Anda di halaman 1dari 63

Mar

Asuhan Keperawatan pada Kasus Sindrom


Nefrotik
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sindrom nefrotik merupakan gangguan klinis ditandai oleh peningkatan protein,

penurunan albumin dalam darah (hipoalbuminemia), edema dan serum kolesterol yang tinggi dan

lipoprotein densitas rendah (hiperlipidemia).

Insidens lebih tinggi pada laki-laki dari pada perempuan. Mortalitas dan prognosis anak

dengan sindrom nefrotik bervariasi berdasarkan etiologi, berat, luas kerusakan ginjal, usia anak,

kondisi yang mendasari, dan responnya trerhadap pengobatan. Sindrom nefrotik jarang

menyerang anak dibawah usia 1 tahun. Sindrom nefrotik perubahan minimal ( SNPM )

menacakup 60 90 % dari semua kasus sindrom nefrotik pada anak. Angka mortalitas dari

SNPM telah menurun dari 50 % menjadi 5 % dengan majunya terapi dan pemberian steroid.

Bayi dengan sindrom nefrotik tipe finlandia adalah calon untuk nefrektomi bilateral dan

transplantasi ginjal.

Berdasarkan hasil penelitian univariat terhadap 46 pasien, didapatkan insiden terbanyak

sindrom nefrotik berada pada kelompok umur 2 6 tahun sebanyak 25 pasien (54,3%), dan

terbanyak pada laki-laki dengan jumlah 29 pasien dengan rasio 1,71 : 1. Insiden sindrom nefrotik

pada anak di Hongkong dilaporkan 2 - 4 kasus per 100.000 anak per tahun ( Chiu and Yap,
2005 ). Insiden sindrom nefrotik pada anak dalam kepustakaan di Amerika Serikat dan Inggris

adalah 2 - 4 kasus baru per 100.000 anak per tahun. Di negara berkembang, insidennya lebih

tinggi. Dilaporkan, insiden sindrom nefrotik pada anak di Indonesia adalah 6 kasus per 100.000

anak per tahun. (Tika Putri, http://one.indoskripsi.com ) Dengan adanya insiden ini, diharapkan

perawat lebih mengenali tentang penyakit nefrotik dan mengaplikasikan rencana keperawatan

terhadap pasien nefrotik.

1.2 Tujuan Penulisan


1. Tujuan Umum
Mahasiswa mampu memberikan asuhan keperawatan pada penderita sindrom nefrotik.

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui pengkajian sindrom nefrotik.


b. Menegakkan diagnosa keperawatan dengan sindrom nefrotik.
c. Membuat intervensi keperawatan.
d. Membuat implementasi keperawatan.
e. Membuat evaluasi keperawatan.

BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1 Konsep Dasar Teori


2.1.1 Pengertian

Sindrom nefrotik adalah suatu kumpulan gejala gangguan klinis, meliputi hal-hal:

Proteinuria masif> 3,5 gr/hr, Hipoalbuminemia, Edema, Hiperlipidemia. Manifestasi dari

keempat kondisi tersebut yang sangat merusak membran kapiler glomelurus dan menyebabkan

peningkatan permeabilitas glomerulus. (Muttaqin,


Sindrom nefrotik merupakan gangguan klinis ditandai oleh peningkatan protein,

penurunan albumin dalam darah (hipoalbuminemia), edema dan serum kolesterol yang tinggi dan

lipoprotein densitas rendah (hiperlipidemia). (Brunner & Suddarth, 2001).

Nefrotik sindrom merupakan kelainan klinis yang ditandai dengan proteinuria,

hipoalbuminemia, edema, dan hiperkolesterolmia. (Baughman, 2000).

2.1.2 Anatomi Fisiologi

Ginjal merupakan salah satu bagian saluran kemih yang terletak retroperitoneal dengan

panjang lebih kurang 11-12 cm, disamping kiri kanan vertebra. Pada umumnya, ginjal kanan

lebih rendah dari ginjal kiri oleh karena adanya hepar dan lebih dekat ke garis tengah tubuh.

Batas atas ginjal kiri setinggi batas atas vertebra thorakalis XII dan batas bawah ginjal setinggi

batas bawah vertebra lumbalis III.

Parenkim ginjal terdiri atas korteks dan medula. Medula terdiri atas piramid-piramid yang

berjumlah kira-kira 8-18 buah, rata-rata 12 buah. Tiap-tiap piramid dipisahkan oleh kolumna

bertini. Dasar piramid ini ditutup oleh korteks, sedang puncaknya (papilla marginalis) menonjol

ke dalam kaliks minor. Beberapa kaliks minor bersatu menjadi kaliks mayor yang berjumlah 2

atau 3 ditiap ginjal. Kaliks mayor/minor ini bersatu menjadi pelvis renalis dan di pelvis renalis

inilah keluar ureter.

Korteks sendiri terdiri atas glomeruli dan tubuli, sedangkan pada medula hanya terdapat

tubuli. Glomeruli dari tubuli ini akan membentuk Nefron. Satu unit nefron terdiri dari

glomerolus, tubulus proksimal, loop of henle, tubulus distal (kadang-kadang dimasukkan pula

duktus koligentes). Tiap ginjal mempunyai lebih kurang 1,5-2 juta nefron berarti pula lebih

kurang 1,5-2 juta glomeruli.


Ginjal berfungsi sebagai salah satu alat ekskresi yang sangat penting melalui ultrafiltrat

yang terbentuk dalam glomerulus. Terbentuknya ultrafiltrat ini sangat dipengaruhi oleh sirkulasi

ginjal yang mendapat darah 20% dari seluruh cardiac output.

1. Faal glomerolus

Fungsi terpenting dari glomerolus adalah membentuk ultrafiltrat yang dapat masuk ke tubulus

akibat tekanan hidrostatik kapiler yang lebih besar dibanding tekanan hidrostatik intra kapiler

dan tekanan koloid osmotik. Volume ultrafiltrat tiap menit per luas permukaan tubuh disebut

glomerula filtration rate (GFR). GFR normal dewasa : 120 cc/menit/1,73 m2 (luas pemukaan

tubuh). GFR normal umur 2-12 tahun : 30-90 cc/menit/luas permukaan tubuh anak.

2. Tubulus

Fungsi utama dari tubulus adalah melakukan reabsorbsi dan sekresi dari zat-zat yang ada dalam

ultrafiltrat yang terbentuk di glomerolus.

a) Tubulus Proksimal

Tubulus proksimal merupakan bagian nefron yang paling banyak melakukan reabsorbsi yaitu

60-80 % dari ultrafiltrat yang terbentuk di glomerolus. Zat-zat yang direabsorbsi adalah protein,

asam amino dan glukosa yang direabsorbsi sempurna. Begitu pula dengan elektrolit (Na, K, Cl,

Bikarbonat), endogenus organic ion (citrat, malat, asam karbonat), H2O dan urea. Zat-zat yang

diekskresi asam dan basa organik.

b) Loop of henle

Loop of henle yang terdiri atas decending thick limb, thin limb dan ascending thick limb itu

berfungsi untuk membuat cairan intratubuler lebih hipotonik.

c) Tubulus distalis
Mengatur keseimbangan asam basa dan keseimbangan elektrolit dengan cara reabsorbsi Na dan

H2O dan ekskresi Na, K, Amonium dan ion hidrogen.

d) Duktus koligentis

Mereabsorbsi dan menyekresi kalium. Ekskresi aktif kalium dilakukan pada duktus koligen

kortikal dan dikendalikan oleh aldosteron.

2.1.3 Etiologi
Penyebab nefrotik sindrom dibagi menjadi dua yaitu sebagai berikut.
1. Primer, berkaitan dengan berbagai penyakit ginjal, seperti berikut ini.
a. Glomerulonefritis
b. Nefrotik sindrom perubahan minimal
2. Sekunder, akibat infeksi, penggunaan obat, dan penyakitsistemik lain, seperti berikut ini.
a. Dibetes militus
b. Sistema lupus eritematosus
c. Amyloidosis
2.1.4 Patofisiologi

Glomeruli adalah bagian dari ginjal yang berfungsi untuk menyaring darah. Pada nefrotik

sindrom, glomeruli mengalami kerusakan sehingga terjadi perubahan permeabilitas karena

inflamasi dan hialinisasi sehingga hilangnya plasma protein, terutama albumin ke dalam urine.

Meskipun hati mampu meningkatkan produksi albumin, namun organ ini tidak mampu untuk

terus mempertahankannya. Jika albumin terus menerus hilang maka akan terjadi

hipoalbuminemia.

Hilangnya protein menyebabkan penurunan tekanan onkotik yang menyebabkan edema

generalisata akibat cairan yang berpindah dari sistem vaskuler ke dalam ruang cairan

ekstraseluler. Penurunan volume cairan vaskuler menstimulli sistem renin-angio-tensin, yang

mengakibatkan disekresinya hormon anti diuretik (ADH) dan aldosteron menyebabkan

reabsorbsi natrium (Na) dan air sehingga mengalami peningkatan dan akhirnya menambah

volume intravaskuler.
Hilangnya protein dalam serum menstimulasi sintesis LDL ( Low Density Lipoprotein)

dalam hati dan peningkatan kosentrasi lemak dalam darah (hiperlipidemia). Adanya

hiperlipidemia juga akibat dari meningkatnya produksi lipoprotein dalam hati yang timbul oleh

karena kompensasi hilangnya protein, dan lemak akan banyak dalam urin ( lipiduria ). (Toto

Suharyanto, 2009).

Menurunya respon immun karena sel immun tertekan, kemungkinan disebabkan oleh

karena hipoalbuminemia, hiperlipidemia, atau defesiensi seng. Penyebab mencakup

glomerulosklerosis interkapiler, amiloidosis ginjal, penyakit lupus erythematosus sistemik, dan

trombosis vena renal

2.1.5 Manifestasi Klinis

1. Tanda paling umum adalah peningkatan cairan di dalam tubuh, diantaranya adalah:

a) Edema periorbital, yang tampak pada pagi hari.

b) Pitting, yaitu edema (penumpukan cairan) pada kaki bagian atas.

c) Penumpukan cairan pada rongga pleura yang menyebabkan efusi pleura.

d) Penumpukan cairan pada rongga peritoneal yang menyebabkan asites.

2. Hipertensi (jarang terjadi), karena penurunan voulume intravaskuler yang mengakibatkan

menurunnya tekanan perfusi renal yang mengaktifkan sistem renin angiotensin yang akan

meningkatkan konstriksi pembuluh darah.

3. Beberapa pasien mungkin mengalami dimana urin berbusa, akibat penumpukan tekanan

permukaan akibat proteinuria.

4. Hematuri
5. Oliguri (tidak umum terjadi pada nefrotik sindrom), terjadi karena penurunan volume cairan

vaskuler yang menstimulli sistem renin-angio-tensin, yang mengakibatkan disekresinya hormon

anti diuretik (ADH)

6. Malaise

7. Sakit kepala

8. Mual, anoreksia

9. Irritabilitas

10. Keletihan

2.1.6 Pemeriksaan Diagnostik

1. Laboratorium

a) Pemeriksaan sampel urin

Pemeriksaan sampel urin menunjukkan adanya proteinuri (adanya protein di dalam urin).

b) Pemeriksaan darah
Hipoalbuminemia dimana kadar albumin kurang dari 30 gram/liter.
Hiperkolesterolemia (kadar kolesterol darah meningkat), khususnya peningkatan Low Density

Lipoprotein (LDL), yang secara umum bersamaan dengan peningkatan VLDL.


