Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PENDAHULUAN

KEPERAWATAN DEWASA II
CEDERA KEPALA

OLEH:
Nama mahasiswa : IRMA ARIANI
NIM :010109a055

Program Studi Ilmu Keperawatan


Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Ngudi Waluyo
Jl. Gedongsongo, Candirejo Ungaran
Tahun Ajaran 2011/2012
Kata Pengantar
Puji syukur kehadihat Allah SWT atas limpahan rahmat dan kasih sayangnya hingga
selesainya laporan pendahuluan tentang Cedera Kepala ini, shalawat serta salam semoga senantiasa
tercurah kepada tauladan terbaik Rasulullah Muhammad saw. Penulis mengucapkan banyak
terimakasih pada pihak-pihak yang membantu penyusunan laporan pendahuluan ini.
Saran dan kritik sangat penulis harapkan untuk perbaikan lebih lanjut. Semoga laporan
pendahuluan ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Trauma kepala merupakan salah satu penyebab utama kematian pada kasus-kasus
kecelakaan lalu lintas. Di Inggris misalnya, setiap tahun sekitar 100.000 kunjungan pasien ke
rumah sakit berkaitan dengan trauma kepala yang 20% di antaranya terpaksa memerlukan rawat
inap.Meskipun dalam kenyataannya sebagian besar trauma kepala bersifat ringan dan tidak
memerlukan perawatan khusus, pada kelompokv trauma kepala berat tidak jarang berakhir
dengan kematian atau kecacatan.

Dalam konteks clinical governance maka penanganan Pasien dengan cedera kepala selain
harus mempertimbangkan ketepatan waktu serta akurasi penegakan diagnosis juga harus diikuti
dengan penatalaksanaan yang akurat dan didasarkan pada bukti-bukti ilmiah yang valid.Salah
satu komponen utama clinical gover - Implementasi Clinical Governance Implementasi Clinical
Governancenance yang relevan untuk diterapkan dalampenatalaksanaan cedera kepala adalah
menajemen risiko klinik.Melalui manajemen risiko klinik ini morbiditas dan mortalitas penderita
cedera kepala diharapkan dapat diminimalkan sehingga tercapai outcome pelayanan klinik yang
baik.Laporan pendahuluan ini akan menyajikan tentang bagaimana peran perawat dalam
memberikan asuhan keperawatan pada klien yang terkena cedera kepala.

B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mampu melaksanakan Asuhan Keperawatan pada pasien dengan Cedera kepala.

