Anda di halaman 1dari 41

PRESENTASI KASUS

Gravida 2 Para 1 Abortus 0 Usia 25 Tahun Hamil 35 Minggu 2


Hari, Janin Hidup Intrauterina Letak Lintang, Belum dalam
Persalinan, dengan Hidramnion, Anencephal dan Riwayat Sectio
Caesarea Empat Tahun Yang Lalu

Pembimbing :
dr. Hardjono Purwadi, Sp.OG

Disusun Oleh:

Immanuel Jeffri Paian Parulian G4A015009


Daniel Pramandana Lumunon G4A015010
Alifa Diar Utamie G4A015140
Zaqiyah Yasmin G4A015184

SMF ILMU KEBIDANAN DAN KANDUNGAN


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO

2016
HALAMAN PENGESAHAN

Telah dipresentasikan dan disetujui presentasi kasus dengan judul :


Gravida 2 Para 1 Abortus 0 Usia 25 Tahun Hamil 35 Minggu 2

Hari, Janin Hidup Intrauterina Letak Lintang, Belum dalam


Persalinan, dengan Hidramnion, Anencephal dan Riwayat Sectio
Caesarea Empat Tahun Yang Lalu

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mengikuti ujian


di Bagian Obstetri dan Ginekologi Program Profesi Dokter
di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto

Disusun Oleh :

Immanuel Jeffri Paian Parulian G4A015009


Daniel Pramandana Lumunon G4A015010
Alifa Diar Utamie G4A015140
Zaqiyah Yasmin G4A015184

Purwokerto, Juli 2016

Mengetahui,
Dokter Pembimbing,

dr. Hardjono Purwadi, Sp.OG


NIP. 19530127 197907 1 001BAB I

PENDAHULUAN

Janin akan berada dalam posisi melintang ketika sumbu longitudinalnya


tegak lurus terhadap sumbu panjang dari uterus. Posisi melintang dapat memiliki
dua kemungkinan, yaitu: Kelengkungan tulang belakang janin berorientasi ke atas
(juga disebut "back-up" atau dorsosuperior) sehingga bagian kecil janin berada
pada serviks dan kelengkungan tulang belakang janin berorientasi ke bawah (juga
disebut "back-down" atau dorsoinferior) sehingga bahu janin berada pada leher
rahim. Janin dengan posisi melintang memiliki insidensi 1:300 dalam setiap
kejadian persalinan. Biasanya pada awal kehamilan janin memang dalam posisi
melintang, namun seiring dengan perembangan kehamilan maka posisi janin akan
berubah dimana kepala akan berada di serviks uteri. Dari 235 pasien dengan hamil
posisi melintang pada usia kehamilan 20 25 minggu, hanya 2,6% yang menetap
dengan posisi tersebut sampai aterm, namun saat usia kehamilan sudah 36 40
minggu, 11,8% yang menetap sampai aterm. Posisi melintang dikaitkan dengan
terjadinya paritas tinggi, plasenta previa, tumor atau anomali uterus, hidramnion,
anomali fetal, dan kehamilan multipel (Bowes, 2011).
Hidramnion adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan
akumulasi cairan amnion yang berlebihan. Kondisi klinis ini dikaitkan dengan
terjadinya kehamilan dengan hasil akhir berresiko tinggi. Prevalensi hidramnion
berkisar 0,2-1,6% dari seluruh kehamilan. Dalam kondisi fisiologis ada
keseimbangan yang dinamis antara produksi dan penyerapan cairan amnion.
Volume cairan amnion dipengaruhi oleh urinasi dari janin dan produksi cairan
paru janin. Cairan amnion diserap oleh janin saat janin menelan dan penyerapan
melalui intramembran dan intravaskular. Hubungan relatif dari masing -masing
mekanisme ini bervariasi selama kehamilan. Keseimbangan cairan amnion yang
terganggu dapat menjadi hasil dari gangguan fungsi menelan atau meningkatnya
produksi buang air kecil dari janin sehingga menyebabkan hidramnion. Pada saat
usia kehamilan akan aterm janin akan menghasilkan urin antara 500-1200 ml dan
menelan cairan amnion antara 210-760 ml per hari (Hamza et al., 2013).
Anensefali adalah gangguan perkembangan yang serius dari sistem saraf
pusat dimana terjadi malformasi otak dan tengkorak. Serebrum akan berkurang
atau bahkan tidak ada, tapi bagian dari hindbrain akan tetap ada. Anensefali
merupakan bagian dari neural tube defect. Kondisi ini terjadi ketika neural tube
gagal menutup selama perkembangan janin pada minggu ketiga sampai minggu
keempat sehingga dapat menyebabkan janin mati, lahir meninggal saat lahir, atau
kematian neonatal (Best, 2016).
BAB II
LAPORAN KASUS

1. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. DA
Usia : 24 tahun
Pendidikan : SMA
Agama : Islam
Suku/bangsa : Jawa
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Alamat : Belik 03/07 Belik Pemalang Jawa Tengah
Tanggal/Jam Masuk : 24 Juni 2016/Pukul 17.15 WIB

2. ANAMNESIS (Auto dan alloanamnesis)


Keluhan Utama:
Keluar cairan dari jalan lahir
Riwayat penyakit sekarang
Pasien datang sendiri ke VK IGD RS. Prof. Dr. Margono Soekarjo
Purwokerto dengan keluhan keluar cairan dari jalan lahir. Keluhan dirasakan
sejak pukul 07.00 WIB (10 Jam SMRS). Keluar cairan berwarna jernih dengan
jumlah yang sedikit.Keluhan lainnya seperti nyeri ulu hati, mual, muntah,
kenceng-kenceng diperut, dan pengeluaran lendir darah disangkal pasien. Pada
hari Rabu, 22 Juni 2016 pasien sudah pernah di USG di Poliklinik Kebidanan
RSMS dengan hasil usia kehamilan 25-26 minggu, letak lintang, air ketuban
yang banyak, dan anencephaly. Hari pertama haid terakhir pasien pada 20
Oktober 2015. Siklus haid pasien sebelum hamil teratur. Riwayat obstetri
hamil ini adalah yang kedua. Sebelumnya pasien sudah pernah hamil dan
sudah pernah melahirkan secara Sectio Caesarea empat tahun yang lalu karena
janin pasien yang sebelumnya berada pada presentasi bokong kaki tidak
sempurna. Pasien mengaku rutin 4 kali melakukan Ante Natal Care (ANC) di
pelayanan kesehatan dengan bidan. Pasien menikah satu kali, 7 tahun
lamanya. Pasien sudah pernah menggunakan KB yaitu IUD setelah pasien
dioperasi dan sudah dilepas 3 tahun yang lalu.

Riwayat penyakit dahulu


a. Riwayat hipertensi : disangkal
b. Riwayat penyakit ginjal : disangkal
c. Riwayat penyakit jantung : disangkal
d. Riwayat penyakit paru : disangkal
e. Riwayat asma : disangkal
f. Riwayat kencing manis : disangkal
g. Riwayat kejang : disangkal
h. Riwayat alergi : disangkal

Riwayat penyakit keluarga


a. Riwayat hipertensi : disangkal
b. Riwayat penyakit ginjal : disangkal
c. Riwayat penyakit jantung : disangkal
d. Riwayat penyakit paru : disangkal
e. Riwayat asma : disangkal
f. Riwayat kencing manis : disangkal
g. Riwayat kejang : disangkal
h. Riwayat alergi : disangkal
i. Riwayat keturunan kembar : disangkal

Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien adalah seorang ibu rumah tangga yang tinggal bersama
suaminya yang bekerja sebagai karyawan swasta. Pasien memiliki jaminan
kesehatan BPJS Non-PBI dan berobat ke Rumah Sakit Margono Soekarjo
sebagai pasien kelas III.

