Anda di halaman 1dari 15

JURNAL PSIKOLOGI

2000, NO. 2, 96 - 100

HUBUNGAN PERSEPSI TENTANG MENOPAUSE


DENGAN TINGKAT KECEMASAN PADA WANITA
YANG MENGHADAPI MENOPAUSE
Christiani
Sofia Retnowati
Esti Hayu Purnamaningsih
Universitas Gadjah Mada

ABSTRACT

The aim of the research was to investigate the relationship between


womens perception of menopause and their level of anxiety.
Subjects were members of Dharma Wanita UGM. The research used
Perception Scale to measure menopause perception, and Taylor Manifest
Anxiety Scale (TMAS) to measure anxiety. Data analysis was done by using
Product Moment Correlation analysis.
This study found that was a significant negative correlation between
perception of the menopause and level of anxiety. The correlation indicated that
the more positive perception of menopause, the lower level of anxiety; the more
negative perception of menopause, the higher level of anxiety.
Keywords: menopouse, anxiety

Kenyataan yang ada di masyarakat Berkurangnya kadar hormon estrogen dapat


menunjukkan banyak kaum ibu mengalami menyebabkan berkurangnya kelembaban
masalah dalam menghadapi menopause. kulit sehingga kulit menjadi keriput
Masalah-masalah yang sering dihadapi oleh (Bromwich, 1991) sehingga terjadi
kaum ibu antara lain adalah gangguan kemunduran pada kualitas feminin,
dalam kehidupan seksual suami isteri, kecantikan dan vitalitas. Keadaan ini sering
simtom-simtom fisik seperti keringat yang menimbulkan reaksi penolakan terhadap
berlebihan dan rasa panas pada muka. Juga proses penuaan (Kartono, 1986). Di
timbul perasaan-perasaan yang tidak samping itu timbul perasaan cemburu pada
menyenangkan, seperti gejolak emosi yang kesempatan yang diperoleh wanita yang
berlebihan dan perasaan tidak berguna lebih muda (Gluckman, 1979), sehingga ia
karena tidak bisa melahirkan anak lagi. menjadi mudah cemburu terhadap suami.
Selain hal-hal tersebut, ketidaksiapan kaum Keadaan ini sangat mempengaruhi
ibu dalam menghadapi proses penuaan keharmonisan keluarga (Daradjat, 1977).
merupakan satu masalah tersendiri.

ISSN : 0215 - 8884


HUBUNGAN PERSEPSI TENTANG MENOPAUSE . . . 97

Sudah menjadi kodrat alam bahwa yang mengalir terus di dalam diri
dengan bertambahnya usia seseorang akan individu. Kejadian ini disebut dialog
menimbulkan berbagai perubahan, baik internal.
perubahan fisik maupun perubahan mental 3. Dari penafsiran-penafsiran tersebut
(Hurlock, 1980). Perubahan dalam muncul perasaan-perasaan. Perasan
kehidupan ini dapat mengganggu individu diciptakan oleh pikiran dan
kestabilan emosi (Lazarus, 1976). Menurut bukan peristiwanya. Semua pengalaman
penelitian yang dilakukan oleh Robertson harus diproses melalui otak individu
(1985) di Menopause Clinic Australia, dari dan diberi makna secara sadar sebelum
300 pasien usia menopause terdapat 31,3 % individu mulai mengalami respon
pasien mengalami depresi dan kecemasan. emosional.
Kecemasan yang muncul dapat menimbul-
Adapun hubungan antara persepsi
kan insomnia.
seorang individu tentang menopause
Keadaan emosi individu juga bisa dengan kecemasannya bisa dijelaskan
disebabkan oleh cara individu memandang sebagai berikut : dengan berakhirnya masa
berbagai hal. Sebelum individu merasakan reproduktif dan datangnya usia tua bisa
suatu peristiwa, individu harus memahami menimbulkan gangguan emosi (Sherman,
apa yang sedang terjadi pada dirinya. Jika 1971). Pada masa transisi dari periode
pemahaman individu mengenai apa yang reproduktif ke periode non produktif
sedang terjadi itu tepat, maka emosinya menuntut penyesuaian diri terhadap
akan stabil. Jika persepsi individu itu perubahan fisik dan peranan (Mappiare,
kurang tepat serta menyimpang, maka 1983). Cara wanita dalam menghadapi
tanggapan emosional akan menyimpang transisi tergantung pada kestabilan emosi,
(Burns, 1988). pengalaman masa lalu dalam menghadapi
Konflik mengenai perubahan kehi- perubahan, serta pengharapan di masa
dupan itu muncul karena pandangan mendatang (Robertson, 1985).
individu tentang dirinya sangat tidak Pandangan seseorang mengenai meno-
lengkap, tidak konsisten atau terlalu pause sangat mempengaruhi perubahan
sederhana. Konflik dapat diringankan oleh psikologis pada masa menopause.
perkembangan diri individu itu sendiri. Pandangan ini dipengaruhi oleh faktor yang
Setiap orang akan beruasaha keras untuk berasal dari dalam diri individu serta faktor
mengurangi kecemasan secara cepat dan yang berasal dari lingkungan sosial
tepat (Smith, 1968). (Hudono, 1987).Pada masyarakat yang
Hubungan antara cara berpikir dan mengagungkan kemudaan dan kecantikan,
perasaan individu dapat diuraikan sebagai menopause bisa dipersepsi sebagai
berikut (Burns, 1988) : ancaman (Budiman, 1991). Selain itu mitos
1. Ada sederetan peristiwa positif, netral yang timbul di masyarakat dan stereotip
atau negatif masuk ke dalam negatif tentang menopause dapat
pengamatan manusia. menimbulkan kecemasan (Bromwich,
1991).
2. Individu akan menafsirkan peristiwa
yang terjadi dengan sederetan pikiran

