Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

TETANUS NEONATORUM PADA BAYI

Disusun oleh :

1. Ari Purnowati
2. Museni
3. Siswanto
4. Yulia Latifah
5. Vina Indriaty

PRODI S1 KEPERAWATAN
STIKES WIDYA DHARMA HUSADA
TANGERANG
2015
Kata pengantar

Puji syukur kami ucapkan kepada Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
Keperawatan Anak ini tentang Tetanus Neonatorum

Kepada semua pihak baik secara langsung maupun tidak langsung telah
membantu demi kelancaran tugas ini.

Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapakan terimakasih kepada:

1.Allah SWT,yang telah membimbing penulis dalam menyelesaikan makalah ini


dengan baik,

2.Ibu Ns Yuni Astuti S,Pd,M,kep ,selaku dosen pembimbing yang telah


memberikan pengajaran kepada kami.

3. Teman teman yang telah membantu dalam menyelesaikan makalah ini .

4. Pihak pihak lain yang dapat penulis sebutkan satu persatu yang baik secara
langsung maupun tidak langsung , juga telah membantu dalam penyusunan
makalah ini

Kami menyadari bahwa terdapat kekurangan-kekurangan dalam penulisan tugas


ini, maka dari itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan
untuk kesempurnaan penulisan dimasa yang akan datang.

Demikianlah makalah ini kami buat, semoga dapat bermanfaat bagi pembaca.

Tanggerang ,maret 2015

1
DAFTAR ISI

Kata pengantar............................................................................................. i
DAFTAR ISI.............................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................. 1
A. Latar Belakang............................................................................. 1
B. Tujuan Penulisan.........................................................................2
C. Rumusan Masalah........................................................................2
BAB II PEMBAHASAN............................................................................... 3
A. KONSEP DASAR PENYAKIT..............................................................3
1. Pengertian...................................................................................... 3
2. Etiologi......................................................................................... 3
3. Patofisiologis................................................................................. 4
4. Manifestasi klinis............................................................................. 6
5. Komplikasi Dan Diagnosa banding........................................................8
6. Pencegahan Dan Faktor resiko............................................................8
7. Penatalaksanaan............................................................................ 10
B. PROSES PENGKAJIAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN
TETANUS NEONATORUM....................................................................12
1. Pengkajian..................................................................................... 12
2. Diagnosa Keperawatan.....................................................................12
3. Intervensi....................................................................................... 12
4. Evaluasi Keperawatan.....................................................................15
BAB III PENUTUP................................................................................... 16
A.Kesimpulan.................................................................................... 16
B.Saran............................................................................................. 16
DAFTAR PUSTAKA................................................................................. 17

2
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bayi baru lahir atau neonatus meliputi umur 0 28 hari. Kehidupan pada masa
neonatus ini sangat rawan oleh karena memerlukan penyesuaian fisiologik agar
bayi di luar kandungan dapat hidup sebaik-baiknya. Peralihan dari kehidupan
intrauterin ke ekstrauterin memerlukan berbagai perubahan biokimia dan faali.
Namun, banyak masalah pada bayi baru lahir yang berhubungan dengan
gangguan atau kegagalan penyesuaian biokimia dan faali.

Masalah pada neonatus ini biasanya timbul sebagai akibat yang spesifik terjadi
pada masa perinatal. Tidak hanya merupakan penyebab kematian tetapi juga
kecacatan. Masalah ini timbul sebagai akibat buruknya kesehatan ibu, perawatan
kehamilan yang kurang memadai, manajemen persalinan yang tidak tepat dan
tidak bersih, serta kurangnya perawatan bayi baru lahir.

Hal ini dapat dilihat dari tingginya angka kesakitan dan angka kematian
neonatus. Diperkirakan 2/3 kematian bayi di bawah umur satu tahun terjadi pada
masa neonatus. Salah satu kasus yang banyak dijumpai di sejumlah negara tropis
dan negara yang masih memiliki kondisi kesehatan rendah adalah kasus tetanus.
Data organisasi kesehatan dunia WHO menunjukkan, kematian akibat tetanus di
negara berkembang adalah 135 kali lebih tinggi dibanding negara maju.
Mortalitasnya sangat tinggi karena biasanya baru mendapat pertolongan bila
keadaan bayi sudah gawat. Penanganan yang sempurna memegang peranan
penting dalam menurunkan angka mortalitas. Tingginya angka kematian sangat
bervariasi dan sangat tergantung pada saat pengobatan dimulai serta pada
fasilitas dan tenaga perawatan yang ada.

