Anda di halaman 1dari 57

KARSINOMA RECTUM

2.1 Definisi

Karsinoma rektum adalah karsinoma yang terjadi pada rektum. Secara

anatomi rektum terbentang dari vertebra sakrum ke-3 sampai garis anorektal.

Secara fungsional dan endoskopik, rektum dibagi menjadi bagian ampula dan

sfingter. Bagian sfingter disebut juga annulus hemoroidalis, dikelilingi oleh

muskulus levator ani dan fasia coli dari fasia supra-ani. Bagian ampula terbentang

dari sakrum ke-3 ke diafragma pelvis pada insersi muskulus levator ani. Panjang

rektum berkisar 10-15 cm, dengan keliling 15 cm pada rectosigmoid junction dan

35 cm pada bagian ampula yang terluas. Pada orang dewasa dinding rektum

mempunyai 4 lapisan: mukosa, submukosa, muskularis (sirkuler dan

longitudinal), dan lapisan serosa.

Gambar 1. Anatomi Rektum

4
5

Karsinoma merupakan suatu proses pembelahan sel-sel (proliferasi) yang

tidak mengikuti aturan baku proliferasi yang terdapat dalam tubuh (proliferasi

abnormal). Proliferasi ini di bagi atas non-neoplastik dan neoplastik, non-

neoplastik dibagi atas :

a. Hiperplasia adalah proliferasi sel yang berlebihan. Hal ini dapat

normal karena bertujuan untuk perbaikan dalam kondisi fisiologis

tertentu misalnya kehamilan.

b. Hipertrofi adalah peningkatan ukuran sel yang menghasilkan

pembesaran organ tanpa ada pertambahan jumlah sel.

c. Metaplasia adalah perubahan dari satu jenis tipe sel yang membelah

menjadi tipe yang lain.

d. Displasia adalah kelainan perkembangan selular, produksi dari sel

abnormal yang mengiringi hiperplasia dan metaplasia. Produksi dari

sel abnormal pada jumlah besar dan tendensi untuk tidak teratur.

2.2 Epidemiologi

Pada tahun 2005 di Amerika Serikat, diperkirakan ada 145.290 kasus baru

karsinoma kolorektal di Amerika Serikat. Pada 56.300 kasus dilaporkan

berhubungan dengan kematian, 47.700 kasus karsinoma kolon dan 8.600 kasus
6

karsinoma rektum. Karsinoma kolorektal merupakan 11% dari kejadian kematian

dari semua jenis karsinoma.

Merujuk data WHO tahun 2003, di seluruh dunia dilaporkan lebih dari

940.000 kasus baru dan terjadi kematian pada hampir 500.000 kasus tiap

tahunnya. Karsinoma rektum tercatat sebagai penyakit yang paling mematikan di

dunia selain jenis karsinoma lainnya. Namun, perkembangan teknologi dan juga

adanya pendeteksian dini memungkinkan untuk disembuhkan sebesar 50 persen,

bahkan bisa dicegah.

Dari seluruh pasien karsinoma rektum, 90% berumur lebih dari 50 tahun.

Hanya 5% pasien berusia kurang dari 40 tahun. Di negara barat, laki laki

memiliki insidensi terbanyak mengidap karsinoma rektum dibanding wanita

dengan rasio bervariasi dari 8:7 - 9:5.

2.3 Etiologi Dan Patofisiologi

2.3.1 Polip

Kepentingan utama dari polip bahwa telah diketahui potensial untuk

menjadi karsinoma kolorektal. Evolusi dari karsinoma itu sendiri merupakan

sebuah proses yang bertahap, dimana proses dimulai dari hiperplasia sel mukosa,

adenoma formation, perkembangan dari displasia menuju transformasi maligna

dan invasifkarsinoma. Aktivasi onkogen, inaktivasi tumor supresi gen, dan delesi
7

kromosomal memungkinkan perkembangan dari formasi adenoma, perkembangan

dan peningkatan displasia dan invasif karsinoma.

2.3.2 Idiopathic Inflammatory Bowel Disease

2.3.2.1 Kolitis Ulseratif

Kolitis ulseratif merupakan faktor risiko yang jelas untuk karsinoma kolon

sekitar 1% dari pasien yang memiliki riwayat kronik kolitis ulseratif. Risiko

perkembangan karsinoma pada pasien ini berbanding terbalik pada usia terkena

kolitis dan berbanding lurus dengan keterlibatan dan keaktifan dari kolitis

ulseratif. Pendekatan yang direkomendasikan untuk seseorang dengan risiko

tinggi dari karsinoma kolorektal pada kolitis ulseratif dengan mengunakan

kolonoskopi untuk menentukan kebutuhan akan total proktokolektomi pada pasien

dengan kolitis yang durasinya lebih dari 8 tahun. Sebuah studi prospektif

menyimpulkan bahwa kolektomi yang dilakukan dengan segera sangat esensial

untuk semua pasien yang didiagnosa dengan displasia yang berhubungan dengan

massa atau lesi, yang paling penting dari analisa mendemonstrasikan bahwa

diagnosis displasia tidak menyingkirkan adanya invasif karsinoma.

2.3.2.2 Penyakit Crohns

Pasien yang menderita penyakit Crohns mempunyai risiko tinggi untuk

menderita karsinoma kolorektal tetapi masih kurang jika dibandingkan dengan

kolitis ulseratif. Keseluruhan insiden dari karsinoma yang muncul pada penyakit

Crohns sekitar 20%. Telah dilaporkan juga bahwa karsinoma sel skuamous dan

adenokarsinoma meningkat pada fistula kronik pasien dengan Crohns disease.

2.3.3 Faktor Genetik


8

2.3.3.1 Riwayat Keluarga

Sekitar 15% dari seluruh karsinoma kolon muncul pada pasien dengan

riwayat karsinoma kolorektal pada keluarga terdekat. Seseorang dengan keluarga

terdekat yang mempunyai karsinoma kolorektal mempunyai kemungkinan untuk

menderita karsinoma kolorektal dua kali lebih tinggi bila dibandingkan dengan

seseorang yang tidak memiliki riwayat karsinoma kolorektal pada keluarganya.

2.3.3.2 Herediter Karsinoma Kolorektal

Abnormalitas genetik terlihat mampu memediasi progresi dari normal

menuju mukosa kolon yang maligna. Sekitar setengah dari seluruh karsinoma dan

adenokarsinoma yang besar berhubungan dengan mutasi. Langkah yang paling

penting dalam menegakkan diagnosa dari sindrom karsinoma herediter yaitu

riwayat karsinoma pada keluarga. Mutasi sangat jarang terlihat pada adenoma

yang lebih kecil dari 1 cm. Dua sindrom yang utama dan beberapa varian yang

utama dari sindrom ini menyebabkan karsinoma kolorektal telah dikenali

karakternya. Dua sindrom ini, dimana mempunyai predisposisi menuju karsinoma

kolorektal memiliki mekanisme yang berbeda, yaitu familial adenomatous

polyposis (FAP) dan hereditary non polyposis colorectal cancer (HNPCC).

2.3.3.3 FAP (Familial Adenomatous Polyposis)

Gen yang bertanggung jawab untuk FAP yaitu gen APC, yang berlokasi

pada kromosom 5q21. Adanya defek pada APC tumor supresor gen dapat

menggiring kepada kemungkinan pembentukan karsinoma kolorektal pada umur

40 sampai 50 tahun. Pada FAP yang telah berlangsung cukup lama, didapatkan
9

polip yang sangat banyak untuk dapat dilakukannya kolonoskopi polipektomi

yang aman dan adekuat; ketika hal ini terjadi, direkomendasikan untuk melakukan

prophylactic subtotal colectomy diikuti dengan endoskopi pada bagian yang

tersisa. Screening untuk polip harus dimulai pada saat usia muda. Pasien dengan

FAP yang diberi 400 mg celecoxib, dua kali sehari selama enam bulan

mengurangi rata rata jumlah polip sebesar 28%.

2.3.3.4 HNPCC (Hereditary Non Polyposis Colorectal Cancer)

Pola autosomal dominan dari HNPCC termasuk Lynchs syndrome I dan

II.2 Generasi multipel yang dipengaruhi dengan karsinoma kolorektal muncul

pada umur yang muda (45 tahun), dengan predominan lokasi karsinoma pada

kolon kanan. Karsinogenesis yang terakselerasi muncul pada HNPCC, pada

keadaan ini adenoma kolon yang berukuran kecil dapat menjadi karsinoma dalam

2-3 tahun, bila dibandingkan dengan proses pada rata-rata karsinoma kolorektal

yang membutuhkan waktu 8-10 tahun.

Pasien dengan HNPCC mempunyai kecenderungan untuk menderita

karsinoma kolorektal pada umur yang sangat muda, dan screening harus dimulai

pada umur 20 tahun atau lebih dini 5 tahun dari umur anggota keluarga yang

pertama kali terdiagnosa karsinoma kolorektal yang berhubungan HNPCC.

Prognosis dari pasien HNPCC terlihat lebih baik daripada pasien dengan

karsinoma kolon sporadik. Dari penelitian menunjukkan bahwa pasien dengan

HNPCC kurang mendapat manfaat dari kemoterapi adjuvan berdasarkan

kombinasi fluorourasil daripada pasien tanpa kelainan ini.

2.3.4 Diet
10

Masyarakat yang diet tinggi lemak, tinggi kalori, daging dan diet rendah

serat berkemungkinan besar untuk menderita karsinoma kolorektal pada

kebanyakan penelitian, meskipun terdapat juga penelitian yang tidak

menunjukkan adanya hubungan antara serat dan karsinoma kolorektal. Ada dua

hipotesis yang menjelaskan mekanisme hubungan antara diet dan risiko

karsinoma kolorektal. Teori pertama adalah pengakumulasian bukti epidemiologi

untuk asosiasi antara resistensi insulin dengan adenoma dan karsinoma kolorektal.

