Anda di halaman 1dari 13

HUKUM PENITENSIER

EFEKTIVITAS PEMBERIAN PIDANA PENJARA KEPADA KASUS

TINDAK PIDANA KORUPSI

A. Latar Belakang

Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah merambah disemua line batang


tubuh Negara. Pemberantasan korupsi telah dilakukan sejak dulu hingga saat ini.
Dalam ensiklopedia Indonesia disebut korupsi (dari bahasa latin: corruption =
penyuapan; corruptore = merusak) gejala dimana para pejabat, badan-badan negara
menyalahgunakan wewenang dengan terjadinya penyuapan, pemalsuan serta
ketidakberesan lainnya. Adapun arti harfiah dari korupsi dapat berupa :

a) Kejahatan, kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan, dan


ketidakjujuran1
b) Perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dan
sebagaianya
c) Korup (busuk, suka menerima uang suap/sogok, memakai kekuasaan untuk
kepentingan sendiri dan sebagainya)

Hal ini di awali pada Era reformasi diawali sejak BJ Habibie dengan
mengeluarkan kebijakan-kebijakan dan produk-produk perundang-undangan,
khususnya di bidang politik dan ekonomi sebagai akibat dari praktek-praktek KKN
dan penyalahgunaan kekuasaan era orde baru. Hal ini terbukti dengan dikeluarkannya
undang-undang antara lain :

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 28 tahun 1999 tentang


Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Di Era pemerintahan Presiden Megawati Soekarno Putri, pemberantasan


dilanjutkan dengan menerbitkan Undang-Undang :

1 Pendapat yang dikeluarkan oleh S. Wojowasito-W.J.S. Poerwadarminta,


dalam Kamus Lengkap Inggris-Indonesia, Indonesia-Inggris, Penerbit:
Hasta, Bandung
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindang Pidana Korupsi. Pertimbangan diterbitkannya
Undang-Undang ini antara lain mengingat :
a. Bahwa tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara meluas
tidak hanya merugikan keuangan Negara, tetapi juga telah merupakan
pelanggaran terhadap hak-hak social dan ekonomi masyarakat secara
luas, sehingga tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai
kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa.
b. Bahwa untuk lebih menjamin kepastian hokum, menghindari
keragaman penafsiran hokum dan memberikan perlindungan terhadap
hak-hak social dan ekonomi masyarakat, serta perlakuan secara adil
dalam memberantas tindak pidana korupsi, perlu diadakan perubahan
atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan
tindak pidana korupsi.
c. Penjelasan atas dibuatnya Undang-Undang RI Nomor 20 tahun 2001
antara lain karena, korupsi di Indonesia sudah terjadi secara sistematik,
terorganisir dan meluas sehingga tidak hanya merugikan keuangan
Negara, tetapi juga telah melanggar hak-hak social dan ekonomi
masyarakat seara luas, maka pemberantasan korupsi perlu dilakukan
dengan cara luar biasa. Dengan demikian, pemberantasan tindak
pidana korupsi harus dilakukan dengan cara yang khusus, antara lain
penerapan system pembuktian terbalik, yakni pembuktian yang
dibebankan kepada terdakwa.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi..

Namun, hingga berakhirnya era pemerintahan Presiden Megawati Soekarno


Putri, Tindak pidana korupsi yang menguras keuangan Negara/kekayaan Negara terus
berlanjut dan semakin meningkat.

Era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan


Undang-Undang yang berkaitan dengan Pemberantasan Tindak Pidana korupsi antara
lain :

Undang-Undang RI No. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan saksi dan


korban.
Undang-undang RI No. 28 tahun 2010 tentang pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana pencucian uang
Dengan dikeluarkannya instruksi presiden RI No. 5 tahun 2004 tentang
percepatan pemberantasan korupsi.

Upaya-upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan pemerintah orde baru


maupun orde reformasi belum menunjukkan hasil yang signifikan. Pelaku tindak
pidana korupsi sekarang ini telah merambah disemua line dari pusat ke daerah-
daerah. Korupsi banyak dilakukan oleh pihak-pihak yang yang ada kaitannya dengan
kekuasaan yang dimiliki seseorang untuk mengelola harta kekayaan atau keuangan
Negara.

