Anda di halaman 1dari 17

Laboratorium Ilmu Kesehatan Masyarakat Penelitian

Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman

HUBUNGAN TINGKAT KEPATUHAN PENGGUNAAN OBAT DAN


KEBERHASILAN TERAPI PADA PASIEN DIABETES MELITUS DI
PUSKESMAS PALARAN SAMARINDA

Cendhy Githea Ersedyabhakti 1410029046


Elly Lutfiasari 1410029048
Mayshia Prazitya Shakti 1410029050

Pembimbing :
dr. M. Khairul Nuryanto, M. Kes
Veronika Hinum, S. KM, MM
dr. Kasiman

Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik


Laboratorium Ilmu Kesehatan Masyarakat
Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman
Puskesmas Palaran
2016
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Diabetes melitus (DM) adalah suatu penyakit gangguan metabolisme yang
disebabkan oleh kelainan sekresi insulin, ketidakseimbangan antara suplai dan
kebutuhan insulin, yang ditandai dengan hiperglikemia (ADA, 2004).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh DiabCare pada 12 negara di
Asia menunjukkan bahwa jumlah penderita DM tipe 2 dengan pengendalian
glukosa darah yang buruk mencapai 68% (Nitiyanant et al, 2002). Sedangkan,
beberapa penelitian di berbagai negara menunjukkan bahwa angka penderita
diabetes melitus tipe 2 yang memiliki kadar gula darah tidak terkontrol masih
tinggi, seperti di Malaysia sebesar 69,2% (Mafauzy, 2006) dan Thailand
mencapai 53,5% (Nitiyanant et al, 2002). Enam negara di Amerika Latin
menunjukkan bahwa 57% pengendalian glukosa darah pada pendetita DM tipe 2
memiliki kategori buruk (Gagliardino et al, 2001).
Indonesia merupakan negara keempat yang memiliki jumlah penderita
DM terbanyak di dunia. Di Indonesia diperkirakan jumlah penderita diabetes
mencapai 14 juta orang pada tahun 2006, dimana hanya 50% yang menyadari
mengidap DM dan 2 diantaranya sekitar 30% yang datang berobat secara teratur
(WHO, 2008). Menurut laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013,
prevalensi DM di Indonesia sebesar 1,5%. Menurut hasil penelitian yang
dilakukan oleh DiabCare di Indonesia, diketahui bahwa 47,2% memiliki kendali
yang buruk pada glukosa darah plasma puasa >130 mg/dl pada penderita DM tipe
2 (Soewondo, et al, 2010).
Berdasarkan data di Puskesmas Palaran sendiri, jumlah penderita DM mengalami
peningkatan yang cukup signifikan dan mencapai hingga 2 kali lipat jumlah
penderita DM pada tahun lalu, yaitu dari sebanyak 66 penderita menjadi
sebanyak 119 penderita.
DM dapat disebut juga dengan the silent killer sebab penyakit ini dapat
menyerang beberapa organ tubuh dan mengakibatkan berbagai macam keluhan.
DM tidak dapat disembuhkan tetapi glukosa darah dapat dikendalikan melalu 4
pilar penatalaksanaan DM seperti edukasi, diet, olah raga dan obat-
obatan(PERKENI, 2011). Faktor yang dapat mempengaruhi pengendalian kadar
gula darah yakni pengobatan DM bermanfaat untuk mempertahankan kadar gula
darah dalam kisaran normal.Menurut Chua dan Chan (2011) penderita DM tipe 2
yang tingkat kepatuhan minum obatnya rendah memiliki kadar glukosa darah
yang lebih tinggi (Imawati 2008).
Pengelolaan DM yang tidak dilakukkan dengan baik, terutama
pengendalian kadar gula darah dapat menimbulkan komplikasi. Beberapa
penyakit yang dapat dikeluhkan akibat dari DM seperti gangguan penglihatan,
katarak, penyakit jantung, gangguan ginjal, impotensi seksual, luka sulit sembuh
dan membusuk (gangren), infeksi paru dan sebagainya. Tidak jarang penyakit
DM dapat mengakibatkan kecacatan akibat terjadi pembusukan pada organ tubuh
(Depkes, 2005). Selain komplikasi yang dapat ditimbulkan akibat tidak
terkendalinya glukosa darah, penderita DM tipe 2 dengan glukosa darah puasa
yang tidak terkendali merupakan penyebab risiko kematian akibat penyakit
kardivaskuler tertinggi (Kaptoge et al, 2011; Sacks et al, 2002).