Mekanismenya adalah menkonsumsi diet yang berenergi tinggi mengakibatkan

perkembangan resistensi insulin diikuti dengan peningkatan level insulin,

trigliserida dan asam lemak tak jenuh pada sirkulasi. Faktor sirkulasi ini mengarah

pada sel epitel kolon untuk menstimulus proliferasi dan juga memperlihatkan

interaksi oksigen reaktif. Pemaparan jangka panjang hal tersebut dapat

meningkatkan pembentukan karsinoma kolorektal. Hipotesis kedua adalah

identifikasi berkelanjutan dari agen yang secara signifikan menghambat

karsinogenesis kolon secara eksperimental. Dari pengamatan tersebut dapat

disimpulkan mekanismenya, yaitu hilangnya fungsi pertahanan lokal epitel

disebabkan kegagalan diferensiasi dari daerah yang lemah akibat terpapar toksin

yang tak dapat dikenali dan adanya respon inflamasi fokal, karakteristik ini

didapat dari bukti teraktifasinya enzim COX-2 dan stres oksidatif dengan lepasnya

mediator oksigen reaktif. Hasil dari proliferasi fokal dan mutagenesis dapat

meningkatkan resiko terjadinya adenoma dan aberrant crypt foci. Proses ini dapat

dihambat dengan (a) demulsi yang dapat memperbaiki permukaan lumen kolon;

(b) agen anti-inflamasi; atau (c) anti-oksidan. Kedua mekanisme tersebut,


11

misalnya resistensi insulin yang berperan melalui tubuh dan kegagalan pertahanan

fokal epitel yang berperan secara lokal, dapat menjelaskan hubungan antara diet

dan resiko karsinoma kolorektal.

2.3.5 Gaya Hidup

Pria dan wanita yang merokok kurang dari 20 tahun mempunyai risiko tiga

kali untuk memiliki adenokarsinoma yang kecil, tapi tidak untuk yang besar.

Sedangkan merokok lebih dari 20 tahun berhubungan dengan risiko dua setengah

kali untuk menderita adenoma yang berukuran besar.14

Diperkirakan 5000-7000 kematian karena karsinoma kolorektal di

Amerika dihubungkan dengan pemakaian rokok.Pemakaian alkohol juga

menunjukkan hubungan dengan meningkatnya risiko karsinoma kolorektal.14

Pada berbagai penelitian telah menunjukkan hubungan antara aktifitas,

obesitas dan asupan energi dengan karsinoma kolorektal. Interaksi antara obesitas

dan aktifitas fisik menunjukkan penekanan pada aktifitas prostaglandin intestinal,

yang berhubungan dengan risiko karsinoma kolorektal. The Nurses Health Study

telah menunjukkan hubungan yang berkebalikan antara aktifitas fisik dengan

terjadinya adenoma, yang dapat diartikan bahwa penurunan aktifitas fisik akan

meningkatkan risiko terjadinya adenoma.

2.3.6 Usia

Proporsi dari semua karsinoma pada orang usia lanjut ( 65 tahun) pria

dan wanita adalah 61% dan 56%. Frekuensi karsinoma pada pria berusia lanjut

hampir 7 kali (2158 per 100.000 orang per tahun) dan pada wanita berusia lanjut

sekitar 4 kali (1192 per 100.000 orang per tahun) bila dibandingkan dengan orang
12

yang berusia lebih muda (30-64 thn). Sekitar setengah dari karsinoma yang

terdiagnosa pada pria yang berusia lanjut adalah karsinoma prostat (451 per

100.000), karsinoma paru-paru (118 per 100.000) dan karsinoma kolon (176 per

100.000).12 Insidensi berdasarkan usia dibawah 20 tahun sebesar 0,0%, 20-34

tahun sebesar 0,9%, 35-44 tahun sebesar 3,5%, 45-54 tahun sebesar 10,9%, 55-64

tahun sebesar 17,6%, 65-74 tahun sebesar 25,9%, 75-84 tahun sebesar 28,8%, dan

> 85 sebesar 12,3%.

2.4 Manifestasi Klinis

2.4.1 Gejala Klinis

Tanda dan gejala yang mungkin muncul pada karsinoma rektum antara

lain ialah:

Perubahan pada kebiasaan BAB atau adanya darah pada feses, baik itu darah

segar maupun yang berwarna hitam.

Diare, konstipasi atau merasa bahwa isi perut tidak benar benar kosong saat

BAB

Feses yang lebih kecil dari biasanya

Keluhan tidak nyama pada perut seperti sering flatus, kembung, rasa penuh

pada perut atau nyeri


13

Penurunan berat badan yang tidak diketahui sebabnya

Mual dan muntah,

Rasa letih dan lesu

Pada tahap lanjut dapat muncul gejala pada traktus urinarius dan nyeri pada

daerah gluteus.

2.4.2 Histologi

Histologi merupakan suatu faktor penting dalam hal etiologi, penanganan

dan prognosis dari karsinoma. Secara mikroskopis karsinoma kolorektal

mempunyai derajat diferensiasi yang berbeda-beda, tidak hanya dari tumor yang

satu dengan tumor yang lain tetapi juga dari area ke area pada tumor yang sama,

mereka cenderung mempunyai morfologi yang heterogen. Gambaran

histopatologis yang paling sering dijumpai adalah tipe adenokarsinoma (90-95%),

adenokarsinoma musinosa (17%), signet ring cell carcinoma (2-4%), dan sarkoma

(0,1-3%).

2.4.3 Metastasis

Metastasis ke kelenjar limfa regional ditemukan pada 40-70% kasus pada

saat direseksi. Invasi ke pembuluh darah vena ditemukan pada lebih 60% kasus.

Metastase sering ke hepar, cavum peritoneum, paru-paru, diikuti kelenjar adrenal,


14

ovarium dan tulang. Metastase ke otak sangat jarang, dikarenakan jalur limfatik

dan vena dari rektum menuju vena cava inferior, maka metastase karsinoma

rektum lebih sering muncul pertama kali di paru-paru. Berbeda dengan kolon

dimana jalur limfatik dan vena menuju vena porta, maka metastase karsinoma

kolon pertama kali paling sering di hepar.

2.5 DIAGNOSIS DAN STAGING


2.5.1 Diagnosis
2.5.1.1 Anamnesis

Tanda dan gejala yang mungkin muncul pada karsinoma rektal antara lain

ialah:

Perubahan pada kebiasaan BAB atau adanya darah pada feses, baik itu darah

segar maupun yang berwarna hitam.

Diare, konstipasi atau merasa bahwa isi perut tidak benar benar kosong saat

BAB

Feses yang lebih kecil dari biasanya

Keluhan tidak nyama pada perut seperti sering flatus, kembung, rasa penuh

pada perut atau nyeri

Penurunan berat badan yang tidak diketahui sebabnya

Mual dan muntah,


15

Rasa letih dan lesu

Pada tahap lanjut dapat muncul gejala pada traktus urinarius dan nyeri pada

daerah gluteus.

Ada beberapa tes pada daerah rektum dan kolon untuk mendeteksi karsinoma

rektal, diantaranya ialah :

2.5.1.2 Pemeriksaan fisik

Digital rectal examination (DRE) dapat digunakan sebagai pemeriksaan

skrining awal. Kurang lebih 75 % karsinoma rektum dapat dipalpasi pada

pemeriksaan rektal, pemeriksaan digital akan mengenali tumor yang terletak

sekitar 10 cm dari rektum, tumor akan teraba keras dan menggaung.

Ada 2 gambaran khas dari pemeriksaan colok dubur, yaitu indurasi dan

adanya suatu penonjolan tepi, dapat berupa :

a. suatu pertumbuhan awal yang teraba sebagai indurasi seperti cakram yaitu

suatu plateau kecil dengan permukaan yang licin dan berbatas tegas.

b. suatu pertumbuhan tonjolan yang rapuh, biasanya lebih lunak, tetapi

umumnya mempunyai beberapa daerah indurasi dan ulserasi.

c. suatu bentuk khas dari ulkus maligna dengan tepi noduler yang menonjol

dengan suatu kubah yang dalam (bentuk ini paling sering)

d. suatu bentuk karsinoma anular yang teraba sebagai pertumbuhan bentuk

cincin
16

2.5.1.3 Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan darah lengkap, pemeriksaan CEA (Carcinoma Embryonic

Antigen) dan Uji faecal occult blood test (FOBT) untuk melihat perdarahan di

jaringan.3,4

2.5.1.4 Pemeriksaan penunjang

1) Dapat pula dengan Barium Enema, yaitu Cairan yang mengandung barium

dimasukkan melalui rektum kemudian dilakukan seri foto Rontgen pada traktus

gastrointestinal bawah.3,4

Gambar 3. Lesi apple core pada barium enema x ray.

2) Sigmoidoskopi, yaitu sebuah prosedur untuk melihat bagian dalam rektum dan

sigmoid apakah terdapat polip kakner atau kelainan lainnya. Alat sigmoidoskop

dimasukkan melalui rektum sampai kolon sigmoid, polip atau sampel jaringan

dapat diambil untuk biopsi.


17

Gambar 4. Pemeriksaan flexible sigmoidoscopy

3) Kolonoskopi yaitu sebuah prosedur untuk melihat bagian dalam rektum dan

sigmoid apakah terdapat polip,karsinoma atau kelainan lainnya. Alat

kolonoskop dimasukkan melalui rektum sampai kolon sigmoid, polip atau

sampel jaringan dapat diambil untuk biopsi.

4) Biopsi. Jika ditemukan tumor dari salah satu pemeriksaan diatas, biopsi harus

dilakukan. Secara patologi anatomi, adenokarsinoma merupakan jenis yang

paling sering yaitu sekitar 90 sampai 95% dari karsinoma usus besar. Jenis

lainnya ialah karsinoma sel skuamosa, karsinoid tumor, adenosquamous

carcinomas, dan undifferentiated tumors.

5) CT scan. Prosedur pemeriksaan CT Scan adalah sebagai berikut: pemotretan

awal / permulaan dilakukan dengan tabung yang di biarkan diam, sedangkan


18

pasien dengan mejanya yang tidak digerakkan. Hasilnya adalah sama dengan

foto roentgen biasa. Ini disebut topogram atau skanogram.

Gambaran yang bisa terlihat pada CT Scan meliputi:

Tumor rektum terlihat sebagai massa fokal dengan densitas seperti soft

tissue di samping lumen rectum yang berisi gas atau zat kontras larut air

per oral Gastrografin 1%. Jika dengan kontras, maka digunakan

Gastrografin 1% 12 dan 2 jam sebelum pemeriksaan untuk mendapatkan

opasitas lumen.

