Anda di halaman 1dari 12

PERAN MITIGASI BENCANA

DALAM BIDANG PERENCANAAN


DAN KETERKAITAN ANTARA KEDUANYA

ABSTRAK

Mitigasi bencana merupakan salah satu cara penanggulangan bencana. Dimana


hal tersebut dilakukan untuk mengurangi kerentanan terjadinya bencana dan
menurunkan tingkat risiko bencana yang ada. Indonesia sebagai salah satu
negara yang berada di kawasan rawan bencana dengan tingkat ancaman bencana
yang tinggi diharapkan mempunyai suatu sistem penanggulangan bencana yang
memadai. Salah satu bidang yang berperan penting dalam hal ini adalah bidang
perencanaan atau tata ruang dimana dapat mengintervensi aspek kebencanaan
melalui sistem perencanaan pembangunan dan tata ruang yang
mempertimbangkan aspek kebencanaan. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu sistem
yang terintegrasi antara aspek mitigasi bencana dengan bidang perencanaan itu
sendiri untuk tercioptanya Negara Indonesia yang maju, makmur dan sejahtera.
Essay ini akan membahas peran mitigasi bencana dalam bidang perencanaan dan
keterkaitan antara keduanya sehingga mampu menjadi suatu sistem yang
terintegrasi.

PENDAHULUAN

Apakah Mitigasi Bencana itu?


Mitigasi bencana adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana,
baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan
kemampuan menghadapi ancaman bencana. Mitigasi bencana merupakan suatu
aktivitas yang berperan sebagai tindakan pengurangan dampak bencana, atau
usaha-usaha yang dilakukan untuk megurangi korban ketika bencana terjadi, baik
korban jiwa maupun harta. Dalam melakukan tindakan mitigasi bencana, langkah
awal yang kita harus lakukan ialah melakukan kajian resiko bencana terhadap
daerah tersebut. Dalam menghitung resiko bencana sebuah daerah kita harus
mengetahui Bahaya (hazard), Kerentanan (vulnerability) dan kapasitas (capacity)
suatu wilayah yang berdasarkan pada karakteristik kondisi fisik dan wilayahnya..

Bahaya (hazard) adalah suatu kejadian yang mempunyai potensi untuk


menyebabkan terjadinya kecelakaan, cedera, hilangnya nyawa atau kehilangan
harta benda. Bahaya ini bisa menimbulkan bencana maupun tidak. Bahaya
dianggap sebuah bencana (disaster) apabila telah menimbulkan korban dan
kerugian.

Kerentanan (vulnerability) adalah rangkaian kondisi yang menentukan apakah


bahaya (baik bahaya alam maupun bahaya buatan) yang terjadi akan dapat
menimbulkan bencana (disaster) atau tidak. Rangkaian kondisi, umumnya dapat
berupa kondisi fisik, sosial dan sikap yang mempengaruhi kemampuan
masyarakat dalam melakukan pencegahan, mitigasi, persiapan dan tindak-
tanggap terhadap dampak bahaya.
2

Jenis-jenis kerentanan :
1. Kerentanan Fisik : Bangunan, Infrastruktur, Konstruksi yang lemah.
2. Kerentanan Sosial : Kemiskinan, Lingkungan, Konflik, tingkat pertumbuhan
yang tinggi, anak-anak dan wanita, lansia.
3. Kerentanan Mental : ketidaktahuan, tidak menyadari, kurangnya percaya
diri, dan lainnya.

Kapasitas (capacity) adalah kemampuan untuk memberikan tanggapan terhadap


situasi tertentu dengan sumber daya yang tersedia (fisik, manusia, keuangan dan
lainnya). Kapasitas ini bisa merupakan kearifan lokal masyarakat yang diceritakan
secara turun temurun dari generasi ke generasi.

Resiko bencana (Risk) adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana
pada suatu wilayah dan kurun waktu tertentu yang dapat berupa kematian, luka,
sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan
harta, dan gangguan kegiatan masyarakat, akibat kombinasi dari bahaya,
kerentanan, dan kapasitas dari daerah yang bersangkutan.

Berdasarkan siklus waktunya, penanganan bencana terdiri atas 4 tahapan


sebagai berikut :

1. Mitigasi merupakan tahap awal penanggulangan bencana alam


untuk mengurangi dan memperkecil dampak bencana. Mitigasi adalah
kegiatan sebelum bencana terjadi. Contoh kegiatannya antara lain
membuat peta wilayah rawan bencana, pembuatan bangunan tahan gempa,
penanaman pohon bakau, penghijauan hutan, serta memberikan
penyuluhan dan meningkatkan kesadaran masyarakat yang tinggal
di wilayah rawan gempa

2. Kesiapsiagaan merupakan perencanaan terhadap cara merespons


kejadian bencana. Perencanaan dibuat berdasarkan bencana yang pernah
terjadi dan bencana lain yang mungkin akan terjadi. Tujuannya adalah
untuk meminimalkan korban jiwa dan kerusakan sarana-sarana pelayanan
umum yang meliputi upaya mengurangi tingkat risiko, pengelolaan sumber-
sumber daya masyarakat, serta pelatihan warga di wilayah rawan bencana.

