Anda di halaman 1dari 12

URTIKARIA

I. PENDAHULUAN
Sinonim yang umum dari urtikaria adalah hives atau ( gatal-gatal merah disertai

bengkak). Urtikaria dapat di gambarkan dengan bengkak pada kulit akibat dari kebocoran

plasma. Urtikaria merupakan penyakit kulit yang sering dijumpai. Walaupun patogenesis

dan penyebab yang dicurigai telah ditemukan, ternyata pengobatan yang diberikan

kadang-kadang tidak memberi hasil seperti yang diharapkan pada pasien.(1)


Berdasarkan durasi penyakit, urtikaria dikelompokkan menjadi urtikaria akut dan

urtikaria kronik. Urtikaria disebut akut bila serangan berlangsung kurang dari enam

minggu dan dikatakan kronik bila serangan berlangsung hampir tiap hari atau paling

sedikit dua kali dalam seminggu, dan berlangsung selama enam minggu atau lebih. (1,2)
Umumnya urtikaria akut lebih terjadi pada populasi anak-anak, dan sering dikaitkan

dengan atopi. Antara 20% dan 30% dari pasien dengan urtikaria akut berkembang

menjadi urtikaria kronis atau berulang. Etiologi data menunjukkan bahwa urtikaria akut

idiopatik pada sekitar 50% dari pasien, infeksi saluran pernafasan sekitar 40%, obat-

obatan 9%, dan untuk makanan 1% .(3)


Penyebab urtikaria akut paling umum (dengan atau tanpa angioedema) adalah obat-

obat, makanan, infeksi virus, infeksi parasit, racun serangga, dan kontak alergen,

khususnya hipersensitivitas terhadap lateks. Obat-obatan yang diketahui sering

menyebabkan urtikaria dan angioedema adalah antibiotik (terutama penisilin, dan

sulfonamid), non-steroid anti-inflammatory drugs (NSAID), asetilsalisilat acid (ASA),

opiat, dan narkotika. Makanan yang dominan menyebabkan urtikaria adalah susu, telur,

kacang tanah, pohon kacang-kacangan, ikan, dan kerang. Sekitar 50% pasien dengan

1
urtikaria akut, penyebabnya adalah tidak diketahui (idiopathic urticaria) melalui

pengaruhnya terhadap metabolisme asam arakidonat.(4)


Urtikaria kronis lebih sering terjadi pada orang dewasa, dan lebih banyak terjadi pada

wanita daripada laki-laki. Secara umum, urtikaria kronik diklasifikasikan sebagai

urtikaria kronik autoimun atau urtikari kronik idiopatik. Pada urtikaria kronik autoimun,

beredar imunoglobulin G (IgG) autoantibodi yang bereaksi terhadap subunit alpha dari

reseptor IgE dengan afinitas tinggi pada sel mast dan basofil dermal, dimana mediator

inflamasi yang menyebabkan urtikaria dan angioedema. Urtikaria kronik autoimun juga

dikaitkan dengan antibodi antitiroid sekitar 27% dari kasus.(3,4)


Klasifikasi Urtikaria
Urtikaria Fisik
lesi urtikaria terjadi setelah menyentuh atau menggaruk kulit. Dirasakan gatal yang

muncul dengan cepat dan biasanya menghilang dalam waktu 30 menit. 4,2% dari

populasi kembali normal. Faktor fisik seperti dingin, panas, berkeringat, olahraga,

tekanan, sinar matahari, air dan getaran dapat memicu terjadinya reaksi. Tekanan

urtikaria dirasakan selama beberapa jam hingga 2 hari kemudian menghilang. Untuk

mendiagnosis urtikaria fisik menggunakan Standar internasional. Gejala dapat

memburuk jika daerah terkena panas. Perasaan panas yang menyebar akibat urtikaria atau

urtikaria kolinergik disebabkan oleh latihan, berkeringat dan panas. Istilah kolinergik

digunakan karena kelenjar keringat di inervasi oleh serabut saraf kolinergik. Lesi

urtikaria berbentuk kecil dan sangat gatal. (5,6)

Gambar 1 : dermographism.(6)

