Anda di halaman 1dari 6

Islam Rahmatan Lil Alamin

04 Aug 2015 in Afkar (Al Waie), Topik Utama Leave a comment

Islam (Al-Islm) adalah agama (dn) yang mulia dan memuliakan manusia. Islam turun dari Zat
Yang Maha Mulia, Allah SWT. Islam hadir dengan berbagai keunggulannya, sebagaimana ia pun
tegak dengan berbagai karakteristiknya.

Namun, saat ini kita menemukan pendistorsian (tahrf) atas nas-nas syariah sebagai dalih atas
pemahaman sesat-menyesatkan, pengaburan ajaran Islam dengan istilah-istilah yang mengkotak-
kotakan Islam dan penyimpangan makna di balik istilah yang disematkan pada Islam. Salah
satunya syubhat di balik ungkapan Islam Rahmatan lil Alamin.

Jokowi dalam siaran pers kampanye politiknya tahun 2014 mengatakan, Saya, Jokowi, bagian
dari Islam yang rahmatan lil alamin. Islam yang hidup berketurunan dan berkarya di negara RI
yang memegang teguh UUD 45. Bhinneka Tunggal Ika adalah rahmat dari Tuhan.

Jokowi pun mengatakan dirinya bukan bagian dari kelompok yang mengaku Islam yang punya
tujuan mewujudkan negara Islam (Kompas.com, 24/5/2014).

Ketua GP Anshor, Nusron Wahid, juga mengatakan, Islam rahmatan lil alamin, Islam yang
toleran, yang mengakomodasi kebudayaan Nusantara.

Nusron pun menjelaskan bahwa Islam Indonesia adalah salah satu bangunan fundamental
terbentuknya NKRI. (Kompas.com, 12/6/2015).

Realitasnya, istilah ini sering dijadikan dalih penganut sepilis (sekularisme-pluralisme-


liberalisme) dalam menyebarkan syubhat seakan Islam membenarkan paham kufur pluralisme,
kebebasan beragama dan pengkotak-kotakan Islam. Muncullah istilahIslam fundamental atau
Islam radikal yang mereka maknai sendiri secara zalim untuk menstigma negatif gerakan-
gerakan Islam yang memperjuangkan penegakkan Islam. Istilah ini dijadikan dalih untuk
mendistorsi dan mereduksi ajaran Islam serta menjegal perjuangannya. Ini pun menunjukkan
standar ganda mereka yang tolerandengan asas pluralismenyaterhadap kekufuran dan
penganutnya, namun tidak toleran terhadap umat Islam yang memperjuangkan penerapan syariah
Islam secara kaffah dalam kehidupan.

Penjelasan Ulama Mutabar

Allah SWT berfirman:

Tiadalah Kami mengutus engkau (Muhammad) melainkan sebagai rahmat bagi alam semesta
(QS al-Anbiya [21]: 107).
Dalam ayat di atas kata ar-rahmah adalah mashdar dari kata kerja rahima.1 Kata ini
berkedudukan sebagai tujuan pengutusan Muhammad saw. (mafl li ajlihi) atau sebagai
keterangan (hl) bahwa Muhammad saw. adalah ar-rahmah2 yang menguatkan kedudukan
beliau (mublaghah)3.

Dalam konteks penggunaan istilah ini Ar-Raghib al-Ashfahani menguraikan bahwa ar-rahmah
kadang berkonotasi al-riqqah (kelembutan) atau berkonotasi al-ihsn (kebajikan);4atau al-khayr
(kebaikan) dan an-nimah (kenikmatan).5Karena itu kata ini termasuk ke dalam lafal yang
berserikat di dalamnya lebih dari satu makna (lafzh musytarak)6. Pemaknaannya ditentukan oleh
indikasi lainnya.7

Makna ayat di atas diperjelas melalui firman-Nya:

Tidaklah engkau mengharap al-Quran diturunkan kepada dirimu melainkan sebagai rahmat
dari Tuhanmu (QS Al-Qashash [28]: 86).

Lihat pula QS Al-Ankabt (29) ayat 51. Keduanya memperjelas: Tidaklah Allah mengutus
Muhammad saw. kecuali sebagai rahmat bagi ciptaan-Nya dengan semua yang terkandung dalam
al-Quran al-Karim ini,8yakni kebaikan yang terkandung dalam ajaran-ajaran-Nya. Para ulama
mutabar pun menjelaskan ar-rahmat dalam ayat tersebut berkaitan dengan penerapan syariah
Islam kffah dalam kehidupan sebagai tuntutan akidah Islam yang diemban oleh Rasulullah saw.

Di antaranya adalah ulama Nusantara yang mendunia, Syaikh Nawawi al-Bantani(w. 1316 H). Ia
menyatakan:

Tidaklah Kami mengutus engkau, wahai sebaik-baiknya makhluk, dengan membawa ajaran-
ajaran syariah-Nya, kecuali sebagai rahmat bagi alam semesta, yakni agar menjadi rahmat
Kami bagi alam semesta seluruhnya; bagi agama ini dan kehidupan dunia.9

Imam Izzuddin bin Abdissalam (w. 660 H) menafsirkan kata rahmat[an] dalam ayat ini sebagai
hidyat[an], yakni petunjuk,10 tentunya petunjuk dari risalah Islam yang diemban Nabi saw.