ISSN : 0215 - 8884


98 CHRISTIANI, RETNOWATI & PURNAMANINGSIH

Parker (dalam Mappiare, 1983) reliabilitas angket dilakukan dengan


mengemukakan bahwa kesalahan persepsi teknik HOYT, diperoleh koefisien
tentang menopause mengakibatkan reliabilitas =0,899. Aitem yang dapat
peristiwa menopause dirasakan sebagai diterima atau dinyatakan valid
takdir yang mengancam atau menyedihkan. mempunyai nilai koefisien validitas
Wanita tersebut menganggap dirinya 0,236 sampai 0,758.
sebagai barang bekas yang tidak berguna, 2. Taylor Manifest Anxiety Scale (TMAS)
karena sudah tidak subur (Budiman dalam adalah alat pengukur kecemasan yang
Tiara, 1991). dikembangkan oleh Janet A. Taylor
Penelitian ini bertujuan untuk menguji yang terdiri dari 50 aitem (Lazarus,
hubungan antara persepsi tentang 1976). Jawaban yang diberikan oleh
menopause dengan tingkat kecemasan pada subjek berbentuk dikotomi, yaitu ya
wanita dalam menghadapi menopause. dan tidak. Dalam penilaian, jika
Adapun hipotesis yang diajukan dalam subjek menjawab sesuai kunci,
penelitian ini adalah ada hubungan negatif mendapat nilai 1, jika jawaban salah
antara persepsi tentang menopause dengan mendapat nilai 0. Semakin tinggi nilai
tingkat kecemasan pada wanita dalam yang diperoleh subjek, maka akan
menghadapi menopause. semakin tinggi tingkat kecemasannya.
Sebaliknya semakin rendah skor yang
diperoleh subjek berarti semakin
METODE
rendah kecemasan yang dialami oleh
Subjek dalam penelitian ini adalah ibu- subjek. Uji kesahihan diperoleh skor
ibu rumah tangga anggota Dharma Wanita validitas 0.109 0,505, dengan p<
Unit Universitas Gadjah Mada Yogyakarta 0.05, koefisien reliabilitas = 0.881
sebanyak 56 orang. dengan p,001.
Variabel-variabel yang digunakan Untuk memperoleh data penelitian
adalah Persepsi tentang menopause sabagai subjek diminta untuk mengisi Angket
variabel bebas, dan tingkat kecemasan Persepsi dan Angket Kecemasan
sebagai variabel tergantung. TMAS. Mereka bisa mengisi langsung
Alat yang digunakan berupa dua macam di tempat atau dibawa pulang dan
angket, yaitu: diambil pada saat yang telah
ditentukan.
1. Angket Persepsi untuk mengukur
persepsi ibu tentang menopause yang
disusun berdasarkan pengenalan dan Analisis data
pemahaman lebih mendalam seorang Teknik analisis yang digunakan adalah
ibu terhadap aspek-aspek menopause, teknik korelasi Product Moment.
yaitu aspek fisiologis, psikologis, dan
seksual. Penyusunan angket persepsi ini
Hasil
menggunakan teknik Beda Semantik.
Jawaban yang diberikan subjek bersifat Dari Analisis data diperoleh hasil, nilai
dikotomi. Subjek bisa memberikan korelasi sebesar 0,568. Berarti ada
jawaban ya atau tidak. Uji hubungan negatif yang signifikan antara

ISSN : 0215 - 8884


HUBUNGAN PERSEPSI TENTANG MENOPAUSE . . . 99

persepsi tentang menopause dengan menopause. Hal ini berlaku untuk wanita
kecemasan. yang telah mengalami menopause maupun
yang belum mengalami menopause.Sikap
positif disini berarti mereka tidak begitu
DISKUSI
cemas dalam menghadapi menopause.
Hasil perhitungan dengan menggunakan Wanita yang mengetahui tentang
Teknik Korelasi Product Moment (dengan menopause serta dapat berpikir secara
taraf signifikansi 0,01) diperoleh koefisien wajar tentang menopause, dapat menerima
korelasi sebesar 0,568. Berarti terdapat hal-hal yang berhubungan dengan
hubungan yang negatif antara persepsi menopause secara wajar. Wanita tersebut
tentang menopause dengan tingkat tentu dapat menerima kenyataan bahwa
kecemasan pada wanita yang sedang dengan bertambahnya umur, setiap wanita
menghadapi menopause. Semakin positif akan mengalami berbagai peristiwa dalam
persepsi seorang wanita tentang hidupnya, seperti menstruasi, mengandung,
menopause, maka akan semakin rendah melahirkan dan menopause. Jadi dapat
tingkat kecemasannya. Demikian pula dikatakan bahwa menopause sebenarnya
sebaliknya, semakin negatif persepsi merupakan peristiwa alami biasa yang
seseorang tentang menopause, maka akan merupakan bagian dari proses penuaan
semakin tinggi tingkat kecemasannya. manusia. Apabila dirinya mengalami
Hasil tersebut sesuai dengan pernyataan gangguan-gangguan atau perubahan-
Burns (1988) bahwa suasana hati bukan perubahan baik fisik, psikologis atau
diakibatkan oleh peristiwa sebenarnya, perubahan perilaku seksual yang biasa
tetapi oleh persepsi individu itu sendiri. terjadi pada masa menjelang menopause,
Demikian pula dalam kasus ini, dapat individu tersebut akan berusaha
dikatakan bahwa kecemasan seorang menetralisir gangguan yang timbul dengan
wanita yang menghadapi menopause, hal-hal yang produktif.
berhubungan dengan persepsi wanita itu Rendahnya kecemasan pada subjek
tentang menopause. yang menghadapi menopause, kemung-
Dari data yang dianalisis diketahui kinan karena sekarang sudah ada berbagai
bahwa rerata yang diperoleh dari Angket cara yang dilakukan pemerintah maupun
Persepsi = 18,732 dan simpangan baku = swasta untuk membantu kaum ibu dalam
5,111. Rerata yang diharapkan dari Angket menghadapi masa menopause. Sebagai
persepsi = 12. Ini menunjukkan bahwa contoh, yaitu dibukanya klinik khusus
persepsi terhadap menopause cukup positif. menopause di Rumah Sakit Umum maupun
Rumah-rumah Bersalin. Di sini para wanita
Pada angket kecemasan, diperoleh
bisa mencari informasi tentang menopause
rerata= 9,464 dan simpangan baku = 6,709
serta berkonsultasi mengenai hal-hal yang
Rerata yang diharapkan dari TMAS= 18.
berhubungan dengan menopause.Pada
Hal ini menunjukkan tingkat kecemasan
klinik ini pelayanan terhadap kaum ibu
subjek di bawah rata-rata (rendah). Hasil
diberikan oleh para ahli yang berkompeten
ini memperkuat hasil penelitian Indati dkk
dalam masalah menopause. Selain itu,
(1991)yang menemukan bahwa wanita
sekarang ini cukup sering diadakannya
masa kini dapat bersikap positif terhadap

