fisura umbilikalis bukan merupakan scissura, tidak
mengandung vena hepatika dan pada kenyataannya mengandung vena portal kiri (triad yang
terdiri atas vena portal kiri,arteri hepatika kiri dan duktus biliaris kiri) yang berada pada
fisura ini, bercabang untuk memberi makan hepar kiri. Scissura kiri berada di posterior
ligamentum teres dan terdapat vena hepatika kiri. Hepar kiri dibagi menjadi sektor anterior
(segmen III dan IV) dan sektor posterior (segmen II- sektor yang hanya terdiri dari satu
segmen ) oleh scisura kiri. Sedangkan lobus kaudatus (segmen I) merupakan bagian posterior
hepar. Pada hilus hepar, triad portal kanan merupakan pedikel ekstrahepatika yang pendek
kira-kira 1 1,5 cm sebelum memasuki jaringan hepar dan bercabang atau mensuplai ke
sektor anterior dan posterior dari hepar kanan. Bentuk percabangan vena-vena portal sektor
ini ke dalam sub-bagian hepar kanan menjadi 4 segmen yaitu segmen V (anterior dan
inferior) dan segmen VIII( anterior dan superior) membentuk sektor anterior dan segmen VI
(posterior dan inferior) dan VII ( posterior dan superior) membentuk sektor posterior.
Sebaliknya , untuk triad portal kiri memiliki panjang saluran extrahepatika 4 cm berada di
bagian inferior lobus quadratus (segmen IV B) yang berjalan secara tranversal di bungkus
dalam peritoneal sheath yang berada pada ujung atas omentum minus.3

Clinical nomenclature yang dapat diterima secara luas adalah yang dideskripsikan oleh
Couinaud (1957) dan Healey and Schroy (1953) Arsitektur dalam dari hepar dibagi menjadi
beberapa segmen, secara utama didasarkan atas segmen Couinaud. Couinaud menjadikan
distribusi dari portal dan vena hepatis sebagai dasar sedangkan Healey dan Schroy
mempelajari arteri dan anatomi bilier. Hepar lebih jauh lagi dibagi menjadi beberapa segmen,
setiap segmen tersebut disuplai oleh cabang arteri hepatis, vena porta dan duktus bilier.
Lobus kiri terdiri dari segmen I, II, III dan IV dan segmen V, VI, VII, dan VIII mengisi lobus
kanan. Lobus kanan lebih jauh lagi dapat dibagi menjadi sektor anterior dan posterior. Sektor
posterior kanan dibentuk oleh segment VI dan VII dan anterior kanan dibentuk oleh segmen
V dan VIII. Segmen kiri juga dapat dibagi menjadi beberapa bagian; Segmen IV sesuai
dengan sektor medial kiri dan segmen II dan III sesuai dengan sektor lateral kiri. Segmen I
sesuai dengan lobus caudatus dan segmen IV sesuai dengan lobus quadratus.3

6
Gambar 4. Segmen Hepar5

2.2 Fisiologi Hepar


Hepar adalah organ metabolik terbesar dan terpenting di tubuh. Organ ini penting bagi
sistem pencernaan untuk sekresi empedu. Hati menghasilkan empedu sekitar satu liter per
hari, yang diekskresi melalui duktus hepatikus kanan dan kiri yang kemudian bergabung
membentuk duktus hepatikus komunis. Selain sekresi empedu, hati juga melakukan berbagai
fungsi lain, mencakup hal-hal berikut:6
Pengolahan metabolik kategori nutrien utama (karbohidrat, lemak, protein) setelah
penyerapan mereka dari saluran cerna.
Detoksifikasi atau degradasi zat-zat sisa dan hormon serta obat dan senyawa asing
lainnya.
Sintesis berbagai protein plasma, mencakup protein-protein yang penting untuk
pembekuan darah serta untuk mengangkut hormon tiroid, steroid dan kolesterol
dalam darah.
Penyimpanan glikogen, lemak, besi, tembaga dan banyak vitamin.
Pengaktifan vitamin D, yang dilaksanakan oleh hati bersama dengan ginjal.
Pengeluaran bakteri dan sel darah merah yang usang.
Ekskresi kolesterol dan bilirubin, yang merupakan produk penguraian yang
berasal dari pemecahan sel darah merah yang sudah usang.
Hati merupakan komponen sentral sistem imun. Tiap-tiap sel hati atau hepatosit mampu
melaksanakan berbagai tugas metabolik diatas, kecuali aktivitas fagositik yang dilaksanakan

7
oleh makrofag residen atau yang lebih dikenal sebagai sel Kupffer. Sel Kupffer, yang
meliputi 15% dari massa hati serta 80% dari total populasi fagosit tubuh, merupakan sel yang
sangat penting dalam menanggulangi antigen yang berasal dari luar tubuh dan
mempresentasikan antigen tersebut kepada limfosit.6
2.3 Etiologi dan Patogenesis Trauma Hepar
Berdasarkan mekanisme traumanya, trauma hepar terbagi menjadi trauma tajam dan
trauma tumpul. Mekanisme yang menimbulkan kerusakan hepar pada trauma tumpul adalah
efek kompresi dan deselerasi. Trauma kompresi pada hemitoraks kanan dapat menjalar
melalui diafragma, dan menyebabkan kontusio pada puncak lobus kanan hepar. Trauma
deselerasi menghasilkan kekuatan yang dapat merobek lobus hepar satu sama lain dan sering
melibatkan vena cava inferior dan vena-vena hepatik. Trauma tajam terjadi akibat tusukan
senjata tajam atau oleh peluru.7,8
Berat ringannya kerusakan tergantung pada jenis trauma, penyebab, kekuatan, dan arah
trauma. Karena ukurannya yang relative lebih besar dan letaknya lebih dekat pada tulang
costae, maka lobus kanan hepar lebih sering terkena cedera dari pada lobus kiri. Sebagian
besar trauma hepar juga mengenai segmen hepar VI, VII, dan VIII. Tipe trauma ini dipercaya
merupakan akibat dari kompresi terhadap tulang costae, tulang belakang, atau dinding
posterior abdomen. Adanya trauma tumpul langsung pada daerah kanan atas abdomen atau
didaerah kanan bawah dari tulang costae, umumnya mengakibatkan pecahan bentuk stellata
pada permukaan superior dari lobus kanan. Trauma tidak langsung atau contra coup biasanya
disebabkan oleh jatuh dari ketinggian dengan bagian kaki atau bokong yang pertama kali
mendarat. Jenis trauma ini menyebabkan efek pecahan pada penampang sagital hepar dan
kadang-kadang terjadi pemisahan fragmen hepar.7,8

2.4 Grading Trauma Hepar Berdasarkan AAST

Lesi trauma hepar dapat dikelompokkan sebagai minor (grade I dan II), sedang (grade III)
atau mayor/berat (grade IV, dan V). Klasifikasi ini tidak didefinisikan dengan baik dalam
literatur, tetapi bertujuan untuk menentukan jenis manajemen yang dapat diadopsi dan hasil
terkait. Menurut AAST, grade I-III dianggap sebagai kelompok kecil atau sedang
diperlakukan dengan NOM. Namun, beberapa pasien dengan lesi yang termasuk dalam
kelompok besar seperti pada kelas IV-V yang mana laserasi dengan gangguan parenkim yang
melibatkan lebih dari 75% dari lobus hepar atau lebih dari 3 segmen Couinaud dalam lobus

8
tunggal mungkin hemodinamiknya stabil sehingga diperlakukan dengan NOM. Hal ini
menunjukkan bahwa klasifikasi trauma hepar yang masuk dalam kelompok kecil maupun
besar harus mempertimbangkan tidak hanya berdasarkan klasifikasi AAST tetapi yang lebih
penting adalah status hemodinamik pasien, ISS (Injury Severity Score) dan trauma terkait.
Beberapa penelitian beranggapan bahwa pasien dengan trauma ringan, hemodinamik stabil,
skala AAST rendah dan ISS rendah dapat ditangani secara non-operatif dengan hasil yang
baik dalam hal morbiditas dan mortalitas. Di sisi lain, pasien dengan trauma berat, skala
AAST tinggi, ISS tinggi, dan hemodinamik yang tidak stabil (tingkat transfusi yang tinggi)
sering dikaitkan dengan hasil yang buruk dalam hal morbiditas dan mortalitas. Untuk semua
alasan tersebut trauma berat berhubungan dengan kebutuhan yang lebih tinggi dari OM.2,9

Grade Tipe Keterangan


Hematoma Subcapsular, tidak meluas, < 10% permukaan
I Laserasi Robekan kapsul, tanpa perdarahan, kedalaman pada
parenkim < 1 cm
Hematoma Subkapsular, tidak meluas, 10-15% dari permukaan,
intraparenkimal, diameter < 2cm
II
Laserasi Robekan kapsular, perdarahan aktif, kedalaman pada
parenkim 1-3cm, panjangnya < 10cm
Hematoma Subkapsular, > 50% permukaan atau meluas, rupture
subkapsular/ hematom parenkim dengan perdarahan
III
aktif, hematom intraparenkim > 2cm
Laserasi Kedalaman pada parenkim > 3cm
Hematom Rupture hematoma intraparenkim, perdarahan aktif
IV
Laserasi Kerusakan parenkim 50-75% lobus hepar
Laserasi Kerusakan parenkim > 75% lobus hepar
V Vaskuler Trauma vena juxtahepatik, seperti vena retrohepatik
atau vena-vena hepatik besar
VI Vaskuler Avulsi hepar

2.5 Diagnosis

2.5.1 Anamnesis

Secara umum, jangan menanyakan riwayat lengkap hingga cedera yang mengancam
nyawa teridentifikasi dan mendapatkan penatalaksanaan yang sesuai. AMPLE sering

9
digunakan untuk mengingat kunci dari anamnesis, yaitu Allergies, Medications, Past
medical history, Last meal or other intake, Events leading to presentation.

Faktor penting yang berhubungan dengan pasien trauma tumpul abdomen, khususnya
yang berhubungan dengan kecelakaan kendaraan bermotor perlu digali lebih lanjut,
baik itu dari pasien, keluarga, saksi, ataupun polisi dan paramedis. Hal-hal tersebut
mencakup:

1. Proses kecelakaan dan kerusakan kendaraan


2. Waktu pembebasan (evakuasi) yang dibutuhkan
3. Apakah pasien meninggal
4. Apakah pasien terlempar dari kendaraan
5. Bagaimana fungsi peralatan keselamatan seperti sabuk pengaman dan airbags
6. Apakah pasien dalam pengaruh obat atau alkohol
7. Apakah ada cedera kepala atau tulang belakang
8. Apakah ada masalah psikiatri

Pada pasien anak, perlu digali apakah ada riwayat gangguan koagulasi atau
penggunaan obat-obat antiplatelet (seperti pada defek jantung kongenital) karena dapat
meningkatkan risiko perdarahan pada cedera intraabdomen.

Manifestasi klinis8

nyeri pada region kanan atas dan kadang bisa menjalar sampai ke punggung
belakang,
nyeri perut yang meningkat saat bernapas yang dalam,
hipovolemia,
mual, muntah,
distensi abdomen,
kadang berhubungan dengan fraktur tulang iga.