Modus operandi dan jenis tindak pidan korupsinya juga sama, antara lain :
pembobolan uang perbankan, penggelapan, suap/pemerasan dan pungutan liar atau
pungli. Anggapan bahwa maraknya tindak pidana korupsi terutama disebabkan :

Vonis ringan, vonis bebas dan pemberian remisi/pembebasan bersyarat kepada


pelaku tindak pidana korupsi memicu nafsu seseorang atau korporasi
melakukan korupsi.
Adanya penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) aparatur negara
(eksekutif, legislative dan yudikatif) dan oknum-oknum aparat penegak
hokum (oknum polisi, oknum jaksa dan oknum hakim)
Adanya mafia hokum yang melahirkan mafia peradilan, mafia politik, mafia
hutan, mafia anggaran, mafia pajak, dan lain-lain termaksut perangkatnya
makelar kasus dan rekayasan kasus yang semuanya bertujuan mengarah
uang/harta kekayaan negara.

Pidana penjara adalah salah satu jenis perampasan kemerdekaan berupa


penahanan seseorang di suatu tempat. Pidana penjara adalah salah satu jenis pidana
dan pemidanaan yang sering di jatuhkan hakim kepada terpidana di antara jenis
pidana dan pemidanaan lainnya. Penjatuhan pidana penjara seharusnya diberikan
secara tepat sesuai dengan perbuatannya, dan untuk memenuhi rasa keadilan,
ketertiban dan keamanan bagi masyarakat dan memberikan efek jera kepada pelaku
ataupun orang lain.

Menentukan lamanya atau berat ringannya pidana penjara, merupakan salah


satu bagian dari masalah kebijakan pemidanaan (sentencing policy). Kebijakan
pemidanaan ini termasuk masalah yang cukup controversial saat ini. 2kesulitan timbul
tidak hanya dalam lapangan teori, tetapi juga terjadi dalam lapangan praktik. Dalam
praktik legislative selama ini, masalah ukuran pemidanaan ini pun sering timbul.

Pemberian atau penjatuhan vonis penjara ringan kepada pelaku tindak pidana
korupsi sangatlah tidak tepat mengingat bahwa pelaku tindak pidana korupsi telah
merugikan negara dan masyarakat. Hal inipun diperparah dengan adanya pemberian
remisi dan adanya pembebasan bersyarat kepada pelaku tindak pidana korupsi. Hal
inilah yang menjadi permasalahan yang menyebabkan para pelaku tindak pidana
korupsi tidak pernah jera dan terus mengulangi perbuatannya. Dalam tugas ini, saya
akan membahas mengenai penyebab para pelaku tindak pidana korupsi terus
melakukan perbuatannya berdasarkan kasus yang pernah terjadi di Indonesia.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang dapat saya
simpulkan yaitu :

Apa penyebab pelaku tindak pidana korupsi terus mengulangi perbuatannya


yang disertai dengan contoh kasus
Apakah pemberian atau penjatuhan hukuman pidana penjara kepada pelaku
tindak pidana korupsi dapat memberikan efek jera?

C. Analisis

1. Penyebab tindak pidana korupsi semakin marak dilakukan

Tindak pidana korupsi termasuk dalam kejahatan luar biasa yang


membutuhkan penanggulangan dan pemberantasan yang luar biasa pula.
Pemberantasan tindak pidana korupsi yang telah dimulai sejak era reformasi hingga
saat ini mulai dari era pemerintahan Presiden BJ Habibie, pemerintahan Presiden
Megawati Soekarno Putri hingga pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
dengan mengeluarkan berbagai kebijakan-kebijakan dan peraturan lainnya tidak dapat
memberikan hasil yang memuaskan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.