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimanakah gambaran penggunaan obat hipoglikemik oral di
wilayah kerja puskesmas palaran?
2. Bagaimanakah gambaran tingkat kepatuhan pasien Diabetes Melitus
Tipe 2 di wilayah kerja puskesmas palaran?
3. Bagaimanakah gambaran keberhasilan terapi pasien Diabetes Melitus
Tipe 2 di wilayah kerja puskesmas palaran?
4. Bagaimanakah hubungan tingkat kepatuhan penggunaan obat dan
keberhasilan terapi pada pasien diabetes melitus di puskesmas palaran
samarinda?

1.3 Tujuan Penelitian


1. Mengetahui gambaran penggunaan obat hipoglikemik oral di wilayah
kerja puskesmas palaran.
2. Mengetahui gambaran tingkat kepatuhan pasien Diabetes Melitus
Tipe 2 di wilayah kerja puskesmas palaran.
3. Mengetahui gambaran keberhasilan terapi pasien Diabetes Melitus
Tipe 2 di wilayah kerja puskesmas palaran.
4. Mengetahui hubungan tingkat kepatuhan penggunaan obat dan
keberhasilan terapi pada pasien diabetes melitus di puskesmas palaran
samarinda.

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Bagi Penulis
1. Sebagai syarat untuk mengikuti ujian pada Kepaniteraan Klinik Stase
Ilmu Kesehatan Masyarakat
2. Sebagai media pembelajaran dalam melakukan penelitian ilmiah.
1.4.2 Bagi Puskesmas
1. Sebagai bahan untuk menambah pengetahuan mengenai penggunaan
obat Diabetes Melitus.
2. Sebagai sarana untuk mengetahui bagaimana gambaran gambaran
penggunaan obat hipoglikemik oral di wilayah kerja Puskesmas
Palaran.
3. Sebagai acuan untuk pengambilan langkah-langkah intervensi dalam
rangka meningkatkan tingkat kepatuhan pasien yang menggunakan
obat Diabetes Melitus.
1.4.3 Bagi Masyarakat
Sebagai bahan referensi dan informasi penting untuk dalam bidang
kesehatan khususnya tentang pemberian obat
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Diabetes Melitus Tipe 2


2.1.1 Definisi
Non-insulin dependent diabetes mellitus (NIDDM) atau yang sekarang lebih
sering disebut diabetes melitus tipe 2 (DMT2), menurut Dorland (2010)
merupakan suatu penyakit kronis dimana kelenjar pankreas tidak dapat
memproduksi hormon insulin yang cukup dan/atau hormon tersebut tidak dapat
digunakan tubuh dengan efektif, namun jumlah insulin selalu cukup untuk
mencegah terjadi komplikasi akut berupa ketoasidosis.