Pemeriksaan elektrolit, ureum dan kreatinin, yang berguna untuk mengetahui fungsi ginjal

2. Pemeriksaan lain

Pemeriksaan lebih lanjut perlu dilakukan apabila penyebabnya belum diketahui secara jelas,

yaitu:

a. Biopsi ginjal (jarang dilakukan pada anak-anak ).

b. Pemeriksaan penanda Auto-immune (ANA, ASOT, C3, cryoglobulins, serum electrophoresis).

2.1.7 Komplikasi
1. Trombosis vena, akibat kehilangan anti-thrombin 3, yang berfungsi untuk mencegah terjadinya

trombosis vena ini sering terjadi pada vena renalis. Tindakan yang dilakukan untuk mengatasinya

adalah dengan pemberian heparin.

2. Infeksi (seperti haemophilus influenzae and streptococcus pneumonia), akibat kehilangan

immunoglobulin.

3. Gagal ginjal akut akibat hipovolemia. Disamping terjadinya penumpukan cairan di dalam

jaringan, terjadi juga kehilangan cairan di dalam intravaskuler.

4. Edema pulmonal, akibat kebocoran cairan, kadang-kadang masuk kedalam paru-paru yang

menyebabkan hipoksia dan dispnea.

2.1.8 Penatalaksanaan Medis


A. Suportif

1. Menjaga pasien dalam keadaan tirah baring

2. Memonitor dan mempertahankan volume cairan tubuh yang normal.

a. Memonitor urin output

b. Pemeriksaan tekanan darah secara berkala

c. Pembatasan cairan, sampai 1 liter

3. Memonitor fungsi ginjal

a. Lakukan pemeriksaan elektrolit, ureum, dan kreatinin setiap hari.

b. Hitung GFR/LFG setiap hari.

Klasifikasi atas dasar derajat penyakit, dibuat atas dasar LFG, yang dihitung menggunakan

rumus Kockcroft-Gault sebagai berikut:

LFG (ml/menit/1,73m2)=

*pada perempuan dikali 0,85

Dasar Derajat Penyakit


LFG
Derajat Penjelasan
(ml/mn/1.73m2)
1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau 90

2 Kerusakan ginjal dengan LFG ringan 60-89

3 Kerusakan ginjal dengan LFG sedang 30-58

4 Kerusakan ginjal dengan LFG berat 15-29

5 Gagal ginjal < 15 atau dialisis


(Ilmu Penyakit Dalam Jilid I, 2006)

c. Mencegah komplikasi

d. Pemberian transfusi albumin secara umum tidak dipergunakan Karena efek kehilangan hanya

bersifat sementara.

B. Tindakan khusus

1. Pemberian diuretik (Furosemid IV).

2. Pemberian imunosupresi untuk mengatasi glomerulonefritis (steroids, cyclosporin)

3. Pembatasan glukosa darah, apabila diabetes mellitus

4. Pemberian albumin-rendah garam bila diperlukan

5. Pemberian ACE inhibitor: untuk menurunkan tekanan darah.

6. Diet tinggi protein; cegah makanan tinggi garam

7. Antibiotik profilaktik spektrum luas untuk menurunkan resiko infeksi sampai anak mendapat

pengurangan dosis steroid secara bertahap

8. Irigasi mata/krim oftalmik untuk mengatasi iritasi mata pada edema yang berat

2.2 Konsep Dasar Asuhan Keperawatan


2.1.1 Pengkajian
1. Identitas :
Umumnya 90 % dijumpai pada kasus anak. Enam kasus pertahun setiap 100.000 anak

terjadi pada usia kurang dari 14 tahun. Rasio laki-laki dan perempuan yaitu 2 : 1. Pada daerah

endemik malaria banyak mengalami komplikasi nefrotic syndrome.

2. Keluhan Utama
Keluhan utama yang sering dikeluhkan adalah adanya bengkak pada wajah atau kaki.
3. Riwayat Penyakit Sekarang ( RPS )
Pada pengkajian riwayat kesehatan sekarang, perawat menanyakan hal berikut: Kaji berapa

lama keluhan adanya perubahan urine output, kaji onset keluhan bengkak pada wajah dan kaki

apakah disertai dengan adanya keluhan pusing dan cepat lelah, kaji adanya anoreksia pada klien,

kaji adanya keluhan sakit kepala dan malaise


4. Riwayat Penyakit Dahulu (RPD)
Pada pengkajian riwayat kesehatan dahulu, perawat perlu mengkaji apakah klien pernah

menderita penyakit edema, apakah ada riwayat dirawat dengan penyakit diabetes melitus dan

penyakit hipertensi pada masa sebelumnya. Penting dikaji tentang riwayat pemakaian obat-

obatan masa lalu adanya riwayat alergi terhadap jenis obat dan dokumentasikan.
5. Riwayat Pada pengkajian psikososiokultural
Adanya kelemahan fisik, wajah, dan kaki yang bengkak akan memberikan dampak rasa

cemas dan koping yang maladaptif pada klien


6. Pemeriksaan fisik
Keadaan umum klien lemah dan terlihat sakit berat dengan tingkat kesadaran biasanya compos

mentis. Pada TTV sering tidak didapatkan adanya perubahan.


a. Sistem pernapasan.
Frekuensi pernapasan 15 32 X/menit, rata-rata 18 X/menit, efusi pleura karena distensi
abdomen
b. Sistem kardiovaskuler.
Nadi 70 110 X/mnt, tekanan darah 95/65 100/60 mmHg, hipertensi ringan bisa dijumpai.
c. Sistem persarafan.
Dalam batas normal.
d. Sistem perkemihan.
Urine/24 jam 600-700 ml, hematuri, proteinuria, oliguri.
e. Sistem pencernaan.
Diare, napsu makan menurun, anoreksia, hepatomegali, nyeri daerah perut, malnutrisi berat,
hernia umbilikalis, prolaps anii.
f. Sistem muskuloskeletal.
Dalam batas normal.
g. Sistem integumen.
Edema periorbital, ascites.
h. Sistem endokrin
Dalam batas normal
i. Sistem reproduksi
Dalam batas normal.
a. B1 (breathing)
Biasanya tidak didapatkan adanya gangguan pola napas dan jalan napas walau secara frekuensi

mengalami peningkatan terutama pada fase akut. Pada fase lanjut sering didapatkan adanya

gangguan pola napas dan jalan napas yang merupakan respons terhadap edema pulmoner dan

efusi pleura.
b. B2 (Blood)
Sering ditemukan penurunan curah jantung respon sekunder dari peningkatan beban volume.
c. B3 (Brain)
Didapatkan edema wajah terutama periorbital, sklera tidak ikterik. Status neurologis mengalami

perubahan sesuai tingkat parahnya azotemia pada sistem saraf pusat.


d. B4 (Bladder)
Perubahan warna urine output seperti warna urine berwarna kola.
e. B5 (Bowel)
Didapatkan adanya mual dan muntah, anoreksia sehingga sering didapatkan penurunan intake

nutrisi dari kebutuhan. Didapatkan asites pada abdomen.


f. B6 (Bone)
Didapatkan adanya kelemahan fisik secara umum, efek sekunder dari edema tungkai dari

keletihan fisik secara umum


7. Pemeriksaan diagnostic
Urinalisis didapatkan hematuria secara mikroskopik, proteinuria, terutama albumin. Keadaan ini

juga terjadi akibat meningkatnya permeabilitas membran glomerulus.


8. Pengkajian penatalaksanaan medis
Tujuan terapi adalah menceah terjadinya kerusakan ginjal lebih lanjut dan menurunkan resiko

komplikasi. Untuk mencapai tujuan terapi, maka penatalaksanaan tersebut, meliputi hal-hal

berikut
a. Tirah baring
b. Diuretik
c. Adenokortikosteroid, golongan prednison
d. Diet rendah natrium tinggi protein
e. Terapi cairan. Jika klien dirawat dirumah sakt , maka intake dan output diukur secara cermat dan

dicatat. Cairan diberikan untk mengatasi kehilangan cairan dan berat badan harian.

2.2.2 Diagnosa Keperawatan


A. Analisa Data

Symptom Etiologi Problem


DS :
- Klien mengeluh edema.
DO : Kelebihan volume cairan
- Tampak ada penumpukan
cairan di ekstermitas
DS :
- Klien mengeluh kurang nafsu
makan Perubahan nutrisi kurang dari
DO : kebutuhan tubuh
- Klien tampak gemuk karena
pumpukan cairan
DS :
- Klien mengeluh dehidrasi
Resiko kehilangan volume
DO :
cairan intravaskuler
- Klien tampak sianosis
- Klien tampak pucat
DS :
- Klien mengeluh malaise
Ansietas
DO :
- Klien tampak cemas

B. Diagnosa
a. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan akumulasi cairan di dalam jaringan.
b. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kehilangan nafsu makan

(anoreksia).
c. Resiko kehilangan volume cairan intravaskuler berhubungan dengan kehilangan protein, cairan

dan edema.
d. Ansietas Berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang penyakit.

2.2.3 Intervensi Keperawatan

Hari/
Dx Tujuan & kriteria hasil Intervensi Rasional
Tgl
1 Setelah dilakukan tindakana. Pantau asupan dana. Pemantauan
selama 3x24 jam diharapkan haluaran cairan membantu
Kelebihan volume cairan setiap pergantian menentukan
terkontrol dengan Kriteria status cairan
Hasil: b. Timbang berat pasien.
a. Pasien tidak menunjukan badan tiap hari b. Penimbangan
tanda-tanda akumulasi cairan. berat badan
b. Pasien mendapatkan volume harian adalah
cairan yang tepat. pengawasan
status cairan
terbaik.
Peningkatan berat
badan lebih dari
0,5 kg/hari diduga
ada retensi cairan.
c. Suatu diet rendah
c. Programkan pasien natrium dapat
pada diet rendah mencegah retensi
natrium selama fase cairan
edema
d. Edema terjadi
d. Kaji kulit, wajah,
terutama pada
area tergantung
jaringan yang
untuk edema.
tergantung pada
Evaluasi derajat
tubuh.
edema (pada skala
+1 sampai +4).
e. Awasi pemerikasaan
e. Mengkaji
laboratorium,
berlanjutnya dan
contoh: BUN,
penanganan
kreatinin, natrium, disfungsi/gagal
kalium, Hb/ht, foto ginjal. Meskipun
dada kedua nilai
mungkin
meningkat,
kreatinin adalah
indikator yang
lebih baik untuk
fungsi ginjal
karena tidak
dipengaruhi oleh
hidrasi, diet, dan
katabolisme
jaringan.
f. Berikan obat sesuai f. Diberikan dini
indikasi Diuretik, pada fase
contoh furosemid oliguria untuk me
(lasix), mannitol ngubah ke fase
(Os-mitol; nonoliguria, untu
k melebarkan
lumen tubular
dari
debris, menurunk
an hiperkalimea,
dan
meningkatkan
volume urine
adekuat
2 Setelah dilakukan tindakana. Kaji / catata. Membantu dan
selama 3x24 jam diharapkan pemasukan diet. mengidentifikasi
kebutuhan nutrisi terpenuhi defisiensii dan
dengan Kriteria hasil: Klien kebutuhan diet.
dapat Mempertahankan beratb. Timbang BB tiapb. Perubahan
badan yang diharapkan hari. kelebihan 0,5 kg
dapat
menunjukkan
perpindahan
keseimbangan
cairan.
c. Meningkatkan
c. Tawarkan perawatan
nafsu makan
mulut sebelum dan
sesudah makan .
d. Berikan makanand. meminimalkan
sedikit tapi sering. anoreksia dan
mual sehubungan
dengan status
uremik