Sejalan dengan Imam al-Nasafi, Imam al-Baidhawi pun menegaskan bahwa beliau menjadi
rahmat karena diutus dengan apa yang menjadi sebab kebahagiaan manusia dan kebaikan bagi
kehidupan dunia dan tempat kembalinya kelak.11

Imam Al-Zamakhsyari (w. 538 H) menjelaskan bahwa Allah mengutus Rasulullah saw. sebagai
rahmat bagi alam semesta karena ia datang dengan apa-apa yang akan membuat mereka bahagia
jika mengikutinya.12

Imam Fakhruddin al-Razi (w. 606 H) pun menyatakan, rahmat tersebut mencakup kehidupan
agama dan dunia. Mencakup agama karena beliau turun menyeru manusia ke jalan kebenaran
dan pahala, mensyariatkan hukum-hukum dan membedakan antara halal dan haram. Yang
mengambil manfaat (hakiki) dari rahmat ini adalah siapa saja yang kepentingannya mencari
kebenaran semata, tidak bergantung pada taqlid buta, angkuh dan takabur, berdasarkan indikasi
dalil13:

Katakanlah, Al-Quran itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang beriman, sementara
orang-orang yang tidak beriman pada telinga mereka ada sumbatan. (QS Fushshilat [41]: 44).

Mencakup kehidupan dunia karena manusia terhindar dari banyak kehinaan dan ditolong dengan
keberkahan din-Nya ini.14

Inti penafsiran di atas kian menjadi jelas ketika kita memerhatikan firman-Nya:

Kami telah menurunkan kepada kamu al-Kitab (al-Quran) sebagai penjelasan atas segala
sesuatu, petunjuk, rahmat dan kabar gembira bagi kaum Muslim (QS an-Nahl [16]: 89).

Frasa tibyn[an] li kulli syay-[in] bermakna: apa saja yang dibutuhkan oleh umat; mengetahui
halal haram, pahala dan siksa, hukum-hukum serta dalil-dalil. Ini sebagaimana dijelaskan oleh
al-Hafizh ath-Thabari15, Imam ats-Tsalabi16, Imam Abu Bakr al-Jazairi dan yang lainnya. Abu
Bakar al-Jazairi menjelaskan kedudukan al-Quran sebagai hud[an], yakni petunjuk dari segala
kesesatan; juga rahmat[an], yakni rahmat khususnya bagi mereka yang mengamalkan dan
menerapkan al-Quran bagi diri sendiri dan di dalam kehidupan sehingga rahmat tersebut bersifat
umum di antara mereka.17

Tak samar kewajiban menegakkan syariah Islam kffah (totalitas) dalam QS al-Baqarah (2) ayat
208. Islam adalah rahmat bagi alam semesta dengan ajaran-ajarannya. Islam adalah rahmat
dengan syariah shaum (QS al-Baqarah [2]: 183). Islam pun rahmat (kebaikan hakiki) dengan
keseluruhan syariahnya: syariah qishash (QS al-Baqarah [2]: 178), syariah jihad (QS al-Baqarah
[2]: 216). QS al-Anbiya [21]: 107) pun menjadi dalil kaidah syariyyah:

Di mana pun tegak syariah maka akan ada kemaslahatan.18

Dengan demikian penegakan seluruh ajaran Islam menjadi satu-kesatuan sistem kehidupan
merupakan kebaikan hakiki bagi seluruh sendi kehidupan.

Sebaliknya, banyak dalil al-Quran dan as-Sunnah yang mengecam orang yang berpaling dari
ajaran-Nya (QS Thaha [20]: 124) atau mengimani sebagian dan mengkufuri sebagian lainnya
dari ajaran-Nya (QS al-Baqarah [2]: 285).

Kedua sisi ini tergambar pula dalam ayat ini:



Jika penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada
mereka berkah dari langit dan bumi. Akan tetapi, mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu
sehingga Kami menyiksa mereka karena perbuatan yang mereka lakukan (QS al-Araf [7]: 96).

Lalu masih adakah celah mereduksi atau mengaburkan kewajiban penerapan Islam kffah di
balik ungkapan Islam Rahmat[an] lil lamn?

Khilafah dan Penegakan Syariah

Islam tak tegak sempurna kecuali dengan tegaknya Al-Khilfah ala Minhj al-Nubuwwah. Hal
ini sebagaimana pujian khusus (qashr) dari Rasulullah saw.:

Sesungguhnya Imam (Khalifah) itu laksana perisai; umat akan diperangi di belakangnya dan
berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)-nya (HR Muslim, Ahmad, dll).