2.5.2 Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan abdomen harus dilakukan dengan cara yang teliti dan sistematis dengan
urutan: inspeksi, auskultasi, perkusi dan palpasi. Penemuannya, positif atau negatif ,

10
harus direkam dengan teliti dalam catatan medis. Pada saat kedatangan ke rumah sakit,
mekanisme dan pemeriksaan fisik biasanya akurat dalam menentukan cedera intra-
abdomen pada pasien dengan kesadaran yang terjaga dan responsif, meskipun terdapat
keterbatasan pemeriksaan fisik. Banyak pasien dengan perdarahan intra-abdomen yang
moderat datang dalam kondisi hemodinamik yang terkompensasi dan tidak memiliki
tanda-tanda peritoneal.8,9

1. Inspeksi
Penderita harus ditelanjangi. Kemudian periksa perut depan dan belakang, dan
juga bagian bawah dada dan perineum, harus diperiksa untuk goresan, robekan,
luka, benda asing yang tertancap serta status hamil. Penderita dapat dibalikkan
dengan hati hati untuk mempermudah pemeriksaan lengkap.
2. Auskultasi
Melalui auskultasi ditentukan apakah bising usus ada atau tidak. Darah
intraperitoneum yang bebas atau kebocoran (ekstravasasi) abdomen dapat
memberikan ileus, mengakibatkan hilangnya bunyi usus. Cedera pada struktur
berdekatan seperti tulang iga, tulang belakang, panggul juga dapat menyebabkan
ileus meskipun tidak ada cedera di abdomen dalam, sehingga tidak adanya bunyi
usus bukan berarti pasti ada cedera intra-abdominal.
3. Palpasi
Kecenderungan untuk menggerakan dinding abdomen (voluntary guarding) dapat
menyulitkan pemeriksaan abdomen. Sebaliknya defans muscular (involuntary
guarding) adalah tanda yang handal dari iritasi peritoneum. Tujuan palpasi adalah
mendapatkan adanya dan menentukan tempat dari nyeri tekan superfisial, nyeri
tekan dalam atau nyeri lepas. Nyeri lepas terjadi ketika tangan yang menyentuh
perut dilepaskan tiba tiba, dan biasanya menandakan peritonitis yang timbul
akibat adanya darah atau isi usus. Dengan palpasi juga dapat ditentukan uterus
yang membesar dan diperkirakan umur janin.
4. Perkusi
Manuver ini menyebabkan pergerakan peritoneum, dan dapat menunjukkan adanya
peritonitis yang masih meragukan. Perkusi juga dapat menunjukan bunyi timpani
akibat dilatasi lambung akut di kuadran atas atau bunyi redup bila ada
hemiperitoneum.
2.5.3 Pemeriksaan Penunjang

11
Pemeriksaaan rontgen servikal lateral, toraks anteroposterior (AP), dan pelvis adalah
pemeriksaan yang harus dilakukan pada penderita dengan multitrauma. Pada penderita
yang hemodinamik normal maka pemeriksaan rontgen abdomen dalam keadaan
terlentang dan berdiri (sambil melindungi tulang punggung) mungkin berguna untuk
mengetahui udara ekstraluminal di retroperitoneum atau udara bebas di bawah
diafragma, yang keduanya memerlukan laparatomi segera. Hilangnya bayangan
pinggang (psoas shadow) juga menandakan adanya cedera retroperitoneum. Bila foto
tegak dikontra-indikasikan karena nyeri atau patah tulang punggung, dapat digunakan
foto samping sambil tidur (left lateral decubitus) untuk mengetahui udara bebas
intraperitoneal.10

Focused abdominal sonography for trauma (FAST) sudah mengganti Diagnostic


Peritoneal Lavage (DPL) atau Diagnostic Peritoneal Aspirate (DPA) di banyak pusat
untuk mengevaluasi ada/ tidaknya cairan intraabominal pada pasien yang tidak stabil
dengan trauma tumpul. DPL bagaimanapun masih tetap bernilai pada pasien shock
yang tanpa jelas sumber kehilangan darah. Keuntungan yang terbaik dari FAST adalah
harga yang ekonomis, non-invasif, cepat, prosedur yang bisa diulang, dengan
sensitivitas antara 80-85% dan spesifisitas antara 97-100%. Prosedur FAST mempunyai
beberapa keterbatasan yakni sensitivitas dan spesifisitas berkurang pada pasien
obesitas, kasus ileus, atau emfisema subkutaneus, dan tergantung pada operator. FAST
biasanya akan mencatat apabila ada 400 ml atau lebih cairan intraperitoneal, sehingga
pemeriksaan ini berguna pada pasien yang tidak stabil dalam memutuskan untuk
dilakukan OM atau tidak. Jika positif, FAST mutlak membantu dalam menentukan
untuk dilakukan OM atau tidak. Jika negatif, belum tentu tidak ada perdarahan
intraperitoneal yang signifikan. Pada trauma tajam, FAST mempunyai spesifisitas yang
tinggi (94,1- 100%), namun tidak dapat mengevaluasi grade trauma dengan tepat dan
sangat tidak sensitive (28-100%).2,8

12
Gambar 5. FAST9

CT-scan selama bertahun-tahun terakhir telah meningkatkan deteksi pada trauma


abdominal. CT adalah standar emas pada pasien yang hemodinamik stabil, baik dengan
trauma tajam atau trauma tumpul,. CT-scan dengan tiga kontras telah terbukti memiliki
sensitivitas yang baik, kecuali untuk trauma pada diafragma, pankreas dan usus kecil.
Beberapa penulis menganggap CT-scan sebagai faktor prediktif, bersama dengan
tekanan darah sistolik (SBP), untuk menentukan risiko kegagalan manajemen non-
operatif (NOM) dan untuk memprediksi hasil pasien, khususnya di trauma grade IV
atau lebih tinggi. Faktanya, keterlibatan oleh satu atau lebih pembuluh darah vena
hepar, operasi hati 6,5 kali lebih sering terjadi, dan ada 3,5 kali lebih tinggi risiko
perdarahan arteri. Risiko negatif palsu untuk cedera vaskular pada CT-scan dapat
menunda intervensi yang tepat. Untuk alasan ini beberapa penulis menyarankan
angiografi pada semua pasien dengan kelas 3-5, terlepas dari stabilitas hemodinamik
atau blush on (indikasi ada perdarahan aktif) CT-scan, terutama ketika ada terkait
keterlibatan vena besar hati. Di sisi lain, angiografi hepar tampaknya tidak dibenarkan
untuk dilakukan pada pasien dengan tidak adanya perdarahan aktif pada CT-scan antara

13
pasien dengan CT trauma grade II atau grade III, karena pada pasien ini risiko
utamanya adalah perdarahan vena.2,9

Indikasi CT scan: Kontraindikasi CT scan:

1. Blunt trauma 1. Clear indication for


2. Hemodynamic stability exploratory laparotomy
3. Normal and unreliable 2. Hemodynamic
physical examination instability
4. Mechanism: duodenal 3. Agitation
and pancreatic trauma 4. Allergy to contrast
media.

Diagnostic Peritoneal Lavage (DPL) atau Diagnostic Peritoneal Aspirate (DPA) sudah
sering digunakan sejak pertama kali diperkenalkan pada tahun 1965. DPL telah menjadi
teknik pilhan pada ATLS sampai digantikan oleh FAST. DPL merupakan pendekatan
diagnostik untuk mengevaluasi keberadaan hemoperitoneum atau kandungan bebas
usus pada pasien yang tidak stabil.2,9

DPL merupakan suatu perasat dengan melakukan terlebih dahulu anestesi lokal secara
vertikal pada garis tengah abdomen, kemudian dilakukan irisan sepanjang 1-1,5 Cm
supra umbilikal sampai menembus peritoneum, kemudian diisikan garam fisiologis dari
botol steril 1 liter dengan infus set ke intraperitoneal, kemudian dilakukan penyaliran
kembali keluar peritoneum langsung kedalam botol semula. Bila ada aspirat darah > 10
CC langsung dipastikan positif perdarahan intra peritoneal, bila tidak selanjutnya
dianalisis secara kuantitatif di laboratorium. DPL dinyatakan positif apabila didapatkan
100.000 eritrosit/ mm kubik, atau jumlah lekosit 500/ mm kubik ataupun bila
didapatkan serat sisa makanan.2,9

DPL dianggap cepat, akurat, dan alat yang sensitif untuk mengidentifikasi cedera
intraabdomen, tetapi merupakan prosedur yang invasif. Kontraindikasi untuk DPL
adalah obesitas, laparotomi sebelumnya, koagulopati dan pasien yang sedang hamil.

14
Meskipun digantikan oleh FAST selama beberapa tahun terakhir, dalam uji coba
terkontrol secara acak baru-baru ini DPL dianggap lebih unggul terhadap FAST dalam
mengidentifikasi cedera intraabdominal, meskipun secara signifikan diperlukan lebih
banyak waktu untuk dilakukan.2,9

Gambar 6. DPL9

2.6 Penatalaksanaan
2.6.1 Primary Survey

Penilaian keadaan penderita dan prioritas terapi dilakukan berdasarkan jenis


perlukaan, tanda-tanda vital, dan mekanisme trauma. Pada penderita yang terluka
parah, terapi diberikan berdasarkan prioritas. Tanda vital penderita harus dinilai secara
cepat dan efisien. Pengelolaan penderita berupa primary survey yang cepat dan
kemudian resusitasi, secondary survey dan akhirnya terapi definitif.10

15
Proses ini merupakan ABC-nya trauma, dan berusaha untuk mengenali keadaan
yang mengancam nyawa terlebih dahulu, dengan berpatokan pada urutan berikut :

A: Airway, menjaga airway dengan kontrol servikal (cervical spine control)

B: Breathing, menjaga pernafasan dengan ventilasi

C: Circulation dengan kontrol perdarahan (hemorrhage control)

D: Disability : status neurologis

E: Exposure/environmental control : buka baju penderita, tetapi cegah hipotermia

Selama primary survey, keadaan yang mengancam nyawa harus dikenali, dan
resusitasinya dilakukan pada saat itu juga. Penyajian primary survey di atas adalah
dalam bentuk berurutan (sekuensial), sesuai prioritas dan agar lebih jelas; namun
dalam praktek hal-hal di atas sering dilakukan berbarengan (simultan).
Prioritas pada anak pada dasarnya sama dengan orang dewasa. Walaupun jumlah
darah, cairan, obat, ukuran anak, kehilangan panas, dan pola perlukaan dapat berbeda,
namun prioritas penilaian dan resusitasi adalah sama seperti pada orang dewasa.

Prioritas pada orang hamil sama seperti tidak hamil, akan tetapi perubahan
anatomis dan fisiologis dalam kehamilan dapat mengubah respon penderita hamil
terhadap trauma. Penting untuk survival ibu dan anak adalah pengenalan dini adanya
kehamilan yang dapat dilakukan dengan pemeriksaan fisik dan laboratorium (HCG),
dan penilaian dini terhadap janin.10

Trauma adalah penyebab kematian yang kerap terjadi pada usia tua. Dengan
meningkatnya usia dari dewasa menjadi tua, maka penyakit kardiovaskular dan
keganasan menjadi penyebab kematian utama. Kematian pada laki-laki usia tua adalah
lebih besar dibandingkan perempuan usia tua (pada Injury Severity Score, ISS, rendah
dan sedang). Resusitasi pada usia tua memerlukan perhatian khusus, karena
cadangan fisiologis penderita berkurang sebanding pertambahan umur. Kemampuan
bertahannya orang tua terhadap trauma akan berkurang karena adanya penyakit
jantung, paru-paru dan metabolik yang khronis. Penyakit penyerta seperti DM,
penyakit paru obstruktip menahun (PPOM), penyakit koroner, koagulopati, penyakit
hati dan gangguan vaskular akan ditemukan lebih sering, dan akan memperberat

16
keadaan. Pemakaian jangka panjang dari obat-obatan mungkin mengubah respon
terhadap trauma.9,10

Pembatasan di atas sering mengakibatkan resusitasi yang kurang atau justru


berlebihan, sehingga monitoring invasif kerapkali dibutuhkan. Walaupun fakta-fakta
di atas nampaknya merupakan faktor prognostik buruk, namun dengan pengelolaan
yang baik, kerapkali penderita usia tua akan dapat pulih dan kembali kepada
keadaan pra-trauma. Resusitasi yang agresip dan pengenalan dini dari adanya
penyakit penyerta serta pemberian obat-obatan akan dapat memperbaiki survival pada
kelompok umur ini.10

Airway, dengan Kontrol Servikal (Servical Spine Control)

Yang pertama harus dinilai adalah kelancaran jalan nafas. Ini meliputi
pemeriksaan adanya obstruksi jalan nafas yang dapat disebabkan benda asing,
fraktur tulang wajah, fraktur mandibula atau maksila, fraktur laring atau trakea. Usaha
untuk membebaskan airway harus melindungi vertebra servikal.10

Pada penderita yang dapat berbicara, dapat dianggap bahwa jalan nafas bersih,
walaupun demikian penilaian ulang terhadap airway harus tetap dilakukan. Penderita
dengan gangguan kesadaran atau Glasgow Coma Scale sama atau kurang dari 8
biasanya memerlukan pemasangan airway definitif. Selama memeriksa dan
memperbaiki airway, harus diperhatikan bahwa tidak boleh dilakukan ekstensi, fleksi
atau rotasi dari leher. Kecurigaan adanya kelainan vertebra servikalis didasarkan pada
riwayat perlukaan; pemeriksaan neurologis tidak sepenuhnya dapat menyingkirkannya.
Ke-7 vertebra servikalis dan vertebra torakalis pertama dapat dilihat dengan foto
lateral, walaupun tidak semua jenis fraktur akan terlihat dengan foto lateral ini.9,10
Dalam keadaan kecurigaan fraktur servikal, harus dipakai alat imobilisasi. Bila
alat imobilisasi ini harus dibuka untuk sementara, maka terhadap kepala harus
dilakukan imobilisasi manual. Alat imobilisasi ini harus dipakai sampai kemungkinan
fraktur servikal dapat disingkirkan. Proteksi vertebra servikalis (serta spinal cord)
merupakan hal penting. Foto servikal dapat dilakukan setelah keadaan yang
mengancam nyawa telah dilakukan resusitasi. Anggaplah ada fraktur servikal pada

17
setiap penderita multi-trauma, terlebih bila ada gangguan kesadaran atau perlukaan di
atas klavikula.9,10
Harus dilakukan segala usaha untuk menjaga jalan nafas dan memasang airway
definitif bila diperlukan. Tidak kalah pentingnya adalah mengenali kemungkinan
gangguan airway yang dapat terjadi kemudian, dan ini hanya dapat dikenali dengan
re-evaluasi berulang terhadap airway ini.

