Mitigasi Bencana PDF
Mitigasi Bencana PDF
ABSTRAK
PENDAHULUAN
Jenis-jenis kerentanan :
1. Kerentanan Fisik : Bangunan, Infrastruktur, Konstruksi yang lemah.
2. Kerentanan Sosial : Kemiskinan, Lingkungan, Konflik, tingkat pertumbuhan
yang tinggi, anak-anak dan wanita, lansia.
3. Kerentanan Mental : ketidaktahuan, tidak menyadari, kurangnya percaya
diri, dan lainnya.
Resiko bencana (Risk) adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana
pada suatu wilayah dan kurun waktu tertentu yang dapat berupa kematian, luka,
sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan
harta, dan gangguan kegiatan masyarakat, akibat kombinasi dari bahaya,
kerentanan, dan kapasitas dari daerah yang bersangkutan.
Selain itu, Indonesia merupakan salah satu negara beriklim tropis dengan
jenis cuacanya tersendiri. Dimana Indonesia memiliki curah hujan yang cukup
tinggi sehingga apabila hal tersebut tidak disikapi dengan baik dapat
menyebabkan timbulnya banjir apabila kapasitas sungai tidak dapat menampung
jumlah air yang ada di dalamnya. Begitu pula bencana-bencana yang lainnya.
Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa bencana tersebut juga dapat terjadi
dikarenakan oleh faktor pembangunan dan pengembangan daerah yang melebihi
kapasitas dan kemampuan daerah tersebut yang seharusnya.
Sebagai salah satu negara dengan ancaman bencana yang tinggi,
Indonesia membutuhkan suatu sistem penanggulangan bencana yang memadai,
baik itu untuk mengurangi risiko terjadinya bencana, mengurangi kerentanan,
menyiapkan diri apabila terjadi bencana, maupun untuk memulihkan diri setelah
terjadinya bencana. Untuk itu, muncullah sebuah istilah mitigasi bencana. Menurut
Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana No. 4 Tahun 2008
tetang Pedoman Penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana, mitigasi adalah
serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan
fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi bencana.
Upaya di atas merupakan bentuk intervensi yang dapat dilakukan oleh
perencanaan untuk berpartisipasi dan berkontribusi dalam melakukan mitigasi
bencana.
Essay ini akan membahas peran mitigasi bencana dalam perencanaan dan
keterkaitan antara keduanya sehingga mampu menjadi suatu sistem yang
terintegrasi. Kasus yang akan diambil dalam pembahasan essay ini adalah
beberapa bencana besar yang terjadi di Indonesia pada tahun 2000-an dan
penanggulangan bencana-bencana tersebut, baik dalam mengurangi
kemungkinan terjadinya bencana, mengurangi risiko terjadinya bencana, sampai
pemulihan yang dilakukan wilayah tersebut setelah menghadapi bencana.
4
ISI
Aspek mitigasi bencana juga dapat menjadi aspek pengendali dari suatu
perencanaan. Hal tersebut sesuai dengan salah satu poin menimbang yang ada
dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang
menyatakan bahwa secara geografis Negara Kesatuan Republik Indonesia berada
pada kawasan rawan bencana sehingga diperlukan penataan ruang yang berbasis
mitigasi bencana sebagai upaya meningkatkan keselamatan dan kenyamanan
kehidupan dan penghidupan. Penataan ruang sebagai salah satu bentukan dari
perencanaan itu sendiri merupakan suatu sistem proses perencanaan tata ruang,
pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.
mitigasi bencana. Namun, sampai saat ini masih ditemukan suatu kesulitan
tertentu untuk mengintegrasikan aspek bencana dengan penataaan ruang. Hal
tersebut dikarenakan pada kenyataannya sudah banyak bangunan yang
terbangun pada tempat yang seharusnya memiliki limitasi pembangunan tertentu.
Contohnya yaitu rumah yang dibangun pada kemiringan lahan di atas 30% dan
merupakan kawasan rawan longsor, atau pembangunan yang melebihi batas
kemampuan lahan yang dibangundi kawasan resapan air yang berfungsi untuk
menahan air dan menyediakan air untuk daerah yang ada di sekitarnya.
