Anda di halaman 1dari 12

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Persaingan pada industri bahan bakar minyak (BBM) di Indonesia dewasa

ini semakin menarik untuk dicermati, karena terjadi fluktuasi harga BBM

bersubsidi sejak dilantiknya pemerintahan baru di bawah Joko Widodo dan Jusuf

Kalla. Perubahan harga BBM bersubsidi sudah terjadi 5 kali hingga Agustus 2015.

Dimulai dengan dinaikkannya harga BBM bersubsidi pada tanggal 18 November

2014 melalui Peraturan Menteri (Permen) Energi dan Sumber Daya Mineral

(ESDM) Nomor 34 Tahun 2014 Tentang Harga Jual Eceran dan Konsumen

Pengguna Jenis Bahan Bakar Minyak Tertentu, kemudian diturunkannya harga

BBM pada tanggal 1 Januari 2015 dengan Permen ESDM No. 39 tahun 2014, dan

diturunkan kembali pada tanggal 19 Januari 2015 dengan Permen ESDM No. 4

tahun 2015. Kemudian dinaikkannya harga Premium sebesar Rp200,00 pada

tanggal 1 Maret 2015, dan terakhir pada tanggal 28 Maret 2015, harga Premium

dan Solar dinaikkan Rp500,00 menjadi Rp7.300,00 untuk Premium dan Rp900,00

untuk Solar.

Jika sebelumnya Pemerintah memberikan subsidi untuk tiga jenis produk

BBM, yaitu : Bensin, Minyak Solar, dan Minyak Tanah, maka dengan keluarnya

Permen ESDM No. 39 tahun 2014, per tanggal 1 Januari 2015 Bensin sudah tidak

lagi disubsidi oleh Pemerintah, namun harga Bensin tetap ditentukan oleh

Pemerintah. Dalam hal ini produk Bensin diistilahkan dengan BBM Jenis Khusus

1
Penugasan (JBKP), yang penetapan harganya dilakukan oleh Pemerintah dan

didistribusikan di luar Pulau Jawa, Madura dan Bali (Jamali). Sedangkan Minyak

Solar dan Minyak Tanah diistilahkan dengan nama BBM Jenis Tertentu.

Pemerintah juga berencana untuk meninjau harga BBM tersebut setiap dua

minggu sekali. Di luar kedua jenis BBM tersebut, yaitu BBM Khusus Penugasan

dan BBM Tertentu, adalah kategori Jenis Bahan Bakar Umum (JBU), termasuk

diantaranya Premium daerah Jamali, Pertamax Series, Super, dan Performance.

Untuk BBM JBU penetapan harganya dilakukan oleh badan usaha penyalur. Pada

praktiknya untuk Premium JBU, penetapan harganya masih dilakukan oleh

Pemerintah. Harga yang ditetapkan oleh Pemerintah tersebut ditentukan di bawah

harga pasar.

Diterbitkannya peraturan-peraturan pada tahun 2014 dan 2015 tesebut

melengkapi peraturan-peraturan mengenai penyaluran BBM bersubsidi yang

sebelumnya telah dikeluarkan oleh Pemerintah Republik Indonesia. Peraturan

tersebut antara lain Permen ESDM No. 1 tahun 2013 tentang Pengendalian

Penggunaan Bahan Bakar Minyak, kemudian peraturan dari Badan Pengatur Hilir

Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) yang mengeluarkan Surat Edaran BPH

Migas No. 937/07/Ka BPH/2014 tanggal 24 Juli 2014, yang mengatur bahwa

mulai tanggal 6 Agustus 2014 dilakukan penghentian penjualan Premium di

Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) yang berlokasi di jalan tol. Serta

dilakukan pembatasan waktu penjualan Minyak Solar di SPBU di Jawa, Sumatera,

Kalimantan, dan Bali mulai pukul 08.00 18.00 di daerah tertentu yang rawan

penyalahgunaan Minyak Solar bersubsidi. Untuk daerah Jakarta Pusat, seluruh

2
SPBU tidak lagi menjual Minyak Solar bersubsidi. Juga telah dirintis penerapan

regulasi pengawasan jumlah penyaluran BBM subsidi dengan Sistem Monitoring

Penyaluran Bahan Bakar Minyak (SMPBBM) dengan menggunakan teknologi

Radio Frequency Identification (RFID). Peraturanperaturan yang dikeluarkan

pemerintah tersebut telah memperbesar pasar penjualan BBM non subsidi di

Indonesia, sekaligus membuka lebar persaingan antara Pertamina, Shell, dan Total

sebagai penyedia BBM non subsidi di sektor ritel.

