Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Mudharabah merupakan wahana utama bagi perbankan
syariah (termasuk BMT) untuk mobilisasi dana masyarakat yang
terserak dalam jumlah besar dan untuk menyediakan berbagai
fasilitas, antara lain fasilitas pembiayaan bagi para pengusaha.
mudharabah merupakan salah satu aqad kerjasama kemitraan
berdasarkan prinsip profit and loss sharing, dilakukan sekurang-
kurangnya oleh dua pihak, dimana pihak pertama memiliki dan
menyediakan modal (shahibul mal), sedangkan pihak kedua
memiliki keahlian (skill) dan bertanggungjawab atas pengelolaan
dana/manajemen usaha halal tertentu disebut mudharib. (Makhalul
Ilmi, Teori dan Praktek Lembaga Mikro Keuangan Syariah,
Yogyakarta: UII Press, 2002, Hal. 32).
Konsep ini terdapat unsur keadilan, di mana tidak ada suatu
pihak yang diuntungkan sementara pihak yang lain dirugikan antara
pemilik dana dan pengelola dana. Distribusi pembagian hasil usaha
hanya didasarkan pada aqad mudharabah, di mana pembagian hasil
usaha didasarkan pada nisbah yang telah disepakati di awal akad.
Apabila terjadi kerugian dan kerugian tersebut merupakan
konsekuensi bisnis (bukan penyelewengan atau keluar dari
kesepakatan) maka pihak penyedia dana akan menanggung
kerugian manakala mudharib akan menanggung kerugian
managerial skill dan waktu serta nisbah keuntungan bagi hasil yang
akan diperolehnya (Muhammad Syafii Antonio, Apa dan Bagaimana
Bank Islam, Yogyakarta: PT. Veresia Grafika, 1992, Hal. 21). Pihak
yang melakukan perhitungan distribusi hasil usaha adalah selalu
mudharib, karena salah satu aturan dalam prinsip mudharabah
mutlaqah pemilik dana memberi kuasa penuh kepada mudharib
untuk mengelola dana untuk mendapatkan hasil usaha (Wiroso,
Penghimpunan Dana dan Distribusi Hasil Usaha Bank Syariah,
Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 2005, Hal. 88 -89).
Kepercayaan ini penting dalam akad mudharabah karena
pemilik dana tidak boleh ikut campur di dalam manajemen proyek
yang dibiayai dengan dana pemilik dana tersebut, kecuali sebatas
memberikan saran-saran dan melakukan pengawasan pada
pengelola dana (Sri Nurhayati Wasilah, Akuntansi Syariah di
Indonesia, Jakarta: Salemba Empat, 2014, Hal. 128).
Oleh karena itu, mudharib sebagai pihak yang diberi amanah
dan dipercaya untuk mengelola usaha hendaknya dapat meneladani
sifat Rasulullah SAW yaitu STAF (siddiq, tabligh, amanah dan
fathonah). Tanpa dilandasi hal tersebut, tidak ada keadilan antara
pemilik dana dan pengelola dana. Kejujuran, keterbukaan, amanah
sangat diperlukan oleh para pengelola bank syariah (termasuk
BMT), terutama yang berkaitan dengan pembagian hasil usaha yang
merupakan karakteristik utana lembaga keuangan syariah (Wiroso,
Penghimpunan Dana dan Distribusi Hasil Usaha Bank Syariah, Hal.
90).

