Anda di halaman 1dari 5

MASYARAKAT ADAT DI TENGAH KOMODIFIKASI ATAS TANAH

Oleh
Siti Barora Sinay; Email: sitibarora@yahoo.com

Obongana gena mia wawango ma ugulu ka gengino o orasa


nena si ado-ado nika o ngoka deo dononguku (Hutan itu sumber
hidup kami dari dulu, sekarang hingga anak cucu).
Maluku Utara, Provinsi yang terbentuk melalui UU Nomor 46 tahun
1999 merupakan negeri yang dikenal sebagai wilayah 4 (Empat)
Kesultanan Moloku Kie Raha. Masyarakat adat yang tersebar di
jazirah al mulk ini terdiri dari kurang lebih 28 suku bangsa dengan
bahasa yang berbeda-beda, sebut saja Ternate, Tidore, Makian Barat,
Kao, Tobelo, galela, tobaru hingga suku ange, siboyo, dan tagutil.
Siapakah sesungguhnya masyarakat adat? Pasal 1 ayat (3) Peraturan
Menteri No. 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak
Ulayat Masyarakat Hukum Adat menegaskan bahwa masyarakat
hukum adat adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum
adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena
kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan. Sedangkan
F.D. Hollemann dalam Otje Salman(2002) mengkonstruksi 4 (empat)
sifat umum dari masyarakat adat yaitu :
1) Magis Religius (magisch-religieus)
Sifat ini diartikan sebagai suatu pola pikir yang didasarkan pada
religiusitas, yakni keyakinan masyarakat tentang adanya sesuatu
yang bersifat sakral. Sebelum masyarakat hukum adat
bersentuhan dengan sistem hukum agama, religiusitas ini
diwujudkan dalam cara berpikir yang prelogika, animistis dan
kepercayaan pada alam gaib yang menghuni suatu benda. Ada
pula pendapat yang menyatakan bahwa sifat magis religius pada
masyarakat animisme tidak jauh berbeda dengan masyarakat
yang telah mengenal persentuhan sistem hukum agama dimana
perasaan religius diwujudkan dalam bentuk kepercayaan terhadap
Tuhan atas kepercayaan bahwa setiap perbuatan apapun
bentuknya, akan selalu mendapatkan imbalan dan hukuman
(reward and punishment) sesuai dengan derajat perbuatan.
2) Komunal (Commuun)
Masyarakat hukum adat memiliki asumsi bahwa setiap individu,
anggota masyarakat merupakan bagian integral dari masyarakat
secara keseluruhan. Diyakini pula bahwa setiap kepentingan
individu sewajarnya disesuaikan dengan kepentingan-kepentingan
masyarakat karena tidak ada individu yang terlepas dari
masyarakatnya.

3) Konkret (Concret)
Sifat ini diartikan sebagai corak yang serba jelas atau nyata,
menunjukan bahwa setiap hubungan hukum yang terjadi dalam

Artikel pada Workshop Blogging untuk Peneliti JiKTI 1


JiKTI Regional Maluku, Swiss-belhotel, Ambon 5-7 Maret 2015
masyarakat tidak dilakukan secara diam-diam atau abstrak.
Transaksi-transaksi yang terjadi merupakan perbuatan yang serba
nyata.
4) Kontan (Kontante Handeling)
Sifat ini mengandung makna kesertamertaan, terutama dalam hal
pemenuhan prestasi, dimana setiap pemenuhan prestasii selalu
diiringi dengan kontra prestasi yang diberikan secara serta merta
(seketika).

