Pembimbing :
dr. Hardjono Purwadi, Sp.OG
Disusun Oleh:
2016
HALAMAN PENGESAHAN
Disusun Oleh :
Mengetahui,
Dokter Pembimbing,
PENDAHULUAN
1. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. DA
Usia : 24 tahun
Pendidikan : SMA
Agama : Islam
Suku/bangsa : Jawa
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Alamat : Belik 03/07 Belik Pemalang Jawa Tengah
Tanggal/Jam Masuk : 24 Juni 2016/Pukul 17.15 WIB
4. Diagnosis di IGD
Gravida 2 Para 1 Abortus 0 usia 25 tahun hamil 35 minggu 2 hari, janin hidup
intrauterina letak lintang, belum dalam persalinan, dengan hidramnion,
anencephal dan riwayat sectio caesarea empat tahun yang lalu
11
Tabel 2.3. Pantauan Perkembangan Penyakit dan Terapi di Ruang Flamboyan
Tanggal S+O+A P
25 Juni S : tidak ada keluhan - Inf. RL 20tpm
2016 O : KU sedang, CM - Inj. Ceftriakson 2x1 gr
06.30 TD: 110/80 mmHg ; N: 82 x/m, RR: 22 - Drip metronidazole
x/m S: 36 C 2x500mg
A : G2P1A0 usia 25 thn hamil 34+2 mgg - Inj. Vit. C 2x1
janin hidup tunggal intrauterin, belum - Drip Vit B Kompleks 2x1
dalam persalinan, dengan hidramnion, - Sulfas Ferosus 1x300mg
letak lintang, anencephaly, dan riwayat SC - PO Metformin 2x500mg
4 tahun yll
26 Juni S : tidak ada keluhan Terapi lanjut
2016 O : KU sedang, CM
08.30 TD: 120/80 mmHg ; N: 86 x/m, RR: 20
x/m S: 36.5 C
A : G2P1A0 usia 25 thn hamil 34+2 mgg
janin hidup tunggal intrauterin, belum
dalam persalinan, dengan hidramnion,
letak lintang, anencephaly, dan riwayat SC
4 tahun yll
27 Juni S : Nyeri bekas operasi +, mual (+), pusing Terapi lanjut tunggu operasi
2016 (-), nyeri ulu hati (-), pandangan kabur (+) untuk SCTP+IUD
05.45 O : KU sedang, CM
TD: 110/70 mmHg ; N: 88 x/m, RR: 20
x/m S: 36.3 C
A : G2P1A0 usia 25 thn hamil 34+2 mgg
janin hidup tunggal intrauterin, belum
dalam persalinan, dengan hidramnion,
letak lintang, anencephaly, dan riwayat SC
4 tahun yll
08.15 Berlangsung SCTP+IUD di OK IBS.
sampai Lahir bayi pada pukul 08.43 dengan jenis
dengan kelamin ambigous, BB: 850gr, a/s: 1-0-0,
09.10 pada pukul 08.53 HR = 0, RR = 0, bayi
dinyatakan meninggal.
28 Juni S : Nyeri bekas operasi (+), BAB (-), BAK - Aff infus dan DC
2016 (+), Flatus (+) - Klindamisin tab 1x300mg
05.09 O : KU sedang, CM - Sulas ferosus 1x200mg
TD: 100/70 mmHg ; N: 72 x/m, RR: 20 - Asam Mefenamat tab
x/m S: 36 C 3x500mg
TFU: 2 jari dibawah pusat - Metformin tab 2x500mg
A : P2A0 usia 25 post SCTP+IUD a.i letak - Acetylcystein tab 2x500mg
lintang dengan hidramnion, anencephaly
dan riwayat SC 4 tahun yll. H+1
29 Juni S:Nyeri bekas operasi berkurang, BAB (-), Mobilisasi dan boleh pulang
2016 BAK (+), Flatus (+)
11.00 O : KU sedang, CM
12
TD: 100/70 mmHg ; N: 86 x/m, RR: 20
x/m S: 36.1 C
TFU: 2 jari dibawah pusat
A : P2A0 usia 25 post SCTP+IUD a.i letak
lintang dengan hidramnion, anencephaly
dan riwayat SC 4 tahun yll. H+2
6. Diagnosis Akhir
Para 2 Abortus 0 usia 25 post sectio caesarea trans peritoneal dan
pemasangan intra uterine device atas indikasi letak lintang dengan
hidramnion, anencephaly, dan riwayat sectio caesarea empat tahun yang lalu
13
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
b. Etiologi
Posisi melintang sering disebabkan oleh beberapa kondisi seperti
berikut (Sofian, 2011; Cunningham, 2014):
1. Relaksasi dinding abdomen pada paritas tinggi
Dinding abdomen akan teregang secara berlebihan pada
kehamilan dengan paritas tinggi. Relaksasi dinding abdomen yang
terjadi memungkinkan uterus untuk jatuh ke depan. Hal ini
mengakibatkan defleksi sumbu panjang janin menjauhi sumbu jalan
lahir, sehingga terjadi posisi oblik atau melintang. Perempuan yang
pernah melahirkan empat kali atau lebih, memiliki risiko sepuluh kali
lipat untuk terjadinya posisi melintang dibandingkan dengan nulipara.