2
Pada beberapa pasien tekanan pada kulit dapat menyebabkan histamin release dan

respon, suatu kondisi yang dikenal sebagai dermographism. Dapat juga terjadi penundaan

respon terhadap tekanan pada urtikaria dan atau angioedema yang terjadi beberapa jam

setelah stimulus tekanan.(6)


Urtikaria surya adalah kelainan langka di mana urtikaria berkembang pada area

tubuh yang terkena sinar matahari. Gatal dan urtikaria bisa terjadi dalam beberapa menit

dan dapat berkembang menjadi angioedema. Gejala ini biasanya hilang dalam beberapa

jam. Erupsi polimorfik cahaya juga dapat menyebabkan ruam gatal pada kulit yang

terkena sinar matahari, tapi ruam ini papular atau eczematous, biasanya dimulai 6-8 jam

setelah paparan sinar matahari dan berlangsung selama beberapa hari.(6)


Urtikaria yang berhubungan dengan kondisi medis
Penyakit seperti systemic lupus erythematosus (SLE) dan Sindrom Sjgren mungkin

berhubungan dengan urtikaria kronis, dan vaskulitis urtikaria. Ada peningkatan insiden

autoimun penyakit tiroid pada pasien dengan urtikaria kronis, terutama terjadi pelepasan

histamin autoantibodi pada urtikaria autoimun. Meskipun ada laporan kasus urtikaria

terkait dengan keganasan, sebuah studi terhadap lebih dari 1000 pasien menunjukkan

tidak ada hubungan antara urtikaria kronis dengan keganasan. Sebaliknya, vaskulitis

urtikaria kadang-kadang dapat terjadi pada pasien dengan penyakit limfoproliferatif.(6)


Urtikaria yang berhubungan dengan Hormon
Kadang-kadang wanita melihat bahwa urtikaria mereka tampaknya berfluktuasi

dalam keparahan yang berkaitan dengan siklus menstruasi mereka, dan ada bentuk siklus

langka urtikaria yang dikenal sebagai autoimun progesteron urtikaria, yang terjadi 7-10

hari premenstrually. Dalam kehamilan urtikaria akan sering meningkat,

namun ada kondisi klinis yang berbeda yang dikenal sebagai lesi polimorfik atau papula

pruritus urtikaria dan plak kehamilan, di mana ruam dimulai sebagai gatal, papula

3
urtikaria dan plak di striae pada perut dan paha, dan kemudian menyebar ke seluruh

badan dan tungkai. Ini biasanya dimulai pada trimester ketiga dan paling sering terjadi

pada kehamilan pertama. Ruam biasanya sembuh dalam beberapa hari dan umumnya

tidak berulang kembali. Tidak ada efek yang merugikan pada janin. Urtikaria yang terjadi

hanya selama kehamilan dan berulang selama kehamilan berikutnya telah dilaporkan.(6)
Urtikaria yang berhubungan dengan Stres
Urtikaria akut dapat berkembang dalam kaitannya dengan stres tertentu

dan diakui bahwa keuangan, pribadi atau stres profesional semua dapat memperburuk

urtikaria kronis. Kondisi itu sendiri mungkin akan mengurangi kualitas hidup.(6)

II. EPIDEMIOLOGI
Urtikaria dijumpai pada semua umur, ras, jenis kelamin, pekerjaan, lokasi geografis,

dan musim. Namun orang dewasa lebih banyak mengalami urtikaria dibandingkan

dengan usia muda. SHELDON (1951), menyatakan bahwa umur rata-rata penderita

urtikaria ialah 35 tahun, jarang dijumpai pada umur kurang dari 10 tahun atau lebih dari

60 tahun. (7)
Ditemukan 40% bentuk urtikaria saja, 49% urtikaria bersama-sama dengan

angioedema, dan 11% angioedema saja. Lama serangan berlangsung bervariasi, ada yang

lebih dari satu tahun, bahkan ada yang lebih dari 20 tahun. Berdasarkan data kepustakaan,

kisaran 15-20% populasi akan mengalami episode urtikaria paling tidak satu kali dalam

hidupnya, dan diperkirakan 25% dari mereka akan menderita urtikaria kronik.(7,8)
Penderita atopi lebih muda mengalami urtikaria dibandingkan dengan orang normal.

