Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Derajat kesehatan masyarakat dapat di ukur dengan berbagai indikator
kesehatan antara lain kematian perinatal, angka kematian bayi, dan angka
kematian balita. Angka kematian bayi (AKB) adalah angka kematian yang
terjadi saat setelah bayi lahir sampai bayi belum berusia tepat satu tahun per
1.000 kelahiran hidup ( Depkes RI, 2008).
Penyebab mortalitas pada bayi baru lahir salah satunya adalah
ensefalopati bilirubin (lebih dikenal sebagai kern ikterus) (Health Technology
Assessment, 2004). Ikterus apabila tidak dikelolah dengan baik dapat
menyebabkan kerusakan pada otak bayi. Hiperbilirubin merupakan suatu
kondisi dimana bayi baru lahir dengan kadar bilirubin serum totalnya lebih
dari 10 mg% pada minggu pertama yang ditandai dengan icterus. Icterus yang
biasanya terjadi pada minggu pertama dikenal dengan icterus neonatorum
patologis. Hiperbilirubinemia yang merupakan suatu keadaan meningkatnya
kadar bilirubin di dalam jaringan ekstravaskular, sehingga konjungtiva, kulit
dan mukosa akan berwarna kuning. Keadaan tersbut juga berpotensi besar
terjadi kern icterus yaitu kerusakan otak akibat perlengketan bilirubin indirek
pada otak (Hidayat, 2008).
Hiperbilirubinemia merupakan salah satu fenomena klinis yang paling
sering ditemukan pada bayi baru lahir. Lebih dari 85% bayi cukup bulan yang
kembali dirawat dalam minggu pertama kehidupan disebabkan oleh keadaan
ini. Bayi dengan hiperbilirubinemia tampak kuning akibat akumulasi pigmen
bilirubin yang berwarna kuning pada sklera dan kulit (Sukadi, 2010).
Pada janin, tugas mengeluarkan bilirubin dari darah dilakukan oleh
plasenta, dan bukan oleh hati. Setelah bayi lahir, tugas ini langsung diambil
alih oleh hati, yang memerlukan sampai beberapa minggu untuk penyesuaian.
Selama selang waktu tersebut, hati bekerja keras untuk mengeluarkan
bilirubin dari darah. Walaupun demikian, jumlah bilirubin yang tersisa masih
menumpuk di dalam tubuh. Oleh karena bilirubin berwarna kuning, maka
jumlah bilirubin yang berlebihan dapat memberi warna pada kulit, sklera, dan
jaringan-jaringan tubuh lainnya (Mathindas, 2013).
BBLR dan prematuritas merupakan faktor risiko tersering terjadinya
ikterus neonatorum di wilayah Asia tenggara. Berdasarkan data di atas bahwa
ikterus sangat berkaitan erat dengan bayi prematur dan bayi cukup bulan.
Setiap tahun dilaporkan ada sekitar 15 juta bayi lahir prematur di dunia, lebih
dari satu dalam 10 kelahiran. Kelahiran prematur meningkat setiap tahun
hampir di semua negara (WHO, 2012).

B. Tujuan
1. Tujuan umum
Mengetahui gambaran pengelolaan Asuhan Keperawatan Anak pada
By.Ny.S dengan Hiperbilirubinemia di ruang PBRT RSUP. Dr. Karyadi
Semarang
2. Tujuan khusus
a Memaparkan konsep dasar terkait fisiologi, etiologi, patofisiologi,
manifestasi klinis, komplikasi, pathways dan penatalaksanaan dalam
bentuk Mindmap pada By.Ny.S dengan Hiperbilirubinemia di ruang
PBRT RSUP. Dr. Karyadi Semarang
b Mendeskripsikan hasil pengkajian serta data fokus untuk menentukan
masalah yang terjadi.
c Memaparkan diagnosa keperawatan yang muncul pada By.Ny.S
dengan Hiperbilirubinemia
d Menyusun fokus intervensi untuk mengatasi permasalahan
keperawatan yang muncul pada kasus Hiperbilirubinemia
e Menyusun rencana tindakan keperawatan yang diberikan untuk
mengatasi masalah yang terjadi pada By.Ny.S dengan
Hiperbilirubinemia
f Mengimplementasikan tindakan keperawatan yang telah disusun untuk
mengatasi masalah pada By.Ny.S dengan Hiperbilirubinemia
g Mengevaluasi hasil akhir dari implementasi yang telah dilakukan pada
By.Ny.S dengan Hiperbilirubinemia