e. Berikan diet tinggie. Memenuhi


protein dan rendah kebutuhan
garam. protein, yang
hilang bersama
urine.
f. Berikan makanan Pasien cenderung
f.
yang disukai dan mengonsumsi
menarik lebih banyak
porsi makan jika
ia diberi beberapa
makanan
kesukanannya.
g. Indikator
kebutuhan nutrisi,
g. Awasi pemeriksaan pembatasan, dan
laboratorium, efektivitas terapi.
contoh: BUN,
albumin serum,
transferin, natrium,
dan kalium.
3 Setelah dilakukan tindakan a. Awasi TTV a. Hipotensi
selama 3x24 jam diharapkan ortostatik dan
Resiko kehilangan cairan tidak takikardi indikasi
terjadi dengan Kriteria hipovolemia.
Hasil: Tidak ditemukannya b. Membantu
atau tanda-b. Kaji masukan dan memperkirakan
tandanya kehilangan cairan haluaran cairan. kebutuhan
intravaskuler seperti: Hitung kehilangan penggantian
a. Masukan dan keluaran tak kasat mata. cairan.
seimbang c. Membran mukosa
b. Tanda vital yang stabil c. Kaji membran kering, turgor
c. Elektrolit dalam batas normal mukosa mulut dan kulit buruk, dan
d. Hidrasi adekuat yang
elastisitas turgor penurunan nadi
ditunjukkan dengan kulit dalah indikator
turgor kulit yang normal dehidrasi
d. penggantian
cairan tergantung
d. Berikan cairan dari berapa
sesuai indikasi ; banyaknya cairan
misalnya albumin yang hilang atau
dikeluarkan.
e. Pemberian cairan
parenteral
diperlukan,
dengan tujuan
e. Berikan cairan mempertahankan
parenteral sesuai n hidrasi yang
dengan petunjuk adekuat.
f. Mengkaji untuk
penanganan
medis berikutnya

f. Awasi pemerikasaan
laboratorium,
contoh protein
(albumin)
4 Setelah dilakukan tindakan a. Berikan motivasi a. Deteksi dini
selama 3x24 jam diharapkan pada keluarga untuk terhadap
Rasa cemas berkurang setelah ikut secara aktif perkembangan
mendapat penjelasan dengan dalam kegiatan klien.
kriteria: Klien mengungkapkan perawatan klien.
sudah tidak takut terhadap b. Jelaskan pada klien
tindakan perawatan, klien setiap tindakan yang b. Peran serta
tampak tenang, klien akan dilakukan. keluarga secara
kooperatif. aktif dapat
c. Observasi tingkat mengurangi rasa
kecemasan klien dan cemas klien.
respon klien c. Penjelasan yang
terhadap tindakan memadai
yang telah dilakukan memungkinkan
klien kooperatif
terhadap tindakan
yang akan
dilakukan.

2.2.4 Evaluasi
Setelah mendapat intervensi keperawatan, maka pasien dengan sindrom nefrotik diharapkan

sebagai berikut:
1. Kelebihan volume cairan teratasi
2. Meningkatnya asupan nutrisi
3. Peningkatan kemampuan aktivitas sehari-hari
4. Penurunan kecemasan

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Sindrom nefrotik adalah suatu kumpulan gejala gangguan klinis, meliputi hal-hal:

Proteinuria masif> 3,5 gr/hr, Hipoalbuminemia, Edema, Hiperlipidemia. Manifestasi dari


keempat kondisi tersebut yang sangat merusak membran kapiler glomelurus dan menyebabkan

peningkatan permeabilitas glomerulus. (Muttaqin,


Sindrom nefrotik merupakan gangguan klinis ditandai oleh peningkatan protein, penurunan

albumin dalam darah (hipoalbuminemia), edema dan serum kolesterol yang tinggi dan

lipoprotein densitas rendah (hiperlipidemia). (Brunner & Suddarth, 2001).


Etiologi nefrotik sindrom dibagi menjadi 3, yaitu primer (Glomerulonefritis dan nefrotik

sindrom perubahan minimal), sekunder (Diabetes Mellitus, Sistema Lupus Erimatosis, dan

Amyloidosis), dan idiopatik (tidak diketahui penyebabnya).Tanda paling umum adalah

peningkatan cairan di dalam tubuh. Sehingga masalah keperawatan yang mungkin muncul adalah

kelebihan volume cairan berhubungan, perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan, resiko

kehilangan volume cairan intravaskuler, dan kecemasan.


3.2 Saran

Demikian makalah yang kami sampaikan. Kami berharap agar makalah yang kami buat ini

dapat bermanfaat bagi para dosen, teman-teman dan pembaca sekalian.

Diposkan 3rd March 2014 oleh Riza Munandar


0

Tambahkan komentar

Riza Munandar

Klasik

Kartu Lipat
Majalah

Mozaik

Bilah Sisi

Cuplikan

Kronologis

1.

Mar

Asuhan Keperawatan pada Bayi dengan


Masalah Asfiksia
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bayi baru lahir atau neonatus meliputi umur 0 28 hari. Kehidupan pada masa

neonatus ini sangat rawan oleh karena memerlukan penyesuaian fisiologik agar bayi di

luar kandungan dapat hidup sebaik-baiknya. Hal ini dapat dilihat dari tingginya angka

kesakitan dan angka kematian neonatus. Diperkirakan 2/3 kematian bayi di bawah umur

satu tahun terjadi pada masa neonatus. Peralihan dari kehidupan intrauterin ke

ekstrauterin memerlukan berbagai perubahan biokimia dan faali. Asfiksia neonatus


adalah keadaan bayi baru lahir yang tidak dapat bernafas secara spontan dan teratur

dalam satu menit setelah lahir (Mansjoer, 2009).

Penilaian bayi pada kelahiran adalah untuk mengetahui derajat vitalitas fungsi tubuh.

Derajat vitalitas adalah kemampuan sejumlah fungsi tubuh yang bersifat essensial dan

kompleks untuk kelangsungan hidup bayi seperti pernafasan, denyut jantung, sirkulasi

darah dan reflek-reflek primitif seperti menghisap dan mencari puting susu. Bila tidak

ditangani secara tepat, cepat dan benar keadaan umum bayi akan menurun dengan cepat

dan bahkan mungkin meninggal. Pada beberapa bayi mungkin dapat pulih kembali

dengan spontan dalam 10 30 menit sesudah lahir namun bayi tetap mempunyai resiko

tinggi untuk cacat.

1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Mahasiswa mampu membuat asuhan keperawatan pada klien dengan masalah

asfiksia neonatorum.
1.2.2 Tujuan Khusus
1. Mahasiswa mampu membuat pengkajian pada klien dengan masalah

asfiksia neonatorum.
2. Mahasiswa mampu menegakkan diagnose pada klien dengan masalah

asfiksia neonatorum.
3. Mahasiswa mampu mengimplementasi pada klien dengan masalah asfiksia

neonatorum.
4. Mahasiswa mampu mengevaluasi pada klien dengan masalah asfiksia

neonatorum.
1.3 Manfaat
1.3.1 Bagi Mahasiswa
Dengan adanya makalah yang membahas mengenai materi asfeksia diharapkan

kepada mahasiswa agar dapat mengetahui penyebab asfeksia dan

pencegahannya agar terhindar dari asfeksia baik untuk dirinya sendiri maupun

keluarga
1.3.2 Bagi Masyarakat
Dengan adanya makalah ini kita sebagai mahasiswa dapat mengetahui

mengenai penyaki asfeksiadan memberikan penyuluhan kepada masyarak agar

mampu menjaga kesehatan anaknya.

1.3.3 Bagi Institusi

Dengan adanya makalah ini diharapkan dapat bermanfaat dan menjadi refrensi

untuk mendapat pengetahuan tentang bahayanya penyakit asfeksia yang dapat

menyebabkan kematian

BAB 2

LANDASAN TEORI
2.1 Konsep Dasar Teori
2.1.1 Pengertian Asfiksia Neonatorum
Asfiksia berarti hipoksia yang progresif, penimbunan CO2 dan asidosis, bila

proses ini berlangsung terlalu jauh dapat mengakibatkan kerusakan otak atau

kematian. Asfiksia juga dapat mempengaruhi fungsi organ vital lainnya.

(Saiffudin, 2009).
Asfiksia neonatorum adalah keadaan dimana bayi tidak dapat segera

bernafas secara spontan dan teratur setelah lahir. (Sarwono, 2007).


Asfiksia neonatus adalah keadaan bayi yang tidak dapat bernafas spontan

dan teratur, sehingga dapat meurunkan O2 dan makin meningkatkan CO2 yang

menimbulkan akibat buruk dalam kehidupan lebih lanjut. (Manuaba, 2008).


Asfiksia Neonatus adalah suatua keadaan bayi baru lahir yang tidak

segera bernafas secara spontan dan teratur setelah dilahirkan. (Mochtar, 2008).
2.1.2 Etiologi
1. Faktor ibu
a. Hipoksia ibu
Dapat terjadi karena hipoventilasi akibat pemberian obat analgetik atau

anestesi dalam, dan kondisi ini akan menimbulkan hipoksia janin dengan

segala akibatnya.
b. Gangguan aliran darah uterus
Berkurangnya aliran darah pada uterus akan menyebabkan berkurangnya

aliran oksigen ke plasenta dan juga ke janin, kondisi ini sering ditemukan

pada anemia, hipotensi mendadak pada ibu karena perdarahan,


2. Faktor plasenta
Pertukaran gas antara ibu dan janin dipengaruhi oleh luas dan kondisi

plasenta, asfiksia janin dapat terjadi bila terdapat gangguan mendadak pada

plasenta, misalnya perdarahan plasenta, solusio plasenta.


3. Faktor fetus
Kompresi umbilikus akan mengakibatkan terganggunya aliran darah dalam

pembuluh darah umbilikus dan menghambat pertukaran gas antara ibu dan

janin. Gangguan aliran darah ini dapat ditemukan pada keadaan tali pusat

yang tertekan, menumbung,dll.


4. Faktor neonates
Depresi pusat pernapasan pada bayi baru lahir dapat terjadi karena beberapa

hal yaitu pemakaian obat anestesi yang berlebihan pada ibu.


2.1.3 Manifestasi Klinis
Pada asfiksia tingkat selanjutnya akan terjadi perubahan kardiovaskuler yang

disebabkan oleh beberapa keadaan diantaraya :


a. Fungsi jantung terganggu akibat peningkatan beban kerja jantung
b. Pengisian udara alveolus yang kurang adekuat akan menyebabkan tetap

tingginya resistensi pembuluh darah paru sehingga sirkulasi darah

mengalami gangguan.
Gejala klinis :
Bayi yang mengalami kekurangan O2 akan terjadi pernafasan yang cepat

dalam periode yang singkat apabila asfiksia berlanjut, gerakan pernafasan akan

berhenti, denyut jantung juga mulai menurun, sedangkan tonus neuromuscular

berkurang secara berangsur-agsur berkurang dari bayi memasuki periode apneu

primer.
Gejala dan tanda pada asfiksia neunatorum yang khas antara lain meliputi

pernafasan cepat, pernafasan cuping hidung, sianosis, nadi cepat


Gejala lanjut pada asfiksia :
1. Pernafasan megap-megap yang dalam.
2. Denyut jantung terus menurun.
3. Tekanan darah mulai menurun.
4. Bayi terlihat lemas (flaccid).
5. Menurunnya tekanan O2 (PaO2).
6. Meningginya tekanan CO2 (PaO2).
7. Terjadinya perubahan sistem kardiovaskuler.
2.1.4 Patofisiologi
Bila janin kekurangan O2 dan kadar CO2 bertambah, timbulah rangsangan

terhadap nervus vagus sehingga DJJ (denyut jantung janin) menjadi lambat.