3. Respons merupakan upaya meminimalkan bahaya yang diakibatkan


bencana. Tahap ini berlangsung sesaat setelah terjadi bencana. Rencana
penanggulangan bencana dilaksanakan dengan fokus pada upaya
pertolongan korban bencana dan antisipasi kerusakan yang terjadi akibat
bencana.

4. Pemulihan merupakan upaya mengembalikan kondisi masyarakat


seperti semula. Pada tahap ini, fokus diarahkan pada penyediaan tempat
tinggal sementara bagi korban serta membangun kembali saran dan
prasarana yang rusak. Selain itu, dilakukan evaluasi terhadap langkah
penanggulangan bencana yang dilakukan.

Menurut Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana


Nomor 4 Tahun 2008 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Penanggulangan
Bencana, bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam
3

dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik


oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga
mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian
harta benda, dan dampak psikologis. Diluar itu, bencana menjadi salah satu
momok yang menghantui orang-orang di beberapa daerah tertentu. Termasuk
beberapa daerah yang ada di Indonesia.

Indonesia merupakan negara kepulauan yang rentan dengan terjadinya


bencana, baik bencana alam, bencana akibat ulah manusia, maupun penyebab
yang lain. Beberapa dari bencana tersebut adalah tsunami, gempa bumi, letusan
gunung api, banjir, tanah longsor, dan lain-lain. Berdasarkan Laporan Bencana
Asia Pasifik 2010, Indonesia menempati peringkat keempat sebagai salah satu
negara yang paling rentan terkena bencana alam di Asia Pasifik. Hal tersebut
disebabkan oleh kondisi geografis Indonesia yang merupakan negara kepulauan
yang menjadi salah satu jalur lintas ring of fire, yaitu negara yang memiliki banyak
gunung api. Selain itu, wilayah Indonesia juga memiliki daerah dengan patahan
aktif dan dekat dengan zona subduksi lempeng, dimana merupakan zona
pertemuan lempeng yang saling mendesak sehingga apabila terjadi pergeseran
dan tubrukan antar lempeng akan terjadi gempa bumi yang mengguncang
Indonesia. Terlebih lagi zona tersebut berada di tengah laut sehingga apabila
terjadi guncangan juga akan menyebabkan meningkatnya tinggi gelombang laut
sehingga terjadi tsunami.

Selain itu, Indonesia merupakan salah satu negara beriklim tropis dengan
jenis cuacanya tersendiri. Dimana Indonesia memiliki curah hujan yang cukup
tinggi sehingga apabila hal tersebut tidak disikapi dengan baik dapat
menyebabkan timbulnya banjir apabila kapasitas sungai tidak dapat menampung
jumlah air yang ada di dalamnya. Begitu pula bencana-bencana yang lainnya.
Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa bencana tersebut juga dapat terjadi
dikarenakan oleh faktor pembangunan dan pengembangan daerah yang melebihi
kapasitas dan kemampuan daerah tersebut yang seharusnya.
Sebagai salah satu negara dengan ancaman bencana yang tinggi,
Indonesia membutuhkan suatu sistem penanggulangan bencana yang memadai,
baik itu untuk mengurangi risiko terjadinya bencana, mengurangi kerentanan,
menyiapkan diri apabila terjadi bencana, maupun untuk memulihkan diri setelah
terjadinya bencana. Untuk itu, muncullah sebuah istilah mitigasi bencana. Menurut
Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana No. 4 Tahun 2008
tetang Pedoman Penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana, mitigasi adalah
serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan
fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi bencana.
Upaya di atas merupakan bentuk intervensi yang dapat dilakukan oleh
perencanaan untuk berpartisipasi dan berkontribusi dalam melakukan mitigasi
bencana.
Essay ini akan membahas peran mitigasi bencana dalam perencanaan dan
keterkaitan antara keduanya sehingga mampu menjadi suatu sistem yang
terintegrasi. Kasus yang akan diambil dalam pembahasan essay ini adalah
beberapa bencana besar yang terjadi di Indonesia pada tahun 2000-an dan
penanggulangan bencana-bencana tersebut, baik dalam mengurangi
kemungkinan terjadinya bencana, mengurangi risiko terjadinya bencana, sampai
pemulihan yang dilakukan wilayah tersebut setelah menghadapi bencana.
4

ISI

Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan


Pembangunan Nasional, perencanaan adalah suatu proses untuk menentukan
tindakan masa depan yang tepat, melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan
sumber daya yang tersedia. Berdasarkan kenyataannya perencanaan merupakan
suatu hal yang tidak dapat dipisahkan dari aspek mitigasi bencana. Sebuah
bencana bukanlah sesuatu hal yang tidak mungkin dapat diintervensi kejadiannya,
setidaknya untuk mengurangi dampak yang ditimbulkannya maupun frekuensi
terjadinya bencana, kecuali bencana yang benar-benar merupakan kontribusi dari
alam itu sendiri.