2. Janin prematur
Letak janin belum menetap pada janin prematur, sehingga
perputaran yang terjadi dapat menyebabkan letak melintang.
3. Plasenta previa
Penelitian Oyinloye tahun 2010 menyebutkan plasenta previa
menjadi faktor predisposisi utama dari 35,7% kasus letak lintang yang
menetap hingga usia aterm, sebab dengan adanya implantasi plasenta
14
yang abnormal di jalan lahir membuat sumbu panjang janin menjauhi
sumbu jalan lahir.
4. Abnormalitas uterus
Bentuk uterus yang tidak normal seperti arkuatus, bikornus
atau septum dapat menyebabkan janin tidak dapat masuk ke dalam
panggul, sehingga sumbu panjang janin akan menjauhi sumbu jalan
lahir dan menyebabkan letak melintang.
5. Panggul sempit
Bentuk panggul yang sempit mengakibatkan bagian presentasi
tidak dapat masuk ke dalam panggul sehingga dapat mengakibatkan
sumbu panjang janin menjauhi sumbu jalan lahir.
6. Hidramnion
7. Hidrosefalus dan anensefalus
8. Tumor pelvis
9. Kehamilan ganda
c. Penegakkan Diagnosis
Posisi melintang biasanya mudah dikenali melalui inspeksi saat
pemeriksaan. Abdomen tampak lebar dan membuncit ke arah samping.
Pada pemeriksaan abdomen dengan palpasi perasat Leopold akan
ditemukan (Sofian, 2011; Cunningham, 2014):
1. Leopold I
Pada fundus uteri hanya sedikit meluas diatas umbilicus dan
tidak ada kutub janin yang terdeteksi. Ukuran fundus uteri akan lebih
rendah dari usia kehamilan seharusnya.
2. Leopold II
Palpasi akan teraba kepala (ballottement) di bagian kanan atau
kiri. Kepala dapat ditemukan pada salah satu fossa iliaca dan bokong
pada fossa lainnya. Penilaian DJJ dilakukan setinggi pusat kanan atau
kiri.
3. Leopold III dan IV
15
Pada palpasi ini tidak ditemukan bagian janin, kecuali pada
saat persalinan berlangsung. Bagian bawah akan teraba kosong,
kecuali jika bahu sudah masuk ke dalam pintu atas panggul. Posisi
punggung dapat mudah diketahui. Jika punggung berada di anterior,
bidang resistensi keras membentang melintang di bagian depan
abdomen. Jika posisi punggung posterior, nodulasi tidak teratur yang
menandakan bagian-bagian kecil janin akan teraba melalui dinding
abdomen.
16
terlebih dahulu) ke dalam vagina dan vulva. Untuk menentukan
tangan kanan atau kiri, dapat dipastikan dengan cara bersalaman.
Oyinloye (2010) menyebutkan pemeriksaan selanjutnya yang dapat
dilakukan untuk menegakkan diagnosis yaitu melalui pemeriksaan USG
(ultrasonography). USG sudah terbukti lebih baik dalam mendeteksi
presentasi janin dalam kandungan jika dicurigai abnormal dibandingkan
palpasi manual.
d. Penatalaksanaan
Anak normal cukup bulan tidak mungkin lahir spontan pada letak
lintang. Janin hanya dapat lahir spontan bila kecil (prematur), sudah mati
dan menjadi lembek, atau bila panggul luas. Berikut beberapa cara yang
dilakukan untuk kelahiran spontan pada letak lintang (Sofian, 2011):
1. Evolution spontanea
a. Menurut Denman
Setelah bahu lahir, kemudian diikuti oleh bokong, perut, dada, dan
akhirnya kepala.
b. Menurut Douglas
17
Bahu diikuti oleh dada, perut, bokong, dan akhirnya kepala.
2. Conduplicatio corpore
Kepala dan perut berlipat bersama dan lahir memasuki
panggul. Terkadang oleh karena adanya his, letak lintang berubah
spontan mengambil bangun semula dari uterus dan menjadi letak
membujur (kepala atau bokong), namun hal ini jarang terjadi. Jika
letak lintang dibiarkan, maka bahu akan masuk kedalam panggul,
turun semakin lama maka rongga panggul terisi seluruhnya oleh badan
janin. Bagian korpus uteri mengecil, sedangkan segmen bawah rahim
meregang. Hal ini yang disebut dengan kondisi letak lintang kasep
(neglected transverse lie). Bila tidak cepat diberi penanganan, maka
akan terjadi rupture uteri dan sebagia janin atau seluruhnya masuk ke
dalam rongga perut.