Dari aspek hukum pertanahan, wilayah daratan merupakan tanah


bekas swapraja yang penguasaan/pemilikan tanah oleh Kesultanan
dengan berbagai jenis hak atas tanah antara lain aha kolano/raki
kolano, aha Soa, aha cocatu, hak tolagumi, hak safa, hak ruba banga,
hak jorame, hale kolano, hale dola, hale furu, hale cocatu, hale eto se
daera, hale bilang, sampai lahir UU Nomor 5 Tahun 1960 yang
melakuakn unifikasi hukum tanah. Saat ini, begitu gencar masyarakat
adat melakukan inisiasi pemetaan wilayah adat dan bahkan
dibeberapa suku telah menyelesaikan Peta wilayah adat dengan
bantuan rekan-rekan AMAN Malut.
Masyarakat adat dengan segala karateristik kebudayaan yang melekat
padanya adalah warga negara yang seringkali dikategorisasi sebagai
second class. Sebagai warga negara melekat padanya hak dan
kewajiban. Bahkan beberapa regulasi setingkat UU merumuskan secara
spesifik terkait dengan hak masyarakat adat termasuk hak tenurialnya.
Kebijakan pembangunan seringkali tidak sejalan dengan percepatan
pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat sebagai
kelompok paling rentan dalam pembangunan.
Dilema partisipasi Masyarakat Adat
Pembangunan sejatinya bermuara pada adanya peningkatan
kesejahteraan masyarakat yang tersistematisasi melalui perencanaan
pembangunan nasional (kombinasi top down-bottom up planning)
disebut Musrenbang secara berjenjang. Tahap ini dimaksudkan sebagai
media inventarisasi dan akomodasi daftar kebutuhan masyarakat
termasuk masyarakat adat berwujud program fisik dan non fisik.
Sayangnya, pelaksanaan Musrenbang dari tahun ke tahun jauh diisi
dengan keterlibatan aktif masyarakat adat, apalagi memastikan
rumusan program pembangunan yang murni berpihak terhadap
kebutuhan masyarakat adat dengan berbagai dalih/justifikasi. Dalam
riset pelaksanaan Musrenbang di Kota Ternate tahun 2012
teridentifikasi perumusan program masyarakat dalam pelaksanaan
Musrenbang Des/Kelurahan tidak didahului dengan pengggalian
gagasan ditingkat Dusun/RT/RW, namun hanya dilakukan oleh
segelintir orang oknum aparat Pemerintahan Desa/Kelurahan.
Demikian halnya, pada musyawarah tingkat Desa/Kelurahan hanya

Artikel pada Workshop Blogging untuk Peneliti JiKTI 2


JiKTI Regional Maluku, Swiss-belhotel, Ambon 5-7 Maret 2015
dilakukan penyesuaian dengan program yang telah dirumuskan oleh
Pemerintah.
Hal ini jelas berdampak pada masyarakat adat yang melekat padanya
hak tenurial, dimana Pembangunan Fisik membutuhkan ruang untuk
mengaplikasi program pembangunan dimaksud melalui struktur ruang.
Faktanya adalah hak atas tanah, air, udara dalam wilayah masyarakat
adat yang dikuasai secara turun temurun tereksploitasi atas nama
pembangunan. Maluku Utara tidak terlepas dari pola pembangunan
yang menggerus tanah adat masyarakat. Paradigma pembangunan
dalam bentuk industrialisasi hutan, laut juga lahan pertanian,
membuahkan pelanggaran terhadap hak-hak masyarakat adat. Tanah
telah menjadi komodifikasi bagi pembangunan, yang berpotensi
meminggirkan hak-hak masyarakat adat.
Komodifikasi Tanah Adat
Komodifikasi tanah untuk kepentingan pembangunan tidak terlepas
dari dinamika pertumbuhan penduduk, pemekaran wilayah,
pertumbuhan ekonomi wilayah dan strategi percepatan pembangunan
nasional dalam wadah Masterplan Percepatan dan Perluasan
Pembangunan Indonesia (MP3EI). Di Maluku Utara sendiri,
pertambangan di Halmahera dan perikanan di Morotai merupakan
sektor yang didorong dalam MP3EI. Jauh sebelum itu, eksploitasi
sumberdaya alam dijadikan basis utama pembangunan ekonomi
daerah yang menyisakan kesenjangan sosial, terusirnya masyarakat
adat dari ruang hidup mereka sekali lagi atas nama pembangunan di
era otonomi daerah.
Indikator nyata dari hal tersebut terlihat pada dominasi keberpihakan
pemerintah Daerah atas kepentingan pemodal vis a vis Masyarakat
adat. Hal ini terlihat dari banyaknya izin pertambangan di Malut
sebelum kebijakan moratorium sebanyak 335 IUP dengan luas wilayah
tambang sebesar 2.618.670 hektar. Dengan luasan yang demikian,
daratan Maluku Utara yang tersisa hanya seluas 709.130 hektar. Dari
kalkulasi AMAN, diperkirakan hampir 70% wilayah adat di Malut sudah
dikonversikan menjadi areal tambang dan perkebunan yang tidak
hanya berada di areal perkebunan bahkan diatas rumah penduduk
yang notabene masyarakat adat yang tinggal beranak pinak berpuluh
tahun lamanya sebut saja beberapa rumah warga Lelilef Sawai, Lelilef
Woebulen, dan Gemaf yang berada di areal konsesi PT. Weda Bay
Nickel (PT. WBN) dan kawasan kebun bagi masyarakat adat suku Pagu.
Dilema pembangunan lainnya akibat komodifikasi tanah adat adalah
meningkatnya eskalasi konflik agraria diberbagai sektor terutama
pertambangan, perkebunan dan kehutanan. Konflik dilatarbelakangi
oleh larangan/pembatasan akses masyarakat ke hutan pada
masyarakat Sawai oleh PT. WBN, dan suku Pagu oleh PT. Nusa