Pada dasarnya, suatu perencanaan atau penataan ruang yang


direncanakan secara ideal tidak hanya mempertimbangkan aspek ekonomi
wilayah, aspek sosial masyarakat yang menempati wilayah, tetapi juga
memperhatikan kondisi lingungan wilayah yang akan direncanakan. Karena, ketiga
aspek tersebut adalah hal yang harus diseimbangkan keberjalanannya dalam
perencanaan sesuai dengan manajemen penggunan lahan. Hal tersebut jug
sesuai dengan Hyogo Framework for Action (HFA) yang diputuskan pada
Konferensi Pengurangan Risiko Bencana Dunia di Kobe pada tahun 2005
mengamanatkan perencanaan guna lahan (landuse planning) atau perencanaan
tata ruang sebagai salah satu alat untuk pengurangan risiko bencana.

Aspek mitigasi bencana juga dapat menjadi aspek pengendali dari suatu
perencanaan. Hal tersebut sesuai dengan salah satu poin menimbang yang ada
dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang
menyatakan bahwa secara geografis Negara Kesatuan Republik Indonesia berada
pada kawasan rawan bencana sehingga diperlukan penataan ruang yang berbasis
mitigasi bencana sebagai upaya meningkatkan keselamatan dan kenyamanan
kehidupan dan penghidupan. Penataan ruang sebagai salah satu bentukan dari
perencanaan itu sendiri merupakan suatu sistem proses perencanaan tata ruang,
pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.

Selain itu, Undang-Undang ini juga menyatakan bahwa fungsi utama


kawasan terdiri atas kawasan lindung dan kawasan budidaya dan salah satu jenis
kawasn yang termasuk kawasan lindung tersebut adalah kawasan rawan bencana.
Hal tersebut menandakan bahwa kawasan rawan bencana merupakan salah satu
kawasan yang memiliki batasan-batasan atau limitasi tertentu dalam penggunaan
lahan dan pemanfaatan ruangnya. Hal tersebut juga beriringan dengan dokumen
rencana tata ruang suatu daerah yang dilengkapi dengan peraturan zonasi untuk
pembangunan dan pengembangan daerah tersebut. Hal tersebut juga sempat
dinyatakan oleh Burby dan French pada tahun 1981 bahwa perencanaan tata
ruang adalah untuk pembatasan pembangunan di daerah-daerah yang rawan
terhadap bahaya yang terkait dengan alam.

Arah Kebijakan Mitigasi Bencana Perkotaan yang dikeluarkan oleh


Sekretariat Nasional Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan
Penanganan Pengungsi pada poin keenam tabel arahan kebijaksanaan dan
program mitigasi bencana perkotaan menyebutkan bahwa salah satu
kebijaksnaaan yang dilakukan adalah mengevaluasi dan merevisi Rencana Tata
Ruang (terutama Rencana Tata Ruang Kota), dengan mempertimbangkan aspek
5

mitigasi bencana. Namun, sampai saat ini masih ditemukan suatu kesulitan
tertentu untuk mengintegrasikan aspek bencana dengan penataaan ruang. Hal
tersebut dikarenakan pada kenyataannya sudah banyak bangunan yang
terbangun pada tempat yang seharusnya memiliki limitasi pembangunan tertentu.
Contohnya yaitu rumah yang dibangun pada kemiringan lahan di atas 30% dan
merupakan kawasan rawan longsor, atau pembangunan yang melebihi batas
kemampuan lahan yang dibangundi kawasan resapan air yang berfungsi untuk
menahan air dan menyediakan air untuk daerah yang ada di sekitarnya.

Berdasarkan arahan pada kebijaksanaan keenam yang telah disebutkan di


atas, program evaluasi dan revisi dapat dibagi ke dalam penanganan untuk daerah
yang sudah terbangun dan yang belum terbangun. Adapun program yang dapat
dilakukan untuk kawasan yang sudah terbangun adalah dengan meningkatkan
akses menuju kawasan yang dianggap rawan bencana tersebut, melakukan
peremajaan dan melengkapi prasarana dan fasilitas ketahanan bencana yang
memadai, menambah ruang terbuka hijau sebagai tempat berinteraksi antar
masyarakat maupun sebagai tempat evakuasi apabila terjadi bencana, serta
relokasi sumber potensi bahaya teknologi yang terlalu dekat dengan kawasan
perumahan. Selain itu, perencanaan tidak hanya fokus pada pembangunan.

Mitigasi Bencana Tsunami


Adalah sebuah sistem yang dirancang untuk mendeteksi tsunami kemudian
memberikan peringatan untuk mencegah jatuhnya korban. Sistem ini umumnya
terdiri dari dua bagian penting yaitu jaringan sensor untuk mendeteksi tsunami
serta infrastruktur jaringan komunikasi untuk memberikan peringatan dini adanya
bahaya tsunami kepada wilayah yang diancam bahaya agar proses evakuasi
dapat dilakukan secepat mungkin.