Breathing dan Ventilasi

Airway yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik. Oksigen sangat penting
bagi kehidupan. Sel-sel tubuh memerlukan pasokan konstan O2 yang digunakan untuk
menunjang reaksi kimiawi penghasil energi, yang menghasilkan CO2 yang harus
dikeluarkan secara terus-menerus. Kegagalan dalam oksigenasi akan menyebabkan
hipoksia yang diikuti oleh kerusakan otak, disfungsi jantung, dan akhirnya kematian.10

Ventilasi yang baik meliputi fungsi yang baik dari paru, dinding dada dan
diafragma. Setiap komponen ini harus di evaluasi secara cepat. Dada penderita harus
dibuka untuk melihat ekspansi pernafasan. Auskultasi dilakukan untuk memastikan
masuknya udara ke dalam paru. Perkusi dilakukan untuk menilai adanya udara atau
darah dalam rongga pleura. Inspeksi dan palpasi dapat memperlihatkan kelainan
dinding dada yang mungkin mengganggu ventilasi.10

Perlukaan yang mengakibatkan gangguan ventilasi yang berat adalah tension


pneumo-thorax, flail chest dengan kontusio paru, dan open pneumothorax. Keadaan-
keadaan ini harus dikenali pada saat dilakukan primary survey. Hemato-thorax, simple
pneumo-thorax, patahnya tulang iga dan kontusio paru menggangu ventilasi dalam
derajat yang lebih ringan dan harus dikenali pada saat melakukan secondary survey.10
Membedakan gangguan airway terhadap gangguan pernafasan mungkin sulit.
Penderita dalam keadaan takipnea dan dispnu berat yang disebabkan tension pneumo-
thorax, mungkin ditarik kesimpulan bahwa penyebabnya adalah gangguan airway.
Bila pada keadaan ini dilakukan intubasi endotrakeal kemungkinan memperburuk
keadaan penderita. Bila telah dilakukan intubasi endotrakeal disertai ventilasi

18
tambahan, kemungkinan prosedurnya sendiri menyebabkan terjadinya tension
pneumo-thorax. Pengenalan keadaan ini adalah dengan re-evaluasi dengan cara
pemeriksaan fisik dan foto toraks bila keadaan mengijinkan.10

Circulation dengan Kontrol Perdarahan


1. Volume darah dan cardiac output
Perdarahan merupakan sebab utama kematian pasca-bedah yang
mungkin dapat diatasi dengan terapi yang cepat dan tepat di rumah sakit. Suatu
keadaan hipotensi harus dianggap disebabkan oleh hipovolemia, sampai terbukti
sebaliknya. Dengan demikian maka diperlukan penilaian yang cepat dari status
hemodinamik penderita. Ada 3 penemuan klinis yang dalam hitungan detik dapat
memberikan informasi mengenai keadaan hemo-dinamik ini, yakni tingkat
kesadaran warna kulit dan nadi.10

a. Tingkat kesadaran
Bila volume darah menurun, perfusi otak dapat berkurang, yang akan
mengakibatkan penurunan kesadaran (jangan dibalik : penderita yang sadar
belum tentu normo-volemik).10

b. Warna kulit
Warna kulit dapat membantu diagnosis hipovolemia. Penderita trauma
yang kulitnya kemerahan, terutama pada wajah dan ekstremitas, jarang
yang dalam keadaan hipovolemia. Sebaliknya, wajah pucat keabu-abuan dan
kulit ekstremitas yang pucat, merupakan tanda hipovolemia.10

c. Nadi
Periksalah pada nadi yang besar seperti a.femoralis atau a.karotis (kiri-
kanan), untuk kekuatan nadi, kecepatan dan irama. Nadi yang tidak cepat,
kuat dan teratur biasanya merupakan tanda normo-volemia (bila penderita

19
tidak minum obat beta-blocker). Nadi yang cepat dan kecil merupakan tanda
hipovolemia, walaupun dapat disebabkan keadaan yang lain. Kecepatan nadi
yang normal bukan jaminan bahwa normo-volemia. Nadi yang tidak teratur
biasanya merupakan tanda gangguan jantung. Tidak ditemukannya pulsasi
dari arteri besar merupakan pertanda diperlukannya resusitasi segera.10

2. Perdarahan
Perdarahan luar harus dikelola pada primary survey. Perdarahan eksternal
dihentikan dengan penekanan pada luka. Spalk udara (pneumatic splinting
device) juga dapat digunakan untuk mengontrol perdarahan. Spalk jenis ini
harus tembus cahaya untuk dapat dilakukannya pengawasan perdarahan.
Tourniquet sebaiknya jangan dipakai karena merusak jaringan dan menyebabkan
iskemia distal, sehingga tourniquet hanya dipakai bila sudah ada amputasi
traumatik. Pemakaian hemostat memerlukan waktu dan dapat merusak jaringan
seperti syaraf dan pembuluh darah. Sumber perdarahan internal (tidak terlihat)
adalah perdarahan dalam rongga toraks, abdomen, sekitar fraktur dari tulang
panjang, retro-peritoneal akibat fraktur pelvis, atau sebagai akibat dari luka
tembus dada/perut.10
Harus berhati-hati pada kelompok umur muda, tua, atlit dan pemakaian
obat-obatan tertentu, karena penderita tidak ber-reaksi secara normal.
Orang tua walaupun dalam keadaan sehat, sulit untuk meningkatkan
denyut jantung dalam keadaan hipovolemia. Akibatnya adalah bahwa takikardia
mungkin tidak terlihat pada orang tua walaupun sudah hipovolemia. Pada orang
tua sering tidak ada hubungan antara tekanan darah dengan curah jantung. Anak
kecil mempunyai cadangan fisiologis yang besar. Bila jatuh dalam keadaan
syok, akan berlangsung tiba-tiba dan katastrofik. Atlit juga mempunyai
cadangan fisiologis yang besar, lagipula biasanya dalam keadaan bradikardia, dan
mungkin tidak ditemukan takikardia walaupun sudah hipovolemia. Kerapkali
anamnesis yang meliputi "AMPLE" (dibicarakan dalam survai sekunder) tidak
dilakukan sehingga tim trauma tidak sadar akan pemakaian obat-obatan tertentu.

20
Harus selalu diwaspadai penderita dengan hemodinamik "normal", yang belum
tentu normal.10

Disability (Neurologic Evaluation)

Menjelang akhir primary survey dilakukan evaluasi terhadap keadaan


neurologis secara cepat. Yang dinilai disini adalah tingkat kesadaran, ukuran
dan reaksi pupil, tanda-tanda lateralisasi dan tingkat (level) cedera spinal. GCS
(Glasgow Coma Scale) adalah sistem skoring yang sederhana dan dapat meramal
kesudahan (outcome) penderita. GCS ini dapat dilakukan sebagai pengganti
AVPU. GSC (Glasgow Coma Scale) adalah sistem skoring yang sederhana untuk
menilai tingkat kesadaran pasien.9,10

1. Menilai eye opening penderita (skor 4-1) Perhatikan apakah penderita :

a. Membuka mata spontan


b. Membuka mata jika dipanggil, diperintah atau dibangunkan
c. Membuka mata jika diberi rangsangan nyeri (dengan menekan ujung kuku
jari tangan)
d. Tidak memberikan respon4

2. Menilai best verbal response penderita (skor 5-1) Perhatikan apakah


penderita :

a. Orientasi baik dan mampu berkomunikasi


b. Disorientasi atau bingung
c. Mengucapkan kata-kata tetapi tidak dalam bentuk kalimat
d. Mengerang (mengucapkan kata -kata yang tidak jelas artinya)
e. Tidak memberikan respon4

21
3. Menilai best motor respon penderita (skor 6-1) Perhatikan apakah
penderita :

a. Melakukan gerakan sesuai perintah


b. Dapat melokalisasi rangsangan nyeri
c. Menghindar terhadap rangsangan nyeri
d. Fleksi abnormal
e. Ektensi abnormal (decerebrate)
f. Tidak memberikan respon4

Range skor : 3-15 (semakin rendah skor yang diperoleh, semakin jelek
kesadaran) Bila belum dilakukan pada survai primer, harus dilakukan pada
secondary survey pada saat pemeriksaan neurologis. Penurunan kesadaran
dapat disebabkan penurunan oksigenasi atau/dan penurunan perfusi ke otak,
atau disebabkan trauma langsung pada otak. Penurunan kesadaran menuntut
dilakukannya reevaluasi terhadap keadaan oksigenasi, ventilasi dan perfusi.
Alkohol dan obat-obatan dapat mengganggu tingkat kesadaran penderita.
Walaupun demikian, bila sudah disingkirkan kemungkinan hipoksia atau
hipovolemia sebagai sebab penurunan kesadaran, maka trauma kapitis dianggap
sebagai penyebab penurunan kesadaran dan bukan alkoholisme, sampai terbukti
sebaliknya.10
Walaupun sudah dilakukan segala usaha pada penderita dengan trauma
kapitis, penurunan keadaan penderita dapat terjadi, dan kadang-kadang terjadi
dengan cepat. Interval lusid pada perdarahan epidural adalah contoh penderita
yang sebelumnya masih dapat berbicara tetapi sesaat kemudian meninggal.
Diperlukan evaluasi ulang yang sering untuk mengenal adanya perubahan
neurologis.
Mungkin perlu kembali ke primary survey untuk memperbaiki airway,
oksigenasi dan ventilasi serta perfusi. Bila diperlukan konsul sito ke ahli bedah
syaraf dapat dilakukan pada primary survey.10

22
Exposure/Kontrol Lingkungan
Penderita harus dibuka keseluruhan pakaiannya, sering dengan cara
menggunting, guna memeriksa dan evaluasi penderita. Setelah pakaian dibuka,
penting agar penderita tidak kedinginan. Harus dipakaikan selimut hangat,
ruangan cukup hangat dan diberikan cairan intra-vena yang sudah
dihangatkan. Yang penting adalah suhu tubuh penderita, bukan rasa nyaman
petugas kesehatan.10
Penderita trauma mungkin datang ke ruang emergensi sudah dalam
keadaan hipotermia, dan kemungkinan diperberat dengan resusitasi cairan dan
darah. Masalah seperti ini sebaiknya diatasi dengan kontrol perdarahan yang
dilakukan secara dini. Ini mungkin hanya dapat dicapai dengan tindakan
operatip atau pemasangan fiksasi eksternal pada fraktur pelvis. Usaha menjaga
suhu tubuh penderita harus dilakukan dengan sungguh-sungguh.

