Sempro Kuisioner1
Sempro Kuisioner1
Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
Pembimbing :
dr. M. Khairul Nuryanto, M. Kes
Veronika Hinum, S. KM, MM
dr. Kasiman
2.1.2 Epidemiologi
Data dari International Diabetes Federation (IDF) (2012) menunjukkan
bahwa 371 juta orang di dunia atau 8,3 persen dari penduduk dunia menderita
DM. Jumlah penderita DM mencapai 7,6 juta orang di Indonesia pada tahun
2012, dimana penderita DM terbanyak yaitu > 50 persen merupakan kelompok
usia 40-59 tahun (International Diabetes Federation, 2012). Penelitian
pendahuluan yang dilakukan peneliti di RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda
menunjukkan pasien DM rawat inap terus meningkat setiap tahunnya dan
mencapai jumlah 1.113 orang pada tahun 2012. DMT2 memberi kontribusi 80-95
persen dari jumlah seluruh kasus (IDF, 2012).
2.1.3 Etiologi dan Faktor Resiko
Penyebab spesifik terhadap perkembangan terjadinya abnormalitas pada
penderita DMT2 belum diketahui secara pasti. Faktor-faktor yang diduga
meningkatkan risiko terjadinya DMT2 antara lain usia 45 tahun, riwayat
keluarga menderita DMT2, ras atau etnis tertentu. Faktor lain sebenarnya dapat
dihindari dengan pola hidup yang sehat, contohnya obesitas atau berat badan
berlebih (BMI 25 kg/m2), kebiasaan aktivitas fisik yang kurang atau gaya hidup
sedenter, diet rendah serat dan tinggi lemak, toleransi glukosa terganggu (TGT)
dan glukosa darah puasa terganggu (GDPT), wanita dengan riwayat menderita
DM gestasional atau melahirkan bayi dengan berat > 4 kg, hipertensi, kolesterol
HDL 35 mg/dL atau trigliserida 250 mg/dL, riwayat penyakit vaskular
(Alsahli & Gerich, 2012; Purnamasari, 2009).
2.1.4 Patofisiologi
Patofisiologi dari terjadinya DMT2 merupakan interaksi dari faktor genetik
dan lingkungan, dalam hal ini gaya hidup yang lebih berefek pada menurunnya
sekresi insulin dan respon jaringan terhadap insulin (Alsahli & Gerich, 2012).
Insulin adalah salah satu hormon yang dihasilkan oleh sel pulau langerhans
dalam kelenjar pankreas yang berfungsi meregulasi glukosa darah. Penurunan
sekresi insulin menyebabkan glukosa darah setelah asupan makan tidak dapat
dikontrol dalam keadaan normal, sehingga terjadi keadaan hiperglikemi, yaitu
glukosa darah di atas normal. Hal ini dapat disertai penurunan sensitifitas insulin
di jaringan target, contohnya pada jaringan otot sehingga menyebabkan ambilan
glukosa untuk metabolisme di dalam sel berkurang. Insulin juga berfungsi
menginhibisi glukoneogenesis dan glikogenolisis, dimana bila sensitifitasnya pada
jaringan hepar menurun atau kadarnya di dalam darah menurun, cadangan glukosa
akan terus dipecah meskipun kadar glukosa darah telah tinggi (Manaf, 2009).
2.1.7 Komplikasi
Komplikasi pada penderita DMT2 diduga terjadi karena efek toksik dari
hiperglikemi dan level lipid yang abnormal sehingga menyebabkan gangguan
fungsi dan struktur pada pembuluh darah besar (makrovaskuler) dan kecil
(mikrovaskuler). Komplikasi utama penderita DMT2 menurut International
Diabetes Federation (2006) adalah penyakit kardiovaskuler, retinopati diabetik,
neuropati diabetik, nefropati diabetik dan kaki diabetik.
2.1.8 Penatalaksanaan
Pengelolaan pasien DM diharapkan dapat menurunkan morbiditas dan
mortalitas DM. Tujuan tersebut dapat tercapai dengan usaha pengendalian
terhadap glukosa darah, tekanan darah, berat badan dan profil lipid pasien sesuai
kriteria (Tabel 2.1) melalui pengelolaan yang holistik (PERKENI, 2006).
Pengelolaan DM memilik 4 pilar utama, yaitu (PERKENI, 2006):
a. Edukasi
b. Terapi gizi medis
c. Latihan jasmani
d. Intervensi farmakologis, yang terbagi menjadi pemberian obat hipoglikemik
oral (OHO), insulin dan terapi kombinasi antara OHO dengan insulin
(PERKENI, 2006).