Striktura maligna terlihat sebagai penebalan dinding rektum yang akan

terlihat konsentris jika bidang dilakukannya CT Scan tegak lurus terhadap

sumbu panjang rektum.

Gambar 6. Gambaran CT scan rektum normal potongan aksial


19

Gambar 7. CT Scan potongan aksial karsinoma rektum dengan penebalan


dinding rektum
Penyebaran tumor ekstrarektal dapat terlihat sebagai gambaran yang sulit

dibedakan antara batas rektum dengan jaringan lemak antara rektum dan

jaringan sekitarnya, serta adanya fat stranding dan nodularitas.


Otot yang terinvasi dapat terlihat membesar.
Gambaran CT scan dapat membantu dalam pemilihan operasi, di mana

tumor dengan staging T1 atau T2 dapat dioperasi dengan simple resection

atau low anterior resection, sedangkan tumor yang lebih lanjut (T3)

mungkin memerlukan abdominoperineal resection atau anterior resection,

tergantung letaknya. Radioterapi atau kemoterapi ajuvan dapat pula

dilakukan.
20

Gambar 8. CT Scan potongan aksial karsinoma rektum dengan adanya


penebalan sirkumferensial pada mukosa rektum.

Gambar 9. CT Scan potongan aksialkarsinoma rektum

6) MRI

Pencitraan resonansi magnetic (MRI) merupakan salah satu pemeriksaan

diagnostik dalam ilmu kedokteran, khususnya radiologi, yang menghasilkan


21

gambaran potongan tubuh manusia dengan menggunakan medan magnet tanpa

menggunakan sinar x.

Keuntungan MRI:

- Tidak memakai sinar x


- Tidak merusak kesehatan pada penggunaan yang tepat
- Banyak pemeriksaan yang dapat dikerjaan tanpa memerlukan zat kontras.
Kekurangan MRI:
- Biaya mahal
- Waktu pemeriksaan cukup lama
- Pasien yang mengandung metal tidak dapat diperiksa terutama alat pacu

jantung, sedangkan pasien dengan wire dan sten maupun pen boleh

diperiksa.
- Pasien claustrofobi ( takut ruang sempit ), perlu anestesi umum.

Gambar 10.Gambar MRI potongan aksial karsinoma rektum

2.5.2 Staging

The American Joint Committee on Cancer (AJCC) memperkenalkan TNM

staging system, yang menempatkan karsinoma menjadi satu dalam 4 stadium

(Stadium I-IV).
22

Gambar 11. Stadium karsinoma rektum

Tabel 1. Stadium karsinoma rektum

Stadium Deskripsi

0 Karsinoma ditemukan hanya pada bagian paling dalam

rektum.yaitu pada mukosa saja. Disebut juga carcinoma in situ.

1 Karsinoma telah menyebar menembus mukosa sampai lapisan

muskularis dan melibatkan bagian dalam dinding rektum tapi

tidak menyebar kebagian terluar dinding rektum ataupun keluar

dari rektum. Disebut juga Dukes A rectal cancer.

2 Karsinoma telah menyebar keluar rektum kejaringan terdekat

namun tidak menyebar ke limfonodi. Disebut juga Dukes B

rectal cancer.

3 Karsinoma telah menyebar ke limfonodi terdekat, tapi tidak


23

menyebar kebagian tubuh lainnya. Disebut juga Dukes C rectal

cancer.

4 Karsinoma telah menyebar kebagian lain tubuh seperti hati, paru,

atau ovarium. Disebut juga Dukes D rectal cancer

Gambar 12.CT staging system for rectal cancer


24

Gambar 13. TNM staging untuk

karsinoma rektum

Gambar 14. Anatomic staging/prognostic dari karsinoma rektum.


25

Organ yang paling sering menjadi lokasi metastasis jauh karsinoma rektum

adalah hepar. Metastasis hepar terlihat pada CT Scan sebagai daerah hipodens

berbatas tegas (dibandingkan dengan parenkim hepar normal) pada fase vena

portal, setelah injeksi kontras intravena. Pada fase arterial yang lebih awal,

metastasis hepar dapat terlihat sebagai rim enhancement atau hiperdens atau

isodens dibandingkan parenkim hepar normal.

Gambar 15.CT scan potongan aksial hepar dengan kontras, terlihat lesi hipodens
pada lobus kanan hepar yang merupakan metastasis adenokarsinoma rektum.

Metastasis hepar dapat dioperasi reseksi jika ukurannya kecil (<3 cm),

berjumlah <3, dan lokasi yang dapat dijangkau. Jika tidak sesuai untuk dilakukan

reseksi maka dapat dilakukan intra-arterial chemotherapy.

Metastasis pulmo lebih sering ditemukan pada karsinoma rektum letak

bawah daripada letak atas atau karsinoma kolon. Hal ini terjadi karena tumor
26

rektum letak bawah didrainase menuju vena sistemik (melalui vena iliaca interna)

dan tidak menuju sistem vena porta (melalui vena mesenterica inferior atau

superior), yang terjadi pada tumor kolon dan rektum letak atas. Oleh karena itu,

pada tumor rektum letak rendah sering ditemukan metastasis ke pulmo tetapi tidak

ke hepar.

Organ-organ lain yang sering menjadi lokasi metastasis termasuk kelenjar

adrenal, peritoneum, dan omentum. Metastasis adrenal ditandai dengan

pembesaran (>2cm), asimetri, dan heterogenitas.Metastasis pada tulang dan otak

termasuk jarang.

2.6 PENATALAKSANAAN

Berbagai jenis terapi tersedia untuk pasien karsinoma rektum.Beberapa

adalah terapi standar dan beberapa lagi masih diuji dalam penelitian klinis. Tiga

terapi standar untuk karsinoma rektum yang digunakan antara lain ialah :

2.6.1 Pembedahan

Pembedahan merupakan terapi yang paling lazim digunakan terutama

untuk stadium I dan II karsinoma rektum, bahkan pada pasien suspek dalam

stadium III juga dilakukan pembedahan. Meskipun begitu, karena kemajuan ilmu

dalam metode penentuan stadium karsinoma, banyak pasien karsinoma rektum

dilakukan pre-surgical treatment dengan radiasi dan kemoterapi. Penggunaan

kemoterapi sebelum pembedahan dikenal sebagai neoadjuvant chemotherapy, dan


27

pada karsinoma rektum, neoadjuvant chemotherapy digunakan terutama pada

stadium II dan III. Pada pasien lainnya yang hanya dilakukan pembedahan,

meskipun sebagian besar jaringan karsinoma sudah diangkat saat operasi,

beberapa pasien masih membutuhkan kemoterapi atau radiasi setelah pembedahan

untuk membunuh sel karsinoma yang tertinggal.

Indikasi dan kontra indikasi eksisi lokal karsinoma rektum

1. Indikasi
Tumor bebas, berada 8 cm dari linea dentata
T1 atau T2 yang dipastikan dengan pemeriksaan ultrasound
Termasuk well-differentiated atau moderately well differentiated secara

histologi
Ukuran kurang dari 3-4 cm
2. Kontraindikasi
Tumor tidak jelas
Termasuk T3 yang dipastikan dengan ultrasound
Termasuk Poorly differentiated secara histologi

2.6.2 Radiasi

Sebagai mana telah disebutkan, untuk banyak kasuskarsinoma rektum

stadium II dan III lanjut, radiasi dapat menyusutkan ukuran tumor sebelum

dilakukan pembedahan. Peran lain radioterapi adalah sebagai terapi tambahan

untuk pembedahan pada kasus tumor lokal yang sudah diangkat melalui

pembedahan, dan untuk penanganan kasus metastasis jauh tertentu. Terutama

ketika digunakan dalam kombinasi dengan kemoterapi, radiasi yang digunakan

setelah pembedahan menunjukkan telah menurunkan resiko kekambuhan lokal di

pelvis sebesar 46% dan angka kematian sebesar 29%.Pada penanganan metastasis
28

jauh, radiasi telah berguna mengurangi efek lokal dari metastasis tersebut,

misalnya pada otak.Radioterapi umumnya digunakan sebagai terapi paliatif pada

pasien yang memiliki tumor lokal yang unresectable.

Dosis Radiasi

a. Preoperatif

Jangka pendek: 25 Gy dengan fraksinasi 5 x 5 Gy


Jangka panjang: 50 Gy dengan fraksinasi 25 x2 Gy

Untuk teknik IMRT dengan simultaneous integrated boost (SIB) dapat

dipertimbangkan pemberian dosis seperti contoh berikut:

Kasus T3N0-1 PTV (standard risk) 45 Gy dengan 1,8 Gy/fraksi, PTV (high-

risk) 50 Gy dengan 2 Gy/fraksi


Kasus T4N0-1 PTV (standard risk) 45.9 Gy dengan 1,7 Gy/fraksi, PTV (high

risk) 54 Gy dengan 2 Gy/fraksi

b. Pascaoperatif

45 Gy 60 Gy dengan fraksinasi 5 x 200 cGy

Pada kasus dengan batas margin positif/ gross residual disease, dosis

diberikan antara 54 60 Gy. Untuk teknik IMRT dengan simultaneous integrated

boost (SIB) dapat dipertimbangkan pemberian dosis seperti contoh berikut:

PTV (standard risk) 45,9 Gy dengan 1,7 Gy/fraksi

PTV (high risk) 54 Gy dengan 2 Gy/fraksi

2.6.3 Kemoterapi
29

Adjuvant chemotherapy dipertimbangkan pada pasien dimana tumornya

menembus sangat dalam atau tumor lokal yang bergerombol ( Stadium II lanjut

dan Stadium III). Terapi standarnya ialah dengan fluorouracil, (5-FU)

dikombinasikan dengan leucovorin dalam jangka waktu enam sampai dua belas

bulan. 5-FU merupakan anti metabolit dan leucovorin memperbaiki respon.

Kemoterapi lainnya, levamisole, (meningkatkan sistem imun, dapat menjadi

substitusi bagi leucovorin. Menurunkan angka kekambuhan kira kira 15% dan

menurunkan angka kematian kira kira sebesar 10%.