ISSN : 0215 - 8884


100 CHRISTIANI, RETNOWATI & PURNAMANINGSIH

seminar, penyuluhan maupun penulisan DAFTAR PUSTAKA


artikel tentang menopause di media masa.
Bromwich, P., 1991., Menopause
Hasil analisis data juga menunjukkan (terjemahan), Jakarta : Arcan.
bahwa sumbangan variabel persepsi
Budiman, L., 1991, Kiat Menghadapi
terhadap tingkat kecemasan sebesar 32,3
Hantu Menopause, Dalam Tiara, 17
%. Hal ini menunjukkan bahwa tidak
Maret 1991. Jakarta.
semua kecemasan wanita yang sedang
menghadapi menopause dipengaruhi oleh Burns, D.D., 1988, Terapi Kognitif: Pende-
persepsinya tentang menopause, namun ada katan Baru Bagi Penanganan Depresi
hal-hal lain yang dapat menimbulkan (terjemahan), Jakarta: Erlangga.
kecemasan tersebut, antara lain kondisi Coope, J., 1984, Coping with Change,
rumah tangga (Robertson,1985; Coope, Singapore: PG Publishing Pte Ltd.
1984; Gluckman, 1979), interaksi dari Gluckman, L., 1979, Emotional States a
perubahan hormonal, pola pribadi serta The Menopause: Clinical Reviews,
faktor sosial budaya (Serr dan Utian, 1976). Journal of Mother and Child, 31-35
Dapat ditambahkan bahwa menurut Hudono, S.T., 1987, Psikosomatis dan
Hudono (1987) dalam tulisannya yang Seksologi, dalam Prawirohardjo, S.,
berjudul Psikosomatis dan Seksologi, Wiknyosastro, H., Sumapraja,S., dan
faktor sosial ekonomi, serta keimanan dan Saifudin, A.B, Ilmu Kandungan,
ketakwaan terhadap ajaran-ajaran agama Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono
juga dapat mempengaruhi kecemasan Prawirohardjo.
seorang dalam menghadapi menopause.
Hurlock, E.B., l980, Developmental
Dari uraian di atas dapat disimpulkan Psychology, New Delhi: Tata McGraw
bahwa ada hubungan antara persepsi Hill Publishing Company, Ltd.
tentang menopause dengan tingkat
Lazarus, R.S., 1976, Pattern of Adjusment
kecemasan pada wanita yang menghadapi
and Human Effectiveness (3rd.ed.),
menopause. Wanita yang memiliki persepsi
Tokyo: Mc. Graw-Hill Kogakusha Ltd.
negatif tentang menopause akan
menganggap menopause merupakan Mappiare, A., 1983, Psikologi Orang
persoalan yang mengganggu dirinya, Dewasa, Surabaya: Usaha Nasional.
akibatnya muncul simtom-simtom, baik Robertson, R., 1985, The Menopause
simtom fisiologis maupun psikologis. Psychological, Social and Sexual
Sebaliknya persepsi yang positif tentang Problems: Sexual Counselling, Journal
menopause akan membuat wanita of Paediatrics, Obstetrics and
menganggap menopause sebagai peristiwa Gynaecology, 39-45.
yang wajar yang akan dialami oleh setiap Shearman, 1970, Basic Sex Hormone
wanita. Walaupun tidak mutlak, kecemasan Therapy, Berlin: Schering AG.
wanita dalam menghadapi menopause ada
Smith, H.C., 1968, Personality Develop-
hubungannya dengan persepsi tentang
ment, New York: Mc.Graw-Hill Book
menopause.
Co.

ISSN : 0215 - 8884


JURNAL PSIKOLOGI
2000, NO. 2, 101 - 110

HUBUNGAN ANTARA BEBERAPA ASPEK BUDAYA


PERUSAHAAN DENGAN TINGKAT BURN-OUT PADA
KARYAWAN BAGIAN PELAYANAN PUBLIK
Moh. As'ad
Helly Prajitno Soetjipto
Universitas Gadjah Mada

ABSTRAK

Burnt-out is defined as fatigue and frustration if someone fails to attain


something expected. In public services burnt-out will lessen productivity and
quality of service. Corporate culture is predicted to correlate with the level of
burnt-out among employees, especially patriarchy culture that is common in
bureaucracy and public services of Indonesia. The study test the correlation
between corporate culture aspects with the level of burnt-out. The findings show
that the correlation is not significant.
Keywords: burnt-out, corporate culture, public service.