Persalinan aktif pada wanita dengan janin posisi melintang
biasanya merupakan indikasi untuk pelahiran caesar. Hal ini didukung
dengan penelitian Udo tahun 2013 yang menyebutkan bahwa pelahiran
caesar merupakan penanganan yang tepat untuk janin tunggal letak
lintang. Sebelum persalinan atau pada awal persalinan dengan membran
ketuban intak, usaha versi eksternal dapat dilakukan. Versi eksternal yang
dimaksud merupakan suatu prosedur mengubah presentasi janin dengan
melakukan manipulasi fisik pada dinding abdomen untuk mengubah letak
lintang menjadi presentasi memanjang. Jika kepala janin dapat di
manuver melalui manipulasi abdomen ke dalam pelvis, kepala harus tetap
berada disana selama beberapa kontraksi selanjutnya dalam usaha untuk
memperbaiki kepala dalam panggul (Cunningham, 2014). Jika versi
eksternal yang dilakukan gagal, maka janin harus segera dilahirkan
melalui tindakan caesar (Norwitz, 2013).
Posisi kepala maupun kaki pada janin letak lintang tidak berada
pada segmen bawah uterus, sehingga pelahiran caesar dilakukan melalui
insisi melintang rendah ke dalam uterus akan menyulitkan ekstraksi janin,
seperti misalnya pada presentasi dorsoanterior. Dengan demikian,
biasanya insisi yang dilakukan adalah insisi vertikal (Cunningham, 2014).
18
e. Komplikasi
Letak melintang mempersulit sekitar 0,5% dari kelahiran, dan
dapat menyebabkan kondisi letak lintang kasep (neglected transverse lie)
atau dampak presentasi bahu jika manajemen persalinan tidak berhasil.
Terdapatnya letak lintang kasep (neglected transverse lie) yang berpotensi
meningkatkan kematian perinatal dapat diketahui bila ada ruptur uteri
mengancam, dan bila tangan yang di masukan kedalam kavum uteri
terjepit antara janin dan panggul serta dengan narkosa yang dalam tetap
sulit mengubah letak janin. Kondisi tersebut memberikan kontribusi
dalam peningkatan morbiditas maternal dan mortalitas perinatal. Dampak
presentasi bahu cenderung lebih sering terjadi pada negara-negara
berpenghasilan rendah, di mana penggunaan tenaga persalinan terlatih
oleh ibu melahirkan masih terbatas (Okonofua, 2009).
Komplikasi yang dapat terjadi pada letak lintang yaitu terjadinya
ruptur uteri dan traumatik uteri serta infeksi maternal. Meningkatnya
kematian maternal disebabkan karena letak lintang biasanya selalu
disertai dengan kondisi lain seperti plasenta previa, kemungkinan terjadi
cedera tali pusat dan sepsis jika ketuban pecah atau lengan menumbung
melalui vagina. Pada janin, angka kematian tinggi (25 - 40%) terjadi pada
komplikasi prolaps funiculi dan asfiksia karena gangguan sirkulasi
uteroplasental (Sofian, 2011; Mochtar, 2002).
f. Prognosis
Meskipun terdapat cara untuk mengubah letak lintang menjadi
presentasi kepala, namun kelainan-kelainan yang menyebabkan letak
lintang, seperti misalnya panggul sempit, tumor panggul dan plasenta
previa masih tetap dapat menimbulkan kesulitan pada persalinan.
Persalinan letak lintang menjadi penyulit baik terhadap ibu maupun
janinnya. Prognosis pada kehamilan letak lintang sangat dipengaruhi oleh
riwayat pemeriksaan kehamilan, kecepatan dan ketepatan saat
menegakkan diagnosa dan ketersediaan sarana kesehatan. Semakin lambat
diagnosa letak lintang ditegakkan, maka kemungkinan bayi tetap dalam
19
posisi lintang pada saat persalinan akan semakin besar (Martohoesodo,
2005).
3.2 Hidramnion
a. Definisi
Hidramnion atau polihidramnion adalah peningkatan abnormal dari
volume cairan amnion, dan mempersulit 1 sampai 2 persen kehamilan.
Hidramnion dapat dicurigai keberadaannya jika ukuran uterus melebihi
yang diharapkan untuk usia kehamilan. Uterus akan terasa tegang dan
meraba bagian-bagian kecil janin atau auskultasi denyut jantung janin
akan menjadi lebih sulit (Cunningham et al, 2014). Secara singkat
hidramnion adalah peningkatan volume cairan amnion, di atas 95
persentil, atau pool terdalam lebih dari 8 cm (Moore et al, 2010).
Normalnya volume cairan amnion berkisar sekitar 500-1500 ml dan jika
banyak maka disebut hidramnion. Secara klinis dua liter dianggap sebagai
banyak (Hanretty, 2010).
20
bervariasi dan disesuaikan dalam kebanyakan kasus dengan penyebab
yang mendasari (Cunningham et al., 2014).