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis menyusun


beberapa rumusan masalah, di antaranya:

1. Apakah yang dimaksud dengan mudharabah, jenis-jenis, dan


dasar hukumnya?
2. Apakah rukun dan syarat mudharabah?
3. Apakah mekanisme dan hukum mudharabah?
4. Apakah hikmahnya mudharabah?
BAB II

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN, JENIS-JENIS, DAN DASAR HUKUM MUDHARABAH

Pembahasan mudharabah dalam Islam akan diurai, sebagai berikut:

1. Definisi Mudharabah
mudharabah atau qiradh merupakan salah satu bentuk
akad syirkah atau perkongsian. Orang Irak menyebut istilah
mudharabah karena setiap pihak yang berakad mengambil
bagian dari keuntungan. Sedangkan orang Hijaz menyebutnya
dengan istilah qiradh yang berarti potongan, karena pemilik
modal memotong hartanya untuk diberikan kepada pihak
pengelola untuk dikelola, kemudian memberikan potongan dari
keuntungan yang diperoleh. Dengan demikian, mudharabah dan
qiradh mempunyai arti yang sama, hanya saja digunakan oleh
dua masyarakat yang berbeda (Neneng Nurhasanah,
mudharabah dalam Teori dan Praktik, Hal. 67).
Secara etimologi kata mudharabah berasal dari kata
dharb, berarti memukul atau berjalan. Pengertian memukul atau
berjalan ini lebih tepatnya adalah proses memukulkan kakinya
dalam menjalan usaha. Secara teknis, al mudharabah adalah
akad kerja sama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama
(shahibul mal) menyediakan modal seluruh (100%) modal,
sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Keuntungan usaha
secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang
dituangkan dalam akad, sedangkan rugi ditanggung oleh pemilik
modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian si pengelola.
Seandainya kerugian itu diakibatkan karena kecurangan atau
kelalaian si pengelola, si pengelola harus bertanggung jawab
atas kerugian tersebut (Muhammad Syafii Antonio, Bank
Syariah Dari Teori dan Praktik, Jakarta: Gema Insani, 2001, Hal.
95).
Secara istilah, mudharabah berarti seorang pemilik modal
menyerahkan modal kepada seorang amil untuk berniaga
dengan modal tersebut, dimana keuntungan dibagi di antara
keduanya dengan porsi bagian sesuai dengan yang
dipersyaratkan dalam akad.
1. Menurut pendapat an-Nawawi di dalam kitab ar-Raudhah
IV/97, al-qiradh, al-muqaradhah, dan al mudharabah adalah
satu makna, yaitu penyerahan harta (modal) terhadap
seseorang untuk diperniagakan, sedangkan keuntungannya
dibagikan di antara mereka (pemodal dan yang diberi
modal). Qiradh bisa juga diambil dari kata muqaradhah yang
berarti al-musaawah (kesamaan), sebab pemilik modal dan
pengusaha memiliki hak yang sama terhadap laba (modal)
terhadap seseorang untuk diperniagakan, sedangkan
keuntungannya dibagikan di antara mereka (pemodal dan
yang diberi modal). Qiradh bisa juga diambil dari kata
muqaradhah yang berarti al-musaawah (kesamaan), sebab
pemilik modal dan pengusaha memiliki hak yang sama
terhadap laba (Neneng Nurhasanah, mudharabah dalam Teori
dan Praktik, Hal. 66).
2. Menurut Sayyid Sabiq, mudharabah adalah akad di antara
dua belah pihak dimana salah satu pihak menyerahkan
modal kepada yang lain untuk berniaga pada modal tersebut
dengan keuntungan dibagi di antara keduanya dengan porsi
sesuai hasil kesepakatan (Yadi Janwari, Lembaga Keuangan
Syariah, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2015, Hal. 59).
3. Menurut Afzalurrahman menyebut mudharabah sebagai
bentuk kemitraan terbatas dan mengartikannya sebagai
suatu kontrak kemitraan (partnership) yang berlandaskan
pada prinsip pembagian hasil dengan cara seseorang
memberikan modalnya kepada pihak lain untuk melakukan
bisnis dan kedua belah pihak membagi keuntungan atau
memikul beban kerugian berdasarkan isi perjanjian bersama.
Dengan kata lain, mudharabah merupakan kemitraan antara
pemilik modal dan pengelola modal yang memiliki
kemampuan usaha dan mengelola pembagian keuntungan
ditetapkan sesuai dengan persentase yang mereka sepakati,
sedangkan seluruh kerugian ditanggung oleh pemilik modal.
Pengelola modal tidak dikenakan beban atas kerugian karena
kerugiannya adalah kehilangan keuntungan atas jasa yang
dia lakukan berupa upah yang seharusnya dia peroleh
(Neneng Nurhasanah, mudharabah dalam Teori dan Praktik,
Hal. 69).
4. Dalam Fatwa al-Azhar disebutkan bahwa yang dimaksud
dengan mudharabah adalah akad yang berserikat dan
pekerjaan dari pihak lain menurut syarat-syarat tertentu.
5. Dalam Fatwa al Muashirah disebutkan bahwa
mudharabah dalam fiqh islam merupakan salah satu jenis
dari syirkah yang di dalamnya ada pokok modal dari satu
pihak dan pekerjaan dari pihak lain. Mekanismenya,
seseorang menyerahkan modal harta kepada pihak lain
untuk diniagakan/dikelola dengan keuntungan yang diperoleh
dibagi di antara keduanya sesuai nisbah yang disepakati
dalam akad.
6. Menurut Sutan Rmy, mudharabah merupakan wahana
utama bagi lembaga keuangan Islam untuk memobilisasi
dana masyarakat dan untuk menyediakan berbagai fasilitas,
antara lain fasilitas pembiayaan dan bagi hasil para
pengusaha. Dalam istilah lain mudharabah biasa juga disebut
dengan qiradh yang artinya memotong (Sutan Rmy
Sjahdeini, Perbankan Islam dan Kedudukannya dalam Tata
Hukum Perbankan Islam, Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti,
1999, Hal. 26).