Di Indonesia, sekitar 9,8% dari 184 ribu kelahiran bayi menghadapi kematian.
Contoh, pada tahun 80-an tetanus menjadi penyebab pertama kematian bayi di
bawah usia satu bulan. Namun, pada tahun 1995 kasus serangan tetanus sudah
menurun, akan tetapi ancaman itu tetap ada sehingga perlu diatasi secara serius.
Tetanus juga terjadi pada bayi, dikenal dengan istilah tetanus neonatorum,

1
karena umumnya terjadi pada bayi baru lahir atau usia di bawah satu bulan
(neonatus). Penyebabnya adalah spora Clostridium tetani yang masuk melalui
luka tali pusat, karena tindakan atau perawatan yang tidak memenuhi syarat
kebersihan.

Dengan tingginya kejadian kasus tetanus ini sangat diharapkan bagi seorang
tenaga medis, terutama seorang bidan dapat memberikan pertolongan/tindakan
pertama atau pelayanan asuhan kebidanan yang sesuai dengan kewenangan
dalam menghadapi kasus tetanus neonatorum.

B. Tujuan Penulisan

Adapun beberapa tujuan penulisan makalah ini antara lain:


Mengetahui dan meningkatkan wawasan mengenai konsep dan perawatan
tetanus neonatorum.
Mengetahui anatomi dan fisiologi tali pusat.
Mengetahui penyakit tetanus neonatorum

C. Rumusan Masalah

Mengetahui lebih detail tentang Tetanus Neonatorum

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. KONSEP DASAR PENYAKIT

1. Pengertian

Tetanus berasal dari kata eflex (Yunani) yang berarti peregangan. Tetanus
Neonatorum adalah Penyakit tetanus pada bayi baru lahir dengan tanda klinik
yang khas, setelah 2 hari pertama bayi hidup, menangis dan menyusu secara
normal, pada hari ketiga atau lebih timbul kekakuan seluruh tubuh yang
ditandai dengan kesulitan membuka mulut dan menetek, disusul dengan
kejangkejang (WHO, 1989).

Kejang yang sering di jumpai pada BBL, yang bukan karena trauma
kelahiran atau asfiksia, tetapi disebabkan oleh infeksi selama masa neonatal,
yang antara lain terjadi sebagai akibat pemotongan tali pusat atau
perawatannya yang tidak bersih (Ngastijah, 1997).

2. Etiologi

Penyebab tetanus adalah clostridium tetani yang infeksi biasanya terjadi


melalui luka pada tali pusat. Ini dapat terjadi karena pemotongan tali pusat
tidak menggunakan alat-alat yang steril hanya memakai alat sederhana seperti
bilah bambu atau pisau/ gunting yang tidak disteril dahulu. Dapat juga karena
perawatan tali pusat yang menggunakan obat tradiasional seperti abu dan
kapur sirih, daun-daunan dan sebagainya.

Kebanyakan tetanus neonatorum terdapat pada bayi yang lahir dengan dukun
peraji yang belum mengikuti penataran dari depkes.Dermatol yang dahulu
dipakai sebagai obat pusar sekarang tidak dibenarkan lagi untuk di pakai
karena ternyata pada dermatol dapat dihinggapi spora clostridium tetani.
Massa inkubasi penyakit ini adalah 5-14 hari.

Pada umumnya tetanus neonatorum lebih cepat dan penyakit ini berlangsung
lebih berat dari tetanus pada anak.

