Anda di halaman 1dari 7

1.

Subjek Pajak
Subjek pajak adalah orang, badan atau kesatuan lainnya yang telah memenuhi
syarat-syarat subjektif, yaitu bertempat tinggal atau berkedudukan di Indonesia. Subjek pajak
baru menjadi wajib pajak bila telah memenuhi syarat-syarat obyektif.
Subjek pajak tidak identik dengan subjek hukum, oleh karena itu untuk menjadi subjek
pajak tidak perlu menjadi subjek hukum. Sehingga firma, perkumpulan, warisan yang belum
terbagi sebagai satu kesatuan dapat menjadi subjek pajak. Demikian juga orang gila, anak
yang masih di bawah umur dapat menjadi subjek atau wajib pajak, tetapi untuk mereka perlu
ditunjuk orang atau wali yang dapat dipertanggungjawabkan untuk memenuhi kewajiban-
kewajibannya.

a. Subjek Pajak dari PPh (Pajak Penghasilan)


Secara umum pengertian subjek pajak adalah siapa yang dikenakan pajak. Secara praktik
termasuk dalam pengertian subjek pajak meliputi orang pribadi dan warisan yang belum
terbagi sebagai satu kesatuan, badan, dan bentuk usaha tetap. Subjek pajak tersebut dapat
dikemukakan sebagai berikut.
1) Orang Pribadi dan Warisan yang Belum Terbagi sebagai Satu Kesatuan Menggantikan yang
Berhak
Kedudukan orang pribadi sebagai subjek pajak dapat bertempat tinggal atau berada di
Indonesia ataupun di luar Indonesia. Orang pribadi tidak melihat batasan dan juga jenjang
sosial ekonomi, dengan kata lain berlaku sama untuk semua (nondicrimination).
Dalam hal ini, Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan merupakan subjek pajak
pengganti, menggantikan menggantikan mereka yang berhak yaitu ahli waris. Penunjukan
ahli warisan tersebut dimaksudkan agar pengenaan pajak atas penghasilan yang berasal dari
warisan tersebut tetap dapat dilakasanakan, demikian juga dengan tindakan penagihan
selanjutnya.
2) Badan
Badan adalah sekumpulan orang atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan
usaha atau tidak melakukan usaha.
3) Bentuk Usaha Tetap
Bentuk Usaha Tetap (BUT) adalah bentuk usaha yang digunakan oleh orang pribadi yang
tidak bertepat tinggal di Indonesia atau berada berada di Indonesia tidak lebih dari 183
(seratus delapan puluh tiga) hari dalam dalam jangka waktu 12 bulan, atau juga badan yang
didirkan atau tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan di Indonesia.

Subjek PPh dibedakan antara Subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri.
1) Subjek pajak dalam negeri
Subjek pajak dalam negeri adalah subjek pajak yang secara fisik memang berada atau
bertempat tinggal atau bertempat kedudukan di Indonesia.
a) Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang bertempat tinggal di
Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 bulan, atau
orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk
bertempat tinggal di Indonesia.
b) Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia.
c) Warisan yang belum terbagi menggantikan yang berhak.

2) Subjek pajak luar negeri


a) Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di
Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan badan yang tidak
didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
b) Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di
Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan badan yang tidak
didirikan dan tidak berkedudukan di Indonesia, yang dapat menerima atau memperoleh
penghasilan dari Indonesia tidak dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui
bentuk usaha tetap di Indonesia.
Subjek pajak dalam negeri akan menjadi pajak apabila telah menerima atau
memperoleh penghasilan, sedangkan subjek pajak luar negeri sekaligus menjadi wajib pajak
sehubungan dengan penghasilan yang diterima dari sumber penghasilan di Indonesia atau di
peroleh melalui BUT Indonesia.
Perbedaan yang penting antara Wajib Pajak dalam negeri dan Wajib Pajak Luar Negeri
terletak dalam pemenuhan kewajiban pajaknya, antara lain :
1) Wajib Pajak dalam negeri dikenai pajak atas penghasilan baik yang diterima atau diperoleh
dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, sedangkan Wajib Pajak luar negeri dikenai pajak
hanya atas penghasilan yang berasal dari sumber penghasilan di Indonesia.
2) Wajib Pajak dalam negeri dikenai pajak berdasarkan penghasilan neto dengan tarif umum,
sedangkan Wajib Pajak luar negeri dikenai pajak berdasarkan penghasilan bruto dengan tarif
pajak sepadan.