Ada dua jenis sistem peringatan dini tsunami yaitu sistem peringatan dini
tsunami internasional dan sistem peringatan dini tsunami regional. Gelombang
tsunami memiliki kecepatan antara 500 sampai 1.000 km/j (sekitar 0,14 sampai
0,28 kilometer per detik) di perairan terbuka, sedangkan gempa bumi dapat
dideteksi dengan segera karena getaran gempa yang memiliki kecepatan sekitar 4
kilometer per detik (14.400 km/j). Getaran gempa yang lebih cepat dideteksi
daripada gelombang tsunami memungkinan dibuatnya peramalan tsunami
sehingga peringatan dini dapat segera diumumkan kepada wilayah yang diancam
bahaya. Akan tetapi sampai sebuah model yang dapat secara tepat menghitung
kemungkinan tsunami akibat gempa bumi ditemukan, peringatan dini yang
diberikan berdasarkan perhitungan gelombang gempa hanya dapat
dipertimbangkan sebagai sekedar peringatan biasa saja. Agar lebih tepat,
gelombang tsunami harus dipantau langsung di perairan terbuka sejauh mungkin
dari garis pantai, dengan menggunakan sensor dasar laut secara real time. Sistem
peringatan dini tsunami pertama kali dibuat di Hawaii pada 1920-an.
berada di atasnya. Hal ini mengakibatkan terjadinya aliran energi air laut, yang
ketika sampai di pantai menjadi gelombang besar yang mengakibatkan terjadinya
tsunami.
Gerakan vertikal ini dapat terjadi pada patahan bumi atau sesar. Gempa
bumi juga banyak terjadi di daerah subduksi, dimana lempeng samudera
menelusup ke bawah lempeng benua.
Tanah longsor yang terjadi di dasar laut serta runtuhan gunung api juga
dapat mengakibatkan gangguan air laut yang dapat menghasilkan tsunami.
Gempa yang menyebabkan gerakan tegak lurus lapisan bumi. Akibatnya, dasar
laut naik-turun secara tiba-tiba sehingga keseimbangan air laut yang berada di
atasnya terganggu. Demikian pula halnya dengan benda kosmis atau meteor yang
jatuh dari atas. Jika ukuran meteor atau longsor ini cukup besar, dapat terjadi
megatsunami yang tingginya mencapai ratusan meter.
1. Bencana Gempa Bumi dan Tsunami Samudra Hindia dan Kota Padang
Menurut Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), gempa
bumi adalah peristiwa bergetarnya bumi akibat pelepasan energi di dalam bumi
secara tiba-tiba ditandai dengan patahnya lapisan batuan pada kerak bumi,
dimana akumulasi energi penyebab terjadinya gempa bumi dihasilkan dari
pergerakan lempeng-lempeng tektonik yang dipancarkan ke segala arah berupa
8
Pada saat itu, bencana ini menghasilkan 280 ribu korban jiwa. Dimana
korban yang paling banyak berasal dari daerah NAD itu sendiri sekitar sebanyak
200 ribu jiwa. Selain itu, bencana ini menyebabkan rusaknya pelayanan dan
infrastruktur dasar yang ada di Aceh, serta hancurnya sistem sosial dan ekonomi.
Getaran yang diakibatkan oleh gempa ini menimbulkan patahan sepanjang 1500
km dari Aceh sampai Andaman. Kekuatan gempa serta tinggi dan derasnya aliran
tsunami mampu menyeret sebuah kapal seberat 2600 ton sejauh 5 km ke daratan.
Lima tahun setelah gempa dan tsunami Samudra Hindia, pada tanggal 30
September dan 01 Oktober 2009 terjadi gempa dengan kekuatan sekitar 7,6 SR di
ibukota Provinsi Sumatera Barat, Padang. Dimana pada tanggal 30 September
terjadi gempa dengan episentrum gempa berada pada zona subduksi dan pada
tanggal 01 Oktober terjadi gempa dengan episentrum berada di patahan aktif yang
sempat me. Kedua gempa ini merupakan gempa terdahsyat yang dirasakan oleh
Provinsi Sumatera Barat sejak Indonesia merdeka. Gempa ini merusak beberapa
bangunan vital dan jaringan infrsatruktur penghubung antarwilayah. Adapun
kerugian yang ditimbulkan oleh gempa ini adalah jumlah korban sebanyak 1587
orang (hilang, meninggal, luka berat, dan luka ringan) dan total kerusakan sebesar
Rp 20,86 triliun.