Terapi non farmakologis berupa edukasi, gizi dan latihan jasmani merupakan
tombak utama dalam pengelolaan pasien DMT2. Apabila setelah penerapannya
tidak mampu mengontrol kadar gula darah yang diharapkan, baru kemudian
dilakukan terapi farmakologis dengan tetap melanjutkan terapi non farmakologis
(Yunir & Soebardi, 2009).
e. Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil tahu dan ini terjadi setelah orang
melakukan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu, dari pengalaman
dan penelitian terbukti bahwa perilaku yang didasari oleh pengetahuan
akan lebih langgeng dari pada perilaku yang tidak didasari oleh
pengetahuan (Notoatmodjo, 2007). Faktor- faktor yang mempengaruhi
tingkat pengetahuan seseorang adalah pendidikan, pekerjaan dan usia.
Menurut Notoadmojo (2003) tingkat pengetahuan manusia dibagi menjadi
6 tingkat. Pertama yaitu tahu (know), diartikan sebagai pengingat suatu
materi yang telah dipelajari sebelum terhadap sesuatu yang spesifik dari
seluruh yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Setelah tahu,
kemudian sesorang akan memahami (compherension). Memahami
diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar.
Orang yang telah paham objek-objek atau materi harus dapat menjelaskan,
dengan menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan dari terhadap
objek yang dipelajari. Selanjutnya, apa yang telah dipahami akan
diaplikasikan (Aplication). Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk
menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi dan kondisi yang
sebenarnya. Aplikasi juga merupakan penggunaan hukum-hukum,
rumus, metode, prinsip dan dalam konteks atau situasi lain.
Kemudian, materi atau objek yang telah diplikasikan selanjutnya
diartikan untuk dijabarkan ke dalam komponen-komponen, tetapi dalam
struktur organisasi dan masih ada kaitannya satu sama lain
(Analysis). Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata
kerja, dapat menjabarkan, membedakan, mensyahkan dan
mengelompokkan. Materi atau obejk yang telah dianalisis,
digabungkan untuk menyusun formulasi-formulasi yang ada (Syntesis).
Kemudian dinilai berdasarkan suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau
menggunakan kriteria yang ada (Evaluasi).
f. Sikap (Attitude)
Sikap merupakan aksi atau respon seseorang yang masih tertutup Menurut
Notoadmodjo (2007), sikap manusia terhadap suatu rangsangan adalah
perasaan setuju (favorablere) ataupun perasaan tidak setuju (non
favorable) terhadap rangsangan tersebut. Selain itu Allport (1935 dalam
Notoadmodjo, 2003) menjelaskan bahwa sikap mempunyai 3 (tiga)
komponen pokok yaitu: kepercayaan (keyakinan) yang merupakan ide dan
konsep terhadap suatu objek, kehidupan emosional atau evaluasi
emosional terhadap suatu objek dan kecenderungan untuk bertindak.
Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh
(total attitude). Dalam penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan,
pikiran, keyakinan dan emosi memegang peranan penting. Seperti halnya
dengan pengetahuan, Notoadmodjo (2007) menyebutkan bahwa sikap
terdiri dari berbagai tingkatan. Pertama adalah subjek mau dan
memperhatikan stimulus yang diberikan objek (receiving). Kemudian
merespon (memberikan) jawaban apabila ditanya serta mengerjakan
dan menyelesaikan tugas yang diberikan (responding). Selanjutnya,
subjek akan menunjukan sikap menghargai (valuating) yaitu dengan
mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu
masalah, lalu bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya
dengan segala resiko (responsible).
Faktor-faktor yang mempengaruhi sikap secara psikologi ada dua yaitu:
faktor instriksik dan faktor ekstrinsik. Yang termasuk faktor instrinsik
diantaranya intelegensi, bakat, minat, dan kepribadian, sedangkan yang
termasuk didalam ekstrinsik antara lain yang datang dari lingkungan
individu itu sendiri. Maka sikap seseorang terhadap rangsangan sangat
tergantung pada berbagai situasi dan kondisi lingkungan dimana orang
itu berada. Dan sikap juga terukir melalui pengalaman seseorang, dengan
motivasi yang ada pada dirinya. Sikap merupakan reaksi yang masih
tertutup dari seseorang terhadap suatu rangsangan (Notoadmodjo, 2007).
g. Usia
Usia adalah umur yang terhitung mulai saat dilahirkan sampai saat akan
berulang tahun. Semakin cukup umur, tingkat kematangan dan
kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berpikir dan bekerja. Dari
segi kepercayaan, masyarakat yang lebih dewasa akan lebih dipercaya
daripada orang yang belum cukup tinggi tingkat kedewasaannya. Hal ini
sebagai akibat dari pengalaman dan kematangan jiwanya. Semakin
dewasa seseorang, maka cara berfikir semakin matang dan teratur
melakukan suatu tindakan (Notoatmodjo, 2007).