2.6.2 Tahap Resusitasi


Mengevaluasi ABC:

Airway
Airway harus dijaga dengan baik pada semua penderita. 2-3 Jaw thrust atau chin lift
dapat dipakai. Pada penderita yang masih sadar dapat dipakai naso-pharyngeal
airway. Bila penderita tidak sadar dan tidak ada refleks bertahak (gag reflex) dapat
dipakai oro-pharyngeal airway. Bila ada keraguan mengenai kemampuan menjaga
airway, lebih baik memasang airway definitif.10

Breathing/ventilasi/oksigenasi
Kontrol jalan nafas pada penderita yang airway terganggu karena faktor mekanik,
ada gangguan ventilasi atau ada gangguan kesadaran, dicapai dengan intubasi
endo-trakeal, baik oral maupun nasal. Prosedur ini harus dilakukan dengan kontrol
terhadap servikal. Surgical airway (crico-thyroidotomy) dapat dilakukan bila intubasi
endo-trakeal tidak memungkinkan karena kontra-indikasi atau karena masalah teknis.
Adanya tension pneumothorax akan sangat mengganggu ventilasi, dan bila curiga
akan adanya keadaan ini , harus segera dilakukan dekompresi.Setiap penderita

23
trauma diberikan oksigen. Bila tanpa intubasi, sebaiknya oksigen diberikan dengan
face-mask Pemakaian pulse oximeter baik untuk menilai Saturasi O2 yang adekuat.10

Circulation (dengan kontrol perdarahan)


Melakukan kontrol perdarahan dengan tekanan langsung atau secara operatif.
Bila ada gangguan sirkulasi harus dipasang sedikitnya 2 IV line. Kateter IV yang
dipakai harus berukuran besar. Besar arus (tetesan infus) yang didapat tidak
tergantung dari ukuran vena melainkan tergantung dari besar kateter IV dan
berbanding terbalik dengan panjang kateter IV.2,5 Pada awalnya sebaiknya
menggunakan vena pada lengan. Jenis jalur IV line lain seperti vena seksi, atau
vena sentralis tergantung dari kemampuan petugas yang melayani. Pada saat
memasang kateter IV harus diambil contoh darah untuk permintaan darah dan
pemeriksaan laboratorium rutin, termasuk tes kehamilan pada semua penderita wanita
berusia subur. Perbaikan volume sirkulasi dengan cara pemberian cairan yang agresif
tidak dapat menggantikan proses penghentian (kontrol) perdarahan, baik manual
maupun operatif.10
Pada saat datang penderita di-infus cepat dengan 2-3 liter cairan kristaloid,
sebaiknya Ringer Lactat. Bila tidak ada respon dengan pemberian bolus kristaloid
tadi, diberikan darah segolongan (type specific). Bila tidak ada darah segolongan
dapat diberikan darah tipe O Rhesus negatip, atau tipe O Rh positip titer rendah.
Jangan berikan vasopresor, steroid atau Bicarbonas Natricus. Juga jangan terapi
syok hipovolemik dengan infuus RL atau pemberian darah secara terus menerus;
dalam keadaan ini harus dilakukan resusitasi operatif untuk menghentikan
perdarahan. Hipotermia dapat terjadi pada penderita yang diberikan Ringer Lactat
yang tidak dihangatkan atau darah yang masih dingin, atau bila penderita juga dalam
keadaan kedinginan karena tidak diselimuti. Untuk menghangatkan cairan dapat
dipakai alat pemanas cairan atau oven micowave sampai bersuhu 39C (oven
microwave jangan dipakai untuk menghangatkan darah).10

2.6.3 Tambahan pada Primary Survey dan Resusitasi

Monitor EKG

24
Monitor EKG dipasang pada semua penderita trauma. Disritmia, (termasuk
takikardia yang tidak diketahui sebabnya), fibrilasi atrium atau ekstra-sistol dan
perubahan segmen ST dapat disebabkan kontusio jantung Pulseless Electrical
Activity (PEA, dulu disebut Disosiasi elektro-mekanikal, electro-mechanical
dissociation, EMD) mungkin disebabkan tamponade jantung, tension pnemothorax,
dan/atau hipovolemia berat. Bila ditemukan bradikardia, konduksi aberan atau
ekstra-sistol harus segera dicurigai adanya hipoksia dan hipoperfusi. Hipotermia
yamg berat juga dapat menyebabkan disritmia.10

Kateter urin dan lambung

Harus dilakukan pemasangan kateter urin dan lambung yang merupakan bagian
dari proses resusitasi. Jangan lupa mengambil sampel urin untuk pemeriksaan urin
rutin.2
Kateter uretra
Produksi urin merupakan indikator yang peka untuk menilai keadaan
perfusi ginjal dan hemodinamik penderita. Kateter urin jangan dipasang
bila ada dugaan ruptur uretra. Kecurigaan akan adanya ruptur uretra
ditandai oleh :
1) adanya darah di orifisium uretra eksterna (meatal bleeding),
2) hematom di skrotum atau perineum
3) pada colok dubur prostat letak tinggi atau tidak teraba.
4) Adanya fraktur pelvis
Dengan demikian maka pemasangan kateter urin tidak boleh
dilakukan sebelum pemeriksaan genitalia dan colok dubur. Bila dicurigai
ruptur uretra harus uretrogram terlebih dahulu. Kadang-kadang ada
kesulitan memasang kateter uretra karena striktur uretra atau hiperplasia
prostat. Jangan lakukan manipulasi atau instrumentasi, dalam keadaan ini
lebih baik konsul urologi.10

Kateter Lambung

25
Kateter lambung dipakai untuk mengurangi distensi lambung dan
mengurangi kemungkinan muntah. Isi lambung yang pekat akan
mengakibatkan NGT tidak berfungsi, lagipula pemasangannya sendiri
dapat mengakibatkan muntah. Darah dalam lambung dapat disebabkan
darah tertelan, pemasangan NGT yang traumatik atau perlukaan lambung.
Bila lamina kribrosa patah atau diduga patah, kateter lambung
harus dipasang melalui mulut untuk mencegah masuknya NGT dalam
rongga otak. Dalam keadaan ini semua pipa jangan dimasukkan lewat
jalur naso-faringeal. Pemasangan kateter lambung dapat mengakibakan
muntah dan kemudian aspirasi. Petugas selalu harus siap terhadap
keadaan ini.10

Monitor
Monitoring hasil resusitasi sebaiknya didasarkan pada penemuan klinis seperti
laju nafas, nadi, tekanan nadi, tekanan darah, ABG (Arterial Blood Gases), suhu
tubuh dan keluaran (output) urin (hasil pemeriksaan di atas harus didapat secepatnya
setelah menyelesaikan survei primer).10

Laju nafas dan AGD dipakai untuk menilai airway dan breathing. ETT dapat
berubah posisi pada saat penderita berubah posisi. Alat pengukur CO2 secara
kolorimetrik mengukur End-Tidal CO2 dan merupakan cara yang baik untuk
menetapkan bahwa posisi ETT dalam trakea, dan bukan dalam esofagus. Penggunaan
alat ini tidak dapat menentukan bahwa letak ETT sudah tepat. Berbagai alat pengukur
CO2 elektronik (Capnograph) saat ini sudah banyak dijuaPenderita gelisah dapat
melakukan ekstubasi sendiri atau menggigit pipa endotrakeal. Re-evaluasi terhadap
Airway diperlukan pada keadaan ini.10
Penggunaan Pulse oximetry sangat bermanfaat. Pulse oximetry mengukur (dengan
kolorigrafi) kadar O2 saturasi, bukan PaO2. Suatu sensor diletakkan pada ujung jari
atau cuping telinga, dan kemudian mengukur Sat.O2, biasanya sekaligus tercatat
denyut nadi. Jangan memasang sensor pulse oximeter distal dari manset tensimeter,
karena hasil yang salah akan didapat pada saat manset dikembangkan. Hasil pulse
oxymeter harus diperbandingkan terhadap ABG.10

26
Pada penilaian tekanan darah harus disadari bahwa tekanan darah ini
merupakan indikator yang kurang baik guna menilai perfusi jaringan. Jangan puas
dengan mendapatkan tekanan darah normal, tetapi harus dipastikan bahwa perfusi
perifer sudah membaik. Pada orang tua ini dapat merupakan masalah, dan
monitoring invasif untuk menilai fungsi jantung mungkin dibutuhkan.10

2.6.4 Pemeriksaan Rontgen dan pemeriksaan tambahan lainnya

Pemakaian foto rontgen harus selektip, dan jangan mengganggu proses resusitasi.
Pada penderita dengan trauma tumpul harus dilakukan 3 foto :
1. Servikal (lateral)
2. Toraks (AP)
3. Pelvis (AP)
Foto toraks dan pelvis dapat membantu dalam proses resusitasi. Foto toraks dapat
mengenali kelaianan yang mengancam nyawa, dan foto pelvis mungkin menunjukkan
adanya dfraktur pelvis yang kemudian membutuhkan pemberian darah.
Foto servikal lateral yang menunjukkan fraktur merupakan penemuan sangat
penting, tetapi bila tidak tampak fraktur belum menyingkirkan kemungkinan fraktur.
Foto-foto ini dapat dilakukan memakai mesin X-ray yang portabel, namun tidak boleh
mengganggu proses resusitasi. Bila tidak memungkinkan, foto-foto ini dapat dilakukan
saat survei sekunder.2
Pada saat secondary survey dapat dilakukan foto servikal lengkap (termasuk
dengan mulut terbuka, open mouth odontoid) dan torako-lumbal AP bila ada dugaan
adanya fraktur vertebra dan bila tidak mengganggu proses resusitasi. Pada wanita
hamil, foto ronsen yang mutlak diperlukan, tetap dilakukan.10
Pemeriksaan DPL (Diagnostik peritoneal lavage) dan USG abdomen merupakan
pemeriksaan yang bermanfaat untuk menentukan adanya perdarahan intra-abdomen.
Pemakaian cara di atas tergantung keahlian operator. Penetapan dini dari sumber
perdarahan intra-abdominal mungkin membantu dalam keputusan perlunya suatu
resusitasi operatip. Pemakaian baik DPL maupun USG abdomen dapat
menimbulkan masalah. Pada penderita gemuk atau gas intra-luminal dapat timbul

27
kesalahan interpretasi USG. Kegemukan juga merupakan masalah pada DPL. Pada
keadaan di atas harus dicari alternatif lain yang ditentukan oleh ahli bedah.10

2.6.5 Secondary survey


Secondary survey baru dilakukan setelah primary survey selesai, resusitasi
dilakukan dan ABC-nya penderita dipastikan membaik. Survai sekunder adalah
pemeriksaan kepala-sampai-kaki (head to toe examination), termasuk re-evaluasi
pemeriksaan tanda vital. Peluang untuk membuat kesalahan dalam penilaian
penderita yang tidak sadar atau gawat cukup besar, sehingga diperlukan pemeriksaan
teliti yang menyeluruh.10
Pada survai sekunder ini dilakukan pemeriksaan neurologi lengkap, termasuk
mencatat skor GCS bila belum dilakukan dalam survai primer. Pada secondary
survey ini juga dikerjakan foto ronsen yang diperlukan. Prosedur khusus seperti
lavase peritoneal, evaluasi radiologis dan pemeriksaan laboratorium juga dikerjakan
pada kesempatan ini. Evaluasi lengkap dari penderita memerlukan evaluasi berulang-
ulang.10

Anamnesis
Setiap pemeriksaan yang lengkap memerlukan anamnesis mengenai riwayat
perlukaan. Seringkali data seperti ini tidak bisa didapat dari penderita sendiri, dan
harus didapat dari petugas lapangan atau keluarga.

Riwayat "AMPLE" patut diingat :


A: Alergi
M: Medikasi (obat yang diminum saat ini)
P: Past illness (penyakit penyerta)/Pregnancy
L: Last meal
E:Event\environment (lingkungan) yang berhubungan dengan kejadian
perlukaan.

28
Mekanisme perlukaan sangat menentukan keadaan penderita. Petugas
lapangan seharusnya melaporkan mekanisme perlukaan. Jenis perlukaan dapat
diramalkan dari mekanisme kejadian perlukaan itu Trauma biasanya dibagi dalam 2
jenis : tumpul dan tajam.