Dalam era yang sangat kompetitif merupakan ujung tombak perusahaan.


seperti sekarang ini dibutuhkan suatu visi Kesuksesan perusahaan banyak ditentukan
yang kuat untuk mementingkan kebutuhan oleh keberhasilan mereka dalam memberi-
dan pemuasan kebutuhan customer. kan pelayanan. Dari kajian mengenai
Whitely (1991) mengemukakan bahwa budaya perusahaan, organisasi pelayanan
untuk sukses di era yang sangat kompetitif publik yang memberikan jasa perawatan
ini perusahaan harus memperjuangkan seperti rumah sakit merupakan organisasi
peningkatan mutu produk dan mutu yang mestinya mengadopsi budaya
pelayanan secara bersungguh-sungguh. pemberian pelayanan yang tinggi. Dalam
Oleh karena itu, karyawan yang langsung budaya pemberian pelayanan ini perusa-
berhubungan dengan customer merupakan haan memprioritaskan hubungan baik dan
bagian yang sangat krusial dalam upaya saling memperhatikan antar karyawan.
peningkatan mutu tersebut di samping tentu Organisasi seperti ini juga memberi
saja mereka yang sangat krusial dalam penekanan terhadap pentingnya
upaya peningkatan mutu tersebut di memelihara kualitas hidup yang tinggi.
samping tentu saja mereka yang berada di Dalam suasana seperti inilah diharapkan
bagian produksi. Apalagi untuk perusahaan muncul bentuk pelayanan yang prima
jasa, karyawan yang langsung berhubungan terhadap customer. Sebaliknya jika
dengan publik adalah bagian terpenting dan organisasi pelayanan publik mengadopsi

ISSN : 0215 - 8884


102 ASAD & SOETJIPTO

nilai-nilai yang mementingkan penilaian mengatakan bahwa burn-out merupakan


kesuksesan dari berapa banyak uang yang gejala kelelahan emosional sebagai akibat
mereka peroleh disertai dengan kondisi dari tingginya tuntutan pekerjaan dan
kerja yang diwarnai oleh stres kerja yang perlakuan tidak manusiawi yang selalu
tinggi, maka pelayanan publik yang prima diterima seseorang yang banyak terlibat
sulit untuk diharapkan kemunculannya. sebagai service provider (Jackson, 1986).
Diduga dalam kondisi kerja seperti itulah Freudenberger (1981) secara khusus
burn-out mempunyai kemungkinan untuk menyoroti aspek kelelahan psikik, frustrasi,
berkembang. Burn-out biasanya hanya dan ketidakmampuan untuk memberi
ditinjau dari sisi karakteristik tugas dan penghargaan yang tinggi terhadap
beban tugas. Kajian secara khusus pekerjaannya sebagai bentuk fenomena
mengenai budaya organisasi dan kaitannya burn-out. Burn-out juga ditandai dengan
dengan burn-out sejauh inipun belum memburuknya prestasi kerja seseorang dan
dilakukan. hilangnya gairah kerja (Garden, 1989;
Penelitian ini ditujukan untuk mengkaji Firth, 1989).
hubungan antara beberapa aspek budaya Secara umum dikemukakan oleh Leatz
perusahaan dengan tingkat burn-out pada dan Stolar (1993) bahwa burn-out pada
karyawan yang bertugas untuk memberikan seseorang ditandai oleh empat kondisi,
pelayanan langsung kepada customer. yaitu (1) kelelahan fisik (physical
Penelitian ini diharapkan dapat exhaustion), (2) kelelahan emosional
menambah pemahaman mengenai budaya (emosional exhaustion), (3) kelelahan
perusahaan dan penerapannya di Indonesia. mental (mental exhaustion), dan (4)
Selain dapat digunakan sebagai salah satu rendahnya perasaan mampu mencapai
cara untuk mengkaji ulang konsep sesuatu yang berarti dalam hidup (low of
mengenai budaya perusahaan itu sendiri, personal accomplishment). Kelelahan fisik
penelitian inipun diharapkan dapat ditandai dari mudahnya seseorang merasa
memberikan sumbangan untuk mengawali lelah, mudah menderita sakit kepala, sering
proses pengenalan karakteristik perusa- merasa mudah sekali mual, mengalami
haan. Hasil pengenalan diri tersebut dapat perubahan pola makan dan tidur, dan
digunakan sebagai informasi penting merasa terkuras tenaganya secara
mengenai perubahan budaya perusahaan berlebihan. Kelelahan emosional muncul
jika memang perubahan tersebut dalam bentuk depresi, frustrasi, merasa
dikehendaki. terpenjara oleh tugas atau pekerjaannya,
apatis, mudah sedih, dan merasa tidak
berdaya. Kelelahan mental bereupa
TINJAUAN PUSTAKA
prasangka negatif dan sinis terhadap orang
Berada di lingkungan yang melibatkan lain dan berpandangan negatif terhadap diri
banyak orang sering dirasakan sebagai sendiri serta pekerjaannya. Kondisi
sesuatu sumber tekanan psikis pada keempat ditandai oleh ketidakpuasan
seseorang. Kondisi tertekan dalam situasi terhadap diri sendiri, pekerjaannya,
seperti itu oleh Shinn (1984) didefinisikan kehidupannya, dan ada perasaan belum
sebagai burn-out. Pendapat lain

