A. Latar Belakang
Hal ini di awali pada Era reformasi diawali sejak BJ Habibie dengan
mengeluarkan kebijakan-kebijakan dan produk-produk perundang-undangan,
khususnya di bidang politik dan ekonomi sebagai akibat dari praktek-praktek KKN
dan penyalahgunaan kekuasaan era orde baru. Hal ini terbukti dengan dikeluarkannya
undang-undang antara lain :
Modus operandi dan jenis tindak pidan korupsinya juga sama, antara lain :
pembobolan uang perbankan, penggelapan, suap/pemerasan dan pungutan liar atau
pungli. Anggapan bahwa maraknya tindak pidana korupsi terutama disebabkan :
Pemberian atau penjatuhan vonis penjara ringan kepada pelaku tindak pidana
korupsi sangatlah tidak tepat mengingat bahwa pelaku tindak pidana korupsi telah
merugikan negara dan masyarakat. Hal inipun diperparah dengan adanya pemberian
remisi dan adanya pembebasan bersyarat kepada pelaku tindak pidana korupsi. Hal
inilah yang menjadi permasalahan yang menyebabkan para pelaku tindak pidana
korupsi tidak pernah jera dan terus mengulangi perbuatannya. Dalam tugas ini, saya
akan membahas mengenai penyebab para pelaku tindak pidana korupsi terus
melakukan perbuatannya berdasarkan kasus yang pernah terjadi di Indonesia.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang dapat saya
simpulkan yaitu :
C. Analisis
Tren makin rendahnya putusan untuk perkara korupsi merupakan salah satu
penyebab pelaku tindak pidana korupsi untuk terus mengulangi perbuatannya. Hal itu
terlihat dari putusan kasasi Mahkamah Agung sepanjang tahun 2010, yakni 60,68
persen kasus korupsi divonis rendah, antara lain 1 dan 2 tahun. Hal itu terungkap
dalam buku laporan tahunan MA 2010 yang disampaikan kepada public, di Gedung
MA, Jakarta.
Selama tahun 2010, MA memutuskan 442 kasus korupsi. Dari jumlah itu,
vonis bebas yang dijatuhkan 43 kasus (9,73 persen). Dari kasus yang ditangani MA,
sebanyak 269 kasus atau 60,68 persen dijatuhi hukuman antara 1 dan 2 tahun. Disusul
87 kasus atau 19,68 persen divonis 3-5 tahun. Hanya 13 kasus atau 2,94 persen yang
divonis 6-10 tahun. Adapun yang dihukum lebih dari 10 tahun hanya 2 kasus atau
0,45 persen. Tidak ada hukuman seumur hidup atau mati meskipun Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
memungkinkan hukuman itu. Beberapa kasus diantaranya yaitu :
Selain kasus diatas ada beberapa kasus lainnya yang dijatuhkan Mahkamah
agung dalam kasus korupsi, diantaranya :
Syaukani Hassan Rais (mantan Bupati Kutai Kartanegara) dalam kasus
korupsi dana perimbangan, pemelian tanah untuk pembangunan bandara Loa
Kulu dan dana bantuan social, mendapatkan vonis 2,5 tahun (14 desember
2007) dan kasasi 6 tahun pada 28 juli 2008.
Syahrial Oesman (Gubernur Sumatera Selatan 2003-2008) dalam kasus
korupsi proyek pembangunan pelabuhan tanjung api-api di sumsel
mendapatkan vonis 1 tahun (januari 2010) dan kasasi: 3 tahun (22 april 2010)
Yusran Aspar (mantan Bupati Penajam Paser Utara, Kaltim) dalam kasus
korupsi biaya pembebasan tanah untuk kompleks perumahan PNS
mendapatkan vonis bebas (2008) dan pada tingkat kasasi mendapatkan 1,5
tahun penjara
Ibnu Subiyanto (Mantan Bupati Sleman) dalam kasus korupsi buku ajar
mendapatkan vonis 4 tahun (13 januari 2010) dan pada tingkat kasasi
mendapatkan 3 tahun penjara (20 september 2010)
As ad Syam (mantan Bupati Muaro Jambi) dalamkorupsi proyek pembangkit
listrik tenaga diesel sungai bahar mendapatkan vonis bebas (3 April 2008) dan
pada tingkat kasasi mendapatkan 4 tahun penjara (10 desember 2008).