2 Herbert L. Packer, The Limits of criminal sanction, Stanford University


Press, California, 1968, hlm.13-14
Hal ini terbukti pada setiap tahunnya kejahatan tindak pidana korupsi semakin
meningkat. Apakah yang menyebabkan pelaku tindak pidana korupsi terus
mengulangi perbuatannya? Berikut pembahasannnya.

a. Perkara Korupsi divonis Ringan

Tren makin rendahnya putusan untuk perkara korupsi merupakan salah satu
penyebab pelaku tindak pidana korupsi untuk terus mengulangi perbuatannya. Hal itu
terlihat dari putusan kasasi Mahkamah Agung sepanjang tahun 2010, yakni 60,68
persen kasus korupsi divonis rendah, antara lain 1 dan 2 tahun. Hal itu terungkap
dalam buku laporan tahunan MA 2010 yang disampaikan kepada public, di Gedung
MA, Jakarta.

Selama tahun 2010, MA memutuskan 442 kasus korupsi. Dari jumlah itu,
vonis bebas yang dijatuhkan 43 kasus (9,73 persen). Dari kasus yang ditangani MA,
sebanyak 269 kasus atau 60,68 persen dijatuhi hukuman antara 1 dan 2 tahun. Disusul
87 kasus atau 19,68 persen divonis 3-5 tahun. Hanya 13 kasus atau 2,94 persen yang
divonis 6-10 tahun. Adapun yang dihukum lebih dari 10 tahun hanya 2 kasus atau
0,45 persen. Tidak ada hukuman seumur hidup atau mati meskipun Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
memungkinkan hukuman itu. Beberapa kasus diantaranya yaitu :

Pada 21 september 2011, Mindo Rosalina Manulang, Mantan Direktur


Pemasaran PT anak Negeri mendapatkan vonis 2,5 tahun penjara dengan
denda sebesar Rp 200 juta subside 6 bulan kurungan penjara
Pada 18 Desember 2011, Mohammad El Idris, mantan Manajer Marketing PT
Duta Graha Indah mendapatkan vonis 2 tahun penjara, denda sebesar Rp 200
juta subsider 6 bulan kurungan penjara
Wafid Muharam, mantan Seskemenpora mendapatkan vonis 3 tahun penjara
dengan denda sebebsar Rp 150 juta subside 3 bulan kurungan penjara. Pada
tanggal 12 April 2012 putusan banding pengadilan tinggi DKI Jakarta
memperkuat putusan pengadilan tipikor atas vonis Wafid Muharam
Pada 20 april 2012, M Nazaruddin, mantan Bendahara umum partai democrat
mendapatkan vonis 4 tahun 10 bulan serta denda Rp 200 juta subside 4 bulan
kurungan penjara.
(sumber: Tim Riset MI/Media Indonesia, 21 April 2012)

Selain kasus diatas ada beberapa kasus lainnya yang dijatuhkan Mahkamah
agung dalam kasus korupsi, diantaranya :
Syaukani Hassan Rais (mantan Bupati Kutai Kartanegara) dalam kasus
korupsi dana perimbangan, pemelian tanah untuk pembangunan bandara Loa
Kulu dan dana bantuan social, mendapatkan vonis 2,5 tahun (14 desember
2007) dan kasasi 6 tahun pada 28 juli 2008.
Syahrial Oesman (Gubernur Sumatera Selatan 2003-2008) dalam kasus
korupsi proyek pembangunan pelabuhan tanjung api-api di sumsel
mendapatkan vonis 1 tahun (januari 2010) dan kasasi: 3 tahun (22 april 2010)
Yusran Aspar (mantan Bupati Penajam Paser Utara, Kaltim) dalam kasus
korupsi biaya pembebasan tanah untuk kompleks perumahan PNS
mendapatkan vonis bebas (2008) dan pada tingkat kasasi mendapatkan 1,5
tahun penjara
Ibnu Subiyanto (Mantan Bupati Sleman) dalam kasus korupsi buku ajar
mendapatkan vonis 4 tahun (13 januari 2010) dan pada tingkat kasasi
mendapatkan 3 tahun penjara (20 september 2010)
As ad Syam (mantan Bupati Muaro Jambi) dalamkorupsi proyek pembangkit
listrik tenaga diesel sungai bahar mendapatkan vonis bebas (3 April 2008) dan
pada tingkat kasasi mendapatkan 4 tahun penjara (10 desember 2008).
Sumber : Litbang Kompas/yoh/stn, diolah dari pemberitaan kompas dan
WWW.mahkamahagung.com/kompas