2. Tujuan khusus
a. Mengetahui tentang pengertian Cedera kepala
b. Mengetahui Etiologi dan faktor resiko Cedera kepala
c. Mengetahui patofisiologi dan pathwayCedera kepala
d. Mengetahui tanda dan gejala Cedera kepala
e. Mengetahui indikasi dan komplikasi dariCedera kepala
f. Mampu melakukan pemeriksaan diagnostik Cedera kepala
g. Penatalaksanaan medis
h. Mampu memberikan Asuhan Keperawatan pada pasien dengan Cedera
kepala
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. KONSEP PENYAKIT
1. Definisi
Cidera kepala yang juga dikenal dengan cidera otak merupakan gangguan pada
fungsi otak yang disebabkan trauma-cedera yang dsepakati berhubungan dengan fungsi
neurologis. Cidera kepala meliputi trauma kulit kepala, tengkorak dan otak.Cidera
kepalapaling sering dan penyakit neurologik yang paling serius di antara penyakit
neurologik, dan merupakan proporsi epidemik sebagai hasil kecelakaan jalan raya.Lebih dari
setengah dari semua pasien cidera kepala berat mempunyai signifikasi terhadap cidera
bagian tubuh lainnya. Adanya shock hipovolemik pada pasien cidera kepala biasanya karena
cidera tubuh bagian lainnya.
Resiko utama pasien yang mengalami cidera kepala adalah kerusakan otak akibat
perdarahan atau pembengkakan otak sebagai respon terhadap cedera dan menyebabkan
peningkatan tekanan intrakranial (TIK).
(Keperawatan Medikal Bedah, hal:2210).
Cedera kepala (terbuka dan tertutup) terdiri dari: fraktur tengkorak, komusio (gegar)
serebri. kontusio (memar)/laserasi perdarahan serebral (subarakhnoid, subdural, epidural,
intraserebral, batang otak). Trauma primer terjadi karena benturan langsung atau tak
langsung (akselerasi/deselerasi otak).Trauma otak sekunder merupakan akibat dari trauma
saraf (melalui akson) yang meluas, hipertensi intrakranial, hipoksia, hiperkapnea, atau
hipotensi sistemik.
Gangguan neurologis yang diakibatkan direntang dari tidak jelas terlihat sampai
status vegetatif menetap atau kematian.Karena itu setiap cedera kepala harus dianggap serius
(Doenges, 1999).
Cidera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai atau
tanpa disertai perdarahan interstiil dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas
otak(Hoffman, dkk, 1996)..
Trauma kranioserebral (Cedera kepala) adalah luka yang terjadi pada kulit kepala,
tulang kepala atau otak (Billing dan Stokes, 1982)
Cedera kepala dapat mempengaruhi perubahan fisik maupun psikologis bagi klien
dan keluarganya (Siahaan, 1994).
2. Etiologi
Penyebab cidera kepala antara lain:
a. Kecelakaan lalulintas (KLL),
b. Kecelakaan kerja,
c. Perkelahian,
d. Jatuh,
e. dan cedera olahraga (Keperawatan Medikal Bedah, hal:2210).
3. Klasifikasi Cedera Kepala
Brunner & Suddarth (2002) membagi cedera kepala sebagai berikut:
1. Cidera Kulit Kepala
Karena bagian ini banyak mengandung pembuluh darah ,kulit kepala berdarah bila
cidera dalam. Trauma dapat menyebabkan abrasi, kontusio, laserasi, atau avulsi.Suntikan
prokain melalui subkutan membuat luka mudah dibersihhkan dan diobati.
2. Fraktur Tengkorak
Fraktur tengkorak adalah rusaknnyakontinuitas tulang tengkorak disebabkan oleh
trauma. Ini dapat terjadi dengan atau tanpa kerusakan otak. Fraktur tengkorak
diklasifikasikan terbuka dan tertutup. Bila fraktur terbuka maka dura rusak , dan fraktur
tertutup keadaan dura tidak rusak.
Menifestasi Klinis: Nyeri yang menetap atau setempat , biasanya menunjukkan
adanya fraktur.
Fraktur kubah kranial menyebabkan bengkak pada sekitar fraktur ,dan karena alasan
ini diagnosis yang akurat tidak dapat ditetapkan tanpa pemeriksaan dengan sinar-x.
Fraktur dasar tengkorak cenderung melintas sinus paranasal pada tulang frontal atau
lokasi tengah telinga di tulang temporal, juga sering menimbulkan hemoragi dari hidung,
faring, atau telinga dan darah terlihat di bawah konjungtiva. Suatu area ekimosis , atau
memar, mungkin terlihat diatas mastoid (tanda Battle). Fraktur dasar tengkorak dicurigai
ketika CSS keluar dari telinga (otorea cairan serrebrospinal) dan hidung (rinorea
serebrospinal).
Evaluasi Diagnostik
CT kepala akurat dan aman dalam menggambarakan adanya, sifat, lokasi dan luasnya
lesi dengan baik dalam menyingkap adanya edema serebral,kontusio hematoma intraserebral,
atau ekstraserebral, hemoragi intraventikular dan perubahan lambat akibat trauma
(infark,hidricefalus). Demikian pula diagnostik dengan MRI dapat digunakan untuk
mengevaluasi pasien dengan cidera kepala.
Angigrafi serebral dapat juga digunakan dan menggambarkan adanya hematoma
supratentorial, ekstraserebral, dan intraserebral serta kontusion serebral.
Penatalaksanaan:
Fraktur tulang impresi umumnya tidak memerlukan tindakan pembedahan, tetapi
memerlukan observasi pasien yang ketat.
Fraktur tulang tanpa-impresi memerlukan intervensi pembedahan. Pengobatan
antibiotim direncanakan segera, dan terapi komponen darah diberikan bila diindikasikan.
Fraktur dasar tengkorak merupakan keadaan serius karena biasanya terbuka
(mengenai sinus paranasal atau telinga bagian tengah atau eksternal) dan dapat menyebabkan
bocornya cairan serebrospinal.Rinorea atau otorea cairan spinal menetap biasanya
memerlukan intervensi pembedahan.
3. Cedera Otak
Kejadian cedera minor dapat menyebabkan kerusakan otak bermakna. Otak
tidak dapat menyimpan oksigen dan glukosa sampai derajat tertentu yang bermakna.
4. Komosio
Komosio serebral setelah cedera kepala adalah hilangnya fungsi neurologik
sementara tanpa karusakan struktur.Komosio umumnya meliputi sebuah periode tidak
sadarkan diridalam waktu yang berakhir selama beberapadetik sampai beberapa menit.
Getaran otak sedikit saja hanya akan menimbulkan pusing dan berkunang-kunang, atau
dapat juga kehilangan kesadaran koplet sewaktu. Jika jaringan otak di lobus temporal
dapat menimbulkan amnesia atau disorientasi.
Tindakan terhadapkomosio meliputi mengobservasi pasien terhadap adanya sakit
kepala, pusing, peka rangsang, dan ansietas (sindrom pasca-komosio), yang dapat
mengikuti tipe cedera.Dengan memberi pasien informasi, penjelasan, dan dukungan
pada pasien yang dapat mengurangi beberapa masalah sindrom pasca-komosio.
Pasien dapat dihospitalisasi semalam untuk observasi atau dipulangkan dari
rumah sakit dalam waktu relatif singkat setelah komosio, keluarga diinstruksikan untuk
mengobservasi tanda dan gejala berikut dan untuk meberitahu dokter atau klinik atau
mebawa pasien kembali ke ruang daruratan bila terjadi:
a. Sukar bangun
b. Sukar bicara
c. Konfusi
d. Sakit kepala berat
e. Muntah
f. Kelemahan pada salah satu sisi tubuh
Komosio dipertimbangkan sebagai cedera kepala minor dan dianggap tanpa
sekuela berarti.Namun penelitian telah menunjukkan bahwa sering ada gangguan dan
kadang efek residu yang mencakup kurang perhatian, kesulitan memori dan gangguan
dalam kebiasaan kerja.Pada lansia terutuma harus dikaji untuk cidera kepala
minor.Trauma kepala minor yang tidak di ketahui dapat menimbulkan episode
prilaku dan konfusi pada individu lansia.kesalahan diagnosis atau tidak diatasinya
episode konfusi pada pasien lansia dapat mengakibatkan ketidakmampuan jangka
panjang yang dapat dihindari bila terdeteksi dan teratasi dengan segera.
5. Kontusio
Kontusio serebral merupakan cidera kepala berat,dimana otak mengalami
memar,dengan kemungkianan adanya daerah hemoragi.pasien berada pada preiode tidak
sadarkan diri.gejala akan muncul dan lebih khas.pasien terbaring kehilangan gerakan;
denyut nadi lemah,pernapasan dangkal,kulit dingin dan pucat ,sering terjadi defekasi dan
berkemih tanpa disadari.pasien dapt diusahakan untuk bnagun teatapi segera masuk
kembali kedalam keadaan tidak sadar.tekanan darah dan suhu sub noramal dengan
gambaran yang sama dengan syok.
Umumnya ,individu yang mengalami cidera luas mengalmi fungsi motorik yang
abnormal,gerakan mata yang abnormal,dan peningkatan TIK mempunyai prognosis
buruk.sebaliknya,pasien dapat mengalmi pemulihan kesadaran komplet dan mungkin
melewati tahap peka rangsang serebral.
Dalam tahap peka rangsang serebral,pasien sadar tetapi,tetapi sebaliknya mudah
terganggu oleh suatu bentuk stimulasi,suara ,cahaya dan bunyi-bunyian dan menjadi
hiperaktif sewaktu.berangsur-angsur denyut nadi,pernapasan,suhu,dan fungsi tubuh
kembali normal noramal.walaupun pemulihan sering terlihat lambat. Sakit kepala sisa
dan vertigobisa terjadi,dan sering gangguan fungsi mental atau kejang terjadi sebagai
akibat kerusakan serebral yang tidak dapat diperbaiki.
6. Hemoragi intrakranial
Hematoma (pengumpulan darah) yang terjadi didalam kubah cranial adalah
akibat paling serius dari cidera kepala. Hematoma disebut sebagai epidural,subdural
atau intra serebral,bergantung pada lokasinya,efek utama adalah seringakli lambat
sampai hematoma tersebut cukup besar untuk menyebabkan distorsi dan herniasi otak
serta peningkatan TIK.
Tanda dan gejala iskimia serebral yang diakibatkan oleh kompresi yang
disebabkan oleh hematoma bervariasi dan bergantung pada kecepatan dimana daerah
vital terganggu pada otak perubahn yang otak dasar.umumnya , hematoma kecil yang
terbrntuk dengan cepat akan menjadi fatal,diamana hematoama yang lebih massif
terbentuk secara lambat yang dapat memungkinkan pasien beradaptasi.