Tidak ada perbedaan frekuensi jenis kelamin, baik laki-laki maupun wanita. Umur, ras,

jabatan/pekerjaan, letak geografis, dan perubahan musim dapat mempengaruhi

hipersensitivitas yang diperankan oleh IgE. Penisilin tercatat sebagai obat yang lebih

sering menimbulkan urtikaria. (7)

4
III. ETIOLOGI
Pada penyelidikan ternyata hampir 80% tidak diketahui penyebabnya. Diduga

penyebab urtikaria bermacam-macam, di antaranya : obat, makanan, gigitan/sengatan

serangga, bahkan fotosensitizer, inhalan, kontakan, trauma fisik, infeksi dan infestasi

parasit, psikis, genetik dan penyakit sistemik. (7)


IV. PATOGENESIS
Urtikaria terjadi karena vasodilatasi disertai permeabilitas kapiler yang meningkat,

sehingga terjadi transudasi cairan yang mengakibatkan penggumpalan cairan setempat.

Sehingga secara klinis tampak edema setempat disertai kemerahan. Vasodilatasi dan

peningkatan permeabilitas kapiler dapat terjadi akibat pelepasan mediator-mediator

misalnya histamine, kinin, serotonin, slow reacting substance of anaphylaxis (SRSA),

dan prostaglandin oleh sel mast dan atau basofil.(7)


Baik faktor imunologik, maupun nonimunologik mampu merangsang sel mast atau

basofil untuk melepaskan mediator tersebut. Pada yang nonimunologik mungkin sekali

siklik AMP (adenosin mono phosphate) memegang peranan penting pada pelepasan

mediator. Beberapa bahan kimia seperti golongan amin dan derivat amidin, obat-obatan

seperti morfin, kodein, polimiksin, dan beberapa antibiotik berperan pada keadaan ini.

Bahan kolinergik misalnya asetilkolin, dilepaskan oleh saraf kolinergik kulit yang

mekanismenya belum diketahui langsung dapat mempengaruhi sel mast untuk

melepaskan mediator. Faktor fisik misalnya panas, dingin, trauma tumpul, sinar X, dan

pemijatan dapat langsung merangsang sel mast.(9,10)


Jenis pertama (IgE-mediated) reaksi hipersensitivitas adalah baik dipahami

patogenesis umum mekanisme urtikaria akut. IgE-mediated urtikaria biasanya terjadi

pada pasien yang diobati dengan antibakteri atau memiliki pekerjaan kontak dengan

antibakteri. Dalam kasus, urtikaria dikaitkan dengan produksi vasoaktif zat (substansi P,

5
leukotrien, prostaglandin) interferensi dengan metabolisme asam arakidonat dianggap

mekanisme untuk urtikaria akut pathogenesis disebabkan oleh aspirin dan NSAID. (7)
V. DIAGNOSIS
a. Gejala Klinis

Gambar 1 : Urtikaria.(1)

Muncul lesi bulat, timbul, ertitematous dan biasanya gatal (pruritus). Udem yang

terjadi pada daerah superficial kulit disebut dengan urtikaria. Ketika proses edematous ini

ini meluas ke lapisan dermis/subkutan dan lapisan submukosa disebut angioedema.

Keluhan subyektif bisanya gatal, rasa terbakar, rasa tertusuk.(7)

Gambar 2. Urtikaria.(11)
Tampak eritem dan edema setempat berbatas tegas, kadang-kadang bagian tengah

tampak lebih pucat. Urtikaria akut muncul tidak lebih dari 6 bulan, apabila lebih dari 6

bulan, maka dikatakan utikaria kronis.(7,11)


b. Pemeriksaan Penunjang
Walaupun melalui anamnesis yang teliti dan pemeriksaan klinis mudah ditegakan

diagnosis urtikaria, beberapa pemeriksaan diperlukan untuk membuktikan penyebabnya,

misalnya :(7)
1. Pemeriksaan Darah (Pemeriksaan kadar IgE, eosinofil, dan komplemen)
2. Pemeriksaan gigi, telinga,-hidung tenggorok, serta usapan vagina untuk

menyingkirkan adanya infeksi fokal.

