Anda di halaman 1dari 17

BAB I

I. IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. Duriyat Afrijal


Jenis kelamin : Laki - laki
Umur : 34 tahun
Alamat : Perumahan Kiara Rahayu
Agama : Islam
Status : Sudah Menikah
Pekerjaan : Pegawai Swasta
Tanggal periksa : 26 Januari 2017

II. ANAMNESIS

Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 26 Januari 2017 di bangsal


Anggrek 1 pasien THT RSUD dr. Dradjat Prawiranegara Serang.

Keluhan utama : Hidung Tersumbat

Keluhan tambahan : Pilek, sakit kepala, suara sengau.

Riwayat penyakit sekarang:


Pasien datang ke RSDP Serang dengan keluhan hidung tersumbat sisi kanan sejak 2 bulan
sebelum masuk rumah sakit. pasien juga sering merasa tersumbat pada sisi kiri namun
lebih berat pada sisi kanan. Pasien juga mengeluh pilek sejak 2 bulan sebelum masuk
rumah sakit. Pilek menetap tidak terdapat perbaikan dan mengeluarkan sekret berwarna
putih bening sedikit kental. Sejak hidung pasien tersumbat, pasien sering merasa surara
sengau (bindeng). Pasien juga merasa sakit kepala pada atas alis sisi kanan seperti
ditekan.
Pasien menyangkal adanya alergi pada makanan, obat-obatan, debu serta tidak memiliki
hewan peliharaan. Pasien juga menyangkal adanya post nasal drip pada pagi hari. Tidak
ada keluhan seperti demam, telinga berdenging, nyeri menelan dan nyeri tenggorok.

Riwayat penyakit dahulu:


Riwayat alergi (-), sinusitis (-) hidung tersumbat (-) asma (-) operasi (-)
Riwayat penyakit keluarga:
Riwayat alergi (-), sinusitis (-) hidung tersumbat (-) asma (-)

III. PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan umum : Sedang


Kesadaran : Composmentis
Tanda vital
Tekanan darah : 90/70 mmHg

1
Nadi : 90x/menit
Pernapasan : 20x/menit
Suhu : 36,8C

Status generalis
Kepala : Normocephal, rambut hitam
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-)
THT : Status lokalis
Leher : Pembesaran KGB (-), JVP normal
Thorax
Inspeksi : Simetris bilateral saat statis dan dinamis
Palpasi : NT (-), massa (-)
Perkusi : Sonor diseluruh lapang paru
Auskultasi : Vesikuler (+), wheezing (-/-), Rhonki (-/-)
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
Perkusi : Batas jantung normal
Auskultasi : BJ 1 & 2 reguler, gallop (-), murmur (-)
Abdomen
Inspeksi : Perut simetris
Palpasi : NT (-), batas hepar normal, massa (-)
Perkusi : Timpani (-)
Auskultasi : Bising usus (+)
Ekstremitas : akral hangat, udema kaki (-/-)

Status lokalis

Pemeriksaan Telinga

Auric
Bagian Kelainan
Dextra Sinistra
Bentuk telinga Normotia
Aurikula Kelainan kongenital - -
Peradangan - -
Massa - -
Nyeri tarik - -
Nyeri tekan tragus - -
Preaurikuler & Kelainan kongenital - -
retroaurikuler Peradangan - -
Massa - -
Edema - -
Sikatrik - -
Fistula - -

2
Pembesaran KGB - -
Nyeri tekan - -
Liang telinga Kelainan kongenital - -
luar Peradangan - -
Massa - -
Edema - -
Fistula - -
Kelainan kulit - -
Sekret - -
Serumen - -
Membran Kondisi Intak Intak
timpani Cone of light + +
refleks cahaya refleks cahaya
arah jam 5 arah jam 7

Pemeriksaan Hidung

Kavum Nasi
Pemeriksaan
Dextra Sinistra
Inspeksi
Bentuk Tampak Simetris kanan dan kiri
Sikatrik - -
Hematom - -
Racoons eye - -
Palpasi
Nyeri tekan sinus paranasal Ethmoidalis -
Krepitasi - -
Massa + +
Rhinoscopy anterior