3. PEMERIKSAAN FISIK 24/06/2016 di VK IGD


Pemeriksaan Fisik Umum
Status Pasien:
Keadaan umum : Sedang
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan darah : 100/60 mmHg
Nadi : 92 x/menit
Pernapasan : 20 x/menit
Suhu badan : 36 C
Tinggi badan : 150 cm
Berat badan : 56 kg
Mata : tidak didapatkan konjungtiva anemis dan sklera
ikterik pada mata kanan dan kiri
Telinga : Tidak ada ottorhea atau discharge
Hidung : Tidak keluar sekret, dan tidak didapatkan nafas cuping
hidung
Mulut : Mukosa bibir tidak sianosis
Leher : Tidak ada pembesaran kelenjar tiroid
Thorax
Paru
Inspeksi : Bentuk dada simetris, pergerakan dada simetris (tidak ada
gerakan nafas yang tertinggal), tidak ada retraksi spatium
intercostalis
Palpasi : Gerakan dada simetris, vocal fremitus kanan sama dengan
kiri
Perkusi : Sonor pada seluruh lapang paru
Auskultasi : Suara dasar vesikuler, tidak terdapat ronkhi basah
kasar di parahiler dan ronkhi basah halus di basal pada
kedua lapang paru, tidak ditemukan wheezing
Jantung
Inspeksi : Tidak tampak pulsasi ictus cordis pada dinding dada
Palpasi : Teraba ictus cordis, tidak kuat angkat di SIC V, 2 jari
lateral LMC sinistra
Perkusi : Batas jantung kanan atas SIC II LPSD
Batas jantung kanan bawah SIC IV LPSD
Batas jantung kiri atas SIC II LPSS
Batas jantung kiri bawah SIC V LAA
Auskultasi : S1>S2 reguler, tidak ditemukan murmur, tidak ditemukan
gallop
Pemeriksaan abdomen
Inspeksi : Cembung gravid, linea gravidarum (+), striae gravidarum
(+), sikatrik (+) regio hipogastrik
Auskultasi : Bising usus (+) normal, DJJ sulit dinilai
Perkusi : sulit dinilai
Palpasi : TFU sulit diniliai
Leopold 1 : Sulit dinilai
Leopold 2 : Sulit dinilai
Leopold 3 : Sulit dinilai
Leopold 4 : Sulit dinilai
His : Belum didapatkan
Pemeriksaan ekstrimitas
Tidak tampak sianosis, akral hangat, tidak ditemukan pitting oedem pada
extrimitas inferior dextra dan sinistra
Pemeriksaan genitalia eksterna
a. Perdarahan pervaginam
Tidak ada
b. Keputihan
Tidak ada
Pemeriksaan Dalam
Vulva dan vagina : massa (-), eritema (-)
Portio : konsistensi kaku, midposition
Dilatasi serviks : belum ada pembukaan
Penipisan serviks : (-)

4. Diagnosis di IGD
Gravida 2 Para 1 Abortus 0 usia 25 tahun hamil 35 minggu 2 hari, janin hidup
intrauterina letak lintang, belum dalam persalinan, dengan hidramnion,
anencephal dan riwayat sectio caesarea empat tahun yang lalu

5. Sikap dan Penatalaksanaan


IGD
1. Infus RL 20 tpm, DC-UT
2. Cek DL, PT dan APTT
3. Cek USG Abdomen
4. Cek EKG
5. Konsul dan lanjutkan perawatan oleh Sp.OG
Tabel 2.1. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan Darah Hasil (24/6/16 18.35) (Hasil 27/6/16 18.45) Nilai Normal
Hemoglobin 10.7 10.5 (L) 11.7 15.5 g/dl
Leukosit 8480 12080 (H) 3600 - 11.000/l
Hematokrit 33 (L) 33 (L) 35 - 47 %
Eritrosit 3.9 3.9 3.8 5.2/ l
Trombosit 172.000 158.000 150.000 440.000
MCV 85.2 84.5 80 100 fL
MCH 27.3 27.1 26 34 pg
MCHC 32.0 32.0 32 36 %
Basofil 0.5 0.2 01%
Eosinofil 6.4 (H) 1.3 (L) 24%
Batang 0.4 (L) 0.5 (L) 35%
Segmen 67.6 82.6 (H) 50 70 %
Limfosit 17.3 (L) 9.8 (L) 25 40 %
Monosit 7.8 5.6 28%
PT 9.6 - 9.3 11.4 detik
APTT 32.2 - 29.0 40.2 detik

Gambar 2.1 Hasil USG Abdomen di VK IGD


Gambar 2.2 Hasil EKG di VK IGD
Tabel 2.2. Catatan Perkembangan Pasien di Ruang IGD
Tanggal Instruksi SOAP
24 Juni Residen (dr. Aristo) lapor dr. Adi Setiawan P., S: Tidak ada keluhan
2016 Sp.OG (K) O:
17.15 Instruksi = KU: Sedang
1. Rawat ruang flamboyan TD: 100/70 N: 90 x/mnt
2. Rencanakan SC Elektif RR: 20 x/mnt S: 36.5
PPV (-)
His (-)
DJJ sulit dinilai
VT: pembukaan (-), KK
(+). Portio: Kuncup,
tebal, posterior, bagian
bawah kepala turun H1

A: G2P1A0 usia 25 thn


hamil 34+2 mgg janin
hidup tunggal intrauterin,
belum dalam persalinan,
dengan hidramnion, letak
lintang, anencephaly, dan
riwayat SC 4 tahun yll
P: Terapi lanjut, Rawat
Ruang Flamboyan dan
Rencanakan SC Elektif

11
Tabel 2.3. Pantauan Perkembangan Penyakit dan Terapi di Ruang Flamboyan
Tanggal S+O+A P
25 Juni S : tidak ada keluhan - Inf. RL 20tpm
2016 O : KU sedang, CM - Inj. Ceftriakson 2x1 gr
06.30 TD: 110/80 mmHg ; N: 82 x/m, RR: 22 - Drip metronidazole
x/m S: 36 C 2x500mg
A : G2P1A0 usia 25 thn hamil 34+2 mgg - Inj. Vit. C 2x1
janin hidup tunggal intrauterin, belum - Drip Vit B Kompleks 2x1
dalam persalinan, dengan hidramnion, - Sulfas Ferosus 1x300mg
letak lintang, anencephaly, dan riwayat SC - PO Metformin 2x500mg
4 tahun yll
26 Juni S : tidak ada keluhan Terapi lanjut
2016 O : KU sedang, CM
08.30 TD: 120/80 mmHg ; N: 86 x/m, RR: 20
x/m S: 36.5 C
A : G2P1A0 usia 25 thn hamil 34+2 mgg
janin hidup tunggal intrauterin, belum
dalam persalinan, dengan hidramnion,
letak lintang, anencephaly, dan riwayat SC
4 tahun yll
27 Juni S : Nyeri bekas operasi +, mual (+), pusing Terapi lanjut tunggu operasi
2016 (-), nyeri ulu hati (-), pandangan kabur (+) untuk SCTP+IUD
05.45 O : KU sedang, CM
TD: 110/70 mmHg ; N: 88 x/m, RR: 20
x/m S: 36.3 C
A : G2P1A0 usia 25 thn hamil 34+2 mgg
janin hidup tunggal intrauterin, belum
dalam persalinan, dengan hidramnion,
letak lintang, anencephaly, dan riwayat SC
4 tahun yll
08.15 Berlangsung SCTP+IUD di OK IBS.
sampai Lahir bayi pada pukul 08.43 dengan jenis
dengan kelamin ambigous, BB: 850gr, a/s: 1-0-0,
09.10 pada pukul 08.53 HR = 0, RR = 0, bayi
dinyatakan meninggal.
28 Juni S : Nyeri bekas operasi (+), BAB (-), BAK - Aff infus dan DC
2016 (+), Flatus (+) - Klindamisin tab 1x300mg
05.09 O : KU sedang, CM - Sulas ferosus 1x200mg
TD: 100/70 mmHg ; N: 72 x/m, RR: 20 - Asam Mefenamat tab
x/m S: 36 C 3x500mg
TFU: 2 jari dibawah pusat - Metformin tab 2x500mg
A : P2A0 usia 25 post SCTP+IUD a.i letak - Acetylcystein tab 2x500mg
lintang dengan hidramnion, anencephaly
dan riwayat SC 4 tahun yll. H+1
29 Juni S:Nyeri bekas operasi berkurang, BAB (-), Mobilisasi dan boleh pulang
2016 BAK (+), Flatus (+)
11.00 O : KU sedang, CM