Selain itu manajemen diabetes gestasional yang kurang maksimal
dikaitkan dengan terjadinya makrosomia dan polihidramnion tetapi
patogenesisnya belum jelas. Penjelasan yang mungkin adalah
hiperglikemia janin mengakibatkan peningkatan diuresis osmotik yang
kemudian menyebabkan janin menjadi poliuria. Teori ini didukung oleh
bukti hubungan yang kuat dengan nilai-nilai yang tinggi dari HBA1c
dalam kasus-kasus polihidramnion. Menurut AWMF S3-Guidline,
polihidramnion dapat menjadi indikasi terjadinya fetopathy diabetogenic.
Namun, karena rentan volume cairan ketuban yang terlalu luas,
polihidramnion tidak memainkan peran penting dalam memantau diabetes
dalam kehamilan. Prevalensi polihidramnion pada kasus ibu dengan
diabetes mellitus adalah 18,8% (Hamza et al., 2013). Kelebihan cairan
amnion dikaitkan dengan kelainan janin, terutama anencephaly, spina
bifida, atresia esofagus, hydrops fetalis dan kembar monozigot.
Hemangioma plasenta jarang ditemukan pada kasus hidramnion (Hanretty,
2010).
c. Patogenesis
Konsentrasi glukosa pada cairan amnion lebih tinggi pada wanita
dengan diabetes dibanding mereka yang tanpa diabetes, dan indeks cairan
amnion dapat berkorelasi dengan konstentrasi glukosa amnion. Beberapa
penelitian mendukung hipotesis bahwa ibu yang hiperglikemia
menyebabkan hiperglikemia janin sehingga mengakibatkan diuresis
osmotik janin ke dalam kompartemen cairan amnion (Cunningham et al.,
2014).
Berbagai anomali dapat ditemukan dalam kondisi hidramnion, dan
beberapa lebih khas terkait dengan itu daripada yang lainnya. Kelainan
sistem saraf pusat yang parah, seperti anencephaly, hydranencephaly, atau
holoprosencephaly dapat mengakibatkan hidramnion karena menyebabkan
janin tidak bisa menelan. Gangguan neuromuskular janin seperti distrofi
21
miotonik juga dapat menyebabkan volume cairan amnion menjadi
berlebihan. Obstruksi saluran gastrointestinal bagian atas janin, atresi
esofagus atau duodenum atresia sering dikaitkan dengan hidramnion.
Penyebab obstruktif lainnya adalah facial cleft, micrognathia, obstruksi
jalan napas, dan massa leher janin. (Cunningham et al., 2014).
Abnormalitas torakis janin yang berat, seperti hernia diafragma dan
malformasi adenomatoid kistik terkait juga dengan hidramnion akibat
perubahan mediastinum dan gangguan menelan, sehingga bisa menjadi
fetal hydrops (Cunningham et al., 2014).
Hidramnion pada kehamilan multifetal didefinisikan sebagai saku
cairan amnion tunggal terdalam berukuran 8 cm atau lebih. Dapat dicirikan
sebagai moderat jika kantung tunggal terdalam minimal 10 cm dan berat
jika kantong ini setidaknya 12 cm. Pada kehamilan monokorion,
hidramnion pada satu kantung dan oligohidramnion pada kantung yang
lain adalah kriteria diagnostik untuk twin-twin transfusion syndrome.
Ketika tidak ada penyebab yang jelas dari hidramnion maka ada
kemungkinan hidramnion terjadi secara idiopatik (Cunningham et al.,
2014).
22
Kehamilan
DM Gestasional Anomali janin Idiopatik
Multifetal
malformasi
Janin tidak bisa
Diuresis osmotik hernia diafragma adenomatiod
menelan
kistik
Gangguan
menelan
Hidramnion
23
d. Penegakkan Diagnosis
Hidramnion perlu dicurigai keberadaannya jika tinggi fundus lebih
besar daripada usia kehamilan. Ditegakan dengan pemeriksaan sonografis
jika total volume cairan amnion lebih dari dua liter, kantung vertikal
tunggal lebih dari sepuluh sentimeter, atau AFI (Amnion Fluid Index) lebih
dari dua puluh sentimeter saat aterm atau lebih dari 95 persentil untuk usia
kehamilan (Norwitz dan Schorge, 2013). Uterus akan terasa lebih tegang
dan untuk merasakan palpasi pada bagian kecil janin atau mengauskultasi
pada denyut jantung janin akan lebih sulit. Hidramnion dapat
dikategorikan berdasarkan derajatnya, yaitu: ringan, sedang, dan berat.