Ada dua jenis sistem peringatan dini tsunami yaitu sistem peringatan dini
tsunami internasional dan sistem peringatan dini tsunami regional. Gelombang
tsunami memiliki kecepatan antara 500 sampai 1.000 km/j (sekitar 0,14 sampai
0,28 kilometer per detik) di perairan terbuka, sedangkan gempa bumi dapat
dideteksi dengan segera karena getaran gempa yang memiliki kecepatan sekitar 4
kilometer per detik (14.400 km/j). Getaran gempa yang lebih cepat dideteksi
daripada gelombang tsunami memungkinan dibuatnya peramalan tsunami
sehingga peringatan dini dapat segera diumumkan kepada wilayah yang diancam
bahaya. Akan tetapi sampai sebuah model yang dapat secara tepat menghitung
kemungkinan tsunami akibat gempa bumi ditemukan, peringatan dini yang
diberikan berdasarkan perhitungan gelombang gempa hanya dapat
dipertimbangkan sebagai sekedar peringatan biasa saja. Agar lebih tepat,
gelombang tsunami harus dipantau langsung di perairan terbuka sejauh mungkin
dari garis pantai, dengan menggunakan sensor dasar laut secara real time. Sistem
peringatan dini tsunami pertama kali dibuat di Hawaii pada 1920-an.

Tsunami dapat terjadi jika terjadi gangguan yang menyebabkan


perpindahan sejumlah besar air, seperti letusan gunung api, gempa bumi, longsor
maupun meteor yang jatuh ke bumi. Namun, 90% tsunami adalah akibat gempa
bumi bawah laut. Dalam rekaman sejarah beberapa tsunami diakibatkan oleh
gunung meletus, misalnya ketika meletusnya Gunung Krakatau.
Gerakan vertikal pada kerak bumi, dapat mengakibatkan dasar laut naik
atau turun secara tiba-tiba, yang mengakibatkan gangguan keseimbangan air yang
6

berada di atasnya. Hal ini mengakibatkan terjadinya aliran energi air laut, yang
ketika sampai di pantai menjadi gelombang besar yang mengakibatkan terjadinya
tsunami.

Kecepatan gelombang tsunami tergantung pada kedalaman laut di mana


gelombang terjadi, dimana kecepatannya bisa mencapai ratusan kilometer per jam.
Bila tsunami mencapai pantai, kecepatannya akan menjadi kurang lebih 50 km/jam
dan energinya sangat merusak daerah pantai yang dilaluinya. Di tengah laut tinggi
gelombang tsunami hanya beberapa cm hingga beberapa meter, namun saat
mencapai pantai tinggi gelombangnya bisa mencapai puluhan meter karena terjadi
penumpukan masa air. Saat mencapai pantai tsunami akan merayap masuk
daratan jauh dari garis pantai dengan jangkauan mencapai beberapa ratus meter
bahkan bisa beberapa kilometer.

Gerakan vertikal ini dapat terjadi pada patahan bumi atau sesar. Gempa
bumi juga banyak terjadi di daerah subduksi, dimana lempeng samudera
menelusup ke bawah lempeng benua.

Tanah longsor yang terjadi di dasar laut serta runtuhan gunung api juga
dapat mengakibatkan gangguan air laut yang dapat menghasilkan tsunami.
Gempa yang menyebabkan gerakan tegak lurus lapisan bumi. Akibatnya, dasar
laut naik-turun secara tiba-tiba sehingga keseimbangan air laut yang berada di
atasnya terganggu. Demikian pula halnya dengan benda kosmis atau meteor yang
jatuh dari atas. Jika ukuran meteor atau longsor ini cukup besar, dapat terjadi
megatsunami yang tingginya mencapai ratusan meter.

Mitigasi Bencana Gunung Berapi


Upaya memperkecil jumlah korban jiwa dan kerugian harta benda akibat letusan
gunung berapi, tindakan yang perlu dilakukan :

1. Pemantauan,aktivitas gunung api dipantau selama 24 jam menggunakan


alat pencatatgempa (seismograf). Data harian hasil pemantauan dilaporkan ke
kantorDirektorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (DVMBG) di
Bandungdengan menggunakan radio komunikasi SSB. Petugas pos pengamatan
Gunungberapi menyampaikan laporan bulanan ke pemda setempat.

2. Tanggap Darurat, tindakan yang dilakukan oleh DVMBG ketika


terjadipeningkatan aktivitas gunung berapi, antara lain mengevaluasi laporandan
data, membentuk tim Tanggap Darurat, mengirimkan tim ke lokasi,melakukan
pemeriksaan secara terpadu.

3. Pemetaan, Peta Kawasan Rawan Bencana Gunung berapi dapat


menjelaskanjenis dan sifat bahaya gunung berapi, daerah rawan bencana,
arahpenyelamatan diri, lokasi pengungsian, dan pos penanggulangan bencana.

4. Penyelidikan gunung berapi menggunakan metoda Geologi, Geofisika,


danGeokimia. Hasil penyelidikan ditampilkan dalam bentuk buku, peta
dandokumen lainya.