3) Wajib Pajak dalam negeri wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan sebagai sarana untuk menetapkan pajak yang terutang dalam suatu tahun pajak,
sedangkan Wajib Pajak luar negeri tidak wajib memberitahukan Pemberitahuan Tahunan
Pajak Penghasilan karena kewajiban pajaknya dipenuhi melalui pemotongan pajak yang
bersifat final.

Sebagaimana diketahui bahwa pajak penghasilan merupakan jenis pajak subjektif yang
kewajiban pajaknya melekat pada subjek pajak yang bersangkutan, artinya kewajiban pajak
tidak dilimpahkan kepada subjek lainnya. Oleh karenanya, penentuan saat mulai dan
berakhirnya kewajiban pajak subjektif menjadi penting sebagaimana diatur dalam Pasal 2 A
UU PPh, yaitu sebagai berikut :
1) Bagi Subjek pajak orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, maka kewajiban pajak
subjektifnya akan dimulai pada saat lahirkan, berakhir saat meninggal dunia atau
meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya.
2) Bagi subjek pajak badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, maka
kewajiban pajak subjektifnya akan dimulai pada saat badan tersebut didirikan atau bertempat
kedudukan di Indonesia dan berakhir saat di bubarkan atau tidak lagi berkedudukan di
Indonesia.

3) Bagi subjek pajak orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih
dari 183 hari atau badan yang tidak didirikan dan tidak berkedudukan di
Indonesia yang menjalankan usaha melalui BUT di Indonesia, dimulai
saat orang pribadi atau badan tersebut menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan dan berakhir saat tidak lagi menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap.
4) Bagi subjek pajak orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di
Indonesia tidak lebih dari 183 hari atau badan yang tidak didirikan dan tidak berkedudukan di
Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari
menjalankan usaha atau memperoleh penghasilan melakukan kegiatan melalui BUT di
Indonesia, dimulai saat orang pribadi atau badan tersebut menerima atau memperoleh
penghasilan dari Indonesia dan berakhir saat tidak lagi menerima atau memperoleh
penghasilan tersebut.
5) Untuk warisan yang belum terbagi, maka kewajiban pajak subjektifnya dimulai pada saat
timbulnya warisan, yaitu pada saat pewaris meninggal dunia, Warisan yang belum terbagi
baru menjadi wajib pajak apabila warisan tersebut mengeluarkan penghasilan Dan
berakhirnya pajak warisan tersebut setelah warisan selesai dibagi.

Berikut ini adalah Undang-undang tentang Pajak Penghasilan (PPh).


1) PPh pasal 21
Subyek PPh 21 adalah penerima penghasilan yang dipotong oleh :
a) Pemberi kerja yang membayar gaji, upah, honorarium tunjangan dan pembayaran lain
sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan oeh pegawai atau bukan
pegawai.
b) Bendahara pemerintah yang membayar gaji, upah, honorarium tunjangan dan pembayara lain
sehubungan dengan pekerjaan, jasa atau kegiatan.
c) Dana pensiun atau badan lain yang membayarkan uang pension dan pembayaran lain dengan
nama apapun dalam rangka pensiun.
d) Badan yang membayar honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan
dengan jasa termasuk jasa tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas.
e) Penyelenggara kegiatan yang melakukan pembayaran sehubungan dengan pelaksanan suatu
kegiatan

2) PPh Pasal 23
Subjek pajak PPh 23 adalah Wajib Pajak dalam Negeri atau bentuk usaha tetap. Adapun objek
pajak PPh 23 yang dipotong pajak oleh pihak yang membayarkan adalah :
a) Sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto atas :
(1) Dividen
(2) Bunga
(3) Royalti
(4) Hadiah
b) Sebesar 2% (dua pesen) dari jumlah bruto atas :
(1) Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan
penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang telah dikenai Pajak Penghasilan.
(2) Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan,
dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan.

Sedangkan yang bukan termasuk objek Pajak PPh 23 adalah :


a) Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank.
b) Sewa yang dibayarkan atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan hak opsi.
c) Dividen yang diterima oleh orang pribadi.
d) Bagian laba.
e) Sisa hasil usaha kioperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya.
f) Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada badan usaha atas jasa keuangan yang
berfungsi sebagai penyalur pinjaman dan/atau pembiayaan yang diatur dengan peraturan
Menteri Keuangan.
3) PPh Pasal 26
Subjek pajak PPh 26 adalah badan pemerintah, subjek pajak dalam negeri, penyelenggara
kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib
Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia.
Adapun objek pajak PPh 26 yang dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan adalah
:
a) Dividen
b) Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian
utang
c) Royalty, sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta
d) Imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan
e) Hadiah dan penghargaan
f) Pension dan pembayaran berkala lainnya
g) Premi swap san transaksi lindung nilai lainnya, dan/ atau
h) Keuntungan karena pembebasan utang.