12
TD: 100/70 mmHg ; N: 86 x/m, RR: 20
x/m S: 36.1 C
TFU: 2 jari dibawah pusat
A : P2A0 usia 25 post SCTP+IUD a.i letak
lintang dengan hidramnion, anencephaly
dan riwayat SC 4 tahun yll. H+2

6. Diagnosis Akhir
Para 2 Abortus 0 usia 25 post sectio caesarea trans peritoneal dan
pemasangan intra uterine device atas indikasi letak lintang dengan
hidramnion, anencephaly, dan riwayat sectio caesarea empat tahun yang lalu

13
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Letak Lintang


a. Definisi
Letak atau situs adalah hubungan antara sumbu panjang janin
dengan sumbu panjang ibu. Letak lintang (transverse lie) adalah sumbu
panjang janin melintang terhadap sumbu panjang ibu (Prawirowihardjo,
2009). Sofian (2011) menyebutkan bahwa letak lintang terjadi bila sumbu
memanjang janin menyilang sumbu memanjang ibu secara tegak lurus
atau mendekati 90 derajat yang ditemukan pada 1 dalam 300 kehamilan
cukup bulan.

b. Etiologi
Posisi melintang sering disebabkan oleh beberapa kondisi seperti
berikut (Sofian, 2011; Cunningham, 2014):
1. Relaksasi dinding abdomen pada paritas tinggi
Dinding abdomen akan teregang secara berlebihan pada
kehamilan dengan paritas tinggi. Relaksasi dinding abdomen yang
terjadi memungkinkan uterus untuk jatuh ke depan. Hal ini
mengakibatkan defleksi sumbu panjang janin menjauhi sumbu jalan
lahir, sehingga terjadi posisi oblik atau melintang. Perempuan yang
pernah melahirkan empat kali atau lebih, memiliki risiko sepuluh kali
lipat untuk terjadinya posisi melintang dibandingkan dengan nulipara.
2. Janin prematur
Letak janin belum menetap pada janin prematur, sehingga
perputaran yang terjadi dapat menyebabkan letak melintang.
3. Plasenta previa
Penelitian Oyinloye tahun 2010 menyebutkan plasenta previa
menjadi faktor predisposisi utama dari 35,7% kasus letak lintang yang
menetap hingga usia aterm, sebab dengan adanya implantasi plasenta

14
yang abnormal di jalan lahir membuat sumbu panjang janin menjauhi
sumbu jalan lahir.
4. Abnormalitas uterus
Bentuk uterus yang tidak normal seperti arkuatus, bikornus
atau septum dapat menyebabkan janin tidak dapat masuk ke dalam
panggul, sehingga sumbu panjang janin akan menjauhi sumbu jalan
lahir dan menyebabkan letak melintang.
5. Panggul sempit
Bentuk panggul yang sempit mengakibatkan bagian presentasi
tidak dapat masuk ke dalam panggul sehingga dapat mengakibatkan
sumbu panjang janin menjauhi sumbu jalan lahir.
6. Hidramnion
7. Hidrosefalus dan anensefalus
8. Tumor pelvis
9. Kehamilan ganda

c. Penegakkan Diagnosis
Posisi melintang biasanya mudah dikenali melalui inspeksi saat
pemeriksaan. Abdomen tampak lebar dan membuncit ke arah samping.
Pada pemeriksaan abdomen dengan palpasi perasat Leopold akan
ditemukan (Sofian, 2011; Cunningham, 2014):
1. Leopold I
Pada fundus uteri hanya sedikit meluas diatas umbilicus dan
tidak ada kutub janin yang terdeteksi. Ukuran fundus uteri akan lebih
rendah dari usia kehamilan seharusnya.
2. Leopold II
Palpasi akan teraba kepala (ballottement) di bagian kanan atau
kiri. Kepala dapat ditemukan pada salah satu fossa iliaca dan bokong
pada fossa lainnya. Penilaian DJJ dilakukan setinggi pusat kanan atau
kiri.
3. Leopold III dan IV

15
Pada palpasi ini tidak ditemukan bagian janin, kecuali pada
saat persalinan berlangsung. Bagian bawah akan teraba kosong,
kecuali jika bahu sudah masuk ke dalam pintu atas panggul. Posisi
punggung dapat mudah diketahui. Jika punggung berada di anterior,
bidang resistensi keras membentang melintang di bagian depan
abdomen. Jika posisi punggung posterior, nodulasi tidak teratur yang
menandakan bagian-bagian kecil janin akan teraba melalui dinding
abdomen.

Gambar 3.1. Perasat Leopold pada letak lintang

Pemeriksaan dalam (vaginal touche) sukar dilakukan bila


pembukaan kecil dan ketuban intak, namun pada letak lintang
biasanya ketuban cepat pecah. Jika saat palpasi yang diraih sisi
thoraks, dapat dikonfirmasi dengan merasakan struktur yang berjajar
paralel pada iga. Pada pembukaan lebih lanjut, skapula dan klavikula
dapat dibedakan pada sisi yang berlawanan dengan thoraks. Letak
punggung ditentukan dengan adanya skapula, sedangkan letak dada
dengan klavikula.
Posisi aksila menunjukan kemana arah bahu janin menghadap
tubuh ibu. Seperti missal jika kepala terletak di kiri, maka ketiak
menutup ke kiri. Pada persalinan yang terus berlanjut, bahu janin akan
masuk rongga panggul dan salah satu lengan sering menumbung (lahir

16
terlebih dahulu) ke dalam vagina dan vulva. Untuk menentukan
tangan kanan atau kiri, dapat dipastikan dengan cara bersalaman.
Oyinloye (2010) menyebutkan pemeriksaan selanjutnya yang dapat
dilakukan untuk menegakkan diagnosis yaitu melalui pemeriksaan USG
(ultrasonography). USG sudah terbukti lebih baik dalam mendeteksi
presentasi janin dalam kandungan jika dicurigai abnormal dibandingkan
palpasi manual.

Klasifikasi letak lintang menurut Sofian (2011) :


1. Menurut posisi kepala
a. Kepala di kiri
b. Kepala di kanan
2. Menurut arah punggung
a. Punggung depan (dorsoanterior)
b. Punggung bekalang (dorsoposterior)
c. Punggung atas (dorsosuperior)
d. Punggung bawah (dorsoinferior)
3. Presentasi bahu
a. Bahu kanan
b. Bahu kiri
4. Tangan menumbung
a. Tentukan apakah;
1) Tangan kiri
2) Tangan kanan
b. Indikator adalah ketiak (aksila)
1) Ketiak menutup ke kanan
2) Ketiak menutup ke kiri

d. Penatalaksanaan
Anak normal cukup bulan tidak mungkin lahir spontan pada letak
lintang. Janin hanya dapat lahir spontan bila kecil (prematur), sudah mati
dan menjadi lembek, atau bila panggul luas. Berikut beberapa cara yang
dilakukan untuk kelahiran spontan pada letak lintang (Sofian, 2011):
1. Evolution spontanea
a. Menurut Denman
Setelah bahu lahir, kemudian diikuti oleh bokong, perut, dada, dan
akhirnya kepala.
b. Menurut Douglas

17
Bahu diikuti oleh dada, perut, bokong, dan akhirnya kepala.
2. Conduplicatio corpore
Kepala dan perut berlipat bersama dan lahir memasuki
panggul. Terkadang oleh karena adanya his, letak lintang berubah
spontan mengambil bangun semula dari uterus dan menjadi letak
membujur (kepala atau bokong), namun hal ini jarang terjadi. Jika
letak lintang dibiarkan, maka bahu akan masuk kedalam panggul,
turun semakin lama maka rongga panggul terisi seluruhnya oleh badan
janin. Bagian korpus uteri mengecil, sedangkan segmen bawah rahim
meregang. Hal ini yang disebut dengan kondisi letak lintang kasep
(neglected transverse lie). Bila tidak cepat diberi penanganan, maka
akan terjadi rupture uteri dan sebagia janin atau seluruhnya masuk ke
dalam rongga perut.
Persalinan aktif pada wanita dengan janin posisi melintang
biasanya merupakan indikasi untuk pelahiran caesar. Hal ini didukung
dengan penelitian Udo tahun 2013 yang menyebutkan bahwa pelahiran
caesar merupakan penanganan yang tepat untuk janin tunggal letak
lintang. Sebelum persalinan atau pada awal persalinan dengan membran
ketuban intak, usaha versi eksternal dapat dilakukan. Versi eksternal yang
dimaksud merupakan suatu prosedur mengubah presentasi janin dengan
melakukan manipulasi fisik pada dinding abdomen untuk mengubah letak
lintang menjadi presentasi memanjang. Jika kepala janin dapat di
manuver melalui manipulasi abdomen ke dalam pelvis, kepala harus tetap
berada disana selama beberapa kontraksi selanjutnya dalam usaha untuk
memperbaiki kepala dalam panggul (Cunningham, 2014). Jika versi
eksternal yang dilakukan gagal, maka janin harus segera dilahirkan
melalui tindakan caesar (Norwitz, 2013).
Posisi kepala maupun kaki pada janin letak lintang tidak berada
pada segmen bawah uterus, sehingga pelahiran caesar dilakukan melalui
insisi melintang rendah ke dalam uterus akan menyulitkan ekstraksi janin,
seperti misalnya pada presentasi dorsoanterior. Dengan demikian,
biasanya insisi yang dilakukan adalah insisi vertikal (Cunningham, 2014).