3
3. Patofisiologis

Spora yang masuk dan berada dalam lingkungan anaerobic berubah menjadi
bentuk flex dan berbiak sambil menghasilkan toxin. Dalam jaringan yang
anaerobic ini terdapat penurunan potensial oksidasi reduksi jaringan dan
turunnya tekanan eflex jaringan akibat adanya nanah, nekrosis jaringan,
garam kalsium yang dapat diionisasi. Secara intra axonal toxin disalurkan ke
sel saraf (cel body) yang memakan waktu sesuai dengan panjang axonnya
dan aktifitas serabutnya. Belum terdapat perubahan elektrik dan fungsi sel

4
saraf walaupun toksin telah terkumpul dalam sel. Dalam sungsum belakang
toksin menjalar dari sel saraf lower motorneuron ke lekuk sinaps dan
diteruskan ke ujung presinaps dari spinal inhibitory neurin. Pada daerah
inilah toksin menimbulkan gangguan pada inhibitory transmitter dan
menimbulkan kekakuan

Efek Toxin pada :

a. Ganglion pra sumsum tulang belakang :

Memblok sinaps jalur antagonist, mengubah keseimbangan dan


koordinasi impuls sehingga tonus ototnya meningkat dan otot menjadi
kaku. Terjadi penekanan pada hiperpolarisasi eflexe dari neurons yang
merupakan mekanisme yang umum terjadi bila jalur penghambat
terangsang. Depolarisasi yang berkaitan dengan jalur rangsangan tidak
terganggu. Toksin menyebabkan hambatan pengeluaran inhibitory
transmitter dan menekan pengaruh bahan ini pada eflexe neuron motorik.

b. Otak

Toxin yang menempel pada cerebral gangliosides diduga menyebabkan


gejala kekakuan dan kejang yang khas pada tetanus. Hambatan
antidromik akibat rangsangan kortikal menurun.

c. Saraf otonom

Terutama mengenai saraf simpatis dan menimbulkan gejala keringat


yang berlebihan, eflexeea, hypotensi, hypertensi, arytmia cardiac block
atau takhikardia. Sekalipun otot yang terkena adalah otot bergaris
terutama otot penampang dan penggerak tubuh yang besar-besar, pada
tetanus berat otot polos juga ikut terkena, sehingga timbul manifestasi
klinik seperti disebutkan diatas.

5
4. Manifestasi klinis

Gejala klinik pada tetanus neonatorum sangat khas sehingga masyarakat yang
primitifpun mampu mengenalinya sebagai penyakit hari kedelapan (Jaffari,
Pandit dan Ismail 1966). Anak yang semula menangis, menetek dan hidup
normal, mulai hari ketiga menunjukan gejala klinik yang bervariasi mulai dari
kekakuan mulut dan kesulitan menetek, risus sardonicus sampai opistotonus.
Trismus pada tetanus neonatorum tidak sejelas pada penderita anak atau dewasa,
karena kekakuan otot leher lebih kuat dari otot masseter, sehingga rahang bawah
tertarik dan mulut justru agak membuka dan kaku (Athvale, dan Pai, 1965,
Marshall, 1968). Bentukan mulut menjadi mecucu (Jw) seperti mulut ikan karper.
Bayi yang semula kembali lemas setelah kejang dengan cepat menjadi lebih kaku
dan frekuensi kejang-kejang menjadi makin sering dengan tanda-tanda klinik
kegagalan nafas (Irwantono, Ismudijanto dan MF Kaspan 1987).

Kekakuan pada tetanus sangat khusus : fleksi pada tangan, ekstensi pada tungkai
namun fleksi plantar pada jari kaki tidak tampak sejelas pada penderita anak.
Kekakuan dimulai pada otot-otot setempat atau trismus kemudian menjalar ke
seluruh tubuh, tanpa disertai gangguan kesadaran. Seluruh tubuh bayi menjadi
kaku, bengkok (flexi) pada siku dengan tangan dikepal keras keras. Hipertoni
menjadi semakin tinggi, sehingga bayi dapat diangkat bagaikan sepotong kayu.
Leher yang kaku seringkali menyebabkan kepala dalam posisi menengadah.