ISSN : 0215 - 8884


HUBUNGAN ANTARA BEBERAPA ASPEK BUDAYA PERUSAHAAN . . . 103

mampu mencapai sesuatu yang berarti yang seharusnya dicapai dan unjuk kerja
selama hidupnya. yang dimilikinya (achievement
Maslach dan Jackson (dikutip dari expectation). Kesenjangan lainnya terjadi
Golembiewsky, et al., 1987) mengemuka- bilamana organisasi tempat bekerja
kan bahwa burn-out hanya memiliki 3 seseorang tidak sesuai dengan harapan atau
dimensi. Pertama adalah kelelahan tata nilai pribadinya (organizational
emosional yang ditandai oleh terkurasnya expectation). Dua kondisi secara khusus
tenaga, mudah merasa lelah, perasaan dapat didiskusikan dalam konteks budaya
jenuh, mudah tersinggung, putus asa, sedih, perusahaan. Dalam hal ini kesesuaian dan
tidak berdaya, tertekan, dan perasaan kesenjangan antara individu dengan
terjebak di dalam pekerjaan. Kedua adalah perusahaan akan memberi warna kepada
dimensi depersonalisasi yang ditandai oleh tingkatan burn-out yang dialami seseorang.
adanya kecende-rungan individu untuk Semakin jauh ketidaksesuaian antara
menjauhi lingkungan sosialnya, apatis, individu dengan kondisi kerjanya akan
tidak peduli terhadap lingkungan dan menjadi kondisi yang menyulitkan baginya
orang-orang di sekitarnya. Ketiga adalah dan kondisi ini pada gilirannya akan
dimensi rendahnya penghargaan terhadap merugikan baik bagi karyawan maupun
diri sendiri. Individu yang menilai rendah perusahaannya.
dirinya sering mengalami ketidakpuasan Organizational expectation atau
terhadap hasil kerja sendiri serta merasa kondisi-kondisi perusahaan yang diharap-
tidak pernah melakukan sesuatu yang kan oleh karyawan antara lain dapat
bermanfaat bagi diri sendiri maupun orang dijelaskan melalui fenomena budaya
lain. Pendekatan Maslach dan Jackson ini organisasi atau perusahaan. Dalam hal ini
memiliki kesamaan dengan pendekatan budaya organisasi diartikan sebagai suatu
yang dikemukakan oleh Leatz dan Stolar pola mengenai asumsi-asumsi dasar yang
(1993). Kelelahan fisik dan psikik ke dalam diciptakan, ditemukan, atau dikembangkan
satu dimensi yaitu kelelahan emosional. oleh sekelompok masyarakat (dalam
Sedangkan kelelahan mental diformulasi- organisasi) dan merupakan upaya untuk
kan ke dalam konsep depersonalisasi. melakukan adaptasi terhadap kondisi
Konsep burn-out menurut Leatz-Stolar eksternal dan melakukan integrasi internal
dalam hal rendahnya penghargaan terhadap sehingga menjadi cara terbaik bagi anggota
diri sendiri dapat dikatakan sama dengan organisasi untuk mempersepsi, menjadi
konsep ketiga dari Maslach-Jackson. patokan cara berpikir, dan pedoman untuk
Ada dua hal utama yang memung- menggunakan perasaan sehubungan dengan
kinkan seseorang mengalami burn-out. permasalahan yang dihadapi organisasi
Jackson, et al. (1986) berargumen bahwa (Luthans, 1995). Disimpulkan oleh
burn-out terjadi karena adanya kesenjangan Bandoro (1997) bahwa budaya perusahaan
antara harapan (expectation) dan kenyataan adalah (1) perilaku yang ajeg dan dapat
yang dialami seseorang di tempat kerja. terobservasi, seperti misalnya pemakaian
Lebih jauh dikemukakan bahwa gaya bahasa, terminologi, perilaku-perilaku
kesenjangan harapan dan kenyataan yang unik; (2) norma-norma, perilaku standar
dimaksud adalah harapan tentang prestasi yang berkaitan dengan bagaimana harus

ISSN : 0215 - 8884


104 ASAD & SOETJIPTO

berkomunikasi dengan atasan dan kecenderungan orang untuk memperhati-


bagaimana mengerjakan sesuatu; (3) nilai- kan diri sendiri dan keluarga batihnya.
nilai dominan, mencakup misalnya Collectivism adalah kecenderungan orang
semangat untuk selalu menghasil-kan untuk selalu menjadi bagian dari kelompok
produk yang berkualitas tinggi, tingkat dan berusaha untuk memeliharanya dengan
absensi yang rendah, dan peningkatan menggunakan loyalitas. Masculinity adalah
efisiensi; (4) falsafah organisasi, yaitu satu situasi di mana nilai dominan di dalam
antara lain kebijakan yang harus diadopsi organisasi adalah kesuksesan, uang, dan
seluruh anggota organisasi misalnya kebendaan. Femininity adalah satu situasi d
mengenai bagaimana memperlakukan mana nilai dominan yang berkembang
pelanggan; (5) aturan-aturan, yaitu batasan- adalah perhatian kepada orang lain dan
batasan atau aturan main yang harus ditaati peningkatan kualitas hidup.
seluruh anggota organisasi selama mereka Pendapat lain tentang budaya organisasi
berada di dalamnya; dan (6) iklim dikemukakan oleh Miller. Menurut Miller
organisasi, yaitu segala sesuatu yang (1987), tata nilai yang ada di dalam
berkaitan dengan suasana perusahaan organisasi merupakan karakteristik utama
antara lain mengenai tata letak bangunan budaya sebuah organisasi. Dengan
perusahaan dan cara-cara para anggota demikian menurutnya, nilai-nilai dominan
berinteraksi. Dalam hal ini, budaya sebuah organisasi dapat dikelompokkan ke
perusahaan memberikan peluang untuk dalam 8 nilai utama. Nilai-nilai utama
dilakukannya modifikasi-modifikasi sean- organisasi tersebut adalah (a) tujuan, (b)
dainya diperlukan. konsensus, (c) keunggulan, (d) kesatuan,
Berdasarkan hasil kajiannya di (e) prestasi, (f) empirisme, (g) keakraban,
beberapa organisasi yang bernaung di dan (h) integritas. Ke delapan nilai tersebut
bawah IBM yang ada di negeri Belanda dirangkum berdasarkan realitas yang
dan Denmark, Hofstede (1991) berkembang di bidang manajemen.
menemukan beberapa dimensi mengenai Pertama, kebutuhan seseorang cenderung
budaya perusahaan. Ada empat dimensi tidak lagi mementingkan kebutuhan materi
budaya perusahaan yang dikembangkan oleh namun menjadi lebih mengarah kepada
Hofstede, yaitu power distance, uncertainty kebutuhan spiritual. Kedua, sifat pekerjaan
avoidance, individualism-collectivism, dan lebih mengarah kepada pekerjaan yang
masculinity-femininity. Power distance mementingkan aspek kognitif dibanding-
merupakan suatu konsep yang digunakan kan aspek fisik. Ketiga, peluang untuk
untuk menjelaskan tentang seberapa besar memilih pekerjaan yang sesuai dan
anggota organisasi yang mempunyai posisi menyenangkan individu menjadi semakin
lemah dapat menerima ketidakseimbangan banyak. Keempat, kompetisi tidak hanya
pembagian kekuasaan di dalam organisasi. pada sisi teknologi namun juga sisi
Uncertainty avoidance adalah seberapa managerial. Kelima, jumlah karyawan
besar orang-orang yang ada di organisasi dengan tingkat pengetahuan yang tinggi
merasa tertekan oleh situasi ketidakjelasan semakin banyak dan ini menjadikan fungsi
dan seberapa besar upaya mereka untuk manajer menjadi sedikit kurang dominan.
menghindari-nya. Individualism adalah Di dalam penelitian ini sorotan utama