1. Trauma tumpul

Trauma tumpul dapat disebabkan kecelakaan lalu lintas (KLL), terjatuh,


kegiatan rekreasi atau pekerjaan. Keterangan penting yang dibutuhkan pada
KLL mobil adalah pemakaian sabuk pengaman, deformasi kemudi, arah
tabrakan, kerusakan kendaraan dalam bentuk kerusakan mayor pada bentuk
luar, atau indentasi ke dalam kompartemen/kabin, atau terlempar
keluarnya penumpang. Terlempar keluarnya penumpang akan sangat
menambah kemungkinan parahnya perlukaan. Pola perlukaan dapat
diramalkan dari mekanisme trauma-nya. Pola perlukaan juga sangat
dipengaruhi usia dan aktivitas.10

2. Trauma tajam

Trauma tajam akibat pisau atau benda tajam dan senjata api semakin
sering ditemukan. Faktor yang menentukan jenis dan berat perlukaan adalah
daerah tubuh yang terluka, organ yang terkena dan velositas (kecepatan).
Dengan demikian maka velositas, kaliber, arah dan jarak dari senjata
merupakan informasi yang penting diketahui.10

Tabel 1. Mekanisme perlukaan dan pola perlukaan

Mekanisme perlukaan Kemungkinan pola perlukaan


Benturan frontal fraktur servikal
Kemudi bengkok flail chest anterior
Jejak lutut pada dashboard kontusio miokard

29
bulls eye pada kaca depan pneumothorax
ruptur aorta
ruptur lien/hepar
fraktur/dislocatio coxae, lutut
Benturan samping, mobil Sprain servikal kontralateral
Fraktur servikal
flail chest lateral
pneumothorax
ruptur aorta
ruptur diafragma
ruptur hepar/lien/ginjal
fraktur pelvis/asetabulum
Benturan belakang, mobil Fraktur servikal
Kerusakan jaringan lunak leher
Terlempar keluar, kendaraan Semua jenis perlukaan
Mortalitas jelas meningkat
Pejalan kaki >< mobil Trauma kapitis
Perlukaan toraks/abdomen
Fraktur tungkai/pelvis

Pemeriksaan fisik

1. Kepala
Survei sekunder mulai dengan evaluasi kepala. Seluruh kulit kepala dan kepala
harus diperiksa akan adanya luka, kontusio atau fraktur. Karena kemungkinan
bengkaknya mata yang akan mempersulit pemeriksaan kemudian, mata harus
diperiksa akan adanya :
a. Acies visus
b. Ukuran pupil
c. Perdarahan konjungtiva dan fundus

30
d. Luka tembus pada mata
e. Lensa kontak (ambil sebelum terjadi edema)
f. Dislocatio lentis
g. Jepitan otot bola mata
Acies visus dapat diperiksa dengan membaca gambar Snellen, atau membaca
huruf pada botol infus atau bungkus perban. Gerakan bola mata harus diperiksa
karena kemungkinan terjepitnya otot mata oleh fraktur orbital. Bengkaknya wajah,
atau penurunan kesadaran penderita akan mempersulit pemeriksaan mata, tetapi
bagaimanapun juga harus diperiksa apa yang masih dapat diperiksa.10

2. Maksilo-fasial

Trauma maksilofasial dapat menganggu airway atau perdarahan yang hebat, yang
harus ditangani saat survei primer. Trauma maksilofasial tanpa gangguan airway
atau perdarahan hebat, baru dikerjakan setelah penderita stabil sepenuhnya dan
pengelolaan definitif dapat dilakukan dengan aman. Penderita dengan fraktur
tulang wajah mungkin juga ada fraktur pada lamina cribrosa. Dalam hal ini,
pemakaian kateter lambung harus melalui jalan oral.Terdapat fraktur daerah wajah
yang terkadang sulit dikenal seperti misalnya fraktur os nasalis, fraktur
zygomaticus, dan fraktur pada rima orbita. Reevaluasi berulang-kali akan
membantu menemukan keadaan ini.10

3. Vertebra Servikalis dan Leher

Penderita dengan trauma kapitis atau maksilofasial dianggap ada fraktur


servikal atau kerusakan ligamentous servikal; pada leher kemudian dilakukan
imobilisasi sampai vertebra servikal telah diperiksa dengan teliti. Tidak adanya
kelainan neurologis tidak menyingkirkan kemungkinan fraktur servikal, dan
tidak adanya fraktur servikal hanya ditegakkan setelah ada foto servikal, dan foto
ini telah diperiksa dokter yang berpengalaman. Pemeriksaan leher meliputi
inspeksi, palpasi dan auskultasi.10

31
Nyeri daerah vertebra servikalis, emfisema subkutan, deviasi trakea dan
fraktur laring dapat ditemukan pada pemeriksaan yang teliti. Dilakukan palpasi dan
auskultasi pada a.karotis. Adanya jejas daerah a.karotis harus dicatat karena
kemungkinan adanya perlukaan pada a.karotis. Penyumbatan atau diseksi
a.karotis dapat terjadi secara lambat, tanpa gejala dini. Angiografi atau Doppler
Sonografi dapat menyingkirkan kelainan ini. Kebanyakan trauma arteri besar
daerah leher disebabkan trauma tajam, namun trauma tumpul leher atau cedera
karena sabuk pengaman dapat menyebabkan kerusakan intima, diseksi dan
trombosis. Bila penderita memakai helm, dan ada kemungkinan fraktur servikal,
harus berhati-hati sekali saat melepas helm tersebut. Luka daerah leher yang
menembus platisma, jangan dilakukan eksplorasi di bagian emergensi, karena unit
emergensi biasanya tidak siap menghadapi masalah ini. Perlukaan ini
membutuhkan seorang ahli bedah, baik untuk supervisi ataupun untuk tindakan
operatip.10
Penemuan adanya perdarahan aktif, hematoma yang ekspanding, bruit atau
gangguan airway biasanya membutuhkan tindakan operatif. Monoparesis satu
lengan sering disebabkan kerusakan pada radiks pleksus brakhialis. Trauma
tumpul leher mungkin disertai gejala yang timbul lambat, contoh adalah cedera
intima a. karotis. Pada penderita koma, cedera pleksus servikalis sulit terdiagnosa.
Mempertimbangkan biomekanika trauma mungkin satu satunya cara. Pada
beberapa penderita, ulkus dekubitus daerah sakrum atau tempat lain, akan timbul
dengan cepat akibat pemakaian kolar atau Long Spine Board.10

4. Toraks
Inspeksi akan menunjukkan adanya flail chest atau open pneumo-thorax.
Palpasi harus dilakukan pada setiap iga dan klavikula. Penekanan pada sternum
dapat nyeri bila ada fraktur sternum atau ada costochondral separation. Kontusio
dan hematoma pada dinding dada mungkin disertai kelainan dalam rongga toraks.
Kelainan pada toraks akan disertai nyeri dan/atau dispnoe.
Evaluasi toraks dapat dilakukan dengan pemeriksaan fisik disusul foto toraks.
Bising nafas diperiksa pada bagian atas toraks untuk menentukan pneumo-toraks,

32
dan pada bagian posterior untuk adanya hemo-toraks. Auskultasi mungkin sulit
bila lingkungan berisik, tetapi harus tetap dilakukan. Bunyi jantung yang lemah
disertai tekanan nadi yang kecil mungkin disebabkan tamponade jantung.10
Adanya tamponade jantung atau tension pneumo-thorax dapat terlihat dari
adanya distensi pada vena jugularis, walaupun adanya hipovolemia akan
meniadakan tanda ini. Melemahnya bising nafas dan hipersonor pada perkusi
paru disertai syok mungkin satu-satunya tanda akan adanya tension pneumo-
toraks, yang menandakan perlunya dekompresi segera. Foto toraks dapat
menunjukkan adanya hemo atau pneumotoraks. Mungkin ada fraktur iga yang
tidak terlihat pada foto toraks. Mediastinum yang melebar atau menyimpangnya
NGT ke arah kanan dapat merupakan tanda ruptur aorta.
Pada orang tua, trauma toraks yang ringan dapat berakibat berat.
Memburuknya pernafasan harus diantisipasi, dan sudah dibantu sebelum keadaan
menjadi jelek. Anak kecil dapat mengalami trauma toraks yang berat tanpa
kerusakan tulang.

5. Abdomen
Trauma abdomen harus ditangani dengan agresif. Diagnosis yang tepat tidak
terlalu dibutuhkan, yang penting adalah adanya indikasi untuk operasi. Pada saat
penderita baru datang, pemeriksaan abdomen yang normal tidak menyingkirkan
diagnosis perlukaan intra abdomen, karena gejala mungkin timbul agak lambat.
Diperlukan pemeriksaan ulang dan observasi ketat, kalau bisa oleh petugas yang
sama. Diperlukan konsultasi ahli bedah.
Penderita dengan hipotensi yang tidak dapat diterangkan, kelainan
neurologis, gangguan kesadaran karena alkohol dan/atau obat dan penemuan
pemeriksaan fisik abdomen yang meragukan, harus dipertimbangkan diagnostik
peritoneal lavage (DPL), USG abdomen, atau bila keadaan umum memungkinkan,
pemeriksaan CT Scan abdomen dengan kontras. Fraktur iga-iga terbawah atau

33
pelvis akan mempersulit pemeriksaan, karena nyeri dari daerah ini akan
mempersulit palpasi abdomen.
Manipulasi pelvis yang berlebihan harus dihindarkan. Foto pelvis (AP)
dilakukan untuk menentukan adanya fraktur, karena fraktur pelvis cukup sering
diikuti dengan perdarahan hebat yang dapat menimbulkan syok. Diagnosis
perlukaan retro-peritoneal kadang-kadang sulit di-diagnosis walaupun sudah
dilakukan USG abdomen. Contoh adalah cedera usus retro-peritoneal dan
pankreas.10

6. Perineum / rektum / vagina


Perineum diperiksa akan adanya kontusio, hematoma, laserasi dan
perdarahan uretra. Colok dubur harus dilakukan sebelum memasang kateter uretra.
Harus diteliti akan kemungkinan adanya darah dari lumen rektum, prostat letak
tinggi, adanya fraktur pelvis, utuh tidaknya dinding rektum dan tonus m.sfinkter
ani.Pada wanita, pemeriksaan colok vagina dapat menentukan adanya darah dalam
vagina atau laserasi. Juga harus dilakukan tes kehamilan pada semua wanita usia
subur. Kerusakan uretra pada wanita, walaupun jarang, dapat terjadi pada fraktur
pelvis dan straddle injury. Bila terjadi, kelainan ini sulit dikenali.10

7. Muskulo-skeletal
Ekstremitas diperiksa untuk adanya luka atau deformitas. Fraktur yang
kurang jelas dapat ditegakkan dengan memeriksa adanya nyeri, krepitasi atau
gerakan abnormal. Fraktur pada pelvis dikenal dengan adanya jejas daerah ala
ossis ilii, pubis, labia atau skrotum. Nyeri pada kompresi kedua SIAS, atau adanya
mobilitas pelvis dan simfisis osis pubis membantu diagnosis. Karena manipulasi
pelvis seperti ini dapat menyebabkan perdarahan, sebaiknya tes kompresi ini hanya
dilakukan satu kali, kalau bisa oleh ahli bedah. Penilaian pulsasi dapat menentukan
adanya gangguan vaskular. Perlukaan berat pada ekstremitas dapat terjadi tanpa
disertai fraktur. Kerusakan ligamen dapat menyebabkan sendi menjadi tidak stabil,
kerusakan otot-tendo akan menggangu pergerakan.10

34
Gangguan sensasi dan/atau hilangnya kemampuan kontraksi otot dapat
disebabkan kerusakan saraf perifer atau iskemia (termasuk karena sindrom
kompartemen). Adanya fraktur torako-lumbal dapat dikenal pada pemeriksaan
fisik dan riwayat trauma. Perlukaan pada bagian lain mungkin menghilangkan
gejala fraktur torako-lumbal, dan dalam keadaan ini hanya dapat di diagnosis
dengan foto ronsen. Pemeriksaan muskulo-skeletal tidak lengkap bila belum
dilakukan pemeriksaan punggung penderita.10
Perdarahan dari fraktur pelvis dapat berat dan sulit dikontrol, sehingga
terjadi syok yang dapat berakibat fatal. Fraktur pada tangan dan kaki sering tidak
dikenal, apalagi bila penderita dalam keadaan tidak sadar. Apabila kemudian
kesadaran pulih kembali, barulah kelainan ini dikenali. Kerusakan jaringan lunak
sekitar sendi seringkali baru dikenal setelah penderita mulai sadar kembali.10

8. Neurologis

Pemeriksaan neurologis yang teliti meliputi pemeriksaan tingkat kesadaran,


ukuran dan reaksi pupil, pemeriksaan motorik dan sensorik. Perubahan dalam status
neurologis dapat dikenal dengan pemeriksaan GCS. Bila ada cedera kepala, harus
segera dilakukan konsultasi neurologis.
Harus dipantau tingkat kesadaran penderita, karena merupakan gambaran
perkembangan cedera intra-kranial. Bila terjadi penurunan status neurologis harus
diteliti ulang perfusi, oksigenasi dan ventilasi (ABCDE). Mungkin diperlukan
tindakan pembedahan atau tindakan lain untuk menurunkan peninggian tekanan
intra-kranial. Perlunya tindakan bedah bila ada perdarahan epidural, subdural atau
fraktur kompresi ditentukan ahli bedah saraf.
Peninggian tekanan intra-kranial akan menurunkan perfusi darah ke otak.
Hampir semua tindakan diagnostik maupun terapeutik akan meninggikan tekanan
intra-kranial, sebagai contoh adalah tindakan intubasi endotrakeal, karena itu
intubasi endotrakeal harus dilakukan sehalus mungkin.10
Walaupun sudah dilakukan semua usaha untuk mencegah peninggian
tekanan intra-kranial, penurunan keadaan neurologis dapat saja terjadi dengan
cepat. Adanya paralisis atau paresis dapat disebabkan kerusakan kolumna