Sumber : Litbang Kompas/yoh/stn, diolah dari pemberitaan kompas dan
WWW.mahkamahagung.com/kompas
Berdasarkan kasus diatas, dapat dilihat bahwa penjatuhan vonis berupa pidana
penjara yang ringan kepada pelaku tindak pidana korupsi menyebabkan semakin
maraknya kejahatan tindak pidana korupsi. Penjatuhan vonis ringan yang dijatuhkan
oleh hakim sangat tidak tepat dan tidak memberikan efek jera kepada pelaku.
Penjatuhan vonis ringan justru sangat bertentangan dengan tujuan penjatuhan
hukuman pidana kepada pelaku yaitu untuk memberikan efek jera kepada pelaku
untuk tidak mengulangi perbuatannya dan memberikan pengaruh kepada orang lain
untuk tidak melakukan perbuatan tersebut. Penjatuhan vonis kepada pelaku berkaitan
dengan sejauh mana kepatutan seorang hakim dalam menilai suatu kasus. Jika hakim
terus menerus menjatuhkan hukuman ringan kepada pelaku tindak pidana korupsi,
maka pemberantasan tindak pidana korupsi hanyalah kepalsuan belaka jika oknum
penegak hokum sendiri tidak dapat memberikan keadilan yang seyogyanya
didapatkan kepada pelaku dan telah memberikan rasa ketidakpuasaan kepada
masyarakat yang telah dirugikan akibat perbuatan tersebut.
pada hakikatnya remisi adalah pengurangan masa pidana. Untuk pelaku tindak
pidana korupsi akan mendapatkan remisi apabila telah menjalankan sepertiga dari
masa pidananya. Menurut Ganjar Laksamana Bondan dosen hokum politik
Universitas Indonesia mengatakan awalnya aturan remisi bukanlah hak terpidana,
melainkan lebih merupakan hadiah raja atau ratu. Menuerut sejarahnya remisi itu
bukan hak napi melainkan murni hadiah ratu yang sedang happy di Amerika serikat.
Untuk mengatasi kegaduhan masalah pro dan kontra tentang pemberian remisi
selama peraturan perundang-undangan belum ada yang melarang seyogianya hakim
yang memutuskan tindak pidana korupsi, teroris dan kejahatan-kejahatan luar biasa
lainnya dalam amar putusan memberikan hukuman tambahan secara tegas
menyatakan tidak memberikan hak remisi dan hak pembebasan bersyarat.
Urip ditahan sejak maret 2008. Pada tahun yang sama, urip divonis 20 tahun
penjara dan denda Rp 500 juta. Tahun 2011, kasasi urip ditolak. Artinya urip harus
menjalani masa pidana selama 20 tahun terhitung sejak masa penahanan, yakni tahun
2008. Mengacu pada pasal 34 ayat (3) PP No. 26/2008, urip boleh menerima remisi
apabila telah menjalani 6 (enam) tahun, yakni sepertiga masa pidana. Ketentuan itu
berlaku karena urip adalah narapidana kasus korupsi.
Secara hokum, urip baru menjalani tiga tahun masa pidana dank arena itu,
belum berhak untuk mendapat remisi. Artinya, pemerintah dalam hal ini menteri
Hukum dan HAM telah melanggar UU dan PP yang berlaku. Urip seharusnya tidak
diperlakukan layaknya narapidana biasa yang bias mendapat remisi setelah enam
bulan masa pidana, padahal ia adalah narapidana kasus korupsi.
Selain kedua hal diatas, moralitas yang buruk yang dimiliki oleh penguasa
pemerintahan baik dalam kalangan legislative, eksekutif dan penegak hokum pula
menjadi salah satu pemicu meningkatnya korupsi di Indonesia. Pemberantasan
korupsi yang setengah-setengah tidak akan memberikan hasil yang di inginkan
apabila para penegak hokum memiliki mental yang buruk. Kerusakan moral yang
dimiliki para koruptor akan merusak birokrasi dan cita-cita tujuan berbangsa dan
bernegara seperti yang diamanatkan dalam Alinea ke empat Pembukaan UUD 1945
yaitu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan perdamaian abadi dan keadilan
social, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-
undang dasar Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar
kepada Ketuhanan yang maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan
Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan social bagi
seluruh rakyat Indonesia .