2.1.2 Epidemiologi
Data dari International Diabetes Federation (IDF) (2012) menunjukkan
bahwa 371 juta orang di dunia atau 8,3 persen dari penduduk dunia menderita
DM. Jumlah penderita DM mencapai 7,6 juta orang di Indonesia pada tahun
2012, dimana penderita DM terbanyak yaitu > 50 persen merupakan kelompok
usia 40-59 tahun (International Diabetes Federation, 2012). Penelitian
pendahuluan yang dilakukan peneliti di RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda
menunjukkan pasien DM rawat inap terus meningkat setiap tahunnya dan
mencapai jumlah 1.113 orang pada tahun 2012. DMT2 memberi kontribusi 80-95
persen dari jumlah seluruh kasus (IDF, 2012).
2.1.3 Etiologi dan Faktor Resiko
Penyebab spesifik terhadap perkembangan terjadinya abnormalitas pada
penderita DMT2 belum diketahui secara pasti. Faktor-faktor yang diduga
meningkatkan risiko terjadinya DMT2 antara lain usia 45 tahun, riwayat
keluarga menderita DMT2, ras atau etnis tertentu. Faktor lain sebenarnya dapat
dihindari dengan pola hidup yang sehat, contohnya obesitas atau berat badan
berlebih (BMI 25 kg/m2), kebiasaan aktivitas fisik yang kurang atau gaya hidup
sedenter, diet rendah serat dan tinggi lemak, toleransi glukosa terganggu (TGT)
dan glukosa darah puasa terganggu (GDPT), wanita dengan riwayat menderita
DM gestasional atau melahirkan bayi dengan berat > 4 kg, hipertensi, kolesterol
HDL 35 mg/dL atau trigliserida 250 mg/dL, riwayat penyakit vaskular
(Alsahli & Gerich, 2012; Purnamasari, 2009).

2.1.4 Patofisiologi
Patofisiologi dari terjadinya DMT2 merupakan interaksi dari faktor genetik
dan lingkungan, dalam hal ini gaya hidup yang lebih berefek pada menurunnya
sekresi insulin dan respon jaringan terhadap insulin (Alsahli & Gerich, 2012).
Insulin adalah salah satu hormon yang dihasilkan oleh sel pulau langerhans
dalam kelenjar pankreas yang berfungsi meregulasi glukosa darah. Penurunan
sekresi insulin menyebabkan glukosa darah setelah asupan makan tidak dapat
dikontrol dalam keadaan normal, sehingga terjadi keadaan hiperglikemi, yaitu
glukosa darah di atas normal. Hal ini dapat disertai penurunan sensitifitas insulin
di jaringan target, contohnya pada jaringan otot sehingga menyebabkan ambilan
glukosa untuk metabolisme di dalam sel berkurang. Insulin juga berfungsi
menginhibisi glukoneogenesis dan glikogenolisis, dimana bila sensitifitasnya pada
jaringan hepar menurun atau kadarnya di dalam darah menurun, cadangan glukosa
akan terus dipecah meskipun kadar glukosa darah telah tinggi (Manaf, 2009).

Penurunan sekresi insulin postprandialPenurunan sekresi insulin basal

Hiperglikemik postprandialApoptosis progresif sel


Penurunan
jumlah sel
Peningkatan kerja sel pankreas

Peningkatan resistensi insulin

Gambar 2.1 Patofisiologi DMT2 (diadaptasi dari Kaku, 2010)


Tubuh mengkompensasi hal-hal tersebut dengan meningkatkan kerja sel
untuk sekresi insulin. Hal ini lambat laun dapat menginduksi apoptosis secara
progresif yang menyebabkan penurunan jumlah sel . Terjadilah penurunan dari
sekresi insulin basal dan regulasi glukosa tidak dapat dicapai, inilah saat
seseorang terjatuh pada keadaan DMT2 (Kaku, 2010).
2.1.5 Manifestasi Klinis
Keluhan klasik DM adalah poliuria atau banyak buang air kecil, polidipsia
atau banyak minum, polifagia atau banyak makan dan penurunan berat badan
yang tidak dapat dijelaskan sebabnya (PERKENI, 2006).
Keluhan lainnya dapat berupa : lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur
disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae (gatal didaerah kemaluan) pada
wanita (PERKENI, 2006).
2.1.6 Diagnosis
Pembagian alur diagnosis DM di Indonesia terbagi menjadi dua bagian
besar berdasarkan ada tidaknya gejala klasik DM, seperti tertera pada tabel 2.3.
(PERKENI, 2006).
Tabel 2.1Kriteria Diagnosis DM(PERKENI, 2006)
Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu 200 mg/dL (11,1 mmol/L)
Ket: glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada
suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir
Atau
2. Gejala klasik DM + kadar glukosa plasma puasa 126 mg/dL (7,0 mmol/L)
Ket: puasa diartikan pasien tak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam
Atau
3. Kadar glukosa plasma 2 jam pada TTGO 200 mg/dL (11,1 mmol/L)
Ket: TTGO dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa
yang setara dengan 75 g glukosa anhidurs yang dilarutkan ke dalam air.