Selain peraturan-peraturan tersebut, bukan tidak mungkin akan diterbitkan

lagi peraturan lain oleh Pemerintah guna menekan volume penggunaan BBM

bersubsidi oleh masyarakat. Misalnya penghapusan subsidi BBM secara total di

masa yang akan datang untuk mengurangi beban Anggaran Pendapatan dan

Belanja Negara (APBN).

Tabel 1.1 Jumlah Kuota BBM Subsidi Tahun 2015 per Badan Usaha

Badan Usaha Penyalur BBM Jumlah BBM Subsidi (juta KL)


Subsidi Premium Solar Kerosene Total
Pertamina 29.46 15.045 0.85 45.355
Aneka Kimia Raya 0.02 0.625 0.645
Total 29.48 15.67 0.85 46.000
Sumber : BPH Migas

Pada tahun 2015, PT Pertamina (Persero) kembali ditunjuk pemerintah

sebagai salah satu badan usaha penyalur BBM bersubsidi bersama dengan PT

Aneka Kimia Raya. Seperti ditunjukkan pada Tabel 1.1, Pertamina adalah badan

usaha penyalur BBM bersubsidi yang mendapat porsi terbesar, yaitu sebesar

3
45,355 juta Kilo Liter (KL). Porsi tersebut sangat besar, sehingga Pertamina harus

memikirkan strategi-strategi yang efektif dan efisien untuk melakukan distribusi

BBM bersubsidi ke seluruh Indonesia. Strategi-strategi tersebut akan sangat

dipengaruhi oleh regulasiregulasi pemerintah yang mengatur mengenai

penyaluran BBM bersubsidi, termasuk peraturan yang membatasi penggunaan

BBM bersubsidi.

Strategi distribusi dan pelayanan yang prima akan sangat berperan dalam

penyaluran BBM bersubsidi, karena dalam hal ini Pertamina dapat dikatakan tidak

memiliki pesaing jika melihat porsi penyaluran yang diserahkan oleh Pemerintah.

Namun di sisi lain, pada bisnis BBM non subsidi, Pertamina harus memikirkan

strategi bersaing yang lebih efektif dan agresif, karena pada sektor ini terdapat

Shell, Total, dan Aneka Kimia Raya (AKR) yang berpotensi menjadi pesaing kuat

Pertamina. Shell dan Total berfokus di persaingan BBM non subsidi, sementara

AKR sebagaimana ditugaskan oleh Pemerintah bertugas memasarkan BBM

subsidi. Namun karena Premium saat ini sudah tidak lagi menjadi barang subsidi

maka AKR pun turut menjadi pemain BBM non subsidi.

Sektor ritel non subsidi sangat erat kaitannya dengan BBM subsidi karena

apabila subsidi BBM dihapus atau dikurangi, maka hal tersebut akan berdampak

langsung pada persaingan di sektor BBM ritel non subsidi. Persaingan pada sektor

BBM ritel non subsidi akan meningkat guna memperebutkan konsumen yang

beralih menggunakan BBM non subsidi, baik itu karena disparitas harga yang

tidak lagi signifikan, ataupun karena kendala waktu antrian dan faktor lokasi

SPBU yang menjual BBM subsidi. Dengan kondisi ini, pesaing Pertamina akan

4
sangat diuntungkan karena konsumen pasti akan mulai melirik mereka. Konsumen

akan mulai membandingkan harga dan kualitas produk dan layanan SPBU yang

menjual BBM non subsidi. Sebelumnya pesaing Pertamina seperti Shell dan Total

tidak menjadi pilihan utama karena tidak menjual BBM subsidi yang lebih murah

harganya dibandingkan BBM non subsidi.

