PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Mudharabah merupakan wahana utama bagi perbankan
syariah (termasuk BMT) untuk mobilisasi dana masyarakat yang
terserak dalam jumlah besar dan untuk menyediakan berbagai
fasilitas, antara lain fasilitas pembiayaan bagi para pengusaha.
mudharabah merupakan salah satu aqad kerjasama kemitraan
berdasarkan prinsip profit and loss sharing, dilakukan sekurang-
kurangnya oleh dua pihak, dimana pihak pertama memiliki dan
menyediakan modal (shahibul mal), sedangkan pihak kedua
memiliki keahlian (skill) dan bertanggungjawab atas pengelolaan
dana/manajemen usaha halal tertentu disebut mudharib. (Makhalul
Ilmi, Teori dan Praktek Lembaga Mikro Keuangan Syariah,
Yogyakarta: UII Press, 2002, Hal. 32).
Konsep ini terdapat unsur keadilan, di mana tidak ada suatu
pihak yang diuntungkan sementara pihak yang lain dirugikan antara
pemilik dana dan pengelola dana. Distribusi pembagian hasil usaha
hanya didasarkan pada aqad mudharabah, di mana pembagian hasil
usaha didasarkan pada nisbah yang telah disepakati di awal akad.
Apabila terjadi kerugian dan kerugian tersebut merupakan
konsekuensi bisnis (bukan penyelewengan atau keluar dari
kesepakatan) maka pihak penyedia dana akan menanggung
kerugian manakala mudharib akan menanggung kerugian
managerial skill dan waktu serta nisbah keuntungan bagi hasil yang
akan diperolehnya (Muhammad Syafii Antonio, Apa dan Bagaimana
Bank Islam, Yogyakarta: PT. Veresia Grafika, 1992, Hal. 21). Pihak
yang melakukan perhitungan distribusi hasil usaha adalah selalu
mudharib, karena salah satu aturan dalam prinsip mudharabah
mutlaqah pemilik dana memberi kuasa penuh kepada mudharib
untuk mengelola dana untuk mendapatkan hasil usaha (Wiroso,
Penghimpunan Dana dan Distribusi Hasil Usaha Bank Syariah,
Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 2005, Hal. 88 -89).
Kepercayaan ini penting dalam akad mudharabah karena
pemilik dana tidak boleh ikut campur di dalam manajemen proyek
yang dibiayai dengan dana pemilik dana tersebut, kecuali sebatas
memberikan saran-saran dan melakukan pengawasan pada
pengelola dana (Sri Nurhayati Wasilah, Akuntansi Syariah di
Indonesia, Jakarta: Salemba Empat, 2014, Hal. 128).
Oleh karena itu, mudharib sebagai pihak yang diberi amanah
dan dipercaya untuk mengelola usaha hendaknya dapat meneladani
sifat Rasulullah SAW yaitu STAF (siddiq, tabligh, amanah dan
fathonah). Tanpa dilandasi hal tersebut, tidak ada keadilan antara
pemilik dana dan pengelola dana. Kejujuran, keterbukaan, amanah
sangat diperlukan oleh para pengelola bank syariah (termasuk
BMT), terutama yang berkaitan dengan pembagian hasil usaha yang
merupakan karakteristik utana lembaga keuangan syariah (Wiroso,
Penghimpunan Dana dan Distribusi Hasil Usaha Bank Syariah, Hal.
90).
B. Rumusan Masalah
PEMBAHASAN
1. Definisi Mudharabah
mudharabah atau qiradh merupakan salah satu bentuk
akad syirkah atau perkongsian. Orang Irak menyebut istilah
mudharabah karena setiap pihak yang berakad mengambil
bagian dari keuntungan. Sedangkan orang Hijaz menyebutnya
dengan istilah qiradh yang berarti potongan, karena pemilik
modal memotong hartanya untuk diberikan kepada pihak
pengelola untuk dikelola, kemudian memberikan potongan dari
keuntungan yang diperoleh. Dengan demikian, mudharabah dan
qiradh mempunyai arti yang sama, hanya saja digunakan oleh
dua masyarakat yang berbeda (Neneng Nurhasanah,
mudharabah dalam Teori dan Praktik, Hal. 67).
Secara etimologi kata mudharabah berasal dari kata
dharb, berarti memukul atau berjalan. Pengertian memukul atau
berjalan ini lebih tepatnya adalah proses memukulkan kakinya
dalam menjalan usaha. Secara teknis, al mudharabah adalah
akad kerja sama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama
(shahibul mal) menyediakan modal seluruh (100%) modal,
sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Keuntungan usaha
secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang
dituangkan dalam akad, sedangkan rugi ditanggung oleh pemilik
modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian si pengelola.
Seandainya kerugian itu diakibatkan karena kecurangan atau
kelalaian si pengelola, si pengelola harus bertanggung jawab
atas kerugian tersebut (Muhammad Syafii Antonio, Bank
Syariah Dari Teori dan Praktik, Jakarta: Gema Insani, 2001, Hal.
95).