ISSN : 0215 - 8884


HUBUNGAN ANTARA BEBERAPA ASPEK BUDAYA PERUSAHAAN . . . 105

adalah tata nilai manakah, dari 8 nilai yang (4) asas kesatuan, seberapa besar keber-
dikemukakan oleh Miller tersebut, yang pihakan dan keadilan manajemen
mempunyai korelasi dengan tingkat burn- organisasi dalam memperlakukan anggota-
out pada karyawan. anggotanya sehingga tidak memunculkan
friksi-friksi di dalam organisasi, (5) asas
METODE PENELITIAN prestasi, seberapa besar pengakuan
organisasi terhadap prestasi yang
A. Responden ditunjukkan anggotanya, (6) asas empirik,
Responden penelitian ini adalah seberapa tinggi komitmen organisasi untuk
karyawan yang bertugas langsung menggunakan data empirik dalam
memberikan pelayanan kepada masyarakat. pengambilan keputusan, (7) asas
Responden adalah 149 karyawan Rumah keakraban, menyangkut kondisi hubungan
Sakit Umum Daerah (RSUD) yang dikelola interpersonal antara organisasi dengan
oleh Pemerintah Daerah Tingkat II Cilacap anggotanya atau antar anggota organisasi,
Jawa Tengah. Dari 200 angket yang dan (8) asas integritas, seberapa besar
dikirimkan, ternyata hanya 152 orang yang kesungguhan anggota organisasi untuk
mengembalikannya. Ada 3 responden yang bekerja. Skala budaya organisasi ini terdiri
terpaksa tidak disertakan di dalam analisis, dari 69 aitem (lihat Tabel 1).
karena tidak lengkap dalam mengisi Sedangkan tingkat burn-out akan
angket. Di samping itu ada tambahan diungkap dengan menggunakan skala
sejumlah 33 responden yang berasal dari Burn-out yang dikembangkan oleh Farhati
pengurus serta anggota Yayasan (1996) berdasarkan konsep burn-out dari
Purusatama Semarang, sehingga total Maslach-Jackson. Skala Burn-out ini terdiri
responden adalah 182 orang. atas 3 aspek yang secara keseluruhan
diungkap melalui 62 aitem. Tiga aspek
B. Alat tersebut adalah (1) kelelahan emosional, (2)
depersonalisasi dan (3) rendahnya peng-
Budaya perusahaan akan diungkap hargaan terhadap diri sendiri. Kelelahan
dengan menggunakan angket Budaya emosional ditengarai dari adanya keluhan
Perusahaan yang disusun oleh Lukitomo mengenai terkurasnya tenaga, kejenuhan,
(1992) dan kemudian diadaptasi untuk sering merasa lelah, frustrasi, mudah
lingkungan rumah sakit oleh Usmany tersinggung, sedih, putus asa, tidak
(1997). Skala Budaya Organisasi terdiri berdaya, tertekan, dan perasaan terjebak di
atas 8 nilai utama, yaitu (1) asas tujuan, dalam pekerjaan. Depersonalisasi ditandai
mencakup seberapa jauh anggota organisasi dari mulai menjauhnya individu dari
memahami tujuan organisasi, (2) asas lingkungannya, apatis, tidak memper-
konsensus, seberapa besar organisasi dulikan lingkungan dan orang-orang di
memberi kesempatan kepada anggota untuk sekitarnya. Ketidakpuasan terhadap diri
berpartisipasi dalam proses pengambilan sendiri dan merasa tidak pernah melakukan
keputusan, (3) asas keunggulan, seberapa sesuatu yang berarti menjadi karakteristik
besar kapabilitas organisasi dalam dari mereka menilai rendah diri sendiri.
memotivasi anggotanya untuk berprestasi
atau menunjukkan performance terbaiknya,

ISSN : 0215 - 8884


106 ASAD & SOETJIPTO

Tabel 1. Komposisi Aitem Skala Budaya Organisasi

Nilai Budaya Favourable Items Unfavourable Items Jumlah


Asas Tujuan 1, 13, 23, 28, 47 6, 44, 60 8
Asas Konsensus 2, 37, 45, 63 12, 25, 52, 67 8
Asas Keunggulan 19, 27, 32, 59 3, 8, 46, 54, 69 9
Asas Kesatuan 4, 36, 57, 66 7, 14, 30, 35, 49 9
Asas Prestasi 5, 15, 34, 48, 65 18, 40, 55, 61 9
Asas Empirik 9, 16, 22, 31, 51 29, 33, 39, 53 9
Asas Keakraban 10, 21, 26, 68 17, 41, 50, 58, 62 9
Asas Integritas 11, 20, 24, 64 38, 42, 43, 56 8
Sumber: Usmany (1997).