Jika konsumen BBM subsidi banyak yang beralih dari Pertamina ke

pesaingnya, maka akan ada penurunan pada penjualan produk Pertamina. Hal ini

dapat menjadi masalah bagi Pertamina, karena seperti ditunjukkan pada Tabel 1.2,

proporsi penjualan BBM Pertamina di sektor ritel saat ini masih didominasi oleh

penjualan BBM subsidi, yaitu sekitar 60% dari total penjualan Pertamina.

Penurunan penjualan BBM bersubsidi bagi Pertamina akan berdampak langsung

pada penurunan pendapatan utama Pertamina.

Hal ini tidak akan menjadi masalah apabila Pertamina mampu

mempertahankan konsumen BBM bersubsidi agar tetap membeli BBM non

subsidi di SPBU Pertamina. Pertamina harus siap dengan strategi bersaing yang

efektif untuk mempertahankan konsumennya dan meningkatkan penjualan BBM

non subsidi. Selama ini memang jumlah penjualan BBM non subsidi masih

dikuasai oleh Pertamina. Jumlah pangsa pasar Shell, Total, dan Petronas pada

pasar BBM ritel non subsidi hanya berkisar 15%. Apabila Pertamina tidak siap

dengan strategi bersaing yang baik, maka pada saat dikurangi atau dihapusnya

subsidi BBM, konsumen yang beralih dari BBM subsidi ke BBM non subsidi

akan sangat mungkin diambil alih oleh pesaing-pesaing Pertamina yang juga

menggunakan strategi-strategi bersaing guna mengalahkan Pertamina.

5
Tabel 1.2 Nilai Penjualan Produk Pertamina (dalam ribuan Rupiah)

2012 2013
Produk
IDR Persentase IDR Persentase

Gas Bumi 26,881,669,356 5% 34,753,313,367 6%


DMO Fees - Minyak
Mentah 12,454,452,042 2% 11,008,385,649 2%
Panas Bumi - Uap dan
listrik 6,547,382,295 1% 5,786,752,128 1%

Minyak Mentah 2,456,510,115 0% 1,912,905,093 0%

Minyak Solar 211,913,553,771 40% 204,815,740,614 38%

Bensin Premium 139,256,387,451 26% 159,763,563,288 29%


LPG, Petrokimia,
Pelumas dan lainnya 54,743,309,934 10% 54,028,961,400 10%

Avtur dan Avgas 43,961,469,039 8% 44,734,934,223 8%


BBM Industri dan
Marine 21,940,224,378 4% 15,764,265,291 3%
Pertamax, Pertamax Plus
dan Pertadex 6,498,345,948 1% 7,725,022,530 1%

Minyak Tanah 5,697,894,318 1% 4,270,818,387 1%

Minyak Diesel 976,156,065 0% 650,685,387 0%

Lain-lain 112,199,745 0% 75,230,508 0%

Total 533,464,078,725 100% 545,315,114,322 100%


Sumber : Laporan Keuangan Pertamina

1.2 Rumusan Masalah

Menurut Thompson, Peteraf, Strickland, dan Gamble (2012), ada dua

faktor lingkungan eksternal yang mempengaruhi strategi bisnis suatu perusahaan,

yaitu faktor lingkungan makro dan mikro. Seperti ditunjukkan pada Gambar 1.1,

faktor lingkungan makro yang dapat mempengaruhi strategi perusahaan antara

lain: kondisi perekonomian, demografi, lingkungan alam, globalisasi, sosial,

6
teknologi, serta politik, hukum, dan regulasi. Sedangkan, faktor mikro yang

mempengaruhi strategi perusahan adalah kondisi industri dan persaingan, yang

terdiri atas kekuatan-kekuatan suplier, produk substitusi, perusahaan pesaing,

pembeli, dan pendatang baru.