Penegak hokum yang memiliki moralitas yang buruk yang haus akan
kekayaan akan memberikan keleluasaan bagi para koruptor untuk terus melakukan
dan mengulangi perbuatannya. Selain itu, moralitas pihak-pihak yang memiliki
kekuasaan juga menjadi pemicu korupsi. Penyalahgunaan wewenang aparatur negara
dalam mengemban amanah sangat mudah dilakukan apabila oknum-oknum tersebut
memiliki moralitas yang buruk.
Pidana penjara merupakan salah satu jenis pidana dan pemidanaan yang
sering dijatuhkan oleh hakim. Namun, penjatuhan pidana penjara akan tampak kurang
efektif apabila terhadap para pelaku masih diberikan keringanan baik itu keringanan
berupa adanya remisi, pembebasan bersyarat, grasi maupun terpidana yang
mendapatkan amnesty dan abolisi. Hal ini, akan memberikan pengaruh buruk yaitu
tidak adanya efek jera dari para pelaku tindak pidana. Lamanya berat ringannya
penjatuhan pidana kepada terpidana seharusnya lebih diperketat dan bahkan para
terpidana harus mendapatkan hukuman yang lebih berat.
Masalah efektivitas pidana penjara dilihat dari dua aspek pokok tujuan
pemidanaan, yaitu dari aspek perlindungan masyarakat dan dari aspek perbaikan si
pelaku. Yang dimaksdud dengan aspek perlindungan masyarakat meliputi tujuan:
mencegah, mengurangi atau mengendalikan tindak pidana dan memulihkan
keseimbangan masyarakat (antara lain, menyelesaikan konflik, mendatangkan rasa
aman, memperbaiki kerugian /kerusakan, menghilangkan noda-noda, memperkuat
kembali nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat:, sedangkan yang dimaksud
dengan aspek perbaikan si pelaku meliputi berbagai tujuan antara lain melakukan
rehabilitasi dan memasyarakatkan kembali si pelaku dan melindunginya dari
perlakuan sewenang-wenang di luar hukum.
Efektivitas pidana penjara tidak dapat dinilai hanya dengan naik turunnya
tindak kejahatan di masyarakat karena tindak kejahatan dipengaruhi oleh berbagai
factor lainnya. Hal ini dikemukakan pula oleh Schultz, bahwa naik turunnya
kejahatan di suatu negara tidaklah berhubungan dengan perubahan-perubahan di
dalam hukumnya atau kecenderungan-kecenderungan dalam putusan pengadilan,
tetapi berhubungan dengan bekerjanya atau berfungsinya perubahan-perubahan
kultural yang besar dalam kehidupan masyarakat. 4 Demikian pula Rubin menyatakan
bahwa penghukuman, apapun yang menjadi hakikatnya, yaitu apakah dimaksudkan
untuk menghukum atau untuk memperbaiki, sedikit atau tidak mempunyai pengaruh
terhadap masalah kejahatan.5
4 H.D. Hart, ed., Punishment: For and Against, Hart Publishing Co. Inc.,
New York City, 1971, hlm. 21: increases and decreases in a country are
not related to changes in its laws or trends in court decision, but are a
function of the major cultural changes in a communitys life
menentukan efektif tidaknya pidana penjara. Terlebih lagi ada sisi lain dari aspek
perlindungan masyarakat yaitu pemidanaan bertujuan juga untuk memulihkan
keseimbangan masyarakat. Indicator telah pulihnya kembali keseimbangan
masyarakat antara lain: telah ada penyelesaian konflik, telah ada kedamaian dan rasa
aman dalam masyarakat, telah hilangnya noda-noda dimasyarakat atau telah pulihnya
kembali nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.
5 Ibid., Lo. Cit,: No matter what the nature of the sentence, whether it be
punitive or rehabilitative, it will have be little or no effect on the crime
problem.
sangat bersifat mekanik, karena mau tidak mau hakim seolah-olah harus
menetapkan pidana penjara secara otomatis. Hakim tidak diberi kesempatan
dan kelonggaran untuk menentukan jenis pidana lain yang sesuai untuk
terdakwa.
d. Sekiranya system perumusan tunggal (untuk pidana penjara) akan tetap
digunakan, maka untuk menghindari sifat kaku dari system tunggal ini,
didalam kebijakan legislative harus ada pedoman bagi hakim untuk dapat
menerapkan system perumusan tunggal itu secara lebih elastic/fleksibel.
