Anda di halaman 1dari 4

Efektivitas Program Konseling Pelaku

Dari beberapa Negara menunjukkan variasi efektivitas program konseling dengan tingkat
yang cukup menggembirakan. Misalnya penelitian yang dilakukan Bennet, Stoops, Call, dan Fltt
(2007) di Illinois mengungkapkan perbedaan yang signifikan antara pelaku yang menyelesaikan
program dengan yang tidak. Sebanyak 34,7 % dari 260 pelaku yang tidak menyelesaikan
program konseling kembali melakukan kekerasan terhadap pasangannya. Bandingkan dengan
hanya 14,1 % dari 629 pelaku yang mengikuti program konseling sampai selesai. Msih dalam
penelitian yang sama juga ditemukan bahwa program konseling pelaku berhasil menurunkan
tingkat kemungkinan pelaku ditahan kembali karena melakukan kekerasan terhadap pasangannya
sebesar 39-61 %.

Sedangkan penelitian Gondolf (1997) yng melibatkan 840 pelaku yang mengikuti
konseling menunjukkan bahwa sebanyak 61% pelaku berhenti melakukan kekerasan fisik kepada
pasangannya. Namun demikian, perlu dicatat bahwa sebanyak 70% pelaku kembali melakukan
kekerasan psikis. Sementara itu, penelitian yang dilakukan Buttel & Pike (2002) terhadap para
pelaku KDRT beretnis Afrika-Amerika dan Kaukasia di Indianapolis dan New Orleans
menunjukkan bahwa keberhasilan program konseling pelaku mencapai 80%. Gondolf (1997)
bahkan dengan tegas mengatakan bahwa salah satu penyebab menurunnya jumlah kekerasan
terhadap pasangan sebanyak 21% selama 5 tahun (1993-1998) di Amerika Serkat adalah
berkembangnya program konseling untuk pelaku.

Data data diatas dapat menguatkan kita untuk melaksanakan program konseling di
Indonesia. Dari sejumlah penelitian yang mengevauasi program konseling pelku, ditemukan
sejumlah faktor yang berkontribusi terhadap keberhasilan program. Fktor faktor tersebut antara
lain:

1) Partisipasi pelaku

Pelaku yang cenderung kembali melakukan kekerasan umumnya adalah pelaku yang
tidak menjalani program konseling sampai selesai (Gondolf,1997). Oleh sebab itu konselor hrus
dapat membuat pelaku tertarik untuk datang kembali pada sesi berikutnya. Konselor dapat
menggunakan pendekatan insentif (Insentife approach). Dengan pendekatan ini, konselor harus
menggiring pelaku untuk melihat keuntungan dari tidk melakukan kekerasan. Namun, konselor
harus bersikap realistis dengan tidak menjanjikan keuntungan yang tidak mungkin diperoleh
pelaku. Misalya tidak perlu menjanjikan bahwa pelaku dapat kembali pada pasangan atau
terbebas dari hukuman pidana jika mau mengikuti konseling.

2) Karakteristik pelaku

Tidak semua pelaku dapat ditangani dengan konseling. Holtzworth-Munroe dan Stuart
(1994) menemukan bahwa pelaku dapat dibedakan kedalam tiga tipe. Mereka menggolongknnya
berdasarkan : (a) Frekuensi dan keprahan penganiayaan yang dilakukan, (b) lingkup kekerasan
( hanya dengan anggota keluarga atau dengan orang lain diluar anggota keluarga), dan (c) ada
tidaknya psikoptoogi atau karakteristik gangguan kepribadian.

Tipe pertama adalah family-only (FO). Pelaku yag tergolong dalam tipe ini hanya
melakukan kekerasan dalam lingkup keluarganya. Biasanya tingkat kekerasan seksual dan psikis
yang mereka lakukan relative rendah Karen tingkat impulsivitas merekapun pada dasarnya
rendah. Menurut Holtzworth-Munroe dan Stuart (1994), rendahnay level psikopatologi, sikap
yang positif terhadap perempuan, dan sikap yang negative terhadap kekerasan, yang dimilii
pelaku tipe FO, membantu mereka untuk tidak melakukan agresi yang lebih parah. Bahkan
biasanya setelah insiden, mereka sungguh sungguh merasa bersalah.