7. Hematoma epidural (Hematoma ekstradural atau hemoragi)


Setelahcidera kepala,darah berkumpul didalam ruang epidural
(ekstradural)diantara tengkorak dan dura. Keadaan ini sering diakibatkan dari fraktur
tulang tengkorak yang menyebabkan arteri meningeal tengah putus atau rusak
(laserasi)diamna arteri ini berada diantara dura dan tengkorak daerah inferior menuju
bagian tipis tualng temporal ;hemoragi karena arteri ini menyebabkan penekanan pada
otak.
Manifestasi klinis,gejala yang ditimbulkan oleh hematoma luas,disebabkan oleh
perluasan hematoma,biasanya terlihat adanya kehilangan kesadaran sebentar pada saat
cidera.diikuti dengan pemulihan yang nyata secara perlahan-lahan(interval yang
jelas),ini harus dicatat walaupun interval yang nyata merupakan karakteristik dari
hematoma epidural,hal ini tidak terjadi kira-kira 15% dari pasien dengan lesi
tersebut.selama interval tertentu ,kompensasi terhadap hematoma luas terjadi melalui
absorpsi cepat CSSdan penurunan volume intravascular,yang memepertahankan TIK
normal,ketika mekanisme ini tidak dapat mengkompensasi lagi,bahkan peningaktan
kecil skalipun dalam volume bekuan darah men imbulkan peningkatan TIK nyata.
Kemudian, sering tiba-tiba tanda kompresi timbul(biasanya penyimpangan kesadaran
dan tanda deficit neurologic fokal seperti dilatasi dan fiksasi pupil atau paralisis
ekstremitas )dan pasien menunjukkan penurunan dengan cepat.
Penatalaksanaan. Hematoma epidural dipertimbangkan sebagai keadaan darurat
yang ekstrem ,dimana deficit neurologic atau berhentinya pernapasan yang terjadi dalam
beberapa menit. Tindakan yang dilakukan terdiri dari membuat lubang melalui
tengkorak (lubang burr),mengangkat bekuan, dan mengontrol titik perdarahan.