Jika kekurangan O2 terus berlangsung maka nervus vagus tidak dapat

dipengaruhi lagi. Timbulah kini rangsangan dari nervus simpatikus sehingga

DJJ menjadi lebih cepat akhirnya ireguler dan menghilang. Janin akan

mengadakan pernafasan intrauterin dan bila kita periksa kemudian terdapat

banyak air ketuban dan mekonium dalam paru, bronkus tersumbat dan terjadi

atelektasis. Bila janin lahir, alveoli tidak berkembang.


Apabila asfiksia berlanjut, gerakan pernafasan akan ganti, denyut jantung

mulai menurun sedangkan tonus neuromuskuler berkurang secara berangsur-

angsur dan bayi memasuki periode apneu primer. Jika berlanjut, bayi akan

menunjukkan pernafasan yang dalam, denyut jantung terus menurun , tekanan

darah bayi juga mulai menurun dan bayi akan terluhat lemas (flascid).

Pernafasan makin lama makin lemah sampai bayi memasuki periode apneu

sekunder. Selama apneu sekunder, denyut jantung, tekanan darah dan kadar O2

dalam darah (PaO2) terus menurun. Bayi sekarang tidak bereaksi terhadap

rangsangan dan tidak akan menunjukkan upaya pernafasan secara spontan.

Kematian akan terjadi jika resusitasi dengan pernafasan buatan dan pemberian

tidak dimulai segera.


2.1.5 Klasifikasi

Tanda 0 1 2 Jumlah Nilai


Frekuensi Tidak Ada Kurang Lebih dari
dari 100 100
Jantung X/menit X/menit
Usaha Tidak Ada Lambat, Menangis
Tidak Kuat
Bernafas Teratur
Tonus Lumpuh Ekstremitas Gerakan
Fleksi Aktif
Otot Sedikit
Refleks Tidak Ada Gerakan Menangis
Sedikit
Warna Biru/Pucat Tubuh Tubuh dan
Kemerahan Ekstremita
Kulit , s
Ekstremitas Kemerahan
Biru

a. Nilai 0-3 : Asfiksia berat


b. Nilai 4-6 : Asfiksia sedang
c. Nilai 7-10 : Normal
Dilakukan pemantauan nilai apgar pada menit ke-1 dan menit ke-5, bila

nilai apgar 5 menit masih kurang dari 7 penilaian dilanjutkan tiap 5 menit

sampai skor mencapai 7. Nilai apgar berguna untuk menilai keberhasilan

resusitasi bayi baru lahir dan menentukan prognosis, bukan untuk memulai

resusitasi karena resusitasi dimulai 30 detik setelah lahir bila bayi tidak

menangis. (bukan 1 menit seperti penilaian skor apgar)


Asfiksia neonatorum di klasifikasikan :
1. Asfiksia Ringan ( vigorus baby)
Skor APGAR 7-10, bayi dianggap sehat dan tidak memerlukan tindakan

istimewa.
2. Asfiksia sedang ( mild moderate asphyksia)
Skor APGAR 4-6, pada pemeriksaan fisik akan terlihat frekuensi jantung

lebih dari 100/menit, tonus otot kurang baik atau baik, sianosis, reflek

iritabilitas tidak ada.


3. Asfiksia Berat
Skor APGAR 0-3, pada pemeriksaan fisik ditemukan frekuensi jantung

kurang dari 100 x permenit, tonus otot buruk, sianosis berat, dan kadang-

kadang pucat, reflek iritabilitas tidak ada. Pada asphyksia dengan henti

jantung yaitu bunyi jantung fetus menghilang tidak lebih dari 10 menit

sebelum lahir lengkap atau bunyi jantung menghilang post partum,

pemeriksaan fisik sama pada asphyksia berat.


2.1.6 Komplikasi
Komplikasi yang muncul pada asfiksia neonatus antara lain :
1. Hipoksia dan iskemia otak
Pada penderita asfiksia dengan gangguan fungsi jantung yang telah berlarut

sehingga terjadi renjatan neonatus, sehingga aliran darah ke otak pun akan

menurun, keadaaan ini akan menyebabkan hipoksia dan iskemik otak.


2. Anuria atau oliguria
Disfungsi ventrikel jantung dapat pula terjadi pada penderita asfiksia,

keadaan ini dikenal istilah disfungsi miokardium pada saat terjadinya, yang
disertai dengan perubahan sirkulasi. Pada keadaan ini curah jantung akan

terganggu sehingga darah yang seharusnya dialirkan keginjal menurun. Hal

inilah yang menyebabkan terjadinya pengeluaran urine sedikit.


3. Koma
Apabila pada pasien asfiksia berat segera tidak ditangani akan menyebabkan

koma karena beberapa hal diantaranya hipoksemia dan perdarahan pada

otak.
2.1.7 Pemeriksaan Diagnostic
Asfiksia yang terjadi pada bayi biasanya merupakan kelanjutan dari

hipoksia janin. Diagnosis hipoksia janin dapat dibuat dalam persalinan dengan

ditemukannya tanda-tanda gawat janin. Tiga hal yang perlu mendapat perhatian

yaitu :
1. Denyut jantung janin
Frekuensi normal ialah antara 120 dan 160 denyutan/menit, selama his

frekuensi ini bisa turun, tetapi di luar his kembali lagi kepada keadaan

semula. Peningkatan kecepatan denyut jantung umumnya tidak banyak

artinya, akan tetapi apabila frekuensi turun sampai di bawah 100 kali

permenit di luar his, dan lebih-lebih jika tidak teratur, hal itu merupakan

tanda bahaya. Di beberapa klinik elektrokardigraf janin digunakan untuk

terus-menerus menghadapi keadaan denyut jantung dalam persalinan.


2. Mekonium dalam air ketuban
Mekonium pada presentasi sungsang tidak ada artinya, akan tetapi pada

presentasi kepala mungkin menunjukkan gangguan oksigenisasi dan harus

diwaspadai. Adanya mekonium dalam air ketuban pada presentasi kepala

dapat merupakan indikasi untuk mengakhiri persalinan bila hal itu dapat

dilakukan dengan mudah.


3. Pemeriksaan pH darah janin
Dengan menggunakan amnioskop yang dimasukkan lewat serviks dibuat

sayatan kecil pada kulit kepala janin, dan diambil contoh (sampel) darah

janin. Darah ini diperiksa pH-nya. Adanya asidosis menyebabkan turunnya

pH. Apabila pH itu turun sampai di bawah 7,2 hal itu dianggap sebagai

tanda bahaya gawat janin mungkin disertai asfiksia.


Beberapa pemeriksaan diagnostik yang dilakukan untuk mendiagnosis adanya

asfiksia pada bayi (pemeriksaan diagnostik) yaitu:


1. Analisa gas darah
2. Elektrolit darah
3. Gula darah
4. Berat bayi
5. USG ( Kepala )
6. Penilaian APGAR score
7. Pemeriksaan EGC dab CT- Scan
2.1.8 Penatalaksanaan
Tindakan untuk mengatasi asfiksia neonatorum disebut resusitasi bayi baru

lahir yang bertujuan untuk mempertahankan kelangsungan hidup bayi dan

membatasi gejala sisa yang mungkin muncul. Tindakan resusitasi bayi baru

lahir mengikuti tahapan-tahapan yang dikenal dengan ABC resusitasi :


1. Memastikan saluran nafas terbuka :
a. Meletakan bayi dalam posisi yang benar
b. Menghisap mulut kemudian hidung kalau perlu trachea
c. Bila perlu masukan ET untuk memastikan pernapasan terbuka
2. Memulai pernapasan :
a. Lakukan rangsangan taktil. Beri rangsangan taktil dengan menyentil

atau menepuk telapak kaki. Lakukan penggosokan punggung bayi

secara cepat, mengusap atau mengelus tubuh, tungkai dan kepala bayi.
b. Bila perlu lakukan ventilasi tekanan positif.
3. Mempertahankan sirkulasi darah :
Rangsang dan pertahankan sirkulasi darah dengan cara kompresi dada atau

bila perlu menggunakan obat-obatan


Cara resusitasi dibagi dalam tindakan umum dan tindakan khusus :
1. Tindakan umum
a. Pengawasan suhu
b. Pembersihan jalan nafas
c. Rangsang untuk menimbulkan pernafasan
2. Tindakan khusus
a. Asphyksia berat
Resusitasi aktif harus segera dilaksanakan, langkah utama memperbaiki

ventilasi paru dengan pemberian O2 dengan tekanan, cara terbaik

dengan intubasi endotrakeal lalu diberikan O2 tidak lebih dari 30

mmHg. Asphiksia berat hampir selalu disertai asidosis, koreksi dengan

bikarbonat natrium 2-4 mEq/kgBB, diberikan pula glukosa 15-20 %

dengan dosis 2-4ml/kgBB. Kedua obat ini disuntikan kedalam intra

vena perlahan melalui vena umbilikalis, reaksi obat ini akan terlihat

jelas jika ventilasi paru sedikit banyak telah berlangsung. Usaha

pernapasan biasanya mulai timbul setelah tekanan positif diberikan 1-3

kali, bila setelah 3 kali inflasi tidak didapatkan perbaikan pernapasan

atau frekuensi jantung, maka masase jantung eksternal dikerjakan

dengan frekuensi 80-100/menit. Tindakan ini diselingi ventilasi tekanan

dalam perbandingan 1:3 yaitu setiap kali satu ventilasi tekanan diikuti

oleh 3 kali kompresi dinding toraks, jika tindakan ini tidak berhasil bayi

harus dinilai kembali, mungkin hal ini disebabkan oleh

ketidakseimbangan asam dan basa yang belum dikoreksi.


b. Asphyksia ringan dan sedang
Stimulasi agar timbul reflek pernapsan dapat dicoba, bila dalam waktu

30-60 detik tidak timbul pernapasan spontan, ventilasi aktif harus

segera dilakukan, ventilasi sederhana dengan kateter O2 intranasal

dengan aliran 1-2 lt/mnt, bayi diletakkan dalam posisi dorsofleksi

kepala. Kemudian dilakukan gerakan membuka dan menutup nares dan

mulut disertai gerakan dagu keatas dan kebawah dengan frekuensi 20


kali/menit, sambil diperhatikan gerakan dinding toraks dan abdomen.

Bila bayi memperlihatkan gerakan pernapasan spontan, usahakan

mengikuti gerakan tersebut, ventilasi dihentikan jika hasil tidak dicapai

dalam 1-2 menit, sehingga ventilasi paru dengan tekanan positif secara

tidak langsung segera dilakukan, ventilasi dapat dilakukan dengan dua

cara yaitu dengan dari mulut ke mulut atau dari ventilasi ke kantong

masker. Pada ventilasi dari mulut ke mulut, sebelumnya mulut penolong

diisi dulu dengan O2, ventilasi dilakukan dengan frekuensi 20-30 kali

permenit dan perhatikan gerakan nafas spontan yang mungkin timbul.