3
Cavum nasi Sekret purulen Sekret purulen
Mukosa cavum nasi Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Edema (-) Edema (-)
Sekret + +
Konka inferior Hipermis (-) Hipermis (-)
Hipertrofi (+) Hipertrofi (-)
Konka media Hipermis (-) Hipermis (-)
Hipertrofi (+) Hipertrofi (-)
Meatus inferior Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Meatus media Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Massa (-) Massa (-)
Septum anterior Deviasi (+) Deviasi (-)
Rhinoscopy posterior
Nasofaring
Koana
Konka superior
Tidak dilakukan pemeriksaan
Konka media
Kelenjar adenoid
Massa

Pemeriksaan Tenggorok

Pemeriksaan Kondisi
Faring & Rongga Mulut
Bibir Sianosis (-)
Mukosa mulut Hiperemis (-)
Lidah Normal
Gusi Normal
Gigi berlubang Kiri atas
Palatum durum Hipermis (-)
Palatum mole Hipermis (-)
Uvula Hipermis (-), Deviasi (-)
Arkus faring Hipermis (-), Simetris
Tonsil Normal, T1 T1
Hipofaring & Laring
Pita suara Hipermis (-), Deviasi (-), massa (-)
Epiglottis Hipermis (-)

4
Esophagus Lapang

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan Lab:
Hb : 14,10 g/dL
L : 8.700 /L
Ht : 43,30 %
Tr : 285.000 /L
CT/BT : 7/2 menit
HbSAg : (-)

Pemeriksaan Radiologi :

Foto polos sinus paranasal ( posisi waters, AP, caldwell dan lateral )

5
Hasil pemeriksaan didapatkan :

Sinus maksilaris, eithmoidalis, dan spenoidalis kanan berselubung, kiri normal


Sinus frontalis dalam batas normal
Konkha nasal menebal bilateral terutama kanan
Septum nasi deviasi ke kiri

Kesan :

- Sinusitis maksilaris, eithmoidalis, dan spenoidalis kanan


- Hipertrofi konkha nasalis bilateral terutama kanan
- Deviasi septum nasi ke kiri

CT-Scan Sinus Paranasal

V. DIAGNOSIS

Diagnosis : polip nasal grade 2, septum deviasi, sinusitis maxilaris, eithmoidalis dan
spenoidalis dextra et causa polip nasal.

DD :- Rinitis Alergi

6
- Sinusitis Jamur

VI. PENATALAKSANAAN
a) Medikamentosa
Antibiotik
Analgetik
Anti-inflamasi
Antihistamin

b) Non-medikamentosa
Mengurangi konsumsi makan & minum yang dingin
Menghindari faktor pencetus
Menjaga daya tahan tubuh
Menggunakan masker saat bekerja

c) Operatif
Polipektomi + Sinustektomi + Turbinektomi + Septoplasti

VII. PROGNOSIS

Ad Vitam : Ad bonam

Ad Functionam : Ad Bonam

Ad Sanationam : Dubia Ad Bonam

BAB II

7
TINJAUAN PUSTAKA

II.1. ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL

II.1.1 ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG

Hidung luar berbentuk pyramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah: 1)


pangkal hidung (bridge), 2) dorsum nasi, 3) puncak hidung, 4) ala nasi, 5) kolumela dan 6)
lubang hidung (nares anterior). Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan
yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk
melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari 1) tulang hidung
(os nasalis), 2) prosesus frontalis os maksila dan 3) prosesus nasalis os frontal, sedangkan
kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian
bawah hidung, yaitu 1) sepasang kartilago nasalis lateralis superior, 2) sepasang kartilago
nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago ala mayor, 3) beberapa pasang
kartilago ala minor dan 4) tepi anterior kartilago septum.2

Gambar 2.1 Kerangka tulang dan tulang rawan

Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang, dipisahkan
oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu atau lubang
masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares
posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring2.

Bagian kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat di belakang nares anterior,
disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisis oleh kulit yang mempunyai banyak kelenjar
sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrise.2

Gambar 2.2 Dinding lateral kavum nasi


Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral, inferior dan
superior. 2 Dinding medial hidung adalah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan
tulang rawan. Bagian tulang adalah (1) lamina prependikularis os etmoid, (2) vomer, (3)
Krista nasalis os maksila dan (4) krista nasalis os palatine. Bagian tulang rawan adalah (1)
kartilago septum (lamina kuadrangularis) dan (2) kolumela. Bagian superior dan posterior
disusun oleh lamona prependikularis os etmoid dan bagian anterior oleh kartilago septum
(quadrilateral), premaksila, dan kolumna membranousa. Bagian inferior, disusun oleh vomer,
maksila, dan tulang palatine dan bagian posterior oleh lamina sphenoidalis. Septum dilapisi
oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periostium pada bagian tulang, sedangkan

diluarnya dilapisi pula oleh mukosa hidung.