5. Sosialisasi, petugas melakukan sosialisasi kepada Pemerintah Daerahserta


masyarakat terutama yang tinggal di sekitar gunung berapi. Bentuksosialisasi
7

dapat berupa pengiriman informasi kepada Pemda danpenyuluhan langsung


kepada masyarakat.

Mitigasi Bencana Alam Gempa Bumi

1. Sebelum terjadinya gempa :


a. Mengetahui pintu keluar masuk untuk keadaan darurat.
b. Barang/benda yang berbobot berat disimpan di tempat yang kokoh
dan stabil terhadap guncangan.
c. Pipa saluran gas dan pipa saluran air dipastikan tidak bocor dan
tertutup baik saat tidak digunakan untuk mencegah bencana.
d. Mengenali lingkungan tempat bekerja dan tinggal.
e. Jika tempat tinggalmu di daerah pantai, maka jauhi pantai untuk
menghindari bahaya dari bencana tsunami.
f. Jika tempat tinggalmu di daerah pegunungan, maka hindari daerah
yang berpotensi terkena longsor, seperti tebing/lereng yang curam.
g. Alat-alat pertolongan harus ada di setiap tempat, seperti kotak P3K,
Senter atau lampu baterai, dll.

2. Saat terjadinya gempa :


a. Jika berada di dalam gedung perkantoran, bangunan atau
sebagainya, maka jangan menggunakan lift. Dan berlari ke luar apabila
masih bisa dilakukan.
b. Jika berada di luar bangunan, maka carilah tanah lapang, jangan
berlindung di bawah pohon atau di dekat tiang listrik. Hindari tempat yang
apabila terjadi rekahan tanah.
c. Carilah tempat yang aman dari reruntuhan dan goncangan.

3. Setelah terjadi gempa :


a. Jika berada di dalam bangunan
1) Jangan menggunakan tangga berjalan atau lift.
2) Keluarlah dari bangunan dengan tenang dan jangan panik.
3) Periksa diri sendiri dan orang-orang disekitar jika ada yang
terluka, dan apabila ada, lakukan P3K.
4) Mintalah pertolongan jika ada yang terluka parah.

b. Jika berada di luar bangunan


1) Periksa lingkungan sekitar.
2) Jangan berjalan di sekitar daerah gempa.
3) Jangan berjalan di sekitar bangunan karena bangunan masih
dapat runtuh.

Berikut adalah beberapa bencana yang terjadi di Indonesia sepanjang abad


ke-21 (dari tahun 2000 s.d. sekarang)

1. Bencana Gempa Bumi dan Tsunami Samudra Hindia dan Kota Padang
Menurut Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), gempa
bumi adalah peristiwa bergetarnya bumi akibat pelepasan energi di dalam bumi
secara tiba-tiba ditandai dengan patahnya lapisan batuan pada kerak bumi,
dimana akumulasi energi penyebab terjadinya gempa bumi dihasilkan dari
pergerakan lempeng-lempeng tektonik yang dipancarkan ke segala arah berupa
8

gelombang seismik sehingga efeknya dapat dirasakan sampai ke permukaan bumi.


Sedangkan, menurut Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana
No. 4 Tahun 2008 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Penanggulangan
Bencana, tsunami adalah gelombang pasang yang timbul akibat terjadinya gempa
bumi di laut, letusan gunung api bawah laut atau longsoran di laut. Dalam hal ini,
tsunami merupakan collateral hazard atau bencana ikutan dari beberapa bencana
lainnya yang terjadi terlebih dahulu.

Pada penghujung tahun 2004, tepatnya pada Hari Minggu tanggal 26


Desember 2004 terjadi bencana gempa bumi dan tsunami yang cukup dahsyat
dengan kekuatan gempa sekitar 9,1 SR dan ketinggian gelombang laut sekitar 20-
30 meter yang menghantam Nangroe Aceh Darussalam, Thailand, Sri Lanka,
Maladewa, daerah pantai selatan Afrika dan beberapa daerah lain yang berada
dekat dengan bibir pantai Samudra Hindia. Gempa ini berpusat di tengah laut,
tepatnya yaitu pada zona subduksi yang ada di Samudra Hindia itu sendiri.
Tabrakan antar lempeng tersebut menyebabkan golakan air laut yang terjadi dan
kemudian menimbulkan bencana tsunami.

Pada saat itu, bencana ini menghasilkan 280 ribu korban jiwa. Dimana
korban yang paling banyak berasal dari daerah NAD itu sendiri sekitar sebanyak
200 ribu jiwa. Selain itu, bencana ini menyebabkan rusaknya pelayanan dan
infrastruktur dasar yang ada di Aceh, serta hancurnya sistem sosial dan ekonomi.
Getaran yang diakibatkan oleh gempa ini menimbulkan patahan sepanjang 1500
km dari Aceh sampai Andaman. Kekuatan gempa serta tinggi dan derasnya aliran
tsunami mampu menyeret sebuah kapal seberat 2600 ton sejauh 5 km ke daratan.