2.7 PROGNOSIS

Secara keseluruhan 5-year survival rates untuk karsinoma rektum adalah

sebagai berikut :

a. Stadium I - 72%

b. Stadium II - 54%

c. Stadium III - 39%

d. Stadium IV - 7%

Lima puluh persen dari seluruh pasien mengalami kekambuhan yang dapat

berupa kekambuhan lokal, jauh maupun keduanya. Kekambuhan lokal lebih

sering terjadi pada.Penyakit kambuh pada 5-30% pasien, biasanya pada 2 tahun

pertama setelah operasi. Faktor faktor yang mempengaruhi terbentuknya

rekurensi termasuk kemampuan ahli bedah, stadium tumor, lokasi, dan kemapuan

untuk memperoleh batas - batas negatif tumor.


30

TUMOR COLON

1 Definisi
Karsinoma kolon/usus besar adalah tumbuhnya sel kanker yang ganas di
dalam permukaan usus besar atau rektum Karsinoma kolon adalah pertumbuhan
sel yang bersifat ganas yang tumbuh pada kolon dan menginvasi jaringan
sekitarnya (Tambayong, 2000 : 143).
Dari beberapa pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa
karsinoma kolon adalah suatu pertumbuhan tumor yang bersifat ganas dan
merusak sel DNA dan jaringan sehat disekitar kolon (usus besar).

3.2 Insidens
Adenokarsinoma kolon dan rektum merupakan keganasan yang paling
umum ditemukan pada traktus GI. Lebih dari 150.000 kasus baru di Amerika dan
lebih dari 52.000 pasien meninggal tiap tahunnya, hal ini membuat kanker
kolorektal menjadi pembunuh kedua pada penyakit kanker di Amerika. (American
Cancer Society, 2009). Insidensinya terbagi rata antara pria dan wanita dan tetap
berada pada angka yang konstan selama 20 tahun terakhir. Deteksi dini dengan
pengembangan peralatan kedokteran yang mutakhir dianggap dapat membantu
untuk mortalitas kanker kolorektal dala beberapa tahun terakhir.
31

3.3 Epidemiologi (Faktor Risiko)


Identifikasi faktor risiko untuk perkembangan kanker kolorektar
merupakan hal yang penting untuk menentukan program screening dan surveilans
pada populasi dengan faktor risiko.
a. Usia
Usia merupakan faktor risiko yang dominan pada kanker kolorektal, dengan
insidens yang meningkat pada umur >50 tahun (sebanyak 90% kasus). Umur ini
dijadikan dasar rasionalitas untuk melakukan skrining pada orang dengan gejala
yang asimptomatis. Namun kanker kolorektal dapat terjadi pada seluruh usia,
maka jika ada gejala seperti perubahan keadaan usus, perdarahan rektum, melena,
anemia tanpa sebab yang jelas, atau penurunan berat badan maka diperlukan
pemeriksaan yang lebih mendetail.
b. Faktor Herediter
Kira-kira, sebanyak 20% kanker kolorektum muncul dengan adanya riwayat
keluarga yang pernah menderita kanker kolorektal. Pemahaman dan penelitian
yang lebih luas terhadap pemeriksaan genetik dapat berkontribusi untuk diagnosis
dini. Karena pertimbangan medikolegal dan etika yang terlibat dengan
pemeriksaan ini, seluruh pasien harus dilakukan konseling genetik jika memang
ada suspek keluarga yang dulunya terkena kanker kolorektal.
c. Faktor Diet dan Lingkungan
Observasi kanker kolorektal karsinoma lebih sering muncul pada populasi dengan
faktor diet lemak hewan yang tinggi dan rendahnya intake serat, sehingga terdapat
sebuah hipotesis bahwa faktor tersebut berkontribusi untuk menimbulkan kanker.
Diet yang tinggi unsaturated fatty acid atau polyunsaturated fatty acid
meningkatkan risiko kanker kolorktal, sedangkan diet yang tinggi asam oleat
(minyak zaitun, minyak kelapa sawit, dan minyak ikan) tidak meningkatkan
risiko. Pada penelitian dengan hewan menunjukkan lemak tersebut bersifat toksik
langsung terhadap mukosa kolon sehingga mungkin dapat menyebabkan
perubahan maligna. Sebaliknya, diet yang tinggi serat sayur nampaknya bersifat
lebih protektif. Intake kalsium, selenium, vitamin A, C, dan E, karotenoid, dan
fenol dapat mengurangi kejadian kanker kolorektal. Studi ini menjadi dasar
preventif primer untuk mengeradikasi kanker kolorektal dengan cara mengatur
diet dan gaya hidup.
32

d. Inflammatory Bowel Disease (IBD)


Pasien dengan penderita kolitis kronis mempunyai faktor risiko untuk terkena
kanker kolorektal (Eaden JA, 2001). Telah ditarik sebuah hipotesis bahwa
inflamasi kornis akan membuat perubahan struktur pada mukosa kolon menjadi
struktur maligna dan hal ini juga dipengaruhi dengan derajat berat inflamasinya.
Pada ulseratif pankolitis, risiko terkena kanker meningkat sebanyak 2% setelah 10
tahun, 8% setelah 20 tahun, dan 18% setelah 30 tahun. Kolitis daerah sebelah
sinistra tanpa alasan yang jelas mempunyai risiko yang relatif rendah. Akibatnya,
pasien dengan kolitis direkomendasikan agar diperiksa kolonoskopi dengan
biopsy mukosa acak 8 tahun setelah terdiagnosis pankolitis dan 12 15 tahun
kemudian pada pasien dengan pankolitis sinistra.
e. Faktor Risiko Lain
Merokok dapat meningkatkan risiko terkena adenoma kolon, terutama ketika
merokok lebih dari 35 tahun. Pasien dengan uterosigmoidestomi juga mempunyai
peningkatan faktor risiko adenoma maupun karsinoma (Woodhouse CR, 2002).
Akromegali, dimana terjadi peningkatan growth hormone dan insulin-like growth
factor I, juga menambah faktor risiko.

I. Patogenesis

I.1 Defek Genetik


Selama dua dekade terakhir, penelitian ilmiah memfokuskan tentang defek
genetik dan abnormalitas molekular yang berhubungan dengan progresi dan
perkembangan adenoma dan karsinoma kolorektal. Mutasi dapat menyebabkan
aktivasi onkogen (K-ras) dan/atau aktivasi tumor-suppressor genes [APC, DCC
(deleted in colorectal carcinoma), p53]. Karsinoma kolorektal diperkirakan
berkembang dari polip adenoma dengan akumulasi mutasi-mutasi ini (gambar 4).

Gambar 1. Sekuens adenoma-karsinoma pada kanker kolorektal.


Defek pada gen Adenomatous Polyposis Coli (APC) pertama kali
ditemukan pada pasien dengan Familial Adenomatous Polyposis (FAP). Dengan
menyelidiki keluarganya, karakteristik mutasi pada gen APC dapat diidentifikasi.
33

APC gen terdeteksi pada 80% penderita kanker kolorektal. Mutasi gen ini hanya
ditemukan pada adenoma atau karsinoma saja, tetapi tidak pada jaringan
disekitarnya. Hal ini menandakan bahwa mutasinya adalah mutasi somatik.
Karena APC adalah gen penekan tumor, pada kehilangan kedua alelnya dapat
menghilangkan aktifitas penekan tumornya. Mutasi yang terjadi, disebabkan oleh
pembentukan kodon stop yang terlalu awal, yang menghasilkan protein APC yang
terpotong. Pada FAP, tempat mutasi berkaitan dengan gambaran klinis penyakit.
Contohnya, mutasi pada ujung lengan 3 atau 5 menyebabkan pembentukan
bentuk FAP yang lemah, sedangkan pusat mutasi pada gen memperparah
penyakit. Sehingga, pengetahuan tentang mutasi spesifik pada keluarga dapat
digunakan sebagai petunjuk untuk menentukan keputusan klinis.
Inaktifasi hanya pada APC tidak mampu menyebabkan karsinoma. Mutasi
pada APC akan mencetuskan akumulasi kerusakan-kerusakan genetik yang
akhirnya menyebabkan keganasan lewat jalur loss of heterozygosity (LOH).
Mutasi tambahan pada jalur ini termasuk aktivasi K-ras onkogen, dan hilangnya
tumor-suppressor gene DCC dan p53.
K-ras diklasifikasikan sebagai proto-onkogen karena mutasi hanya pada
satu alel saja dapat merusak seluruh siklus sel. Gen K-ras merupakan produk
protein G yang ikut dalam transduksi sinyal intrasel. Ketika K-ras yang aktif
berikatan dengan guanosin triphosphate (GTP); terjadi hidrolisis GTP menjadi
guanine diphosphate (GDP) sehingga menonaktifkan protein G. Mutasi pada K-
ras akan menyebabkan ketidakmampuan untuk menghidrolisis GTP, sehingga
34

protein G akan terus tetap aktif. Diperkirakan mekanisme inilah yang


menyebabkan pembelahan sel yang tidak terkontrol.

Gen Kromosom Kelas Gen Fungsi Keterangan


Adenomatous 5q Tumor suppressor Adhesi dan Mutasi pada FAP
Polyposis Coli komuikasi Gardners da
(APC) interseluler Turcots syndrome.
Deleted in 18q Onkogen Interaksi dan adhesi Pertumbuhan tumo
Colorectal sel invasi, da
Carcinoma (DCC) metastasis
P53 17p Tumor suppressor Transkripsi faktor >50% kanker kolo
untuk gen yang mempunyai mutas
mencegah p53
pertumbuhan tumor
K-ras 12p Onkogen Transduksi signal 50% kanker kolo
mempunyai
aktivitas K-ras
hMSH2, hMLH1, 2p Mismatch repair Memperbaiki HNPCC
hPMS1, hPMS2 kesalahan replikasi
DNA
Gen-gen yang Terlibat dalam Kanker Kolorektal. (Sumber: Allen Jl. Molecular Biology of
colorectal cancer: a clinicians view. Perspect Colon Rectal Surg 1995;8:181-202)

DCC merupakan tumor-suppressor gene dan jika kehilangan kedua alelnya


akan mernyebabkan degenerasi maligna. Peran produk gen DCC berhubungan
dengan adhesi sel dan interaksi sel dan matriks, yang mungkin penting untuk
mencegah pertumbuhan tumor, invasi, dan metastasis (Jeffrey A., 2000). Fungsi
utamanya nampaknya terletak pada system saraf sentral, yang berfungsi dalam
migrasi dan diferensiasi akson. Observasi tersebut menimbulkan hipotesis bahwa
DCC mungkin terlibat dalam adhesi dan diferensiasi kanker kolorektal, namun
teori ini masih belum di buktikan (53). Mutasi pada DCC terlihat pada 70% kasus
dan mungkin bisa berdampak negatif pada prognosis.
35

Tumor-suppressor gene p53 berhubungan dengan beberapa keganasan.