Gambar2.3
Bagian depan dinding lateral hidung Septum
licin, yang nasi ager nasi dan di belakangnya terdapat
disebut
konka-konka yang mengisi sebagian besar dinding lateral hidung. Pada dinding lateral
terdapat 4 buah konka, yang terbesar dan letaknya paling bawah ialah konka inferior,

9
kemudian yang lebih kecil ialah konka media, lebih kecil lagi adalah konka superior,
sedangkan yang terkecil disebut konka suprema. Konka suprema ini biasanya rudimenter.
Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin etmoid,
sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari labirin etmoid. 2

Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut
meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus inferior, medius, dan
superior. Meatus inferior terletak diantara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding
lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis.
Meatus medius terletak diantara konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus
medius terdapat bula etmoid, prosesus unsinatus, hiatus semilnaris dan infundibulum etmoid.
Hiatus semilunaris merupakan suatu celah sempit melengkung dimana terdapat muara sinus
frontal, sinus maksila dan sinus etmoid anterior. Pada meatus superior yang merupakan ruang
diantara konka superior dan konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus
sphenoid. Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila dan
os palatum.2

Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina kribiformis, yang
memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung. Bagian atas rongga hidung mendapat
pendarahan dari a. etmoid anterior dan posterior yang merupakan cabang dari arteri
oftalmika, sedangkan a. oftalmika berasal dari a. karotis interna.

1. Komplek OsteoMeatal

Kompleks ostiomeatal (KOM) merupakan celah pada dinding lateral hidung yang
dibatasi oleh konkha media dan lamina papirasea. Struktur anatomi penting yang membentuk
KOM adalah prosesus uncinatus, infundibulum etmoid, hiatus semilunaris, bula etmoid, aggre
nasi dan resessus frontal. KOM merupakan unit fungsional yang merupakan tempat ventilasi
dan drenasi dari sinus-sinus yang letaknya di anterior yaitu sinus maksila, etmoid anterior dan
frontal.

II.1.2 ANATOMI DAN FISIOLOGI SINUS PARANASAL

10
Ada delapan sinus paranasal, empat buah pada masing-masing sisi hidung.
Anatominya dapat dijelaskan sebagai berikut:

Sinus frontal kanan dan kiri, sinus ethmoid kanan dan kiri (anterior dan posterior),
sinus maksila dan sinus kanan dan kiri (antrium highmore) dan sinus sfenoid kanan dan kiri.
Semua sinus ini dilapisi oleh mukosa yang merupakan lanjutan mukosa hidung, berisi udara
dan semua bermuara di rongga hidung melalui ostium masing-masing.
Pada meatus medius yang merupakan ruang diantara konka superior dan konka
inferior rongga hidung terdapat suatu celah sempit yaitu hiatus semilunaris yakni muara dari
sinus maksila, sinus frontalis dan ethmoid anterior.
Sinus paranasal terbentuk pada fetus usia bulan III atau menjelang bulan IV dan tetap
berkembang selama masa kanak-kanak, jadi tidak heran jika pada foto anak-anak belum ada
sinus frontalis karena belum terbentuk.
Pada meatus Meatus superior yang merupakan ruang di antara konka superior dan
konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid.

Fungsi sinus paranasal


Membentuk pertumbuhan wajah
Sebagai pengatur udara (air conditioning)
Peringan cranium
Resonansi suara

11
Membantu produksi mukus

II.2. POLIP NASI

2.1 definisi

Polip nasi merupakan kelainan mukosa hidung berupa massa lunak yang bertangkai,
berbentuk bulat atau lonjong, berwarna putih keabuan, dengan permukaan licin dan agak
bening karena mengandung banyak cairan. Umumnya sebagian besar polip ini berasal
dari celah kompleks osteomearal (KOM) yang kemudian tumbuh ke arah rongga
hidung.