2. Jenis jenis mudharabah

Secara umum mudharabah ada dua macam, yaitu


mudharabah muthlaqah dan mudharabah muqayyadah (Zainul
Arifin, Dasar-dasar Managemen Bank Syariah, Jakarta: Pustaka
Alfabet, Hal. 234).

a. mudharabah Muthlaqah

mudharabah Muthlaqah adalah bentuk kerjasama


antara Shahibul mal dengan mudharib yang cakupannya
sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha,
waktu, dan daerah bisnis. Dalam pembahasan fiqh, seringkali
dicontohkan dengan ungkapan ifal ma syita (lakukanlah
sesukamu) dari shahibul mal ke mudharib yang memberi
kekuasaan sangat besar (Muhammad Syafii Antonio, Bank
Syariah dari Teori ke Praktik, Hal, 97).

Pembiayaan mudharabah muthlaqah adalah


pembiayaan yang pemilik dana tidak meminta syarat, kecuali
syarat baku, berlakunya kontrak mudharabah. untuk itu,
nisbah dibuat berdasarkan metode expected profit rate (EPR)
yang diperoleh berdasarkan; tingkat keuntungan rata-rata
pada industri sejenis, pertumbuhan ekonomi, dihitung dari
nilai required profit rate (RPR) yang berlaku di Lembaga
Keuangan Syariah yang bersangkutan (Veithzal Rivai dan
Andria Permata, Islamic Financial Management, Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2008, Hal. 135).

Dalam implementasinya bentuk mudharabah


muthlaqah tidak diartikan dengan kebebasan yang tanpa
batas, karena tetap harus memperhatikan syarat-syarat lain
yang diperbolehkan Islam. Kelalaian dan kecurangan yang
mungkin terjadi dari bentuk mudharabah muthlaqah ini
mengharuskan mudharib bertanggung jawab atas
konsekuensi-konsekuensi yang ditimbulkannya. Apabila
terjadi kerugian atas usaha itu, maka kerugian itu tidak
menjadi beban perjanjian mudharabah yang bersangkutan
(Neneng Nurhasanah, mudharabah dalam Teori dan Praktik,
Hal. 78).
b. mudharabah Muqayyadah