2.1.7 Komplikasi
Komplikasi pada penderita DMT2 diduga terjadi karena efek toksik dari
hiperglikemi dan level lipid yang abnormal sehingga menyebabkan gangguan
fungsi dan struktur pada pembuluh darah besar (makrovaskuler) dan kecil
(mikrovaskuler). Komplikasi utama penderita DMT2 menurut International
Diabetes Federation (2006) adalah penyakit kardiovaskuler, retinopati diabetik,
neuropati diabetik, nefropati diabetik dan kaki diabetik.

2.1.8 Penatalaksanaan
Pengelolaan pasien DM diharapkan dapat menurunkan morbiditas dan
mortalitas DM. Tujuan tersebut dapat tercapai dengan usaha pengendalian
terhadap glukosa darah, tekanan darah, berat badan dan profil lipid pasien sesuai
kriteria (Tabel 2.1) melalui pengelolaan yang holistik (PERKENI, 2006).
Pengelolaan DM memilik 4 pilar utama, yaitu (PERKENI, 2006):
a. Edukasi
b. Terapi gizi medis
c. Latihan jasmani
d. Intervensi farmakologis, yang terbagi menjadi pemberian obat hipoglikemik
oral (OHO), insulin dan terapi kombinasi antara OHO dengan insulin
(PERKENI, 2006).
Terapi non farmakologis berupa edukasi, gizi dan latihan jasmani merupakan
tombak utama dalam pengelolaan pasien DMT2. Apabila setelah penerapannya
tidak mampu mengontrol kadar gula darah yang diharapkan, baru kemudian
dilakukan terapi farmakologis dengan tetap melanjutkan terapi non farmakologis
(Yunir & Soebardi, 2009).

2.2 Tingkat Kepatuhan


2.2.1 Definisi Tingkat Kepatuhan
MenurutKamusBesarBahasaIndonesia(Pranoto,2007),patuhadalah
sukamenurutperintah,taatpadaperintah,sedangkankepatuhanadalah perilaku
sesuaiaturandanberdisiplin.
SedangkanmenurutAli (1999)dalam Slamet(2007),kepatuhanberasal dari
katadasarpatuh,yangberarti disiplindantaat.Patuhadalahsukamenurut
perintah,taatpadaperintah atauaturan.Sedangkan kepatuhan adalah perilaku
sesuaiaturandanberdisiplin.

2.2.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan


Menurut (Niven, 2002) faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat
kepatuhan adalah :
a. Pendidikan
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,
serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan
negara. Tingginya pendidikan seorang perawat dapat meningkatkan
kepatuhan dalam melaksanakan kewajibannya, sepanjang bahwa
pendidikan tersebut merupakan pendidikan yang aktif.
b. Modifikasi Faktor Lingkungan dan Sosial
Hal ini berarti membangun dukungan sosial dari pimpinan rumah sakit,
kepala perawat, perawat itu sendiri dan teman-teman sejawat. Lingkungan
berpengaruh besar pada pelaksanaan prosedur asuhan keperawatan
yang telah ditetapkan. Lingkungan yang harmonis dan positif akan
membawa dampak yang positif pula pada kinerja perawat,
kebalikannya lingkungan negatif akan membawa dampak buruk pada
proses pemberian pelayanan asuhan keperawatan.
c. Perubahan Model Prosedur
Program pelaksanan prosedur asuhan keperawatan dapat dibuat
sesederhana mungkin dan perawat terlihat aktif dalam mengaplikasikan
prosedur tersebut. Keteraturan perawat melakukan asuhan keperawatan
sesuai standar prosedur dipengaruhi oleh kebiasaan perawat
menerapkan sesuai dengan ketentuan yang ada.
d. Meningkatkan Interaksi Profesional Kesehatan
Meningkatkan interaksi profesional kesehatan antara sesama perawat
(khususnya antara kepala ruangan dengan perawat pelaksana) adalah suatu
hal penting untuk memberikan umpan balik pada perawat. Suatu
penjelasan tetang prosedur tetap dan bagaimana cara
menerapkannya dapat meningkatkan kepatuhan. Semakin baik
pelayanan yang diberikan tenaga kesehatan, maka semakin mempercepat
proses penyembuhan penyakit klien.

e. Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil tahu dan ini terjadi setelah orang
melakukan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu, dari pengalaman
dan penelitian terbukti bahwa perilaku yang didasari oleh pengetahuan
akan lebih langgeng dari pada perilaku yang tidak didasari oleh
pengetahuan (Notoatmodjo, 2007). Faktor- faktor yang mempengaruhi
tingkat pengetahuan seseorang adalah pendidikan, pekerjaan dan usia.
Menurut Notoadmojo (2003) tingkat pengetahuan manusia dibagi menjadi
6 tingkat. Pertama yaitu tahu (know), diartikan sebagai pengingat suatu
materi yang telah dipelajari sebelum terhadap sesuatu yang spesifik dari
seluruh yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Setelah tahu,
kemudian sesorang akan memahami (compherension). Memahami
diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar.
Orang yang telah paham objek-objek atau materi harus dapat menjelaskan,
dengan menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan dari terhadap
objek yang dipelajari. Selanjutnya, apa yang telah dipahami akan
diaplikasikan (Aplication). Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk
menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi dan kondisi yang
sebenarnya. Aplikasi juga merupakan penggunaan hukum-hukum,
rumus, metode, prinsip dan dalam konteks atau situasi lain.
Kemudian, materi atau objek yang telah diplikasikan selanjutnya
diartikan untuk dijabarkan ke dalam komponen-komponen, tetapi dalam
struktur organisasi dan masih ada kaitannya satu sama lain
(Analysis). Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata
kerja, dapat menjabarkan, membedakan, mensyahkan dan
mengelompokkan. Materi atau obejk yang telah dianalisis,
digabungkan untuk menyusun formulasi-formulasi yang ada (Syntesis).
Kemudian dinilai berdasarkan suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau
menggunakan kriteria yang ada (Evaluasi).
f. Sikap (Attitude)
Sikap merupakan aksi atau respon seseorang yang masih tertutup Menurut
Notoadmodjo (2007), sikap manusia terhadap suatu rangsangan adalah
perasaan setuju (favorablere) ataupun perasaan tidak setuju (non
favorable) terhadap rangsangan tersebut. Selain itu Allport (1935 dalam
Notoadmodjo, 2003) menjelaskan bahwa sikap mempunyai 3 (tiga)
komponen pokok yaitu: kepercayaan (keyakinan) yang merupakan ide dan
konsep terhadap suatu objek, kehidupan emosional atau evaluasi
emosional terhadap suatu objek dan kecenderungan untuk bertindak.
Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh
(total attitude). Dalam penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan,
pikiran, keyakinan dan emosi memegang peranan penting. Seperti halnya
dengan pengetahuan, Notoadmodjo (2007) menyebutkan bahwa sikap
terdiri dari berbagai tingkatan. Pertama adalah subjek mau dan
memperhatikan stimulus yang diberikan objek (receiving). Kemudian
merespon (memberikan) jawaban apabila ditanya serta mengerjakan
dan menyelesaikan tugas yang diberikan (responding). Selanjutnya,
subjek akan menunjukan sikap menghargai (valuating) yaitu dengan
mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu
masalah, lalu bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya
dengan segala resiko (responsible).
Faktor-faktor yang mempengaruhi sikap secara psikologi ada dua yaitu:
faktor instriksik dan faktor ekstrinsik. Yang termasuk faktor instrinsik
diantaranya intelegensi, bakat, minat, dan kepribadian, sedangkan yang
termasuk didalam ekstrinsik antara lain yang datang dari lingkungan
individu itu sendiri. Maka sikap seseorang terhadap rangsangan sangat
tergantung pada berbagai situasi dan kondisi lingkungan dimana orang
itu berada. Dan sikap juga terukir melalui pengalaman seseorang, dengan
motivasi yang ada pada dirinya. Sikap merupakan reaksi yang masih
tertutup dari seseorang terhadap suatu rangsangan (Notoadmodjo, 2007).
g. Usia
Usia adalah umur yang terhitung mulai saat dilahirkan sampai saat akan
berulang tahun. Semakin cukup umur, tingkat kematangan dan
kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berpikir dan bekerja. Dari
segi kepercayaan, masyarakat yang lebih dewasa akan lebih dipercaya
daripada orang yang belum cukup tinggi tingkat kedewasaannya. Hal ini
sebagai akibat dari pengalaman dan kematangan jiwanya. Semakin
dewasa seseorang, maka cara berfikir semakin matang dan teratur
melakukan suatu tindakan (Notoatmodjo, 2007).