Jika AFI berkisar dari 25-29,9 cm maka dikatakan hidramnion ringan,
dikatakan sedang jika AFI 30-34,9 cm, dan dikatakan berat jika AFI lebih
dari 35 cm. Berdasarkan derajat dari kedalaman terdalam dari kantung
tunggal amnion kriteria untuk ringan yaitu 8-9,9 cm, dikatakan sedang jika
10-11,9 cm, dan dikatakan berat jika lebih dari 12 cm. (Cunningham et al.,
2014)
e. Penatalaksanaan
Pemeriksaan ultrasonografi dari janin harus dilakukan untuk
mengetahui penyebab dari kondisi tersebut. Jika janin terlihat normal dan
tidak ada kelainan maka pertahankan kehamilan sampai matur. Lakukan
juga pemeriksaan tes toleransi glukosa untuk mengeksklusi diabetes
gestasional. Indometasi telah terbukti berhasil dalam 50% kasus jika
hidramnion terjadi secara idiopatik (Hanretty, 2010). Penggunaan
indometasin dapat menurunkan produksi urin dari janin tapi dapat
menyebabkan penutupan prematur dari duktus arteriosus. Tindakan
amniocentesis untuk mengurangi cairan hanya efektif untuk sementara.
Saat persalinan, amniotomi terkontrol dapat mengurangi insidensi dari
komplikasi yang disebabkan dari dekompresi mendadak (abrusi plasenta
dan prolaps tali pusat) (Norwitz dan Schorge, 2013).
Karena hidramnion memiliki etiologi yang bervariasi maka
tatalaksana dilakukan sesuai dengan target penyebab dari hidramnion
tesebut. Biasanya hidramnion berat akan menyebabkan persalinan perterm
24
atau gangguan respirasi maternal. Pada kasus tersebut maka amniocentesis
dalam jumlah besar (amnioreduksi) perlu dilakukan. Teknik insersi dari
jarum sama dengan amniocentesis. Botol penampung cairan atau syringe
yang besar yang akan dihubungkan ke jarum melalui intravenous tubing
dengan kunci pipa. Pada umumnya, kurang lebih 1000 1500 mL dari
cairan akan diaspirasi dalam waktu 30 menit, bergantu dari derajat
hidramnnion dan usia kehamilan. Tujuan utama adalah untuk
mengembalikan volume cairan amnion ke rentan normalnya. Jika
hidramnion sudah cukup berat sehingga sampai perlu untuk dilakukan
amnioreduksi biasanya memiliki etiologi yang mendasarinya dan perlu
dilakukan amnioreduksi bertahap tiap satu minggu atau dua minggu sekali.
Amnioreduksi ini mempunyai resiko terjadinya ruptur dari membran,
persalinan preterm dan abrusio plasenta (Cunningham et al., 2014).
f. Komplikasi
Jika hidramnion yang terjadi tidak berat dan berkembang secara
cepat, gejala maternal akan menjadi jarang timbul. Pada hidramnion
kronik akumuluasi cairan akan terjadi secara bertahap dan wanita akan
bisa mengkompensasi distensi abdominal yang besar dengan rasa tidak
nyaman yang relatif kecil. Pada hidramnion akut, terjadi pada usia
25
kehamilan awal yang bisa menyebabkan persalinan preterm yaitu sebelum
usia kehamilan mencapai 28 minggu atau dengan adanya gejala gejala
yang sangat mengganggu sehingga diperlukan intervensi. Ketika distensi
sudah semakin parah, ibu dapat mengalami dispneu dan ortopneu yang
cukup berat dan hanya bisa bernafas dengan nyaman lagi jika berdiri
tegak. Edema akan terjadi sebagai kompensasi dari kompresi sistem vena
major karena kompresi dari uterus yang membesar, dan biasanya terjadi
pada ekstremitas bawah, vulva, dan dinding abdomen (Cunningham et al.,
2014).
Oliguria juga bisa terjadi karena adanya obstruksi dari uterus yang
membesar. Selain itu pada maternal bisa juga terjadi komplikasi seperti
abrusio plasenta, disfungsi uteri, dan perdarahan post partum. Abrusio
plasenta biasanya jarang terjadi. Biasanya terjadi karena dekompresi
mendadak dari uterus. Disfungsi uteri biasanya terjadi karena overdistensi
yang menyebabkan atonia post partum sehingga bisa menyebabkan
perdarahan post partum (Cunningham et al., 2014). Saat persalinan,
hidramnion bisa menyebabkan malpresentasi janin, distosia pada
persalinan, dan peradarahan post partum (Norwitz dan Schorge, 2013).
g. Prognosis
Pada hidramnion, terjadi peningkatan morbiditas dan mortalitas
perinatal yang biasanya disebabkan karena persalinan preterm dan
kelainan kongenital pada janin (Moore et al., 2010). Akan tetapi pada
hidramnion idiopatik tidak ditemukan adanya persalinan preterm.
Sebaliknya, hidramnion berat dan hidramnion yang terjadi bersamaan
dengan janin yang abnormal memiliki hubungan dengan terjadinya
persalinan preterm (Cunningham et al., 2014).
3.3 Anencephaly
a. Definisi
26
Anensefali merupakan suatu kegagalan yang serius dari
perkembangan sistem saraf pusat dimana otak ataupun tempurung kepala
sebagian besar tidak terbentuk. Serebrum dan serebelum bisa terbentuk
dengan ukuran yang lebih kecil ataupun tidak terbentuk sama sekali.