mudharabah Muqayyadah adalah akad pembiayaan


mudharabah dimana pemilik dana (shahibul mal)
memberikan batasan kepada pengelola dana (mudharib)
mengenai tempat, cara, dan objek investasi. Shahibul mal
bertindak sebagai agen penyalur dana investor (chanelling
agent) kepada nasabah yang bertindak sebagai pengelola
dana untuk kegiatan usaha dengan persyaratan dan jenis
kegiatan usaha yang ditentukan oleh investor (Muhammad,
Sistem dan Prosedur Operasional Bank Syariah, Yogyakarta:
UII Press, 2000, Hal. 133).

Pada pembiayaan jenis ini pengusaha harus mengikuti


syarat-syarat dan batasan-batasan yang dibuat oleh pemilik
modal. Dengan kata lain, dalam pembiayaan mudharabah
muqayyadah ditentukan line of trade, line of industry, atau
line of service yang akan dikerjakan dan ditentukan dari
siapa barang-barang tersebut akan dibeli (Neneng
Nurhasanah, mudharabah dalam Teori dan Praktik, Hal. 78).

Namun denikian dalam praktiknya perbankan syariah


modern, kini dikenal dua bentuk mudharabah muqayyadah,
yakni yang on balance sheet dan yang if balance
sheet.Dalam mudharabah muqayyadah on balance sheet,
aliran dana terjadi dari satu nasabah investor ke sekelompok
pelaksana usaha dalam beberapa sektor terbatas, misalnya
pertanian, manufaktur, dan jasa. Nasabah investor lainnya
mungkin mensyaratkan dananya hanya boleh dipakai untuk
pembiayaan disekitar pertambangan, properti dan pertanian.
Dalam mudharabah muqayyadah of balance sheet, aliran
dana berasal dari satu nasabah investor kepada satu
nasabah pembiayaan (yang dalam bank konvensional disebut
debitur). Di sini, bank syariah bertindak sebagai arranger
saja (Adiwarman A. Karim, Bank Islam Analisis Fiqh dan
Keuangan Edisi 5, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2014,
Hal. 212-213).

3. Dasar Hukum Mudharabah


Pada dasarnya mudharabah dapat dikategorikan ke dalam
salah satu bentuk musyarakah, namun para cendikiawan fiqh
Islam meletakkan mudharabah dalam posisi yang khusus dan
memberikan landasan hukum yang tersendiri (Muhammad,
Sistem dan Prosedur Operasional Bank Syariah, Hal. 14).
a. Al-Quran
Secara eksplisit, al-Quran tidak menyebutkan
mudharabah sebagai suatu bentuk muamalah yang
diperbolehkan dalam Islam. Secara umum, beberapa ayat
menyiratkan kebolehannya dan para ulama menjadikan
beberapa ayat tersebut sebagai dasar hukum mudharabah
(Neneng Nurhasanah, Mudharabah dalam Teori dan Praktik,
Hal. 71) . Adapun ayat-ayat al-Quran tersebut di antaranya :
1) QS. Al-Maidah (5) Ayat 1
2) QS. An-Nisa (4) Ayat 58
3) QS. Al-Maidah (5) Ayat 90
4) QS. Al-Baqarah (2) Ayat 275
5) QS. Al-Baqarah (2) Ayat 278
6) QS. An-Nisa (4) Ayat 29
7) QS. Al-Muzzammil (73) ayat 20





























20. Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya
kamu berdiri (sembahyang) kurang dari dua pertiga
malam, atau seperdua malam atau sepertiganya dan
(demikian pula) segolongan dari orang-orang yang
bersama kamu. Dan Allah menetapkan ukuran malam
dan siang. Allah mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak
dapat menentukan batas-batas waktu-waktu itu, maka
Dia memberi keringanan kepadamu, karena itu bacalah
apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran. Dia mengetahui
bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit
dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari
sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi
berperang di jalan Allah, maka bacalah apa yang mudah
(bagimu) dari Al Quran dan dirikanlah sembahyang,
tunaikanlah zakat dan berikanlah pinjaman kepada Allah
pinjaman yang baik. Dan kebaikan apa saja yang kamu
perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh
(balasan)nya di sisi Allah sebagai balasan yang paling
baik dan yang paling besar pahalanya. Dan mohonlah
ampunan kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang

Pada ayat tersebut yang menjadi wajhud-dilalah atau


argumen dari surah al-Muzammil :20 adalah adanya kata
yadhribun yang sama dengan akar kata mudharabah
yang berarti melakukan suatu perjalanan usaha
(Muhammad Syafii Antonio, Bank Syariah dari Teori ke
Praktik, Hal. 95).
b. Al-Hadits
Hukum tentang pembiayaan mudharabah juga terdapat
di dalam hadits. Adapun hadits yang menjadi dasar adanya
mudharabah yaitu hadits Ibnu Abbas ra berikut ini :
Adalah Abbas bin Abdul Muthalib, apabila ia
menyerahkan sejumlah harta dalam investasi mudharabah,
maka ia membuat syarat kepada mudharib, agar harta itu
tidak dibawa melewati lautan, tidak menuruni lembah dan
tidak dibelikan kepada binatang. Jika mudharib melanggar
syarat-syarat tersebut, maka ia bertanggung jawab
menanggung resiko. Syarat-syarat yang diajukan Abbas
tersebut sampai kepada Rasulullah SAW., lalu Rasul
membenarkannya. (HR. Ath-Thabrani). (Neneng Nurhasanah,
Mudharabah dalam Teori dan Praktik, Hal. 74-75)
Selain itu, hadits Nabi yang lain menjelaskan sebagai
berikut :
Dari Shalih bin Shuaib r.a. bahwa Rasulullah SAW
bersabda, Tiga hal yang di dalamnya terdapat keberkahan:
jual beli secara tangguh, muqaradhah (mudharabah), dan
mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah
bukan untuk dijual. (HR Ibnu Majah no. 2280, kitab atTijarah)
(Muhammad Syafii Antonio, Bank Syariah dari Teori ke
Praktik, Hal. 96).
c. Ijma
Imam Zailai dalam kitabnya Nasbu ar-Rayah telah
menyatakan bahwa para sahabat telah berkonsensus akan
legitimasi pengolahan harta anak yatim secara mudharabah.
Kesepakatan para sahabat ini sejalan dengan spirit hadits
yang dikutip oleh Abu Ubaid dalam kitabnya alAmwal.
Rasulullah SAW telah berkhotbah di depan kaumnya
seraya berkata wahai para wali Yatim, bergegaslah untuk
menginvestasikan harta amanah yang ada di tanganmu
janganlah didiamkan sehingga termakan oleh zakat.
Indikasi dari hadits ini adalah apabila menginvestasikan
harta anak yatim secara mudharabah sudah dianjurkan,
apalagi mudharabah dalam harta sendiri (Muhammad, Sistem
dan Prosedur Bank Syariah, Hal. 15)
d. Qiyas
Mudharabah diqiyaskan kepada al-musaqah (menyuruh
seseorang untuk mengelola kebun). Selain diantara manusia,
ada yang miskin dan ada pula yang kaya. Di satu sisi, banyak
orang kaya yang tidak dapat mengusahakan hartanya. Disisi
lain, tidak sedikit orang miskin yang mau bekerja, tetapi tidak
memiliki modal. Dengan demikian, adanya mudharabah
ditujukan antara lain untuk memenuhi kebutuhan kedua
golongan di atas, yakni untuk kemaslahatan umat manusia
(Rachmat Syafei, Fiqh Muamalah,Bandung: Pustaka Setia,
2001, Hal. 44).
Dari penjelasan Al-Quran, Sunnah, Ijma dan Qiyas diatas
dapat disimpulkan bahwa mudharabah pun dianjurkan dan
diperbolehkan dalam Islam.