8. Hematoma subdural
Hematoma subdural adalah pengumpulan darah diantara dura dan dasar
otak,suatu ruang ini pada keadaan normal diisi oleh cairan.paling sering disebabkan oleh
trauma,tetapi dapat juga terjadi kecendrungan perdarahan yang serius dan aneurisma.
hemoragi subdural lebih sering terjadi pada vena dan merupakan akibat putusnya
pembuluh darah kecil yang menjebatani ruang subdural.
Hematoma subdural dapat terjadi akut, subakut, atau kronik, bergantung pada
ukuran pembuluh yang terkena dan jumlah perdarahan yang ada.
Hematoma subdural akut dihubungkan dengan cedera kepala mayor yang
meliputi kontusio atau laserasi. Biasanya pasien dalam keadaan koma dan tanda klinis
sama dengan hematoma epidural. Tekanan darah meningkat dengan frekuensi nadi
lambat dan pernapasan cepat sesuai dengan peningkatan hematoma yang cepat.
Hematoma subdural subakut adalah sekuela kontusion sedikit berat dan dicurigai
pada pasien yang gagal untuk meningkatkan kesadaran setelah trauma kepala. Tanda dan
gejala sama seperti pada hematoma subdural akut.
Angka kematian untuk pasien hematoma subdural akut dan subakut tinggi,
karena sering dihubungkan dengan kerusakan otak.
Jika pasien dapat dipindahkan dengan cepat ke rumah sakit, kraniotomi segera
dilakukan untuk membuka dura, yang memungkinkan evakuasi bekuan subdural
padat.Hasil yang baik bergantung pada kontrol TIK dan pemantauan cermat terhadap
fungsi pernapasan.
Hematoma subdural kronik tampaknya dapat terjadi karena cedera kepala minor
dan terlihat paling sering pada lansia. Lansia cenderung mengalami cedera kepala tipe
ini sekunder akibat atrofi otak, yang diperkirakan akibat proses penuaan. Tampaknya
cedera kepala minor dapat mengakibatkan dampak yang cukup untuk menggeser isi otak
secara abnormal dengan sekuela negatif.Waktu di antara cedera dan awitan gejala
mungkin lama (mis. beberapa bulan), sehingga akibat aktual mungkin terlupakan.Gejala
dapat tampak beberapa minggu setelah cedera minor.
Hematoma subdural kronik menyerupai kondisi lain dan mungkin dianggap
sebagai stroke. Perdarahan sedikit menyebar dan terdapat kompresi isi
intrakranial.Darah di dalam otak mengalami perubahan karakter dalam 2 sampai 4 hari,
menjadi lebih kental dan lebih gelap.Dalam beberapa minggu, bekuan mengalami
pemecahan dan memiliki warna dan konsistensi seperti minyak mobil.Akhirnya, terjadi
kalsifikasi atau osifikasi bekuan.Otak beradaptasi pada invasi benda asing ini, dan tanda
serta gejala klinis pasien berfluktuasi.Mungkin terdapat sakit kepala hebat, yang
cenderung timbul dan hilang; tanda neurologik fokal yang bergantian; perubahan
kepribadian; penyimpangan mental; dan kejang fokal.Sayangnya, pasien mungkin
dianggap neurotik atau psikotik bila penyebab gejala tidak ditemukan.
Tindakan terhadap hematoma subdural kronik terdiri dari evakuasi bedah bekuan
dengan pengisap atau irigasi terhadap area tersebut. Prosedur ini dapat dilakukan melalui
lubang burr ganda, atau kraniotomi dapat dilakukan untuk le'si massa subdural yang
cukup besar yang tidak dapat dilakukan melalui lubang burr.
9. Hemoragi Intraserebral dan Hematoma
Hemoragi intraserebral adalah perdarahan ke dalam substansi otak.Hemoragi ini
biasanya terjadi pada cedera kepala dimana tekanan mendesak ke kepala sampai daerah
kecil (cedera peluru atau luka tembak; cedera tumpul). Hemoragi ini di dalam otak
mungkin juga diakibatkan oleh hipertensi sistemik, yang menyebabkan degenerasi dan
ruptur pembuluh darah; ruptur kantung aneurisme; anomali vaskuler; tumor intrakranial;
penyebab sistemik, termasuk gangguan perdarahan seperti leukemia, hemofilia, anemia
aplastik dan trombositopenia; dan komplikasi terapi antikoagulan.
Mungkin ada awitan defisit neurologik yang diikuti oleh sakit kepala.Terapi
medis meliputi pemberian cermat cairan dan elektrolit, medikasi antihipertensif, kontrol
TIK, dan perawatan pendukung.Intervensi pembedahan dengan kraniotomi atau
kraniektomi memungkinkan pengangkatan bekuan darah dan kontrol hemoragi tetapi
tidak mungkin baik karena lokasi perdarahan yang tidak dapat diakses atau kurang
jelasnya batas area darah yang dapat diangkat.Terapi fisik biasanya diperlukan untuk
rehabilitasi optimal pasien ini dan semua pasien cedera kepala.
Berat ringannya cedera kepala bukan didasarkan berat ringanya
gejala yang muncul setelah cedera kepala (Alexander PM, 1995). Ada
berbagai klasifikasi yang dipakai dalam penentuan derajat cedera
kepala. The Traumatic Coma Data Bank mendifinisikan berdasarkan
skor Skala Koma Glasgow (Glasgow coma scale)

Tabel 1. Kategori Penentuan Keparahan cedera Kepala berdasarkan Nilai Skala Koma
Glasgow (SKG)
Penentuan Deskripsi
keparahan
Minor/ Ringan SKG 13 15
Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi
kurang dari 30 menit. Tidak ada fraktur tengkorak, tidak ada
kontusia cerebral, hematoma
Sedang SKG 9 12
Kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebih dari 30 menit
tetapi kurang dari 24 jam. Dapat mengalami fraktur
tengkorak.
Berat SKG 3 8
Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24
jam. Juga meliputi kontusia serebral, laserasi atau hematoma
intrakranial
sumber :keperawatan kritis, pendekatan holostik vol, II tahun 1995, hal:226
Tabel 2. Skala Koma Glasgow (Blak, 1997)
1. Membuka Mata
Spontan 4
Terhadap rangsang suara 3
Terhadap nyeri 2
Tidak ada 1
2. Respon Verbal
Orientasi baik 5
orientasi terganggu 4
Kata-kata tidak jelas 3
Suara Tidak jelas 2
Tidak ada respon 1
3. Respon Motorik
Mampu bergerak 6
Melokalisasi nyeri 5
Fleksi menarik 4
Fleksi abnormal 3
Ekstensi 2
Tidak ada respon 1
Total 3 - 15