18
e. Komplikasi
Letak melintang mempersulit sekitar 0,5% dari kelahiran, dan
dapat menyebabkan kondisi letak lintang kasep (neglected transverse lie)
atau dampak presentasi bahu jika manajemen persalinan tidak berhasil.
Terdapatnya letak lintang kasep (neglected transverse lie) yang berpotensi
meningkatkan kematian perinatal dapat diketahui bila ada ruptur uteri
mengancam, dan bila tangan yang di masukan kedalam kavum uteri
terjepit antara janin dan panggul serta dengan narkosa yang dalam tetap
sulit mengubah letak janin. Kondisi tersebut memberikan kontribusi
dalam peningkatan morbiditas maternal dan mortalitas perinatal. Dampak
presentasi bahu cenderung lebih sering terjadi pada negara-negara
berpenghasilan rendah, di mana penggunaan tenaga persalinan terlatih
oleh ibu melahirkan masih terbatas (Okonofua, 2009).
Komplikasi yang dapat terjadi pada letak lintang yaitu terjadinya
ruptur uteri dan traumatik uteri serta infeksi maternal. Meningkatnya
kematian maternal disebabkan karena letak lintang biasanya selalu
disertai dengan kondisi lain seperti plasenta previa, kemungkinan terjadi
cedera tali pusat dan sepsis jika ketuban pecah atau lengan menumbung
melalui vagina. Pada janin, angka kematian tinggi (25 - 40%) terjadi pada
komplikasi prolaps funiculi dan asfiksia karena gangguan sirkulasi
uteroplasental (Sofian, 2011; Mochtar, 2002).
f. Prognosis
Meskipun terdapat cara untuk mengubah letak lintang menjadi
presentasi kepala, namun kelainan-kelainan yang menyebabkan letak
lintang, seperti misalnya panggul sempit, tumor panggul dan plasenta
previa masih tetap dapat menimbulkan kesulitan pada persalinan.
Persalinan letak lintang menjadi penyulit baik terhadap ibu maupun
janinnya. Prognosis pada kehamilan letak lintang sangat dipengaruhi oleh
riwayat pemeriksaan kehamilan, kecepatan dan ketepatan saat
menegakkan diagnosa dan ketersediaan sarana kesehatan. Semakin lambat
diagnosa letak lintang ditegakkan, maka kemungkinan bayi tetap dalam

19
posisi lintang pada saat persalinan akan semakin besar (Martohoesodo,
2005).

3.2 Hidramnion
a. Definisi
Hidramnion atau polihidramnion adalah peningkatan abnormal dari
volume cairan amnion, dan mempersulit 1 sampai 2 persen kehamilan.
Hidramnion dapat dicurigai keberadaannya jika ukuran uterus melebihi
yang diharapkan untuk usia kehamilan. Uterus akan terasa tegang dan
meraba bagian-bagian kecil janin atau auskultasi denyut jantung janin
akan menjadi lebih sulit (Cunningham et al, 2014). Secara singkat
hidramnion adalah peningkatan volume cairan amnion, di atas 95
persentil, atau pool terdalam lebih dari 8 cm (Moore et al, 2010).
Normalnya volume cairan amnion berkisar sekitar 500-1500 ml dan jika
banyak maka disebut hidramnion. Secara klinis dua liter dianggap sebagai
banyak (Hanretty, 2010).

b. Etiologi dan Faktor Resiko


Sampai sejauh ini beberapa kemungknan penyebab dari hidramnion
adalah idiopatik, janin gagal menelan (neurologis, anomali kromosom),
kelainan saluran cerna janin (atresia duodenum atau esofageal), infeksi
kongenital, poliuria janin (diabetes, twin to twin transfussion syndrome)
(Moore et al., 2010). Penyebab umum dari hidramnion adalah anomali
janin kongenital pada sekitar 15 persen dan diabetes pada 15 sampai 20
persen. Infeksi kongenital dan alloimmunisasai sel darah merah jarang
menyebabkan hidramnion. Infeksi yang mungkin menyebabkan
hidramnion adalah cytomegalovirus, toksoplasmosis, sifilis, dan
parvovirus. Hidramnion kadang menyebabkan dari hidrops fetalis.
Patofisiologi yang mendasari dalam kasus tersebut cukup kompleks tetapi
sering dihubungkan dengan keadaan curah jantung yang tinggi. Karena
etiologi dari hidramnion sangat bervariasi, pengobatan hidramnion juga

20
bervariasi dan disesuaikan dalam kebanyakan kasus dengan penyebab
yang mendasari (Cunningham et al., 2014).
Selain itu manajemen diabetes gestasional yang kurang maksimal
dikaitkan dengan terjadinya makrosomia dan polihidramnion tetapi
patogenesisnya belum jelas. Penjelasan yang mungkin adalah
hiperglikemia janin mengakibatkan peningkatan diuresis osmotik yang
kemudian menyebabkan janin menjadi poliuria. Teori ini didukung oleh
bukti hubungan yang kuat dengan nilai-nilai yang tinggi dari HBA1c
dalam kasus-kasus polihidramnion. Menurut AWMF S3-Guidline,
polihidramnion dapat menjadi indikasi terjadinya fetopathy diabetogenic.
Namun, karena rentan volume cairan ketuban yang terlalu luas,
polihidramnion tidak memainkan peran penting dalam memantau diabetes
dalam kehamilan. Prevalensi polihidramnion pada kasus ibu dengan
diabetes mellitus adalah 18,8% (Hamza et al., 2013). Kelebihan cairan
amnion dikaitkan dengan kelainan janin, terutama anencephaly, spina
bifida, atresia esofagus, hydrops fetalis dan kembar monozigot.
Hemangioma plasenta jarang ditemukan pada kasus hidramnion (Hanretty,
2010).

c. Patogenesis
Konsentrasi glukosa pada cairan amnion lebih tinggi pada wanita
dengan diabetes dibanding mereka yang tanpa diabetes, dan indeks cairan
amnion dapat berkorelasi dengan konstentrasi glukosa amnion. Beberapa
penelitian mendukung hipotesis bahwa ibu yang hiperglikemia
menyebabkan hiperglikemia janin sehingga mengakibatkan diuresis
osmotik janin ke dalam kompartemen cairan amnion (Cunningham et al.,
2014).
Berbagai anomali dapat ditemukan dalam kondisi hidramnion, dan
beberapa lebih khas terkait dengan itu daripada yang lainnya. Kelainan
sistem saraf pusat yang parah, seperti anencephaly, hydranencephaly, atau
holoprosencephaly dapat mengakibatkan hidramnion karena menyebabkan
janin tidak bisa menelan. Gangguan neuromuskular janin seperti distrofi

21
miotonik juga dapat menyebabkan volume cairan amnion menjadi
berlebihan. Obstruksi saluran gastrointestinal bagian atas janin, atresi
esofagus atau duodenum atresia sering dikaitkan dengan hidramnion.
Penyebab obstruktif lainnya adalah facial cleft, micrognathia, obstruksi
jalan napas, dan massa leher janin. (Cunningham et al., 2014).
Abnormalitas torakis janin yang berat, seperti hernia diafragma dan
malformasi adenomatoid kistik terkait juga dengan hidramnion akibat
perubahan mediastinum dan gangguan menelan, sehingga bisa menjadi
fetal hydrops (Cunningham et al., 2014).
Hidramnion pada kehamilan multifetal didefinisikan sebagai saku
cairan amnion tunggal terdalam berukuran 8 cm atau lebih. Dapat dicirikan
sebagai moderat jika kantung tunggal terdalam minimal 10 cm dan berat
jika kantong ini setidaknya 12 cm. Pada kehamilan monokorion,
hidramnion pada satu kantung dan oligohidramnion pada kantung yang
lain adalah kriteria diagnostik untuk twin-twin transfusion syndrome.
Ketika tidak ada penyebab yang jelas dari hidramnion maka ada
kemungkinan hidramnion terjadi secara idiopatik (Cunningham et al.,
2014).