Gambaran Umum pada Tetanus :

6
a. Trismus (lock-jaw, clench teeth)
Adalah mengatupnya rahang dan terkuncinya dua baris gigi akibat kekakuan
otot mengunyah (masseter) sehingga penderita sukar membuka mulut. Untuk
menilai kemajuan dan kesembuhan secara klinik, lebar bukaan mulut diukur
tiap hari. Trismus pada neonati tidak sejelas pada anak, karena kekakuan pada
leher lebih kuat dan akan menarik mulut kebawah, sehingga mulut agak
menganga. Keadaan ini menyebabkan mulut mecucu seperti mulut ikan
tetapi terdapat kekakuan mulut sehingga bayi tidak dapat menyusu.
b. Risus Sardonicus (Sardonic grin)
Terjadi akibat kekakuan otot-otot mimic dahi mengkerut mata agak tertutup
sudut mulut keluar dan kebawah manggambarkan wajah penuh ejekan sambil
menahan kesakitan atau emosi yang dalam.
c. Opisthotonus
Kekakuan otot-otot yang menunjang tubuh : otot punggung, otot leher, trunk
muscle dan sebagainya. Kekakuan yang sangat berat menyebabkan tubuh
melengkung seperti busur, bertumpu pada tumit dan belakang kepala. Secara
klinik dapat dikenali dengan mudahnya tangan pemeriksa masuk pada
lengkungan busur tersebut. Pada era sebelum diazepam, sering terjadi
komplikasi compression fracture pada tulang vertebra.
d. Otot dinding perut kaku, sehingga dinding perut seperti papan. Selain otot
dinding perut, otot penyangga rongga dada juga kaku, sehingga penderita
merasakan keterbatasan untuk bernafas atau batuk. Setelah hari kelima perlu
diwaspadai timbulnya perdarahan paru (pada eflexe) atau bronchopneumonia
f. Bila kekakuan makin berat, akan timbul kejang-kejang umum, mula-mula hanya
terjadi setelah penderita menerima rangsangan misalnya dicubit, digerakkan
secara kasar, terpapar sinar yang kuat dan sebagainya, lambat laun masa
istirahat kejang makin pendek sehingga anak jatuh dalam status convulsivus.
g. Pada tetanus yang berat akan terjadi :
Gangguan pernafasan akibat kejang yang terus-menerus atau oleh karena
spasme otot larynx yang bila berat menimbulkan anoxia dan kematian.
Pengaruh toksin pada saraf otonom akan menyebabkan gangguan sirkulasi
(akibat gangguan irama jantung misalnya block, bradycardi, tachycardia, atau
kelainan pembuluh darah/hipertensi), dapat pula menyebabkan suhu badan
yang tinggi (hiperpireksia) atau berkeringat banyak hiperhidrosis). Kekakuan

7
otot sphincter dan otot polos lain seringkali menimbulkan eflexealvi atau
retention urinae. Patah tulang panjang (tulang paha) dan fraktur kompresi
tulang belakang.

5. Komplikasi Dan Diagnosa banding


a. Diagnosa
Pemeriksaan laboratorium : Liquor Cerebri normal, hitung leukosit normal atau
sedikit meningkat. Pemeriksaan kadar elektrolit darah terutama kalsium dan
magnesium, analisa gas darah dan gula darah sewaktu penting untuk dilakukan.

Pemeriksaan radiologi : Foto rontgen thorax setelah hari ke-5.

b. Diagnosa banding
Meningitis
Meningoenchepalitis
Enchepalitis
Tetani karena hipocalsemia atau hipomagnesemia
Trismus karena processefle

c. Komplikasi
Bronkhopneumonia
Asfiksia
Sepsis Neonatorum

6. Pencegahan Dan Faktor resiko

a. Faktor resiko
Tetanus neonatorum terjadi pada masa perinatal, antara umur 0 sampai 28 hari,
terutama pada saat luka eflex tali pusat belum kering, sehingga spora C. tetani
dapat mencemari dan berbiak menjadi kuman eflexee.

1. Faktor Cara Pemotongan Tali Pusat

Penggunaan sembilu, pisau cukur atau silet untuk memotong tali pusat
tergantung pada pengertian masyarakat akan sterilitas. Setelah dipotong, tali
pusat dapat disimpul erat-erat atau diikat dengan benang. Penolong

8
persalinan biasanya lebih memusatkan perhatian pada kelahiran plasenta
dan perdarahan ibu.

2. Faktor Cara Perawatan Tali Pusat

Tata cara perawatan perinatal sangat berkaitan erat dengan hasil interaksi
antara tingkat pengetahuan, budaya, ekonomi masyarakat dan adanya
pelayanan kesehatan di lingkungan sekitarnya. Masyarakat di banyak daerah
masih menggunakan daun-daun, ramuan, serbuk abu dan kopi untuk
pengobatan luika eflex tali pusat. Kebiasaan ini tidak dapat dihilangkan
hanya dengan pendidikan dukun bayi saja.