6
3. Tes kulit, meskipun terbatas kegunaannya dapat dipergunakan untuk membantu

diagnosis. Uji gores (scratch test) dan uji tusuk (prick test), serta tes intradermal dapat

dipergunakan untuk mencari alergen inhalan, makanan dermatofit dan kandida.


4. Tes eliminasi makanan dengan cara mengehentikan semua makanan yang dicurigai

untuk beberapa waktu, lalu mencobanya kembali satu demi satu.


5. Pemeriksaan histopatologik, walaupun tidak selalu diperlukan, dapat membantu

diagnosis.
6. Pada urtikaria fisik akibat sinar dapat dilakukan tes foto temple.
7. Suntikan mecholyl intradermal dapat digunakan pada diagnosis urtikaria kolinergik.
8. Tes dengan es (ice cube test)
9. Tes dengan air hangat
Pemeriksaan HRA (Histamin Realising Factor), smapai saat ini merupakan baku

emas dalam menegakkan diagnosis Urtikaria Otoimun, karena pemeriksaan tersebut

merupakn satu-satunya pemeriksaan in vitro yang dapat mengidentifikasi. Kelemahan

pemeriksaan HRA, selain sulit distandarisasi, pemeriksaan tersebut tidak praktis/sulit

dilakukan karena memerlukan sel basofil dari darah donor, dan diperlukan biaya yang

besar. (8)
VI. DIAGNOSIS BANDING
Urtikaria dapat di diagnosis banding dengan Purpura Anafilaktoid karena lesi yang

muncul pada penyakit ini adalah berupa makula eritema yang juga disertai gatal. Selain

itu bisa juga di diagnosis banding dengan pityriasis rosea bentuk papular, karena lesinya

yang berupa eritema dan gatal ringan, namun pada penyakit ini didapatkan skuama.(7)
VII. PENGOBATAN
Pengobatan yang paling ideal tentu saja megobati penyebab atau bila mungkin

menghindari penyebab yang dicurigai. Bila tidak mungkin paling tidak mencoba

mengurangi penyebab tersebut, seminimal mungkin tidak menggunakan dan tidak

berkontak dengan penyebabnya.(7)

7
Pengobatan dengan antihistamin pada urtikaria sangat bermanfaat. Cara kerja

antihistamin telah diketahui dengan jelas yaitu menghambat histamin pada reseptor-

reseptornya. Berdasarkan reseptor yang dihambat, antihistamin dibagi menjadi dua

kelompok besar, yaitu antagonis reseptor H1 (Antihistamin 1 AH1) dan reseptor H2 (AH2)2.

Secara klinis dasar pengobatan pada urtikaria dipercayakan kepada efek antagonis

terhadap histamin pada reseptor H1.(7)


Table 1. Antihistamin yang digunakan dan di indikasikan untuk pengobatan urtikaria

Dosis dewasa Dosis anak-anak


Generasi kedua antihistamin H1 reseptor (terapi lini pertama)
Cetirizine (Reactine) 10-40 mg/hari 5-10 ml (1-2 sendok)/hari
Desloratadine (Aerius) 5-20 mg/hari 2,5-5 ml (0,5-1,0 sendok)/hari
Fexofenadine (Allegra) 120-480 mg/hari Tidak diindikasikan untuk
Loratadine (Claritin) 10-40 mg/hari
anak dibawah umur 12 tahun
5-10 ml (1-2 sendok teh)/hari

Generasi Pertama antihistamin H1-reseptor (paling baik digunakan sebagai terapi tambahan

untuk pasien dengan gejala nokturnal)


Hydroxyzine (Atarax) 25-50 mg, 3-4/hari Anak-anak < 6 tahun :30-100

Diphenhydramine 25050 mg/6 jam mg/hari


2,5-20 ml (0,5-4 sendok) tiap 4
(Benadryl)
4020 mg/hari sampai 6 jam (sesuai
Dyproheptadine (periactin)
4 mg tiap 4-6 jam umur/BB)
chlorpheniramine 2-4 mg, 2-3 mg/hari (sesuai
(ChorTripolon) 1,34-2,68 mg, 2-3/hari
Clemastine (Travist-1) umur/BB)
1 mg tiap 4-6 jam

