Anda di halaman 1dari 2

https://www.tempo.

co/read/kolom/2011/06/08/393/mengapa-indonesia-harus-melarang-
iklan-rokok
Mengapa Indonesia Harus Melarang Iklan Rokok
Rabu, 08 Juni 2011 | 09:22 WIB
TEMPO Interaktif, ORANG sudah banyak tahu bahwa merokok bisa membunuh mereka. Ba
dan Kesehatan Dunia (WHO/World Health Organization) menyebutkan kematian satu di
antara sepuluh orang dewasa sekarang ini dapat dipastikan berkaitan dengan roko
k. Di Indonesia, pada 2001 saja, lebih dari 48 orang meninggal setiap jam karena
penyakit yang terkait dengan kebiasaan merokok (Soewarta Kosen, 2004).
Yang tidak banyak diketahui orang, angka kematian terkait dengan rokok justru me
ningkat lebih cepat di negara-negara miskin dan berkembang, misalnya di Indonesi
a. Pada 2020, diprediksi 70 persen kematian terkait dengan rokok bakal terjadi d
i negara berkembang. Kondisi ini makin parah karena saat ini 76 persen pasar rok
ok dunia adalah negara-negara miskin dan berkembang--lagi-lagi termasuk Indonesi
a. Tanpa upaya sungguh-sungguh, angka kematian akibat rokok ini tentu bakal teru
s meningkat setiap tahun.
Di tengah berbagai fakta ilmiah soal dampak buruk rokok terhadap kesehatan, indu
stri rokok tentu tak tinggal diam. Mereka berusaha mati-matian mempertahankan ko
nsumennya. Cara yang paling sederhana adalah mencegah para perokok berhenti mero
kok dan merekrut perokok baru sebagai perokok pengganti di masa depan.
Lahirnya generasi perokok baru sangatlah penting buat industri tembakau karena m
erekalah yang bisa menjaga industri itu tetap sukses mendulang profit dari masa
ke masa. Sebuah memo internal industri rokok yang sudah dibuka kepada publik di
Amerika Serikat menyebutkan, Jika para remaja tidak merokok, maka industri akan b
angkrut sebagaimana sebuah masyarakat yang tidak melahirkan generasi penerus aka
n punah. (RJ. Reynolds Tobacco Company Memo Internal, 29 Februari 1984).
Upaya industri rokok menggaet perokok baru, terutama di Indonesia, sepertinya cu
kup berhasil. Data hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2007 menunjuk
kan peningkatan jumlah perokok remaja, baik laki-laki maupun perempuan. Jumlah p
erokok remaja laki-laki berusia 15-19 tahun sudah naik tiga kali lipat pada 2007
dibanding 12 tahun sebelumnya. Jumlah perokok remaja perempuan bahkan melonjak
sampai lima kali lipat. Peningkatan jumlah perokok remaja ini salah satunya dise
babkan oleh gencarnya iklan rokok di pelbagai media.
Iklan memang satu media yang efektif menularkan kebiasaan merokok di kalangan re
maja. Ibarat penyakit, seseorang harus terpajan dahulu oleh kuman penyebab penya
kit --yang dibawa oleh media penularan. Semakin sering seseorang terpajan rokok
melalui media yang efektif dan mudah dicapai, semakin mudah pula kebiasaan merok
ok ditularkan. Sebuah penelitian yang dilakukan Universitas Hamka Jakarta dan Ko
mnas Perlindungan Anak belum lama ini menunjukkan 99,7 persen remaja pernah meli
hat iklan rokok di televisi, 86,7 persen pernah melihat iklan rokok di media lua
r ruang, dan setidaknya 81 persen pernah menghadiri kegiatan yang diselenggaraka
n atau disponsori industri rokok.
Kekuatan iklan rokok makin berlipat karena umumnya iklan produk ini memiliki vis
ual yang bagus yang sangat menarik untuk dilihat. Pesan-pesan yang mereka sampai
kan menekankan pada aspek rasa, sehingga lebih mudah menyentuh dan menggerakkan