35
vertebralis atau saraf perifer. Imobilisasi penderita dengan long spine board, kolar
servikal dan alat imobilasi lain dilakukan sampai terbukti tidak ada fraktur
servikal. Kesalahan yang sering dilakukan adalah untuk melakukan fiksasi
terbatas kepada kepala dan leher saja, sehingga penderita masih dapat bergerak
dengan leher sebagai sumbu.10

2.6.6 Tambahan pada Secondary Survey


Dalam melakukan secondary survey, mungkin akan dilakukan pemeriksaan
diagnostik yang lebih spesifik seperti misalnya foto tambahan dari tulang belakang
serta ekstremitas, CT scan kepala, dada, abdomen dan spine, urografi dan
angiografi, USG transesofageal, bronkhoscopi, esofagoscopi dan prosedur
diagnostik lain. Seringkali ini membutuhkan transportasi penderita ke ruangan
dimana tidak tersedia perlengkapan untuk resusitasi. Dengan demikian semua
prosedur di atas jangan dilakukan sebelum hemodinamik penderita telah stabil dan
telah diperiksa secara teliti.10

2.6.7 Re-Evaluasi
Penurunan keadaan dapat dikenal apabila dilakukan evaluasi ulang terus
menerus, sehingga gejala yang baru timbul segera dapat dikenali dan dapat ditangani
secepatnya. Masalah gawat lain dapat timbul kemudian walaupun pada saat awal
masalah yang mengancam nyawa telah ditangani. Penyakit penyerta dapat
menjadi manifest. Kewaspadaan yang tinggi akan memungkinkan diagnosis dini dan
terapi segera.
Monitoring tanda vital dan keluaran urin penting. Produksi urin pada orang
dewasa sebaiknya dijaga 1/2 cc/kgBB/jam, pada anak 1cc/kgBB/jam.
Bila penderita dalam keadaan kritis dapat dipakai pulse oximetry dan end-
tidal CO2 monitoring. Penanganan rasa nyeri merupakan hal yang penting. Rasa nyeri
dan ketakutan akan timbul pada penderita trauma, terutama pada perlukaan muskulo-
skeletal. Golongan Opiat atau anksiolitika harus diberikan secara intra-vena dan
sebaiknya jangan intra-muskular. Obat-obat ini harus diberikan secara berhati-hati

36
dan cukup untuk mencapai analgesi atau menghilangkan ketakutan. Harus diingat
bahwa obat golongan opiat dapat menyebabkan depresi pernafasan, menghilangkan
gejala terutama cedera yang ringan, dan menyebabkan kesulitan pada pemeriksaan
fisik yang kemudian akan dilakukan. Dengan demikian, maka opiat dan obat
analgesik lain baru dipakai setelah konsultasi bedah selesai.10

2.7 Rekomendasi untuk Non Operative Management (NOM)

2.7.1 Trauma Tumpul Hepar

Pasien harus menjalani upaya awal NOM dalam skenario trauma tumpul, hemodinamik
yang stabil, dan trauma hepar yang terisolasi, terlepas dari grade trauma. NOM tidak
diindikasikan pada kasus hemodinamik yang tidak stabil atau peritonitis. NOM harus
dipertimbangkan hanya dalam lingkungan yang memberikan kemampuan untuk
pemantauan intensif pasien, angiografi dan ruang operasi yang selalu tersedia. CT
abdomen dengan kontras intravena harus selalu dilakukan untuk mengidentifikasi
trauma hepar dan memberikan informasi penting untuk pertimbangan NOM. Angiografi
dengan embolisasi dapat dianggap langkah pertama intervensi pada pasien dengan
hemodinamik yang stabil dan blush on (menandakan adanya perdarahan aktif) arteri
pada CT-scan.2

NOM untuk trauma hepar, telah meningkat selama abad terakhir karena tingkat
keberhasilan yang tinggi (82- 100%). Pendekatan tindakan non operatif ini pada
awalnya diterapkan pada pasien anak-anak dan dengan cepat telah diperluas
penggunaannya untuk orang dewasa. Pada trauma tumpul, NOM merupakan standar
perawatan pada pasien dengan hemodinamik yang stabil tanpa cedera terkait lainnya
yang memerlukan OM. NOM dikontraindikasikan pada kasus dengan hemodinamik
yang tidak stabil atau peritonitis. Croce et al. dalam percobaan kasus kontrol prospektif,
melaporkan tingkat yang lebih rendah dari komplikasi dan angka yang lebih rendah dari
transfusi pada pasien yang stabil diobati non - bedah, terlepas dari keparahan trauma
hepar.2

Keuntungan dari NOM meliputi: biaya rumah sakit yang lebih murah, keluarnya lebih
awal, menghindari non-terapi laparotomy dan tidak perlu reseksi hati, lebih sedikit

37
komplikasi intra-abdominal dan mengurangi jumlah transfusi. Namun, pada pasien
dengan cedera kepala berat dan lanjut usia, hipotensi mungkin merusak keuntungan
dari NOM, dan OM bisa disarankan sebagai pilihan yang lebih aman.2

Advanced Trauma Life Support (ATLS) menganggap definisi sebagai pasien yang
"tidak stabil" dengan: tekanan darah <90 mmHg dan denyut jantung >120 bpm, dengan
bukti vasokonstriksi kulit (dingin, berkeringat, penurunan isi ulang kapiler/capillary
refill test), perubahan tingkat kesadaran dan / atau sesak napas.2

Setelah status hemodinamik, grade trauma berdasarkan AAST dan adanya cedera
multiple organ tampaknya menjadi prediktor utama kegagalan NOM. Namun tidak ada
konsensus tentang faktor risiko kegagalan NOM. Untuk alasan ini NOM hanya dapat
dikerjakan di pusat-pusat yang mampu menyimpulkan diagnosis yang tepat dari tingkat
keparahan trauma hepar dan mampu melakukan manajemen yang intensif (sering
melakukan kontrol hemaoglobin, sering melakukan pemantauan klinis dan CT-scan 24
jam, angiografi, dan selalu tersedia ruang operasi). Saat ini, tidak ada penelitian
melaporkan jenis optimal dan durasi pemantauan. Velmahoset al. menganggap bahwa
prediktor kegagalan NOM adalah hipotensi pada saat pasien masuk, grade cedera CT-
scan yang tinggi, kontras ekstravasasi aktif pada CT-scan, dan kebutuhan untuk
transfusi darah. Selanjutnya penulis lain menambahkan dimensi hemoperitoneum
(darah di sekitar hati, saluran peri-kolik,dan di panggul), usia lebih dari 55 tahun, status
neurologis yang berubah, cedera terkait, tingkat laktat, dan penurunan hematokrit >
20% pada jam pertama, sebagai faktor risiko kegagalan NOM. Namun, kriteria ini tidak
diidentifikasi sebagai kontraindikasi mutlak untuk NOM.1,2

Jumlah transfusi yang diperlukan untuk dilakukan tindakan NOM atau OM masih
diperdebatkan. Pachter et al. menunjukkan bahwa lebih dari 2 unit transfusi dan
diperkirakan jumlah darah intraperitoneal lebih dari 500 ml menunjukkan perdarahan
yang sedang berlangsung dan bahwa OM diperlukan. Carillo et al. menyarankan tidak
lebih dari 4 unit darah pada hepar berhubungan dengan transfusi, dan Kozar et al.
melaporkan prediktor dari hepar yang berkaitan dengan komplikasi berdasarkan grade
trauma hepar dan ketentuan transfusi 24 jam.1,2

38
Angioembolisasi dianggap oleh beberapa penelitian sebagai "perluasan" dari resusitasi
pada pasien dengan kebutuhan resusitasi yang berkelanjutan, tetapi praktik ini dapat
diterapkan dengan aman hanya di pusat-pusat yang dipilih. Beberapa makalah telah
melaporkan awal angio-embolisasi dapat mengurangi kebutuhan untuk transfusi dan
bedah. Baru-baru ini, sidang Norwegia dengan kontrol sejarah, menerapkan NOM
untuk pasien yang stabil dengan blush on CT-scan atau dengan perdarahan klinis tanpa
blush on dengan grade trauma hepar III-V. Hal tersebut menunjukkan penurunan jumlah
total laparotomi (24%-49%) dengan tingkat kegagalan NOM yang stabil (13%),
penurunan kebutuhan transfusi dan mortalitas, dan mengurangi kejadian komplikasi
(44%-58%). Dalam kasus apapun awal penggunaan prosedur ini mungkin bermanfaat.2

Dalam cedera multi-organ, terutama dalam kasus-kasus yang berkaitan dengan hepar
dan trauma limpa, sebuah penelitian terbaru oleh Hsieh et al. melaporkan bahwa NOM
layak juga dalam kasus trauma hepato-limpa dengan grade yang tinggi (81,4% NOM vs
18,7% OM) dengan tingkat kegagalan 3,7% untuk trauma hati dan tingkat kegagalan
7,1% untuk trauma limpa. Dalam cedera multi-organ prediktor dari kegagalan NOM
adalah: awal kadar hemoglobin rendah, peningkatan kebutuhan transfusi di ICU.2

Komplikasi NOM pada trauma hati tumpul timbul khususnya di grade trauma yang
tinggi (komplikasi keseluruhan: 0- 7%, komplikasi di kelas cedera III-V: 12,6% -14%).
Pemeriksaan klinis, tes darah, USG dan CT-scan dapat membantu dalam diagnosis,
tetapi tindak lanjut dengan menggunakan CT-scan secara rutin tidak diperlukan. Namun
kontrol CT-scan diperlukan dalam kasus respon inflamasi persisten pada tes
laboratorium, demam, nyeri perut, sakit kuning dan penurunan tingkat hemoglobin.
Komplikasi tersering dari NOM adalah dari organ empedu (kebocoran kandung
empedu, hemobilia, bilioma, peritonitis empedu, fistul empedu), perdarahan, sindrom
kompartemen abdominal, infeksi (abses dan infeksi lain) dan nekrosis hepar.
Pemeriksaan dengan USG berguna pada tindak lanjut NOM trauma hepar, terutama
untuk penilaian kebocoran empedu/biloma pada grade IV-V, terutama dengan sebuah
laserasi sentral.2

Komplikasi utama yang dapat terjadi adalah pendarahan ulang atau perdarahan
sekunder (seperti pada pecahnya hematoma berkapsul atau aneurisma palsu). "Akhir"

39
perdarahan umumnya terjadi dalam waktu 72 jam setelah trauma, dan kejadian
keseluruhan adalah 0% sampai 14%. Untungnya sebagian besar kasus (69%) dapat
diobati secara non operatif. "Akhir" perdarahan umumnya terjadi dalam waktu 72 jam
setelah trauma, dan kejadian keseluruhan adalah 0% sampai 14%. Untungnya sebagian
besar kasus (69%) dapat diobati non operatif. Berbeda dengan cedera limpa, cedera
hepar berperilaku terutama dalam dua cara: baik dengan berlebihan perdarahan di awal
sehingga memerlukan OM, atau tanpa perdarahan aktif yang dapat dengan aman
dikelola dengan NOM. Pasca trauma pseudo-aneurisma arteri hepatica jarang terjadi
(1,2 % dengan 70-80% ekstra-hepar dan 17-25% intra-hepar) dan kejadian tersebut
dapat ditangani dengan embolisasi selektif.2

Komplikasi empedu dapat terjadi pada 1/3 kasus dan dapat dikontrol dengan
Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP) dan pemasangan stent
pada akhirnya, drainase perkutan dan terakhir dengan intervensi bedah (terbuka atau
laparoskopi). Kebocoran empedu dapat terjadi pada 3- 20% dari NOM. Dalam kasus
kebocoran empedu ringan, sebuah pendekatan konservatif dapat dengan aman
diupayakan, namun hasil yang tinggi pada fistula empedu (lebih dari 300-400 ml/d atau
ketika drainase empedu setidaknya 50 ml/d secara terus-menerus setelah 2 minggu)
akan memberikan keuntungan apabila dilakukan tindakan ERCP lebih awal. Juga
intrahepatik empedu-vena fistula (sering dikaitkan dengan bulimia) dapat ditangani
dengan ERCP.2