4) PPh Pasal 4 ayat 2


Objek PPh yang dapat dikenai pajak bersifat final adalah :
a) Penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang
Negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang
pribadi.
b) Penghasilan berupa haiah undian.
c) Penghasilan dari tansaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang
diperdagangkan di bursa dan transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal
pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura.
d) Penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa
konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau bangunan.
b. Subyek Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak atas Penjualan Barang Mewah (PPN-PPnBM)
1) Subyek Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Subjek PPN adalah Pengusaha Kena Pajak (PKP). Pengusaha Kena Pajak adalah
pengusaha yang melakukan melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau Jasa
Kena Pajak (JKP).yang dikenakan pajak berdasarkan UU PPN, tidak termasuk pengusaha
kecil yang batasannya ditetapkan Menteri Keuangan, kecuali pengusaha kecil tersebut
memilih untuk dikukuhkan menjadi PKP.
Berdasarkan PP No. 22 Tahun 1985, PP No.28 Tahun 1988 serta PP No. 75
Tahun 1991 yang dapat disebutkan beberapa contoh yang termasuk pengusaha kena pajak
sebagai subjek PPN yaitu :
a) Pabrikan
b) Importir
c) Indentor
d) Agen utama atau penyalur utama
e) Pengusaha pemegang hak atau menggunakan paten atau merek dagang Barang Kena Pajak.
f) Pedagang besar
g) Eksportir
h) Pedagang eceran beras
i) Pemborong atau Kontraktor
j) Pengusaha jasa bidang komunikasi
k) Pengusaha jasa angkatan udara dalam negeri
l) Pengusaha lain yang ditetapkan oleh direktur jendral pajak

2) Subyek Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM)


Subyek Pajak Penjualan atas Barang Mewah adalah PKP yang menghasilkan BKP yang
tergolong mewah dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya dan pengusaha yang
mengimpor barang yang tergolong mewah.
c. Subyek Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
Subyek PBB adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai kewajiban untuk
melunasi PBB sesuai dengan ketentuan UU PBB. Subjek PBB baru akan melunasi utang PBB
apabila subjek PBB tersebut secara nyata mempunyai hak atas bumi dan bangunan dan atau
memperoleh manfaat atas bumi dan bangunan. Hak-hak atas bumi dan bangunan dalam PBB
adalah mengacu pada ketentuan Undang-undang Agraria yaitu : Hak Milik, Hak Guna
Bangunan, Hak Guna Usaha, Hak Pakai, dan Hak Pengelolaan.
Berikut ini beberapa contoh subjek wajib pajak yang harus melunasi pajak karena
status kepemilikan objek yang tidak jelas.
1) Subjek pajak bernama A memanfaatkan atau menggunakan bumi dan bangunan milik orang
lain bernama S bukan karena suatu hak berdasarkan undang-undang atau bukan karena
perjanjian, maka A yang memanfaatkan atau menggunakan bumi dan bangunana tersebut
akan ditetapkan sebagai wajib pajak.
2) Suatu objek pajak ternyata masih dalam suatu sengketa kepemilikan dipengadilan maka
orang atau badan yang memanfaatkan atau menggunakan objek pajak tersebut yang akan
ditetapkan sebagai waib pajak.
3) Subjek pajak dalam waktu lama berada diluar wilayah letak objek pajak, sedangkan untuk
merawat objek pajak tersebut telah dikuasakan kepada orang lain, maka orang atau badan
yang diberi kuasa akan ditunjuk sebagai wajib pajak.
Bila subjek pajak yang ditetapkan oleh Direktur Jendral Pajak merasa bahwa
penetapan tersebut tidak benar, subjek pajak dapat mengajukan keberatan dengan
memberikan keterangan secara tertulis bahwa ia bukan wajib pajak terhadap objek pajak
dimaksud.

d. Subyek Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)


Subyek pajak BPHTB adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas
Tanah dan/atau Bangunan.

Anda mungkin juga menyukai