Anensefali termasuk kedalam kelainan tuba neuralis (suatu kelainan yang
terjadi pada awal perkembangan janin yang menyebabkan kerusakan pada
jaringan pembentuk otak dan korda spinalis) (Best, 2016).
27
kompleks yang melibatkan gen tunggal cacat atau gangguan pada
membran ketuban. Anensefali dapat dideteksi sebelum lahir dengan
ultrasonografi dan pertama mungkin dicurigai dimana terdapat
peningkatan alfa-fetoprotein pada penyaringan serum ibu (Best, 2016).
28
perubahan pada DNA yang memungkinkan bisa menyebabkan kanker.
Asam folat bisa didapat dari sereal, roti, gandum, kol, brokoli, bayam
dan tauge. namun, asam folat akan bekerja lebih baik jika dibarengi
dengan vitamin B12 yang diperoleh dari daging. Folat termasuk
golongan vitamin B yang larut dalam air. Konsumsi asam folat yang
cukup selama kehamilan memberikan proteksi terhadap kejadian
anensefali. Paparan terhadap agen yang dapat mengganggu
metabolisme folat normal dalam tubuh terutama selama periode kritis
perkembangan dari tabung neural ( > 6 minggu setelah menstruasi
terakhir) dapat meningkatkan angka kejadian anensefali. Asam valproat
yang merupakan salah satu antikonvulsan dan juga anti metabolit asam
folat lain diketahui dapat meningkatkan resiko kejadian NTD terutama
jika terpapar pada masa awal perkembangan janin.
3. Maternal hipetermia
Dikatakan merupakan salah satu faktor resiko dikarenakan maternal
hipertermia dapat meningkatkan resiko kejadian NTD, maka dari itu
wanita hamil seharusnya menjauhi keadaan seperti mandi dalam bath
tub yang berisi air hangat dan juga berbagai keadaan lain yang dapat
mencetuskan terjadinya transien hipetermia. Demam pada ibu disaat
masa-masa awal kehamilan juga dilaporkan sebagai faktor resiko
terhadap terjadinya anensefali dan kejadian NTD lainnya.
4. Kerusakan pada kantung amnion
Dapat terjadi akibat membran amnion ruptur. keadaan ini dapat
menyebabkan terganggunya pembentukan jaringan normal selama masa
pertumbuhan janin, termasuk pembentukan kranium dan juga otak.
c. Patofisiologi
29
berlangsung dari tengah keujung di kedua arah, selesai antara hari ke-24
untuk akhir dari penutupan kranium dan hari ke-26 untuk penutupan tuba
neuralis di caudal. Gangguan dari proses penutupan yang normal
menimbulkan NTD. Anensefali merupakan hasil dari kegagalan penutupan
akhir tuba neuralis kranium embrio. Tidak adanya otak dan kalfaria dapat
terjadi secara parsial ataupun secara lengkap (Best, 2016).
Kebanyakan kasus anensefali mengikuti pola pewarisan
multifaktorial dengan interaksi beberapa gen serta faktor lingkungan. Gen-
gen tertentu yang memegang peranan penting dalam NTD belum
seluruhnya secara pasti teridentifikasi, meskipun terdapat salah satu gen
yang berhubungan dengan metabolisme folat diyakini berperan dalam
proses terjadinyanya anensefali, satu gen tersebut adalah methylene
tetrahydrofolate reduktase (MTHFR) telah terbukti berhubungan dengan
resiko NTD (Best, 2016).
d. Manifestasi Klinis
30
Gambar 3.5 Gambaran bayi dengan anensefali
e. Pemeriksaan Penunjang
31
paparan terhadap jaringan neural atau ada defek terbuka yang lain
pada janin.
2. Kadar estriol pada air kemih ibu.
Estriol ibu sebagian berasal dari plasenta dan sebagian dari kelenjar
adrenal janin. Estriol berkorelasi baik dengan laju pertumbuhan janin;
kehamilan dengan anensefali memiliki kadar estriol yang rendah
karena terjadi aplasia hipofisis yang menyebabkan hipofungsi kelenjar
adrenal janin.
3. Pemeriksaan Ultrasonografi (USG).
Kondisi anensefali dapat diditeksi selama masa prenatal dengan
menggunakan USG. Pada trimester kedua gambaran USG pada janin
anensefali adalah sebagai berikut. Ini merupakan gambaran sagital
pada janin. Disini dapat dengan jelas terlihat bahwa kranium tidak
terbentuk (Maher, 2011).
Pada trimester ketiga USG menunjukkan gambaran yang lebih jelas pada
defek (Maher, 2011).
32
Gambar 3.7 Gambaran USG anensefali pada trimester ketiga
f. Tatalaksana
33
g. Komplikasi
h. Pencegahan
34
6. Hindari asupan vitamin A dosis tinggi, dikarenakan vitamin A
termasuk salah satu vitamin yang tak larut dalam air melainkan larut
dalam lemak. Jadi apabila vitamin A tubuh berlebihan adapat terjadi
urogenital anomali (terdapat gangguan sistem kemih), mikrosefali
(ukuran kepala yang kecil) dan juga terdapat gangguan kelenjar
adrenal.