Abses peri-hepar memiliki insiden rendah (0%-7%) dan dapat ditangani dengan CT-
scan atau USG untuk mengarahkan tindakan drainase. Nekrosis dan devaskularisasi
dari segmen hepar bisa terjadi dan secara klinis dapat menimbulkan elevasi
transaminase, koagulopati, kebocoran empedu, nyeri perut, intoleransi asupan nutrisi,
dan sepsis jika lebih parah. Pada kasus ini tindakan operasi akan diindikasikan.
Hemobilia jarang terjadi (kurang dari 3%), tapi sering dikaitkan dengan pseudo-
aneurisma. Embolisasi merupakan tindakan yang aman dan pendekatan pertama pada
pasien dengan hemodinamik stabil dan non-septik; sebaliknya manajemen bedah
bersifat wajib. Komplikasi jarang lainnya adalah sindrom kompartemen hati yang
mungkin terjadi dengan kehadiran hematoma subkapsular besar. Dekompresi hematoma

40
dengan drainase perkutan bisa aman. Sebuah pilihan yang valid untuk mengelola
komplikasi ini bisa menunda tindakan laparotomi atau laparoskopi yang harus
dipertimbangkan sebagai bagian dari strategi terapi, dan bukan kegagalan untuk NOM.
Beberapa penulis melaporkan bahwa tertundanya operasi dapat terjadi pada 24% pasien
yang dirawat non-operatif, dan sampai 67% pada pasien dengan lesi hepatik mayor
(kelas IV-V). Letoublon et al. beranggapan bahwa eksplorasi laparaskopi perut pada
hari kedua dan kelima lebih aman dan berguna terutama dalam kasus signifikan
hemoperitoneum, atau peradangan peritoneal atau pada jenis kasus secara klinis yang
berkaitan dengan hipertensi abdominal. Laparaskopi sederhana atau drainase
lapatatomik lavage dapat memadai dalam sebagian besar kasus.2,11

Penyakit tromboemboli terkait trauma dianggap penyebab kematian ketiga pada pasien
yang bertahan hidup 24 jam pertama setelah trauma. Trombosis vena dalam ditemukan
pada 58% kasus dan risiko emboli paru berkisar antara 2 sampai 22%. Kekhawatiran
perdarahan dapat menunda inisiasi profilaksis trombosis vena dalam (DVTP) pada
trauma hepar sering tertunda, terutama di NOM. Datta et al. dalam tinjauan multicenter
menunjukkan bahwa DVTP aman dan efektif jika dimulai dalam waktu 48 jam dari saat
pasien masuk rumah sakit. Juga Joseph et al. mengkonfirmasi data tentang keamanan
dan keampuhan awal DPVT pada trauma tumpul solid abdomen. Keterlambatan dalam
memulai DVTP menghasilkan peningkatan kejadian trombo-emboli pada vena tanpa
meningkatkan tingkat kegagalan NOM. Pada pasien NOM setelah trauma hepar, Taman
et al. menyarankan pengobatan awal dengan perangkat kompresi berurutan dan
sesegera mungkin (saat variasi tingkat hemoglobin adalah 0.5 g dari hasil imbang
sebelumnya) pengenalan DVTP di samping perangkat kompresi.2,8

Tindak lanjut pasca trauma adalah masalah yang masih belum jelas di NOM. Tidak ada
standar tindak lanjut dan protocol monitoring untuk mengevaluasi pasien dengan NOM
trauma hepar. Parks dan coll, mengulas pedoman NOM untuk keselamatan pasien dan
tetap bertahan secara optimal hanya berdasarkan kriteria klinis. Mereka menyarankan
pengukuran seri hemoglobin setiap 6 jam untuk 24 jam pertama pada pasien stabil
dengan I-II kelas sebelum keluar jika pasien tetap stabil, dan setiap 6 jam selama 12

41
jam pertama dan selanjutnya setelah setiap 12 jam di kelas cedera III-IV-V; pasien
diizinkan untuk berjalan setelah 24 jam.2

2.7.2 Trauma Tajam Hepar

NOM pada trauma tajam hepar dapat dilakukan apabila pasien tersebut mempunyai
status hemodinamik yang stabil tanpa disertai peritonitis dan atau pengeluaran isi perut
dan atau dalam keadaan tertusuk/penyulaan.

NOM pada trauma tajam hepar harus dipertimbangkan hanya dalam lingkungan yang
menyediakan kemampuan untuk pemantauan secara intensif pada pasien, angiografi,
dan ruang operasi yang selalu siap dan layak.2

Pemeriksaan klinis secara berurut dan eksplorasi luka lokal harus selalu dilakukan
dalam kasus luka tusuk.

CT-scan harus selalu dilakukan untuk mengidentifikasi luka tusuk pada hepar sesuai
untuk NOM.

Angioembolisasi adalah untuk dipertimbangkan dalam kasus perdarahan arteri pada


pasien dengan hemodinamik yang stabil tanpa tanda-tanda peritonitis, pengeluaran isi
perut atau dalam keadaan tertusuk/penyulaan.

Sampai tahun terakhir NOM belum dianggap layak dalam kasus trauma tembus baik
dalam luka tusukan dan di luka tembak. Bahkan, dalam kasus ini, mayoritas ahli bedah
menganggap OM sebagai standar atau, setidaknya, eksplorasi laparoskopi dianggap
sebagai pilihan yang layak. Namun, khusus untuk luka tusuk pada 70% pasien dianggap
tidak perlu. Studi terbaru ulasan pendekatan konservatif, menunjukkan tingkat tinggi
keberhasilan (50% dari luka tusuk (Stab Wounds, SWs) di anterior abdomen dan sekitar
85% di posterior abdomen). Konsep ini telah diterapkan juga dalam luka tembak
(Gunshot Wounds, GSWs). Namun, untuk menentukan baik untuk NOM atau OM
dalam kasus ini harus diingat perbedaan antara trauma tajam dengan energi rendah dan
dengan energi tinggi. Hanya dalam kasus energi yang rendah, baik SW dan GSW, NOM
bisa aman. Pada kenyataannya energi tinggi GSW dan cedera balistik lainnya yang
dianggap kurang bisa menerima NOM karena transfer energi tinggi, dan pada 90%

42
kasus OM diperlukan. Meskipun beberapa studi melaporkan tingkat terapi non-
laparatomi 25% pada GSWs abdomen, membenarkan bahwa dalam kasus selektif NOM
bisa diupayakan.2,9

Sepuluh percobaan dan serangkaian kasus yang dilaporkan tentang NOM dari luka
tembus hepar dengan tingkat keberhasilan mulai dari 69% sampai 100%. Beberapa
penelitian juga menyarankan sebuah algoritma untuk pengelolaan trauma tajam
abdomen. Poin-poin penting tetap untuk NOM : hemodinamik yang stabil, tanpa
adanya peritonitis, dan evaluable abdomen. Ketidakstabilan hemodinamik, adanya
peritonitis, atau pengeluaran isi dan atau penyulaan, OM harus diupayakan. Temuan ini
sangat penting dalam kasus luka tembakan. Navsaria et al. menyarankan sebagai
kriteria prediksi kegagalan NOM di GSWs abdomen adalah: berkaitan dengan cedera
kepala dan tulang belakang (yang menghalangi pemeriksaan klinis rutin) dan
penurunan yang signifikan dalam hemoglobin yang membutuhkan lebih dari 2- 4 unit
transfusi darah dalam 24 jam.2,9

Peran CT scan dalam evaluasi pasien dengan SWS belum terbukti, dan eksplorasi luka
lokal (Local Wound Exploration, LWE) dianggap lebih akurat daripada CT-Scan.
Beberapa dokumen menunjukkan laparotomy darurat diperlukan bahkan dalam
kehadiran CT-scan negatif. Biffl et al. menganggap CT-scan diperlukan terutama pada
NOM dengan pasien gemuk (obesitas) dan ketika saluran luka panjang, tangensial dan
sulit untuk menentukan lintasannya. Terutama dalam kasus GSWs CT-scan dapat
membantu dalam menentukan lintasannya, tetapi tidak semua penulis menganggap itu
wajib di semua pasien yang menjalani NOM. Beberapa penulis tidak menggunakan CT-
scan sama sekali dalam algoritma mereka, dan penulis yang lain menggunakan CT-scan
hanya pada pasien tertentu tetapi tanpa menjelaskan kriteria seleksi. Velmahos et al.
melaporkan bahwa di GSWs CT-scan memiliki spesifisitas 96% dan sensibilitas dari
90,5% untuk cedera yang memerlukan laparotomi. Manfaat potensial dari CT scan
sebaiknya mengurangi tingkat laparotomi non-terapi dan akibatnya meningkatkan
pasien untuk menjalani NOM. Namun pemeriksaan klinis secara urut tetap merupakan
standar emas untuk menentukan dilakukannya OM atau NOM.2,9

43
Dalam hal deteksi CT-scan udara bebas pada intra atau retro peritoneal, cairan bebas
intra-peritoneal dengan tidak adanya cedera organ padat, penebalan dinding usus lokal,
peluru dekat dengan saluran viskus berongga dengan sekitarnya hematoma, NOM
merupakan kontraindikasi. Pemeriksaan klinis dan evaluasi hemoglobin yang ketat
harus dilakukan (4-jam selama minimal 48 jam, setelah stabil pasien dapat dipindahkan
ke bangsal). 2

Demetriades et al. melaporkan 27,6% dari kasus di mana tidak ada cedera intra-
abdominal yang signifikan ditemukan pada eksplorasi. Sehingga menunjukkan
kemungkinan untuk NOM aman pada kasus tertentu. Dalam kasus cedera hepar
Demetriades et al. menunjukkan 28,8% dari pasien yang dirawat non-operatif, 24,3%
dirawat dengan teknik bedah sederhana, dan 22,5% dari pasien yang diobati dengan
prosedur kerusakan-kontrol, dengan tingkat keberhasilan keseluruhan NOM (di semua
cedera organ) antara 60% dan 90 %. Dalam trauma tembus hepar angio-embolisasi
mungkin alat yang berharga untuk menghentikan perdarahan atau untuk mengobati
pseudo - aneurisma ketika terdapat blush CT-scan.11

Keenganannutama ahli bedah untuk melakukan pendekatan non-operatif pada trauma


tajam terkait dengan keraguan akan terlewatnya cedera perut yang lain, terutama
pervorasi viskus berongga. Namun di satu sisi, pada pasien tanpa peritonitis pada saat
masuk, tidak terdapat peningkatan angka kematian pada kasus terlewatnya perforasi
viskus berongga telah dilaporkan. Di sisi lain, non-terapi laparatomi dan laparatomi
rutin telah ditunjukkan meningkatkan angka komplikasi. Namun demikian, OM dengan
trauma tajam hepar memiliki tingkat yang lebih tinggi terkait komplikasi hepar (50-
52%) dibandingkan dengan trauma tumpul.2

2.7.3 Follow-up Sesudah Berhasil Melakukan NOM

Tidak ada indikasi definitif untuk tindak lanjut pasca trauma dan dimulainya kembali
aktivitas normal pada pasien yang menjalani NOM. Beberapa penulis menyarankan
pasien dengan grade trauma II-IV untuk melakukan kembali CT-scan setelah
mendapatkan terapi non bedah dan melakukan kunjungan rawat jalan sesudah 4-6
minggu. Pada pasien tanpa komplikasi, dapat melakukan aktivitas setelah 3-4 bulan

44
(karena mayoritas cedera sembuh dalam waktu 4 bulan). Oleh karena itu, kegiatan
dapat dimulai 1 bulan setelah trauma, jika hasil CT-scan (grade trauma III-IV) telah
menunjukkan penyembuhan yang signifikan.2

Kepada pasien diberitahukan atau dinasihatkan untuk tidak tinggal sendiri untuk waktu
yang lama dan segera kembali ke rumah sakit jika mereka mengalami dan terjadi
peningkatan keluhan nyeri perut, pusing, mual atau muntah.2

2.8 Rekomendasi untuk Operating Management (OM)

Pasien hendaknya menjalani OM pada trauma hepar (tumpul dan tajam) dalam kasus
ketidakstabilan hemodinamik, bersamaan dengan cedera organ internal, pengeluaran
isi atau penyulaan.2

Tujuan bedah utama adalah untuk mengontrol perdarahan, kebocoran empedu, dan
memungkinkan untuk resusitasi intensif sesegera mungkin.2

Reseksi mayor hepar harus dihindari pada awalnya, dan hanya pada kasus devitalisasi
besar bagian hati dan pada pusat-pusat dengan keahlian yang diperlukan.2

Angioembolisasi adalah alat yang berguna dalam kasus perdarahan arteri persisten.

