ini semakin menarik untuk dicermati, karena terjadi fluktuasi harga BBM
bersubsidi sejak dilantiknya pemerintahan baru di bawah Joko Widodo dan Jusuf
Kalla. Perubahan harga BBM bersubsidi sudah terjadi 5 kali hingga Agustus 2015.
2014 melalui Peraturan Menteri (Permen) Energi dan Sumber Daya Mineral
(ESDM) Nomor 34 Tahun 2014 Tentang Harga Jual Eceran dan Konsumen
BBM pada tanggal 1 Januari 2015 dengan Permen ESDM No. 39 tahun 2014, dan
diturunkan kembali pada tanggal 19 Januari 2015 dengan Permen ESDM No. 4
tanggal 1 Maret 2015, dan terakhir pada tanggal 28 Maret 2015, harga Premium
dan Solar dinaikkan Rp500,00 menjadi Rp7.300,00 untuk Premium dan Rp900,00
untuk Solar.
BBM, yaitu : Bensin, Minyak Solar, dan Minyak Tanah, maka dengan keluarnya
Permen ESDM No. 39 tahun 2014, per tanggal 1 Januari 2015 Bensin sudah tidak
lagi disubsidi oleh Pemerintah, namun harga Bensin tetap ditentukan oleh
Pemerintah. Dalam hal ini produk Bensin diistilahkan dengan BBM Jenis Khusus
1
Penugasan (JBKP), yang penetapan harganya dilakukan oleh Pemerintah dan
didistribusikan di luar Pulau Jawa, Madura dan Bali (Jamali). Sedangkan Minyak
Solar dan Minyak Tanah diistilahkan dengan nama BBM Jenis Tertentu.
Pemerintah juga berencana untuk meninjau harga BBM tersebut setiap dua
minggu sekali. Di luar kedua jenis BBM tersebut, yaitu BBM Khusus Penugasan
dan BBM Tertentu, adalah kategori Jenis Bahan Bakar Umum (JBU), termasuk
Untuk BBM JBU penetapan harganya dilakukan oleh badan usaha penyalur. Pada
harga pasar.
tersebut antara lain Permen ESDM No. 1 tahun 2013 tentang Pengendalian
Penggunaan Bahan Bakar Minyak, kemudian peraturan dari Badan Pengatur Hilir
Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) yang mengeluarkan Surat Edaran BPH
Migas No. 937/07/Ka BPH/2014 tanggal 24 Juli 2014, yang mengatur bahwa
Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) yang berlokasi di jalan tol. Serta
Kalimantan, dan Bali mulai pukul 08.00 18.00 di daerah tertentu yang rawan
2
SPBU tidak lagi menjual Minyak Solar bersubsidi. Juga telah dirintis penerapan
Indonesia, sekaligus membuka lebar persaingan antara Pertamina, Shell, dan Total
lagi peraturan lain oleh Pemerintah guna menekan volume penggunaan BBM
masa yang akan datang untuk mengurangi beban Anggaran Pendapatan dan
Tabel 1.1 Jumlah Kuota BBM Subsidi Tahun 2015 per Badan Usaha
sebagai salah satu badan usaha penyalur BBM bersubsidi bersama dengan PT
Aneka Kimia Raya. Seperti ditunjukkan pada Tabel 1.1, Pertamina adalah badan
usaha penyalur BBM bersubsidi yang mendapat porsi terbesar, yaitu sebesar
3
45,355 juta Kilo Liter (KL). Porsi tersebut sangat besar, sehingga Pertamina harus
BBM bersubsidi.
Strategi distribusi dan pelayanan yang prima akan sangat berperan dalam
penyaluran BBM bersubsidi, karena dalam hal ini Pertamina dapat dikatakan tidak
memiliki pesaing jika melihat porsi penyaluran yang diserahkan oleh Pemerintah.
Namun di sisi lain, pada bisnis BBM non subsidi, Pertamina harus memikirkan
strategi bersaing yang lebih efektif dan agresif, karena pada sektor ini terdapat
Shell, Total, dan Aneka Kimia Raya (AKR) yang berpotensi menjadi pesaing kuat
Pertamina. Shell dan Total berfokus di persaingan BBM non subsidi, sementara
subsidi. Namun karena Premium saat ini sudah tidak lagi menjadi barang subsidi
Sektor ritel non subsidi sangat erat kaitannya dengan BBM subsidi karena
apabila subsidi BBM dihapus atau dikurangi, maka hal tersebut akan berdampak
langsung pada persaingan di sektor BBM ritel non subsidi. Persaingan pada sektor
BBM ritel non subsidi akan meningkat guna memperebutkan konsumen yang
beralih menggunakan BBM non subsidi, baik itu karena disparitas harga yang
tidak lagi signifikan, ataupun karena kendala waktu antrian dan faktor lokasi
SPBU yang menjual BBM subsidi. Dengan kondisi ini, pesaing Pertamina akan
4
sangat diuntungkan karena konsumen pasti akan mulai melirik mereka. Konsumen
akan mulai membandingkan harga dan kualitas produk dan layanan SPBU yang
menjual BBM non subsidi. Sebelumnya pesaing Pertamina seperti Shell dan Total
tidak menjadi pilihan utama karena tidak menjual BBM subsidi yang lebih murah
pesaingnya, maka akan ada penurunan pada penjualan produk Pertamina. Hal ini
dapat menjadi masalah bagi Pertamina, karena seperti ditunjukkan pada Tabel 1.2,
proporsi penjualan BBM Pertamina di sektor ritel saat ini masih didominasi oleh
penjualan BBM subsidi, yaitu sekitar 60% dari total penjualan Pertamina.