3. Faktor Kebersihan Pelayanan Persalinan

Merupakan interaksi antara kondisi setempat dengan tersedianya pelayanan


kesehatan yang baik di daerah tersebut yang menentukan subyek penolong
persalinan dan kebersihan persalinan. Untuk daerah terpencil yang belum
terjangkau oleh pelayanan persalinan yang higienis maupun daerah perkotaan
yang biaya persalinannya tak terjangkau oleh masarakat, peranan dukun bayi
(terlatih atau tidak) maupun penolong lain sangatlah besar. Pelatihan dukun
bayi dapat menurunkan kematian perinatal namun tidak berpengaruh pada
kejadian tetanus neonatorum.

Masih banyak ibu yang tidak memeriksakan kehamilannya (25 sampai 60%)
dan lebih banyak lagi yang persalinannya tidak ditolong oleh tenaga medis
(70%) sehingga resiko tetanus neonatorum bagi bayi lahir di Indonesia besar.

4. Faktor Kekebalan Ibu Hamil

Merupakan eflex yang sangat penting. Antibodi antitetanus dalam darah ibu

5. Hamil yang dapat disalurkan pada bayinya dapat mencegah manifestasi klinik

6. infeksi dengan kuman C. tetani (Suri, dkk,1964). Suntikan tetanus toksoid 1


kalipun dapat mengurangi kematian tetanus neonatorum dari 70-78 per 1000
kelahiran hidup menjadi 40 per 1000 kelahiran hidup (Newell, 1966, Black,
1980, Rahman, 1982).

9
Pencegahan
Tindakan pencegahan bahkan eliminasi terutama bersandar pada tindakan
menurunkan atau menghilangkan factor-faktor resiko. Meskipun banyak eflex
resiko yang telah dikenali dan diketahui cara kerjanya, namun tidak semua
dapat dihilangkan, misalnya lingkungan fisik dan eflexe. Menekan kejadian
tetanus neonatorum dengan mengubah lingkungan fisik dan eflexe tidaklah
mudah karena manusia memerlukan daerah pertanian dan peternakan untuk
produksi pangan mereka.

Pendekatan pengendalian lingkungan dapat dilakukan dengan mengupayakan


kebersihan lingkungan yang maksimal agar tidak terjadi pencemaran spora
pada proses persalinan, pemotongan dan perawatan tali pusat. Mengingat
sebagian besar persalinan masih ditolong oleh dukun, maka praktek 3 bersih,
yaitu bersih tangan, alat pemotong tali pusat dan alas tempat tidur ibu (Dep.
Kesehatan, 1992), serta perawatan tali pusat yang benar sangat penting dalam
kurikulum pendidikan dukun bayi. Bilamana attack rate tak dapat diturunkan
dan penurunan eflex risiko persalinan serta perawatan tali pusat memerlukan
waktu yang lama, maka imunisasi ibu hamil merupakan salah satu jalan
pintas yang memungkinkan untuk ditempuh. Pemberian tokoid tetanus
kepada ibu hamil 3 kali berturut-turut pada trimester ketiga dikatakan sangat
bermanfaat untuk mencegah tetanus neonatorum. Pemotongan tali pusat
harus menggunakan alat yang steril dan perawatan tali pusat selanjutnya.

7. Penatalaksanaan

a. Medik

Empat pokok dasar tata laksana efle : debridement, pemberian eflexee,


menghentikan kejang, serta imunisasi pasif dan aktif, yang dapat dijabarkan
sebagai berikut :

1. Diberikan cairan intravena dengan larutan glukosa 5% dan NaCl fisiologis


dalam perbandingan 4 : 1 selama 48-72 jam selanjutnya IVFD hanya untuk
memasukan obat. Jika pasien telah dirawat lebih dari 24 jam atau pasien sering
kejang atau apnea, diberikan larutan glukosa 10% dan natrium bikarbonat
1,5% dalam perbandingan 4 : 1 (jika fasilitas ada lebih baik periksa analisa gas

10
darah dahulu). Bila setelah 72 jam bayi belum mungkin diberi minum
peroral/sonde, melalui eflex diberikan tambahan protein dan kalium.