Annegers et al (1998) membagi trauma kepala berdasarkan lama tak sadar dan lama
amnesis pasca trauma yang dibagi menjadi:
1. Cedera kepala ringan, apabila kehilangan
kesadaran dan amnesia berlangsung kurang dari 30 menit.
2. Cedera kepala sedang, apabila kehilangan
kesadaran atau amnesia terjadi 30 menit sampai 24 jam atau adanya fraktur tengkorak.
3. Cedera kepala berat, apabila kehilangan
kesadaran atau amnesia lebih dari 24 jam, perdarahan subdural dan kontusio serebri.
Penggolongan cedera kepala berdasarkan periode kehilangan kesadaran ataupun
amnesia saat ini masih kontroversional dan tidak dipakai secara luas. Klasifikasi cedera
kepala berdasarkan jumlah Skala Koma Glasgow (SKG) saat masuk rumah sakit merupakan
definisi yang paling umum dipakai (Hoffman, dkk, 1996).

4. Patofisiologi
Menurut (Sudiharto 1998) patofisiologis dari cedera kepala traumatic dibagi dalam
proses primer dan proses sekunder. Kerusakan yang terjadi dianggap karena gaya fisika yang
berkaitan dengan suatu trauma yang relative baru terjadi dan bersifat irreversible untuk
sebagian besar daerah otak. Walaupun kontusio dan laserasi yang terjadi pada permukaan
otak, terutama pada kutub temporal dan permukaan orbital dari lobus frontalis, memberikan
tanda-tanda jelas tetapi selama lebih dari 30 tahun telah dianggap jejas akson difus pada
substasi alba subkortex adalah penyebab utama kehilangan kesadaran berkepanjangan,
gangguan respon motorik dan pemulihan yang tidak komplit yang merupakan penanda
pasien yang menderita cedera kepala traumatik berat.
a. Proses Primer
Proses primer timbul langsung pada saat trauma terjadi. Cedera primer biasanya
fokal (perdarahan, konusi) dan difus (jejas akson difus).Proses ini adalah kerusakan otak
tahap awal yang diakibatkan oleh benturan mekanik pada kepala, derajat kerusakan
tergantung pada kuat dan arah benturan, kondisi kepala yang bergerak diam, percepatan
dan perlambatan gerak kepala. Proses primer menyebabkan fraktur tengkorak,
perdarahan segera intrakranial, robekan regangan serabu saraf dan kematian langsung
pada daerah yang terkena.

b. Proses Sekunder
Kerusakan sekunder timbul beberapa waktu setelah trauma menyusul kerusakan
primer. Dapat dibagi menjadi penyebab sistemik dari intrakranial. Dari berbagai
gangguan sistemik, hipoksia dan hipotensi merupakan gangguan yang paling berarti.
Hipotensi menurunnya tekanan perfusi otak sehingga mengakibatkan terjadinya iskemi
dan infark otak. Perluasan kerusakan jaringan otak sekunder disebabkan berbagai faktor
seperti kerusakan sawar darah otak, gangguan aliran darah otak metabolisme otak,
gangguan hormonal, pengeluaran bahan-bahan neurotrasmiter dan radikal bebas. Trauma
saraf proses primer atau sekunder akan menimbulkan gejala-gejala neurologis yang
tergantung lokasi kerusakan.
Kerusakan sistem saraf motorik yang berpusat dibagian belakang lobus frontalis
akan mengakibatkan kelumpuhan pada sisi lain. Gejala-gejala kerusakan lobus-lobus
lainnya baru akan ditemui setelah penderita sadar. Pada kerusakan lobus oksipital akan
dujumpai ganguan sensibilitas kulit pada sisi yang berlawanan. Pada lobus frontalis
mengakibatkan timbulnya seperti dijumpai pada epilepsi lobus temporalis.
Kelainan metabolisme yang dijumpai pada penderita cedera kepala disebabkan
adanya kerusakan di daerah hipotalamus. Kerusakan dibagian depan hipotalamus akan
terjadi hepertermi. Lesi di regio optika berakibat timbulnya edema paru karena kontraksi
sistem vena. Retensi air, natrium dan klor yang terjadi pada hari pertama setelah trauma
tampaknya disebabkan oleh terlepasnya hormon ADH dari daerah belakang hipotalamus
yang berhubungan dengan hipofisis.
Setelah kurang lebih 5 hari natrium dan klor akan dikeluarkan melalui urine
dalam jumlah berlebihan sehingga keseimbangannya menjadi negatif. Hiperglikemi dan
glikosuria yang timbul juga disebabkan keadaan perangsangan pusat-pusat yang
mempengaruhi metabolisme karbohidrat didalam batang otak.
Batang otak dapat mengalami kerusakan langsung karena benturan atau sekunder
akibat fleksi atau torsi akut pada sambungan serviks medulla, karena kerusakan
pembuluh darah atau karena penekanan oleh herniasi unkus.
Gejala-gejala yang dapat timbul ialah fleksiditas umum yang terjadi pada lesi
tranversal dibawah nukleus nervus statoakustikus, regiditas deserebrasi pada lesi
tranversal setinggi nukleus rubber, lengan dan tungkai kaku dalam sikap ekstensi dan
kedua lengan kaku dalam fleksi pada siku terjadi bila hubungan batang otak dengan
korteks serebri terputus.
Gejala-gejala Parkinson timbul pada kerusakan ganglion basal. Kerusakan-
kerusakan saraf-saraf kranial dan traktus-traktus panjang menimbulkan gejala neurologis
khas. Nafas dangkal tak teratur yang dijumpai pada kerusakan medula oblongata akan
menimbulkan timbulnya Asidesil. Nafas yang cepat dan dalam yang terjadi pada
gangguan setinggi diensefalon akan mengakibatkan alkalosisi respiratorik.
Cedera otak sekunder tejadi setiap saat setelah terjadi benturan. Factor-faktor
yang menyebabkan cedera otak sekunder adalah:
1. Hematoma intrakranial
a. Epidural
b. Subdural
c. Intraserebral
d. Subarahnoid
2. Pembengkakan otak
Mungkin terjadi dengan atau tanpa hematoma intrakranial. Hal ini diakibatkan
timbunan cairan intra atau ekstrasekuler atau bendung vaskuler.
3. Herniasi : tentorial dan tonsiler
4. Iskhemi serebral, akibat dari:
a. Hipoksia / hiperkarbi
b. Hipotensi
c. Peninggian tekanan intrakranial
5. Infeksi : Meningitis, abses serebri.