2.2 Epidemiologi

Prevalensi penderita polip nasi belum diketahui pasti karena hanya sedikit laporan dari hasil
studi epidemiologi serta tergantung pada pemilihan populasi penelitian dan metode
diagnostik yang digunakan. Prevalensi polip nasi dilaporkan 1-2% pada orang dewasa di
Eropa dan 4,3% di Finlandia. Dengan perbandingan pria dan wanita 2- 4:1. Di Amerika
Serikat prevalensi polip nasi diperkirakan antara 1-4 %. Pada anak-anak sangat jarang
ditemukan dan dilaporkan hanya sekitar 0,1%. Penelitian Larsen dan Tos di Denmark
memperkirakan insidensi polip nasi sebesar 0,627 per 1000 orang per tahun (Bateman 2003,
Ferguson et al.2006). Di Indonesia studi epidemiologi menunjukkan bahwa perbandingan pria
dan wanita 2-3 : 1 dengan prevalensi 0,2%-4,3%.

2.4 Etiologi

Polip hidung biasanya terbentuk sebagai akibat reaksi hipersensitif atau reaksi alergi pada
mukosa hidung. Peranan infeksi pada pembentukan polip hidung belum diketahui secara pasti
tetapi ada keraguan bahwa infeksi dalam hidung atau sinus paranasal seringkali ditemukan
bersamaan dengan adanya polip. Polip berasal dari pembengkakan lapisan permukaan
mukosa hidung atau sinus, yang kemudian menonjol dan turun ke dalam rongga hidung oleh
gaya berat. Polip banyak mengandung cairan interseluler dan sel radang (neutrofil dan
eusinofil) dan tidak mempunyai ujung saraf atau pembuluh darah. Polip biasanya ditemukan
pada orang dewasa dan jarang pada anak-anak. Pada anak-anak, polip mungkin merupakan
gejala dari kistik fibrosis.

Yang menjadi faktor predisposisi terjadinya polip antara lain alergi terutama rinitis
alergi, sinusitis kronik, iritasi, dan sumbatan hidung oleh kelainan anatomi seperti deviasi
septum dan hipertrofi konkha.

2.5 Patofisiologi

Pada tingkat permulaan ditemukan edema mukosa yang kebanyakan terdapat di


daerah meatus medius. Kemudian stroma akan terisi oleh cairan interseluler, sehingga mukosa
yang sembab menjadi polipoid. Bila proses terus berlanjut, mukosa yang sembab makin

12
membesar dan akan turun ke dalam ronga hidung sambil membentuk tangkai, sehingga
terbentuk polip.

Polip di kavum nasi terbentuk akibat proses radang yang lama. Penyebab tersering
adalah sinusitis kronik dan rinitis alergi. Dalam jangka waktu yang lama, vasodilatasi lama
dari pembuluh darah submukosa menyebabkan edema mukosa. Mukosa akan menjadi
ireguler dan terdorong ke sinus dan pada akhirnya membentuk suatu struktur bernama polip.
Biasanya terjadi di sinus maksila, kemudian sinus etmoid. Setelah polip terus membesar di
antrum, akan turun ke kavum nasi. Hal ini terjadi karena bersin dan pengeluaran sekret yang
berulang yang sering dialami oleh orang yang mempunyai riwayat rinitis alergi. Begitu
sampai dalam kavum nasi, polip akan terus membesar dan bisa menyebabkan obstruksi di
meatus media.

2.6 Gejala Klinis

Polip hidung dapat menyebabkan hidung tersumbat, yang selanjutnya dapat


menginduksi rasa penuh atau tekanan pada hidung dan rongga sinus. Kemudian
dirasakan hidung yang berair (rinorea) mulai dari yang jernih sampai purulen,
hiposmia atau anosmia serta dapat juga dirasakan nyeri kepala daerah frontal. Gejala
lain yang dapat timbul tergantung dari penyertanya, pada infeksi bakteri dapat disertai
pula dengan post nasal drip serta rinorea purulen. Gejala sekunder yang dapat timbul
adalah bernafas melalui mulut, suara sengau, halitosis, gangguan tidur, dan gannguan
kualitas hidup.2

Dapat juga menyebababkan gejala pada saluran nafas bawah, berupa batuk
kronik dan mengi, terutama pada penderita polip hidung dengan asma. Selain itu harus
dicari riwayat penyakit lain seperti alergi, asma, intoleransi aspirin.