22
Kehamilan
DM Gestasional Anomali janin Idiopatik
Multifetal

Anencephaly, Obstruksi GIT,


Gangguan Abnormalitas
Glukosa tinggi Hydraencephaly, atresia Obstruksi lainnya TTTS
neuromuskular torakik berat
Holoprocephaly esofagus/anal

malformasi
Janin tidak bisa
Diuresis osmotik hernia diafragma adenomatiod
menelan
kistik

Cairan amnion Perubahan


meningkat mediastinum

Gangguan
menelan

Hidramnion

Gambar 3.2 Patogenesis Hidramnion

23
d. Penegakkan Diagnosis
Hidramnion perlu dicurigai keberadaannya jika tinggi fundus lebih
besar daripada usia kehamilan. Ditegakan dengan pemeriksaan sonografis
jika total volume cairan amnion lebih dari dua liter, kantung vertikal
tunggal lebih dari sepuluh sentimeter, atau AFI (Amnion Fluid Index) lebih
dari dua puluh sentimeter saat aterm atau lebih dari 95 persentil untuk usia
kehamilan (Norwitz dan Schorge, 2013). Uterus akan terasa lebih tegang
dan untuk merasakan palpasi pada bagian kecil janin atau mengauskultasi
pada denyut jantung janin akan lebih sulit. Hidramnion dapat
dikategorikan berdasarkan derajatnya, yaitu: ringan, sedang, dan berat.
Jika AFI berkisar dari 25-29,9 cm maka dikatakan hidramnion ringan,
dikatakan sedang jika AFI 30-34,9 cm, dan dikatakan berat jika AFI lebih
dari 35 cm. Berdasarkan derajat dari kedalaman terdalam dari kantung
tunggal amnion kriteria untuk ringan yaitu 8-9,9 cm, dikatakan sedang jika
10-11,9 cm, dan dikatakan berat jika lebih dari 12 cm. (Cunningham et al.,
2014)

e. Penatalaksanaan
Pemeriksaan ultrasonografi dari janin harus dilakukan untuk
mengetahui penyebab dari kondisi tersebut. Jika janin terlihat normal dan
tidak ada kelainan maka pertahankan kehamilan sampai matur. Lakukan
juga pemeriksaan tes toleransi glukosa untuk mengeksklusi diabetes
gestasional. Indometasi telah terbukti berhasil dalam 50% kasus jika
hidramnion terjadi secara idiopatik (Hanretty, 2010). Penggunaan
indometasin dapat menurunkan produksi urin dari janin tapi dapat
menyebabkan penutupan prematur dari duktus arteriosus. Tindakan
amniocentesis untuk mengurangi cairan hanya efektif untuk sementara.
Saat persalinan, amniotomi terkontrol dapat mengurangi insidensi dari
komplikasi yang disebabkan dari dekompresi mendadak (abrusi plasenta
dan prolaps tali pusat) (Norwitz dan Schorge, 2013).
Karena hidramnion memiliki etiologi yang bervariasi maka
tatalaksana dilakukan sesuai dengan target penyebab dari hidramnion
tesebut. Biasanya hidramnion berat akan menyebabkan persalinan perterm

24
atau gangguan respirasi maternal. Pada kasus tersebut maka amniocentesis
dalam jumlah besar (amnioreduksi) perlu dilakukan. Teknik insersi dari
jarum sama dengan amniocentesis. Botol penampung cairan atau syringe
yang besar yang akan dihubungkan ke jarum melalui intravenous tubing
dengan kunci pipa. Pada umumnya, kurang lebih 1000 1500 mL dari
cairan akan diaspirasi dalam waktu 30 menit, bergantu dari derajat
hidramnnion dan usia kehamilan. Tujuan utama adalah untuk
mengembalikan volume cairan amnion ke rentan normalnya. Jika
hidramnion sudah cukup berat sehingga sampai perlu untuk dilakukan
amnioreduksi biasanya memiliki etiologi yang mendasarinya dan perlu
dilakukan amnioreduksi bertahap tiap satu minggu atau dua minggu sekali.
Amnioreduksi ini mempunyai resiko terjadinya ruptur dari membran,
persalinan preterm dan abrusio plasenta (Cunningham et al., 2014).

Gambar 3.3 Amniocentesis

f. Komplikasi
Jika hidramnion yang terjadi tidak berat dan berkembang secara
cepat, gejala maternal akan menjadi jarang timbul. Pada hidramnion
kronik akumuluasi cairan akan terjadi secara bertahap dan wanita akan
bisa mengkompensasi distensi abdominal yang besar dengan rasa tidak
nyaman yang relatif kecil. Pada hidramnion akut, terjadi pada usia

25
kehamilan awal yang bisa menyebabkan persalinan preterm yaitu sebelum
usia kehamilan mencapai 28 minggu atau dengan adanya gejala gejala
yang sangat mengganggu sehingga diperlukan intervensi. Ketika distensi
sudah semakin parah, ibu dapat mengalami dispneu dan ortopneu yang
cukup berat dan hanya bisa bernafas dengan nyaman lagi jika berdiri
tegak. Edema akan terjadi sebagai kompensasi dari kompresi sistem vena
major karena kompresi dari uterus yang membesar, dan biasanya terjadi
pada ekstremitas bawah, vulva, dan dinding abdomen (Cunningham et al.,
2014).
Oliguria juga bisa terjadi karena adanya obstruksi dari uterus yang
membesar. Selain itu pada maternal bisa juga terjadi komplikasi seperti
abrusio plasenta, disfungsi uteri, dan perdarahan post partum. Abrusio
plasenta biasanya jarang terjadi. Biasanya terjadi karena dekompresi
mendadak dari uterus. Disfungsi uteri biasanya terjadi karena overdistensi
yang menyebabkan atonia post partum sehingga bisa menyebabkan
perdarahan post partum (Cunningham et al., 2014). Saat persalinan,
hidramnion bisa menyebabkan malpresentasi janin, distosia pada
persalinan, dan peradarahan post partum (Norwitz dan Schorge, 2013).

g. Prognosis
Pada hidramnion, terjadi peningkatan morbiditas dan mortalitas
perinatal yang biasanya disebabkan karena persalinan preterm dan
kelainan kongenital pada janin (Moore et al., 2010). Akan tetapi pada
hidramnion idiopatik tidak ditemukan adanya persalinan preterm.
Sebaliknya, hidramnion berat dan hidramnion yang terjadi bersamaan
dengan janin yang abnormal memiliki hubungan dengan terjadinya
persalinan preterm (Cunningham et al., 2014).

3.3 Anencephaly
a. Definisi

26
Anensefali merupakan suatu kegagalan yang serius dari
perkembangan sistem saraf pusat dimana otak ataupun tempurung kepala
sebagian besar tidak terbentuk. Serebrum dan serebelum bisa terbentuk
dengan ukuran yang lebih kecil ataupun tidak terbentuk sama sekali.
Anensefali termasuk kedalam kelainan tuba neuralis (suatu kelainan yang
terjadi pada awal perkembangan janin yang menyebabkan kerusakan pada
jaringan pembentuk otak dan korda spinalis) (Best, 2016).