B. RUKUN DAN SYARAT MUDHARABAH

1. Rukun Murabahah
Imam An-Nawawi menyebutkan bahwa
mudharabah memiliki lima rukun:
a. Modal.
b. Jenis usaha.
c. Keuntungan.
d. Shighot (pelafalan transaksi)
e. Dua pelaku transaksi, yaitu pemilik modal dan pengelola. (Ar-
Raudhah karya imam Nawawi (5/117)).

2. Syarat mudharabah

Sedangkan syarat-syarat dalam mudharabah ialah


sebagaimana berikut:

a. Penyedia dana (sahibul maal) dan pengelola (mudharib)


harus cakap hukum.
Dari Hakim bin Hizam, sahabat Rasulullah, bahwa
Beliau pernah mempersyaratkan atas orang yang Beliau beri
modal untuk dikembangkan dengan bagi hasil (dengan
berkata), Janganlah engkau menempatkan hartaku ini pada
binatang yang bernyawa, jangan engkau bawa ia ke tengah
lautan, dan jangan (pula) engkau letakkan ia di lembah yang
rawan banjir; jika engkau melanggar salah satu dari larangan
tersebut, maka engkau harus mengganti hartaku. (Shahih
Isnad: Irwa-ul Ghalil V: 293, Ad-Daruquthni II: 63 no: 242, Al-
Baihaqi VI: 111)
b. Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak
untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan
kontrak (akad), dengan memperhatikan hal-hal berikut:
1) Penawaran dan penerimaan harus secara eksplisit
menunjukkan tujuan kontrak (akad).
2) Penerimaan dari penawaran dilakukan pada saat kontrak
3) Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi,
atau dengan menggunakan cara-cara komunikasi
modern.
c. Modal ialah sejumlah uang dan/atau aset yang diberikan oleh
penyedia dana kepada pengelola (mudharib) untuk tujuan
usaha dengan syarat sebagai berikut
1) Modal harus diketahui jumlah dan jenisnya.
2) Modal dapat berbentuk uang atau barang yang dinilai.
Jika modal diberikan dalam bentuk aset, maka aset
tersebut harus dinilai pada waktu akad.
3) Modal tidak dapat berbentuk piutang dan harus
dibayarkan kepada mudharib (pengelola modal), baik
secara bertahap maupun tidak, sesuai dengan
kesepakatan dalam akad.
d. Keuntungan mudharabah adalah jumlah yang didapat
sebagai kelebihan dari modal. Syarat keuntungan berikut ini
harus dipenuhi:
1) Harus diperuntukkan bagi kedua pihak dan tidak boleh
disyaratkan hanya untuk satu pihak.
2) Bagian keuntungan proporsional bagi setiap pihak harus
diketahui dan dinyatakan pada waktu kontrak disepakati
dan harus dalam bentuk prosentasi (nisbah) dari
keuntungan sesuai kesepakatan. Perubahan nisbah harus
berdasarkan kesepakatan.
3) Penyedia dana menanggung semua kerugian akibat dari
mudharabah, dan pengelola tidak boleh menanggung
kerugian apapun kecuali diakibatkan dari kesalahan
disengaja, kelalaian, atau pelanggaran kesepakatan.
e. Kegiatan usaha oleh pengelola (mudharib), sebagai
perimbangan modal yang disediakan oleh penyedia dana,
harus memperhatikan hal-hal berikut:
1) Kegiatan usaha adalah hak eksklusif pengelola
(mudharib), tanpa campur tangan penyedia dana, tetapi
ia mempunyai hak untuk melakukan pengawasan.
2) Penyedia dana tidak boleh mempersempit tindakan
pengelola sedemikian rupa yang dapat menghalangi
tercapainya tujuan mudharabah, yaitu keuntungan.
3) Pengelola tidak boleh menyalahi hukum Syariah Islam
dalam tindakannya yang berhubungan dengan
mudharabah,dan harus mematuhi kebiasaan yang
berlaku dalam aktivitas itu. (Sumber :
http://www.mui.or.id)