Penyebab utama kematian dari trauma hepar adalah eksanguasi (kehilangan darah
yang hebat). Keputusan untuk OM pada trauma hepar terutama tergantung dari status
hemodinamik pasien dan dari cedera organ secara bersamaan.2

Untuk minor (grade I-II) dan sedang (grade III) pada cedera hepar, dan dalam kasus
yang menguntungkan (tidak ada perdarahan besar pada laparatomi) perdarahan
minimal dapat dikendalikan degan pembalutan hepar atau dengan elektrokauter,
perangkat bipolar, atau koagulasi sinar argon, agen topikal hemostatik, pembalutan
omentum.2

Dalam kasus cedera hepar yang berat (grade IV-V) dan bukan kasus yang
menguntungkan (ketika risiko lethal triad tinggi atau sudah ada), prosedur yang

45
lebih agresif dapat diperlukan (pertama dari semua kompresi manual hepar dan
pembalutan hepar, dengan pada akhirnya ligase pembuluh darah, debridemen hepar,
balon tamponade hingga prosedur shunting atau hepatic exclusion) berkaitan dengan
resusitasi intensif intra operasi dengan tujuan untuk membalikkan/mengembalikan
proses lethal triad.2

Pada semua kasus Damage Control Surgery (DCS) untuk trauma hepar ketika risiko
untuk berkembangnya sindrom kompartemen abdominal tinggi dan operasi yang
kedua setelah hemodinamik pasien stabil akan diperlukan, penutupan perut sementara
dinilai aman.2

Pembalutan hepar adalah maneuver pertama pada cedera hepar yang berat. Ini bisa
menjadi panduan pada awalnya dan selanjutnya bantalan kompresi yang mana
keduanya bertujuan untuk menghentikan perdarahan. Jangan membalut secara
berlebihan dengan kompresi yang dihasilkan dari vena cava inferior. Balutan harus
diangkat atau diganti dalam waktu 48-72 jam untuk menghindari risiko sepsis
intraabdomen.2

Gambar 7. Liver Packing2

Parasat Pringel (dengan tujuan untuk menghentikan sementara aliran darah portal dan
arteri ke hepar yang mengalami trauma) merupakan pilihan kedua, terutama pada

46
kasus perdarahan persisten setelah dilakukan pembalutan hepar, atau dilakukan
bersamaan dengan tindakan balut hepar pada pasien yang sekarat dengan cedera hepar
yang masif (banyak penulis menganjurkan bahwa periode klem pembuluh darah dari
20 menit dengan setiap akhir 5 menit dilakukan reperfusi hepar untuk menurunkan
kejadian iskemik-reperfusi).2

Gambar 8. Pringel Manuver2

Pada kasus dengan luka yang dalam sampai pada parenkim hepar, balon tamponade,
menggunakan kateter Foley atau Sengstaken-Blakemore untuk mengontrol perdarahan
merupakan pilihan layak pada pasien yang tidak berespon dengan tindakan pembalutan
hepar saja. Kateter tersebut dibawa keluar melalui kulit, dan dapat diangkat setelah
pengempisan 3-4 hari setelah ketika perdarahan berhenti.2

47
Gambar 9. Baloon Tamponade2

Pada trauma hepar grade yang tinggi reseksi hepar dapat dianggap sebagai pilihan
bedah. Polanco et al. dalam serangkaian 15 tahun dari 1049 pasien dengan cedera
hepar menunjukkan penurunan angka mortalitas (9-24% dibandingkan dengan 46-80%
pada awal abad terakhir) dan tingkat komplikasi yang rendah (morbiditas terkait
dengan reseksi hepar adalah 30%). Dua pertiga dari 216 pasien dengan grade cedera
yang tinggi (dengan trauma tumpul dan tembus) menjalani operasi, dan 56 menjalani
reseksi hati: 21 segmentectomi, 8 lobektomi kanan, 3 kiri lobectomi, 23 reseksi non-
anatomi, dan 1 total hepatectomy dengan transplantasi hati . Para penulis melaporkan
angka kematian dari cedera hati 9%, dan kematian secara keseluruhan dekat dengan
18%. Namun, peran reseksi hepar pada pasien trauma masih kontroversial dan
serangkaian penerbit menunjukkan frekuensi reseksi hepar dalam rentang trauma
antara 2% dan 5%. Pada pasien yang tidak stabil dan selama operasi epngendalian
kerusakan reseksi non anatomi lebih aman dan lebih mudah. Baik reseksi anatomi
maupun non-anatomi dapat dengan aman dilakukan dengan perangkat staple di tangan
orang yang berpengalaman.2

Jika perdarahan terus berlanjut meskipun sudah dilakukan maneuver awal (pembalutan
hepar, Pringle manuver), dan tampak ada luka pada arteri hepatica selama operasi,

48
arteri tersebut harus diperbaiki. Jika tindakan tersebut tidak mungkin, ligase arteri
hepatic selektif dapat dianggap sebagai pilihan yang layak. Dalam hal ini
koleksistektomi (ligasi umum arteri hepatic) haris dilakukan untuk menghindari
nekrosis kantung empedu. Prosedur ini digunakan pada 1% pasien dengan trauma
hepar yang berat. Pada kenyataannya, pasca operasi angioembolisasi merupakan
pilihan yang layak, bila mungkin, memungkinkan untuk control perdarahan sekaligus
mengurangi komplikasi. Faktanya, setelah ligasi arteri, risiko nekrosis hepar, biloma,
dan abses meningkat.2

Cedera vena portal harus diperbaiki sejak dini, dan ligasi vena harus dihindari karena
bisa menimbulkan nekrosis hepar dan udem usus besar. Balut hepar dan operasi yang
kedua atau reseksi hepar lebih disukai dari pada ligasi portal.2

Ketika Pringel maneuver atau control arter gagal untuk mengontrol perdarahan, dan
perdarahan berlanjut dari belakang hepar, menandakan adanya cedera pada vena
heaptik atau vena cava retrohepatik. Luka ini sering terjadi ketika ligamen suspensori,
diafragma, atau parenkim hati terganggu. Pilihan terapi ada 3: 1) tamponade dengan
pembalutan hepar, 2) perbaikan langsung (dengan atau tanpa isolasi pembuluh darah),
dan 3) reseksi lobus. Sebenarnya metode yang paling sukses mengelola cedera vena
yang berat adalah pembalutan hepar. Perbaikan vena langsung kurang aman di tangan
yang tidak berpengalaman, dengan tingkat kematian yang tinggi. Namun, di masa lalu,
kasus perbaikan vena dengan atau tanpa pirau dideskripsikan. Namun sebagian besar
dari deskripsi ini masih anekdot, luka ini memerlukan perencanaan intervensi bedah.
Pacher dan Feliciano mengusulkan perbaikan vena langsung tanpa pirau. Ketika
mengesampingkan vascular hepar diperlukan, berbagai jenis prosedur pirau telah
dijelaskan. Jenis pirau yang paling sering digunakan adalah Veno-veno bypass (saluran
femoralis ke ketiak atau jugularis) atau cangkok stent fenestrated oleh ahli bedah yang
familiar dengan penggunaannya. Pirau atrio-kava, diperkenalkan oleh Schrock pada
tahun 1968, dengan melewati alairan darah cava retro-hepar dengan tabung dada
dimasukkan ke dalam cava vena inferior sampai hati, melalui atrium kanan. Angka
kematian yang tinggi, karena kompleksitas dari lesi dan kesulitan prosedur.
Pengecualian hepar meliputi penghentian aliran darah ke hepar atau dari hepar, yakni

49
dengan menjepit rendah vena cava (supra-hepar dan sub-cava hepar), hilus hepar
(Pringle maneuver), terkait atau tidak dengan klem aorta intraabdominal. Tindakan ini
pada umumnya buruk ditoleransi pada pasien yang tidak stabil dengan kehilangan
darah yang banyak.2

Dalam keadaan darurat, transplantasi hepar telah dijelaskan dalam kasus avulsi hepar
atau cedera hancur total, ketika reseksi total hepar harus dilakukan. Dalam hal ini,
sistem vena portal dan vena sistemik harus didekompresi dengan pirau porto-cava.
Selama fase anheaptik (yang mana sebaiknya tidak boleh lebih dari 36 jam) pasien
akan membutuhkan intravena fresh-frozen plasma dan glukosa secara konstan.
Prosedur ini juga disebut 2 langkah transpalntasi. Namun, mayoritas pasien yang
menjalani transplantasi hepar pada kasus trauma yang ditransplantasikan selama 1
minggu sesudah cedera, karena gagal hepar terjadi hamper 50% kasus. Ketahanan
hidup telah dilaporkan mencapai 60%.2

Pada saat ini, peran yang tepat dari angioembolisasi pasca-operasi tidak didefinisikan
dengan baik. Beberapa penulis melaporkan tingginya tingkat pasien yang
membutuhkan angiografi untuk mengontrol arteri perdarahan pasca DCS (52-62%)
dan lain-lain melaporkan kematian rendah (12% vs 36%) pada pasien dengan cedera
kelas IV-V hati yang menjalani angio-embolisasi. Sebuah studi retrospektif Perancis
telah melaporkan dua indikasi utama dalam fase pasca-cedera akut untuk prosedur ini
setelah cedera hepar dengan grade yang tinggi: 1) setelah kontrol hemostatik operasi
primer pada hemodinamik stabil atau pasien yang stabil, dengan bukti CT-scan
perdarahan aktif, dan 2) sebagai tambahan kontrol hemostatik pada pasien dengan
tersangka perdarahan arteri tidak terkontrol meskipun laparotomy darurat. Namun
tidak semua penulis setuju tentang penggunaan angiography, dan tingkat komplikasi
yang tinggi pasca-prosedur (nekrosis parenkim, kebocoran empedu, abses dan
kegagalan hepar ) telah dilaporkan.2

2.9 Komplikasi

50
Sebagian besar pasien dengan trauma hepar berat mempunyai komplikasi, khususnya jika
tindakan operasi dilakukan. Knudson, dkk, mencatat komplikasi terjadi pada 52% pasien
trauma hepar grade IV-V merupakan hasil trauma tajam.2

Komplikasi signifikan setelah trauma hepar termasuk perdarahan post operatif,


koagulopati, fistul bilier, hemobilia, dan pembentukkan abses. Perdarahan post operasi terjadi
sebanyak <10% pasien. Hal ini terjadi mungkin karena hemostasis yang tidak adekuat,
koagulopati post operatif atau karena keduanya. Jika pasien tidak dalam keadaan hipotermi,
koagulopati atau asidosis, maka tindakan eksplorasi ulang haruslah dilaksanakan. Pembuluh
darah yang tampak mengalami perdarahan harus secara langsung divisualisasi dan ligasi,
meskipun kerusakan lebih luas diperlukan untuk eksplorasi yang adekuat.2

Daftar Pustaka

1. Ahmed NVernick J. Management of liver trauma in adults. Journal of


Emergencies, Trauma, and Shock. 2011:4(1):114.
2. Coccolini F, Montori G, Catena F, Di Saverio S, Biffl W, Moore E et
al. Liver trauma: WSES position paper. World Journal of Emergency Surgery. 2015;10(1).

51
3. Faiz O, Moffat D. At glance anatomi. Jakarta: Erlangga Medical
Series;2012.hal.41.
4. Sobbota. Atlas of human anatomy. Ed 14th (1).Munchen-Jena: Elsevier
urban and fischer;2006.pg.142
5. Netter. Atlas of human anatomy. Ed 6th. Philadelphia: Elsevier
Saunders; 2014.pg 277-9
6. Sherwood L. Fisiologi manusia dari sel ke sistem. Ed 8. Jakarta: EGC;
2014.pg 615-7.
7. Sjamsuhidajat-de Jong. Buku ajar ilmu bedah. Ed 3. Jakarta:
EGC;2010.hal.124-34.
8. Sabiston. Text book of surgery. Ed 19th. Philadelphia: Elsevier
Saunders; 2012.pg 438, 459-61.
9. Brunicardi FC, Andersen AK, Billiar TR, Dunn DL, Hunter JG.
Schwartzs principles of surgery. Ed 10th. United States: The McGraw-Hill Companies; pg .
180-4
10. American College of Surgeons. Advanced trauma live support student
course manual . Ed 9th. Chicago, IL: American College of Surgeons; 2012.pg 2-58.
11. D. Demetriades. Assessment and management of trauma. Ed 5 th.
California: Division of Trauma and Surgical Critical Care Department; 2009. pg. 90-2. SURGERY

52

Anda mungkin juga menyukai