Demikian pula sebagaimana kesaksian para ulama pewaris para Nabi saw. tentang Khilafah.
Imam Hasan al-Bashri (w. 110 H) pun bertutur:

Andai tidak ada as-Sulthn (Imam/Khalifah) maka pasti manusia akan menzalimi satu sama
lain.19

Bi fadhliLlh, Islam pun menjadi mercusuar peradaban umat manusia selama rentang waktu +14
abad lamanya di bawah panji Khilafah hingga sampai di Nusantara. Khilafah adalah thariqah
syariyyah menegakkan syariah seluruhnya; memelihara jiwa, harta dan kehormatan umat di
bawah kekuasaannya; menyebarkan risalah mulia ke seluruh penjuru dunia dengan dakwah dan
jihad yang menjadi politik luar negerinya; menjadi simbol persatuan umat di bawah al-liw dan
ar-ryah-nya. Pentingnya kedudukan Khilafah dan kewajiban menegakkannya tersirat dan
tersurat dalam khazanah ilmu para ulama mazhab seluruhnya. Bahkan para Sahabat telah
berijmak mendahulukan pengangkatan khalifah atas pemakaman jenazah semulia-mulia
makhluk-Nya, Muhammad al-Mushthafa saw. Kita pun sejatinya sebagaimana dituturkan syair:

Kami membangun sebagaimana generasi pendahulu kami membangun

Kami berbuat sebagaimana mereka telah berbuat.

Dengan demikian kian terang-benderang bahwa rahmat[an] lil lamn adalah buah tegaknya
syariah Islam secara kffah dalam kehidupan yang tegak sempurna dalam naungan al-Khilfah
ala Minhj al-Nubuwwah, bukan selainnya yang memecah-belah kaum Muslim dan merampas
kemuliaannya. Benarlah Umar bin al-Khaththab ra. yang berkata:

Kami adalah kaum yang Allah muliakan dengan Islam sehingga kami tak akan pernah mencari
kemuliaan dengan selainnya.20

WalLahu alam. [Irfan Abu Naveed]

Syabab HTI Sukabumi, Mudir Mahad al-Mutashim Billah & Staff Kulliyyatusy Syariah.

Catatan kaki:

1 Abu Manshur Muhammad bin Ahmad, Tahdzb al-Lughah, Beirut; Dr Ihy al-Turts
al-Arabiy, Cet.I, 2001, (V/34)

2 Abu al-Baqa al-Akbari, At-Tibyn f Irb al-Qurn, Syirkatu Isa al-Halb, (II/929)

3 Abul Abbas Syihabuddin al-Halabi, Ad-Durr al-Mashn f Ulm al-Kitb al-Maknn,


Damaskus: Dr al-Qalam (VIII/214)

4 Ar-Rghib al-Ashfahani, Al-Mufradt f Gharb al-Qurn, Maktabah Nazr Mushthafa


al-Bz, (I/253-254)

5 Lihat QS. Ynus [10]: 21; Ibrahim Mushthafa, dkk, Al-Mujam al-Wasth, Dr al-Dawah,
(I/335)

6 Abdul Halim Muhammad Qunabis, Mujam al-Alfzh al-Musytarakah f al-Lughah


al-Arabiyyah, Beirut: Maktabah Lubnn,1986, (hlm. 55).

7 Muhammad Rawwas Qalah Ji, dkk, Mujam Lughatil Fuqah, Beirut: Dr an-Nafis,
Cet.II, 1988, (I/430).

8 Muhammad al-Amin a-Syanqithi, Adhw al-Bayn,Dr lam al-Fawid,(IV/869)

9 Muhammad bin Umar Nawawi, Marh Labd li Kasyf Man al-Qurn al-Majd, Beirut:
Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Cet. I, 1417 H, (II/62)

10 Izzuddin bin Abdissalam, Tafsr al-Qurn, Beirut: Dr Ibn Hazm, Cet.I, 1996, (II/341)

11 Nashiruddin al-Baydhawi, Anwr at-Tanzl wa Asrr at-Tawl, Beirut: Dr Ihy al-


Turts, Cet.I, 1418 H, (IV/62).
12 Abul Qasim al-Zamakhsyari, Al-Kasyf, Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi, Cet. III, 1407 H,
(III/138)

13 Muhammad bin Umar al-Razi, Mafth al-Ghayb, Beirut: Dr Ihy al-Turts, Cet.III,
1420 H, (XXII/193).

14 Ibid.

15 Ath-Thabari, Jmi al-Bayn, (XVII/278).

16 Ahmad al-Tsalabi, Al-Kasyf wa al-Bayn, Beirut: Dr Ihy at-Turts al-Arabi, Cet. I,


1422 H, (VI/37).

17 Jabir bin Musa Abu Bakr Al-Jazairi, Aysar at-Tafsr, Madinah: Maktabah al-Ulm,
Cet. V, 1424 H, (III/138-139).

18 Ahmad al-Mahmud, Ad-Dawah ila al-Islm (I/255); Muhammad Ismail, Al-Fikr al-
Islmiy (I/48).

19 Abu al-Faraj Ibn al-Jawzi, db al-Hasan al-Bashri, Dr al-Nawdir, Cet. III, 1428 H,
(I/58).

20 Abu Abdullah al-Hakim, Al-Mustadrak, Kairo: Dar al-Haramain, 1417 H, (I/120

Anda mungkin juga menyukai