Artikel pada Workshop Blogging untuk Peneliti JiKTI 3


JiKTI Regional Maluku, Swiss-belhotel, Ambon 5-7 Maret 2015
Halmahera Mineral, larangan Pemerintah Daerah kepada suku Tobelo
Dalam dan Togutil untuk tidak membuka lahan perkebunan baru di atas
tanah yang diklaim sebagai tanah Negara dan kawasan hutan, serta
konflik internal suku klaim kepemilikan desa saat masuknya investor.
Konflik dipermukaan ditandai dengan benturan fisik dan blokade.
Uraian diatas menunjukan adanya pengabaian hak-hak masyarakat
adat yang sebelumnya telah diatur dalam Pasal 18B ayat (2) dan Pasal
28I ayat (3) UUD 1945, UU No. 5 Tahun 1960 dan peraturan pelaksana
lainnya. Demikian halnya Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012 yang
diharapkan sebagai jalan potensial untuk mengabsahkan posisi
masyarakat adat sebagai pemilik lahan, sumber daya dan wilayah
mereka, namun nyatanya tidak menjamin pengakuan hak-hak
masyarakat adat atas tanah, wilayah dan sumber daya mereka, sebab
sampai sekarang tidak ada mekanisme hukum di tingkat nasional yang
mengabulkan pengakuan tersebut contoh nyata, mandegnya RUU
Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat.
Disadari tanah sebagai modal ekonomi, sosial dan politik memegang
peranan penting dalam penyelenggaraan pembangunan yang bagi
masyarakat adat, tanah tidak hanya terbatas sebagai modal ekonomi,
sosial dan politik semata namun memiliki hubungan yang erat bersifat
religius magis. Kerangka perlindungan dapat dipetakan dalam konteks
perlindungan preventif maupun represif. Perlindungan preventif
dilakukan dengan melaksanakan kewajiban Negara dalam bentuk
pendaftaran tanah untuk memperoleh kepastian hukum dan kepastian
hak atas tanah. Proses ini dilakukan setelah pengakuan persekutuan
masyarakat hukum adat melalui Peraturan Daerah sebagaimana
dibeberapa daerah semisal Kota Ternate, Kab. Halmahera Barat dan
Kab. Halmahera Selatan. Sementara di Kab. Halmahera Utara pernah
ada Ranperda tentang Kampung dan Perlindungan Hak Ulayat dalam
Prolegda tahun 2009 namun hilang dalam tahun Prolegda 2010.

Tahun 2015 masih tetap menyisakan persoalan terkait perebutan


spasial atas nama pembangunan antara Pemerintah Daerah dan
Masyarakat Adat. Untuk itu, selain merampungkan RUU PPHMA dalam
Prolegnas, langkah pendahuluan yang dapat dilakukan sejalan dengan
Kep. MK No. 35 adalah penelitian inventarisasi tanah adat di Maluku
Utara yang oleh kawan AMAN berbentuk pemetaan wilayah adat pada
beberapa suku untuk dikukuhkan melalui Perda.
Lebih dari pada itu, advokasi keterlibatan masyarakat adat sebagai
pemangku kepentingan menjadi urgen, sehingga tidak sekedar sebagai
subyek melestarikan budaya nasional melainkan juga ikut mendorong
penguatan kearifan lokal sebagai modal sosial pembangunan. Mari

Artikel pada Workshop Blogging untuk Peneliti JiKTI 4


JiKTI Regional Maluku, Swiss-belhotel, Ambon 5-7 Maret 2015
kita dorong bersama, membangun bersama masyarakat adat
sebagaimana slogan "membangun dari desa".

Artikel pada Workshop Blogging untuk Peneliti JiKTI 5


JiKTI Regional Maluku, Swiss-belhotel, Ambon 5-7 Maret 2015

Anda mungkin juga menyukai