2.7 Diagnosis

Anamnesis
Dari anamnesis didapatkan keluhan-keluhan berupa hidung tersumbat, rinorea,
hiposmia atau anosmia. Dapat pula didapatkan gejala skunder seperti bernafas melalui
mulut, suara sengau, halitosis, gangguan tidur dan gangguan aktifitas.2
Pemeriksaan Fisik
Polip nasi masif dapat menyebabkan deformitas hidung luar sehingga hidung
tampak mekar karena pelebaran batang hidung. Pada pemeriksaan rinoskopi anterior
didapatkan masa pucat yang berasal dari meatus media dan mudah digerakkan.2
Pembagian stadium polip menurut MacKay dan Lund : Stadium 1 : polip
masih terbatas pada meatus media, Stadium 2 : polip sudah keluar dari meatus media,
tampak pada rongga hidung tertapi belum memenuhi rongga hidung, Stadium 3: polip
masif.2

Pemeriksaan Penunjang

Naso-endoskopi

13
Polip pada stadium 1 dan 2 kadang-kadang tidak terlihat dari rinoskopi
anterior, akan tetapi dengan naso endoskopi dapat terlihat dengan jelas. Pada kasus
polip koanal juga sering dapat dilihat tangkai polip yang berasal dari ostium asesorius
sinus maksila.2,6
Pemeriksaan Radiologi
Foto polos sinus paranasal (Posisi waters, AP, Caldwell dan latera) dapat
memperlihatkan adanya penebalan mukosa dan adanya batas udara cairan di dalam
sinus, tetapi kurang bermanfaat untuk polip hidung. Pemeriksaan CT scan sangat
bermanfaat untuk melihat secara jelas keadaan di hidung dan sinus paranasal apakah
ada proses radang, kelainan anatomi, polip atau sumbatan pada kompleks osteomeatal
(KOM). CT scan harus diindikasikan pada kasus polip yang gagal diobati dengan
terapi medikamnetosa, jika ada komplikasi dari sinusitis dan pada perencanaan tindakan
bedah endoskopi.

2.8 Tatalaksana

Tujuan dari tatalaksana polip hidung yaitu: 4,6


- Memperbaikai keluhan pernafasan pada hidung
- Meminimalisir gelaja
- Meningkatkan kemampuan penghidu
- Menatalaksanai penyakit penyerta
- Meningkatkan kulitas hidup
- Mencegah komplikasi.
Secara umum penatalaksanaan dari polip hidung yaitu melalui penatalksanaan
medis dan operatif.

Tatalaksana Medis
Polip Hidung merupakan kelainan yang dapat ditatalaksanai secara medis. Walaupun
pada beberapa kasus memerlukan penanganan operatif, serta tatalaksana agresif
sebelum dan sesudah operatif juga diperlukan.2,6
1. Antibiotik
Polip hidung dapat menyebabkan terjadinya obstruksi sinus, yang selanjutnya
menimbulkan infeksi. Tatalaksana dengan antibiotik dapat mencegah pertumbuhan
dari polip dan mengurangi perdarahan selama operasi. Antibiotik yang diberkan
harus langsung dapat memberikan efek langsung terhadap spesies Staphylococcus,
Streptococcus, dan bakteri anaerob, yang merupakan mikroorganisme pada
sinusitis kronis.6
2. Corticosteroid
Topikal Korticosteroid
Intranasal/topikal kortikosteroid merupakan pilihan pertama untuk polip hidung.
Selain itu penggunaan topikal kortikosteroid ini juga berguna pada pasien post-
operatif polip hidung, dimana pemberiannya dapat mengurangi angka kekambuhan.
Pemberian dari kortikosteroid topikal ini dapat dicoba selama 4-6 minggu
dengan fluticasone propionate nasal drop 400 ug 2x/hari memiliki kemampuan
besar dalam mengatasi polip hidung ringan-sedang (derajat 1-2), diamana dapat
mengurangi ukuran dari polip hidung dan keluhan hidung tersumbat.4