2.2.3 Proses Perubahan Sikap dan Tindakan (Perilaku)


Menurut Teori Kelman, perubahan sikap dan perilaku individu dimulai
dengan tahap kepatuhan. Mula-mula individu mematuhi anjuran atau instruksi
tanpa kerelaan untuk melakukan tindakan tersebut dan seringkali karena ingin
menghindari hukuman/sanksi jika tidak patuh, atau untuk memperoleh imbalan
yang dijanjikan jika mematuhi anjuran tersebut, tahap ini disebut tahap
kesediaan. Biasanya perubahan yang terjadi dalam tahap ini bersifat sementara,
artinya bahwa tindakan itu dilakukan selama masih ada pengawasan petugas.
Tetapi begitu pengawasan itu mengendur atau hilang, perilaku itupun ditinggalkan
(Niven, 2002).
Pengawasan itu tidak perlu berupa kehadiran fisik petugas atau tokoh
otoriter, melainkan cukup rasa takut terhadap ancaman sanksi yang berlaku, jika
individu tidak melakukan tindakan tersebut. Dalam tahap ini pengaruh tekanan
kelompok sangatlah besar, individu terpaksa mengalah dan mengikuti perilaku
mayoritas kelompok meskipun sebenarnya dia tidak menyetujuinya. Namun
segera setelah dia keluar dari kelompok tersebut, kemungkinan perilakunya akan
berubah menjadi perilakunya sendiri (Niven 2000).
Kepatuhan individu berdasarkan rasa terpaksa atau ketidakpahaman
tentang pentingnya perilaku yang baru itu dapat disusul dengan kepatuhan yang
berbeda, yaitu kepatuhan demi menjaga hubungan baik dengan petugas kesehatan
atau tokoh (pimpinan) yang menganjurkan perubahan tersebut (change agent).
Biasanya kepatuhan ini timbul karena individu merasa tertarik atau
mengagumi petugas (pimpinan) tersebut, sehingga ingin mematuhi apa yang
dianjurkan atau diinstruksikan tanpa memahami sepenuhnya arti dan manfaat dari
tindakan tersebut, tahap ini disebut proses identifikasi. Meskipun motivasi untuk
mengubah perilaku individu dalam tahap ini lebih baik dari pada dalam tahap
kesediaan, namun motivasi ini belum dapat menjamin kelestarian perilaku itu
karena individu belum dapat menghubungkan perilaku tersebut dengan nilai-nilai
lain dalam hidupnya, sehingga jika dia ditinggalkan petugas atau tokoh idolanya
itu maka dia merasa tidak perlu melanjutkan perilaku tersebut. Perubahan perilaku
individu baru dapat menjadi optimal jika perubahan tersebut terjadi melalui
proses internalisasi, dimana perilaku yang baru itu dianggap bernilai positif
bagi diri individu dan diintegrasikan dengan nilai-nilai lain dari hidupnya.
Niven (2002) menyebutkan proses internalisasi ini dapat dicapai jika
petugas atau pimpinan tersebut merupakan seseorang yang dapat dipercaya
(kredibilitasnya tinggi) yang dapat membuat individu memahami makna dan
penggunaan perilaku tersebut serta membuat mereka mengerti akan pentingnya
perilaku tersebut bagi kehidupan mereka sendiri. Memang proses internalisasi ini
tidaklah mudah dicapai sebab diperlukan kesediaan individu untuk mengubah
nilai dan kepercayaan mereka agar menyesuaikan diri dengan nilai atau perilaku
yang baru (Teori The Health Belief Model).