Lima tahun setelah gempa dan tsunami Samudra Hindia, pada tanggal 30
September dan 01 Oktober 2009 terjadi gempa dengan kekuatan sekitar 7,6 SR di
ibukota Provinsi Sumatera Barat, Padang. Dimana pada tanggal 30 September
terjadi gempa dengan episentrum gempa berada pada zona subduksi dan pada
tanggal 01 Oktober terjadi gempa dengan episentrum berada di patahan aktif yang
sempat me. Kedua gempa ini merupakan gempa terdahsyat yang dirasakan oleh
Provinsi Sumatera Barat sejak Indonesia merdeka. Gempa ini merusak beberapa
bangunan vital dan jaringan infrsatruktur penghubung antarwilayah. Adapun
kerugian yang ditimbulkan oleh gempa ini adalah jumlah korban sebanyak 1587
orang (hilang, meninggal, luka berat, dan luka ringan) dan total kerusakan sebesar
Rp 20,86 triliun.

Kedua bencana gempa bumi dan tsunami yang ada di atas semakin
menyadarkan masyarakat Indonesia dengan kondisi Indonesia yang berada di
kawasan rawan bencana. Namun, pada saat gempa dan tsunami terjadi di
Samudra Hindia tahun 2004, masyarakat Aceh banyak yang belum siap dalam
menghadapi terjadinya bencana tersebut. Hal tersebut dimulai dari sistem
peringatan bencana (Early Warning System) yang belum memadai, masyarakat
yang masih awam dengan ancaman bencana yang ada, kesiapsiagaan
masyarakat akan bencana yang sangat minim, kecakapan manajemen bencana
yang belum layak, dan keberadaan jalur dan tempat evakuasi yang belum
memadai. Selain itu, tahap tanggap darurat yang dilakukan terkesan cukup lama
sampai kepada tahap rehabilitasi dan rekonstruksi yang direncanakan pada tahun
2006.
9

Apabila kita bandingkan dengan bencana yang sama yang terjadi di Jepang
pada tahun 2011 terjadi perbedaan korban yang cukup signifikan. Gempa
Samudra Hindia dengan kekuatan 9,1 SR menimbulkan lebih 200 ribu lebih jiwa,
sedangkan gempa Jepang dengan kekuatan 9,0 SR hanya menimbulkan korban
sekitar 25 ribu jiwa yang berarti 1/8 kali jumlah korban yang ditimbulkan pada oleh
bencana Samudra Hindia. Hal tersebut disebabkan oleh perbedaan tingkat
kesiapan masyarakat dan pemerintahnya dalam menghadapi kejadian bencana.
Selain itu, tak perlu waktu lama Jepang sudah pulih dari keterpurukannya.
Terlepas dari luas wilayah dan sistem teknologi Jepang yang canggih, penataan
ruang yang dilakukan di Jepang sudah mempertimbangkan aspek kebencanaan
dikarenakan Jepang juga merupakan salah satu negara yang rentan akan
terjadinya bencana, khususnya gempa bumi.

Namun, hal yang tidak dapat dipungkiri adalah sejak bencana pada tahun
2004 tersebut perkembangan sistem manajemen bencana yang dilakukan di
Indonesia semakin baik. Indonesia bekerja sama dengan Jerman untuk membuat
sebuah sistem peringatan bencana yang dimulai pada tahun 2005 dan telah
disosialisasikan ke beberapa daerah terpencil yang ada di Indonesia khususnya
daerah yang rawan bencana. Indonesia juga membentuk Badan Penanggulangan
Bencana Nasional 2008. Indonesia juga semakin gencar untuk melakukan
sosialisasi tentang kebencanaan kepada masyarakat yang tinggal di dekat
kawasan rawan bencana. Selain itu, pembangunan yang ada di Indonesia semakin
menuruti rencana tata ruang yang harus mempertimbangkan kawasan rawan
bencana, meskipun tidak dapat dipungkiri masih banyak kekurangan yang harus
dibenahi.

2. Letusan Gunung Api Merapi dan Sinabung


Berdasarkan Peraturan Kepala Badan Penanggulangan Bencana Nasional
No. 4 Tahun 2008 luas daerah rawan bencana gunung api di Indonesia sekitar
17.000 km2 dengan jumlah penduduk yang bermukim di kawasan rawan bencana
gunung api sebanyak kurang lebih 5,5 juta jiwa. Berdasarkan data frekuensi
letusan gunung api, diperkirakan tiap tahun terdapat sekitar 585.000 orang yang
terancam bencana letusan gunung api. Berdasarkan data, sekitar 13% gunung
berapi yang ada di dunia berada di Indonesia dengan potensi bencana yang
berbeda-beda.