Kedua bencana gempa bumi dan tsunami yang ada di atas semakin
menyadarkan masyarakat Indonesia dengan kondisi Indonesia yang berada di
kawasan rawan bencana. Namun, pada saat gempa dan tsunami terjadi di
Samudra Hindia tahun 2004, masyarakat Aceh banyak yang belum siap dalam
menghadapi terjadinya bencana tersebut. Hal tersebut dimulai dari sistem
peringatan bencana (Early Warning System) yang belum memadai, masyarakat
yang masih awam dengan ancaman bencana yang ada, kesiapsiagaan
masyarakat akan bencana yang sangat minim, kecakapan manajemen bencana
yang belum layak, dan keberadaan jalur dan tempat evakuasi yang belum
memadai. Selain itu, tahap tanggap darurat yang dilakukan terkesan cukup lama
sampai kepada tahap rehabilitasi dan rekonstruksi yang direncanakan pada tahun
2006.
9
Apabila kita bandingkan dengan bencana yang sama yang terjadi di Jepang
pada tahun 2011 terjadi perbedaan korban yang cukup signifikan. Gempa
Samudra Hindia dengan kekuatan 9,1 SR menimbulkan lebih 200 ribu lebih jiwa,
sedangkan gempa Jepang dengan kekuatan 9,0 SR hanya menimbulkan korban
sekitar 25 ribu jiwa yang berarti 1/8 kali jumlah korban yang ditimbulkan pada oleh
bencana Samudra Hindia. Hal tersebut disebabkan oleh perbedaan tingkat
kesiapan masyarakat dan pemerintahnya dalam menghadapi kejadian bencana.
Selain itu, tak perlu waktu lama Jepang sudah pulih dari keterpurukannya.
Terlepas dari luas wilayah dan sistem teknologi Jepang yang canggih, penataan
ruang yang dilakukan di Jepang sudah mempertimbangkan aspek kebencanaan
dikarenakan Jepang juga merupakan salah satu negara yang rentan akan
terjadinya bencana, khususnya gempa bumi.
Namun, hal yang tidak dapat dipungkiri adalah sejak bencana pada tahun
2004 tersebut perkembangan sistem manajemen bencana yang dilakukan di
Indonesia semakin baik. Indonesia bekerja sama dengan Jerman untuk membuat
sebuah sistem peringatan bencana yang dimulai pada tahun 2005 dan telah
disosialisasikan ke beberapa daerah terpencil yang ada di Indonesia khususnya
daerah yang rawan bencana. Indonesia juga membentuk Badan Penanggulangan
Bencana Nasional 2008. Indonesia juga semakin gencar untuk melakukan
sosialisasi tentang kebencanaan kepada masyarakat yang tinggal di dekat
kawasan rawan bencana. Selain itu, pembangunan yang ada di Indonesia semakin
menuruti rencana tata ruang yang harus mempertimbangkan kawasan rawan
bencana, meskipun tidak dapat dipungkiri masih banyak kekurangan yang harus
dibenahi.
Sebagai salah satu negara yang dilalui oleh lintasan cincin api dunia,
sejarah letusan gunung api Indonesia sudah mulai terkuak pada saat meletusnya
Gunung Tambora pada tahun 1815 yang dikabarkan menjadi letusan terbesar
sepanjang sejarah yang menyebabkan seluruh dunia ditutupi langit yang gelap dan
mempengaruhi kehidupan sebagian besar daerah di dunia dan mencetak sejarah-
sejarah baru dunia. Namun, letusan tersebut tidak banyak disadari oleh
masyarakat yang ada di penjuru dunia karena pada saat itu belum ada jaringan
komunikasi antarnegara. Berbeda dengan letusan Gunung Krakatau pada tahun
1883 di saat jaringan komunikasi antarnegara sudah mulai berkembang sehingga
informasi tentang letusan tersebut lebih cepat tersebar dan diketahui oleh negara-
negara lain.
Pada tahun 2010 lalu, terjadi letusan Gunung Merapi yang cukup
menggemparkan Indonesia dengan tinggi asap letusan mencapai 17 km dan
memuntahkan 150 juta m3 material panas yang didominasi oleh material berat
10
dengan sebaran awan panas mencapai 15 km. Letusan ini menewaskan lebih dari
300 orang dan menghanguskan banyak rumah , serta merusak lahan pertanian
dan perkebunan sehingga produksi hasil pangan setempat menurun. Beberapa
tahun setelah letusan Merapi terjadi, tepatnya pada tahun 2013 Gunung Sinabung
di Kabupaten Karo Sumatera Utara meletus setelah dikabarkan tidak aktif selama
empat abad. Berbeda dengan letusan Merapi, tinggi asap letusan Sinabung
semaksimal mungkin hanya mencapai 10 km dan memuntahkan 2,4 juta m 3
material (terhitung sampai Januari 2014) yang didominasi oleh material berbentuk
abu dengan sebaran awan panas sejauh 4,5 km.