1,34 mg. 1-2/hari

Pengobatan awal untuk urtikaria adalah dosis standar dari generasi kedua anti-

histamin H1. Obat ini mempengaruhi darah diotak sehingga menyebabkan efek pada

8
sistem saraf pusat daripada anti-histamin generasi pertama, meskipun gejala seperti

sedasi dan psikomotor penurunan masih mungkin terjadi. Anti-histamin yang berlisensi

digunakan di Inggris: Cetirizine, desloratidine, fexofenadine, levocetirizine, loratidine

dan mizolastine, yang semuanya diberikan sekali sehari. Acrivastine yang diberikan tiga

kali sehari, karena itu mungkin kurang efektif dan nyaman untuk digunakan. Cetirizine

dan levocetirizine dan loratidine mungkin berguna secara klinis bersifat anti inflamasi

pada dosis terapi. Cetirizine dapat menyebabkan kantuk pada beberapa pasien dan

mizolastine adalah kontraindikasi pada pasien dengan penyakit jantung berkepanjangan

Q-T Interval, atau penyakit hepar yang parah.(8)


Pengurangan dosis mungkin diperlukan jika ada gangguan ginjal. Respon klinis dan

tolerabilitas mungkin lebih baik dengan satu generasi kedua anti-histamin H1 daripada

yang lain, jadi jika gejala tidak membaik atau memiliki efek samping dengan obat, obat

kedua harus dipilih. Dosis waktu malam salah satu generasi pertama, penenang anti-

histamines H1, seperti chlorphenamine atau hidroksizin, dapat membantu pasien untuk

tidur. Secara empiris, anti-histamin pengobatan biasanya diresepkan selama 3-6 bulan

(atau lebih lama jika pasien mengalami angioedema terkait dengan urtikaria).(8)
Urtikaria episodik dapat diobati dengan dosis antihistamin dengan syarat jika urtikaria

tetap responsif terhadap dosis tinggi anti-histamines H1. Pengobatan Anti-histamin H2,

pada standar dosis dapat ditambahkan. Ini adalah penggunaan offlisensi obat tersebut,

tetapi ada bukti bahwa gabungan antihistamin H1 dan H2 memberikan kontrol gejala

lebih baik dari pengobatan anti-histamin H1 saja. Tidak seperti cimetidine, ranitidine

tidak menghambat metabolisme hati obat oksidatif sehingga kurang potensial

menyebabkan interaksi obat.(8)

9
Jika gejala urtikaria tidak dikontrol oleh antihistamin saja, lini kedua terapi harus

dipertimbangkan, termasuk tindakan farmakologi dan non-farmakologis. Hasil fototerapi

dengan sinar UV atau fotokemoterapi (PUVA) telah meyakinkan, meskipun beberapa

penelitian telah menunjukkan keberhasilan peningkatan PUVA dalam mengelola fisik

urtikaria tapi urtikaria kronik tidak. Studi terapi relaksasi juga telah melaporkan hasil

yang kurang jelas. Beberapa kelas obat mungkin berguna dalam terapi lini kedua,

termasuk antidepresan, kortikosteroid, kalsium antagonis saluran, levothyroxine natrium

suplemen, antagonis reseptor leukotrien, dan beragam obat lain. Jika pemberian

Antihistamin non-sedatif tidak cukup, dapat diberikan kortikoseroid dengan dosis 60-80

mg/hari selama 3 hari, kemudian diturunkan menjadi 5-10 mg/hari.(7,8,9)


Pilihan Ketiga terapi untuk pasien dengan urtikaria yang tidak merespon untuk

perawatan pertama dan lini kedua biasanya melibatkan penggunaan agen

imunomodulator, yang meliputi cyclosporine, tacrolimus, methotrexate,

cyclophosphamide, mofetil mofetil, dan intravena imunoglobulin (IVIG). pasien yang

memerlukan terapi lini ketiga sering memiliki bentuk autoimun dari urtikaria kronik.