Sebagai salah satu negara yang dilalui oleh lintasan cincin api dunia,
sejarah letusan gunung api Indonesia sudah mulai terkuak pada saat meletusnya
Gunung Tambora pada tahun 1815 yang dikabarkan menjadi letusan terbesar
sepanjang sejarah yang menyebabkan seluruh dunia ditutupi langit yang gelap dan
mempengaruhi kehidupan sebagian besar daerah di dunia dan mencetak sejarah-
sejarah baru dunia. Namun, letusan tersebut tidak banyak disadari oleh
masyarakat yang ada di penjuru dunia karena pada saat itu belum ada jaringan
komunikasi antarnegara. Berbeda dengan letusan Gunung Krakatau pada tahun
1883 di saat jaringan komunikasi antarnegara sudah mulai berkembang sehingga
informasi tentang letusan tersebut lebih cepat tersebar dan diketahui oleh negara-
negara lain.

Pada tahun 2010 lalu, terjadi letusan Gunung Merapi yang cukup
menggemparkan Indonesia dengan tinggi asap letusan mencapai 17 km dan
memuntahkan 150 juta m3 material panas yang didominasi oleh material berat
10

dengan sebaran awan panas mencapai 15 km. Letusan ini menewaskan lebih dari
300 orang dan menghanguskan banyak rumah , serta merusak lahan pertanian
dan perkebunan sehingga produksi hasil pangan setempat menurun. Beberapa
tahun setelah letusan Merapi terjadi, tepatnya pada tahun 2013 Gunung Sinabung
di Kabupaten Karo Sumatera Utara meletus setelah dikabarkan tidak aktif selama
empat abad. Berbeda dengan letusan Merapi, tinggi asap letusan Sinabung
semaksimal mungkin hanya mencapai 10 km dan memuntahkan 2,4 juta m 3
material (terhitung sampai Januari 2014) yang didominasi oleh material berbentuk
abu dengan sebaran awan panas sejauh 4,5 km.

Letusan ini menyebabkan lebih dari 28.000 orang mengungsi dan lebih dari
100.000 Ha lahan pertanian dan perkebunan rusa. Hal yang semakin
membedakan bencana letusan Merapi dan Sinabung adalah kondisi permukiman
yang berada di sekitar gunung. Dimana erupsi Merapi tidak begitu menjadi
masalah karena hanya sedikit masyarakat yang bermukim di dekat puncak gunung.
Namun, hal tersebut menjadi masalah saat terjadi erupsi Sinabung dimana ada
banyak masyarakat yang bermukim dekat dengan puncak gunung sehingga
menjadi salah satu kesulitan tersendiri pada saat melakukan evakuasi.

Hal yang membuat masyarakat berminat untuk tinggal di sekitar gunung


adalah dikarenakan kondisi lahannya yang subur yang dapat dimanfaatkan untuk
menjadi lahan pertanian dan perebunan. Namun, hal yang perlu diingat juga
adalah apabila erupsi terjadi, kondisi pertanian dan perkebunan akan rusak dan
tanah akan kembali benar-benar subur setelah beberapa puluh tahun mendatang.
Oleh karena itu, pembangunan yang dilakukan di kawasan letusan gunung api
memiliki limitasi-limitasi tertentu. Selain itu, hal yang perlu diperhatikan adalah
tempat dan jalur evakuasi apabila terjadinya letusan maupun aliran awan panas
dan tempat atau jalur pengalihan lahar panas maupun dingin agar tidak
mengganggu ekosistem lingkungan maupun masyarakat.

3. Bencana Banjir dan Tanah Longsor Jakarta dan Banjarnegara


Banjir dan tanah longsor adalah bencana yang paling dominan terjadi di
Indonesia. Menurut Badan Penanggulangan Bencana Nasional, banjir adalah
peristiwa atau keadaan dimana terendamnya suatu daerah atau daratan karena
volume air yang meningkat. Sementara itu, tanah longsor adalah merupakan salah
satu jenis gerakan masa tanah atau batuan, ataupun pencampuran keduanya,
menuruni atau keluar lereng akibat terganggunya kestabilan tanah atau batuan
penyusun lereng.

Jakarta merupakan salah satu daerah di Indonesia yang menjadi salah satu
lokasi langganan banjir tiap tahunnya yang merupakan air luapan dari Sungai
Ciliwung. Adapun penyebab banjir ini adalah semakin meningkatnya luas kawasan
wilayah terbangun di Jakarta yang tidak dibarengi dengan peningkatan Ruang
Terbuka Hijau yang berfungsi untuk menyerap air, pintu air yang tidak berfungsi
dengan baik, pendangkalan dan pengecilan sungai yang disebabkan oleh
pembuangan sampah yang dilakukan ke sungai, serta normalisasi pantai yang
menyebabkan kawasan yang seharusnya menjadi daerah penampung air laut
menjadi berubah fungsi sehingga menyebabkan penurunan permukaan daratan
akibat terus-menerus mengalami abrasi dan peningkatan level air laut. Banjir ini
menimbulkan kerugian material Jakarta sampai pada angka bertriliun-triliun rupiah
dn meningkatkan risiko terjadinya peningkatan harga pokok sebesar 10-20% dari
11

sebelumnya. Hal tersebut dikarenakan Jakarta bukan hanya sekadar pusat


pemerintahan, tetapi juga pusat ekonomi wilayah.