2. Diazepam dosis awal 2,5 mg intravena perlahan-lahan selama 2-3 menit,


kemudian diberikan dosis rumat 8-10 mg/kgBB/hari melalui IVFD (diazepam
dimasukan ke dalam cairan eflex dan diganti setiap 6 jam). Bila kejang masih
sering timbul, boleh ditambah diazepam lagi 2,5 mg secara intravena perlahan-
lahan dan dalam 24 jam berikutnya boleh diberikan tembahan diazepam 5
mg/kgBB/hari sehingga dosis diazepam keseluruhannya menjadi 15
mg/kgBB/hari. Setelah keadaan klinis membaik, diazepam diberikan peroral
dan diurunkan secara bertahap. Pada pasien dengan hiperbilirubinemia berat
atau bila makin berat, diazepam diberikan per oral dan setelah bilirubin turun
boleh diberikan secara intravena.

3. ATS 10.000 U/hari, diberikan selama 2 hari berturut-turut dengan IM.


Perinfus diberikan 20.000 U sekaligus.

4. Ampisilin 100 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis, intravena selama 10 hari.


Bila pasien menjadi sepsis pengobatan seperti pasien lainnya. Bila pungsi
lumbal tidak dapat dilakukan pengobatan seperti yang diberikan pada pasien
meningitis bakterialis.

5. Tali pusat dibersihkan/kompres dengan alcohol 70%/Betadine 10%.

6. Perhatikan jalan napas, eflexe, dan tanda vital. Lendir sering dihisap.

b. Keperawatan
Perawatan intensif terutama ditujukan untuk mencukupi kebutuhan cairan dan
nutrisi, menjaga saluran nafas tetap bebas, mempertahankan oksignasi yang
adekuat, dan mencegah hipotermi. Perawatan eflex tali pusat sangat penting untuk
membuang jaringan yang telah tercemar spora dan mengubah keadaan anaerob
jaringan yang rusak, agar oksigenasi bertambah dan pertumbuhan bentuk eflexee
maupun spora dapat dihambat. Setelah eflex tali pusat dibersihkan dengan
perhydrol, dibutuhkan povidon 10% dan dirawat secara terbuka. Perawatan eflex
tali pusat dilakukan minimal 3 kali sehari.

11
B. PROSES PENGKAJIAN
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN TETANUS NEONATORUM

1. Pengkajian
a. Identitas
b. Riwayat Keperawatan : antenatal, intranatal, postnatal.
c. Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum : Lemah, sulit menelan, kejang
Kepala : Poisi menengadah, kaku kuduk, dahi mengkerut, mata agak
tertutup, sudut mulut keluar dan kebawah.
Mulut : Kekakuan mulut, mengatupnya rahang, seperti mulut ikan.
Dada : Simetris, kekakuan otot penyangga rongga dada, otot punggung.
Abdomen : Dinding perut seperti papan.
Kulit : Turgor kurang, pucat, kebiruan.
Ekstremitas : Flexi pada tangan, ekstensi pada tungkai, hipertoni sehingga
bayi dapat diangkat bagai sepotong kayu.
c. Pemeriksaan Persistem
Respirasi : Frekuensi nafas, penggunaan otot aksesori, bunyi nafas, batuk-pikel.
Kardiovaskuler : Frekuensi, kualitas dan irama denyut jantung, pengisian
kapiler, sirkulasi, berkeringat, hiperpirexia.
Neurologi : Tingkat kesadaran, reflek pupil, kejang karena rangsangan.
Gastrointestinal : Bising usus, pola defekasi, distensi
Perkemihan : Produksi urine
Muskuloskeletal : Tonus otot, pergerakan, kekakuan.

2. Diagnosa Keperawatan
a. Ketidakefektifan pola nafas b.d kelelahan otot-otot respirasi
b. Perubahan nutrisi, kurang dari kebutuhan tubuh b.d eflex menghisap pada bayi
tidak adekuat.