BAB III

PEMBAHASAN
Ikterus neonatorum adalah keadaan klinis pada bayi yang ditandai oleh
pewarnaan ikterus pada kulit dan sklera akibat akumulasi bilirubin tak
terkonjugasi yang berlebih. Tingginya kadar bilirubin pada bayi baru lahir
biasanya terjadi pada hari ke-1 dan ke-3 dan mencapai puncaknya pada hri ke-
5 sampai ke-7, kemudian menurun kembali pada hari ke-10 dan ke-14
(Hidayat, 2008). Sebuah penelitian mengungkapkan bahwa pada bayi
prematur memiliki hepar yang imatur sehingga fungsi hepar belum matur
sehingga hanya sedikit bilirubin indirek yang di ubah menjadi bilirubin direk.
Sehingga kadar bilirubin indirek meningkat yang dapat mengakibatkan
pewarnaan ikterus pada kulit dan sclera,sehingga kejadian ikterus lebih
banyak pada bayi prematur di bandingkan bayi cukup bulan (Saputra, 2016).

By. Ny. S yang lahir dengan section caesarea atas indikasi PEB dan
DM gestasional pada ibu ditemukan hiperbilirubin pada hari ke 8 kelahiran
dengan derajat ikterik IV yaitu warna kuning dari kepala, badan, ekstremitas
sampai dengan pergelangan tangan dan kaki. Hiperbilirubinemia yang terjadi
ada bayi S ditandai dengan tingginya nilai bilirubin yaitu 19,06 mg/dl.
Sebelumnya Ny. S mengatakan bahwa pada hari ke-4 sebelumnya juga pernah
mengalami ikterik dan mendapatkan fototerapi.

Hiperberbilirubin yang terjadi pada By. S termasuk kedalam ikterik


fisiologis yang umunya terjadi pada minggu pertama kelahiran. Pada bayi
cukup bulan yang mendapat ASI, kadar bilirubin puncak akan mencapai kadar
yang lebih tinggi (7-14 mg/dL) dan penurunan terjadi lebih lambat, bisa
terjadi selama 2-4 minggu, bahkan dapat mencapai 6 minggu. Pada bayi
kurang bulan yang mendapat susu formula juga akan terjadi peningkatan
kadar bilirubun dengan kadar puncak yang lebih tinggi dan bertahan lebih
lama, demikian pula dengan penurunannya bila tidak diberikan fototerapi
pencegahan. Peningkatan kadar billirubin sampai 10-12 mg/dl masih dalam
kisaran fisiologik, bahkan hingga 15 mg/dL tanpa disertai kelainan
metabolism bilirubin (Mathindas, 2013).

Tingginya tingkat derajat ikterik pada bayi disebabkan oleh beberapa


permasalahan yang ditemui diantaranya adalah pemberian nutrisi pada bayi
yang memberikan campuran antara ASI dan susu formula, kesibukan ibu yang
sebagian besar bekerja, serta masih banyaknya ibu yang baru mempunyai
anak pertama yang menyebabkan masih kurang pemahaman ibu tentang tata
cara perawatan bayi pada saat setelah kelahiran bayi dan kurangnya informasi
mengenai mengurangi resiko terjadinya ikterik pada bayi. Menurut Kosim
(2012) pada bayi yang mendapat ASI terdapat dua bentuk neonatal jaundice
yaitu early (yang berhubungan dengan breastfeeding) dan late (berhubungan
dengan ASI). Bentuk early onset diyakini berhubungan dengan proses
pemberian minum. Bentuk late onset diyakini dipengaruhi oleh kandungan
ASI ibu yang mempengaruhi proses konjugasi dan ekskresi (Kosim, 2008).