Berdasarkan kasus diatas, dapat dilihat bahwa penjatuhan vonis berupa pidana
penjara yang ringan kepada pelaku tindak pidana korupsi menyebabkan semakin
maraknya kejahatan tindak pidana korupsi. Penjatuhan vonis ringan yang dijatuhkan
oleh hakim sangat tidak tepat dan tidak memberikan efek jera kepada pelaku.
Penjatuhan vonis ringan justru sangat bertentangan dengan tujuan penjatuhan
hukuman pidana kepada pelaku yaitu untuk memberikan efek jera kepada pelaku
untuk tidak mengulangi perbuatannya dan memberikan pengaruh kepada orang lain
untuk tidak melakukan perbuatan tersebut. Penjatuhan vonis kepada pelaku berkaitan
dengan sejauh mana kepatutan seorang hakim dalam menilai suatu kasus. Jika hakim
terus menerus menjatuhkan hukuman ringan kepada pelaku tindak pidana korupsi,
maka pemberantasan tindak pidana korupsi hanyalah kepalsuan belaka jika oknum
penegak hokum sendiri tidak dapat memberikan keadilan yang seyogyanya
didapatkan kepada pelaku dan telah memberikan rasa ketidakpuasaan kepada
masyarakat yang telah dirugikan akibat perbuatan tersebut.

b. Pemberian Remisi dan pembebasan bersyarat kepada koruptor


Penjatuhan vonis kepada pelaku tindak pidana korupsi akan dipandang kurang
apabila pelaku tindak pidana korupsi tetap mendapatkan remisi dan pembebasan
bersyarat. Hal ini dipandang menjadi salah saru pemicu terus meningkatnya kasus
korupsi di Indonesia.

pada hakikatnya remisi adalah pengurangan masa pidana. Untuk pelaku tindak
pidana korupsi akan mendapatkan remisi apabila telah menjalankan sepertiga dari
masa pidananya. Menurut Ganjar Laksamana Bondan dosen hokum politik
Universitas Indonesia mengatakan awalnya aturan remisi bukanlah hak terpidana,
melainkan lebih merupakan hadiah raja atau ratu. Menuerut sejarahnya remisi itu
bukan hak napi melainkan murni hadiah ratu yang sedang happy di Amerika serikat.

Untuk mengatasi kegaduhan masalah pro dan kontra tentang pemberian remisi
selama peraturan perundang-undangan belum ada yang melarang seyogianya hakim
yang memutuskan tindak pidana korupsi, teroris dan kejahatan-kejahatan luar biasa
lainnya dalam amar putusan memberikan hukuman tambahan secara tegas
menyatakan tidak memberikan hak remisi dan hak pembebasan bersyarat.

Pengetatan remisi tidak bertentangan dengan UU No. 12 tahun 1995 tentang


Lembaga Pemasyarakatan dan juga tidak bertentangan dengan PP No. 28 tahun 2006
tentang ketentuan khusus pemberian remisi kepada narapidana apabila berkelakuan
baik dan telah menjalani sepertiga masa pidana namun dalam realitas, pemberian
remisi kepada koruptor saraf penyimpangan. Berikut contoh kasusnya :

Remisi untuk mantan jaksa Urip Tri Gunawan.

Urip ditahan sejak maret 2008. Pada tahun yang sama, urip divonis 20 tahun
penjara dan denda Rp 500 juta. Tahun 2011, kasasi urip ditolak. Artinya urip harus
menjalani masa pidana selama 20 tahun terhitung sejak masa penahanan, yakni tahun
2008. Mengacu pada pasal 34 ayat (3) PP No. 26/2008, urip boleh menerima remisi
apabila telah menjalani 6 (enam) tahun, yakni sepertiga masa pidana. Ketentuan itu
berlaku karena urip adalah narapidana kasus korupsi.