Gambar 3.4 Bayi baru lahir dengan anensefali

Anensefali adalah cacat perkembangan serius dari sistem saraf


pusat dimana otak (cerebrum) dan kalfarium kurang berkembang
sempurna namun cerebelum dapat tumbuh dengan baik. Anensefali
merupakan bagian dari spektrum defek tabung saraf (Neural Defect Tube -
NTD), cacat ini terjadi jika tuba neuralis gagal menutup selama minggu
ketiga sampai keempat perkembangannya yang akhirnya dapat
menyebabkan janin lahir mati (Intra Uterin Fetal Death) ataupun
kematian neonatus (Best, 2016).
Anensefali seperti bentuk lain dari NTD umumnya memiliki pola
transmisi yang multifaktorial, dengan interaksi beberapa gen serta faktor
lingkungan. Dalam beberapa kasus anensefali mungkin disebabkan karena
kelainan kromosom atau mungkin menjadi bagian dari proses yang lebih

27
kompleks yang melibatkan gen tunggal cacat atau gangguan pada
membran ketuban. Anensefali dapat dideteksi sebelum lahir dengan
ultrasonografi dan pertama mungkin dicurigai dimana terdapat
peningkatan alfa-fetoprotein pada penyaringan serum ibu (Best, 2016).

b. Etiologi dan Faktor Risiko

Anensefali terjadi jika tuba neuralis sebelah atas gagal menutup,


tetapi penyebab yang pasti masih belum diketahui. Penelitian
menunjukkan kemungkinan anensefali berhubungan dengan racun di
lingkungan juga kadar asam folat yang rendah dalam darah. Anensefali
ditemukan pada 3,6 4,6 dari 10.000 bayi baru lahir (Best, 2016).

Anensefali merupakan cacat bawaan sejak lahir, sebagian besar


kasus anensefali dapat disebabkan karena berbagai macam faktor
diantaranya adalah karena adanya kelainan genetik, melibatkan gen-gen
yang berinteraksi dengan perubahan lingkungan, ataupun dapat terjadi
secara spontan (Best, 2016).
Faktor resiko terjadinya anensefalus adalah (Best, 2016) :
1. Genetik
Sebagian besar kasus NTD dikaitkan dengan pewarisan genetik. Pada
kasus yang jarang, NTD diturunkan secara autosomal dominan atau
autosomal resesif. Pada keluarga yang memiliki riwayat keluarga
dengan NTD maka resiko mengalami kehamilan dengan NTD juga
akan meningkat.
2. Kadar asam folat yang rendah
Terjadinya anensefali diakibatkan adanya defisiensi atau kekurangan
asam folat selama kehamilan. Resiko ini dapat diminimalisir dengan
cara meningkatkan asupan asam folat minimal 3 bulan sebelum hamil
dan selama kehamilan terutama pada trimester awal kehamilan. Asam
folat berfungsi sebagai koenzim dam metabolisme asam nukleat dan
asam amino. Oleh karenanya Asam folat besar pengaruhnya dalam
pertumbuhan dan replikasi sel. Asam folat juga bisa mencegah terjadi

28
perubahan pada DNA yang memungkinkan bisa menyebabkan kanker.
Asam folat bisa didapat dari sereal, roti, gandum, kol, brokoli, bayam
dan tauge. namun, asam folat akan bekerja lebih baik jika dibarengi
dengan vitamin B12 yang diperoleh dari daging. Folat termasuk
golongan vitamin B yang larut dalam air. Konsumsi asam folat yang
cukup selama kehamilan memberikan proteksi terhadap kejadian
anensefali. Paparan terhadap agen yang dapat mengganggu
metabolisme folat normal dalam tubuh terutama selama periode kritis
perkembangan dari tabung neural ( > 6 minggu setelah menstruasi
terakhir) dapat meningkatkan angka kejadian anensefali. Asam valproat
yang merupakan salah satu antikonvulsan dan juga anti metabolit asam
folat lain diketahui dapat meningkatkan resiko kejadian NTD terutama
jika terpapar pada masa awal perkembangan janin.
3. Maternal hipetermia
Dikatakan merupakan salah satu faktor resiko dikarenakan maternal
hipertermia dapat meningkatkan resiko kejadian NTD, maka dari itu
wanita hamil seharusnya menjauhi keadaan seperti mandi dalam bath
tub yang berisi air hangat dan juga berbagai keadaan lain yang dapat
mencetuskan terjadinya transien hipetermia. Demam pada ibu disaat
masa-masa awal kehamilan juga dilaporkan sebagai faktor resiko
terhadap terjadinya anensefali dan kejadian NTD lainnya.
4. Kerusakan pada kantung amnion
Dapat terjadi akibat membran amnion ruptur. keadaan ini dapat
menyebabkan terganggunya pembentukan jaringan normal selama masa
pertumbuhan janin, termasuk pembentukan kranium dan juga otak.

c. Patofisiologi

Dalam embrio manusia normal, lempang saraf mulai muncul


sekitar 18 hari setelah pembuahan, selama minggu keempat pertumbuhan,
lempeng saraf mulai mengisi di sepanjang garis tengah embrio untuk
membentuk alur saraf. tuba neuralis dibentuk sebagai penutupan alur saraf

29
berlangsung dari tengah keujung di kedua arah, selesai antara hari ke-24
untuk akhir dari penutupan kranium dan hari ke-26 untuk penutupan tuba
neuralis di caudal. Gangguan dari proses penutupan yang normal
menimbulkan NTD. Anensefali merupakan hasil dari kegagalan penutupan
akhir tuba neuralis kranium embrio. Tidak adanya otak dan kalfaria dapat
terjadi secara parsial ataupun secara lengkap (Best, 2016).
Kebanyakan kasus anensefali mengikuti pola pewarisan
multifaktorial dengan interaksi beberapa gen serta faktor lingkungan. Gen-
gen tertentu yang memegang peranan penting dalam NTD belum
seluruhnya secara pasti teridentifikasi, meskipun terdapat salah satu gen
yang berhubungan dengan metabolisme folat diyakini berperan dalam
proses terjadinyanya anensefali, satu gen tersebut adalah methylene
tetrahydrofolate reduktase (MTHFR) telah terbukti berhubungan dengan
resiko NTD (Best, 2016).

d. Manifestasi Klinis

Anensefali sangat nyata terlihat sejak bayi dilahirkan, dikarenakan


tidak adanya tempurung kepala maupun beberapa bagian dari serebrum
dan juga serebelum. Baik fetus maupun bayi baru lahir dengan anensefali
menunjukkan wajah yang khas (Maher, 2011).
Tulang tengkorak tidak pernah terbentuk, meskipun terdapat
beberapa kulit dan rambut kepala. Sebagian kecil jaringan otak yang
terbentuk (batang otak) terpapar lingkugan luar. Kelainan ini tidak sesuai
dengan kehidupan dan tidak dapat diperbaiki (Maher, 2011).

30
Gambar 3.5 Gambaran bayi dengan anensefali

Gejala klinis sangat bervariasi, tergantung malformasi serebral


yang terjadi, termasuk hidrosefalus dan banyaknya jaringan otak yang
mengalami displasia dan masuk ke dalam kantung ensefalokel. Jika hanya
mengandung meningen saja prognosisnya bisa menjadi lebih baik dan
dapat berkembang secara normal. Gejala-gejala yang dapat timbul akibat
malformasi otak adalah mental retardasi, ataksia spastik, kejang, buta dan
gangguan gerakan bola mata (Best, 2016).

e. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan yang biasa dilakukan untuk membantu penegakan


diagnosa anensefali antara lain:

1. Amniocentesis (untuk mengetahui adanya peningkatan kadar alfa-


fetoprotein).
AFP atau Alfa-fetoprotein adalah protein serum utama dari janin,
beredar dalam sirkulasi janin dan keluar melalui urin ke dalam cairan
amnion. Kadar AFP akan meningkat pada anensefali dan defek tuba
neural janin. Bila kadar AFP dalam cairan amnion meningkat
dilakukan juga pemeriksaan acetylcholinesterase dalam cairan
amnion. Bila acetylcholinesterase meningkat menandakan adanya

31
paparan terhadap jaringan neural atau ada defek terbuka yang lain
pada janin.
2. Kadar estriol pada air kemih ibu.
Estriol ibu sebagian berasal dari plasenta dan sebagian dari kelenjar
adrenal janin. Estriol berkorelasi baik dengan laju pertumbuhan janin;
kehamilan dengan anensefali memiliki kadar estriol yang rendah
karena terjadi aplasia hipofisis yang menyebabkan hipofungsi kelenjar
adrenal janin.
3. Pemeriksaan Ultrasonografi (USG).
Kondisi anensefali dapat diditeksi selama masa prenatal dengan
menggunakan USG. Pada trimester kedua gambaran USG pada janin
anensefali adalah sebagai berikut. Ini merupakan gambaran sagital
pada janin. Disini dapat dengan jelas terlihat bahwa kranium tidak
terbentuk (Maher, 2011).