Salah satu penalakasanaan bagi bayi dengan hiperbilurbinemia adalah


dengan pemberian fototerapi. Cara kerjanya adalah dengan mengubah
bilirubin menjadi bentuk yang larut dalam air untuk dieksresikan melalui
empedu atau urin. Ketika bilirubin mengabsorbsi cahaya, terjadi reaksi
fotokimia yaitu isomerisasi (Bunyaniah, 2013). Efektivitas fototerapi
tergantung pada kualitas cahaya yang dipancarkan lampu (panjang
gelombang), intensitas cahaya (iradiasi), luas permukaan tubuh, ketebalan
kulit dan pigmentasi, lama paparan cahaya, kadar bilirubin total saat awal
fototerapi. Semakin lama fototerapi semakin cepat penurunan kadar bilirubin,
namun perlu diperhatikan efek samping yang dapat timbul berupa eritema,
kerusakan oksidasi, dehidrasi (kehilangan cairan transepidermal), hipertermi,
diare dan kerusakan retina (Kosim, 2008).
Selain pemberian ASI dan fototerapi, pasien juga diberikan D10% 4
tpm yang diindikasikan sebagai nutrisi makanan melalui intravena baik total
maupun parsial. Selain itu pemberian terapi ini juga berfungsi untuk
mempertahankan kestabilan gula darah. Pada saat lahir by. S didapatkan nilai
GDS 46 mg/dl. Meskipun bersifat sementara dan biasanya terjadi pada bayi
baru lahir, misalnya karena masukan glukosa yang kurang (starvasi,
kelaparan), hipotermia, syok,dan pada bayi dari ibu diabetes. Ny. S
mengatakan bahwa dia memang mempunya riwayat penyakit keluarga seperti
darah tinggi dan DM.

Terdapat beberapa adaptasi terhadap kehidupan di luar uterus dan


homeostasis glukosa. Dalam keadaan normal kadar glukosa darah bayi lebih
rendah dari pada anak. Kadar glukosa darah janin sebesar 70% kadar glukosa
darah ibu. Pada waktu bayi lahir masukan glukosa dari ibu berhenti secara
mendadak sehingga homeostasis pasca lahir dipertahankan dengan
peningkatan glucagon 3-5 kali lipat, kadar insulin menurun dan tidak segera
meningkat setelah makan, peningkatan katekolamin, peningkatan GH,
peningkatan FFA (Free Fatty Acid) dan badan keton, terjadi maturasi enzim
glukoneogenik dan pelepasan glukosa darah dari simpanan glikogen (biasanya
cukup untuk bayi normal bisa bertahan puasa selama 4 jam). Pada kejadian
hipoglikemia, segera lakukan perbaikan terhadap factor factor yang mungkin
memperburuk keadaan seperti suhu lingkungan dan oksigenasi (Rmangkang,
2016).

DAFTAR PUSTAKA
Hidayat, A. Aziz Alimul. 2008. Pengantar ilmu kesehatan anak untuk
pendidikan kebidanan. Jakarta : Salemba Medika.

Depkes RI. 2008. Profil Kesehatan indonesia . Jakarta : Departemen


Kesehatan Republik Indonesia.tersedia di http://www.depkes.go.id

Sukadi A. 2010. Hiperbilirubinemia. In: Kosim MS, Yunanto A, Dewi R,


Sarosa GI, Usman A, penyunting. Buku Ajar Neonatologi (Edisi Ke-
1). Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia

Mathindas, wilar, wahani. 2013. Hiperbilirubinemia pada neonates. Manado :


Jurnal Biomedik . Vol. 5. No. 1

Health Technology Assesment. 2004. Tatalaksana ikterus neonatorum.


Jakarta: Unit pengkajian teknologi kesehatan direktorat jenderal
pelayanan medik departemen kesehatan RI

WHO 2012. Born Too Soon; The Global Action Report on Preterm Birth

Kosim, S., Soetandio, R., Sakundarno, M. 2008. Dampak Lama Fototerapi


Terhadap Penurunan kadar Bilirubin Total pada Hiperbilirubinemia
Neonatal. Jurnal Sari Pediatrik. Vol. 10. No. 3.

Bunyaniah, dahru. 2013. Pengaruh fototerapi terhadap derajat ikterik bayi


baru lahir di RSUD Dr. Moewardi Surakarta.

Rumangkang, Bella. Hubungan antara kadar gula darah bayi baru lahir dengan
ibu hamil yang mengalami obesitas. Universitas Sam Ratulangi,
Manado

Anda mungkin juga menyukai