Pemerintah justru seenaknya melanggar ketentuan tersebut. Pemerintah


member urip remisi khusus hari natal dengan ketentuan maksimal remisi satu bulan
pada desember 2010. Selanjutnya, agustus 2011, urip mendapatkan remisi umum
(Hari Kemerdekaan) sebesar empat bulan.

Secara hokum, urip baru menjalani tiga tahun masa pidana dank arena itu,
belum berhak untuk mendapat remisi. Artinya, pemerintah dalam hal ini menteri
Hukum dan HAM telah melanggar UU dan PP yang berlaku. Urip seharusnya tidak
diperlakukan layaknya narapidana biasa yang bias mendapat remisi setelah enam
bulan masa pidana, padahal ia adalah narapidana kasus korupsi.

Pembebasan bersyarat bagi Artalyta Suryani (Ayin)

Proses pemberian pembebasan bersyarat bagi ayin sempat bermasalah, usul


pemberian remisi dari Kepala Kantor Wilayah Banten Poppy Pudjiaswati pada 27
Desember 2010 ditolak Untung sugiono (Dirjen Pemasyarakatan). Untung menilai
remisi, yang mengantar ayin memperoleh pembebasan bersyarat, tidak layak
diberikan karena terbukti melanggar tata tertib saat ditahan di Pondok Bambu.
Belakangan Inspektur Jenderal Kementerian Hukum dan HAM, Sam L. Tobing ikut
campur meminta untung menyetujui pemberian remisi tersebut. Menteri Hukum dan
HAM Patrialis Akbar, menilai pembebasan bersyarat untuk ayin sudah tepat. Minimal
dalam 9 (Sembilan) bulan dia berkelakuan baik. (Sumber : Artikel Tempo 31 Januari)

Pemberantasan korupsi seharusnya bebas dari pemberian remisi kepada korupsi.


Pemberian remisi kepada korupsi tidak akan memberikan efek jera kepada pelaku
tindak pidana korupsi walaupun telah divonis berat. Hal inipun akan semakin buruk
dengan adanya pentyimpangan dalam praktek pemberian remisi itu sendiri.
Pemberian remisi seharusnya diperketat bahkan tidak diberikan kepada pelaku tindak
pidana korupsi agar memberikan efek jera dan tidak memberikan kemudahan kepada
pelaku tindak pidana korupsi.

Selain kedua hal diatas, moralitas yang buruk yang dimiliki oleh penguasa
pemerintahan baik dalam kalangan legislative, eksekutif dan penegak hokum pula
menjadi salah satu pemicu meningkatnya korupsi di Indonesia. Pemberantasan
korupsi yang setengah-setengah tidak akan memberikan hasil yang di inginkan
apabila para penegak hokum memiliki mental yang buruk. Kerusakan moral yang
dimiliki para koruptor akan merusak birokrasi dan cita-cita tujuan berbangsa dan
bernegara seperti yang diamanatkan dalam Alinea ke empat Pembukaan UUD 1945
yaitu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan perdamaian abadi dan keadilan
social, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-
undang dasar Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar
kepada Ketuhanan yang maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan
Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan social bagi
seluruh rakyat Indonesia .

Penegak hokum yang memiliki moralitas yang buruk yang haus akan
kekayaan akan memberikan keleluasaan bagi para koruptor untuk terus melakukan
dan mengulangi perbuatannya. Selain itu, moralitas pihak-pihak yang memiliki
kekuasaan juga menjadi pemicu korupsi. Penyalahgunaan wewenang aparatur negara
dalam mengemban amanah sangat mudah dilakukan apabila oknum-oknum tersebut
memiliki moralitas yang buruk.

Selain itu, lemahnya pengawasan di masing-masing instansi/kementrian,


pemerintah daerah serta aparatur negara dan otonomi daerah yang kebablasan pula
menjadi pemicu dalam seseorang melakukan korupsi.