Ketiga lainnya-line terapi yang mungkin bermanfaat termasuk plasmapheresis,

colchicine, dapson, albuterol (salbutamol), traneksamat Asam, terbutaline, sulfasalazine,

hydroxychloroquine, dan warfarin. (8,9)

VIII. PROGNOSIS
Urtikaria akut prognosisnya lebih baik jika ditangani dengan baik karena

penyebabnya cepat dapat diatasi, sedangkan urtikaria kronik lebih sulit diatasi karena

penyebabnya sulit dicari.(7)

10
Sebuah retrospektif Survei tahun 1998 tidak membahas prognosis secara langsung

tetapi menemukan bahwa 44% dari pasien yang dirawat dengan urtikaria dilaporkan

berespon baik dengan pemberian antihistamin. (14)


DAFTAR PUSTAKA

1. C.E.H Grattan, A. Kobza Black. Urticaria and Mastocystosis. Rooks Textbook of

Dermatology Volume 1-4. 7th ed. London;Blackwell Science ; 2004.p.47.1-10.


2. Nopriyati, Thaha Athuf M, Tjekyan Suryadi. Hubungan Autologous Serum Skin

Test/Asst dengan Keparahan Klinis Urtikaria Kronik Idiopatik.Vol 12. Fakultas

Kedokteran Universitas Sriwijaya;Palembang; 2008: p.27


3. Kanani Amin, Schellenberg Robert. Warrington Richard. Urticaria and angioedema.

Allergy, Asthma & Clinical Immunology. 2011. Available from URL :

http://www.aacijournal.com/content/7/S1/S9
4. Poonawalla Tasneem and Kelly Brent. Urtikaria. Am J Clin Deimatol. University of

Texas Medical Branch, Galveston, Texas;US; 2009:p. 9-18


5. Kaplan A.Urticaria and Angioedema: In Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest

BA, Paller AS,Leffel Dj, Editors Fizpatricks Dermatology in General Medicine. 5th

ed. New York. Mc Graw Hill; 2008.p.330-340.


6. Deacock S. J. An approach to the patient with urticaria. Journal compilation British

Society for Immunology, Clinical and Experimental Immunology; 2008. p.152156


7. Djuanda A.Urtikaria in Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 5 th ed.Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia;Jakarta: 2008.p.169-176.


8. Thaha Athuf M. Nilai Diagnostik Modifikasi Autologous Serum Skin Test pada

Urtikaria Otoimun : Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin. FK UNSRI. Vol 2.

Palembang.2008. Hal.197-198
9. Chapter 6. Urticaria and Angioedema.. P. Thomas, Habif MD. A color guide to

diagnosis and therapy in Clinical Dermatology. 4th ed.USA. 2003. p 134

11
10. Elsner P. Maibach HI. Cosmeceuticals. Drugs vs. cosmetics. In Cosmetic science and

technology series. Dermatoxicology, Vol.23. New York. Marcel Dekker, Inc.2008 p.

216-217
11. C.E.H Grattan, A. Kobza Black. Urticaria and Angioedema. Bolognia Dermatology.

Vol 1. 2nd ed. USA; Blackwell Science ; 2008.p.2-3


12. Schafer T. Acut Urticaria : Evidence Based of Dermatolgy Williams H. Michael B.

Diepgen T. Herxheimer A. Naldi L. Rzany B. London. BMJ Books. 2008.p 263-264


13. James WD. Berger TG. Elston D.M. Erhytema and Urticaria : Andrews Dissease of

The Skin, Clinical Dermatology.New York.Saunder Elsevier.2008.p 149-154


14. Grattan C.E.H. and Humphreys F. Guidelines for evaluation and management of

urticaria in adults and children. In Department of Dermatology :2007.157p:1121


15. Park A. and Frigas E. Acute Urticaria and Angioedema Diagnostic and Treatment

Considerations. Am J Clin Deimatol. USA; 2009:p. 240-250.

12

Anda mungkin juga menyukai