Gambar 3.6 Gambaran USG anensefali pada trimester II

Pada trimester ketiga USG menunjukkan gambaran yang lebih jelas pada
defek (Maher, 2011).

32
Gambar 3.7 Gambaran USG anensefali pada trimester ketiga

f. Tatalaksana

Karena prognosis anensefali dianggap sangat buruk, maka langkah-


langkah ekstrim yang bertujuan untuk memperpanjang umur bayi tidak
dianjurkan untuk dilakukan. Dokter dan tim perawatan medis seharusnya
dapat mempersiapkan mental bagi keluarga bayi dengan anensefalus
terhadap keadaan serta prognosisnya yang sangat buruk. Dokter dan tim
perawatan medis hendaknya menyediakan lingkungan yang mendukung
bayi yang dilahirkan dengan anensefalus selama bayi masih dapat bertahan
hidup agar dapat meningkatkan kualitas hidupnya (Best, 2016).
Setelah ditegakkannya diagnosis prenatal pada kasus anensefalus
ini, pilihan untuk terminasi kehamilan harus disampaikan kepada pasangan
suami istri. Bagi pasangan yang memilih untuk melanjutkan kehamilan,
kemungkinan persalinan prematur, polihidramnion, persalinan tak maju,
dan onset persalinan yang tertunda hingga melewati waktunya juga harus
dibahas (Best, 2016).
Keluarga sering menanyakan mengenai donor organ setelah
ditegakkan diagnosis anensefali. Hal ini sulit dilakukan tanpa melanggar
etika medis. Karena kelainan ini bersifat letal, maka yang dapat dilakukan
oleh tim medis adalah perawatan suportif selama bayi masih dapat
bertahan hidup (biasanya sampai beberapa hari setelah lahir sampai kurang
lebih satu minggu). Perawatan suportif bertujuan untuk mengurangi
komplikasi-komplikasi yang terjadi akibat jaringan otak yang terpapar
dengan lingkungan luar (Best, 2016).

33
g. Komplikasi

Dikarenakan adanya bagian otak yang terpapar secara langsung


dengan dunia luar tanpa adanya proteksi maka keadaan ini dapat
memudahkan infeksi mikroorganisme. dan juga sepsis. Tanda-tanda sepsis
yang dapat timbul antara lain lemah, temperatur tubuh yang tidak stabil
(hipo/hipertermi), sesak, perut kembung, gelisah, kejang, kaku kuduk.
Adapun gejala-gejala neurologis yang dapat timbul sesuai luas serta letak
jaringan otak yang terpapar antara lain meliputi kejang, gangguan syaraf
kranial, spastisitas, serta paralisis. Selain itu akibat defek kranium yang
terjadi dapat juga menyebabkan otak menjadi tidak berkembang secara
sempurna sehingga pada bayi dengan anensefali bisa terjadi kelainan
jantung maupun paru-paru (Best, 2016).

h. Pencegahan

Ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk mencegah terjadinya


cacat bawaan ini, antara lain (Best, 2016):

1. Wanita yang memiliki keluarga dengan riwayat kelainan cacat bawaan


hendaknya lebih waspada karena kelainan ini dapat diturunkan secra
genetik, dan dianjurkan untuk melakukan konseling genetik sebelum
hamil.
2. Usahakan untuk tidak hamil jika usia ibu sudah mencapai 40 tahun.
3. Lakukan pemeriksaan kehamilan atau antenatal care yang rutin dan
usahakan utnuk melakukan USG minimal tiap trimester kehamilan.
4. Jalani pola hidup sehat. Hentikan kebiasaan merokok, hindari pula
asap rokok, alkohol maupun narkotik dan obat-obat terlarang
dikarenakan dapat menghambat pertumbuhan janin serta memperbesar
peluang terjadinya kelainan kongenital dan abortus.
5. Penuhi kebutuhan akan asam folat, dengan mengkonsumsi sumber
makanan yang tinggi kandungan asam folatnya.

34
6. Hindari asupan vitamin A dosis tinggi, dikarenakan vitamin A
termasuk salah satu vitamin yang tak larut dalam air melainkan larut
dalam lemak. Jadi apabila vitamin A tubuh berlebihan adapat terjadi
urogenital anomali (terdapat gangguan sistem kemih), mikrosefali
(ukuran kepala yang kecil) dan juga terdapat gangguan kelenjar
adrenal.
7. Jangan mengkonsumsi sembarang obat, baik yang belum ataupun
sudah diketahui memberi efek buruk terhadap janin.
8. Pilih makanan dan cara pengolahan makanan yang sehat. Salah
satunya hindari daging yang dimasak setengah matang (steak atau
sate) karena dikhawatirkan di dalam daging tersebut masih membawa
kuman penyakit yang membahayakan janin maupun ibu.
9. Jika diketahui terdapat infeksi pada si ibu maka obatilah segera,
terutama jika terinfeksi TORCH (Toxoplasma, Rubela, Citomegalo
dan Herpes). Yang paling baik adalah dilakukannya tes TORCH pada
saat sebelum kehamilan.

35
BAB IV
MASALAH DAN PEMBAHASAN

Diagnosis awal kasus saat dari Instalasi Gawat Darurat adalah Gravida 2
Para 1 Abortus 0 usia 25 tahun hamil 35 minggu 2 hari, janin hidup intrauterina
letak lintang, belum dalam persalinan, dengan hidramnion, anencephal dan
riwayat sectio caesarea empat tahun yang lalu. Beberapa hal yang perlu dibahas
berkaitan dengan kasus ini antara lain:
A. Letak lintang
Janin letak lintang pada pasien ditegakkan berdasarkan hasil USG yang
dilakukan di Poli Kebidanan RSMS yang menyatakan bahwa janin letak
lintang. Selain dengan USG, letak lintang dapat diketahui melalui
pemeriksaan Leopold, tetapi pada pasien hasil pemeriksaan Leopold sulit
dinilai karena kondisi hidramnion pada pasien yang menyebabkan uterus
menjadi lebih tegang dan lebih sulit untuk merasakan palpasi pada bagian
kecil janin ataupun untuk mendengarkan denyut jantung bayi (Cunningham et
al., 2014).
Etiologi dari janin letak lintang pada kasus diperkirakan akibat usia
kehamilan preterm dan hidramnion. Usia kehamilan preterm berisioko untuk
terjadi janin letak lintang karena letak janin yang belum menetap, sehingga
janin masih dapat berotasi dan rotasi tersebut menyebabkan letak lintang.
Kehamilan dengan hidramnion juga menjadi salah satu risiko dari janin letak
lintang karena janin pada kehamilan dengan hidramnion seperti berenang di
dalam cairan ketuban, sehingga janin dapat dengan mudah berotasi dan
letaknya tidak menetap (Sofian, 2011; Cunningham, 2014). Berdasarkan
anamnesis dengan menanyakan hari pertama hadi terakhir (HPHT) pada
pasien dapat ditentukan usia kehamilan pasien yang menunjukkan usia
kehamilan preterm (35 minggu 2 hari) dan berdasarkan hasil USG pada
pasiem didapatkan hasil cairan amnion yang terlalu banyak atau hidramnion.
Kedua hal tersebut kemungkinan menjadi salah satu etiologi dari janin letak
lintang.

36
Pasien pada kasus dilakukan terminasi kehamilan dengan sectio
caesarea trans peritoneal (SCTP) salah satu alasannya oleh karena janin letak
lintang. Persalinan spontan dapat dilakukan pada janin letak lintang, tetapi
risiko untuk terjadinya penyulit dalam persalinan serta risiko untuk terjadinya
ruptur uterus akan lebih besar. Oleh karena itu, pada kasus-kasus janin letak
lintang terminasi kehamilan dengan sectio caesarea lebih menjadi pilihan
(Okonofua, 2009; Cunningham, 2014).