subsidi di SPBU Pertamina. Pertamina harus siap dengan strategi bersaing yang
non subsidi. Selama ini memang jumlah penjualan BBM non subsidi masih
dikuasai oleh Pertamina. Jumlah pangsa pasar Shell, Total, dan Petronas pada
pasar BBM ritel non subsidi hanya berkisar 15%. Apabila Pertamina tidak siap
dengan strategi bersaing yang baik, maka pada saat dikurangi atau dihapusnya
subsidi BBM, konsumen yang beralih dari BBM subsidi ke BBM non subsidi
akan sangat mungkin diambil alih oleh pesaing-pesaing Pertamina yang juga
5
Tabel 1.2 Nilai Penjualan Produk Pertamina (dalam ribuan Rupiah)
2012 2013
Produk
IDR Persentase IDR Persentase
yaitu faktor lingkungan makro dan mikro. Seperti ditunjukkan pada Gambar 1.1,
6
teknologi, serta politik, hukum, dan regulasi. Sedangkan, faktor mikro yang
Macro Environment
Substitute
Suppliers Products
Natural Company
Environment Social Forces
New
Entrants
yang terkait langsung dengan bisnis suatu perusahaan akan membuat perusahaan
7
Pertamina sebagai salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dalam
bersubsidi. Di sisi lain, Tabel 1.3 menunjukkan makin tingginya subsidi BBM
yang harus ditanggung pemerintah dari tahun ke tahun. Maka pilihan untuk
menurunkan atau menghapus subsidi BBM oleh Pemerintah akan menjadi pilihan
pemerintah dengan menerbitkan regulasi antara lain Permen ESDM No. 1 Tahun
Kabupaten/Pemerintah Kota, Badan Usaha Milik Negara, dan Badan Usaha Milik
Daerah untuk menggunakan BBM bersubsidi. Selain itu, peraturan lain mengenai
penyaluran BBM bersubsidi juga dikeluarkan oleh BPH Migas melalui Surat
Edaran BPH Migas No. 937/07/Ka BPH/2014 tanggal 24 Juli 2014, yang
8
menyatakan mulai tanggal 6 Agustus 2014 dilakukan penghentian penjualan
jalan tol. Serta dilakukan pembatasan waktu penjualan Solar di SPBU di Jawa,
Sumatera, Kalimantan, dan Bali mulai pukul 08.00 18.00 di daerah tertentu yang
SPBU tidak lagi diperbolehkan menjual Solar bersubsidi. Kemudian pada bulan
Nopember 2014 dilakukan penaikan harga BBM dan diikuti dengan kebijakan
Pertamina tidak lagi melakukan penjualan BBM bersubsidi, hal ini tentu akan
BBM subsidi (Premium dan Solar) (Premium baru menjadi BBM non subsidi di
tahun 2015) mencapai lebih dari 60% dari total penjualan Pertamina. Dengan
perbedaan jumlah yang sangat jauh tersebut, sangat mungkin Pertamina akan
Namun hal tersebut tidak akan terjadi, apabila dengan strategi bersaing yang baik
berpindah ke SPBU pesaing dan tetap menggunakan BBM non subsidi yang dijual
9
BBM bersubsidi yang berpindah ke BBM non subsidi, sehingga Pertamina tidak
tahap yang harus dilakukan adalah analisis situasional (Boardman, Shapiro, dan
strategi yang saat ini digunakan perusahaan. Faktor lain yang akan mempengaruhi
kompetitif yang sesuai dengan key success factor dalam industri BBM ritel non
subsidi.
10
Pemerintah, maka akan ada peningkatan permintaan pada BBM ritel non subsidi.
Apa strategi bersaing Pertamina yang paling tepat untuk menghadapi pesaing-
subsidi.
Dari hasil penelitian ini, akan dapat diketahui peluang dan ancaman pada
bisnis BBM ritel non subsidi. Hasil penelitian juga akan memperlihatkan
kekuatan dan kelemahan internal yang dimiliki Pertamina. Pertamina akan dapat
Batasan penelitian yang akan dilakukan adalah strategi yang saat ini
11
1.7.1 Bab I Pendahuluan
penelitian.
analisis data yang digunakan dalam penelitian ini. Pada bab ini juga akan dibahas
Adalah bab terakhir yang memuat simpulan dan saran hasil penelitian
12