Tindakan dinyatakan tidak berhasil jika setelah dilakukan berberapa

saat terjadi penurunan frekuensi jantung atau perburukan tonus otot,

intubasi endotrakheal harus segera dilakukan, bikarbonat natrium dan

glukosa dapat segera diberikan, apabila 3 menit setelah lahir tidak

memperlihatkan pernapasan teratur, meskipun ventilasi telah dilakukan

dengan adekuat.
2.2 Konsep Asuhan Keperawatan
2.2.1 Pengkajian
a. Biodata
b. Riwayat Kesehatan
1. Keluhan utama
Bayi baru lahir mengalami bradipneu, denyut jantung dan tekanan darah

bayi menurun, sianosis, gerakan ekstremitas fleksi sedikit, dan gerakan

reflexs sedikit.
2. Riwayat keluhan utama
Seorang ibu prepartum masuk rumah sakit diantar oleh suaminya pada

tanggal 22 mei 2011, sebelum melahirkan ibu tersebut pernah melakukan

pemeriksaan kehamilan dan anamnese didaptkan hasil bahwa ibu memiliki


riwayat anemia pada trimester ke 3. Setelah diberikan tindakan pengobatan

berupa pemberian tablet zat besi namun ibu tersebut kurang menunjukkan

perbaikan akan kondisi keadaannya. Kemudian pada tanggal 23 mei 2011

tepat pukul. 19.00 WITA ibu tersebut melahirkan seorang bayi laki-laki

dengan kondisi bradipneu: 25x/m, denyut jantung menurun: 90x/m, tekanan

darah: 70/40mmHg, sianosis dan gerakan ekstremitas dan reflexs sedikit.


3. Riwayat Kesehatan Sekarang:
Bayi baru lahir mengalami bradipneu, denyut jantung bayi dan tekanan

darah menurun, bayi nampak sianosis dan gerakan ekstremitas fleksi sedikit

dan gerakan reflexs sedikit segera setelah bayi tersebut dilahirkan.


4. Riwayat Kesehatan masa lalu:
A. Prenatal care
a. Pemeriksaan kehamilan : 3 kali
b. Keluhan selama hamil : sering pusing, cepat lelah, mata

berkunang-kunang, dan malaise.


c. Kenaikan BB selama hamil : 5 Kg
B. Natal
a. Tempat melahirkan : Rumah Sakit Umum Provinsi
b. Jenis persalinan : Normal
c. Penolong persalinan : Bidan
d. Kesulitan lahir normal : Ibu kesulitan mengedan karena ibu cepat

lelah
C. Post natal
a. Kondisi bayi : BB lahir 2.400 gram, PB: 40 cm
b. Bayi mengalami nafas lambat, denyut jantung bayi menurun
c. Bayi tidak mengalami kemerahan dan nampak pucat.
d. Gerakan reflex sedikit dan tonus otot bayi menurun
c. Riwayat Tumbih Kembang
Pertumbuhan Fisik
1. Berat Badan Lahir : 2400 gr
2. Tinggi Badan : 40 cm
3. Lingkar kepala : 30 cm
4. Lingkar dada : 28 cm
5. Lingkar lengan atas : 12 cm
6. Lingkar perut : 50 cm
d. Reaksi Hospitalisasi
Pemahaman keluarga tentang sakit dan rawat inap
1. Orang tua mengatakan merasa cemas dan kawatir mengenai keadaan

bayinya.
2. Orang tua selalu menanyakan apakah sakit bayinya dapat sembuh.
3. Orang tua berharap agar anaknya cepat sembuh.
e. Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum Klien : klien nampak bradipneu, denyut jantung dan

tekanan darah menurun, tampak sianosis, gerakan ekstremitas dan reflexs

sedikit.
1. Sistem Pernapasan
a. Hidung: Simetris kiri kanan,
b. Leher: Tidak ada pembesaran kelenjar, tidak ada tomor
c. Dada :
- Bentuk dada : tidak simetris
- Gerakan dada : dada dan abdomen tidak bergerak secara bersamaan,
- Ekspansi dada berkurang
- Suara napas melemah
2. Sistem Cardio Vaskuler
a. Capillary Refilling Time: >2deti
b. Denyut jantung : 110x/m
c. Tekanan darah menurun: 70/40mmHg
3. System Syaraf
a. Bayi mengalami penurunan kesadaran
4. System Muskulo Skeletal
a. Terjadi penurunan tonus otot bayi
b. Gerakan ekstremitas fleksi pada bayi sedikit
c. Bayi nampak lemas dan lemah
5. System Integumen
a. Bayi mengalami sianosis pada kulit dan kuku
b. CRT: > 3 detik
c. Bayi nampak pucat
6. System Endokrim
a. Kelenjar Thyroid : Tidak tampak pembesaran kelenjar tiroid
7. System Perkemihan
a. Tidak ada edema
b. Tidak ada bendungan kandung kemih
8. System Reproduksi
a. Penis : Bersih
b. Tidak ada kelainan pada area genetalia
2.2.2 Diagnosa Keperawatan
a. Analisa Data
Symptom Etiologi Problem b. Rumusan
DS : Paralisis pusat Bersihan jalan tidak
Diagnosa
DO : efektif 1. Bersihan jalan
- Bayi tampak sesak pernafasan
nafas tidak
Asfiksia
efektif b.d

Paru-paru terisi produksi mukus

banyak.
cairan

Bersihan jalan nafas


tidak efektif
DS : Janin kekurangan Pola nafas tidak efektif
DO :
- Bayi mengalami O2 dan kadar CO2
bradipneu : 25x/m meningkat
- Suara nafas Nafas cepat
melemah
- Ekspansi dada
Apneu
berkurang

DJJ dan TD

menurun

Pola nafas tidak efektif


DS : Janin Resiko cedera
DO :

Kekurangan O2 dan
kadar CO2 meningkat

Suplai O2 ke

paru

Kerusakan Otak

Resiko cedera
2. Pola nafas tidak efektif b.d hipoventilasi/ hiperventilasi
3. Risiko cedera b.d anomali kongenital tidak terdeteksi atau tidak

teratasi pemajanan pada agen-agen infeksius.


2.1.3 Intervensi

No
Tujuan & Kriteria Hasil Intervensi Rasional
Dx
1 Klien memperlihatkan 1.Kaji tanda vital 1.Sebagai
bersihan jalan nafasnya pernafasan, nadi, indicator adanya
efektif, dengan kriteria : tekanan darah. gangguan dlm
1.Nafas Bayi kembali system pernafasan
normal
2.Bayi aktif.
3.Pada pemeriksaan 2.Kaji frekwensi, 2.Berguna dalam
auskultasi tidak kedalaman evaluasi derajat
ditemukan lagi bunyi pernafasan dan distress
tambahan pernafasan tanda-tanda sianosis pernafasan
setiap 2 jam. adan/atau
kronisnya proses
penyakit. Sianosis
mungkin perifer
(terlihat pada
kuku) atau sentral
3.Dorong (terlihat sekitar
pengeluaran bibir dan atau
sputum, pengisapan telinga). Keabu-
(suction) bila abuan dan
diindikasikan. sianosis sentral
mengindikasikan
beratnya
hipoksemia.
4.Lakukan palpasi 3.Kental, tebal
fokal fremitus dan banyaknya
sekresi adalah
5.Observasi tingkat sumber utama
kesadaran, selidiki gangguan
adanya perubahan pertukaran gas
pada jalan nafas
kecil, pengisapan
dibutuhkan bila
batuk tidak
efektif.
6.Kolaborasi 4.Penurunan
dengan tim medis getaran vibrasi
pemberian O2 diduga ada
sesuai dengan pengumpulan
indikasi cairan atau udara
terjebak.
5.Gelisah dan
ansietas adalah
manifestasi umum
pada hipoksia,
GDA memburuk
disertai
bingung/somnole
n menunjukkan
disfungsi serebral
yang berhubungan
dengan
hipoksemia.
6.Dapat
memperbaiki
/mencegah
memburuknya
hipoksia.

2 Klien memperlihatkan 1.Kaji frekwensi, 1.Kecepatan


pola nafas yang efektif, kedalaman biasanya
dengan Kriteria hasil : pernafasan dan meningkat apabila
1. Frekwensi dan ekspansi dada. terjadi
kedalaman pernafasan peningkatan kerja
dalam rentang normal 2.Catat upaya nafas
2. Bayi aktif
pernafasan, 2.Penggunaan
termasuk otot bantu
penggunaan otot pernafasan
bantu pernafasan sebagai akibat
dari penigkatan
3.Auskulatasi bunyi kerja nafas
nafas dan catat 3.Bunyi nafas
adanya bunyi nafas menurun/tak ada
seperti mengi, bila jalan nafas
krekels,dll obstruksi dan
adanya bunyi
nafas ronki dan
mengi
4.Tinggikan kepala menandakan
bayi dan bantu adanya kegagalan
mengubah posisi pernafasan
4.Untuk
5.Berikan oksigen memungkinkan
tambahan ekspansi paru dan
memudahkan
pernafasan.
5.Memaksimalkan
bernafas dan
menurunkan kerja
nafas

3 Klien tampak kooperatif 1. Cuci tangan 1.Upaya untuk


dengan kriteria: setiap sebelum dan menghindari dari
1. Bebas dari cidera/ sesudah merawat kuman dari luar
komplikasi. bayi. agar tidak terjadi
2.Aktivitas yang tepat 2.Pakai sarung infeksi
dari level perkembangan tangan steril.
anak 3.Lakukan 2.Upaya agar
3.Mendeskripsikan pengkajian fisik tidak terjadi
teknik pertolongan secara rutin cedera
pertama. terhadap bayi baru
lahir, perhatikan
pembuluh darah tali
pusat dan adanya
anomali. 3.Memandirikan
4.Ajarkan keluarga pasien dan
tentang tanda dan keluarga dalam
gejala infeksi dan hal merawat bayi
melaporkannya
pada pemberi
pelayanan 4.Memberikan
kesehatan. pertahanan yang
5.Berikan agen lengkap pada bayi
imunisasi sesuai sesuai dengan
indikasi waktu yang telah
(imunoglobulin di tetapkan
hepatitis B dari
vaksin hepatitis B
bila serum ibu
mengandung
antigen permukaan
hepatitis B (Hbs
Ag), antigen inti
hepatitis B (Hbs
Ag) atau antigen E
(Hbe Ag).

2.2.4 Implementasi
Pada tahap implementasi atau pelaksanaan dari asuhan keperawatan

meninjau kembali dari apa yang telah direncanakana atau intervensi sebelumnya,

dengan tujuan utama pada pasien dapat mencakup pola napas yang efektif,

peredaan nyeri, mempertahankan pola eliminasi yang baik, pemenuhan istirahat

tidur yang adekuat, pengurangan kecemasan, peningkatan pengetahuan


2.2.5 Evaluasi
a. Klien tampak rileks dalam bernafas
b. Jalan nafas klien kembali lancar
c. Kesadaran klien kembali membaik.

BAB 3

PENUTUP

3.1.1 Kesimpulan
Asfiksia neonatus adalah keadaan bayi yang tidak dapat bernafas spontan dan
teratur, sehingga dapat meurunkan O2 dan makin meningkatkan CO2 yang
menimbulkan akibat buruk dalam kehidupan lebih lanjut.