5. Manifestasi Klinis
Trauma kepala mempengaruhi setiap sistem tubuh.Manifestasi klinis cedera kepala
meliputi gangguan kesadaran, konfusi, abnormalitas pupil, awitan tiba-tiba defisit neu-
rologik, dan perubahan tanda vital.Mungkin ada gangguan penglihatan dan pendengaran,
disfungsi sensori, kejang otot, sakit kepala, vertigo, gangguan pergerakan, kejang, dan
banyak efek lainnya.Karena cedera SSP sendiri tidak menyebabkan syok, adanya syok
hipovole-mik menunjukkan kemungkinan cedera multisystem (Brunner & Suddarth, 2002).

6. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan neurologik dan fisik awal memberi data dasar yang akan digunakan
untuk perbandingan pemeriksaan berikutnya. Pemeriksaan CT adalah alat diagnostik
pencitraan neuro primer, dan ini bermanfaat dalam evaluasi terhadap cedera jaringan
lunak(Brunner & Suddarth, 2002).
Menurut (Doenges, 1999) pemeriksaan diagnostik untuk cedera kepala adalah sebagai
berikut:
Skan CT (tanpa/dengan kontras) : Mengidentifikasi adanya SOL, hemoragik, menentukan
ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak. Catatan : Pemeriksaan berulang mungkin
diperlukan karena pada iskemia/infark mungkin tidak terdeteksi dalam 24-72 jam pasca
trauma.
MRI: Sama dengan skan CT dengan/tanpa menggunakan kontras.
Angiografi serebral: Menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, sepertipergeseran jaringan
otak akibat edema, perdarahan, trauma
EEG:Untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya gelombang patologis.
Sinar x: Mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (fraktur), pergeseran struktur dari garis
tengah (karena perdarahan edema), adanya fragmen tulang.
BAER (Brain Auditory Evoked Respons): Menentukan fungsi korteks dan batang otak.
PET (Positron Emission Tomography): menunjukkan perubahan aktivitas metabolisme pada
otak.
Pungsi lumbal, CSS: Dapat menduga kemungkinan adanya perdarahan subarakhnoid.
GDA (Gas Darah Arteri): Mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigenasi yang akan
dapat meningkatkan TIK.
Kimia/elektrolit darah: Mengetahui ketidakseimbangan yang berperan dalam meningkatkan
TIK/perubahan mental.
Pemeriksaan toksikologi: Mendeteksi obat yang mungkin bertanggung jawab terhadap
penurunan kesadaran
Kadar antikonvulsan darah: Dapat dilakukan untuk mengetahui tingkat terapi yang cukup
efektif untuk mengatasi kejang.
7. Penatalaksanaan
Individu dengan cidera kepala di asumsikan mengalami cedera modula servikal
sampai terbukti demikian. Dari tempat kecelakaan pasien dipindahkan dengan papan di mana
kepala dan leher di pertahankan sejajar. Traksi ringan harus dipertahankan pada kepala,dan
kolar servikal didapatkan dan di ketahui tidak ada cidera medula spinalis servikal.
Semua terapi diarahkan untuk mempertahankan homeostatis otak dan mencegah
kerusakan otak sekunder.tindakan ini mencakup stabilisasi kardiovaskuler dan fungsi
pernapasan untuk mempertahankan perfusi serebral adekuat.hemoragi terkontrol,
hipovelemia diperbaiki, dan nilai gas darah dipertahankan pada nilai yang diinginkan.
Tindakan terhadap peningkatan TIK. Pada saat otak yang rusak membengkak atau
terjadi penumpukan darah yang cepat, terjadi peningkatan TIK dipantau dengan ketat dan
bila meningkat,keadaan ini diatasi dengan mempertahankan oksigenasi adekuat,pemberian
mannitol,yang mengurangi edema serebral dengan dehidrasi
osmotik;hiperventilasi;penggunaan steroid;peningkatan kepala tempat tidur; dan
kemungkinan intervensi bedah neuro. Pembedahan diperlukan untuk evakuasi bekuan darah,
dan jahitan terhadap laserasi kulit kepala berat.Alat untuk memantau TIK dapat dipasang
selama pembedahan atau dengan teknik aseptik di tempat tidur.Pasien di rawat dirawat di
unit perawatan intensif dimana ada perawatan ahli keperawatan dan medis.
Tindakan juga mencakup dukungan ventilasi, pencegahan kejang, dan pemeliharaan
cairan, elektrolit, dan keseimbangan nutrisi.Pasien cedera kepala hebat yang koma diintubasi
dan di ventilasi mekanis untuk mengontrol dan melindungi jalan nafas.Hiperventilasi
terkontrol juga mencakup hipokapnia, yang mencegah vasodilatasi, menurunkan aliran darah
serebral, menurunkan volume darah serebral, dan kemudian menurunkan TIK.
Bila pasien sangat teragitasi, klorpromazin dapat di berikan untuk menenangkan
pasien tanpa menurunkan tingkat kesadaran.Selang nasogastrik dapat dipasang, bila motilitas
lambung menurun dan peristaltik terbalik dikaitkan dengan cedera kepala, dengan membuat
regurgitasi umum pada beberapa jam pertama (Brunner & Suddarth, 2002).
8. Komplikasi
Kemunduran pada kondisi pasien mungkin karena perluasan hematoma intraknial ,
edema serebral progresif , dan herniasi otak .
Edema serebral dan Herniasi .Edema serebral adalah penyebab paling umum dari
peningkatan tekanan intraknial pada pasien yang mendapat cidera kepala , puncak
pembengkakan yang mengikuti cidera kepala terjadi kira kira 72 jam setelah cedera.
Tekanan intrakranial meningkat karena ketidakmampuan tengkoak utuh untuk membesar
meskipun peningkatan volume oleh pembengkakan otak diakibatkan oleh trauma . Sebagi
akibat dari edema dan peningkatan TIK , tekanan disebarkan pada jaringan otak dan struktur
internal otak yang kaku . Bergantung pada tempat pembengkakan , perubahan posisi
kebawah atau lateral otak (herniasi ) melalui atau terhadap struktur yang terjadi
menimbulkan iskemia, infark, kerusakan otak ireversibel, dan kematian(Brunner & Suddarth,
2002).
B. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
Menurut (Doenges, 1999) pengkajian pada kasus cedera kepala adalah sebagai
berikut:

Aktivitas/istirahat
Gejala : Merasa lemah, lelah, kaku, hilang keseimbangan,
Tanda : Perubahan kesadaran, letargi,
Hemiparese, quadreplegia,
Ataksia cara berjalan tak tegap
Masalah dalam keseimbangan
Cedera (trauma) ortopedi
Kehilangan tonus otot, otot plastik,
Sirkulasi
Gejala : Perubahan tekanan darah atau normal (hipertensi)
Perubahan frekuensi jantung (bradikardia, takikardia yang diselingi dengan
bradikardia disritmia)
Integritas ego
Gejala : Perubahan tingkah laku atau kepribadian
Tanda : Cemas, mudah tersinggung, delirium, agitasi, bingung, depresi, dan impulsif.
Eliminasi
Gejala : Inkontinensia kandung kemih/usus atau mengalami gangguan fungsi.
Makanan/cairan
Gejala : Mual, muntah dan mengalami perubahan selera
Tanda : Muntah (mungkin proyektil)
Gangguan menelan (batuk, air liur keluar, disfagia
Neurosensori
Gejala : Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian. Vertigo, sinkope,
tinnitus, kehilangan pendengaran, tingling, baal pada ekstremitas.
Perubahan dalam penglihatan, seperti ketajamannya, diplopia, kehilangan
sebagian lapang pandang, fotofobia.
Gangguan pengecapan dan juga penciuman.
Tanda :Perubahan kesadaran bisa sampai koma.
Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi,
pemecahan masalah, pengaruh emosi/tingkah laku dan memori).
Perubahan pupil (respons terhadap cahaya, simetri), deviasi pada mata,
ketidakmampuan mengikuti.
Kehilangan pengindraan, seperti pengecapan, penciuman dan pendengaran.
Wajah tidak simetri.
Genggaman lemah, tidak seimbang.
Refleks tendon dalam tidak ada atau lemah.
Apraksia, hemiparese, quadreplegia.
Postur (dekortikasi, deserebrasi), kejang.
Sangat sensitif terhadap sentuhan dan gerakan.
Kehilangan sensasi sebagian tubuh.
Kesulitan dalam menentukan posisi tubuh.
Nyeri/kenyamanan
Gejala : Sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yang berbeda, biasanya lama.
Tanda : Wajah menyeringai, respons menarik pada rangsangan nyeri yang hebat,
gelisah tidak bisa beristirahat, merintih.
Pernapasan
Tanda : Perubahan pola napas (apnea yang diselingi oleh hiperventilasi). Napas
berbunyi, stridor tersedak.
Ronki, mengi positif (kemungkinan karena aspirasi).
Keamanan
Gejala : Trauma baru/ trauma karena kecelakaan
Tanda :Fraktur/dislokasi
Gangguan penglihatan.
Kulit: Laserasi, abrasi, perubahan warna, seperti raccoon eye, tanda Batle di
sekitar telinga (merupakan tanda adanya trauma). Adanya aliran cairan
(drainase) dari telinga/hidung (CSS).
Gangguan kognitif.
Gangguan rentang gerak, tonus otot hilang, kekuatan secara umum
mengalami paralisis.
Demam, gangguan dalam regulasi suhu tubuh.
Interaksi sosial
Tanda : Afasia motorik atau sensorik, bicara tanpa arti, bicara berulang-ulang,
disartria, anomia
Penyuluhan/pembelajaran
Gejala: Pengguna alkohol/obat lain.
Pertimbangan DRG menunjukkan rerata lama dirawat : 12 hari
Rencana Pemulangan:
Membutuhkan bantuan pada perawatan diri, ambulasi, transportasi,
menyiapkan makan, belanja, perawatan, pengobatan, tugas-tugas rumah
tangga, perubahan tata ruang atau penempatan fasilitas lainnya di rumah.
Menurut (Brunner & Suddarth, 2002) pengkajian pada kasus cedera kepala adalah
sebagai berikut:

Riwayat kesehatan meliputi pertanyaan berikut ini :


1. Kapan cidera terjadi ?
2. Apa penyebab cidera ? Peluru kecepatan tinggi ? Obyek yang membentur kepala ? jatuh?
3. Dari mana arah dan kekuatan pukulan ?
4. Apakah ada kehilangan kesadaran ? Durasi periode tidak sadar ? Dapatkan pasien
dibangunkan? (Riwayat kepala menunjukan derajat kerusakan otak yang berarti , dimana
perubahan selanjutnya dapat menunjukkan pemulihan atau menunjukkan terjadinya
kerusakan otak skunder ).
Bidang Pengkajian
a. Tingkat Kesadaran dan Responsivitas
b. Pemantauan Tanda Vital
1. Tanda peningkata TIK meliputi pelambatan nadi , peningkatan tekanan darah sistolik ,
dan pelebaran tekanan nadi .
2. Pada saat kompresi otak meningkat , tanda vital cenderung sebaliknya nadi dan
pernapasan menjadi cepat , dan tekanan darah dan pernapasan menjadi cepat ,dan
tekanan darah menurun . Ini adalah perkembangan yang menyenangkan , sesuai dengan
fluktuasi cepat tanda vital .
3. Peningkatan cepat suhu tubuh dianggap hak yang tidak menguntungkan , karena
hipertermia meningkatkan kebutuhan metabolisme otak dan merupakan indikasi
kerusakan batang otak indikator prognostik buruk .Suhu dipertahankan dibawah 38 C.
4. Takikardia dan hipotensi arteri dapat mengindikasikan perdarahan sedang terjadi
ditempat lain ditubuh .
c. Fungsi Motorik.

3. Evaluasi
Hasil yang diharapkan (Brunner & Suddarth, 2002)
1. Mencapai atau mempertahankan bersihan jalan napas yang efektif, ventilasi dan
oksigenasi otak
a. Tercapainya nilai gas darah normal dan bunyi napas normal saat diaukultasi
b. Membersihkan dan membuang sekret
2. Tercapainya keseimbangan cairan dan elektroit yang memuaskan
a. Memperlihatkan eletrolit serum dalam nilai normal
b. Menunjukkan tanda klinis dehidrasi dan kelebihan hidrasi
3. Mencapai status nutrisi yang adekuat
a. Terdapat kurang dari 50 cc isi lambung saat aspirasi sebelum pemberian makanan
melalui selang lambung
b. Bebas dari distensi lambung dan muntah
4. Menghindari cedera
a. Agitasi dan ketidakberdayaan berkurang
b. Dapat berorientasi terhada waktu, tempat dan orang
5. Memperlihatkan peningkatan fungsi kognitif dan meningkatkan memori
6. Anggota keluarga memperlihatkan mekanisme koping yang adaptif
a. Mempunyai hubungan dengan kelompok pendukung
b. Berbagai perasaan dengan tenaga pelayanan kesehatan yang tepat
7. Pasien dan anggota keluarga berpartisipasi dalam proses rehabilitasi sesuai indikasi
a. Melakukan peran aktif dalam mengidentifikasi tujuan rehabilitasi dan berpartisipasi
dalam menemukan aktivitas
b. Mempersiapkan keluarga untuk menerima pasien keluar dari rumah sakit
8. Tidak ada komplikasi
a. Mencapai TIK normal, tanda vital dan suhu tubuh normal dan meningkatkan orientasi
terhadap waktu, tempat dan orang
b. Menggambarkan hasrat untuk berespons terhadap tindakan menurunkan TIK.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Trauma kepala merupakan salah satu penyebab utama kematian pada kasus-kasus
kecelakaan lalu lintas.Dalam konteks clinical governance maka penanganan Pasien dengan
cedera kepala selain harus mempertimbangkan ketepatan waktu serta akurasi penegakan
diagnosis juga harus diikuti dengan penatalaksanaan yang akurat dan didasarkan pada bukti-
bukti ilmiah yang valid.Resiko utama pasien yang mengalami cidera kepala adalah
kerusakan otak akibat perdarahan atau pembengkakan otak sebagai respon terhadap cedera
dan menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial (TIK). patofisiologis dari cedera kepala
traumatic dibagi dalam proses primer dan proses sekunder. Manifestasi klinis cedera kepala
meliputi gangguan kesadaran, konfusi, abnormalitas pupil, awitan tiba-tiba defisit neu-
rologik, dan perubahan tanda vital.Mungkin ada gangguan penglihatan dan pendengaran,
disfungsi sensori, kejang otot, sakit kepala, vertigo, gangguan pergerakan, kejang, dan
banyak efek lainnya.Pemeriksaan neurologik dan fisik awal memberi data dasar yang akan
digunakan untuk perbandingan pemeriksaan berikutnya. Untuk itu perlu dilakukan
pemeriksaan dengan seksama agar implementasi keperawatan yang dilakukan dapat
memberikan kesembuhan terhadap diagnosa yang muncul.
DAFTAR PUSTAKA
Brunner & Suddart (2002) Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah, Jakarta : AGC.
Doenges, M. E., Moorhouse, M. F. & Geissler, A. C. (2000) Rencana Asuhan
Keperawatan, Jakarta : EGC.

Guyton & Hall (1997) Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Jakarta : EGC.

Price, S & Wilson, L. M. (1995) Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-proses


Penyakit,Jakarta : EGC.

Sudoyo Aru, dkk (2006) Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: FKUI.

Anda mungkin juga menyukai