2. Efektivitas penjatuhan pidana penjara kepada pelaku tindak pidana korupsi

Pidana penjara merupakan salah satu jenis pidana dan pemidanaan yang
sering dijatuhkan oleh hakim. Namun, penjatuhan pidana penjara akan tampak kurang
efektif apabila terhadap para pelaku masih diberikan keringanan baik itu keringanan
berupa adanya remisi, pembebasan bersyarat, grasi maupun terpidana yang
mendapatkan amnesty dan abolisi. Hal ini, akan memberikan pengaruh buruk yaitu
tidak adanya efek jera dari para pelaku tindak pidana. Lamanya berat ringannya
penjatuhan pidana kepada terpidana seharusnya lebih diperketat dan bahkan para
terpidana harus mendapatkan hukuman yang lebih berat.

Kebijakan pidana (penal Policy), sebagaimana kebijakan public pada


umumnya, pada dasarnya harus merupakan kebijakan yang rasional. Salah satu
ukuran rasionalitas kebijakan pidana antara lain dapat dihubungkan dengan masalah
efektivitas. Jadi, ukuran rasionalitas diletakkan pada masalah keberhasilan atau
efektivitas pidana itu dalam mencapai tujuannya. Menentukan dasar pembenaran
pidana penjara dilihat dari sudut efektivitasnya, merupakan suatu pendekatan
pragmatis yang memang sepatutnya dipertimbangkan dalam setiap langkah kebijakan.

Masalah efektivitas pidana penjara dilihat dari dua aspek pokok tujuan
pemidanaan, yaitu dari aspek perlindungan masyarakat dan dari aspek perbaikan si
pelaku. Yang dimaksdud dengan aspek perlindungan masyarakat meliputi tujuan:
mencegah, mengurangi atau mengendalikan tindak pidana dan memulihkan
keseimbangan masyarakat (antara lain, menyelesaikan konflik, mendatangkan rasa
aman, memperbaiki kerugian /kerusakan, menghilangkan noda-noda, memperkuat
kembali nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat:, sedangkan yang dimaksud
dengan aspek perbaikan si pelaku meliputi berbagai tujuan antara lain melakukan
rehabilitasi dan memasyarakatkan kembali si pelaku dan melindunginya dari
perlakuan sewenang-wenang di luar hukum.

Efektivitas pidana penjara dilihat dari aspek perlindungan masyarakat, maka


suatu pidana dikatakan efektif apabila pidana itu sejauh mungkin dapat mencegah
atau mengurangi kejahatan. Jadi, criteria efektivitas dilihat dari seberapa jauh
frekuensi kejahatan dapat ditekan.

Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan, diperoleh gambaran bahwa


pidana penjara merupakan jenis pidana yang paling banyak dijatuhkan oleh hakim
dibandingkan dengan jenis-jenis pidana lainnya. Namun di lain pihak data statistic
menunjukkan bahwa kejahatan terus meningkat. Jadi tampaknya tidak ada pengaruh
pencegahan atau setidak-tidaknya tidak ada korelasi antara banyaknya pidana penjara
yang dijatuhkan dengan menurunnya jumlah kejahatan.3

Efektivitas pidana penjara tidak dapat dinilai hanya dengan naik turunnya
tindak kejahatan di masyarakat karena tindak kejahatan dipengaruhi oleh berbagai
factor lainnya. Hal ini dikemukakan pula oleh Schultz, bahwa naik turunnya
kejahatan di suatu negara tidaklah berhubungan dengan perubahan-perubahan di
dalam hukumnya atau kecenderungan-kecenderungan dalam putusan pengadilan,
tetapi berhubungan dengan bekerjanya atau berfungsinya perubahan-perubahan
kultural yang besar dalam kehidupan masyarakat. 4 Demikian pula Rubin menyatakan
bahwa penghukuman, apapun yang menjadi hakikatnya, yaitu apakah dimaksudkan
untuk menghukum atau untuk memperbaiki, sedikit atau tidak mempunyai pengaruh
terhadap masalah kejahatan.5