Artinya, dalam pedoman itu tetap diberi kewenangan/kemungkinan kepada
hakim untuk :
Di satu pihak, dapat menghindari atau tidak menjatuhkan pidana
penjara yang telah ditetapkan secara tunggal itu dengan menggantinya
dengan jenis pidana lain yang lebih ringan, sehingga sisrtem pidana
tunggal itu seolah-olah dapat diterapkan sebagai system alternative
Di lain pihak, dalam hal-hal tertentu dapat menambah atau
memperberat jenis pidana penjara yang telah ditetapkan secara tunggal
itu dengan jenis pidana lainnya, misalnya dengan pidana denda,
sehingga system tunggal itu seolah-olah dapat diterapkan juga sebagai
system kumulatif.
e. System perumusan pidana penjara yang tertuang dalam kebijakan legislative
bukanlah system yang berdiri sendiri. System/kebijakan pidana penjara ini
terkait erat dengan keseluruhan system/kebijakan pemidanaan, baik yang
terdapat dalam perundang-undangan hokum pidana substantive/material,
maupun yang terdapat dalam aturan hokum pidana formal dan hokum
pelaksanaan pidana. Oleh karena itu, untuk mengefektifkan pidana penjara
perlu dilakukan reorientasi dan evaluasi terhadap keseluruhan peraturan
perundang-undangan yang selama ini (dalam bidang hokum pidana material,
hokum pidana formal dan hokum pelaksanaan pidana), yaitu apakah sesuai
dan menunjang kebijakan pidana penjara yang berorientasi pada system
pemasyarakatan dan berorientasi pada kebijakan yang selektif dan limitatif.
f. Khusus mengenai pidana penjara seumur hidup, dapat kiranya dikemukakan
hal-hal sebagai berikut :
a) Pidana seumur hidup, seperti halnya dengan pidana mati, pada
dasarnya merupakan jenis pidana absolute. Dilihat dari sudut
penjatuhan pidana dan juga dari sudut terpidana, pidana seumur hidup
itu bersifat pasti (definite sentence) karena si terpidana dikenakan
jangka waktu yang pasti (a definite period of time), yaitu menjalani
pidana sepanjang hidupnya, walaupun orang tidak tahu pasti berapa
lama masa hidup seseorang di dunia ini. Dilihat dari kenyataan
praktik, dapat juga dikatakan bahwa pidana seumur hidup bersifat
indeterminate, karena si terpidana tidak tahu pasti kapan dia dapat
dilepaskan kembali kemasyarakat.
b) Mengingat sifat/karakteristik pidana seumur hidup yang demikian,
maka sebenarnya ada kontradiksi ide antara pidana seumur hidup
dengan system pemasyarakatan. Pidana penjara seumur hidup lebih
berorientasi pada ide perlindungan kepentingan masyarakat,
sedangkan pidana penjara dengan system pemasyarakatan lebih
berorientasi pad aide perlindungan/pembinaan dan perbaikan
(rehabilitasi) si terpidana untuk dikembalikan lagi ke masyarakat.
c) Sekiranya pidana penjara seumur hidup memang masih patut
dipertahankan,6 maka kebijakan legislative mengenai pidana seumur
hidup seyogianya mengintegrasikan ide/konsep pemasyarakatan serta
memerhatikan ide-ide yang tertuang di dalam standard minimum rules
for the treatment of prisoners.
D. Referensi
1. Anwary, S.2012.Perang Melawan Korupsi Dindonesia.Institut Pengkajian
Masalah-Masalah Politik dan social ekonomi. Bogor
2. Arief, Barda Nawawi.2011.Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana:
(Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru).Edisi kedua Cetakan
Ketiga. Prenada Media Group. Jakarta
3. Hartanti, Evi.2007.Tindak Pidana Korupsi.Edisi Kedua Cetakan Pertama.
Sinar Grafika. Jakarta
4. Muladi. 2008.Lembaga pidana Bersyarat.Edisi Pertama cetakan Kelima.
Bandung