Tabel 2. Komposisi Aitem Skala Burn-Out


Favourable
Dimensi Burn-Out Unfavourable Items Jumlah
Items
1. Kelelahan emosional 10, 20, 36 1,4,7,13,14,17,19,22,25,26,28, 27
32,34,37,39,42,45,46,49,51,
55,56,60,62.
2. Depersonalisasi 3 6,9,12,16,27,30,33,40,43,47 15
50,52,56,61
3. Perasaan rendah diri 8,11,18,23,24,41 2,5,15,21,29,31,35,38,44,48 20
53,57,58,59
Sumber: Farhati (1996)

C. Analisis Data analisis data terpaksa ada 3 responden yang


harus dihilangkan dari analisis karena tidak
Budaya perusahaan yang dalam hal ini
lengkap datanya. Hanya tinggal data dari
merupakan persepsi karyawan mengenai
179 responden yang dapat dianalisis.
tata nilai perusahaan akan dikorelasikan
Penelitian ini menggunakan dua model
dengan menggunakan teknik korelasi
analisis data. Model pertama adalah
Product Moment dengan tingkat burn-out
analisis data sebagaimana yang lazim
yang diungkap melalui skala burn-out. Di
dilakukan, yaitu mengkorelasikan skor total
samping itu juga digunakan analisis faktor
maupun subtotal yang berasal dari
sebagai model alternatif pengolahan data.
penjumlahan aitem. Model kedua adalah
Paket program statistik SPSS dijadikan
model analisis faktor yang selain
sarana utama pengolahan data.
merupakan upaya untuk melakukan
HASIL PENELITIAN validasi aitem juga digunakan untuk
A. Pelaksanaan Penelitian memperoleh skor faktor (factor scores).
Skor faktor (factor scores) inilah yang
Jumlah seluruh subjek penelitian ini dijadikan landasan untuk mendapatkan
adalah 182 orang, namun dalam proses

ISSN : 0215 - 8884


HUBUNGAN ANTARA BEBERAPA ASPEK BUDAYA PERUSAHAAN . . . 107

total skor baik untuk skala budaya terletak bukan pada besarnya korelasi, akan
organisasi dan skala burn-out. Skor faktor tetapi kenyataan bahwa hampir semua
tersebut dikonversikan menjadi Skor-T aspek budaya organisasi mempunyai
dengan menggunakan persamaan sebagai korelasi yang sangat signifikan (p < 0,01).
berikut: skor-T = 50 + (10 x skor faktor). Hanya ada satu korelasi yang signifikan (p
< 0,05), yaitu korelasi antara asas prestasi
B. Hasil Penelitian dengan kelelahan emosional. Semua
korelasi di dalam model pertama ini
Model analisis pertama, yaitu menggu- bersifat negatif dan ini diartikan bahwa
nakan model penjumlahan aitem, memberi semakin baiknya budaya organisasi, maka
gambaran yang menarik. Tabel 3 akan semakin rendah pula tingkat burn-out
menampilkan begitu sempurnanya korelasi yang dialami oleh karyawan organisasi
antara setiap aspek budaya organisasi tersebut.
dengan burn-out. Kesempurnaan analisis
data dengan menggunakan model pertama

Tabel 3. Matriks korelasi antara faktor skala Budaya Organisasi dengan skala Burn-out
(Model I)
Budaya Burn-out
organisasi Kelelahan Emosional Depersonalisasi Rendah Diri Skor Total
Asas Tujuan -.1929** -.3699** -.2014** -.2674**
Asas Konsensus -.2024** -.2330** -.2324** -.2437**
Asas Keunggulan -.2267** -.2946** -.3148** -.3002**
Asas Kesatuan -.2128** -.2445** -.2182** -.2476**
Asas Prestasi -.1402* -.2216** -.1814** -.1924**
Asas Empirik -.1622** -.2912** -.2025** -.2300**
Asas Keakraban -.2828** -.3410** -.3220** -.3440**
Asas Integrasi -.3493** -.4194** -.3959** -.4238**
Skor Total -.2575** -.3458** -.3011** -.3258**
Keterangan: * = p < 0,05 ** = p < 0,01

Model analisis kedua menggunakan menggunakan dasar eigen value di atas 1,


pendekatan analisis faktor. Analisis faktor namun ditentukan jumlah faktornya dan
dilakukan selain untuk menguji validitas disamakan dengan jumlah faktor
konstruk dari skala pengukur juga sebagaimana dikemukakan oleh Miller
dimaksudkan untuk memperoleh skor total (1987). Demikian pula untuk skala burn-
yang merupakan skor komposit dari skor out, 3 faktor yang terbentuk bukan pula
faktor (Norusis, 1992). Dengan mengguna- ditentukan dengan dasar eigen value, tetapi
kan ekstraksi principal component dan dengan menggunakan jumlah faktor
rotasi varimax diperoleh 8 faktor untuk aslinya. Konsekuensi dari langkah ini yang
skala budaya organisasi. Faktor yang pertama adalah mengecilnya total variance
diperoleh dari analisis ditentukan tidak yang dapat dijelaskan oleh faktor-faktor

ISSN : 0215 - 8884


108 ASAD & SOETJIPTO

yang terbentuk dan yang kedua adalah pretasi kembali makna baru dari setiap
sulitnya untuk dilakukan korelasi antara faktor berdasarkan aitem yang menyusun-
faktor-faktor yang terbentuk di variabel nya. Oleh karena itu dalam laporan
independen dengan faktor-faktor variabel sementara ini hanya akan dilaporkan
dependen. Kesulitan untuk melakukan korelasi antara faktor-faktor skala budaya
korelasi antar faktor ini sebetulnya perusahaan dengan faktor-faktor skala
merupakan bentuk sulitnya menginter- burn-out.