3. Intervensi
a. Ketidakefektifan pola nafas b.d kelelahan otot-otot respirasi
Intervensi :

12
Kaji frekuensi dan pola nafas
Perhatikan adanya apnea dan perubahan frekuensi jantung, tonus otot dan warna
kulit.
Lakukan pemantauan jantung dan pernafasam secara eflexe.
Hisap jalan nafas sesuai kebutuhan.
Beri rangsang taktil segera setelah apnea.
Pantau pemeriksaan laboratorium sesuai indikasi.
Beri O2 sesuai indikasi.
Beri obat-obatan sesuai indikasi.
b. Perubahan nutrisi, kurang dari kebutuhan tubuh b.d eflex menghisap pada bayi
tidak adekuat.
Intervensi :
Kaji maturitas eflex berkenaan dengan pemberian makan, menghisap, menelan dan
batuk.
Auskultasi bising usus.
Kaji tanda-tanda hipoglikemia.
Beri suplemen elektrolit sesuai medikasi.
Beri nutrisi parenteral.
Pantau pemeriksaan laboratorium sesuai indikasi.
Lakukan pemberian minum sesuai toleransi.
c. Hipertermi b/d infeksi tetanus
intervensi
Kaji suhu tubuh
Lakukan kompres hangat basah
Lakukan pemberian cairan yang adekuat
Kolaborasi dalam pemberian obat penurun suhu tubuh sesuai indikasi.
d. ketidakefektifan pola nafas b/d kelelahan otot-otot respirasi .
Intervensi:
Kaji frekuensi dan pola nafas
Perhatikan adanya apnea dan perubahan frekuensi jantung, tonus otot dan warna
kulit.
Lakukan pemantauan jantung dan pernafasam secara kontinue.
Hisap jalan nafas sesuai kebutuhan.
Beri rangsang taktil segera setelah apnea.

13
Pantau pemeriksaan laboratorium sesuai indikasi.
Beri O2 sesuai indikasi.
Beri obat-obatan sesuai indikasi.

e. Resiko injuri b/d aktivitas kejang


Intervensi
pasang pengaman tempat tidur
tempatkan anak pada tempst tidur atau pengalas yang lembut.
hindari hal-hal yang dapat meningkatkan rangsangan kejang; suara, sinar yang
terang, sentuhan-sentuhan.
anak harus diistirahatkan dan tempatkan pada ruangan yang khusus.
Antisipasi prosedur-prosedur yang dapat merangsang untuk terjadinya kejang.
Hindari benda-benda yang membahayakan.
Pasang sudip lidah pada mulut bila kejang.

f. Tempatkan anak dengan posisi miring kesamping saat kejang untuk mencegah
lidah jatuh kebelakang yang dapat menyebabkan obstruksi jalan napas.
Intervensi:
Jangan menggunakan resttrain pada anak.
Catat aktivitas kejang, frekuensi lamanya dan faktor pencetusnya.
Pantau pernapasan selama kejang, buka baju yang dapat mengganggu saat kejang.
Berikan anti kejang dan antibiotik sesuai program.

g. Resiko kurangnya volume cairan b/d intake cairan kurang.


Intervensi:
Kaji intake dan output
Kaji tanda-tanda dehidrasi: ubun-ubun, membran mukosa, dan turgor kulit.
Berikan dan pertahankan intake cairan oral dan parenteral sesuai indikasi
Monitor berat jenis urin
Pertahankan kepatenan NGT.
h. Perubahan nutrisi, kurang dari kebutuhan tubuh b/d refleks menghisap pada bayi
tidak adekuat.
Intervensi:

14
Kaji maturitas refleks sesuai dengan pemberian makan, menghisap, menelan dan
batuk.
Auskultasi bising usus.
Kaji tanda-tanda hipoglikemia.
Beri suplemen elektrolit sesuai medikasi.
Beri nutrisi parenteral.
Pantau pemeriksaan laboratorium sesuai indikasi.
Lakukan pemberian minum sesuai toleransi.

i. Resiko aspirasi b/d meningkatnya sekresi


Intervensi
Kaji posisi lidah, pastikan bahwa lidah tidak jatuh kebelakang menyumbat jalan
napas
Atur posisi bayi miring atau terlentang, bukan telungkup
Bersihkan sekresi dari mulut dan tenggorokan dengan tisu atau penghisap dengan
perlahan
Ajarkan penatalaksaan kedaruratan obstruksi jalan napas dengan memukul
punggung atau dorongan dada( bayi ).