DAFTAR PUSTAKA

A. Aziz Alimul Hidayat, Pengantar Ilmu Keperawatan 1, Jakarta, 2009, Salemba Medika

Anik Maryunani, Asuhan Bayi Baru Lahir Normal, Jakarta, 2008, Trans Info Media, Jakarta

Ai Yeyeh Rukiah dan Lia Yulianti, Am. Keb,MKM, Asuhan Neonatus, Bayi dan Anak Balita,
Jakarta, 2007, Trans Info Media Jakarta

Doenges E Marilynn. Rencana Asuhan Keperawatan; Jakarta, 1993. Penerbit Buku

Kedokteran ECG.

Wong Donna L, dkk. Buku Ajar Keperawatan Pediatri, Edisi 6 vol 2; Jakarta, 2009.

Penerbit Buku Kedokteran ECG.

Diposkan 5th March 2014 oleh Riza Munandar

Tambahkan komentar
2.

Mar

Asuhan Keperawatan pada Kasus


Sindrom Nefrotik
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sindrom nefrotik merupakan gangguan klinis ditandai oleh peningkatan

protein, penurunan albumin dalam darah (hipoalbuminemia), edema dan serum

kolesterol yang tinggi dan lipoprotein densitas rendah (hiperlipidemia).

Insidens lebih tinggi pada laki-laki dari pada perempuan. Mortalitas dan

prognosis anak dengan sindrom nefrotik bervariasi berdasarkan etiologi, berat, luas

kerusakan ginjal, usia anak, kondisi yang mendasari, dan responnya trerhadap

pengobatan. Sindrom nefrotik jarang menyerang anak dibawah usia 1 tahun. Sindrom

nefrotik perubahan minimal ( SNPM ) menacakup 60 90 % dari semua kasus

sindrom nefrotik pada anak. Angka mortalitas dari SNPM telah menurun dari 50 %

menjadi 5 % dengan majunya terapi dan pemberian steroid. Bayi dengan sindrom
nefrotik tipe finlandia adalah calon untuk nefrektomi bilateral dan transplantasi

ginjal.

Berdasarkan hasil penelitian univariat terhadap 46 pasien, didapatkan insiden

terbanyak sindrom nefrotik berada pada kelompok umur 2 6 tahun sebanyak 25

pasien (54,3%), dan terbanyak pada laki-laki dengan jumlah 29 pasien dengan rasio

1,71 : 1. Insiden sindrom nefrotik pada anak di Hongkong dilaporkan 2 - 4 kasus per

100.000 anak per tahun ( Chiu and Yap, 2005 ). Insiden sindrom nefrotik pada anak

dalam kepustakaan di Amerika Serikat dan Inggris adalah 2 - 4 kasus baru per

100.000 anak per tahun. Di negara berkembang, insidennya lebih tinggi. Dilaporkan,

insiden sindrom nefrotik pada anak di Indonesia adalah 6 kasus per 100.000 anak per

tahun. (Tika Putri, http://one.indoskripsi.com ) Dengan adanya insiden ini,

diharapkan perawat lebih mengenali tentang penyakit nefrotik dan mengaplikasikan

rencana keperawatan terhadap pasien nefrotik.

1.2 Tujuan Penulisan


1. Tujuan Umum
Mahasiswa mampu memberikan asuhan keperawatan pada penderita sindrom

nefrotik.

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui pengkajian sindrom nefrotik.


b. Menegakkan diagnosa keperawatan dengan sindrom nefrotik.
c. Membuat intervensi keperawatan.
d. Membuat implementasi keperawatan.
e. Membuat evaluasi keperawatan.
BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1 Konsep Dasar Teori


2.1.1 Pengertian

Sindrom nefrotik adalah suatu kumpulan gejala gangguan klinis, meliputi

hal-hal: Proteinuria masif> 3,5 gr/hr, Hipoalbuminemia, Edema, Hiperlipidemia.

Manifestasi dari keempat kondisi tersebut yang sangat merusak membran kapiler

glomelurus dan menyebabkan peningkatan permeabilitas glomerulus. (Muttaqin,

Sindrom nefrotik merupakan gangguan klinis ditandai oleh peningkatan

protein, penurunan albumin dalam darah (hipoalbuminemia), edema dan serum

kolesterol yang tinggi dan lipoprotein densitas rendah (hiperlipidemia). (Brunner

& Suddarth, 2001).

Nefrotik sindrom merupakan kelainan klinis yang ditandai dengan

proteinuria, hipoalbuminemia, edema, dan hiperkolesterolmia. (Baughman, 2000).

2.1.2 Anatomi Fisiologi

Ginjal merupakan salah satu bagian saluran kemih yang terletak

retroperitoneal dengan panjang lebih kurang 11-12 cm, disamping kiri kanan

vertebra. Pada umumnya, ginjal kanan lebih rendah dari ginjal kiri oleh karena

adanya hepar dan lebih dekat ke garis tengah tubuh. Batas atas ginjal kiri setinggi
batas atas vertebra thorakalis XII dan batas bawah ginjal setinggi batas bawah

vertebra lumbalis III.

Parenkim ginjal terdiri atas korteks dan medula. Medula terdiri atas

piramid-piramid yang berjumlah kira-kira 8-18 buah, rata-rata 12 buah. Tiap-tiap

piramid dipisahkan oleh kolumna bertini. Dasar piramid ini ditutup oleh korteks,

sedang puncaknya (papilla marginalis) menonjol ke dalam kaliks minor. Beberapa

kaliks minor bersatu menjadi kaliks mayor yang berjumlah 2 atau 3 ditiap ginjal.

Kaliks mayor/minor ini bersatu menjadi pelvis renalis dan di pelvis renalis inilah

keluar ureter.

Korteks sendiri terdiri atas glomeruli dan tubuli, sedangkan pada medula

hanya terdapat tubuli. Glomeruli dari tubuli ini akan membentuk Nefron. Satu unit

nefron terdiri dari glomerolus, tubulus proksimal, loop of henle, tubulus distal

(kadang-kadang dimasukkan pula duktus koligentes). Tiap ginjal mempunyai

lebih kurang 1,5-2 juta nefron berarti pula lebih kurang 1,5-2 juta glomeruli.

Ginjal berfungsi sebagai salah satu alat ekskresi yang sangat penting

melalui ultrafiltrat yang terbentuk dalam glomerulus. Terbentuknya ultrafiltrat ini

sangat dipengaruhi oleh sirkulasi ginjal yang mendapat darah 20% dari seluruh

cardiac output.

1. Faal glomerolus

Fungsi terpenting dari glomerolus adalah membentuk ultrafiltrat yang dapat

masuk ke tubulus akibat tekanan hidrostatik kapiler yang lebih besar


dibanding tekanan hidrostatik intra kapiler dan tekanan koloid osmotik.

Volume ultrafiltrat tiap menit per luas permukaan tubuh disebut glomerula

filtration rate (GFR). GFR normal dewasa : 120 cc/menit/1,73 m2 (luas

pemukaan tubuh). GFR normal umur 2-12 tahun : 30-90 cc/menit/luas

permukaan tubuh anak.

2. Tubulus

Fungsi utama dari tubulus adalah melakukan reabsorbsi dan sekresi dari zat-

zat yang ada dalam ultrafiltrat yang terbentuk di glomerolus.

a) Tubulus Proksimal

Tubulus proksimal merupakan bagian nefron yang paling banyak

melakukan reabsorbsi yaitu 60-80 % dari ultrafiltrat yang terbentuk di

glomerolus. Zat-zat yang direabsorbsi adalah protein, asam amino dan

glukosa yang direabsorbsi sempurna. Begitu pula dengan elektrolit (Na,

K, Cl, Bikarbonat), endogenus organic ion (citrat, malat, asam karbonat),

H2O dan urea. Zat-zat yang diekskresi asam dan basa organik.

b) Loop of henle

Loop of henle yang terdiri atas decending thick limb, thin limb dan

ascending thick limb itu berfungsi untuk membuat cairan intratubuler

lebih hipotonik.

c) Tubulus distalis
Mengatur keseimbangan asam basa dan keseimbangan elektrolit dengan

cara reabsorbsi Na dan H2O dan ekskresi Na, K, Amonium dan ion

hidrogen.

d) Duktus koligentis

Mereabsorbsi dan menyekresi kalium. Ekskresi aktif kalium dilakukan

pada duktus koligen kortikal dan dikendalikan oleh aldosteron.

2.1.3 Etiologi
Penyebab nefrotik sindrom dibagi menjadi dua yaitu sebagai berikut.
1. Primer, berkaitan dengan berbagai penyakit ginjal, seperti berikut ini.
a. Glomerulonefritis
b. Nefrotik sindrom perubahan minimal
2. Sekunder, akibat infeksi, penggunaan obat, dan penyakitsistemik lain, seperti

berikut ini.
a. Dibetes militus
b. Sistema lupus eritematosus
c. Amyloidosis
2.1.4 Patofisiologi

Glomeruli adalah bagian dari ginjal yang berfungsi untuk menyaring

darah. Pada nefrotik sindrom, glomeruli mengalami kerusakan sehingga terjadi

perubahan permeabilitas karena inflamasi dan hialinisasi sehingga hilangnya

plasma protein, terutama albumin ke dalam urine. Meskipun hati mampu

meningkatkan produksi albumin, namun organ ini tidak mampu untuk terus

mempertahankannya. Jika albumin terus menerus hilang maka akan terjadi

hipoalbuminemia.
Hilangnya protein menyebabkan penurunan tekanan onkotik yang

menyebabkan edema generalisata akibat cairan yang berpindah dari sistem

vaskuler ke dalam ruang cairan ekstraseluler. Penurunan volume cairan vaskuler

menstimulli sistem renin-angio-tensin, yang mengakibatkan disekresinya hormon

anti diuretik (ADH) dan aldosteron menyebabkan reabsorbsi natrium (Na) dan air

sehingga mengalami peningkatan dan akhirnya menambah volume intravaskuler.

Hilangnya protein dalam serum menstimulasi sintesis LDL ( Low Density

Lipoprotein) dalam hati dan peningkatan kosentrasi lemak dalam darah

(hiperlipidemia). Adanya hiperlipidemia juga akibat dari meningkatnya produksi

lipoprotein dalam hati yang timbul oleh karena kompensasi hilangnya protein, dan

lemak akan banyak dalam urin ( lipiduria ). (Toto Suharyanto, 2009).

Menurunya respon immun karena sel immun tertekan, kemungkinan

disebabkan oleh karena hipoalbuminemia, hiperlipidemia, atau defesiensi seng.

Penyebab mencakup glomerulosklerosis interkapiler, amiloidosis ginjal, penyakit

lupus erythematosus sistemik, dan trombosis vena renal

2.1.5 Manifestasi Klinis

1. Tanda paling umum adalah peningkatan cairan di dalam tubuh, diantaranya

adalah:

a) Edema periorbital, yang tampak pada pagi hari.

b) Pitting, yaitu edema (penumpukan cairan) pada kaki bagian atas.


c) Penumpukan cairan pada rongga pleura yang menyebabkan efusi pleura.

d) Penumpukan cairan pada rongga peritoneal yang menyebabkan asites.