Protein p53 nampaknya menjadi fakor determinan yang paling penting dalam
tomorigenesisi kolorektal. Kebanyakan gen yang teraktifasi oleh P53
dimungkinkan dapat mencegah pertumbuhan. Sehingga, inaktivasi P53 akan
menimbulkan pertumbuhan sel yang tidak terkontrol. Mutasi pada P53 dapat
ditemukan pada setengah kanker manusia, membuat gen ini menjadi jalur pusat
biokimia dalam keganasan manusia.

Mutasi gen APC atau hilangnya kromosom 5q (mutasi didapat pada sindroma poliposis
adenomatosa)

Hiperproliferasi sel kripta dan proliferasi klonal sel batang yang menyebabkan
timbulnya adenoma kecil

Aktivasi onkogen K-ras dalam adenoma kecil dan proliferasi penggandaan sel yang
bermutasi

Adenoma intermediet

Hilangnya DCC, sehingga terjadi proliferasi dengan alterasi genetik multipel

Adenoma tingkat akhir dengan displasia

Hilangnya p53 atau mutasi sehingga terjadi proiferasi maligna

Karsinoma invasif

Jalur LOH sampai ke perkembangan kanker kolorektal. (Sumber: Allen Jl. Molecular Biology of
colorectal cancer: a clinicians view. Perspect Colon Rectal Surg 1995;8:181-202)

I.2 Jalur Genetik


Dua jalur utama inisiasi dan progresi tumor dapat dijelaskan menjadi jalur
Lost of Heterozygosity (LOH) dan replication error (RER). Jalur LOH dicirikan
36

dengan delesi kromosom dan aneuploiditas tumor dan sedikitnya ada tujuh buah
gen yang terlibat dalam jalur LOH ini. Delapan puluh persen karsinoma muncul
dari mutasi pada jalur LOH. Sisanya yang 20% muncul dari jalur RER, yang
dicirikan dengan kesalahan dalam perbaikan mismatch (kesalahan pasangan) pada
replikasi DNA. Beberapa gen telah terdeteksi dalam kesalahan perbaikan DNA
RER, yaitu hMSH2, hMLH1, hPMS1, hPMS2, dan hMSH6/GTBP. Mutasi hanya
pada salah satu gen ini, cukup untuk membuat mutasi sel, yang mungkin dapat
timbul pada proto-onkogen atau tumor suppressor gen. Mismatch ini membuat
terus meningkatnya kesalahan eplikasi, sehingga terjadi instabilitas mikrosatelit
(pertumbuhan sel kanker ditempat lain yang berdekatan) dan malfungsi gen. Jika
telah terbentuk mikrosatelit yang tidakstabil, maka akan mudahnya terjadi
mikrometastasis di tempat lain akibat struktur sel-sel mikrosatelit yang mudah
lepas.
37

Mutasi atau mismatch pada gen-gen yang bertugas memperbaiki kerusakan gen

Akumulasi mutasi somatik di dalam mikrosatelit

Gangguan fungsi mikrosatelit

Gangguan fungsi gen yang mengandung atau diregulasi oleh mikosatelit (Gen reseptor TGR-Beta tipe-II)

Akumulasi perubahan-perubahan genetik pada gen-gen yang berhubungan dengan karsinoma

Sekuens adenoma-karsinoma
(umumnya tidak melibatkan APC, MCC, K-ras, DCC, p53)

Jalur RER sampai ke perkembangan kanker kolorektal. (Sumber: Allen Jl. Molecular Biology of
colorectal cancer: a clinicians view. Perspect Colon Rectal Surg 1995;8:181-202)
38

Faktor Genetik Field effect Faktor lingkungan

Mutasi Inisial

Meningkatnya
kecepatan mutasi

Mutasi (inaktifasi)
kedua

Gen APC Gen MMR

Jalur LOH Jalur RER

Mutasi somatik atau Instabilitas


hilangnya alel K-ras, mikrosatelit (TGF-
DCC, p53 beta, dan lainnya)

Pertumbuhan
klonal

Karsinoma

Metastasis

Faktor-faktor molekular yang berhubungan dengan perkembangan keganasan kolorektal. Faktor


Genetik muncul pada saat lahir yang menginisiasi karsinogenesis atau dapat disebabkan oleh
faktor lingkungan yang menyebabkan kerusakan genetik dan karsinogenesis. (Sumber: Allen Jl.
Molecular Biology of colorectal cancer: a clinicians view. Perspect Colon Rectal Surg
1995;8:181-202)
39

II. Diagnosis

Diagnosa karsinoma kolorektal ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan


fisik pemeriksaan abdomen dan rectal, prosedur diagnostik paling pentng untuk
kanker kolon adalah pengujian darah samar, enema barium,
proktosigmoidoskopi,dan kolonoskopi. Pemeriksaan ini sebaiknya dilakukan
setiap tiga tahun untuk usia 40 tahun keatas. Sebanyak 60% kasus dari kanker
kolorektal dapat diidentifikasi dengan sigmoideskopi dengan biopsi atau apusan
sitologi.

II.1 Manifestasi Klinis


Presentasi timbulnya keganasan kolon dapat dibagi menjadi tiga kategori
umum: onset gejala kronis yang asimtomatis, obstruksi intestinal akut, atau
perforasi akut. Presentasi yang paling sering timbul adalah onset gejala kronis
yang asimtomatis (77 92%), diikuti oleh obstruksi (6 - 16%), dan perforasi
dengan peritonitis local atau difus (2 7%).

Gejala
Usus besar secara klinis dibagi menjadi belahan kiri dan kanan sejalan
dengan suplai darah yang diterima. Arteri mesenterika superior memperdarahi
belahan bagian kanan (caecum, kolon ascendens dan duapertiga proksimal kolon
transversum), dan arteri mesenterika inferior yang memperdarahi belahan kiri
(sepertiga distal kolon transversum, kolon descendens dan sigmoid, dan bagian
proksimal rektum). Tanda dan gejala dari kanker kolon sangat bervariasi dan tidak
spesifik. Keluhan utama pasien dengan kanker kolorektal berhubungan dengan
besar dan lokasi dari tumor. Tumor yang berada pada kolon kanan, dimana isi
kolon berupa cairan, cenderung tetap tersamar hingga lanjut sekali. Sedikit
kecenderungan menyebabkan obstruksi karena lumen usus lebih besar dan feses
masih encer. Gejala klinis sering berupa rasa penuh, nyeri abdomen, perdarahan
dan symptomatic anemia (menyebabkan kelemahan, pusing dan penurunan berat
badan). Tumor yang berada pada kolon kiri cenderung mengakibatkan perubahan
pola defekasi sebagai akibat iritasi dan respon refleks, perdarahan, mengecilnya
40

ukuran feses, dan konstipasi karena lesi kolon kiri yang cenderung melingkar
mengakibatkan obstruksi.

A. Gejala Subakut
Tumor yang berada di kolon kanan seringkali tidak menyebabkan
perubahan pada pola buang air besar (meskipun besar). Tumor yang memproduksi
mukus dapat menyebabkan diare. Pasien mungkin memperhatikan perubahan
warna feses menjadi gelap, tetapi tumor seringkali menyebabkan perdarahan
samar yang tidak disadari oleh pasien. Kehilangan darah dalam jangka waktu
yang lama dapat menyebabkan anemia defisiensi besi. Ketika seorang wanita post
menopouse atau seorang pria dewasa mengalami anemia defisiensi besi, maka
kemungkinan kanker kolon harus dipikirkan dan pemeriksaan yang tepat harus
dilakukan. Karena perdarahan yang disebabkan oleh tumor biasanya bersifat
intermitten, hasil negatif dari tes occult blood tidak dapat menyingkirkan
kemungkinan adanya kanker kolon. Sakit perut bagian bawah biasanya
berhubungan dengan tumor yang berada pada kolon kiri, yang mereda setelah
buang air besar. Pasien ini biasanya menyadari adanya perubahan pada pola buang
air besar serta adanya darah yang berwarna merah keluar bersamaan dengan
buang air besar. Gejala lain yang jarang adalah penurunan berat badan dan
demam. Meskipun kemungkinannya kecil tetapi kanker kolon dapat menjadi
tempat utama intususepsi, sehingga jika ditemukan orang dewasa yang
mempunyai gejala obstruksi total atau parsial dengan intususepsi, kolonoskopi
dan double kontras barium enema harus dilakukan untuk menyingkirkan
kemungkinan kanker kolon.

B. Gejala akut
Gejala akut dari pasien biasanya adalah obstruksi atau perforasi, sehingga
jika ditemukan pasien usia lanjut dengan gejala obstruksi, maka kemungkinan
besar penyebabnya adalah kanker. Obstruksi total muncul pada < 10% pasien
dengan kanker kolon, tetapi hal ini adalah sebuah keadaan darurat yang
41

membutuhkan penegakan diagnosis secara cepat dan penanganan bedah. Pasien


dengan total obstruksi mungkin mengeluh tidak bisa flatus atau buang air besar,
kram perut dan perut yang menegang. Jika obstruksi tersebut tidak mendapat
terapi maka akan terjadi iskemia dan nekrosis kolon, lebih jauh lagi nekrosis akan
menyebabkan peritonitis dan sepsis. Perforasi juga dapat terjadi pada tumor
primer, dan hal ini dapat disalah artikan sebagai akut divertikulosis. Perforasi juga
bisa terjadi pada vesika urinaria atau vagina dan dapat menunjukkan tanda tanda
pneumaturia dan fecaluria. Metastasis ke hepar dapat menyebabkan pruritus dan
jaundice, dan yang sangat disayangkan hal ini biasanya merupakan gejala pertama
kali yang muncul dari kanker kolon.