2.2.4 Faktor Penentu Derajat Ketidakpatuhan


Niven (2002) mengungkapkan derajat ketidak patuhan ditentukan oleh
kompleksitas prosedur pengobatan, derajat perubahan gaya hidup/lingkungan
kerja yang dibutuhkan, lamanya waktu dimana perawat mematuhi prosedur
tersebut, apakah prosedur tersebut berpotensi menyelamatkan hidup, dan
keparahan penyakit yang dipersepsikan sendiri oleh pasien bukan petugas
kesehatan.

2.2.5 Strategi untuk meningkatkan kepatuhan


Menurut Smet (1994), berbagai strategi telah dicoba untuk meningkatkan
kepatuhan, diantaranya adalah:
a. Dukungan Profesional Kesehatan
Dukungan profesional kesehatan sangat diperlukan untk meningkatkan
kepatuhan, contoh yang paling sederhana dalam hal dukungan tersebut
adalah dengan adanya tehnik komunikasi. Komunikasi memegang
peranan penting karena komunikasi yang baik diberikan oleh profesional
kesehatan, isalnya antara kepala perawatan dengan bawahannya.
b. Dukungan Sosial
Dukungan sosial yang dimaksud adalah pasien dan keluarga. Pasien dan
keluarga yang percaya pada tindakan dan perilaku yang dilakukan oleh
perawat dapat menunjang peningkatan kesehatan pasien, sehingga perawat
dapat bekerja dengan percaya diri dan ketidak patuhan dapat dikurangi.
c. Perilaku Sehat
Modifikasi perilaku sehat sangat diperlukan, misalnya kepatuhan perawat
untuk selalu mencuci tangan sebelum dan sesudah menyentuh pasien
ataupun melakukan tindakan asuhan keperawatan.
d. Pemberian Informasi
Pemberian informasi yang jelas tentang pentingnya pemberian asuhan
keperawatan berdasarkan prosedur yang ada membantu meningkatkan
kepatuhan perawat, hal ini dapat dilakukan dengan memberikan
pelatihan-pelatihan kesehatan yang diadakan oleh pihak rumah sakit
ataupun instansi kesehatan lain.
BAB 4
METODE PENELITIAN

4.1 Desain Penelitian


Penelitian ini merupakan jenis penelitian observasional (non eksperimental)
dengan pendekatan cross sectional yangmenggunakan kuesioner dan data rekam
medik pasien Diabetes Melitus tipe 2 di Puskesmas Palaran Samarinda.