C. MEKANISAME DAN HUKUM MUDHARABAH

Prinsip bagi hasil (profit sharing) merupakan karakteristik umum


dan landasan dasar operasional bank Islam secara keseluruhan.
Secara syariah, prinsipnya berdasarkan kaidah al-mudharabah.
berdasarkan prinsip ini, bank Islam akan berfungsi sebagai mitra,
baik dengan penabung maupun dengan pengusaha yang meminjam
dana (Muhammad Syafii Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik,
Hal. 137).

Mudharabah hukumnya boleh, baik secara mutlak


maupun muqayyad (terikat/bersyarat), dan pihak pengelola modal
tidak mesti menanggung kerugian kecuali karena sikapnya yang
melampaui batas dan menyimpang. Ibnul Mundzir menegaskan,
Para ulama sepakat bahwa jika pemilik modal melarang pengelola
modal melakukan jual beli secara kredit, lalu ia melakukan jual beli
secara kredit, maka ia harus menanggung resikonya. (al-Ijma hal.
125, dinukil dari Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil Aziz, karya
Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi, hal.359)

1. Teori Bagi Hasil dalam Mudharabah


Bagi hasil menurut terminologi asing (Inggris) dikenal dengan
profit sharing. Profit sharing dalam kamus ekonomi diartikan
pembagian laba. Secara definisi profit sharing diartikan distribusi
beberapa bagian dari laba pada pegawai dari suatu perusahaan.
Lebih jelasnya dikatakan bahwa hal ini dapat berbentuk suatu
bonus uang tunai tahunan yang didasarkan pada laba yang
diperoleh pada tahun-tahun sebelumnya, atau dapat berbentuk
pembayaran mingguan atau bulanan (Muhammad Syafii Antonio,
Bank Syariah Suatu Pengenalan Umum, Jakarta: Tazkia Institut,
1999, Hal. 26).
Pembagian hasil pada anggota yang memiliki jenis simpanan
atau pemberi pinjaman adalah didasarkan kepada hasil usaha riil
yang diterima bank. Umumnya ditentukan berdasarkan nisbah
yaitu rasio keuntungan antara shahibul mal dengan mudharib
atau pemberi pinjaman terhadap hasil riil usahanya (Nur
Syamsudin Buchori, Koperasi Syariah Teori dan Praktek,
Tangerang: Pustaka Aufa Media Press, 2012, Hal. 71).
Keuntungan yang dibagihasilkan harus secara proporsional
antara shahibul mal dengan mudharib. Dengan demikian, semua
pengeluaran rutin yang berkaitan dengan bisnis mudharabah,
bukan untuk kepentingan pribadi mudharib, dapat dimasukkan ke
dalam biaya operasional. Keuntungan bersih harus dibagi antara
shahibul mal dan mudharib sesuai dengan proporsi yang
disepakati sebelumnya dan secara eksplisit jelas disebutkan
dalam perjanjian awal. Tidak ada pembagian laba sampai semua
kerugian ditutup dan modal shahibul mal telah dibayar kembali.
Jika ada pembagian keuntungan sebelum habis masa perjanjian
akan dianggap sebagai pembagian keuntungan di muka
(Muhammad Syafii Antonio, Bank Syariah Suatu Pengenalan
Umum, Hal. 26).
Kerugian dalam mudharabah ini mutlak menjadi tanggung
jawab pemilik modal . Dengan catatan, pihak pengelola tidak
melakukan kelalaian dan kesalahan prosedur dalam menjalankan
usaha yang telah disepakati syarat-syaratnya. Kerugian pihak
pengelola adalah dari sisi tenaga dan waktu yang telah
dikeluarkannya tanpa mendapat keuntungan. Ini adalah perkara