4. Evaluasi Keperawatan

Evaluasi semua tindakan yang telah anda berikan pada pasien. Jika dengan tindakan
yangdiberikan pasien mengalami perubahan menjadi lebih baik. Maka tindakan dapat
dihentikan. Jikasebaliknya keadaan pasien menjadi lebih buruk, kemungkinan besar
tindakan harus mengalamiperubahan atau perbaikan.

15
BAB III
PENUTUP

A.Kesimpulan

Penyakit tetanus pada bayi baru lahir dengan tanda klinik yang khas, setelah 2 hari
pertama bayi hidup, menangis dan menyusu secara normal, pada hari ketiga atau lebih
timbul kekakuan seluruh tubuh yang ditandai dengan kesulitan membuka mulut dan
menetek, disusul dengan kejangkejang (WHO, 2010).

Penyebab tetanus neonatorum adalah clostridium tetani yang merupakan kuman gram
positif, anaerob, bentuk batang dan ramping. Kekakuan pada tetanus sangat khusus :
fleksi pada tangan, ekstensi pada tungkai namun fleksi plantar pada jari kaki tidak
tampak sejelas pada penderita anak.

Tindakan pencegahan bahkan eliminasi terutama bersandar pada tindakan menurunkan


atau menghilangkan factor-faktor resiko.

B.Saran

Adapun saran yang dapat diberikan adalah:

1. Diharapkan kepada bagi mahasiswa/i dapat menambah wawasan dan


pengetahuan khususnya dengan masalah keperawatan tentang penyakit tetanus
neonatorum dan juga dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari hari.

2. Bagi perawat yang akan memberikan asuhan keperawatan pada bayi dengan
penyakit tetanus neonatorum harus lebih memperhatikan dan tahu pada bagian-
bagian mana saja dari asuhan keperawatan pada bayi yang perlu di tekankan.

3. Perawat juga memberikan pendidikan kesehatan kepada bapak dan ibu atau
keluarga dari anak tentang bahaya tetanus dan penyuluhan untuk melakukan
persalinan dirumah sakit, puskesmas, klinik bersalin, atau pelayanan kesehatan
terhindar dari infeksi tetanus pada anaknya akibat penggunaan alat-alat yang tidak
steril.

16
DAFTAR PUSTAKA

Lynda Juall C, 1999, Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan, Penerjemah


Monica Ester, EGC, Jakarta
Marilyn E. Doenges, 1999, Rencana Asuhan Keperawatan, Penerjemah Kariasa I
Made, EGC, Jakarta
Santosa NI, 1989, Perawatan I (Dasar-Dasar Keperawatan), Depkes RI, Jakarta.
Suharso Darto, 1994, Pedoman Diagnosis dan Terapi, F.K. Universitas Airlangga,
Surabaya.Dr.
Sidhartani Zain. (1981), Ilmu Kesehatan Anak Untuk Perawat, Ikip
Semarang, Semarang.
Wiknjosastro, Hanifa. 2007. Ilmu Kebidanan. Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo : Jakarta.
www.shvoong.com
http://id.shvoong.com/
http://creasoft.wordpress.com/2008/04/15/keperawatan-bayi-baru-lahir/
www.tabloid-nakita.com/artikel.php3?edisi=073
http://www.usu.ac.id/id/files/artikel/Tetanus_Neonatorum.pdf
http://library.usu.ac.id/download/fk/penysaraf-kiking2.pdf
Carpenito, Lynda juall.2007 .Buuku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 10.Jakarta:
EGC.
Hinchliff, 1999, Kamus Keperawatan,Jakarta: EGC.
Mansjoer, Arif.2000.Kapita Selekta Kedokteran.Jilid 2.Jakarta.Media Aescupilasius
Ngastiyah.1997.Perawatan Anak Sakit.Edisi2.Jakarta:EGC.
Rampengan.T.H.2007.Penyakit Infeksi Tropik Pada Anak.Edisi.Jakarta:EGC
http://kumpulan-asuhan-keperawatan.blogspot.com/2008/12/asuhan-keperawatan-
pada-pasien-tetanus.html

17

Anda mungkin juga menyukai