Dalam menghadapi banjir tersebut, pemerintah Jakarta telah


mempersiapkan sekian banyak cara untuk menanggulangi dan meminimalisir
frekuensi dan dampak yang ditimbulan akibat banjir itu sendiri, baik itu dengan
merelokasi perumahan yang berada di pinggir sungai, pengerukan dan
penjernihan sungai, dan lain-lain. Kanal yang terdapat di Jakarta adalah
merupakan salah satu sistem penanganan bencana banjir yang ada di Jakarta
sejak zaman pemerintahan Belanda. Namun, selain pemerintah masyarakat juga
memegang peran penting dalam penanggulangan bencana sehingga harus ada
koordinasi antara pemerintah dan masyarakat dalam menghadapi bencana banjir.

Hampir sama dengan Jakarta, Banjarnegara adalah salah satu daerah


dengan frekuensi terjadinya tanah longsor tersering yang ada di Indonesia.
Longsor yang terjadi di Banjarnegara disebabkan oleh beberapa lokasi memiliki
kondisi tanah yang merupakan endapan vulkanik tua yang sudah lama dan lapuk,
kondisi kelerengan lahan yang cukup terjal sehingga apabila terjadi hujan akar
pohon tidak dapat menahan tanah dan terjadilah longsor, dan aktivitas pertanian
dan penggunaan lahan di beberapa lokasi yang tidak sesuai dengan aturan
penggunaan kawasan konservasi air.

Namun, salah satu hal yang juga ikut memberikan kontribusi penting dalam
longsor tersebut adalah semakin meningkatnya jumlah penduduk yang ada di
sekitar lokasi longsor yang akan berbanding lurus dengan meningkatnya jumlah
permukiman maupun kawasan terbangun lain yang beberapa pembangunannya
tidak sesuai dengan ketentuan yang seharusnya. Setiap longsor ini terjadi akan
menimbulkan korban jiwa sekitar 50 orang dan kerusakan bangunan seperti rumah
dan lain-lain. Karena lomgsor ini terjadi hampir setiap tahunnya diharapkan
masyarakat untuk menyadari kondisi rawan bencana yang dihadapinya. Selain itu,
sebagian besar masyarakat tidak mengerti tentang tata cara penggunaan lahan
miring. Oleh karena itu, perlu adanya sosialisasi dari pemerintah terkait dengan
penggunaan lahan tersebut agar masyarakat setidaknya dapat meminimalisir
kemungkinan terjadinya longsor maupun dampak yang ditimbulkannya, seperti
dengan penanaman komoditi tani atau kebun berupa tanaman keras agar tanaman
tersebut nantinya dapat menahan air dan menguatkan tanah.

Poin-poin di atas adalah beberapa bencana yang terjadi di Indonesia sekitar


abad ke-21 (tahun 2000-an) dan mitigasi bencana yang dilakukan untuk
menanggulanginya sebagai peran mitigasi bencana dalam bidang perencanaan.

PENUTUP

Berdasarkan bahan isi di atas diterangkan mengenai peran mitigasi


bencana dalam bidang perencanaan dan integrasi antara keduanya yang ternyata
masih belum memadai mengingat kedua hal tersebut merupakan hal yang
berhubungan. Proses perencanaan atau tata ruang dan pembangunan yang ada di
Indonesia masih belum begitu memperhatikan aspek kebencanaan atau
kerawanan terhadap bencana alam. Sehingga dampak kerusakan yang
ditimbulkan akibat terjadinya bencana cukup besar. Namun, suatu peristiwa akan
12

dianggap sebagai suatu bencana apabila ada kerugian yang ditimbulkannya, baik
korban jiwa maupun kerugian materil dan fisik. Sementara itu, yang membunuh
dan melukai manusia, serta merusak lingkungan bukanlah bencana itu sendiri,
melainkan bangunan yang ada di daerah tersebut.

Oleh karena itu, pendirian bangunan tersebut adalah salah satu hal yang
dapat diintervensi oleh bidang perencanaan atau penataan ruang. Indonesia
sebagai salah satu negara dengan tingkat risiko bencana yang cukup tinggi, harus
benar-benar mempertimbangkan aspek mitigasi dalam pelaksanaan perencanaan
dan pembangunan. Meskipun banyak hal dari aspek kebencanaan dan mitigasinya
yang terkait dengan bidang perencanaan atau tata ruang, hal yang harus
diperhatikan adalah pencapaian tujuan mitigasi bencana untuk kesejahteraan
Indonesia bukan hanya untuk satu bidang saja. Namun, dengan banyaknya
komponen-komponen dan ilmu-ilmu spesifik yang ada di dalamnya, diharapkan
bidang perencanaan mampu menjadi pilar dan tonggak untuk mendorong aspek
penanggulangan bencana khususnya di kawasan rawan bencana di Indonesia.

REFERENSI

Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang


Undang-Undang No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional
Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana No. 4 Tahun
2008 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana

Anda mungkin juga menyukai