Tipe kedua adalah disforik atau borderline (DB). Tingkat kekerasan yang dilakukan
kelompok ini berkisar antara sedang sampai berat. Sasaran utama kekerasan mereka adalah
pasangan, meski dibandingkan tipe FO, mereka cukup sering melakukan kekerasan diluar rumah.
Masih berdasarkan penelitian Holtzworth-Munroe dan Stuart (1994), kelompok ini merupakan
yang paling tertekan secara psikologis dan paling menampilkan karakteristik borderline seperti
emosi labil, hubungan interpersonal yang tidak stabil, ketakutan akan penolakan, dan
kecemburuan yang besar, Sikap mereka terhadap kekerasan cenderung positif sedangkan sikap
terhadap perempuan cenderung negative. Namun mereka juga punya ketergantungan terhadap
pasangan sehingga sangat khawatir bila ditinggalkan pasangan. Oleh sebab itu, sehabis
melakukan kekerasan biasanya mereka meminta maaf secara berlebihan bahkan ada yang
berusaha melukai dirinya sendiri.

Tipe ketiga adalah tipe antisocial yang melakukan kekerasan secara umum (generally
vioent antisocial/GVA). Pelaku dalam kategori ini umumnya melakukan kekerasan sedang
sampai dengan berat. Mereka tidak hanya melakukan kekerasan terhadap anggota keluarga tetapi
juga degan orang orang lain diluar lingkup keluarga. Pelaku dalam kelompok ini menampilkan
karakteristik gangguan kepribadian antisocial seperti perilaku criminal, ditahan, penggunaan obat
obatan, dsb. Mereka memiiki sikap yang sangat positif terhadap kekerasan, melebihi tipe BD.
Seperti orang dengan gangguan kepribadian antisocial, mereka tidak memiliki rasa bersalah atas
tindakannya (Holtzworth-Munroe dan Stuart ,1994).

Belakangn Holtzworth-Munroe, Meehan, Herron, Rehman dan Stuart (2003) menemukan


tipe pelaku keempat yang menyerupai tipe GVA yang mereka namakan low level antisocial
(LLA). Pelaku dalam tipe ini juga memiliki tingkat antisocial yang tinggi namun anehnya seperti
tipe FO, mereka tidak melakukan kekerasan terhadap orang lain diluar keluarganya.

Menurut Holtzworth-Munroe et al (2000), penelitian mngenai tipe pelaku memang perlu


ters dikembangkan. Bersama Saunders (2001), mereka meyakini bahwa pemahaman menganai
tipe tipe pelaku akan membantu pengembangan bentuk intervensi yang lebih tepat untuk masing
masing tipe.

Berdasaran hasil evaluasi terhadap sejumlah program konseling ditemukan bahwa pelaku
dengan tipe FO adalah yang paling mendapatkan manfaat dari program konseling (Huss &
Ralston,2008). Mereka belajar untuk menerapkan cara cara beromunikasi dan penyelesaian
masalah yan lebih efektif dari program konseling. Sedangkan pelaku dengan tipe BD masih
banyak sekali yang kembali melakukan kekerasan terhadap pasangan, meski jumlahnya tidak
sebesar pada tipe GVA. Saunders (1996) menyarankan pelaku tipe BD dibrikan terapi
psikodinamika tersendiri mengingat mereka membutuhkan penanganan yang lebih khusus untuk
mengatasi kelabilan emosi dan karakteristik borderline lainnya yang mereka miliki.

Sedangkan pada pelaku dengan tipe GVA, program konseling pelaku cenderung gagal
menangani mereka (Gondolf & White,2001). Mereka umumnya tidak mengikuti konsling secara
rutin apalagi hingga selesai. Mereka yang berhasil menyeesaikan program kebali melakukan
kekerasan bahkan seringkali dalam tingkat yang lebih parah. Saunders meyakini bahwa terapi
dengan pendekatan perilaku-kognitif (cognitive behavioural approach) dengan jumlah sesi yang
lebih lama dibandingkan program konseling biasa yang pada umunya selsai 3-6 bulan, akan lebih
efektif untuk pelaku tipe GVA ini. Namun belum ada informasi lebih lanjut mengenai efektivitas
pendekatan ini paada pelaku tipe GVA.

Anda mungkin juga menyukai