7. Jangan mengkonsumsi sembarang obat, baik yang belum ataupun
sudah diketahui memberi efek buruk terhadap janin.
8. Pilih makanan dan cara pengolahan makanan yang sehat. Salah
satunya hindari daging yang dimasak setengah matang (steak atau
sate) karena dikhawatirkan di dalam daging tersebut masih membawa
kuman penyakit yang membahayakan janin maupun ibu.
9. Jika diketahui terdapat infeksi pada si ibu maka obatilah segera,
terutama jika terinfeksi TORCH (Toxoplasma, Rubela, Citomegalo
dan Herpes). Yang paling baik adalah dilakukannya tes TORCH pada
saat sebelum kehamilan.
35
BAB IV
MASALAH DAN PEMBAHASAN
Diagnosis awal kasus saat dari Instalasi Gawat Darurat adalah Gravida 2
Para 1 Abortus 0 usia 25 tahun hamil 35 minggu 2 hari, janin hidup intrauterina
letak lintang, belum dalam persalinan, dengan hidramnion, anencephal dan
riwayat sectio caesarea empat tahun yang lalu. Beberapa hal yang perlu dibahas
berkaitan dengan kasus ini antara lain:
A. Letak lintang
Janin letak lintang pada pasien ditegakkan berdasarkan hasil USG yang
dilakukan di Poli Kebidanan RSMS yang menyatakan bahwa janin letak
lintang. Selain dengan USG, letak lintang dapat diketahui melalui
pemeriksaan Leopold, tetapi pada pasien hasil pemeriksaan Leopold sulit
dinilai karena kondisi hidramnion pada pasien yang menyebabkan uterus
menjadi lebih tegang dan lebih sulit untuk merasakan palpasi pada bagian
kecil janin ataupun untuk mendengarkan denyut jantung bayi (Cunningham et
al., 2014).
Etiologi dari janin letak lintang pada kasus diperkirakan akibat usia
kehamilan preterm dan hidramnion. Usia kehamilan preterm berisioko untuk
terjadi janin letak lintang karena letak janin yang belum menetap, sehingga
janin masih dapat berotasi dan rotasi tersebut menyebabkan letak lintang.
Kehamilan dengan hidramnion juga menjadi salah satu risiko dari janin letak
lintang karena janin pada kehamilan dengan hidramnion seperti berenang di
dalam cairan ketuban, sehingga janin dapat dengan mudah berotasi dan
letaknya tidak menetap (Sofian, 2011; Cunningham, 2014). Berdasarkan
anamnesis dengan menanyakan hari pertama hadi terakhir (HPHT) pada
pasien dapat ditentukan usia kehamilan pasien yang menunjukkan usia
kehamilan preterm (35 minggu 2 hari) dan berdasarkan hasil USG pada
pasiem didapatkan hasil cairan amnion yang terlalu banyak atau hidramnion.
Kedua hal tersebut kemungkinan menjadi salah satu etiologi dari janin letak
lintang.
36
Pasien pada kasus dilakukan terminasi kehamilan dengan sectio
caesarea trans peritoneal (SCTP) salah satu alasannya oleh karena janin letak
lintang. Persalinan spontan dapat dilakukan pada janin letak lintang, tetapi
risiko untuk terjadinya penyulit dalam persalinan serta risiko untuk terjadinya
ruptur uterus akan lebih besar. Oleh karena itu, pada kasus-kasus janin letak
lintang terminasi kehamilan dengan sectio caesarea lebih menjadi pilihan
(Okonofua, 2009; Cunningham, 2014).
B. Hidramnion
Hidramnion adalah peningkatan volume cairan amnion secara
berlebihan. Cairan amnion berasal dari metabolisme janin di dalam uterus,
sehingga apabila tidak dalam volume normal, kemungkinan terjadi gangguan
pada metabolisme janin tersebut (Cunningham, 2014). Diagnosis hidramnion
ditegakkan berdasarkan klinis dan pemeriksaan penunjang dengan USG
(Norwitz dan Schorge, 2013). Pada kasus ini, diagnosis hidramnion
ditegakkan berdasarkan hasil USG.
Salah satu penyebab hidramnion adalah keadaan anomali pada janin,
seperti pada kasus ini yaitu anensefali yang menyebabkan janin tidak dapat
menelan, sehingga cairan yang diproduksi tidak seimbang dengan cairan yang
diserap kembali oleh janin melalui proses menelan. Gangguan menelan pada
anensefaliy tersebut disebabkan oleh gangguan penutupan tabung saraf
(Neural Defect Tube - NTD) (Moore et al., 2010; Cunningham, 2014).