Tabel 4. Matriks korelasi antara faktor skala Budaya Organisasi dengan skala Burn-out
(Model II)
Burn-out
Budaya organisasi
Faktor 1 Faktor 2 Faktor 3 Total
- Faktor 1 .5481** .0619 -.0857 .3082**
- Faktor 2 -.0908 -.1392* .1817* -.0280
- Faktor 3 -.0324 .3048** .0859 .2069**
- Faktor 4 .0580 .0349 -.3126** -.1268*
- Faktor 5 -.1247* -.1245* .0136 -.1360*
- Faktor 6 -.1247* -.1245* .0136 -.1360*
- Faktor 7 -.1247* -.1245* .0136 -.1360*
- Faktor 8 -.1247* -.1245* .0136 -.1360*
- Total -.0036 -.0526 .0170 -.0421
Keterangan: * = p < 0,05 ** = p < 0,01

Tabel 4 menunjukkan bahwa secara sama. Model pertama adalah contoh


keseluruhan tidak ada korelasi yang mengenai analisis data yang tidak
signifikan antara skor total budaya mempertimbangkan validitas konstruk dari
organisasi dengan skor total skala burn-out. alat ukur. Di dalam Lampiran A
Tidak signifikannya korelasi skor total ditunjukkan bahwa setiap subtotal (aspek)
tersebut juga terjadi pada korelasi antara ternyata berkorelasi satu dengan lainnya
skor total budaya organisasi dengan setiap secara signifikan. Dengan demikian model
faktor skala burn-out. Tampaknya skor A membuktikan bahwa analisis data yang
faktor skala budaya organisasi lebih sensitif sesuai untuk mengkorelasikan aspek-aspek
untuk menunjukkan korelasi dengan skor budaya organisasi dengan burn-out adalah
total skala burn-out. Dibandingkan dengan dengan mengkorelasikan saja skor total
skor totalnya ternyata hanya faktor 2 pada dari kedua variabel tersebut. Pertimbangan
skala budaya organisasi yang tidak utama dari kesimpulan ini didukung
memiliki korelasi yang signifikan dengan tingginya korelasi yang sangat signifikan
skor total burn-out. antara satu aspek dengan aspek lainnya
Dua tabel yaitu tabel 3 dan tabel 4 baik untuk budaya organisasi maupun
memberikan hasil yang sangat berbeda burn-out. Jika semua aspek saling
meskipun menggunakan data set yang berkorelasi tinggi, berarti bahwa komunitas
variabel-variabel tersebut sangat tinggi. Di

ISSN : 0215 - 8884


HUBUNGAN ANTARA BEBERAPA ASPEK BUDAYA PERUSAHAAN . . . 109

pihak lain, analisis model kedua layanan jasanya. Kondisi terakhir ini dapat
menunjukkan bahwa korelasi yang sangat menjadikan sumber burn-out bagi para
signifikan hanya terjadi antara setiap aspek anggota organisasi karena tuntutan
dengan skor total. Di dalam Lampiran B masyarakat tidak sesuai dengan layanan
diperoleh bukti bahwa korelasi antar aspek yang diberikan oleh perusahaan tersebut.
tidak signifikan. Kondisi ini sangat ideal
untuk dilakukannya analisis regresi, karena DAFTAR PUSTAKA
antar aspek tidak terjadi multikolinearitas.
Dengan adanya dua model analisis data Bandoro, A.L. (1997). The study of chinese
tersebut menjadikan tidak mudah pula organizational culture and the
untuk melakukan penyimpulan mengenai relationship to the Javanese organi-
keterkaitan antara budaya organisasi zational commitment (at Surabaya
dengan burn-out. Plaza). Thesis. Surabaya: Magister
Management STIE IEU.
PENUTUP Farhati, F. (1996). Peran tingkat
karakteristik pekerjaan dan dukungan
Pada penelitian ini tidak diperoleh bukti sosial terhadap tingkat burn-out
empirik dari keterkaitan antara budaya karyawan Radiant Utama Group di
organisasi menurut pendekatan Miller jakarta. Skripsi. Yogyakarta: Fakultas
dengan tingkat burn-out pada karyawan Psikologi Universitas Gadjah Mada.
RSUD Cilacap. Di samping pendekatan
Miller, barangkali pendekatan Hofstede Firth, H. (1989). Burnout, absence, and
bisa menjadi alternatif untuk mengkaji turnover amongst British nurshing staff.
ulang keterkaitan antara budaya organisasi Journal of Occupational Psychology,
dengan burn-out. Dari dimensi mengenai vol. 15, pp. 157-175.
budaya sebagaimana dikemukakan oleh Freudenberger, H.J. and Richelson, G.
Hofstede dapat kita cermati dampaknya (1981). Burnout: how to beat the high
terhadap individu. Nilai-nilai pribadi cost of success. New York: Bantam
individu sebelum masuk ke dalam Books.
organisasi dapat menjadi penyebab Garden, A.M. (1989). Burnout: the effect
terjadinya kesenjangan antara harapan of psychological type on research
individu dan harapan organisasi. Begitu findings. Journal of Occupational
pula tuntutan atau standar prestasi yang Psychology, vol. 62, pp. 223-234.
disyaratkan organisasi juga merupakan
alasan bagi individu untuk merasa tidak Hostede, G. (1991). Organizational
sesuai dengan kondisi perusahaan dan ini culture: sofware of the mind. London:
akan berakibat yang mengarah kepada McGraw-Hill U.K. Ltd.
burn-out, karena individu dapat merasa Jackson, S.E., Schuler, R.S. and Schwab,
menjadi orang yang bermanfaat bagi R.L. (1986). Toward an understanding
organisasi atau perusahaan. Di pihak lain, of burnout phenomenon. Journal of
organisasi itu sendiri dapat memiliki Applied Psychology. Vol 71, No.40, pp.
budaya yang tidak sesuai dengan tuntutan 630-640.
publik yang mestinya memanfaatkan

ISSN : 0215 - 8884


110 ASAD & SOETJIPTO

Leatz, C.A. and Stolar, M.W. (1993). stress and burnout in the human
When work gets to be too much. World services. Journal of Personality and
Executive Digest, Vol. 14, No. 11. Social Psychology. Vol. 46, No. 4, pp.
Luthans, F. (1995). Organizational 864-876.
Behavior. Singapore: McGraw-Hill Whiteley, R.C. (1991). The customer
International. driven company: moving from talk to
Shinn, M., Rosario, M., Morch, H., and action. Reading, MA: Addison-Wesley
Chestnut, D.E. (1984). Coping with job Publishing Company.

ISSN : 0215 - 8884

Anda mungkin juga menyukai