II.2 Pemeriksaan Fisik


Digital Rectal Examination
Pada pemeriksaan ini dapat dipalpasi dinding lateral, posterior, dan anterior; serta
spina iskiadika, sakrum dan coccygeus dapat diraba dengan mudah. Metastasis
intraperitoneal dapat teraba pada bagian anterior rektusm dimana sesuai dengan
posisi anatomis kantong douglas sebagai akibat infiltrasi sel neoplastik. Meskipun
10 cm merupakan batas eksplorasi jari yang mungkin dilakukan, namun telah
lama diketahui bahwa 50% dari kanker kolon dapat dijangkau oleh jari, sehingga
Rectal examination merupakan cara yang baik untuk mendiagnosa kanker kolon
yang tidak dapat begitu saja diabaikan.

rectal toucher untuk menilai :


Tonus sfingter ani : kuat atau lemah.
Ampula rektum : kolaps, kembung atau terisi feses
Mukosa : kasar,berbenjol benjol, kaku
Tumor : teraba atau tidak, lokasi, lumen yang dapat ditembus jari,
mudah berdarah atau tidak, batas atas dan jaringan
sekitarnya, jarak dari garis anorektal sampai tumor.
42

Gambar : pemeriksaan fisik digital rectal examination

a. Stadium
Sistem stadium penting untuk memprediksi hasil, memilih terapi yang
akan dilakukan, dan perbandingan terapi pada tiap pasien berbeda. Tumor yang
dianggap invasif berarti harus menembus muskularis mukosa. Sel maligna yang
berada tidak menembus muskularis mukosa tidak dianggap dapat invasif karena
tidak adanya linfonodus dan dianggap sebagai carcinoma in situ.
Banyak system stadium keganasan kolorektal yang ada, contohnya
stadium TNM (tumor/nodus/metastasis) yang diklasifikasikan oleh American
College of Surgeons Commission on Cancer.
Stadium Kedalaman Status Limfonodus Metastasis Jauh
Stadium 1 T1, T2 N0 M0
Stadium 2 T3, T4 N0 M0
Stadium 3 Seluruh T Setiap N (Kecuali N0) M0
Stadium 4 Seluruh T Setiap N M1
TX tumor primer, tidak dapat dinilai
T0 tidak ada bukti adanya tumor primer
Tis carcinoma in situ
T1 tumor menginvasi ke submukosa
T2 tumor menginvasi muskularis propria
T3 tumor menginvasi menembus muskularis propria ke tunika subserosa atau ke perikolika atau ke
perirektal
43

T4a perforasi tumor ke peritoneum visceral


T4b tumor langsung menginvasi langsung struktur lain
NX limfonodus regional tidak dapat dinilai
N0 tidak ada limfonodus regional yang terkena
N1 mengenai 1-3 limfonodus perirektal atau perikolik
N2 lebih dari 4 limfonodus perirektal atau perikolik terkena
N3 limfonodus regional beserta pembuluh darah besar
MX adanya metastasis jauh tidak dapat dinilai
M0 tidak ada metastasis jauh
M1 metastasis jauh
Stadium karsinoma kolorektal menurut American Joint Committee on Cancer (AJCC). (Sumber:
Greene et al. AJCC Cancer Staging Manual, Sixth Edition (2002) published by Springer Science
and Business Media LLC, www.springerlink.com).

II.3 Temuan Laboratorium


Hitung darah lengkap/Complete Blood Count (CBC) dapat menunjukkan adanya
anemia. Tes fungsi hepar dapat menunjukkan hasil yang abnormal jika sudah
terjadi metastasis ke hepar. Jika terjadi metastasis ke hepar maka kadar CEA juga
akan ikut meningkat, namun jika tidak ada metastasis, kadar CEA juga akan ikut
meningkat.

II.4 Pemeriksaan Penunjang


1. Biopsi

Konfirmasi adanya malignansi dengan pemeriksaan biopsi sangat penting.


Jika terdapat sebuah obstruksi sehingga tidak memungkinkan dilakukannya biopsi
maka sikat sitologi akan sangat berguna.
2. Carcinoembrionik Antigen (CEA) Screening
CEA adalah sebuah glikoprotein yang terdapat pada permukaan sel yang
masuk ke dalam peredaran darah, dan digunakan sebagai marker serologi untuk
memonitor status kanker kolorektal dan untuk mendeteksi rekurensi dini dan
metastase ke hepar. CEA terlalu insensitif dan nonspesifik untuk bisa digunakan
sebagai screening kanker kolorektal. Meningkatnya nilai CEA serum,
44

bagaimanapun berhubungan dengan beberapa parameter. Tingginya nilai CEA


berhubungan dengan tumor grade 1 dan 2, stadium lanjut dari penyakit dan
kehadiran metastase ke organ dalam. Meskipun konsentrasi CEA serum
merupakan faktor prognostik independen. Nilai CEA serum baru dapat dikatakan
bermakna pada monitoring berkelanjutan setelah pembedahan.
Meskipun keterbatasan spesifitas dan sensifitas dari tes CEA, namun tes
ini sering diusulkan untuk mengenali adanya rekurensi dini. Tes CEA sebelum
operasi sangat berguna sebagai faktor prognosa dan apakah tumor primer
berhubungan dengan meningkatnya nilai CEA. Peningkatan nilai CEA preoperatif
berguna untuk identifikasi awal dari metatase karena sel tumor yang bermetastase
sering mengakibatkan naiknya nilai CEA.

3. Tes Occult Blood


Phenol yang tidak berwarna di dalam guaic gum akan dirubah menjadi
berwarna biru oleh oksidasi. Reaksi ini menandakan adanya peroksidase katalis,
oksidase menjadi sempurna dengan adanya katalis, contohnya hemoglobin. Tetapi
sayangnya terdapat berbagai katalis di dalam diet. Seperti contohnya daging
merah, oleh karena itu diperlukan perhatian khusus untuk menghindari hal ini. Tes
ini akan mendeteksi 20 mg hb/gr feses. Tes imunofluorosensi dari occult blood
mengubah hb menjadi porphirin berfluorosensi, yang akan mendeteksi 5-10 mg
hb/gr feses, Hasil false negatif dari tes ini sangat tinggi. Terdapat berbagai
masalah yang perlu dicermati dalam menggunakan tes occult blood untuk
screening, karena semua sumber perdarahan akan menghasilkan hasil positif.
Kanker mungkin hanya akan berdarah secara intermitten atau tidak berdarah sama
sekali, dan akan menghasilkan tes yang false negatif. Proses pengolahan,
manipulasi diet, aspirin, jumlah tes, interval tes adalah faktor yang akan
mempengaruhi keakuratan dari tes occult blood tersebut. Efek langsung dari tes
occult blood dalam menurunkan mortalitas dari berbagai sebab masih belum jelas
dan efikasi dari tes ini sebagai screening kanker kolorektal masih memerlukan
evaluasi lebih lanjut.
4. Barium Enema
45

Tehnik yang sering digunakan adalah dengan memakai double kontras


barium enema, yang sensitifitasnya mencapai 90% dalam mendeteksi polip yang
berukuran >1 cm. Tehnik ini jika digunakan bersama-sama fleksibel
sigmoidoskopi merupakan cara yang hemat biaya sebagai alternatif pengganti
kolonoskopi untuk pasien yang tidak dapat mentoleransi kolonoskopi, atau
digunakan sebagai pemantauan jangka panjang pada pasien yang mempunyai
riwayat polip atau kanker yang telah di eksisi. Risiko perforasi dengan
menggunakan barium enema sangat rendah, yaitu sebesar 0,02 %. Jika terdapat
kemungkinan perforasi, maka sebuah kontras larut air harus digunakan daripada
barium enema. Barium peritonitis merupakan komplikasi yang sangat serius yang
dapat mengakibatkan berbagai infeksi dan peritoneal fibrosis. Tetapi sayangnya
sebuah kontras larut air tidak dapat menunjukkan detail yang penting untuk
menunjukkan lesi kecil pada mukosa kolon.

a. Persiapan Penderita dalam Pemeriksaan Colon in Loop

a.1 Mengubah pola makanan penderita


Makanan hendaknya mempunyai konsistensi lunak, low residue, dan tidak
mengandung lemak. Ini dimaksudkan untuk mengurangi terjadinya bongkahan-
bongkahan tinja yang keras.
a.2 Minum sebanyak-banyaknya
Oleh karena penyerapan air di saluran cernaterbanyak di kolon, maka
pemberian minum ini dapat menjaga tinja agar tetap lembek. Untuk menjaga
kebutuhan kalori dan keseimbangan elektrolit dapat diberikan oral enteral feeding
berupa bubuk yang dilarutkan dalam air.
a.3 Pemberian Pencahar
Apabila kedua hal di atas dijalankan dengan benar, maka pemberian
pencahar hanyalah sebagai pelengkap saja. Pada beberapa keadaan, seperti : orang
tua, rawat baring yang lama, dan sembelit kronis, pencahar ini mutlak diberikan.
Sebaliknya dipilih pencahar yang mempunyai sifat-sifat sebagai berikut :
- Melembekkan tinja dan meningkatkan peristaltis
46

- Mempunyai cita rasa yang enak


- Mempunyai kemasan yang menarik
Umumnya pemakaian pencahar hanyalah bersifat sementara, walaupun
demikian harus tetap diwaspadai terjadinya kebiasaan memakai laxative (laxative
habits). Magnesium sulfat dapat diberikan sebagai alternatif dan memberikan
hasil yang cukup baik dalam 6-8 jam setelah pemakaian.
Pengalaman menunjukkan salah satu kegagalan persiapan disebabkan
keengganan penderita untuk memakan pencahar oleh karena tidak mempunyai
sifat-sifat tadi.