Macro Environment

General Economic Conditions

Demographic Global Forces


Industry and Competitive Environment

Substitute
Suppliers Products

Natural Company
Environment Social Forces

Rival Firms Buyers

New
Entrants

Political/Regulatory/ Technological Factors


Legal Factors

Gambar 1.1 Lingkungan Makro dan Mikro Eksternal yang Mempengaruhi


Strategi Perusahaan
Sumber: Thompson et al. (2012)
Regulasi merupakan salah satu faktor eksternal makro yang

mempengaruhi strategi bisnis suatu perusahaan. Perubahan pada sebuah regulasi

yang terkait langsung dengan bisnis suatu perusahaan akan membuat perusahaan

harus melakukan reformulasi strategi bisnisnya. Apabila perusahaan tidak

melakukannya, maka ada kemungkinan bisnis perusahaan akan mengalami

penurunan akibat perubahan regulasi tersebut.

7
Pertamina sebagai salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dalam

menjalankan aktifitas roda bisnisnya sangat dipengaruhi oleh regulasi dari

Pemerintah. Terutama dalam hal bisnis penyaluran BBM bersubsidi, karena

sebagian besar penerimaan Pertamina masih berasal dari penjualan BBM

bersubsidi. Di sisi lain, Tabel 1.3 menunjukkan makin tingginya subsidi BBM

yang harus ditanggung pemerintah dari tahun ke tahun. Maka pilihan untuk

menurunkan atau menghapus subsidi BBM oleh Pemerintah akan menjadi pilihan

yang patut dipertimbangkan. Pilihan tersebut kemudian dijalankan pada tahun

2014 dan 2015 oleh Pemerintah.

Tabel 1.3 Jumlah Subsidi Bahan Bakar Minyak

Subsidi BBM (dalam Trilyun Rupiah)


Tahun
APBN APBN-P
2012 123 137.38
2013 193.8 209.9
2014 210.7 246.5
2015 276 64.6
Sumber : Kementerian Keuangan

Kebijakan untuk menurunkan subsidi BBM antara lain ditempuh

pemerintah dengan menerbitkan regulasi antara lain Permen ESDM No. 1 Tahun

2013 tentang Pengendalian Penggunaan Bahan Bakar Minyak. Peraturan ini

melarang kendaraan dinas instansi Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah

Kabupaten/Pemerintah Kota, Badan Usaha Milik Negara, dan Badan Usaha Milik

Daerah untuk menggunakan BBM bersubsidi. Selain itu, peraturan lain mengenai

penyaluran BBM bersubsidi juga dikeluarkan oleh BPH Migas melalui Surat

Edaran BPH Migas No. 937/07/Ka BPH/2014 tanggal 24 Juli 2014, yang

8
menyatakan mulai tanggal 6 Agustus 2014 dilakukan penghentian penjualan

Premium di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) yang berlokasi di

jalan tol. Serta dilakukan pembatasan waktu penjualan Solar di SPBU di Jawa,

Sumatera, Kalimantan, dan Bali mulai pukul 08.00 18.00 di daerah tertentu yang

rawan penyalahgunaan Solar bersubsidi. Untuk daerah Jakarta Pusat, seluruh

SPBU tidak lagi diperbolehkan menjual Solar bersubsidi. Kemudian pada bulan

Nopember 2014 dilakukan penaikan harga BBM dan diikuti dengan kebijakan

harga BBM yang berfluktuasi di tahun 2015.

Seperti ditunjukkan pada Tabel 1.2, sebagian besar penjualan produk

Pertamina masih mengandalkan penjualan BBM subsidi. Penjualan BBM non

subsidi Pertamina hanya berkisar 1% dari keseluruhan penjualan Pertamina. Jika

Pertamina tidak lagi melakukan penjualan BBM bersubsidi, hal ini tentu akan

mempengaruhi kondisi perusahaan secara langsung, karena proporsi penjualan

BBM subsidi (Premium dan Solar) (Premium baru menjadi BBM non subsidi di

tahun 2015) mencapai lebih dari 60% dari total penjualan Pertamina. Dengan

perbedaan jumlah yang sangat jauh tersebut, sangat mungkin Pertamina akan

mengalami kesulitan keuangan akibat penerimaan pendapatan yang berkurang.