2. Hipertensi (jarang terjadi), karena penurunan voulume intravaskuler yang

mengakibatkan menurunnya tekanan perfusi renal yang mengaktifkan sistem

renin angiotensin yang akan meningkatkan konstriksi pembuluh darah.

3. Beberapa pasien mungkin mengalami dimana urin berbusa, akibat

penumpukan tekanan permukaan akibat proteinuria.

4. Hematuri

5. Oliguri (tidak umum terjadi pada nefrotik sindrom), terjadi karena penurunan

volume cairan vaskuler yang menstimulli sistem renin-angio-tensin, yang

mengakibatkan disekresinya hormon anti diuretik (ADH)

6. Malaise

7. Sakit kepala

8. Mual, anoreksia

9. Irritabilitas

10. Keletihan

2.1.6 Pemeriksaan Diagnostik


1. Laboratorium

a) Pemeriksaan sampel urin

Pemeriksaan sampel urin menunjukkan adanya proteinuri (adanya protein

di dalam urin).

b) Pemeriksaan darah
Hipoalbuminemia dimana kadar albumin kurang dari 30 gram/liter.
Hiperkolesterolemia (kadar kolesterol darah meningkat), khususnya

peningkatan Low Density Lipoprotein (LDL), yang secara umum

bersamaan dengan peningkatan VLDL.


Pemeriksaan elektrolit, ureum dan kreatinin, yang berguna untuk

mengetahui fungsi ginjal

2. Pemeriksaan lain

Pemeriksaan lebih lanjut perlu dilakukan apabila penyebabnya belum

diketahui secara jelas, yaitu:

a. Biopsi ginjal (jarang dilakukan pada anak-anak ).

b. Pemeriksaan penanda Auto-immune (ANA, ASOT, C3, cryoglobulins,

serum electrophoresis).

2.1.7 Komplikasi

1. Trombosis vena, akibat kehilangan anti-thrombin 3, yang berfungsi untuk

mencegah terjadinya trombosis vena ini sering terjadi pada vena renalis.
Tindakan yang dilakukan untuk mengatasinya adalah dengan pemberian

heparin.

2. Infeksi (seperti haemophilus influenzae and streptococcus pneumonia), akibat

kehilangan immunoglobulin.

3. Gagal ginjal akut akibat hipovolemia. Disamping terjadinya penumpukan

cairan di dalam jaringan, terjadi juga kehilangan cairan di dalam

intravaskuler.

4. Edema pulmonal, akibat kebocoran cairan, kadang-kadang masuk kedalam

paru-paru yang menyebabkan hipoksia dan dispnea.

2.1.8 Penatalaksanaan Medis


A. Suportif

1. Menjaga pasien dalam keadaan tirah baring

2. Memonitor dan mempertahankan volume cairan tubuh yang normal.

a. Memonitor urin output

b. Pemeriksaan tekanan darah secara berkala

c. Pembatasan cairan, sampai 1 liter

3. Memonitor fungsi ginjal

a. Lakukan pemeriksaan elektrolit, ureum, dan kreatinin setiap hari.


b. Hitung GFR/LFG setiap hari.

Klasifikasi atas dasar derajat penyakit, dibuat atas dasar LFG, yang

dihitung menggunakan rumus Kockcroft-Gault sebagai berikut:

LFG (ml/menit/1,73m2)=

*pada perempuan dikali 0,85

Dasar Derajat Penyakit


LFG
Derajat Penjelasan
(ml/mn/1.73m2)
1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau 90

2 Kerusakan ginjal dengan LFG ringan 60-89

3 Kerusakan ginjal dengan LFG sedang 30-58

4 Kerusakan ginjal dengan LFG berat 15-29

5 Gagal ginjal < 15 atau dialisis

(Ilmu Penyakit Dalam Jilid I, 2006)

c. Mencegah komplikasi

d. Pemberian transfusi albumin secara umum tidak dipergunakan Karena

efek kehilangan hanya bersifat sementara.

B. Tindakan khusus

1. Pemberian diuretik (Furosemid IV).


2. Pemberian imunosupresi untuk mengatasi glomerulonefritis (steroids,

cyclosporin)

3. Pembatasan glukosa darah, apabila diabetes mellitus

4. Pemberian albumin-rendah garam bila diperlukan

5. Pemberian ACE inhibitor: untuk menurunkan tekanan darah.

6. Diet tinggi protein; cegah makanan tinggi garam

7. Antibiotik profilaktik spektrum luas untuk menurunkan resiko infeksi

sampai anak mendapat pengurangan dosis steroid secara bertahap

8. Irigasi mata/krim oftalmik untuk mengatasi iritasi mata pada edema yang

berat

2.2 Konsep Dasar Asuhan Keperawatan


2.1.1 Pengkajian
1. Identitas :

Umumnya 90 % dijumpai pada kasus anak. Enam kasus pertahun setiap

100.000 anak terjadi pada usia kurang dari 14 tahun. Rasio laki-laki dan

perempuan yaitu 2 : 1. Pada daerah endemik malaria banyak mengalami

komplikasi nefrotic syndrome.

2. Keluhan Utama
Keluhan utama yang sering dikeluhkan adalah adanya bengkak pada wajah atau

kaki.
3. Riwayat Penyakit Sekarang ( RPS )
Pada pengkajian riwayat kesehatan sekarang, perawat menanyakan hal

berikut: Kaji berapa lama keluhan adanya perubahan urine output, kaji onset

keluhan bengkak pada wajah dan kaki apakah disertai dengan adanya keluhan

pusing dan cepat lelah, kaji adanya anoreksia pada klien, kaji adanya keluhan

sakit kepala dan malaise


4. Riwayat Penyakit Dahulu (RPD)
Pada pengkajian riwayat kesehatan dahulu, perawat perlu mengkaji apakah

klien pernah menderita penyakit edema, apakah ada riwayat dirawat dengan

penyakit diabetes melitus dan penyakit hipertensi pada masa sebelumnya.

Penting dikaji tentang riwayat pemakaian obat-obatan masa lalu adanya riwayat

alergi terhadap jenis obat dan dokumentasikan.


5. Riwayat Pada pengkajian psikososiokultural
Adanya kelemahan fisik, wajah, dan kaki yang bengkak akan memberikan

dampak rasa cemas dan koping yang maladaptif pada klien


6. Pemeriksaan fisik
Keadaan umum klien lemah dan terlihat sakit berat dengan tingkat kesadaran

biasanya compos mentis. Pada TTV sering tidak didapatkan adanya perubahan.
a. Sistem pernapasan.

Frekuensi pernapasan 15 32 X/menit, rata-rata 18 X/menit, efusi pleura karena


distensi abdomen

b. Sistem kardiovaskuler.

Nadi 70 110 X/mnt, tekanan darah 95/65 100/60 mmHg, hipertensi ringan
bisa dijumpai.

c. Sistem persarafan.
Dalam batas normal.

d. Sistem perkemihan.

Urine/24 jam 600-700 ml, hematuri, proteinuria, oliguri.

e. Sistem pencernaan.

Diare, napsu makan menurun, anoreksia, hepatomegali, nyeri daerah perut,


malnutrisi berat, hernia umbilikalis, prolaps anii.

f. Sistem muskuloskeletal.

Dalam batas normal.

g. Sistem integumen.

Edema periorbital, ascites.

h. Sistem endokrin

Dalam batas normal

i. Sistem reproduksi

Dalam batas normal.

a. B1 (breathing)
Biasanya tidak didapatkan adanya gangguan pola napas dan jalan napas

walau secara frekuensi mengalami peningkatan terutama pada fase akut.

Pada fase lanjut sering didapatkan adanya gangguan pola napas dan jalan

napas yang merupakan respons terhadap edema pulmoner dan efusi pleura.
b. B2 (Blood)
Sering ditemukan penurunan curah jantung respon sekunder dari

peningkatan beban volume.


c. B3 (Brain)
Didapatkan edema wajah terutama periorbital, sklera tidak ikterik. Status

neurologis mengalami perubahan sesuai tingkat parahnya azotemia pada

sistem saraf pusat.


d. B4 (Bladder)
Perubahan warna urine output seperti warna urine berwarna kola.
e. B5 (Bowel)
Didapatkan adanya mual dan muntah, anoreksia sehingga sering didapatkan

penurunan intake nutrisi dari kebutuhan. Didapatkan asites pada abdomen.


f. B6 (Bone)
Didapatkan adanya kelemahan fisik secara umum, efek sekunder dari edema

tungkai dari keletihan fisik secara umum


7. Pemeriksaan diagnostic
Urinalisis didapatkan hematuria secara mikroskopik, proteinuria, terutama

albumin. Keadaan ini juga terjadi akibat meningkatnya permeabilitas membran

glomerulus.
8. Pengkajian penatalaksanaan medis
Tujuan terapi adalah menceah terjadinya kerusakan ginjal lebih lanjut dan

menurunkan resiko komplikasi. Untuk mencapai tujuan terapi, maka

penatalaksanaan tersebut, meliputi hal-hal berikut


a. Tirah baring
b. Diuretik
c. Adenokortikosteroid, golongan prednison
d. Diet rendah natrium tinggi protein
e. Terapi cairan. Jika klien dirawat dirumah sakt , maka intake dan output

diukur secara cermat dan dicatat. Cairan diberikan untk mengatasi

kehilangan cairan dan berat badan harian.

2.2.2 Diagnosa Keperawatan


A. Analisa Data

Symptom Etiologi Problem


DS : Kelebihan volume cairan
- Klien mengeluh edema.
DO :
- Tampak ada penumpukan
cairan di ekstermitas
DS :
- Klien mengeluh kurang nafsu
makan Perubahan nutrisi kurang dari
DO : kebutuhan tubuh
- Klien tampak gemuk karena
pumpukan cairan
DS :
- Klien mengeluh dehidrasi
Resiko kehilangan volume
DO :
cairan intravaskuler
- Klien tampak sianosis
- Klien tampak pucat
DS :
- Klien mengeluh malaise
Ansietas
DO :
- Klien tampak cemas

B. Diagnosa
a. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan akumulasi cairan di dalam

jaringan.
b. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kehilangan

nafsu makan (anoreksia).


c. Resiko kehilangan volume cairan intravaskuler berhubungan dengan kehilangan

protein, cairan dan edema.


d. Ansietas Berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang penyakit.