Letusan ini menyebabkan lebih dari 28.000 orang mengungsi dan lebih dari
100.000 Ha lahan pertanian dan perkebunan rusa. Hal yang semakin
membedakan bencana letusan Merapi dan Sinabung adalah kondisi permukiman
yang berada di sekitar gunung. Dimana erupsi Merapi tidak begitu menjadi
masalah karena hanya sedikit masyarakat yang bermukim di dekat puncak gunung.
Namun, hal tersebut menjadi masalah saat terjadi erupsi Sinabung dimana ada
banyak masyarakat yang bermukim dekat dengan puncak gunung sehingga
menjadi salah satu kesulitan tersendiri pada saat melakukan evakuasi.
Jakarta merupakan salah satu daerah di Indonesia yang menjadi salah satu
lokasi langganan banjir tiap tahunnya yang merupakan air luapan dari Sungai
Ciliwung. Adapun penyebab banjir ini adalah semakin meningkatnya luas kawasan
wilayah terbangun di Jakarta yang tidak dibarengi dengan peningkatan Ruang
Terbuka Hijau yang berfungsi untuk menyerap air, pintu air yang tidak berfungsi
dengan baik, pendangkalan dan pengecilan sungai yang disebabkan oleh
pembuangan sampah yang dilakukan ke sungai, serta normalisasi pantai yang
menyebabkan kawasan yang seharusnya menjadi daerah penampung air laut
menjadi berubah fungsi sehingga menyebabkan penurunan permukaan daratan
akibat terus-menerus mengalami abrasi dan peningkatan level air laut. Banjir ini
menimbulkan kerugian material Jakarta sampai pada angka bertriliun-triliun rupiah
dn meningkatkan risiko terjadinya peningkatan harga pokok sebesar 10-20% dari
11
Namun, salah satu hal yang juga ikut memberikan kontribusi penting dalam
longsor tersebut adalah semakin meningkatnya jumlah penduduk yang ada di
sekitar lokasi longsor yang akan berbanding lurus dengan meningkatnya jumlah
permukiman maupun kawasan terbangun lain yang beberapa pembangunannya
tidak sesuai dengan ketentuan yang seharusnya. Setiap longsor ini terjadi akan
menimbulkan korban jiwa sekitar 50 orang dan kerusakan bangunan seperti rumah
dan lain-lain. Karena lomgsor ini terjadi hampir setiap tahunnya diharapkan
masyarakat untuk menyadari kondisi rawan bencana yang dihadapinya. Selain itu,
sebagian besar masyarakat tidak mengerti tentang tata cara penggunaan lahan
miring. Oleh karena itu, perlu adanya sosialisasi dari pemerintah terkait dengan
penggunaan lahan tersebut agar masyarakat setidaknya dapat meminimalisir
kemungkinan terjadinya longsor maupun dampak yang ditimbulkannya, seperti
dengan penanaman komoditi tani atau kebun berupa tanaman keras agar tanaman
tersebut nantinya dapat menahan air dan menguatkan tanah.
PENUTUP
dianggap sebagai suatu bencana apabila ada kerugian yang ditimbulkannya, baik
korban jiwa maupun kerugian materil dan fisik. Sementara itu, yang membunuh
dan melukai manusia, serta merusak lingkungan bukanlah bencana itu sendiri,
melainkan bangunan yang ada di daerah tersebut.
Oleh karena itu, pendirian bangunan tersebut adalah salah satu hal yang
dapat diintervensi oleh bidang perencanaan atau penataan ruang. Indonesia
sebagai salah satu negara dengan tingkat risiko bencana yang cukup tinggi, harus
benar-benar mempertimbangkan aspek mitigasi dalam pelaksanaan perencanaan
dan pembangunan. Meskipun banyak hal dari aspek kebencanaan dan mitigasinya
yang terkait dengan bidang perencanaan atau tata ruang, hal yang harus
diperhatikan adalah pencapaian tujuan mitigasi bencana untuk kesejahteraan
Indonesia bukan hanya untuk satu bidang saja. Namun, dengan banyaknya
komponen-komponen dan ilmu-ilmu spesifik yang ada di dalamnya, diharapkan
bidang perencanaan mampu menjadi pilar dan tonggak untuk mendorong aspek
penanggulangan bencana khususnya di kawasan rawan bencana di Indonesia.
REFERENSI