b. Teknik pemeriksaan
b.1 Tahap pengisian
Di sini terjadi pengisian larutan barium ke dalam lumen kolon. Sampai
bagian kolon manakah pengisian tersebut sangat bergantung pada panjang
pendeknya kolon itu sendiri. Umumnya dapat dikatakan cukup bila sudah
mencapai fleksura lienalis atau pertengahan kolon transversum. Bagian kolon
yang belum terisi dapat diisi dengan merubah posisi penderita dari telentang
(supine) menjadi miring kanan (right decubitus).
b.2 Tahap pelapisan
Dengan menunggu 1-2 menit dapat diberikan kesempatan pada larutan
barium untuk melapisi (coating) mukosa kolon.
b.3 Tahap pengosongan
Setelah diyakini mukosa kolon terlapisi sempurna, maka sisa larutan
barium dalam lumen kolon perlu dibuang sebanyak yang dapat dikeluarkan
kembali. Caranya dengan memiringkan penderita ke kiri (left decubitus) dan
menegakkan meja pemeriksaan (upright).
b4 Tahap pengembangan
Di sini dilakukan pemompaan udara ke dalam lumen kolon. Usahakan
jangan sampai terjadi pengembangan yang berlebihan (overdistention) karena
akan timbul hal-hal yang tidak diingini.
b.5 Tahap pemotretan
47

Setelah seluruh kolon mengembang sempurna, maka dilakukan pemotretan


atau eksposun radiografik. Posisi penderita saat pemotretan tergantung pada
bentuk kolonnya atau kelainan yang ditemukan. Hal yang sama juga berlaku
untuk jumlah film yang dipakai.

c. Lama pemeriksaan
Dianjurkan lama pemeriksaan tidak melebihi 5 menit. Makin lama
pemeriksaan itu berlangsung, kemungkinan terjadinya kerak-kerak barium di
sepanjang kolon makin besar.
d. Alat-alat yang dipakai
Irigator plastic dengan balon dan pompa udara terpasang sangat disukai
untuk dipakai karena sifatnya yang fleksibel sehingga penderita tidak perlu
meninggalkan meja pemeriksaan pada tahap pengosongan.
e. Gambaran Karsinoma Kolon dengan Colon in Loop
Karsinoma kolon secara radiologi member gambaran :
- Penonjolan ke dalam lumen (protruded lession)
Bentuk klasik tipe ini adalah polip. Polip dapat bertangkai (pedunculated) dan
tidak bertangkai (sessile). Dinding kolon seringkali masih baik.
- Kerancuan dinding kolon (colonic wall deformity)
Dapat bersifat simetris (napkin ring) atau asimetris (apple core). Lumen kolon
sempit dan irregular. Kerap kali hal ini sulit dibedakan dengan colitis Crohn
- Kekakuan dinding kolon (rigidity colonic wall)
Bersifat segmental, terkadang mukosa masih baik. Lumen kolon dapat tidak
menyempit. Bentuk ini sukar dibedakan dengan colitis ulseratif.

5. Endoskopi
Tes tersebut diindikasikan untuk menilai seluruh mukosa kolon karena 3% dari
pasien mempunyai synchronous kanker dan berkemungkinan untuk mempunyai
polip premaligna.
48

Gambar : metode pemeriksaan endoscopy tumor kolon

Gambar : karsinoma kolon yang dilihat dengan pemeriksaan endoskopi

6. Proktosigmoidoskopi
Pemeriksaan ini dapat menjangkau 20-25 cm dari linea dentata, tapi akut
angulasi dari rektosigmoid junction akan dapat menghalangi masuknya instrumen.
Pemeriksaan ini dapat mendeteksi 20-25% dari kanker kolon. Rigid
proctosigmoidoskopi aman dan efektif untuk digunakan sebagai evaluasi
seseorang dengan risiko rendah dibawah usia 40 tahun jika digunakan bersama
sama dengan occult blood test.
49

Gambar : karsinoma kolon yang dilihat dengan sigmoidoskopi

7. Flexible Sigmoidoskopi
Flexible sigmoidoscopi dapat menjangkau 60 cm kedalam lumen kolon
dan dapat mencapai bagian proksimal dari kolon kiri. Lima puluh persen dari
kanker kolon dapat terdeteksi dengan menggunakan alat ini. Flexible
sigmoidoscopi tidak dianjurkan digunakan untuk indikasi terapeutik polipektomi,
kauterisasi dan semacamnya; kecuali pada keadaan khusus, seperti pada ileorektal
anastomosis. Flexible sigmoidoscopi setiap 5 tahun dimulai pada umur 50 tahun
merupakan metode yang direkomendasikan untuk screening seseorang yang
asimptomatik yang berada pada tingkatan risiko menengah untuk menderita
kanker kolon. Sebuah polip adenomatous yang ditemukan pada flexible
sigmoidoscopi merupakan indikasi untuk dilakukannya kolonoskopi, karena
meskipun kecil (<10 mm), adenoma yang berada di distal kolon biasanya
berhubungan dengan neoplasma yang letaknya proksimal pada 6-10% pasien.

8. Kolonoskopi
Kolonoskopi dapat digunakan untuk menunjukan gambaran seluruh
mukosa kolon dan rectum. Sebuah standar kolonoskopi panjangnya dapat
mencapai 160 cm. Kolonoskopi merupakan cara yang paling akurat untuk dapat
menunjukkan polip dengan ukuran kurang dari 1 cm dan keakuratan dari
pemeriksaan kolonoskopi sebesar 94%, lebih baik daripada barium enema yang
50

keakuratannya hanya sebesar 67%.2 Sebuah kolonoskopi juga dapat digunakan


untuk biopsi, polipektomi, mengontrol perdarahan dan dilatasi dari striktur.
Kolonoskopi merupakan prosedur yang sangat aman dimana komplikasi utama
(perdarahan, komplikasi anestesi dan perforasi) hanya muncul kurang dari 0,2%
pada pasien. Kolonoskopi merupakan cara yang sangat berguna untuk
mendiagnosis dan manajemen dari inflammatory bowel disease, non akut
divertikulitis, sigmoid volvulus, gastrointestinal bleeding, megakolon non toksik,
striktur kolon dan neoplasma. Komplikasi lebih sering terjadi pada kolonoskopi
terapi daripada diagnostik kolonoskopi, perdarahan merupakan komplikasi utama
dari kolonoskopi terapeutik, sedangkan perforasi merupakan komplikasi utama
dari kolonoskopi diagnostik.

Gambar : Metode pemeriksaan kolonoskopi

II.5Imaging Tehnik
MRI, CT scan, transrectal ultrasound merupakan bagian dari tehnik
imaging yang digunakan untuk evaluasi, staging dan tindak lanjut pasien dengan
kanker kolon, tetapi tehnik ini bukan merupakan screening tes.
a. CT scan
CT scan dapat mengevaluasi abdominal cavity dari pasien kanker kolon
pre operatif. CT scan bisa mendeteksi metastase ke hepar, kelenjar adrenal,
51

ovarium, kelenjar limfa dan organ lainnya di pelvis. CT scan sangat berguna untuk
mendeteksi rekurensi pada pasien dengan nilai CEA yang meningkat setelah
pembedahan kanker kolon. Sensitifitas CT scan mencapai 55%. CT scan
memegang peranan penting pada pasien dengan kanker kolon karena sulitnya
dalam menentukan stage dari lesi sebelum tindakan operasi. Pelvic CT scan dapat
mengidentifikasi invasi tumor ke dinding usus dengan akurasi mencapai 90 %,
dan mendeteksi pembesaran kelanjar getah bening >1 cm pada 75% pasien. 19
Penggunaan CT dengan kontras dari abdomen dan pelvis dapat mengidentifikasi
metastase pada hepar dan daerah intraperitoneal.

Gambar 8 : CT scan pelvis menunjukkan adanya tumor kolon yang sudah


metastasis pada hepar dan daerah intraperitoneal

b. MRI
MRI lebih spesifik untuk tumor pada hepar daripada CT scan dan sering
digunakan pada klarifikasi lesi yang tak teridentifikasi dengan menggunakan CT
scan. Karena sensifitasnya yang lebih tinggi daripada CT scan, MRI dipergunakan
untuk mengidentifikasikan metastasis ke hepar.
52

Gambar : MRI dari karsinoma kolon

c. Endoskopi UltraSound (EUS)


EUS secara signifikan menguatkan penilaian preoperatif dari kedalaman
invasi tumor, terlebih untuk tumor rektal. Keakurasian dari EUS sebesar 95%,
70% untuk CT dan 60% untuk digital rektal examination. Pada kanker rektal,
kombinasi pemakaian EUS untuk melihat adanya tumor dan digital rektal
examination untuk menilai mobilitas tumor seharusnya dapat meningkatkan
ketepatan rencana dalam terapi pembedahan dan menentukan pasien yang telah
mendapatkan keuntungan dari preoperatif kemoradiasi. Transrektal biopsi dari
kelenjar limfa perirektal bisa dilakukan di bawah bimbingan EUS.
53

II.6 Pendekatan Diagnosis

Algoritme diagnosis dan terapeutik kanker kolon.4


54

VI. Penatalaksanaan

Prinsip Reseksi
Tujuan penatalaksanaan karsinoma kolon adalah untuk mengangkat tumor
primer beserta dengan suplai limfovaskularnya. Karena pembuluh limfe pada
kolon bersamaan dengan suplai arteri, panjang kolon yang direseksi bergantung
pada pembuluh darah yang terlibat dalam menyuplai sel kanker. Setiap jaringan
yang menempel pada sel kanker, seperti omentum, yang telah terinvasi, harus
dilakukan reseksi en bloc. Jika seluruh tumor tidak dapat diangkat, maka terapi
paliatif menjadi pilihannya.
Adanya sel-sel kanker atau adenoma yang saling berhubungan, atau
adanya riwayat keluarga dengan neoplasma kolorektal, menandakanbahwa
seluruh kolon berisiko terkena karsinoma (biasanya disebut juga field defect) dan
dipertimbangkan dilakukan kolektomi total atau subtotal. Jika terjadi
metachronous tumors (tumor kedua daritumor primerkolon) maka dilakukan juga
dengan penatalaksanaan yang sama.
Jumlah limfonodus yang diambil pada pembedahan mampu menentukan
kualitas reseksi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa sebanyak minimal 12
limfonodus yang terangkat memiliki tingkat kesembuhan yang adekuat. Namun
pada penelitian lain menunjukkan bahwa jumlah limfonodus yang terambil tidak
menentukan tingkat kesembuhan.
Jika ditemukan metastasis tumor pada saat laparotomi, maka reseksi tumor
primer tetap dilakukan jika kondisi pasien stabil. Dipertimbangkan agar dilakukan
anastomosis primer jika kolon terlihat sehat, tidak terlibat karsinomatosis, dan
keadaan pasien stabil.
55
56

Gambar panjang reseksi pada karsinoma kolon. A. Karsinoma sekum. B. Karsinoma felksura
hepatika. C. Karsinoma kolon transversum. D. Karsinomafleksura splenika. E. Karsinoma kolon
desenden. F. Karsinoma kolon sigmoid. (Sumber: Brunicardi FC, Anderson DK, Billiar TR, Dunn
DL, Hunter JG, Metthews JB, Pollock RE: Schwartzs Principles of Surgery, 9th Edition).