Dari uraian diatas, dapatlah disimpulkan, bahwa indicator naik turunnya


frekuensi kejahatan tidak dapat begitu saja digunakan sebagai ukuran untuk

3 Lihat Barda Nawawi Arief, kebijakan penanggulangan kejahatan dengan


pidana penjara, CV Ananta, semarang,1994, hl. 106-107

4 H.D. Hart, ed., Punishment: For and Against, Hart Publishing Co. Inc.,
New York City, 1971, hlm. 21: increases and decreases in a country are
not related to changes in its laws or trends in court decision, but are a
function of the major cultural changes in a communitys life
menentukan efektif tidaknya pidana penjara. Terlebih lagi ada sisi lain dari aspek
perlindungan masyarakat yaitu pemidanaan bertujuan juga untuk memulihkan
keseimbangan masyarakat. Indicator telah pulihnya kembali keseimbangan
masyarakat antara lain: telah ada penyelesaian konflik, telah ada kedamaian dan rasa
aman dalam masyarakat, telah hilangnya noda-noda dimasyarakat atau telah pulihnya
kembali nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.

Kebijakan legislatif (formulatif) merupakan tahap paling strategis dari


keseluruhan proses operasionalisasi/fungsionalisasi dan konkretisasi (hukum) pidana.
Oleh karena itu, untuk mengefektivkan berfungsinya pidana penjara atau pidana
perampasan kemerdekaan pada umumnya, kebijakan legislative sepatutnya
memerhatikan hal-hal sebagai berikut :

a. Mengingat berbagai kritik dan kelemahan/pengaruh negative dari pidana


penjara, maka penggunaan/penetapan pidana penjara dalam perundang-
undangan seyogianya ditempuh dengan kebijakan selektif dan limitative.
Kebijakan demikian tidak hanya berarti harus ada penghematan dan
pembatasan pidana penjara yang dirumuskan/diancamkan dalam perundang-
undangan, tetapi juga harus ada peluang bagi hakim untuk menerapkan pidana
penjara itu secara selektif dan limitative. Ini pula berarti harus pula tersedia
jenis-jenis pidana/tindakan alternatif lain yang bersifat non-custodian.
b. Agar hakim dapat menerapkan pidana penjara secara selektif dan dengan
demikian pidana penjara diharapkan dapat berfungsi secara efektif sesuai
dengan tujuannya, maka dalam kebijakan legislative perlu dirumuskan tujuan
pemidanaan dan pedoman pemidanaan. Pedoman pemidanaan ini dapat
bersifat umum maupun khusus yang berhubungan dengan pidana penjara.
Penyusunan pedoman ini pun seyogianya berorientasi pada hasil-hasil
penelitian mengenai efektivitas pidana penjara dan berbagai rekomendasi atau
kecenderungan kesepakatan internasional
c. Dalam kebijakan legislative sepatutnya dihindari perumusan ancaman pidana
penjara yang bersifat imperatif (yaitu, system perumusan tunggal dan
perumusan kumulatif). Kelemahan utama dari system imperative ini ialah
sifatnya yang sangat kaku karena bersifat mengharuskan. Jadi, hakim
dihadapkan pada suatu jenis pidana yang sudah pasti (definite sentence) dan