14
Sitemik Kortikosteroid
Penggunaan dari kortikosteroid sistemik/oral tunggal masih belum banyak diteliti.
Penggunaanya umumnya berupa kombinasi dengan terapi kortikosteroid
intranasal. Penggunaan fluocortolone dengan total dosis 560 mg selama 12 hari
atau 715 mg selama 20 hari dengan pengurangan dosis perhari disertai pemberian
budesonide spray 0,2 mg dapat mengurangi gejala yang timbul serta
memperbaiki keluhan sinus dan mengurangi ukuran polip.4
Akan tetapi dari penelitian lain, penggunaan kortikosteroid sistemik tunggal yaitu
methylprednisolone 32 mg selama 5 hari, 16 mg selama 5 hari, dan 8 mg selama
10 hari ternyata dapat memberikan efek yang signifikan dalam mengurangi
ukuran polip hidung serta gejala nasal selain itu juga meningkatkan kemampuan
penghidu.6
3. Terapi lainnya
Penggunaan antihistamin dan dekongestan dapat memberikan efek simtomatik
akan tetapi tidak merubah perjalanan penyakitnya. Imunoterapi menunjukkan
adanya keuntungan pada pasien dengan sinusitis fungal dan dapat berguna pada
pasien dengan polip berulang. Antagonis leukotrient dapat diberikan pada pasien
dengan intoleransi aspirin.4
Terapi Pembedahan
Indikasi untuk terapi pembedahan antara lain dapat dilakukan pada pasien yang
tidak memberikan respon adekuat dengan terapi medikal, pasien dengan infeksi
berulang, serta pasien dengan komplikasi sinusitis, selain itu pasien polip hidung
disertai riwayat asma juga perlu dipertimbangkan untuk dilakukan pembedahan
guna patensi jalan nafas. Tindakan yang dilakukan yaitu berupa ekstraksi polip
(polipektomi), etmoidektomi untuk polip etmoid, operasi Caldwell-luc untuk sinus
maxila. Untuk pengembangan terbaru yaitu menggunakan operasi endoskopik dengan
navigasi komputer dan instrumentasi power. 3,6

15
Keluhan : Sumbatan hidung dengan 1/> gejala

Massa polip hidung Curiga keganasan


Tentukan stadium Permukaan berbenjol, mudah berdarah

Jika mungkin : biopsy untuk tentukan tipe polip dan lakukan polipektomi reduksi

Biopsy tatalaksana sesuai

Keterangan menentukan stadium


Polip dalam MM (NE)
Stad 2&3 Stad I & 2 Polip keluar dari MM
Terapi bedah Terapi medik Polip memenuhi rongga hidung

Persiapan pra bedah

Terapi medik :
steroid topical dan atau
polipektomi medikamentosa dengan cara :
deksametason 12 mg (3 Hr) 8 mg (3 Hr)4 mgt (3 Hr)
Methylprednisolon 64 mg 10 mg (10 Hr)
Prednisone 1 mg/ kgbb (10 Hr)

Terapi bedah Tidak ada perbaikan Perbaikan mengecil Perbaikan hilang

Tindak lanjut dengan steroid topical sembuh


Pemeriksaan berkala sebaiknya dengan NE

Polip rekuren :
a. Prognosis
Cari faktor alergi
Steroid topical
Steroid oral tidak lebih 3-4x/ tahun
Kaustik
Operasi ulang

Bagan 1: Penatalaksanaan Polip Nasal7


16
Sumber : Perhati-KL, Guideline Penyakit THT-KL di Indonesia
2.9 PROGNOSIS

Umumnya setelah penatalaksanaan yang dipilih prognosis polip hidung ini baik
(dubia et bonam) dan gejala-gejala nasal dapat teratasi. Akan tetapi kekambuhan pasca
operasi atau pasca pemberian kortikosteroid masih sering terjadi. Untuk itu follow-up
pasca operatif merupakan pencegahan dini yang dapat dilakukan untuk mengatasi
kemungkinan terjadinya sinekia dan obstruksi ostia pasca operasi, bagaimana patensi
jalan nafas setelah tindakan serta keadaan sinus, pencegahan inflamasi persisten, infeksi,
dan pertumbuhan polip kembali, serta stimulasi pertumbuhan mukosa normal. Untuk itu
sangat penting dilakukan pemeriksaan endoskopi post operatif. Penatalaksanaan lanjutan
dengan intra nasal kortikosteroid diduga dapat mengurangi angka kekambuhan polip
hidung.

17

Anda mungkin juga menyukai