yang telah disepakati oleh para ulama, seperti yang telah
ditegaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu
Fatawa (XXX/82).
Menurut Umar Chapra, prinsip umum dalam mudharabah
disini adalah bahwa shahibul mal hanya menanggung resiko
modal (resiko finansial), sedangkan mudharib hanya menanggung
resiko waktu dan usahanya (resiko non finansial). Inilah alasan
mengapa mudharabah terkadang disebut sebagai kemitraan
dalam laba atau partner in profit. Dalam mudharabah, asas
keseimbangan dan keadilan terletak pada pembagian kerugian
diantara pihak-pihak yang berakad. Disinilah bedanya
mudharabah dengan pinjaman kredit di bank konvensional yang
menjamin keselamatan uang/harta yang dikelolanya (Neneng
Nurhasanah, Mudharabah dalam Teori ke Praktik, Hal. 79-80).
Usaha Mudharabah dapat dibatasi waktunya dan dibatalkan
oleh salah satu pihak dari pemilik modal maupun pengelola
modal. Karena tidak ada syarat keberlangsungan terus menerus
dalam transaksi usaha semacam ini. Masing-masing pihak bisa
membatalkan transaksi kapan saja dia mau.
Al-Kasani berkata: Sekiranya seseorang menerima modal
untuk usaha mudharabah selama satu tahun, maka menurut
pandangan kami hal itu hukumnya boleh. (Bada-iu Ash-Shana-
i VIII/3633)
Ibnu Qudamah berkata: Boleh membatasi waktu
mudharabah seperti mengatakan, Aku memberimu modal sekian
dirham agar kamu mengelolanya selama satu tahun. Bila sudah
berakhir waktunya maka kamu tidak boleh membeli atau
menjual. (Al-Mughni V/69).
2. Syarat Keuntungan Bagi Hasil
Keuntungan mudharabah adalah sejumlah yang didapat
sebagai kelebihan dari modal. Adapun syarat keuntungan yang
harus dipenuhi adalah sebagai berikut:
a. Harus diperuntukkan bagi kedua belah pihak dan tidak boleh
disyaratkan hanya untuk satu pihak.
b. Bagian keuntungan proporsional bagi setiap pihak harus
diketahui dan dinyatakan pada waktu kontrak yang telah
disepakati dan harus dalam bentuk prosentase bagi hasil dari
keuntungan sesuai kesepakatan.
c. Apabila ada perubahan bagi hasil di perjalanan kontrak, maka
harus berdasarkan kesepakatan bersama antara shahibul mal
dan mudharib.
d. Penyedia dana menanggung semua kerugian akibat dari
mudharabah, dan pengelola tidak boleh menanggung kerugian
apapun kecuali diakibatkan dari kesalahan yang disengaja,
kelalaian, atau pelanggaran kesepakatan (Fatwa Dewan
Syariah Nasional No.07/DSN-MUI/IV/2000, Hal. 4).

D. HIKMAH MUDHARABAH
Islam mensyariatkan akad kerja sama Mudharabah untuk
memudahkan orang, karena sebagian mereka memiliki harta namun
tidak mampu mengelolanya dan disana ada juga orang yang tidak
memiliki harta namun memiliki kemampuan untuk mengelola dan
mengembangkannya. Maka Syariat membolehkan kerja sama ini agar
mereka bisa saling mengambil manfaat di antara mereka. Pemilik
modal memanfaatkan keahlian Mudhorib (pengelola) dan Mudhorib
memanfaatkan harta dan dengan demikian terwujudlah kerja sama
harta dan amal. Allah tidak mensyariatkan satu akad kecuali untuk
mewujudkan kemaslahatan dan menolak kerusakan. (Lihat Fiqhus
Sunnah, karya Sayyid Sabiq, hlm.221).

Anda mungkin juga menyukai