2.2.3 Intervensi Keperawatan

Hari/
Dx Tujuan & kriteria hasil Intervensi Rasional
Tgl
1 Setelah dilakukan tindakana. Pantau asupan dana. Pemantauan
selama 3x24 jam diharapkan haluaran cairan membantu
Kelebihan volume cairan setiap pergantian menentukan
terkontrol dengan Kriteria status cairan
Hasil: b. Timbang berat pasien.
a. Pasien tidak menunjukan badan tiap hari b. Penimbangan
tanda-tanda akumulasi cairan. berat badan
b. Pasien mendapatkan volume harian adalah
cairan yang tepat. pengawasan
status cairan
terbaik.
Peningkatan berat
badan lebih dari
0,5 kg/hari diduga
ada retensi cairan.
c. Suatu diet rendah
c. Programkan pasien natrium dapat
pada diet rendah mencegah retensi
natrium selama fase cairan
edema

d. Kaji kulit, wajah, d. Edema terjadi


area tergantung terutama pada
untuk edema. jaringan yang
Evaluasi derajat tergantung pada
edema (pada skala tubuh.
+1 sampai +4).
e. Awasi pemerikasaan
e. Mengkaji
laboratorium,
berlanjutnya dan
contoh: BUN,
penanganan
kreatinin, natrium,
disfungsi/gagal
kalium, Hb/ht, foto
ginjal. Meskipun
dada
kedua nilai
mungkin
meningkat,
kreatinin adalah
indikator yang
lebih baik untuk
fungsi ginjal
karena tidak
dipengaruhi oleh
hidrasi, diet, dan
katabolisme
f. Berikan obat sesuai jaringan.
indikasi Diuretik,f. Diberikan dini
contoh furosemid pada fase
(lasix), mannitol oliguria untuk me
(Os-mitol; ngubah ke fase
nonoliguria, untu
k melebarkan
lumen tubular
dari
debris, menurunk
an hiperkalimea,
dan
meningkatkan
volume urine
adekuat
2 Setelah dilakukan tindakana. Kaji / catata. Membantu dan
selama 3x24 jam diharapkan pemasukan diet. mengidentifikasi
kebutuhan nutrisi terpenuhi defisiensii dan
dengan Kriteria hasil: Klien kebutuhan diet.
dapat Mempertahankan beratb. Timbang BB tiapb. Perubahan
badan yang diharapkan hari. kelebihan 0,5 kg
dapat
menunjukkan
perpindahan
keseimbangan
cairan.
c. Meningkatkan
c. Tawarkan perawatan
nafsu makan
mulut sebelum dan
sesudah makan .
d. Berikan makanan
sedikit tapi sering. d. meminimalkan
anoreksia dan
mual sehubungan
dengan status
uremik
e. Berikan diet tinggi
e. Memenuhi
protein dan rendah
kebutuhan
garam.
protein, yang
hilang bersama
urine.
f. Berikan makanan
f. Pasien cenderung
yang disukai dan
mengonsumsi
menarik
lebih banyak
porsi makan jika
ia diberi beberapa
makanan
kesukanannya.
g. Indikator
g. Awasi pemeriksaan kebutuhan nutrisi,
laboratorium, pembatasan, dan
contoh: BUN, efektivitas terapi.
albumin serum,
transferin, natrium,
dan kalium.
3 Setelah dilakukan tindakan a. Awasi TTV a. Hipotensi
selama 3x24 jam diharapkan ortostatik dan
Resiko kehilangan cairan tidak takikardi indikasi
terjadi dengan Kriteria hipovolemia.
Hasil: Tidak ditemukannya b. Membantu
atau tanda-b. Kaji masukan dan memperkirakan
tandanya kehilangan cairan haluaran cairan. kebutuhan
intravaskuler seperti: Hitung kehilangan penggantian
a. Masukan dan keluaran tak kasat mata. cairan.
seimbang c. Membran mukosa
b. Tanda vital yang stabil c. Kaji membran kering, turgor
c. Elektrolit dalam batas normal mukosa mulut dan kulit buruk, dan
d. Hidrasi adekuat yang
elastisitas turgor penurunan nadi
ditunjukkan dengan
kulit dalah indikator
turgor kulit yang normal
dehidrasi
d. penggantian
cairan tergantung
d. Berikan cairan dari berapa
sesuai indikasi ; banyaknya cairan
misalnya albumin yang hilang atau
dikeluarkan.
e. Pemberian cairan
parenteral
diperlukan,
dengan tujuan
e. Berikan cairan mempertahankan
parenteral sesuai n hidrasi yang
dengan petunjuk adekuat.
f. Mengkaji untuk
penanganan
medis berikutnya

f. Awasi pemerikasaan
laboratorium,
contoh protein
(albumin)
4 Setelah dilakukan tindakan a. Berikan motivasi a. Deteksi dini
selama 3x24 jam diharapkan pada keluarga untuk terhadap
Rasa cemas berkurang setelah ikut secara aktif perkembangan
mendapat penjelasan dengan dalam kegiatan klien.
kriteria: Klien mengungkapkan perawatan klien.
sudah tidak takut terhadap b. Jelaskan pada klien
tindakan perawatan, klien setiap tindakan yang b. Peran serta
tampak tenang, klien akan dilakukan. keluarga secara
kooperatif. aktif dapat
c. Observasi tingkat mengurangi rasa
kecemasan klien dan cemas klien.
respon klien c. Penjelasan yang
terhadap tindakan memadai
yang telah dilakukan memungkinkan
klien kooperatif
terhadap tindakan
yang akan
dilakukan.

2.2.4 Evaluasi
Setelah mendapat intervensi keperawatan, maka pasien dengan sindrom nefrotik

diharapkan sebagai berikut:


1. Kelebihan volume cairan teratasi
2. Meningkatnya asupan nutrisi
3. Peningkatan kemampuan aktivitas sehari-hari
4. Penurunan kecemasan

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Sindrom nefrotik adalah suatu kumpulan gejala gangguan klinis, meliputi hal-

hal: Proteinuria masif> 3,5 gr/hr, Hipoalbuminemia, Edema, Hiperlipidemia.

Manifestasi dari keempat kondisi tersebut yang sangat merusak membran kapiler

glomelurus dan menyebabkan peningkatan permeabilitas glomerulus. (Muttaqin,


Sindrom nefrotik merupakan gangguan klinis ditandai oleh peningkatan

protein, penurunan albumin dalam darah (hipoalbuminemia), edema dan serum

kolesterol yang tinggi dan lipoprotein densitas rendah (hiperlipidemia). (Brunner &

Suddarth, 2001).
Etiologi nefrotik sindrom dibagi menjadi 3, yaitu primer (Glomerulonefritis

dan nefrotik sindrom perubahan minimal), sekunder (Diabetes Mellitus, Sistema

Lupus Erimatosis, dan Amyloidosis), dan idiopatik (tidak diketahui

penyebabnya).Tanda paling umum adalah peningkatan cairan di dalam tubuh.

Sehingga masalah keperawatan yang mungkin muncul adalah kelebihan volume

cairan berhubungan, perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan, resiko kehilangan

volume cairan intravaskuler, dan kecemasan.


3.2 Saran
Demikian makalah yang kami sampaikan. Kami berharap agar makalah yang

kami buat ini dapat bermanfaat bagi para dosen, teman-teman dan pembaca sekalian.

Diposkan 3rd March 2014 oleh Riza Munandar

Tambahkan komentar

3.

Mar

Auhan Keperawatan Gawat Darurat


Dengan Kondisi Nyeri Dada (Chest Pain)
1. Pengertian
Nyeri dada adalah perasaan nyeri / tidak enak yang mengganggu daerah dada

dan seringkali merupakan rasa nyeri yang diproyeksikan pada dinding dada (referred

pain)
Nyeri Coroner adalah rasa sakit akibat terjadinya iskemik miokard karena

suplai aliran darah koroner yang pada suatu saat tidak mencukupi untuk kebutuhan

metabolisme miokard.
Nyeri dada akibat penyakit paru misalnya radang pleura (pleuritis) karena

lapisan paru saja yang bisa merupakan sumber rasa sakit, sedang pleura viseralis dan

parenkim paru tidak menimbulkan rasa sakit (Himawan, 1996)


2. Etiologi
a. Cardial
1) Koroner
2) Non Koroner
b. Non Cardial
1) Pleural
2) Gastrointestinal
3) Neural
4) Psikogenik (Abdurrahman N, 1999)
3. Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala yang biasa menyertai nyeri dada adalah :
a. Nyeri ulu hati
b. Sakit kepala
c. Nyeri yang diproyeksikan ke lengan, leher, punggung
d. Diaforesis / keringat dingin
e. Sesak nafas
f. Takikardi
g. Kulit pucat
h. Sulit tidur (insomnia)
i. Mual, Muntah, Anoreksia
j. Cemas, gelisah, fokus pada diri sendiri
k. Kelemahan
l. Wajah tegang, m erintih, menangis
m. Perubahan kesadaran
4. Pemeriksaan Penunjang
a. EKG 12 lead selama episode nyeri
1) Takhikardi / disritmia
2) Rekam EKG lengkap : T inverted, ST elevasi / depresi, Q Patologis
b. Laboratorium
1) Kadar enzim jantung : CK, CKMB, LDH
2) Fungsi hati : SGOT, SGPT
3) Fungsi Ginjal : Ureum, Creatinin
4) Profil Lipid : LDL, HDL
c. Foto Thorax
d. Echocardiografi
e. Kateterisasi jantung
5. Pengkajian
a. Pengkajian Primer
1) Airway
a) Bagaimana kepatenan jalan nafas
b) Apakah ada sumbatan / penumpukan sekret di jalan nafas?
c) Bagaimana bunyi nafasnya, apakah ada bunyi nafas tambahan?
2) Breathing
a) Bagaimana pola nafasnya? Frekuensinya? Kedalaman dan iramanya?
b) Apakah menggunakan otot bantu pernafasan?
c) Apakah ada bunyi nafas tambahan?
3) Circulation
a) Bagaimana dengan nadi perifer dan nadi karotis? Kualitas (isi dan tegangan)
b) Bagaimana Capillary refillnya, apakah ada akral dingin, sianosis atau oliguri?
c) Apakah ada penurunan kesadaran?
d) Bagaimana tanda-tanda vitalnya ? T, S, N, RR, HR?
b. Pengkajian Sekunder
Hal-hal penting yang perlu dikaji lebih jauh pada nyeri dada (koroner) :
1) Lokasi nyeri
Dimana tempat mulainya, penjalarannya (nyeri dada koroner : mulai dari sternal

menjalar ke leher, dagu atau bahu sampai lengan kiri bagian ulna)
2) Sifat nyeri
Perasaan penuh, rasa berat seperti kejang, meremas, menusuk, mencekik/rasa

terbakar, dll.
3) Ciri rasa nyeri
Derajat nyeri, lamanya, berapa kali timbul dalam jangka waktu tertentu.
4) Kronologis nyeri
Awal timbul nyeri serta perkembangannya secara berurutan
5) Keadaan pada waktu serangan
Apakah timbul pada saat-saat / kondisi tertentu
6) Faktor yang memperkuat / meringankan rasa nyeri misalnya sikap/posisi tubuh,

pergerakan, tekanan, dll


7) Gejala lain yang mungkin ada atau tidaknya hubungan dengan nyeri dada.
6. Diagnosa Keperawatan
a. Perubahan kenyamanan nyeri (nyeri akut) b.d iskemia jaringan sekunder terhadap

sumbatan arteri, inflamasi jaringan


b. Perubahan perfusi jaringan (otot jantung) b.d penurunan aliran darah
c. Intoleransi aktivitas b.d ketidakseimbangan antara suplai O2 dan kebutuhan

metabolisme jaringan
7. Intervensi Keperawatan
Prinsip-prinsip Tindakan :
a. Tirah baring (bedrest) dengan posisi fowler / semi fowler
b. Melakukan EKG 12 lead kalau perlu 24 lead
c. Mengobservasi tanda-tanda vital
d. Kolaborasi pemberian O2 dan pemberian obat-obat analgesik, penenang,

nitrogliserin, Calcium antagonis dan observasi efek samping obat.


e. Memasang infus dan memberi ketenangan pada klien
f. Mengambil sampel darah
g. Mengurangi rangsang lingkungan
h. Bersikap tenang dalam bekerja
i. Mengobservasi tanda-tanda komplikasi

Diposkan 3rd March 2014 oleh Riza Munandar

Tambahkan komentar

Memuat
Template Dynamic Views. Diberdayakan oleh Blogger.

Anda mungkin juga menyukai