Secara istilah, mudharabah berarti seorang pemilik modal
menyerahkan modal kepada seorang amil untuk berniaga
dengan modal tersebut, dimana keuntungan dibagi di antara
keduanya dengan porsi bagian sesuai dengan yang
dipersyaratkan dalam akad.
1. Menurut pendapat an-Nawawi di dalam kitab ar-Raudhah
IV/97, al-qiradh, al-muqaradhah, dan al mudharabah adalah
satu makna, yaitu penyerahan harta (modal) terhadap
seseorang untuk diperniagakan, sedangkan keuntungannya
dibagikan di antara mereka (pemodal dan yang diberi
modal). Qiradh bisa juga diambil dari kata muqaradhah yang
berarti al-musaawah (kesamaan), sebab pemilik modal dan
pengusaha memiliki hak yang sama terhadap laba (modal)
terhadap seseorang untuk diperniagakan, sedangkan
keuntungannya dibagikan di antara mereka (pemodal dan
yang diberi modal). Qiradh bisa juga diambil dari kata
muqaradhah yang berarti al-musaawah (kesamaan), sebab
pemilik modal dan pengusaha memiliki hak yang sama
terhadap laba (Neneng Nurhasanah, mudharabah dalam Teori
dan Praktik, Hal. 66).
2. Menurut Sayyid Sabiq, mudharabah adalah akad di antara
dua belah pihak dimana salah satu pihak menyerahkan
modal kepada yang lain untuk berniaga pada modal tersebut
dengan keuntungan dibagi di antara keduanya dengan porsi
sesuai hasil kesepakatan (Yadi Janwari, Lembaga Keuangan
Syariah, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2015, Hal. 59).
3. Menurut Afzalurrahman menyebut mudharabah sebagai
bentuk kemitraan terbatas dan mengartikannya sebagai
suatu kontrak kemitraan (partnership) yang berlandaskan
pada prinsip pembagian hasil dengan cara seseorang
memberikan modalnya kepada pihak lain untuk melakukan
bisnis dan kedua belah pihak membagi keuntungan atau
memikul beban kerugian berdasarkan isi perjanjian bersama.
Dengan kata lain, mudharabah merupakan kemitraan antara
pemilik modal dan pengelola modal yang memiliki
kemampuan usaha dan mengelola pembagian keuntungan
ditetapkan sesuai dengan persentase yang mereka sepakati,
sedangkan seluruh kerugian ditanggung oleh pemilik modal.
Pengelola modal tidak dikenakan beban atas kerugian karena
kerugiannya adalah kehilangan keuntungan atas jasa yang
dia lakukan berupa upah yang seharusnya dia peroleh
(Neneng Nurhasanah, mudharabah dalam Teori dan Praktik,
Hal. 69).
4. Dalam Fatwa al-Azhar disebutkan bahwa yang dimaksud
dengan mudharabah adalah akad yang berserikat dan
pekerjaan dari pihak lain menurut syarat-syarat tertentu.
5. Dalam Fatwa al Muashirah disebutkan bahwa
mudharabah dalam fiqh islam merupakan salah satu jenis
dari syirkah yang di dalamnya ada pokok modal dari satu
pihak dan pekerjaan dari pihak lain. Mekanismenya,
seseorang menyerahkan modal harta kepada pihak lain
untuk diniagakan/dikelola dengan keuntungan yang diperoleh
dibagi di antara keduanya sesuai nisbah yang disepakati
dalam akad.
6. Menurut Sutan Rmy, mudharabah merupakan wahana
utama bagi lembaga keuangan Islam untuk memobilisasi
dana masyarakat dan untuk menyediakan berbagai fasilitas,
antara lain fasilitas pembiayaan dan bagi hasil para
pengusaha. Dalam istilah lain mudharabah biasa juga disebut
dengan qiradh yang artinya memotong (Sutan Rmy
Sjahdeini, Perbankan Islam dan Kedudukannya dalam Tata
Hukum Perbankan Islam, Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti,
1999, Hal. 26).
a. mudharabah Muthlaqah
1. Rukun Murabahah
Imam An-Nawawi menyebutkan bahwa
mudharabah memiliki lima rukun:
a. Modal.
b. Jenis usaha.
c. Keuntungan.
d. Shighot (pelafalan transaksi)
e. Dua pelaku transaksi, yaitu pemilik modal dan pengelola. (Ar-
Raudhah karya imam Nawawi (5/117)).
2. Syarat mudharabah
D. HIKMAH MUDHARABAH
Islam mensyariatkan akad kerja sama Mudharabah untuk
memudahkan orang, karena sebagian mereka memiliki harta namun
tidak mampu mengelolanya dan disana ada juga orang yang tidak
memiliki harta namun memiliki kemampuan untuk mengelola dan
mengembangkannya. Maka Syariat membolehkan kerja sama ini agar
mereka bisa saling mengambil manfaat di antara mereka. Pemilik
modal memanfaatkan keahlian Mudhorib (pengelola) dan Mudhorib
memanfaatkan harta dan dengan demikian terwujudlah kerja sama
harta dan amal. Allah tidak mensyariatkan satu akad kecuali untuk
mewujudkan kemaslahatan dan menolak kerusakan. (Lihat Fiqhus
Sunnah, karya Sayyid Sabiq, hlm.221).