VI.1 Stadium 0 (Tis, N0, M0)


Polip yang mengandung karsinoma in situ (high-grade dysplasia) tidak
berisiko untuk terjadi metastasis limfonodus. Namun adanya high-grade
dysplasia, menaikkan adanya risiko karsinoma invasif di dalam polip. Akibat hal
ini, polip tersebut harus di eksisi seluruhnya dan batas patologik di sekitar polip
harus terbebas dari area displasia. Umumnya polip ini dapat dieksisi dengan
endoskopi. Setelah dibedah, pasien harus tetap di followup dengan endoskopi
untuk meyakinkan bahwa polipnya tidak akan timbul kembali dan tidak
berkembang menjadi karsinoma kolon. Jika polip tidak bias di angkat seluruhnya,
maka dapat direkomendasikan unutuk dilakukan eksisi segmental.

VI.2 Stadium I: Polip Maligna (T1, N0, M0)


Penatalaksanaan polip maligna tergantung pada tempat munculnya polip
dan risiko timbulnya metastasis limfonodus. Risiko metastasis limfonodus
tergantung pada kedalaman invasi. Karsinoma invasif yang terdapat pada kepala
polip tanpa mengenai batangnya memiliki risiko metastasis yang rendah (<1%)
dan dapat direseksi secara endoskopi. Namun, invasi limfovaskular, gambaran
histologi dengan diferensiasi yang luas, atau tumor dalam batas 1 mm dari tempat
reseksi mempunyai faktor risiko rekurensi lokal dan metastasis. Pada keadaan ini
merupakan indikasi dilakukannya kolostomi segmental. Karsinoma invasif yang
muncul dari polip sessile memanjang ke arah submukosa sehingga dapat
dilakukan kolostomi segmental.
57

Gambar letak karsinoma invasif pada polip yang bertangkai dan polip sessile. (Sumber: Brunicardi
FC, Anderson DK, Billiar TR, Dunn DL, Hunter JG, Metthews JB, Pollock RE: Schwartzs
Principles of Surgery, 9th Edition).

VI.3 Stadium I dan II: Karsinoma Kolon Terlokalisir (T1-T3, N0, M0)
Kebanyakan pasien pada karsinoma kolon stadium I dan II dapat
disembuhkan dengan reseksi. Hanya beberapa pasien yang kembali timbul kanker
setelah dilakukan reseksi, pengobatan kemoterapi ajuvan tidak dapat mengurangi
rekurensi kanker ini. Namun sebanyak 46% pasien setelah reseksi komplit
stadium II akan meninggal akibat kanker kolon. Akibat hal tersebut, dilakukanlah
pengobatan ajuvan pada beberapa pasien dengan karsinoma kolon stadium II
(pasien yang masih muda dengan gambaran radiologi dengan displasia yang
tinggi). Data yang ada masih kontroversial apakah dengan terapi ajuvan setelah
bedah mampu meningkatkan survival rate.

VI.4 Stadium III: Metastasis Limfonodus (Seluruh T, N1, M0)


Pasien dengan metastasis pada limfonodus berisiko terjadinya metastasis
lokal maupun jauh dan kemoterapi ajuvan direkomendasikan pada pasien ini. 5-
flurouracil (5-FU) dan levamisole mengurangi angka kematian sampai 33%
dengan efek samping yang rendah. Agen kemoteraputik lain seperti capecitabine,
irinotecan, oxaliplatin, angiogenesis inhibitors, and imunoterapi juga
menunjukkan efek yang baik.
58

VI.5 Stadium IV: Metastasis Jauh (Seluruh T, Seluruh N, M1)


Angka keselamatan pada kanker kolon stadium IV sangat rendah. Namun,
tidak seperti keganasan lain, pasien dengan metastase yang dapat direseksi dan
terlokalisir, memiliki keuntungan dari reseksi (metastasektomi). Tempat yang
paling sering terjadi metastase adalah pada hepar dan 20% diantara pasien yang
memiliki metastasis dapat direseksi. Angka keselamatan pada pasien ini
meningkat (20 40% dalam 5 tahun). Tempat kedua yang paling sering terkena
metastasis adalah paru, muncul sebanyak 20% pasien dengan karsinoma
kolorektal. Meski hanya beberapa pasien yang mampu menjalani reseksi (sekitar 1
2%), angka keselamatan jangka panjang mencapai 30 40%.
Pada pasien karsinoma kolon stadium IV yang tidak dapat direseksi; fokus
penatalaksanaan tertuju pada terapi paliatif. Umumnya reseksi pada tumor primer
direkomendasikan agar dapat mencegah komplikasi seperti perdarahan dan
obstruksi. Namun, bedah abdomen mayor dapat mengurangi efek kemoterapi.
Terlebih lagi, kemoterapi regimen baru mempunyai efek yang signifikan dan
pengecilan tumor. Berdasarkan teori ini, beberapa ahli bedah menganjurkan hanya
dilakukan kemoterapi tanpa reseksi pada kanker kolon stadium IV.

VI.6 Regimen Kemoterapi yang Digunakan pada M.D. Anderson Cancer


Centre (MDACC) 4
Pasien dengan kanker kolon stadium II dan III mempunyai risiko terkena
mikrometastasis setelah reseksi. Terapi sistemik telah didirikan untuk mencegah
komplikasi tersebut. Berikut adalah terapi yang umum digunakan pada MDACC
Kemoterapi Ajuvan

Mayo Clinic Bolus: 5-FU 425 mg/m2 + leucovorin 20 mg/m2 pada hari 15 tiap 4 minggu.
Total 6 minggu.
Roswell Park: 5-FU 500 mg/m2 + leucovorin 500 mg/m2 per minggu untuk 6 minggu dengan
2 minggu waktu istirahat (tidak minum obat). Total 3 siklus.
Capecitabine: 2000 mg/m2 dalam dua dosis dua kali per hariselama 14 hari, 7 hari istirahat.
Total 8 siklus.
FOLFOX 4: Oxaliplatin 85 mg/m2 IV hari 1; leucovorin 200 mg/m2 IV; fluorouracil 400
mg/m2 IV bolus, diikuti oleh fluorouracil 600 mg/m2 untuk 22 jam selama hari ke-1 dan 2,
diberika tiap 14 hari. Total 12 siklus.
59

Terapi untuk Metastasis

Mayo Clinic Bolus: 5-FU 425 mg/m2 + leucovorin 20 mg/m2 pada hari 15 tiap 4 minggu.
Roswell Park: 5-FU 500 mg/m2 + leucovorin 500 mg/m2 per minggu selama 6 minggu
dengan 2 minggu waktu istirahat.
IFL (Saltz Regimen, Triple Therapy): CPT-11 100125 mg/m2 IV tiap 90 min, 5-FU 500
mg/m2, semua diberikan selama 4 minggu dan 2 minggu waktu istirahat.
FOLFOX 4: Oxaliplatin 85 mg/m2 IV hari ke-1; leucovorin 200 mg/m2 IV; fluorouracil 400
mg/m2 IV bolus, diikuti oleh fluorouracil 600 mg/m2 untuk 22 jam selama hari ke-1 dan 2
diberikan selama 14 hari.
XELIRI: Irinotecan 200250 mg/m2 day 1; capecitabine 7501000 mg/m2 PO dua kali
perhari hari ke-114, tiap 21 hari.
XELOX: Oxaliplatin 100 mg/m2 hari ke- 1; capecitabine 7501000 mg/m2 PO BID dua kali
perhari hari ke-114, tiap 21 hari.
Bevacizumab: (Avastin) 5 mg/kg IV tiap 14 hari diselingi dengan 5-FU-based chemotherapy.
Cetuximab: (Erbitux) 400 mg/m2 loading dose mencapai 120 menit (minggu ke-1); 250
mg/m2 selama 60 menit per minggu dosis maintenance, dengan irinotecan atau sebagai
single agent pada pasien yang tintoleransi irinotecan.

VII. Prognosis

Tabel stadium karsinoma kolorektal dan angka keselamatan selama 5 tahun. (Sumber: Greene et al.
AJCC Cancer Staging Manual, Sixth Edition (2002) published by Springer Science and Business
Media LLC, www.springerlink.com)

Pasien dengan stadium I dan II dapat mencapai angka keselamatan yang


sangat baik. Adanya metastasis pada limfonodus mengurangi angka keselamatan
sebanyak 40%. Angka keselamatan selama 5 tahun pada kanker kolorektum
stadium IV menurun drastis sampai 14%.
60

Tabel stadium kanker menurut AJCC. (Sumber: Greene et al. AJCC Cancer Staging Manual, Sixth
Edition (2002) published by Springer Science and Business Media LLC, www.springerlink.com)

VIII. Komplikasi
Komplikasi yang paling timbul pada kanker adalah metastasis kanker ke
organ lain. Tempat yang paling sering terjadi metastase adalah pada hepar dan
20% diantara pasien yang memiliki metastasis dapat direseksi. Angka keselamatan
pada pasien ini meningkat (20 40% dalam 5 tahun). Tempat kedua yang paling
sering terkena metastasis adalah paru, muncul sebanyak 20% pasien dengan
karsinoma kolorektal. Meski hanya beberapa pasien yang mampu menjalani
reseksi (sekitar 1 2%), angka keselamatan jangka panjang mencapai 30 40%.

Anda mungkin juga menyukai