4.2 Tempat Penelitian


Penelitian dilaksanakan di wilayah kerja Puskesmas Palaran Samarinda.
4.3 Waktu Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan November 2016.
4.4 Populasi dan Sampel Penelitian
4.4.1 Populasi Penelitian
Populasi pada penelitian ini adalah pasien rawat jalan diabetes melitus tipe
2 yang menjalani pengobatan di Puskesmas Palaran Samarinda.
4.4.2 Sampel Penelitian
Sampel pada penelitian ini adalah pasien rawat jalan diabetes melitus tipe 2
yang memenuhi kriteria penelitian dan menjalani pengobatan di Puskesmas
Palaran Samarinda.
4.5 Besar Sampel
Jumlah sampel penelitian merupakan seluruh sampel yang didapatkan
dalam waktu satu bulan. Sampel yang memenuhi kriteria akan dipilih
menggunakan metode simple random sampling.
4.6 Kriteria Sampel
4.6.1 Kriteria inklusi
a. Pasien penderita diabetes mellitus tipe 2 dengan atau tanpa penyakit
penyerta.
b. Pasien yang saat ini melakukan kontrol dan sebelumnya telah
mendapatkan obatantidiabetes oral dalam waktu minimal 1 bulan.
c. Pasien rawat jalan.
d. Bersedia mengisi kuesioner.
4.6.2 Kriteria Eksklusi
a. Pasien yang tidak bersedia mengisi kuesioner.
b. Pasien diabetes melitus tipe 2 yang datang namun tidak melakukan
pemeriksaan gula darah.
4.7 Data dan Instrumen Penelitian
4.7.1 Data Primer
Data primer diperoleh dari hasil wawancara menggunakan
ModifiedMorisky Scale (MMS) pada pasien yang memenuhi kriteria penelitian.
4.7.2 Data Sekunder
Data sekunder diperoleh melalui data rekam medis pasien diabetes melitus
tipe 2 di Puskesmas Palaran Samarinda.
4.7.3 Instrumen Penelitian
Instrumen yang dipakai dalam penelitian ini adalah kuesioner
ModifiedMorisky Scale (MMS) dan data rekam medis pasien diabetes melitus tipe
2 di Puskesmas Palaran Samarinda.
4.8 Variabel Penelitian
Variabel bebas (independent):
a. Tingkat kepatuhanpasien.
Variabel terikat (dependent):
a. Keberhasilan Terapi

4.9 Definisi Operasional


4.9.1 Tingkat kepatuhan pasien
Kepatuhan didefinisikan sebahgai perilaku sesuai aturan dan berdisiplin.
Tingkat kepatuhan dinilai dengan menggunakan instrumen MMS.
Kriteria objektif:
a. Tinggi : 11-15
b. Sedang : 6-10
c. Rendah : 1-5
Skala : Nominal

4.9.2 Keberhasilan terapi


Keberhasilan terapi dinilai dari adanya penurunan kadar gula darah puasa
dari gula darah saat kedatangan dibandingkan dengan gula darah puasa
sebelumnya.
Kriteria Objektif :
a. Berhasil : Terjadi penurunan kadar gula darah
b. Tidak berhasil : Tidak terjadi penurunan kadar gula darah
Skala : Nominal

4.10 Jadwal Kegiatan Penelitian


N Kegiatan 2016
Oktober November
o
3 4 1 2 3
1. Penyusunan proposal
2. Seminar proposal
3. Penelitian
4. Penyusunan laporan hasil
5. Seminar hasil
DAFTAR PUSTAKA

Alsahli, M., & Gerich, J. E. (2012). Pathogenesis of Type 2 Diabetes. In J. S.


Skyler (Ed.), Atlas of Diabetes (4 ed.). Springer.
International Diabetes Federation. (2012). Retrieved Agustus 22, 2013, from IDF
Diabetes Atlas: http://www.idf.org
Kaku, K. (2010). Pathophysiology of Type 2 Diabetes and Its Treatment Policy.
Japan Medical Association Journal (JMAJ).
Manaf, A. (2009). Insulin: Mekanisme Sekresi dan Aspek Metabolisme. In A. W.
Sudoyo (Ed.), Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam (V ed., Vol. III). Interna
Publishing.
PERKENI. (2006). Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus
Tipe 2 di Indonesia. Jakarta.
Purnamasari, D. (2009). Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus. In A. W.
Sudoyo (Ed.), Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam (V ed., Vol. III). Interna
Publishing.
Yunir, E., & Soebardi, S. (2009). Terapi Non Farmakologis pada Diabetes Melitus.
In A. W. Sudoyo (Ed.), Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam (5 ed., Vol. III).
Interna Publishing.

Anda mungkin juga menyukai