penonton. Iklan rokok menampilkan perokok sebagai sosok yang keren, percaya diri
, setia kawan, kreatif, dan berani. Semuanya klop dengan citra diri yang diingin
kan para remaja.
Remaja yang sedang berjuang mencari dan mewujudkan jati diri mereka, secara tak
langsung, dibantu menemukan identitas mereka melalui perilaku merokok. Melihat ikl
an rokok, remaja diyakinkan bahwa citra diri yang mereka inginkan dapat terfasil
itasi melalui merokok. Setelah itu, tinggal menunggu nikotin bekerja, menciptaka
n kecanduan dan ketergantungan. Apa yang dapat kita lakukan untuk mencegah para
remaja terperosok akibat serbuan iklan rokok?
Pada dasarnya ada dua hal yang dapat kita lakukan dalam kaitan dengan iklan roko
k. Pertama, melarang total iklan dan sponsorship rokok. Dan kedua, membuat iklan
antirokok sebagai sebuah wawasan tandingan. Langkah pertama, yaitu pelarangan i
klan rokok, senada dengan tema peringatan Hari Tanpa Tembakau Sedunia tahun ini.
Perayaan 2011 ini memang menekankan pentingnya Indonesia meratifikasi WHO Framew
ork Convention on Tobacco Control , yang diharapkan bakal jadi titik penentu keber
hasilan pengendalian tembakau di Indonesia.
Salah satu poin langkah-langkah pengendalian tembakau dalam Framework Convention
on Tobacco Control adalah pelarangan total iklan dan sponsorship oleh perusahaan
rokok di media massa maupun di ruang-ruang publik. Meski Indonesia belum menanda
tangani konvensi ini, sejumlah daerah sudah mendahului. Kota Padang Panjang, Sum
atera Barat, misalnya, berhasil menerapkan peraturan daerah yang melarang iklan
dan sponsorship rokok di mana pun di kota itu. Tak hanya itu, tahun ini Komisi P
enyiaran Indonesia juga mengimbau stasiun-stasiun televisi untuk tidak menayangk
an iklan rokok pada Hari Tanpa Tembakau Sedunia.
Langkah yang kedua adalah membuat iklan antirokok untuk mengkampanyekan budaya t
idak merokok. Ini penting karena Indonesia tampaknya belum akan meratifikasi FCT
C dalam waktu dekat. Itu berarti pelarangan iklan rokok belum akan terjadi, seti
daknya tahun ini. Karena itu, dibutuhkan sebuah wacana tandingan untuk melawan p
esan merokok itu keren di kalangan anak muda.
Masalahnya, sampai saat ini upaya membuat wacana tandingan berupa iklan antimero
kok ini masih jalan di tempat. Ada, memang, beberapa iklan pengendalian tembakau
, namun nyaris semua tidak mengena. Kebanyakan masih menyerang perokok. Upaya mela
ncarkan serangan ofensif terus-menerus dengan berbagai data dan fakta ini tak ef
ektif, karena cenderung menyasar aspek rasio dari remaja. Terpaan informasinya m
asih menyentuh otak, belum sampai pada aspek rasa , apalagi pembentukan citra diri
remaja.
Iklan antirokok seharusnya bisa menyentuh aspek rasa remaja dengan meyakinkan mere
ka bahwa anak muda bisa tetap keren, gaul, berani, dan setia kawan tanpa harus m
erokok. Misalnya saja, iklan atlet sepak bola macam Kim Kurniawan, diiklankan se
dang mengegolkan bola, lalu berseru, Hidupku asyik tanpa rokok. Atau penulis novel
Dewi Lestari digambarkan tengah membaca puisi, lalu berujar, Bisa kreatif, tak p
erlu rokok.
Tanpa iklan pengendalian tembakau yang cerdas dan pesannya mengena, mustahil men
galahkan derasnya godaan iklan-iklan rokok di media kita. Kalau perubahan strate
gi komunikasi ini tak segera dilakukan, sulit membayangkan remaja kita meninggal
kan rokok sebagai bagian dari pencitraan dirinya.

Anda mungkin juga menyukai