B. Hidramnion
Hidramnion adalah peningkatan volume cairan amnion secara
berlebihan. Cairan amnion berasal dari metabolisme janin di dalam uterus,
sehingga apabila tidak dalam volume normal, kemungkinan terjadi gangguan
pada metabolisme janin tersebut (Cunningham, 2014). Diagnosis hidramnion
ditegakkan berdasarkan klinis dan pemeriksaan penunjang dengan USG
(Norwitz dan Schorge, 2013). Pada kasus ini, diagnosis hidramnion
ditegakkan berdasarkan hasil USG.
Salah satu penyebab hidramnion adalah keadaan anomali pada janin,
seperti pada kasus ini yaitu anensefali yang menyebabkan janin tidak dapat
menelan, sehingga cairan yang diproduksi tidak seimbang dengan cairan yang
diserap kembali oleh janin melalui proses menelan. Gangguan menelan pada
anensefaliy tersebut disebabkan oleh gangguan penutupan tabung saraf
(Neural Defect Tube - NTD) (Moore et al., 2010; Cunningham, 2014).
Kehamilan dengan hidramnion pada pasien menyebabkan pemeriksaan
Leopold sulit untuk diinterpretasikan, karena janin seperti melayang di dalam
cairan amnion sehingga sulit untuk dilakukan palpasi dan sulit untuk
menentukan letak janin. Selain itu, pada kasus hidramnion juga kesulitan
untuk menilai DJJ (Cunningham, 2014).

C. Anensefali
Anensefali merupakan suatu kegagalan pembentukan sistem saraf pusat,
dimana tempurung kepala sebagian besar tidak terbentuk. Hal tersebut
menyebabkan janin tidak dapat menelan, sehingga menyebabkan produksi
caitan amnion lebih banyak dibandingkan dengan penyerapannya dan
menyebabkan peningkatan volume cairan amnion yang berlebihan atau

37
hidramnion (Cunningham, 2014; Best, 2016). Penegakkan diagnosis
anensefali dapat dilakukan melalui pemeriksaan USG yang dapat dilihat pada
trimester II dan III, tetapi akan lebih jelas terlihat gambaran anencefali pada
trimester III (Best, 2016). Oleh karena itu, pada kasus ini diagnosis anensefali
pada pasien baru diketahui pada saat USG di usia kehamilan trimester III dan
disertai dengan hidramnion sebagai dampak dari anensefali itu sendiri.
Etiologi dan faktor risiko dari anensefali seperti genetik, rendahnya
kadar asam folat, atau trauma tidak diketahui apakah terdapat pada pasien
atau tidak. Berdasarkan penelitian, di negera berkembang penyebab tertinggi
dari anensefali adalah ibu hamil yang kadar asam folatnya rendah. Edukasi
dan motivasi kepada ibu hamil untuk mengonsumsi asam folat minimal 3
bulan sebelum hamil dan selama kehamilan terutama pada trimester awal
kehamilan sangat diperlukan untuk menurunkan kejadian anensefali (Best,
2016).
Prognosis dari janin dengan anensefali sangat buruk, sehingga pilihan
untuk mempertahankan kehamilan atau memperpanjang usia bayi tidak
dianjurkan. Apabila memilih untuk mempertahankan kehamilan, risiko untuk
bayi meninggal di dalam kandungan akan lebih besar dan dapat berakibat
negatif bagi ibu, yaitu menyebabkan infeksi bahkan sepsis (Cunningham,
2014). Pada kasus anensefali diperlukan motivasi dan penjelasan kepada
pihak keluarga untuk mempersiapkan diri dan menerima keadaan anaknya
(Best, 2016).
Penatalaksanaan yang dilakukan pada pasien kasus ini adalah dengan
melakukan SCTP untuk terminasi kehamilan. Tindakan SCTP dipilih karena
melihat kondisi letak janin yaitu letak lintang dan riwayat SC 4 tahun yang
lalu. Apabila dilakukan persalinan spontan dengan induksi, dikhawatirkan
akan terjadi rupture uterus karena letak lintang, sehingga tindakan SCTP lebih
dipilih sebagai cara untuk terminasi kehamilan (Cunningham, 2014).

38
BAB V
KESIMPULAN

1. Letak lintang (transverse lie) adalah sumbu panjang janin melintang terhadap
sumbu panjang ibu.
2. Posisi melintang dikaitkan dengan terjadinya paritas tinggi, plasenta previa,
tumor atau anomali uterus, hidramnion, anomali fetal, dan kehamilan multipel
3. Posisi melintang dapat dilahirkan secara Evolution spontanea atau
conduplication corpore dengan manajemen utamanya adalah melalui
persalinan perabdominal.
4. Hidramnion adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan akumulasi
cairan amnion yang berlebihan.
5. Cairan amnion yang berlebihan dapat disebabkan karena gangguan
keseimbangan dari input dan output cairan amnion ke dalam dan keluar janin,
anomali fetal (anensefali, atresia esofagus, dan atresia ani), dan idiopatik.
6. Pada hidramnion dapat diberikan NSAID (indometasin) atau tindakan
amnioreduksi jika hidramnion sudah sangat berat.
7. Anensefali adalah gangguan perkembangan yang serius dari sistem saraf
pusat dimana terjadi malformasi otak dan tengkorak
8. Anensefali merupakan bagian dari neural tube defect. Kondisi ini terjadi
ketika neural tube gagal menutup selama perkembangan janin pada minggu
ketiga sampai minggu keempat
9. Pada anensefali tidak dianjurkan melakukan tindakan untuk memperpanjang
usia bayi karena prognosisnya yang sudah sangat buruk sehingga yang bisa
dilakukan hanyalah mencegah terjadinya hal tersebut.

39
DAFTAR PUSTAKA

Best R. G., 2016. Anencephaly. Available at


http://emedicine.medscape.com/article/1181570-overview#Anenchepaly

Bowes, Watson. 2011. Management of the fetus in tranverse lie. Available at


http://cursoenarm.net/UPTODATE/contents/mobipreview.htm?
17/61/18398?source=HISTORY (diakses pada 5 Juli 2016).

Cunningham et al. 2014. Williams Obstetric 24th Ed. USA: McGraw-Hill.

Moore, M., Lam, S., dan Kay, A. 2010. Rapid Obstetric and Gynecology 2nd Ed.
USA: Wiley-Blackwell.

Hanretty, Kevin. 2010. Obstetric Illustrated. USA: Churchill Livingstone.

Maher J. M. 2011. Exencephaly Anencephaly Sequence and Its Sonographic


Features. Available at: http://www.obgyn.net/obgyn-
ultrasound/exencephaly-%E2%80%93-anencephaly-sequence-and-its-
sonographic-features.

Martohoesodo, S. Hariadi, R. 2005. Distosia karena Kelainan Letak serta Bentuk


Janin dalam Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo.

Mochtar, D. 2002. Letak Lintang (Transverse Lie) dalam Sinopsis Obstetri:


Obstetri Fisiologi, Obstetri Patologi. Edisi 2. Jakarta: EGC.

Norwitz, Errol dan Schorge, John. 2013. Obstetric and Gynecology at a Glance
4th Ed. USA: Wiley-Blackwell.

Okonofua, F.E. 2009. Management of Neglected Shoulder Presentation. BJOG


An International Journal of Obstetrics and Gynaecology, 1695-1696.

Oyinloye, O.I., Okoyomo, A.A. 2010. Longitudinal Evaluation of Foetal


Transverse Lie Using Ultrasonography. African Journal of Reproductive
Health, 14(1): 129-133.

Prawirowihardjo, S. 2009. Ilmu Kebidanan. Edisi 4 Cetakan 2. Jakarta: PT Bina


Pustaka.

Sofian, A. 2011. Letak Lintang (Transverse Lie) dalam Rustam Mochtar


Sinopsis Obstetri: Obstetri Fisiologi, Obstetri Patologi. Edisi 3. Jakarta:
EGC.

Udo, A. Ekott, M. Ekanem, E. Akpan, U. Efiok, E. 2013. Delivery Techniques at


Elective Caesarean Section for The Singleton Term Transverse-lying

40
Fetus in A Nigerian Teaching Hospital. Transnational Journal of
Science and Technology, 3(5): 32-41.

41

Anda mungkin juga menyukai