Kehamilan dengan hidramnion pada pasien menyebabkan pemeriksaan
Leopold sulit untuk diinterpretasikan, karena janin seperti melayang di dalam
cairan amnion sehingga sulit untuk dilakukan palpasi dan sulit untuk
menentukan letak janin. Selain itu, pada kasus hidramnion juga kesulitan
untuk menilai DJJ (Cunningham, 2014).
C. Anensefali
Anensefali merupakan suatu kegagalan pembentukan sistem saraf pusat,
dimana tempurung kepala sebagian besar tidak terbentuk. Hal tersebut
menyebabkan janin tidak dapat menelan, sehingga menyebabkan produksi
caitan amnion lebih banyak dibandingkan dengan penyerapannya dan
menyebabkan peningkatan volume cairan amnion yang berlebihan atau
37
hidramnion (Cunningham, 2014; Best, 2016). Penegakkan diagnosis
anensefali dapat dilakukan melalui pemeriksaan USG yang dapat dilihat pada
trimester II dan III, tetapi akan lebih jelas terlihat gambaran anencefali pada
trimester III (Best, 2016). Oleh karena itu, pada kasus ini diagnosis anensefali
pada pasien baru diketahui pada saat USG di usia kehamilan trimester III dan
disertai dengan hidramnion sebagai dampak dari anensefali itu sendiri.
Etiologi dan faktor risiko dari anensefali seperti genetik, rendahnya
kadar asam folat, atau trauma tidak diketahui apakah terdapat pada pasien
atau tidak. Berdasarkan penelitian, di negera berkembang penyebab tertinggi
dari anensefali adalah ibu hamil yang kadar asam folatnya rendah. Edukasi
dan motivasi kepada ibu hamil untuk mengonsumsi asam folat minimal 3
bulan sebelum hamil dan selama kehamilan terutama pada trimester awal
kehamilan sangat diperlukan untuk menurunkan kejadian anensefali (Best,
2016).
Prognosis dari janin dengan anensefali sangat buruk, sehingga pilihan
untuk mempertahankan kehamilan atau memperpanjang usia bayi tidak
dianjurkan. Apabila memilih untuk mempertahankan kehamilan, risiko untuk
bayi meninggal di dalam kandungan akan lebih besar dan dapat berakibat
negatif bagi ibu, yaitu menyebabkan infeksi bahkan sepsis (Cunningham,
2014). Pada kasus anensefali diperlukan motivasi dan penjelasan kepada
pihak keluarga untuk mempersiapkan diri dan menerima keadaan anaknya
(Best, 2016).
Penatalaksanaan yang dilakukan pada pasien kasus ini adalah dengan
melakukan SCTP untuk terminasi kehamilan. Tindakan SCTP dipilih karena
melihat kondisi letak janin yaitu letak lintang dan riwayat SC 4 tahun yang
lalu. Apabila dilakukan persalinan spontan dengan induksi, dikhawatirkan
akan terjadi rupture uterus karena letak lintang, sehingga tindakan SCTP lebih
dipilih sebagai cara untuk terminasi kehamilan (Cunningham, 2014).
38
BAB V
KESIMPULAN
1. Letak lintang (transverse lie) adalah sumbu panjang janin melintang terhadap
sumbu panjang ibu.
2. Posisi melintang dikaitkan dengan terjadinya paritas tinggi, plasenta previa,
tumor atau anomali uterus, hidramnion, anomali fetal, dan kehamilan multipel
3. Posisi melintang dapat dilahirkan secara Evolution spontanea atau
conduplication corpore dengan manajemen utamanya adalah melalui
persalinan perabdominal.
4. Hidramnion adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan akumulasi
cairan amnion yang berlebihan.
5. Cairan amnion yang berlebihan dapat disebabkan karena gangguan
keseimbangan dari input dan output cairan amnion ke dalam dan keluar janin,
anomali fetal (anensefali, atresia esofagus, dan atresia ani), dan idiopatik.
6. Pada hidramnion dapat diberikan NSAID (indometasin) atau tindakan
amnioreduksi jika hidramnion sudah sangat berat.
7. Anensefali adalah gangguan perkembangan yang serius dari sistem saraf
pusat dimana terjadi malformasi otak dan tengkorak
8. Anensefali merupakan bagian dari neural tube defect. Kondisi ini terjadi
ketika neural tube gagal menutup selama perkembangan janin pada minggu
ketiga sampai minggu keempat
9. Pada anensefali tidak dianjurkan melakukan tindakan untuk memperpanjang
usia bayi karena prognosisnya yang sudah sangat buruk sehingga yang bisa
dilakukan hanyalah mencegah terjadinya hal tersebut.
39
DAFTAR PUSTAKA
Moore, M., Lam, S., dan Kay, A. 2010. Rapid Obstetric and Gynecology 2nd Ed.
USA: Wiley-Blackwell.
Norwitz, Errol dan Schorge, John. 2013. Obstetric and Gynecology at a Glance
4th Ed. USA: Wiley-Blackwell.
40
Fetus in A Nigerian Teaching Hospital. Transnational Journal of
Science and Technology, 3(5): 32-41.
41