5 Ibid., Lo. Cit,: No matter what the nature of the sentence, whether it be
punitive or rehabilitative, it will have be little or no effect on the crime
problem.
sangat bersifat mekanik, karena mau tidak mau hakim seolah-olah harus
menetapkan pidana penjara secara otomatis. Hakim tidak diberi kesempatan
dan kelonggaran untuk menentukan jenis pidana lain yang sesuai untuk
terdakwa.
d. Sekiranya system perumusan tunggal (untuk pidana penjara) akan tetap
digunakan, maka untuk menghindari sifat kaku dari system tunggal ini,
didalam kebijakan legislative harus ada pedoman bagi hakim untuk dapat
menerapkan system perumusan tunggal itu secara lebih elastic/fleksibel.
Artinya, dalam pedoman itu tetap diberi kewenangan/kemungkinan kepada
hakim untuk :
Di satu pihak, dapat menghindari atau tidak menjatuhkan pidana
penjara yang telah ditetapkan secara tunggal itu dengan menggantinya
dengan jenis pidana lain yang lebih ringan, sehingga sisrtem pidana
tunggal itu seolah-olah dapat diterapkan sebagai system alternative
Di lain pihak, dalam hal-hal tertentu dapat menambah atau
memperberat jenis pidana penjara yang telah ditetapkan secara tunggal
itu dengan jenis pidana lainnya, misalnya dengan pidana denda,
sehingga system tunggal itu seolah-olah dapat diterapkan juga sebagai
system kumulatif.
e. System perumusan pidana penjara yang tertuang dalam kebijakan legislative
bukanlah system yang berdiri sendiri. System/kebijakan pidana penjara ini
terkait erat dengan keseluruhan system/kebijakan pemidanaan, baik yang
terdapat dalam perundang-undangan hokum pidana substantive/material,
maupun yang terdapat dalam aturan hokum pidana formal dan hokum
pelaksanaan pidana. Oleh karena itu, untuk mengefektifkan pidana penjara
perlu dilakukan reorientasi dan evaluasi terhadap keseluruhan peraturan
perundang-undangan yang selama ini (dalam bidang hokum pidana material,
hokum pidana formal dan hokum pelaksanaan pidana), yaitu apakah sesuai
dan menunjang kebijakan pidana penjara yang berorientasi pada system
pemasyarakatan dan berorientasi pada kebijakan yang selektif dan limitatif.
f. Khusus mengenai pidana penjara seumur hidup, dapat kiranya dikemukakan
hal-hal sebagai berikut :
a) Pidana seumur hidup, seperti halnya dengan pidana mati, pada
dasarnya merupakan jenis pidana absolute. Dilihat dari sudut
penjatuhan pidana dan juga dari sudut terpidana, pidana seumur hidup
itu bersifat pasti (definite sentence) karena si terpidana dikenakan
jangka waktu yang pasti (a definite period of time), yaitu menjalani
pidana sepanjang hidupnya, walaupun orang tidak tahu pasti berapa
lama masa hidup seseorang di dunia ini. Dilihat dari kenyataan
praktik, dapat juga dikatakan bahwa pidana seumur hidup bersifat
indeterminate, karena si terpidana tidak tahu pasti kapan dia dapat
dilepaskan kembali kemasyarakat.
b) Mengingat sifat/karakteristik pidana seumur hidup yang demikian,
maka sebenarnya ada kontradiksi ide antara pidana seumur hidup
dengan system pemasyarakatan. Pidana penjara seumur hidup lebih
berorientasi pada ide perlindungan kepentingan masyarakat,
sedangkan pidana penjara dengan system pemasyarakatan lebih
berorientasi pad aide perlindungan/pembinaan dan perbaikan
(rehabilitasi) si terpidana untuk dikembalikan lagi ke masyarakat.
c) Sekiranya pidana penjara seumur hidup memang masih patut
dipertahankan,6 maka kebijakan legislative mengenai pidana seumur
hidup seyogianya mengintegrasikan ide/konsep pemasyarakatan serta
memerhatikan ide-ide yang tertuang di dalam standard minimum rules
for the treatment of prisoners.

D. Referensi
1. Anwary, S.2012.Perang Melawan Korupsi Dindonesia.Institut Pengkajian
Masalah-Masalah Politik dan social ekonomi. Bogor
2. Arief, Barda Nawawi.2011.Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana:
(Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru).Edisi kedua Cetakan
Ketiga. Prenada Media Group. Jakarta
3. Hartanti, Evi.2007.Tindak Pidana Korupsi.Edisi Kedua Cetakan Pertama.
Sinar Grafika. Jakarta
4. Muladi. 2008.Lembaga pidana Bersyarat.Edisi Pertama cetakan Kelima.
Bandung

6 Ada negara-negara yang telah menghapuskan pidana penjara seumur


hidup, antara lain portugis (1976), spanyol (1980), norwegia (1981), Brasil
(1988), dan kolombia (1991). Lihat life imprisonment, UN Publication
ST/CSDHA/24,1994, catatan kaki hlm. 2.

Anda mungkin juga menyukai