Namun hal tersebut tidak akan terjadi, apabila dengan strategi bersaing yang baik

Pertamina mampu mempertahankan pelanggan BBM bersubsidi untuk tidak

berpindah ke SPBU pesaing dan tetap menggunakan BBM non subsidi yang dijual

di SPBU-SPBU Pertamina. Pertamina harus mampu mempersiapkan dan

menerapkan strategi bersaing yang tepat guna mempertahankan seluruh pelanggan

9
BBM bersubsidi yang berpindah ke BBM non subsidi, sehingga Pertamina tidak

kehilangan sebagian besar dari pendapatan utamanya saat ini.

Untuk melakukan analisis strategi bersaing yang komprehensif, salah satu

tahap yang harus dilakukan adalah analisis situasional (Boardman, Shapiro, dan

Vining, 2004). Analisis situasional ini memusatkan perhatian pada analisis

lingkungan eksternal. Faktor faktor lingkungan eksternal adalah politik,

ekonomi, sosial, teknologi, lingkungan, dan regulasi (Thompson et al., 2012).

Analisis situasional juga menganalisis karakteristik internal perusahaan serta

strategi yang saat ini digunakan perusahaan. Faktor lain yang akan mempengaruhi

penentuan strategi bersaing perusahaan adalah lingkungan bisnis mikro

perusahaan, yaitu pemasok (supplier), perusahaan pesaing (rival firms), produk

pengganti (substitute product), pembeli (customer), dan pendatang baru (new

entrants) (Porter, 2008).

Dalam memilih strategi yang akan digunakan, Pertamina harus mengetahui

kekuatan (strength), kelemahan (weakness) yang dimilikinya, serta mengetahui

peluang (opportunity) dan ancaman (threat) yang membayangi Pertamina, dan

kemudian memformulasi strategi bersaing yang didasarkan pada keunggulan

kompetitif yang sesuai dengan key success factor dalam industri BBM ritel non

subsidi.

1.3 Pertanyaan Penelitian

Pemerintah banyak mengeluarkan kebijakan-kebijakan terkait penyaluran

BBM bersubsidi, apabila subsidi BBM dikurangi atau dihapuskan oleh

10
Pemerintah, maka akan ada peningkatan permintaan pada BBM ritel non subsidi.

Apa strategi bersaing Pertamina yang paling tepat untuk menghadapi pesaing-

pesaingnya di sektor BBM ritel non subsidi?

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi dan mereformulasi

strategi Pertamina untuk memenangkan persaingan di bisnis BBM ritel non

subsidi.

1.5 Manfaat Penelitian

Dari hasil penelitian ini, akan dapat diketahui peluang dan ancaman pada

bisnis BBM ritel non subsidi. Hasil penelitian juga akan memperlihatkan

kekuatan dan kelemahan internal yang dimiliki Pertamina. Pertamina akan dapat

memanfaatkan hasil penelitian ini sebagai bahan untuk mereformulasikan strategi

bersaing yang digunakan untuk menghadapi para kompetitornya di sektor BBM

ritel non subsidi.

1.6 Ruang Lingkup atau Batasan Penelitian

Batasan penelitian yang akan dilakukan adalah strategi yang saat ini

digunakan dan dipersiapkan oleh Pertamina untuk menghadapi persaingan dalam

bisnis BBM ritel non subsidi.

1.7 Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan tesis ini adalah sebagai berikut :

11
1.7.1 Bab I Pendahuluan

Bab ini membahas mengenai latar belakang penelitian, rumusan masalah,

pertanyaan penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, ruang lingkup penelitian

serta sistematika penulisan tesis.

1.7.2 Bab II Landasan Teori

Bab ini membahas tentang teori-teori yang digunakan sebagai dasar

penelitian.

1.7.3 Bab III Metode Penelitian

Bab ini memberikan penjelasan mengenai metode penelitian dan metode

analisis data yang digunakan dalam penelitian ini. Pada bab ini juga akan dibahas

profil perusahaan yang akan dianalisis.

1.7.4 Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan

Bab ini menjelaskan proses penelitian yang dilakukan dan pembahasan

atas hasil penelitian.

1.7.5 Bab V Simpulan dan Saran

Adalah bab terakhir yang memuat simpulan dan saran hasil penelitian

yang telah dilakukan.

12

Anda mungkin juga menyukai